BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
2.1. Kebudayaan
Manusia merupakan makhluk yang berbudaya, karena manusia
memiliki akal dan budi (pikiran dan perasaan) yang mereka gunakan
untuk bertahan hidup. Kebudayaan merupakan suatu pedoman atau suatu
dasar bagi manusia dalam melakukan suatu tindakan. Kebudayaan
merupakan pedoman dasar bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
untuk bertindak mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, adat istiadat
serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Kebudayaan itu dikonseptualisasikan oleh anggota
masyarakat sebagai pedoman tentang apa yang seharusnya diketahui,
bagaimana sesuatu itu diperlukan, dan apa saja yang seharusnya
diwariskan kepada generasi selanjutnya (Sulasman, 2013: 94).
Kebudayaan merupakan hasil pemikiran dari manusia yang dapat
diwariskan untuk generasi masa depan, berikut merupakan pengertian
kebudayaan menurut beberapa ahli, diantaranya:
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180).
Manusia adalah inti kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan proses
perkembangan manusia itu, di dalam dunia, di dalam sejarah.
Kebudayaan adalah segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran,
kemauan, serta perasaan manusia, dalam rangka perkembangan
kepribadiannya, perkembangan hubungan manusia dengan manusia,
hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa (Moertopo, 1978: 5)
Menurut Selo Soemardjan dalam Supangkat (2014: 14), kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta suatu masyarakat. Kebudayaan
Kebudayaan material adalah hasil karya, rasa dan cipta masyarakat yang
kasat mata, misalnya mumi, candi dan sebagainya. Sedangkan
kebudayaan non material adalah hasil karya, rasa dan cipta masyarakat
seperti bahasa, kesenian, dongeng, musik dan sebagainya.
Dalam proses perkembangannya, kebudayaan telah melalui
beberapa fase atau tahap. Tahap-tahap inilah yang kemudian disebut
Perseun sebagai strategi kebudayaan. Menurut Peursen (1976: 18),
terdapat tiga tahap dalam perkembangan kebudayaan, antara lain:
a. Tahap Mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung
oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa
alam raya atau kekuasaan kesuburan seperti dipentaskan dalam
mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif.
b. Tahap Ontologis, yaitu sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam
kepungan kekuasaan mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti
segala hal ihwal. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu
yang dulu dirasakan sebagai kepungan.
c. Tahap fungsional, yaitu sikap dan alam pikiran yang makin Nampak
dalam manusia modern, ia tidak begitu terpesona lagi oleh
lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil
jarak terhadap objek penyelidikannya (sikap ontologis), namun manusia
ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru
terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya.
Dewasa ini manusia telah memposisikan diri pada tahap
fungsional, manusia lebih modern yaitu dengan keterbukaan pemikiran
mereka, serta luasnya jaringan atau hubungan dengan sesama yang telah
mereka bangun.
2.2. Kelompok
Pada dasarnya manusia adalah mahluk individu yang juga mahluk
sosial, karena cenderung hidup mengelempok dan membentuk satu satuan
terbentuk dari beberapa (kumpulan) individu yang memiliki tujuan dan
minat (hobby) terhadap sesuatu yang sama.
Menurut Ibrahim (2003: 64), kelompok adalah suatu sistem sosial
yang terdiri dari sejumlah orang yang berinteraksi satu sama lain dan
terlibat dalam satu kegiatan bersama atau sejumlah orang yang
mengadakan hubungan tatap muka secara berkala karena mempunyai
tujuan dan sikap bersama; hubungan-hubungan yang diatur oleh
norma-norma; tindakan-tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan kedudukan
(status) dan peranan (role) masing-masing dan antara orang-orang itu
terdapat rasa ketergantungan satu sama lain, kemudian Bierstedt dalam
Sunarto (2004, 125-126), Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk
membedakan jenis kelompok, yaitu ada tidaknya organisasi, hubungan
sosial diantara anggota kelompok, dan kesadaran jenis. Berdasarkan
kriteria tersebut Bierstedt kemudian membedakannya menjadi empat jenis
kelompok:
a. Kelompok asosiasi, yaitu jenis kelompok jenis ketiga yang memenuhi
kriteria tersebut di atas. Dalam jenis kelompok ini para anggotanya
mempunyai kesadaran jenis, pada kelompok ini dijumpai persamaan
kepentingan pribadi (like interest) maupun kepentingan bersama
(common interest). Di samping itu di antara para anggota kelompok
asosiasi kita jumpai adanya hubungan sosial, adanya kontak dan
komunikasi. Selain itu para anggota dijumpai adanya ikatan organisasi
formal.
b. Kelompok sosial, yaitu kelompok jenis kedua merupakan kelompok
yang anggotanya mempunyai kesadaran jenis dan berhubungan satu
dengan yang lain tetapi tidak terikat dalam organisasi.
c. Kelompok kemasyarakatan, kelompok jenis ketiga merupakan
kelompok yang hanya memenuhi satu persyaratan, yaitu kesadaran
akan persamaan diantara mereka. Di dalam kelompok jenis ini belum
ada kontak dan komunikasi di antara anggota, dan juga belum ada
d. Kelompok statistik, merupakan kelompok yang tidak memenuhi ketiga
kriteria tersebut di atas, kelompok yang merupakan bukan organisasi,
tidak ada hubungan sosial antar anggota dan tidak ada kesadaran jenis.
2.3. Interaksi Sosial
Interaksi menjadi salah satu hal yang paling penting bagi manusia
sebagai makhluk sosial. Interaksi sosial merupakan komponen utama
dalam kehidupan bersosial. Interaksi sosial merupakan suatu hubungan
antara individu satu dengan individu lainnya dimana individu yang satu
dapat mempengaruhi individu yang lainnya sehingga terdapat hubungan
yang saling timbal balik (Walgito, 2003: 65).
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam suatu kelompok pasti
terbentuk pola-pola interaksi sosial, baik antar anggota (individu dengan
individu), anggota dengan kelompok, maupun kelompok dengan
kelompok, pola-pola interaksi inilah yang mempengaruhi hubungan,
status, bahkan struktur sosial seseorang atau kelompok. Interaksi sosial
terwujud dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tujuan dan akibat dari
interaksi sosial tersebut, menurut Soekanto (1982) dalam Wiloso (2010:
27), bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerjasama (cooperation),
persaingan (competition), bahkan juga berbentuk pertentangan atau
pertikaian (conflict).
Menurut Soekanto (2014: 65), pokok interaksi sosial terbagi atas dua proses, yaitu :
1. Proses Asosiatif, terdiri atas;
a. Kerjasama (cooperation), timbul karena orientasi orang perorangan
terhadap kelompoknya dan kelompok yang lain, meliputi lima
bentuk; kerukunan yang mencakup gotong-royong dan
tolong-menolong; bargaining (pelaksanaan perjanjian mengenai
pertukaran barang dan jasa antara dua kelompok atau lebih);
cooptation (proses penerimaan unsur-unsur baru dalam
sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan
dalam stabilitas kelompok yang bersangkutan); coalition
(kombinasi antara dua kelompok atau lebih yang memiliki
kesamaan tujuan); joint venture (kerja sama dalam pengadaan
proyek-proyek tertentu).
b. Akomodasi, yaitu menunjuk pada suatu keadaan dan suatu yang
menunjuk pada proses, bentuknya; coercion (suatu bentuk
akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya
paksaan; compromise (dimana pihak-pihak yang terlibat saling
mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap
perselisihan yang ada; arbitration (suatu cara untuk mencapai
compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup
mencapainya sendiri; meditation (dengan mendatangkan pihak
ketiga yang netral dala perselisihan yang ada; conciliation (suatu
usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan yang ada demi
mencapai persetujuan bersama; toleration (suatu bentuk akomodasi
tanpa persetujuan yang formal bentuknya; stalemate (pihak-pihak
yang bertentangan karena mempunyai kekuatan seimbang berhenti
pada suatu titik tertentu dalam pertentangannya; adjudication (yaitu
penyelesaian perkara di pengadilan).
c. Asimilasi, suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai
dengan adanya usaha-usaha dengan mengurangi
perbedaan-perbedaan yang terdapat antara individu atau kelompok dan juga
meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap
dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan dan
tujuan bersama.
2. Proses Disosiatif
a. Persaingan (competition), interaksi yang dilakukan individu
maupun kelompok sosial yang saling bersaing untuk
menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang telah
ada tanpa menggunakan kekerasan.
b. Kontravensi (Contravention), merupakan proses sosial yang
berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian,
kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi
terhadap orang-orang lain atau terhadap unsure-unsur
kebudayaan golongan tertentu. Bentuknya; penolakan,
perlawanan; menyangkal pernyataan orang lain didepan
umum; penghasutan; berkhianat; mengejutkan lawan.
c. Pertentangan (conflict), merupakan bentuk interaksi antar
individu atau kelompok sosial yang berusaha mencapai
tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai
ancaman atau tindakan kekerasan.
2.4. Identitas Budaya
Kebudayaan dapat mempengaruhi dan membentuk sebuah identitas
bagi seseorang, suatu kelompok, atau bahkan suatu wilayah. Setiap
wilayah pasti memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masing-masing
ciri khas yang mereka tampilkan, sehingga hal tersebut muncul menjadi
suatu identitas budaya bagi suatu wilayah. Menurut Jameson (2007:
207-208), identitas budaya merupakan suatu hasil (output) dari suatu
kebudayaan Identitas budaya mengacu pada pengertian individu yang
berasal dari keanggotaan formal atau informal dalam kelompok yang
meneruskan dan menanamkan pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, tradisi
dan cara hidup. Perhatian identitas budaya adalah mengenai apa yang telah
dipelajari seseorang di masa lalu dan bagaimana mereka menggunakannya
untuk mempengaruhi masa depan, sedangkan menurut Liliweri (2007: 87),
Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang
itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu, itu meliputi
pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama,
identitas budaya merupakan label yang diterima oleh seseorang, kelompok
atau suatu wilayah atas ciri khas budaya yang dimilikinya.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi identitas budaya, secara teoritis
pembentukan identitas merupakan pemberian makna dari (self-meaning)
yang ditampilkan dalam relasi antarmanusia. Identitas budaya
dikembangkan melalui proses yang meliputi beberapa tahap antara lain
(Liliweri, 2007: 82-86):
a. Identitas Budaya Yang Tidak Disengaja
Pada tahap ini, identitas budaya terbentuk secara tidak disengaja atau
tidak disadari. Individu terpengaruh oleh tampilan budaya dominan
hanya karena individu merasa budaya milik individu kurang
akomodatif, lalu individu tersebut ikut-ikutan membentuk identitas
baru.
b. Pencarian Identitas Budaya
Pencarian identitas budaya meliputi sebuah proses penjajakan,
bertanya, dan uji coba atas sebuah identitas lain. Agak berbeda dengan
identitas yang diwariskan dan dipelajari oleh generasi berikutnya
secara tanpa sadar, cultural identity search membutuhkan proses
pencarian identitas budaya, pelacakan, dan pembelajaran budaya.
c. Identitas Budaya Yang Diperoleh
Yang selanjutnya adalah cultural identity achievement, yaitu sebuah
identitas yang dicirikan oleh kejelasan dan keyakinan terhadap
penerimaan diri individu melalui internalisasi kebudayaan sehingga
budaya tersebut membentuk identitas individu.
d. Konformasi: Internalisasi
Proses pembentukan identitas dapat diperoleh melalui internalisasi
yang membentuk konformasi. Jadi proses internalisasi berfungsi untuk
membuat norma-norma yang individu miliki menjadi sama
(konformasi) dengan norma-norma yang dominan, atau membuat
Ditahap inilah makin banyak orang melihat dirinya melalui lensa dari
kultur dominan dam bukan dari kultur asal.
e. Resistensi dan Separatisme
Resistensi dan separatisme adalah pembentukan identitas sebuah
kultur dari sebuah komunitas tertentu (yang kadang-kadang
merupakan komunitas minoritas dari sebuah suku bangsa, etnik,
bahkan agama) sebagai suatu komunitas yang berperilaku eksklusif
untuk menolak norma-norma kultur dominan.
f. Integrasi
Pembentukan identitas dapat dilakukan melalui integrasi budaya,
dimana seseorang atau sekelompok orang mengembangkan identitas
baru yang merupakan hasil dari integrasi pelbagai budaya dari
2.5. Kerangka Teori Kelompok Drumblek Kelompok Drumblek Kelompok Drumblek Kelompok Drumblek PAGUYUBAN DRUMBLEK SALATIGA
Kerjasama (Cooperation)
• Bargaining
• Cooptation
• Coalition
Persaingan (competition) Pertentangan
(conflict)
Paguyuban Drumblek Salatiga (PDS) terdiri dari
kelompok-kelompok Drumblek. Dalam pemetaan kerangka di atas, strategi yang
digunakan PDS untuk membangun sebuah identitas budaya adalah
interaksi sosial (Soekanto, 1982), yang didalamnya terjadi kerjasama
(cooperation) baik antar individu, individu dengan kelompok, maupun
antar kelompok satu dengan kelompok lain. Selanjutnya ada persaingan
(competition), dan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya konflik
atas persaingan tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti akan
menggambarkan bagaimana strategi PDS dalam mengelola
interkasi-interaksi sosial yang terjadi antar kelompok dalam paguyuban tersebut,