• Tidak ada hasil yang ditemukan

D 902007005 BAB VIII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "D 902007005 BAB VIII"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Bab VIII

Kesimpulan

“The real voyage of discovery consists not in seeking new lands but seeing with new eyes.”

(Marcel Proust)

Sampai pada tahap kesimpulan, penulis merasa bahwa hasil penelitian yang dituangkan dalam disertasi ini sesungguhnya tidak mengungkapkan suatu teori atau teknik yang baru (new lands) tentang bagaimana melakukan pembangunan masyarakat, melainkan lebih pada membuka wawasan yang lebih luas (new eyes) tentang bagaimana mengembangkan pemberdayaan masyarakat dengan pola pendekatan yang non-birokratis, yakni bottom-up approach yang memampukan para agen perubahan menghasilkan partisipasi masyarakat untuk melakukan pembangunan yang efektif. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian, yakni mengungkapkan tentang bagaimanakah proses berlangsungnya pemberdayaan masyarakat tersebut sehingga mampu menggerakkan partisipasi masyarakatnya dalam proses pembangunan. Kemudian tentang faktor-faktor apa sajakah yang mampu memberi motivasi terjadinya pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru.

Faktor dan Instrumen Pemberdayaan Masyarakat di Desa

Tlogoweru

(2)

dalam bab IV-VI. Hal ini meneguhkan kajian teoritis yang menunjukkan pentingnya peranan agaen perubahan sebagai katalisator dan dan motivator dalam suatu proses pemberdayaan masyarakat. Sebagai katalisator, sebagaimana telah dipaparkan dalam bab IV, pak Soetedjo maupun ibu Elisabeth selaku agen perubahan, lebih mengedepankan pola pembangunan yang berorientasi pada pendekatan bottom-up yang menekankan komunikasi berupa dialog sehingga dengan cepat bisa mencairkan sikap negatif atau persepsi yang beda dari antara kelompok masyarakat desa Tlogoweru untuk menampung semua aspirasi dan kebutuhan mereka, dengan demikian mereka mampu menimbulkan trust yang mendorong partisipasi aktif dari masyarakat desa. Kasus yang serupa pernah menjadi pengalamanan di negara Korea Selatan, negara ini sebenarnya mengalami masa yang lebih parah daripada Indonesia setelah masa perang Korea (1950-1953), namun secara signifikan dapat bangkit dari kemiskinan melalui gerakan Saemaul Undong (Gerakan Desa Baru) dengan program pembangunan the Five-Years Economic Development Plan (1962-1976) yang berhasil mendongkrak pembangunan wilayah-wilayah perdesaan menjadi suatu wilayah kekuatan sosial masyarakat, yakni melalui partisipasi masyarakat perdesaan mereka dengan pola pendekatan bottom-up, yakni program self-help, cooperation and diligence, dimana para pemimpin dari semua sektor pemerintahan mengutamakan trust dan aspirasi masyarakat sebagai penggerak partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat mereka, sehingga menghantar negara ini menjadi salah satu negara adidaya di dunia masa kini (Budiman 1991).

(3)

masyarakat, alam dan kekayaan hayatinya merupakan bagian yang utuh dalam kehidupannya. Faktor yang kedua adalah Aspiration from below (Aspirasi dari bawah). Jika keseluruhan dari hasil penelitian ini disimak dengan seksama akan menyajikan bagaimana nilai pembangunan desa Tlogoweru amat kental dalam pola kepemimpinan pak kades Soetedjo dan ibu Elisabeth. Mereka sebagai para agen perubahan dan pemimpin masyarakat amat menempatkan aspirasi setiap anggota masyarakat desa Tlogoweru sebagai indikator utama untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pelaksaksanaan suatu proyek pembangunan mereka. Faktor ketiga adalah Numerous participants (Partisipan yang melimpah banyak).

(4)

dicanangkan oleh pak kades Soetedjo bersama ibu Elisabeth adalah bertujuan bagi peningkatan kesejahteraan hidup mereka. Dan faktor keenam adalah Learning atmosphere (Atmosfir yang mendorong pembelajaran). Salah satu karakter ibu Elisabeth yang cukup menonjol adalah kemauannya yang kuat untuk senantiasa mendorong orang lain untuk melakukan pemberlajaran. Keberadaan LPKS adalah bukti konkrit bagaimana faktor ini ditanamkan dalam diri masyarakat desa Tlogoweru.

(5)

dan melaksanakan setiap program pembangunan masyarakat. Laporan empiris hasil penelitian yang telah dielaborasi di Bab IV-VI sudah cukup menyajikan hasil penelitian yang menunjukkan kemitraan merupakan penggerak yang menginspirasi dan memotivasi lahirnya program-program pemberdayaan dalam pembangunan. Hal ini terlihat dalam hal bagaimana pembangunan sumur, peternakan sapi atau desa wisata dapat terjadi tidak lain disebabkan oleh adanya kemitraan dengan pihak-pihak lain. Instrumen keempat adalah Intuitive (Intuisi). Para pratiksi dalam dunia marketing mengakui bahwa ada faktor “X” seringkali adalah kunci keberhasilan seorang marketer (Prama, 2002; Kartajaya, 2005). Dan faktor “x” dalam kasus keberhasilan pembangunan desa Tlogoweru adalah dari intuisi atau gerakkan hati dalam diri ibu Elisabeth dan pak Soetedjo. Hampir semua ide dan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru mencapai tujuannya disebabkan oleh kekuatan intuisi yang digerakkan oleh adanya kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi. Penelitian ini telah memberi gambaran bahwa pemberdayaan masyarakat desa Tlogoweru merupakan perwujudan dari intuisi yang ada dalam diri ibu Elisabeth atau pak Soetedjo yang kemudian dikomunikasikan bersama dan menghasilkan suatu pemberdayan masyarakat dalam rangka merencenakan dan melakukan pembangunan. Instrumen terakhir bagi pembangunan masyarakat adalah Trust (Kepercayaan). Bab VII telah menyimpulkan bagaimana kepercayaan (trust) merupakan kunci penggerak partisipasi dari masyarakat untuk melakukan pemberdayaan masyarakat yang efektif di desa Tlogoweru.

Implikasi Teoritis

(6)

implikasi yang menentukan keberhasilan dari suatu perencanaan dan pelaksanaan usaha pemberdayaan masyarakat, khususnya di masyarakat perdesaan, karena masyarakat akan lebih didorong untuk mengambil bagian mereka untuk menjadi bagian dari proses pembangunan yang ada. Dengan demikian, hasil penelitian di desa Tlogoweru ini bisa menjadi suatu prototipe bahwa keberhasilan pembangunan masyarakat juga bertumpu pada paradigma atau pendekatan teori pembangunan yang dianut oleh para agen pembaruan, karena mind-set mereka yang tercermin dari teori yang mereka terapkan memiliki dampak yang vital terhadap sikap maupun kebijakan yang mereka tetapkan maupun jalankan dalam hal pemberdayaan masyarakat yang bersangkutan.

Harapan Bagi Pembangunan Masyarakat Perdesaan di

Indonesia

(7)

yang dijalankan harus memiliki tingkat daya yang mampu mentoleransi variasi kapasitas-kapasitas masyarakat lokal dan oleh karenanya, pembangunan masyarakat tersebut harus bersifat flexible sehingga mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lokal; Dan para agen pebaruhan ketika melaksanakan pembangunan masyarakat tersebut, pendekatan yang dipakai dalam melalukan interaksi sosial harus menekankan pada proses social learning yang didalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan saling belajar; Dengan demikian dapat terjalin suatu proses pembentukan jejaring (networking) antara birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat, yaitu berupa satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri. Jejaring sosial ini harus merupakan suatu bagian yang integral dari pendekatan sosial tersebut, yang bertujuan baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola pelbagai sumber, maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal maupun horizontal. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi suatu simbiose sosial, yaitu keharmonisan dari antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal dan pemerintahan daerah.

Mari bersama kita membangun

masyarakat perdesaan Indonesia yang sejahtera!

Referensi

Dokumen terkait

Jarak antara Kongres PGRI I, II, dan III terasa amat dekat, ini membuktikan semangat para guru yang ingin mewujudkan persatuan diantara para guru, sesuai dengan tuntutan yang

Sangat wajar pula kalau para pemburu rente itu lebih cenderung fokus pada “enak, mudah dan cepat” bagi dirinya sendiri untuk memperoleh keuntungan (rente)

Kebijakan seperti ini bisa menjadi masalah karena yang mendapat manfaat pengembangan pariwisata adalah pengusaha dari luar sedangkan masyarakat lokal bisa menjadi penonton.

Suatu bangsa dianggap ada, apabila mulai sadar sebagai suatu bangsa jika para warganya bersumpah pada dirinya, seperti yang telah dilakukan oleh bangsa Swiss waktu

RSUD merupakan lembaga teknis daerah yang melaksanakan urusan otonomi daerah di bidang penyelenggaraan pelayanan kesehatan rujukan dari sarana pelayanan kesehatan

Merujuk hasil dari penelitian ini diharapkan kedepannya lembaga-lembaga pemerintah daerah seperti BPKP maupun Inspektorat Daerah dapat mempertimbangkan senantiasa

Diperlu kerja keras dan memiliki semangat tinggi dalam menjaga budaya suku Bajo, dengan demikian perlu seorang pemimpin yang dapat memotifasi masyarakat serta

Dalam agresi militer II, Belanda berhasil menangkap para pemimpin politik dan menduduki ibukota RI di Yogyakarta. Belanda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa pemerintahan RI