• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Dermatofita dan Superinfeksi Bakteri pada Tinea Pedis di RSUP H.Adam Malik Medan Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Dermatofita dan Superinfeksi Bakteri pada Tinea Pedis di RSUP H.Adam Malik Medan Chapter III V"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross sectional study).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2.1 Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai November 2016. 3.2.2 Tempat penelitian

1. Penelitian dilakukan di Divisi Mikologi SMF IKKK RSUP H.Adam Malik Medan.

2. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH, kultur jamur dan kultur bakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ( FK USU).

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi

1. Populasi target

Pasien dengan tinea pedis. 2. Populasi terjangkau

(2)

3.3.2 Sampel

Bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi:

1. Pasien dengan tinea pedis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dermatologis disertai pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH yang positif. 2. Usia di atas 17 tahun.

3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.

3.4.2 Kriteria eksklusi:

Sedang mendapatkan pengobatan berupa anti jamur topikal dalam satu minggu terakhir, anti jamur oral dalam satu bulan terakhir dan antibiotika oral maupun topikal dalam satu minggu terakhir.

3.5 Besar sampel

Untuk menghitung besar sampel, digunakan rumus berikut. Rumus :

n = zα2PQ d2 dimana :

Zα : deviat baku alpha, untuk α : 0,05 : 1,96 P : proporsi tinea pedis : 0,12

(3)

Maka :

n = 1,962 x 0,1 x 0,9 0,09 x 0,09

= 43

Sampel untuk penelitian ini digenapkan menjadi 45 orang. 3.6 Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling.

3.7 Identifikasi Variabel

Variabel- variabel yang akan diteliti adalah spesies dermatofita, spesies bakteri dan tipe klinis tinea pedis.

3.8 Definisi Operasional

1. Umur adalah umur subjek penelitian saat pertama datang dihitung dari tanggal lahir, bulan dan tahun, bila lebih dari 6 bulan, umur dibulatkan ke atas, bila kurang dari 6 bulan, umur dibulatkan ke bawah berdasarkan rekam medik, yang dikelompokkan menjadi usia 17- 26 tahun, 27-36 tahun, 37-46 tahun, 47-56 tahun, 57-66 tahun, 67-76

tahun. Skala ukur adalah nominal.

2. Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki yang ditegakkan

diagnosisnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaaan fisik dan dermatologis disertai pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH dijumpai hifa dan / atau artrokonidia.

3. Berdasarkan gambaran klinis, tinea pedis terdiri dari 4 tipe yaitu:

(4)

fisura pada daerah interdigitalis dan subdigitalis.

b. Tipe hiperkeratotik kronis / mokasin bila dijumpai eritema dan skuama dari ringan sampai hiperkeratosis difus di daerah plantar kaki.

c. Tipe vesikobulosa bila dijumpai vesikel yg tegang, bula atau pustula pada daerah plantar kaki.

d. Tipe ulseratif akut bila dijumpai lesi vesikopustular, ulkus, erosi dan maserasi di daerah interdigitalis dan dapat meluas sampai ke dorsum pedis dan plantar pedis.

Skala ukur adalah nominal.

4. Hasil pemeriksaan KOH dikatakan positif jika ditemukan hifa dan / atau artrokonidia.

5. Spesies dermatofita merupakan spesies jamur patogen penyebab dermatofitosis yang terdiri dari Trichophyton sp, Microsporum sp,

Epidermophyton sp yang didapat dari pemeriksaan kultur jamur.

Skala ukur adalah nominal.

6. Superinfeksi bakteri adalah keadaan berkembangnya bakteri pada lesi yang sudah ada; spesies bakteri didapat dari pemeriksaan kultur bakteri seperti bakteri S. aureus, S.epidermidis, S.viridans, S.faecalis, Acinetobacter. Skala ukur adalah nominal.

7. Anti jamur topikal merupakan obat-obat anti jamur yang dioleskan pada daerah lesi; obat-obat anti jamur topikal tersebut seperti golongan imidazol,allilamin, benzilamin, polien, siklopiroksolamin, tolnaftat, undecylenic acid, dan lain lain.

(5)

oral ; obat-obat anti jamur oral tersebut seperti golongan allilamin, triazol, imidazol, griseofulvin, polien, dan siklopiroksolamin,dan lain-lain.

9. Antibiotika topikal merupakan obat-obat antibakteri yang dioleskan pada daerah lesi; obat-obat antibakteri topikal tersebut seperti asam fusidat, mupirocin, basitracin, gentamisin, neomisin, polymyxin B, kloramfenikol, sulfonamid, tetrasiklin,dan lain- lain.

10. Antibiotika sistemik merupakan obat-obat anti bakteri yang diberikan secara oral ; obat-obat antibakteri oral tersebut seperti golongan ß

Laktam, makrolida, quinolon, tetrasiklin, kotrimoksazol, kloramfenikol, klindamisin,dan lain-lain.

3.9 Alat, Bahan dan Cara Kerja 3.9.1 Alat dan bahan

1. Alat yang digunakan adalah gelas objek steril, skalpel dengan blade no 15 steril, wadah spesimen (amplop) bersih, transport medium swabs , alkohol swab 70%, piring petri steril, inkubator, lampu spiritus, lidi kapas steril, pipet tetes, pinset anatomis, dan gelas penutup (cover slip), mikroskop cahaya.

2. Bahan yang digunakan adalah larutan KOH 10%, larutan Lacto phenol cotton blue (LPCB), media Sabaroud’s dextrose agar, sikloheksamid (0,5 g/l), kloramfenikol (0,05 g/l), agar darah (Blood agar), Mac Conkey agar,

mannitol salt agar (MSA), reaksi biokimia: karbohidrat, indol, methyl red,

(6)

3.9.2 Cara kerja

1. Pencatatan data dasar

Pencatatan data dasar dilakukan oleh peneliti di SMF IKKK RSUP H. Adam Malik Medan meliputi identitas pasien seperti nama, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, alamat dan nomor telepon.

2. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologis

3. Penentuan diagnosis klinis dilakukan oleh peneliti bersama dengan pembimbing.

4. Pengambilan spesimen:

a. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan KOH dan kultur jamur dipilih daerah dengan pinggir yang aktif dan atap vesikel, dilakukan dengan cara:

1) Daerah tersebut terlebih dahulu dibersihkan dengan kapas alkohol 70% dan ditunggu kering.

2) Dilakukan kerokan dengan bagian tumpul dari skalpel steril pada daerah dengan pinggir yang aktif.

3) Untuk lesi berupa vesikel, bula atau pustula, dilakukan dengan atap vesikel, bula atau pustula dibuka dengan menggunakan skalpel steril dan bagian bawah dari atap dikerok.

4) Spesimen dimasukkan ke dalam 2 wadah spesimen (amplop) dan diberi label identitas pasien.

b. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan cara:

(7)

erosi, atau pus dengan kapas lidi steril.

2) Spesimen dimasukkan ke dalam transport medium swabs dan diberi label identitas pasien.

5. Spesimen kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi, FK USU untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan KOH, kultur jamur, dan kultur bakteri.

6. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH:

a. Spesimen diambil secukupnya kemudian diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi dengan larutan KOH 10% untuk kerokan kulit dan ditutup dengan gelas penutup.

b. Sediaan dilayangkan di atas api kecil dan dibiarkan selama 15 menit. c.Sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 40

untuk melihat ada tidaknya hifa dan artrokonidia.

7. Bila hasil pemeriksaan mikroskopis langsung dijumpai hifa dan / atau artrokonidia, pemeriksaan dilanjutkan dengan kultur jamur dan kultur bakteri.

8. Pemeriksaan kultur jamur

(8)

koloni, tekstur permukaan koloni (bertepung, granular, berbulu, seperti kapas, kasar), bentuk koloni (meninggi, berlipat), pinggir koloni. Setelah itu dilakukan identifikasi secara mikroskopis dengan larutan LPCB yaitu dengan cara sehelai selotip ditekankan ke permukaan koloni jamur dan ditarik ke atas, hifa dari koloni akan melekat kuat pada selotip kemudian selotip dilekatkan di atas gelas objek yang telah ditetesi satu tetes LPCB dan dilihat dengan mikroskop cahaya pembesaran 10x40, diamati hifa dan konidia (makrokonidia dan mikrokonidia).

9. Pemeriksaan kultur bakteri

Spesimen dikeluarkan dari transport medium swabs, selanjutnya dioleskan pada media agar darah dan media Mac Conkey agar dekat dengan api spiritus. Kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24

jam. Bila dengan pemeriksaan Gram, koloni kelihatan seperti rantai menandakan suatu kokus Gram positif (streptokokus), pemeriksaan cukup dengan agar darah saja. Bila diduga kokus Gram positif lainnya (stafilokokus) pada pemeriksaan koloninya seperti buah anggur, selanjutnya bahan ditanam pada media MSA selama 24 jam pada suhu 370C (warna koloni S. aureus kuning emas, S.epidermidis putih), sedangkan bila diduga suatu batang Gram negatif (enterobactericaeae) diidentifikasi dengan reaksi biokimia.

10. Interpretasi hasil dilakukan oleh peneliti bersama dengan konsultan mikrobiologi.

(9)

3.10 Kerangka Operasional

Gambar 3.1 Kerangka operasional

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dermatologi Pemeriksaan KOH

Kultur bakteri dan pewarnaan Gram

Dianalisis secara deskriptif Kultur jamur

Memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Identifikasi dermatofita Identifikasi bakteri Pasien yang datang berkunjung ke Divisi Mikologi SMF IKKK

RSUP H.Adam Malik Medan

Sampel penelitian

(10)

3.11 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terhimpun ditabulasi dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan dianalisis secara deskriptif.

3.12 Ethical Clearance

(11)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan sejak Januari hingga November 2016 di SMF IKKK RSUP H.Adam Malik Medan yang melibatkan subjek penelitian sebanyak 45 orang. Seluruh subjek penelitian menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dermatologis, selanjutnya dilakukan kerokan kulit dan apusan kulit kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan KOH, kultur jamur dan kultur bakteri di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek penelitian ditampilkan berdasarkan distribusi jenis kelamin, kelompok usia, pendidikan, dan pekerjaan.

4.1.1 Jenis kelamin

Tabel 4.1 Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin N %

Perempuan Laki-laki

23 22

51,1 48,9

Total 45 100,0

(12)

Pada penelitian ini jumlah subjek perempuan hampir sama dengan jumlah subjek laki-laki. Penelitian sebelumnya oleh Mainiadi di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2003 mendapatkan proporsi laki-laki dan perempuan pada pasien dermatofitosis dengan infeksi sekunder adalah tidak jauh berbeda.16 Penelitian retrospektif oleh Harahap di Poliklinik IKKK RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2009 – 2012 mendapatkan perempuan lebih banyak menderita tinea pedis yaitu sebesar 4,8% daripada laki-laki yaitu sebesar 3,1% dari seluruh infeksi jamur superfisial.8 Sedangkan penelitian oleh Kurniawati pada pemulung di

Semarang tahun 2006 menjumpai laki-laki lebih banyak menderita tinea pedis yaitu 55,4% daripada perempuan, yaitu 44,6%.46

Penelitian yang dilakukan oleh Aste et al di Italia, dari 169 orang dengan klinis dan kultur positif tinea pedis, dijumpai laki-laki tiga kali lebih banyak dibanding perempuan dimana laki-laki sebanyak 122 orang (72,3%) dan perempuan 47 orang (27,7%).47

Penelitian retrospektif oleh Tan di The National Skin Centre Singapura pada tahun 2005 mendapatkan laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan menderita tinea pedis.6 Penelitian oleh Ungpakorn et al di Thailand pada tahun 2004, mendapatkan rasio laki-laki dengan perempuan menderita tinea pedis adalah 3:1.48 Penelitian oleh Wahab et al di Bangladesh juga mendapatkan laki-laki lebih banyak menderita tinea pedis daripada perempuan.49

(13)

4.1.2 Kelompok usia

Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan kelompok usia

Usia N % tahun dan usia paling rendah adalah 18 tahun sedangkan usia paling tinggi adalah 68 tahun.

Mainiadi dalam penelitiannya di RSUP H.Adam Malik Medan mendapatkan usia 21-30 tahun (35%) yang terbanyak menderita dermatofitosis dengan infeksi sekunder.16 Penelitian retrospektif di RSUP H.Adam Malik Medan mendapatkan

usia dewasa (18-45 tahun) yang terbanyak menderita tinea pedis diikuti dengan usia lansia (> 45 tahun) yaitu 3,7% dan 3,5% dari seluruh dermatomikosis.8

Ungpakorn et al di Thailand mendapatkan pasien tinea pedis terbanyak pada usia 21-40 tahun.48 Wahab et al di Bangladesh mendapatkan dari 200 pasien yang didiagnosis secara klinis sebagai tinea pedis didapatkan paling banyak berusia 30-40 tahun sebanyak 60 orang (30%) dan usia 30-40-50 tahun sebanyak 62 orang (31%).49 Tan di The National Skin Centre Singapura menjumpai tinea pedis paling

(14)

Kairo mendapatkan tinea pedis paling sering pada usia 31-50 tahun.50 Penelitian di

Tunisia mendapatkan prevalensi paling tinggi mikosis pada kaki adalah pada usia 50-59 tahun, yaitu 76 %.51 Penelitian oleh Aste et al di Italia mendapatkan

prevalensi tinea pedis paling tinggi pada usia 31-45 tahun yaitu 30,8% diikuti usia 16-30 tahun yaitu 24,9%.47

Dari beberapa penelitian di atas diketahui bahwa prevalensi tinea pedis paling banyak pada usia dewasa dan meningkat dengan bertambahnya usia.9 Hal ini

mungkin dapat dijelaskan bahwa kelompok umur ini terutama aktif dalam bekerja sehingga lebih mudah terpapar dengan penyebab penyakit.47

4.1.3 Tingkat pendidikan

Tabel 4.3 Distribusi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan

Pendidikan N Persentase (%) subjek dengan tinea pedis paling banyak dijumpai adalah tamat SD sebanyak 17 orang (37,8%) dan berikutnya adalah tamat SMP dan tamat SMA masing-masing sebanyak 13 orang (28,9%).

Kurniawati yang meneliti tinea pedis pada populasi pemulung menjumpai pendidikan terbanyak adalah tamat SD diikuti dengan tamat SMP.46 Szepietowski

(15)

mempengaruhi terjadinya tinea pedis dan onikomikosis dimana dijumpai persentase yang lebih tinggi pada pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah (tingkat SD 42,9%, SMA 33,4%, perguruan tinggi 30,9%).52 Sementara

pada penelitian yang dilakukan oleh Aste et al di Italia mendapatkan pendidikan terbanyak adalah tingkat lanjut/ sekunder47 dan penelitian oleh Viegas et al di Portugis mendapatkan tingkat pendidikan tinggi yang lebih banyak dijumpai pada pasien tinea pedis.53

4.1.4 Pekerjaan

Tabel 4.4 Distribusi subjek penelitian berdasarkan pekerjaan

(16)

Mainiadi dalam penelitiannnya menjumpai ibu rumah tangga yang paling banyak menderita dermatofitosis dengan infeksi sekunder yaitu sebesar 40%.16 Tarigan dalam penelitiannya di asrama pendidikan militer di Sumatera Utara pada tahun 2009 mendapatkan proporsi tinea pedis adalah 80,2% di antara siswa militer menunjukkan calon tentara mempunyai faktor risiko untuk terjadinya tinea pedis.7 Penelitian oleh Jamaliyah mendapatkan proporsi tinea pedis sebesar 27,8% pada pekerja pabrik tahu di Medan.54

Sahin et al meneliti tentang dermatofitosis pada petani di Turki menemukan

porporsi tinea pedis yang tinggi yaitu pada 21 orang petani dari 467 orang

penduduk(17,7%).55 Penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia mendapatkan prevalensi tinea pedis tertinggi pada pekerja manual sebesar 70,8% dan pensiunan sebesar 71,4%.51 Dari penelitian yang dilakukan oleh Aste et al di Italia diketahui pekerjaan pasien yaitu pekerja industri kimia, pekerja di pertanian, pekerja kantor, ibu rumah tangga, dan pelajar.47

Subjek penelitian ini paling banyak adalah pembantu rumah tangga, yang dalam pekerjaannya sehari-hari selalu terpapar dengan air dalam waktu lama sehingga berisiko untuk terinfeksi jamur karena keadaan lembab atau basah akan memudahkan masuknya jamur.2,5 Demikian juga kelompok pekerja lainnya dalam

(17)

4.2 Hasil pemeriksaan KOH

Tabel 4.5 Distribusi hasil pemeriksaan KOH

KOH N Persentase (%)

Dari penelitian oleh Mainiadi diketahui hasil pemeriksaan KOH dari 40 kasus dermatofitosis disertai infeksi sekunder dijumpai struktur jamur yang paling sering adalah hifa sebesar 62,5%, berikutnya hifa disertai spora sebesar 37,5%.16 Demikian juga penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia mendapatkan dari 63 subjek dengan KOH positif dijumpai filamen pada 46 kasus (73 %), spora pada 6 kasus (9,5%) dan keduanya pada 11 kasus (17,5%).51

Struktur hifa jamur dermatofita yang dijumpai pada pemeriksaan langsung dengan KOH berbentuk filamen yang panjang, bercabang dan bersepta dengan diameter 3-8μ. Filamen tersebut memiliki indeks bias yang berbeda dengan sekitarnya. Artrokonidia yang dijumpai berupa deretan spora di ujung hifa (chains of rectangular spores).1

(18)

4.3. Gambaran Klinis Tinea Pedis

Tabel 4.6 Distribusi tinea pedis berdasarkan gambaran klinis

Tipe Tinea pedis n Persentase (%)

Tabel 4.6 menunjukkan tipe klinis tinea pedis yang terbanyak dijumpai adalah tipe interdigitalis yaitu pada 40 kasus (88,9 %), diikuti dengan tipe campuran interdigitalis dan vesikobulosa pada 2 kasus (4,4%), tipe campuran interdigitalis dan vesikobulosa pada dua kasus (4,4%) dan tipe vesikobulosa dijumpai pada satu kasus (2,2%).

Tarigan menjumpai tinea pedis tipe interdigitalis yang paling banyak pada siswa militer yaitu pada 60 orang dari 77 orang (78,3%) yang hasil kulturnya positif.7

Tan di Singapura melaporkan tinea pedis tipe kering interdigitalis dan mokasin yang paling sering dijumpai diikuti dengan tipe vesikular.5 Sedangkan Ungpakorn di Thailand menjumpai tinea pedis pada telapak kaki 5,5 kali lebih sering daripada sela jari kaki dari pasien rawat jalan yang berkunjung ke Institusi Dermatologi Bangkok.48 Penelitian oleh Erbagci et al di Turki diketahui bahwa

(19)

papuloskuamosa adalah tipe yang paling sering diikuti dengan tipe intertriginosa, hiperkeratotik dan vesikobulosa.49 Di Tunisia, El Fekih et al melaporkan tinea pedis tipe interdigitalis adalah paling sering dijumpai diikuti dengan tipe hiperkeratotik dan tipe campuran interdigitalis dan hiperkeratotik.51 Penelitian oleh Kawai et al di RSJ Jepang menjumpai tipe yang paling banyak adalah interdigitalis yaitu 35%, kemudian interdigitalis dan hiperkeratotik 34%, hiperkeratotik 21%, dan vesikular 10%.57 Aste et al di Italia mendapatkan tipe yang paling sering adalah tipe intertriginosa sebanyak 75%, diikuti dengan tipe hiperkeratotik dan intertriginosa 8,9%, dishidrotik 6,6%, hiperkeratotik 5,9%, dishidrotik dan intertriginosa 3,6%.47 Szepietowski et al menjumpai 933 pasien dengan tinea pedis terdiri dari tipe interdigitalis 65,4%, dishidrotik 11%, hiperkeratotik 11,3%, interdigitalis dan dishidrotik 4,8%, interdigitalis dan hiperkeratotik 6,3%.52

Tipe yang paling sering dijumpai adalah tipe interdigitalis yang dicirikan

dengan kulit yang terkelupas, maserasi dan fisura yang mengenai sela jari kaki

lateral, dan kadang-kadang menyebar dan melibatkan permukaan bawah jari kaki.

Berikutnya adalah tipe hiperkeratotik / mokasin yang juga umum dijumpai, bersifat kronik dan resisten terhadap pengobatan, mengenai telapak kaki, tumit dan

bagian samping kaki. Daerah yang terkena berwarna kemerahan dan ditutupi

skuama putih perak halus sedangkan permukaan dorsal jari kaki dan kaki jarang

terkena.3

Tipe vesikobulosa dan tipe ulseratif lebih sedikit dijumpai. Reaksi adakalanya meluas ke seluruh telapak kaki yang mungkin didahului dengan maserasi atau

fisura pada sela jari kaki berbulan atau bertahun sebelumnya. Vesikel dapat

(20)

bercampur dengan kulit normal, atau menunjukkan skuama dan inflamasi dengan

derajat bervariasi. Tipe ini sering menyembuh spontan, tetapi cenderung untuk

kambuh pada musim panas dan kondisi lembab dan panas.3 Gambaran klinis yang

melibatkan beberapa tipe ini dapat juga dijumpai.2

4.4 Identifikasi Spesies Dermatofita pada Tinea Pedis

Tabel 4.7 Distribusi spesies dermatofita dan nondermatofita dari kultur jamur

Jamur N Persentase (%) kultur jamur didapatkan 39 spesimen tumbuh dermatofita. Spesies dermatofita yang paling banyak didapat adalah T.mentagrophytes sebanyak 20 spesimen (44,4%), selanjutnya T.rubrum sebanyak 15 spesimen (33,3%). Dijumpai juga

(21)

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan yang mendapatkan T.mentagrophytes yang paling banyak dijumpai pada lesi tinea pedis yaitu sebanyak 69 spesimen (89,6%) dari 77 spesimen dengan kultur positif, diikuti dengan E.floccosum sebanyak 5 spesimen (6,5%) dan T.rubrum sebanyak 3 spesimen (3,9%).7

Tan di Singapura melaporkan tinea pedis merupakan dermatofitosis yang paling umum dijumpai dimana T.interdigitale adalah penyebab yang paling sering diikuti dengan T.rubrum.5 Namun penelitian Ungpakorn et al di Thailand

menemukan mold nondermatofita Scytalidium dimidiatum adalah penyebab terbanyak tinea pedis sebesar 54%, diikuti dengan dermatofita sebesar 36,8% terdiri dari T. mentagrophytes 18,4%, T.rubrum 13,2% dan E.floccosum 5,2%.48

Di Malaysia, tinea pedis jarang dijumpai, dapat diketahui berdasarkan laporan penelitian retrospektif dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2000 dimana hanya dijumpai 13 orang dengan tinea pedis dari 576 pasien dengan hasil kultur positif dermatofita, dimana didapatkan T. rubrum pada 5 kasus , T. mentagrophytes pada 3 kasus, M. canis pada 3 kasus, dan M. gypseum pada 2 kasus.58 Hal yang sama

dijumpai juga di India dimana pada penelitian oleh Pandey et al, kasus tinea pedis tidak banyak dijumpai dan dermatofita yang sering terlibat adalah

T.mentagrophytes diikuti dengan T. rubrum.59

(22)

Di Italia, Aste et al menjumpai penyebab tinea pedis yang terutama adalah T. mentagrophytes (51,5%), diikuti dengan T. rubrum (45,2%) dan E. floccosum

(3,3%).47 Penelitian oleh Djeridane et al di Algeria mendapatkan dermatofita yang

sering dijumpai pada lesi tinea pedis adalah T. rubrum 17%, diikuti dengan T. interdigitale 13%, T.violaceum 6%, T. mentagrophytes 2,4%, dan E. floccosum

2,4%.61

Umumnya spesies dermatofita penyebab tinea pedis adalah T. rubrum, T. mentagrophytes dan E. floccosum. Spesies dermatofita lainnya seperti T.violaceum

dapat dijumpai dominan pada satu wilayah tertentu.60 T. violaceum diketahui merupakan patogen utama penyebab tinea kapitis terutama di Asia dan Afrika.10,15 Meskipun jarang, spesies dermatofita lainnya juga dapat terlibat seperti T. verrucosum, M. canis, M. gypseum.58 Sementara itu Paecilomyces sp ataupun

Aspergilus sp merupakan jamur saprofit yang sering dijumpai di laboratorium sebagai jamur kontaminan.62

(23)

4.5 Identifikasi Superinfeksi Bakteri pada Tinea Pedis Tabel 4.8 Distribusi spesies bakteri dari hasil kultur

Bakteri n % dermatofita, pada kultur bakteri didapat yang paling banyak tumbuh adalah kokus Gram positif S.aureus sebanyak 12 spesimen (30,8%), disusul dengan batang Gram negatif K.oxytoca sebanyak 6 spesimen (15,4%), E.coli dijumpai pada 5 spesimen (12,8%). Selain itu terdapat juga pertumbuhan S.epidermidis, B.subtilis,

K.pneumoniae dan P.vulgaris. Terdapat juga pertumbuhan 2 jenis bakteri pada satu spesimen yaitu S.aureus dan K.pneumoniae dan S.epidermidis dan E.coli. Pada 4 spesimen sama sekali tidak ada pertumbuhan bakteri (TAPB).

(24)

Chuku et al di Nigeria meneliti identifikasi bakteri yang berhubungan dengan infeksi jamur pada kulit dan jaringan lunak, menjumpai dari 940 sampel yang diambil dari kerokan kulit dan kuku terdapat pertumbuhan bakteri pada seluruh sampel (100%) yaitu S.aureus 125 sampel (13.3%), S.epidermidis 145 sampel (15.8%), Micrococcus luteus 233 sampel (24.8%), α-hemolytic Streptococci 89 sampel (9.5%), E.coli 59 sampel (6.3%), Proteus mirabilis 113 sampel (12%),

B.subtilis 78 sampel (8.3%) dan K. pneumoniae 98(10.4%).14

(25)

4.6 Identifikasi Spesies Dermatofita Berdasarkan Tipe Klinis Tinea Pedis Tabel 4.9 Distribusi spesies dermatofita berdasarkan tipe klinis tinea pedis

Spesies ditemukan T.mentagrophytes yang terbanyak yaitu pada 17 kasus (43,6%) diikuti oleh T.rubrum sebanyak 13 kasus (33,3%), selain itu dijumpai juga T.violaceum

dan E.floccosum masing-masing pada 2 kasus (5,1%). Pada tinea pedis tipe vesikobulosa ditemukan T.rubrum. Pada 2 kasus tipe campuran interdigitalis dan vesikobulosa dijumpai T.mentagrophytes dan T.rubrum. Pada dua kasus interdigitalis dan hiperkeratotik dijumpai T.mentagrophytes.

(26)

rubrum yang paling banyak dijumpai dan pada satu kasus tipe mokasin dijumpai

E. floccosum.63 Penelitian oleh El Fekih et al di Tunisia menjumpai pada tipe interdigitalis penyebabnya adalah T. rubrum, demikian juga pada tipe campuran interdigitalis dan hiperkeratotik.51

Penelitian oleh Ahmad et al di Pakistan yang meneliti etiologi infeksi jamur pada sela jari kaki, dari 118 pasien, 60 orang (50,8%) pasien dengan hasil kultur positif jamur, patogen yang paling umum diisolasi adalah Candida albicans pada 36 kasus (60%), diikuti dengan T.rubrum pada 19 kasus (31.7%), T. violaceum

pada 4 kasus (6.6%), dan Epidermophyton floccosum 1 kasus (1.7%).64

Tipe interdigitalis dapat disebabkan oleh ketiga spesies utama yaitu T.rubrum,

T.mentagrophytes dan E. floccosum. Tipe hiperkeratotik paling sering disebabkan

oleh infeksi T. rubrum. Infeksi T. mentagrophytes var interdigitale bervariasi dari

skuama ringan pada sela jari kaki sampai reaksi inflamasi akut dan berat mengenai

seluruh bagian kaki. Tipe vesikobulosa utamanya disebabkan T. mentagrophytes

var interdigitale, namun demikian terdapat juga laporan disebabkan infeksi

T.rubrum. Selain intertrigo ringan, E. floccosum dapat menyebabkan infeksi

vesikular pada telapak kaki sama dengan tipikal infeksi T. mentagrophytes var

(27)

4.7 Identifikasi Spesies Bakteri Berdasarkan Tipe Klinis Tinea Pedis Tabel 4.10 Distribusi spesies bakteri berdasarkan tipe klinis tinea pedis

Spesies

Dari tabel 4.10 dapat diketahui pada tinea pedis tipe interdigitalis dijumpai yang paling sering adalah S.aureus pada 11 kasus (28,2%), diikuti dengan

K.oxytoca pada 5 kasus (12,8%), S.epidermidis dan E.coli masing-masing pada 4 kasus (10,3%). Selain itu juga dijumpai B.subtilis, K.pneumoniae,P.vulgaris.

Infeksi campuran S.aureus dan K. pneumoniae ditemukan pada satu kasus sedangkan pada 3 kasus TAPB.

Tabel di atas juga menunjukkan pada tipe vesikobulosa dijumpai bakteri

K.pneumoniae. Pada tipe interdigitalis dan vesikobulosa dijumpai batang Gram negatif E.coli pada satu kasus dan pada satu kasus lagi dijumpai bakteri Gram positif S. aureus. Pada tipe interdigitalis dan hiperkeratotik dijumpai batang Gram negatif K.oxytoca pada satu kasus dan pada satu kasus lainnya TAPB.

(28)

positif untuk bakteri, patogen yang paling umum diisolasi adalah Staphylococcus aureus pada 25 kasus (83.4%), Pseudomanas aeruginosa pada 3 kasus (10%) dan

Proteus spp dan β-hemolytic Streptococci pada satu kasus (3.3%) masing-masing.64

Pada penelitian ini dijumpai beberapa jenis bakteri pada tipe interdigitalis seperti S. aureus yang paling banyak dijumpai, berikutnya bakteri residen S. epidermidis, batang Gram positif B.subtilis dan dijumpai juga bakteri Gram negatif seperti Klebsiella sp, E.coli, dan Proteus sp. Hal ini menunjukkan pada tipe interdigitalis terdapat peran bakteri Gram positif dalam menghasilkan manifestasi klinis tinea pedis yang disebut dengan dermatofitosis kompleks. Tetapi terdapat tiga kasus dimana tidak dijumpai pertumbuhan bakteri (TAPB) yang menunjukkan pada kasus ini adalah tinea pedis tanpa keterlibatan jamur dermatofita disebut dengan dermatofitosis simpleks.

Menurut Leyden et al dermatofitosis simpleks sebagai infeksi jamur yang murni. Namun ketika daerah sela jari kaki mengalami hidrasi berlebihan, bakteri mikroflora residen seperti kokus dan difteroid tumbuh dengan cepat, bermanifestasi sebagai dermatofitosis kompleks yang menunjukkan kolaborasi antara dermatofita dan bakteri. Pada kasus dermatofitosis kompleks yang lebih berat, organisme Gram negatif masuk dan menambah berat gambaran klinis.11 Pada keadaan dominasi pertumbuhan bakteri Gram negatif seperti

(29)

yang dihasilkan oleh bakteri Gram negatif juga berkontribusi mengurangi kehadiran jamur sehingga kultur menunjukkan bakteri Gram negatif tetapi tidak ada patogen jamur.65

Dari penelitian ini diketahui pada tipe vesikobulosa dijumpai K. pneumoniae. Pada tipe campuran vesikobulosa dan interdigitalis dijumpai S.aureus pada satu kasus dan E.coli pada kasus lainnya. Temuan ini menunjukkan kemungkinan terjadinya superinfeksi pada lesi tinea pedis. Pada tinea pedis tipe vesikobulosa, biasanya vesikel berisi cairan jernih tetapi dapat menjadi pustul yang berisi pus mengindikasikan adanya infeksi bakteri sekunder, yang paling sering adalah dengan S. aureus atau Strptococcus group A.65

Pada penelitian ini diketahui terdapat dua kasus dengan tipe campuran interdigitalis dan hiperkeratotik dimana pada satu kasus tumbuh K.oxytoca, hal ini menunjukkan kemungkinan keterlibatan bakteri Gram negatif pada kasus ini. Sedangkan pada kasus lainnya TAPB, yang menunjukkan suatu dermatofitosis simpleks.

Keterbatasan penelitian ini adalah hanya melakukan identifikasi bakteri pada lesi tinea pedis tanpa melakukan penilaian secara kuantitatif, sehingga tidak dapat diketahui seberapa besar peranan bakteri dalam memperberat lesi tinea pedis dan tidak dapat memastikan apakah bakteri Gram negatif yang dijumpai adalah bakteri patogen atau transien.

(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Spesies dermatofita yang paling banyak didapat adalah T.mentagrophytes

sebanyak 20 kasus (44,4%), diikuti dengan T. rubrum sebanyak 15 kasus (33,3%). Selain itu juga dijumpai T.violaceum dan E.floccosum.

2. Spesies bakteri yang paling banyak didapat adalah S.aureus sebanyak 12 kasus (30,8%), disusul dengan K.oxytoca, S.epidermidis, E.coli B.subtilis,

K.pneumoniae dan Proteus sp.

3. Gambaran klinis pasien tinea pedis paling banyak adalah tipe interdigitalis sebanyak 40 kasus (88,9 %). Selain itu juga dijumpai tipe vesikobulosa, tipe campuran interdigitalis dan hiperkeratotik, dan tipe campuran interdigitalis dan vesikobulosa.

4. Spesies dermatofita yang paling banyak ditemukan pada tinea pedis tipe interdigitalis adalah T.mentagrophytes yaitu pada 17 kasus (43,6%), diikuti dengan T.rubrum sebanyak 13 kasus (33,3%), selain itu dijumpai juga

T.violaceum dan E.floccosum. Dijumpai satu kasus tinea pedis tipe vesikobulosa dengan penyebab T.rubrum. Dijumpai tipe campuran yaitu interdigitalis dan vesikobulosa pada dua kasus dengan jamur penyebab pada satu kasus T. mentagrophytes dan kasus lain dijumpai T.rubrum dan dua kasus interdigitalis dan hiperkeratotik, pada keduanya dijumpai

(31)

5. Bakteri yang paling banyak ditemukan pada tinea pedis tipe interdigitalis adalah S.aureus yaitu pada 11 kasus (28,2%), diikuti dengan K.oxytoca,

S.epidermidis, E.coli, B.subtilis K.pneumoniae, Proteus vulgaris, infeksi campuran S.aureus dan K. pneumoniae. Pada tipe vesikobulosa dijumpai bakteri K.pneumoniae. Pada tipe campuran interdigitalis dan vesikobulosa dijumpai pada satu kasus E.coli dan kasus lainnya S. aureus. Pada tipe campuran interdigitalis dan hiperkeratotik dijumpai K.oxytoca.

6. Karakteristik subjek penelitian yaitu jumlah subjek yang menderita tinea pedis tidak jauh berbeda antara laki-laki (48,9%) dan perempuan (51,1%), paling banyak pada kelompok usia 37-46 tahun (28,9%) dan 47-56 tahun (26,7%), pendidikan tamat SD (37,8%), dan pekerjaan pembantu rumah tangga (22,2%).

5.2. Saran

1. Melakukan penelitian dengan tehnik yang lebih spesifik seperti PCR untuk mengetahui dermatofita dan superinfeksi bakteri pada tinea pedis.

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka operasional
Tabel 4.2  Distribusi subjek penelitian berdasarkan kelompok usia
Tabel 4.3  Distribusi subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan
Tabel 4.5  Distribusi hasil pemeriksaan KOH
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pada buku bagian batang bawah dari ruas tumbuh daun pelepah yang.. membalut ruas sampai buku bagian atas

lactis sebanyak 50 µl yang diinokulasikan ke dalam 10 ml medium kultur pembenihan dan diinkubasi statis pada suhu 30°C selama 6 jam; prakultur ( pre-culture ) menggunakan 100µl

Ratakan air ke celah telinga, hidung, mata, ketiak, pusat, celah paha, qubul dan dubur dalam keadaan mencangkung.. Mendahulukan anggota kanan

Dari penelitian yang telah dilaksanakan, perlakuan interaksi sistem tanam legowo dan varietas padi sawah tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah anakan

Nilai Income Over Feed and Chick Cost berpengaruh nyata antar perlakuan karena meskipun bobot potong yang diperoleh selama penelitian tidak berbeda nyata tetapi

Pemain boleh menggunakan semua kemahiran asas sepak takraw seperti sepak sila, sepak kuda, tandukan, rejaman dan hadangan dalam permainan ini namun hanya sepakan

Sehingga dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian untuk merancang jaringan akses fiber to the home (FTTH) melalui saluran pencatu bawah tanah (SPBT) atau yang

Jika vaksin tidak disimpan di lemari es dalam suhu (+2°C) – (+8°C) atau vaksin telah melewati tanggal kadaluarsa atau vaksin DPT memiliki VVM bukan A atau B maka kualitas rantai