Boks 1
POTENSI KELAPA DALAM DI SULAWESI TENGGARA
Tanaman kelapa merupakan salah satu tanaman yang telah dibudidayakan oleh
masyarakat di Sulawesi Tenggara baik menggunakan lahan pemukiman dengan jumlah yang
sangat terbatas maupun yang dilakukan pada lahan yang luas untuk tujuan kemersial.
Berdasarkan hasil studi potensi kelapa dalam di Sulawesi Tenggara dapat digambarkan
bahwa areal potensi kelapa yang tersebar di 12 kabupaten/kota pada tahun 2007 memiliki
luas 55.710 ha. Sentra pengembangan dan potensi kelapa berdasarkan kabupaten/kota
teratas di Sulawesi Tenggara berada di Kabupaten Bombana dengan luas 16.716 ha
(30,01%), Kabupaten Konawe 6.789 ha (12,20%), Kabupaten Muna 4.512 ha (8,10%),
Kabupaten Wakatobi dengan luas 4.500 ha atau sekitar 8,08%. Sedangkan produksi olahan
tanaman kelapa berupa kopra pada tahun yang sama sebesar 49.136,66 ton. Sentra
produksi terbesar berada di Kabupaten Bombana dengan jumlah sebesar 15.253 ton
(31,04%), Kabupaten Wakatobi 5.651 ton (11,50%), Kabupaten Konawe 4.955 ton
(10,08%) dan Kabupaten Buton Utara 4.418 ton (8,99%) serta Kabupaten Muna sebesar
4.354 ton atau sebesar 8,86%. Kota Kendari dan Kota Bau – Bau merupakan penyumbang
terkecil baik dari aspek luas areal maupun produksi. Produksi hasil tanaman kelapa di jual
secara gelondongan pada kedua kota tersebut di atas,
Aspek Teknis Pengelolaan Kelapa Dalam di Sulawesi Tenggara
Aspek Budidaya
Teknis budidaya kelapa yang saat ini dilakukan oleh masyarakat adalah secara
tumpang sari. Berdasarkan hasil studi diperoleh hasil bahwa jarak tanam yang diterapkan
petani rata-rata 8m x 9m. Dengan asumsi jarak tersebut, maka rata-rata populasi tanaman
kelapa per satu hektar sebanyak ± 138 pohon.
Berdasarkan usianya, sebagian besar umur tanaman kelapa saat ini berkisar antara 25
- 60 tahun, bahkan dijumpai kelapa yang berumur 70 – 90 tahun yang masih berproduksi
pada beberapa daerah seperti di Kabupaten Wakatobi dan Buton Utara. Tanaman kelapa
yang telah berumur di atas 60 tahun dikategorikan sebagai Tanaman Tua Renta (TTR) yang
produksinya relatif kecil antara 5 – 15 biji/buah dalam satu musim panen.
Peremajaan tanaman pada umumnya sangat kurang dilakukan oleh petani. Kondisi ini
disebabkan oleh karena :
- Rendahnya harga yang berlaku pada hasil tanaman kelapa baik berupa biji, minyak maupun kopra.
- Serangan hama babi pada tanaman umur 0 – 3 tahun.
- Umur tanaman mulai menghasilkan sangat panjang diatas 7 tahun.
Pemeliharaan tanaman sebagian besar dilakukan pada saat memasuki musim panen
melalui pembersihan di sekitar tanaman kelapa. Biaya yang dikeluarkan dalam pembersihan
tanaman relatif sama di seluruh lokasi studi yakni antara Rp500 – Rp1.000,- per pohon.
Sehingga dalam 1 hektar petani dapat mengeluarkan biaya pembersihan sebesar Rp69.000
– Rp138.000,- dengan asumsi 1 ha terdapat 138 pohon.
Aspek Produksi
Umur produktif tanaman kelapa berada pada usia tanaman 15 – 50 tahun. Lokasi
penanaman sangat menentukan produksi/buah kelapa yang dihasilkan dalam 1 pohon. Pada
lokasi dataran/pesisir dapat menghasilkan buah antara 35 – 50 biji per musim panen.
Sedangkan pada daerah perbukitan dan daerah – daerah dengan tingkat kesuburan tanah
yang rendah seperti di beberapa wilayah kepulauan hanya menghasilkan 15 – 35 biji kelapa
per musim. Musim panen dilakukan setiap 3 bulan dengan produksi rara-rata 30 biji per
pohon. Sehingga dalam 1 hektar dapat menghasilkan biji kelapa sebanyak 4.140 per panen.
Sebagian besar petani kelapa di lokasi studi melakukan pengolahan biji kelapa menjadi
kopra dan hanya sebagian kecil petani yang melakukan pengolahan dalam bentuk minyak.
Dalam 1 kg kopra membutuhkan biji kelapa sebanyak 3 – 5 biji, sedangkan bila diolah
menjadi minyak membutuhkan 7 – 9 biji kelapa per botol. Produksi minyak yang dilakukan
petani untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan untuk pasar lokal dengan harga Rp5.000 –
Rp6.000,- per botol. Minimnya petani yang melakukan pengolahan minyak disebabkan oleh
karena biaya, waktu dan hasil produksi yang tidak mampu bersaing dengan produksi pabrik,
sehingga petani lebih memilih kopra sebagai produk utama dari tanaman kelapa.
Secara umum petani dapat menghasilkan kopra pada setiap panen sebesar 0,6 – 1,2
ton per ha. Bentuk pengolahan kopra masih dilakukan secara tradisional, baik melalui
pengeringan dengan cara penjemuran maupun melalui pengasapan. Beberapa daerah di
wilayah kepulauan seperti di Kabupaten Buton, Wakatobi dan sebagian di Kabupaten Buton
Utara melakukan pengeringan dengan menggunakan panas matahari.
Biaya yang dikeluarkan petani dalam proses produksi selain biaya pembersihan yakni
biaya panjat/pemetikan buah dengan menggunakan buruh panjat. Rata-rata biaya yang
berlaku di lokasi studi sebesar Rp2.000,- per pohon. Sehingga dalam 1 hektar
dilakukan oleh pemilik. Pada kasus tertentu khususnya pada pemilik lahan yang cukup luas
di atas 5 hektar, biasanya menggunakan tenaga kerja yang lebih banyak dan pada
umumnya menerapkan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan bervariasi mulai
dari 70 :30, 60 : 40 atau 50 : 50 dengan pembagian 70 atau 60 atau 50 adalah bagian
pemilik. Pemasaran hasil produksi menjadi tanggung jawab pemilik.
Aspek Pemasaran
Produksi olahan kopra dipasarkan melalui pedagang pengumpul yang datang pada
petani maupun diantar langsung pada pedagang pengumpul besar yang ada di tingkat
kabupaten. Pemasaran kopra yang berasal dari berbagai kabupaten di wilayah Sulawesi
Tenggara terpusat di 3 (tiga) kabupaten/kota yakni kabupaten Kolaka, Kota Kendari dan
Kota Bau - Bau. Untuk wilayah kepulauan terpusat di Kota Bau-Bau dan sebagian Kota
Kendari, sedangkan di wilayah daratan terpusat di Kabupaten Kolaka dan Kota Kendari.
Selanjutnya pemasaran kopra diantarpulaukan dengan tujuan Makassar dan Surabaya.
Kondisi harga kopra pada tahun 2008 mengalami penurunan. Penurunan harga kopra
sangat berpengaruh terhadap minat petani dalam melakukan pengolahan kopra, dimana
harga kopra mengalami penurunan dari Rp5.000 – Rp7.500,-/kg pada tahun 2007 menjadi
Rp3.500,-/kg pada tahun 2008, bahkan di beberapa kabupaten mencapai Rp2.500/kg. Hal
tersebut menyebabkan petani kurang termotivasi untuk melakukan pengembangan,
pemeliharaan dan pengolahan kopra. Petani sangat berharap adanya kenaikan pada harga
kopra.
Selain itu kondisi jalan, sarana transportasi dan jangkauan wilayah juga berpengaruh
terhadap penetapan harga yang berlaku. Sebagian besar kondisi jalan di sentra tanaman
kelapa belum memadai (rusak dan pengerasan). Pada Kondisi jalan yang rusak biasanya
harga yang ditetapkan pedagang pengumpul relatif lebih rendah dari harga umum. Khusus
untuk daerah kepulauan selain sarana jalan, kondisi cuaca dan ombak sangat berpengaruh
terhadap penetapan harga.
AKSES LAYANAN UMUM DAN PERBANKAN
Sebagian besar lokasi studi belum memiliki sarana komunikasi yang memadai seperti
telepon. Dari 24 kecamatan yang dikunjungi sekitar 50 % belum memiliki sarana
komunikasi baik berupa telepon umum (wartel) dengan menggunakan satelit maupun
telepone seluler. Sedangkan 50 % lainnya telah memiliki jaringan telepon seluler dan telah
dilalui jaringan listrik PLN yang dapat mendukung pengembangan industri kelapa dan
Sedangkan akses pada jaringan perbankan pada umumnya hanya terdapat di ibukota
kabupaten (Bank BRI dan BPD) dan beberapa kecamatan yang lebih maju. Rata – rata
kecamatan di lokasi studi masih sulit menjangkau jaringan kantor bank karena jaraknya yang
cukup jauh antara lokasi desa dengan lokasi di mana bank tersebut berada sehingga
perbankan masih sulit memberikan kredit kepada petani kelapa.
FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT SERTA PROSPEK
Faktor Pendukung
1. Ketersediaan lahan kosong yang relatif masih sangat luas memungkinkan untuk
peningkatan produksi kelapa baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi.
2. Dukungan pranata sosial budaya masyarakat yang sudah sejak dulu akrab
membudidayakan tanaman kelapa.
3. Animo masyarakat terhadap pendayagunaan tanaman kelapa dan produk turunannya
melalui introduksi teknologi pasca panen (kegiatan off farm) sangat besar.
4. Bahan baku pembuatan produk turunan kelapa seperti sabut, tempurung, lidi, air kelapa
tersedia melimpah dan untuk sementara masih menjadi limbah.
5. Permintaan pasar domestik maupun internasional terhadap produk kelapa dan
turunannya masih sangat terbuka lebar dan dapat berorientasi ekspor.
6. Kelapa merupakan salah satu komoditas unggulan daerah dan memperoleh perhatian
khusus dari beberapa instansi/dinas/institusi daerah dalam hal pembinaan dan
pengembangan.
7. Sebagian besar sentra kelapa telah dilalui jaringan listrik PLN maupun jaringan
telekomunikasi seluler yang dapat mendukung pengembangan industri kelapa dan
jaringan pemasaran walaupun hanya dalam skala rumah tangga.
8. Adanya rencana pengembangan introduksi teknologi pasca panen dan pendayagunaan
buah kelapa serta pengembangan kerjasama pemasaran hasil oleh Cipset, sebuah lembaga internasional dari Kanada.
9. Tersedia potensi pengembangan pelabuhan rakyat maupun peti kemas dalam rangka
transportasi produk antar pulau.
Faktor Penghambat
1. Usaha budidaya tanaman kelapa masih bersifat subsistem. Sapta usaha tani belum diterapkan secara optimal.
petani tidak melakukan peremajaan.
3. Jumlah dan sarana pengasapan kopra yang kurang memadai, selain karena sudah lama
juga konstruksinya kurang baik.
4. Tingkat harga yang berfluktusi bahkan pada tahun 2008 harga jatuh hingga Rp2.000,-
/kg kopra, sementara harga pada situasi normal sebesar Rp5.000,- hingga Rp7.000,-/kg.
5. Infrastruktur jalan cukup banyak yang kurang layak/rusak sehingga menyulitkan untuk
mencapai daerah-daerah sentra
6. Koordinasi, integrasi dan sinergitas antar instansi/institusi pembina usaha kelapa masih
minim. Salah satu dampaknya adalah adanya perbedaan data potensi yang dikeluarkan
oleh masing-masing instansi/institusi.
Prospek
Usaha kelapa atau kopra di mata pelaku usaha tetap memiliki prospek yang baik di
masa mendatang. Satu hal yang dirisaukan petani adalah kepastian harga. Dengan potensi
kelapa yang tinggi di sentra kelapa maka para pelaku usaha ini tetap berminat dan
termotivasi menggeluti usaha kelapa yang diolah menjadi kopra atau produk turunan
lainnya. Para petani/pelaku usaha lainnya sangat berminat jika ada pembeli dari luar yang
ingin menampung produksi mereka.
Untuk jalinan mitra dengan pembeli dari luar dalam menjaga kuantitas, kualitas dan
kontinuitas maka pelaku usaha menginginkan adanya kepastian harga. Mekanisme yang
dikehendaki agar mitra tersebut hanya berhadapan dengan pedagang pengumpul dan tidak
langsung ke petani. Sedangkan petani akan bertindak sebagai pemasok pada pedagang
pengumpul. Dengan demikian cara ini akan lebih efisien bagi mitra karena tidak