• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan penalaran moral remaja pada keluarga yang bercerai.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perkembangan penalaran moral remaja pada keluarga yang bercerai."

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL REMAJA PADA KELUARGA YANG BERCERAI

SKRIPSI

DiajukanKepadaUniversitas Islam NegeriSunanAmpel Surabaya

untukMemenuhi Salah SatuPersyaratandalamMenyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

DessyNurmaAzizi B07213003

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

INTISARI

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui proses perkembangan penalaran moral remaja pada keluarga yang bercerai. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara yang dilakukan kepada subjek dan significant other serta didukung oleh dokumentasi. Subjek penelitian adalah seorang remaja laki-laki dengan usia 13 tahun dari keluarga yang bercerai. Subjek berada pada tahapan perkembangan penalaran moral yang kedua yaitu penalaran moral konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perkembangan moral subyek dilatar belakangi oleh kesempatan pengambilan peran, situasi moral serta konfklik moral kognitif yang membentuk subyek memiliki penalaran moral yang baik tanpa pendampingan yang intens oleh orang tua. Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral subyek meliputi faktor internal yaitu sifat bawaan subyek seperti rasa empati, pemurah, tanggung jawab, serta menghormati orang tua. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral subyek meliputi lingkungan tempat ia tinggal, teman bermain, kegiatan positif yang subyek ikuti, serta bimbingan dari keluarga.

(8)

qualitative method with case study approach. Technique for collecting data used in this research are observation and interviews which done to subject and significant other, also equipped with documentations. Subject is male teenager (13 years old) from divorced family. Subject is on second stage of moral reasoning development which is conventional moral reasoning. Research result shows moral development process of subject caused by chance of role taking, moral situation and cognitive moral conflict which from subject to has good moral reasoning even without intense parental assistance. As for factors which influenced subject moral reasoning development including innate nature of subject (internal factor) such as empathy, generosity, responsibility, and parental respect whereas external factor that influenced subject’s moral reasoning development are environment, friends of the same age, positive activities, and family guidance.

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PENGESAHAN ……...……… ii

HALAMAN PERNYATAAN ……….. iii

KATA PENGANTAR ………...……… iv

DAFTAR ISI ……… vi

DAFTAR TABEL ………. vii

DAFTAR LAMPIRAN ……… ix

INTISARI …..………....……… x

ABSTRACT ..……… xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian …..……… 1

B. Fokus Penelitian …….……… 12

C. Tujuan Penelitian ………... 12

D. Manfaat Penelitian ………. 12

E. Keaslian Penelitian ……… 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Perkembangan Moral ………... 17

a. Pengertian Moral ………... 17

b. Penalaran Moral ………. 17

c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Mora ……… 19

d. Perubahan Konsep Moral …...……… 29

2. Masa Remaja ……… 33

a. Pengertian masa remaja ……..……… 33

b. Ciri-ciri masa remaja ..……… 36

c. Tahap perkembangan masa remaja ……… 38

3. Keluarga ………...………... 39

a. Pengertian keluarga ………... 39

b. Ciri-ciri keluarga ………... 40

c. Fungsi keluarga ……..………... 41

d. Bentuk keluarga ……..………... 44

4. Keluarga yang bercerai (Broken Home) ...………... 46

(10)

B. Lokasi Penelitian …...……… 55

C. Sumber Data ………..……… 55

D. Prosedur Pengumpul Data ….……… 56

E. Subjek Penelitian …...……… 60

F. Analisis Data ……… 62

G. Keabsahan Data …….……….... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek ……….. 68

B. Hasil Penelitian ……...……….. 69

1. Deskripsi temuan Penelitian …….……….. 69

2. Analisis temuan penelitian ……...……….. 86

C. Pembahasan ……….. 92

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 100

B. Saran ……….. 101

DAFTAR PUSTAKA ……..……… 103

(11)

DAFTAR TABEL

[image:11.595.143.472.235.554.2]
(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Budaya Indonesia yang terkenal dengan menjunjung tinggi nilai

luhur sebaiknya masih tertanam di dalam diri para penerus bangsa agar

tetap memiliki moral yang baik. Moral yang baik pada individu akan

mengantarkan setiap individu kepada kesejahteraan hidup serta secara

tidak langsung akan menjaga kesejahteraan masyarakat umum.

Penanaman nilai moral dinilai efektif apabila dilakukan sejak dini oleh

lingkungan keluarga tempat anak tumbuh dan berkembang. Sehingga

diharapkan nilai moral akan mengakar kuat pada diri seorang individu.

Hal ini tentunya sesuai dengan isu-isu yang muncul belakangan ini

terkait semakin resahnya masyarakat terutama orang tua mengenai

kenakalan remaja. Pergaulan remaja pada masa sekarang sangat

mengkhawatirkan dikarenakan perkembangan arus modernisasi yang

men-dunia dan menipisnya moral serta keimanan seseorang (Nurhani,

2016). Hal ini dikarenakan pada masa remaja seorang individu berada

pada masa ketegangan emosi sebagai akibat dari perubahan fisik dan

kelenjar.

Remaja adalah suatu masa peralihan dari anak-anak menuju

dewasa dimana individu berproses menuju kedewasaannya. Masa remaja

diasumsikan berada pada rentang usia 12 hingga 21 tahun. Pada masa ini

(14)

berada pada masa ketegangan emosi sebagai akibat dari perubahan fisik

dan kelenjar. Selain itu meningginya emosi terutama karena laki-laki dan

perempuan berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru,

sedangkan pada masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk

menghadapi keadaan-keadaan itu (Rutter, M., dkk dalam Hurlock 2003).

Selain emosi yang tidak stabil, pada masa remaja dinilai sangat

rentan terhadap dampak yang timbul oleh lingkungan sosial. Hal ini

dikarenakan pada masa ini, individu memiliki tugas perkembangan yang

penting terkait dengan lingkungan sosial dan erat kaitannya dengan

pengaruh kelompok sebaya atau lingkungan tempat ia tinggal. Salzman

(dalam Fatimah, 2006) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa

perkembangan dari sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke

arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri,

dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.

Sangatlah mungkin pengaruh lingkungan tempat tinggal terhadap

sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada

pengaruh keluarga. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga

sangatlah dibutuhkan perannya untuk mengawasi serta membimbing

sedini mungkin agar perilaku yang timbul pada usia remaja tidak terlalu

mengkhawatirkan. Pendidikan yang ditekankan dalam pendidikan

keluarga tidak semata tentang pendidikan akademik namun lebih kearah

pendidikan karakter dan pendidikan moral. Sehingga apabila fungsi

(15)

3

yang baik pula. Namun pada kenyataanya, banyak keluarga yang hancur

ditengah jalan dikarenakan banyak factor dan berakhir pada perceraian.

Perceraian terjadi karena adanya beragam konflik yang ada pada sebuah

keluarga, sehingga tidak ditemukannya jalan keluar. Tidak dapat pungkiri

bahwa semakin hari tingkat perceraian di Indonesia terlihat semakin

meningkat terlebih daerah Jawa Timur.

Fakta pertama ditunjukkan oleh Harian Kompas (2016) yang

menyatakan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang

terbesar angka perceraian di Indonesia, yakni mencapai 47 persen atau

mencapai sekitar 90.000 pasangan. Sedangkan empat tahun lalu,

berdasarkan data pengadilan agama tercatat ada 60.000 pasangan yang

bercerai setiap tahun, dan sekarang sudah mencapai 90.000 pasangan per

tahun. Hal serupa dikemukakan oleh Harian Malang (2016) bahwa

Provinsi Jawa Timur menjadi penyumbang angka perceraian terbesar di

Indonesia, yakni dengan prosentase 47 persen atau hampir separuh dari

kasus perceraian di Indonesia.

Perceraian dalam rumah tangga tentunya membawa dampak yang

signifikan terhadap keluarga itu sendiri. Khusunya terhadap anak-anak

yang terbiasa hidup dalam keluarga utuh akan berusaha menerima

keadaaan yang terpaksa ia harus jalani akibat perceraian tersebut. Usia

yang dikatakan rentan terhadap dampak perceraian adalah ketika

anak-anak serta awal masa remaja. Hal tersebut dikarenakan pada usia ini,

(16)

psikis kepada kedua orang tua mereka. Pada awal masa remaja, banyak

anak dari keluarga-keluarga yang retak telah tersandung ke dalam sarang

lebah malapetaka kaum remaja termasuk nilai-nilai yang merosot,

tingkah laku seksual terlampau dini, penggunaan obat-obat terlarang dan

tindakan kejahatan serta perilaku moral yang buruk.

Pada masa remaja, menurut Kohlberg dalam teori perkembangan

moral seorang individu remaja berada pada tahap perkembangan moral

konvensional. Pada tingkatan ini, individu memberlakukan standart

tertentu, tetapi standart ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua

atau pemerintah. Penalaran moral inilah yang menjadi indicator dari

tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran

mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada

memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar bahwa suatu

itu salah.

Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari

moral adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2001).

Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang

diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar

dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas

pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban

atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada

(17)

5

Penalaran serta pendidikan moral sangat tergantung terhadap

pengasuhan sebuah keluaraga. Keluarga dianggap sebagai pembentuk

pondasi utama jati diri seorang anak. Dalam usia remaja, seorang

individu berada pada masa yang cenderung ambivalen terhadap setiap

peristiwa dan godaan-godaan dan cobaan-cobaan yang bersifat duniawi.

Sehingga peran keluarga dianggap penting untuk membentuk,

meluruskan serta membimbing remaja untuk berperilaku serta memiliki

penalaran moral yang baik. Hal ini sesuai penelitian yang pernah

dilakukan oleh Harston dan May (dalam Nurhani, 2016) yang

mengemukakan bahwa pendidikan moral yang tidak disertai penalaran

tidak cukup efektif untuk meningkatkan moralitas seseorang. Harston dan

May telah melakukan serangkaian studi tentang mencuri, berbuat curang,

dan berbohong di rumah, di sekolah, di perkumpulan-perkumpulan, dan

di kelompok keagamaan-keagamaan. Kesimpulan dari setiap studi

tersebut menunjukkan bahwa cara-cara pendidikan moral yang kurang

menggunakan penalaran ternyata kurang efektif, artinya karena

penekanan pendidikan moral tidak diarahkan kepada perubahan struktur

berfikir, maka individu akan mengalami kesulitan membuat

keputusan-keputusan moral bila menghadapi masalah atau situasi baru yang berbeda

dengan apa yang telah diajarkan.

Maraknya isu terkait kenakalan remaja di Indonesia tentunya

sedikit banyak akan membuat orang tua khawatir tentang pergaulan anak

(18)

remaja, peran keluarga dianggap sangat penting sebagai pembimbing,

pengarah serta pengawas seluruh kegiatan yang dilakukan oleh remaja

mereka. Sehingga bagi kelurga yang telah bercerai akan sulit dilakukan

pemantauan yang intens terhadap remaja mereka dikarenakan bentuk

keluarga yang tidak lagi lengkap seperti sebelum terjadinya perceraian.

Ditunjukkan oleh bisnissurabaya.com bahwa banyaknya kasus

kenakalan remaja yang kian hari semakin meningkat, hal itu dapat dilihat

dari statistik data kenakalan remaja sejak Januari hingga 22 November

2016, total kenakalan remaja yang ditangani tim satpol PP sebanyak 793

kasus. Rinciannya, 597 laki-laki dan 196 perempuan. Angka ini

mengalami peningkatan jika dibanding tahun lalu sebanyak 675 kasus.

menurut data satpol PP (2016), pelanggaran kenakalan remaja terbanyak

tahun ini didominasi oleh remaja yang kongkow di café. Jumlahnya

mencapai 135 kasus. Mereka yang terjaring razia di café umumnya

terjerat masalah minuman keras (miras) dan narkoba. Fakta lain

ditunjukkan oleh Harian Kompas (2016) bahwa total kejahatan yang

terjadi selama 2016 meningkat dari 44.304 pada 2015 menjadi 43.149

pada 2016. Peningkatannya lebih kurang tiga persen. Tercatat, ada 11

jenis kasus yang menonjol pada 2016. Sebanyak 11 kasus itu adalah

pencurian dengan pemberatan (curat) sebanyak 3.187 kasus, pencurian

dengan kekerasan (curas) sebanyak 719 kasus, penganiayaan berat

(19)

7

Karena kurangnya pengawasan orang tua dan penanaman nilai

moral yang kurang terhadap anak, banyak anak yang akhirnya terjerumus

ke dalam kelompok-kelompok sebaya yang buruk atau biasa disebut

dengan geng. Seperti yang peneliti lihat di daerah Kediri terdapat

beberapa kelompok (geng) yang sering membuat onar dan meresahkan

warga, diantaranya adalah balap liar dan punk. Hal ini banyak

disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan pengawasan orang tua serta

akibat dari perceraian keluarga.

Seperti ditunjukkan oleh liputan6.com bahwa terdapat geng-geng

terbesar yang berada di area Jawa Timur dan beberapa diantaranya

berasal dari Kediri. Liputan6.com, Jakarta mengungkapkan bahwa

zaman sekarang dunia memang sudah berkembang pesat, tak terkecuali

kenakalan remaja. Biasanya mereka akan menyalurkan kenakalannya

dengan bergabung dalam sebuah geng. Saya akan berbagi info soal

beberapa geng besar di Jawa Timur dan jika Anda mempunyai masalah

dengan geng-geng ini, penolong terbaik Anda adalah pihak kepolisian.

Geng tersebut diantaranya adalah Ligas yaitu salah satu geng terbesar di

daerah Jawa Timur. Persebaran geng ini meliputi beberapa kabupaten,

yaitu Kediri, Jombang, Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar. Pusat geng

ini berada di wilayah Ngantru, Tulungagung dan Prigi, Trenggalek.

Diperkirakan Jumlah anggotanya mencapai 20.000 pemuda. Beberapa

pelanggaran hukum sering dilakukan oleh geng ini salah satunya adalah

(20)

melibas musuhnya menggunakan senjata tajam. Selain itu ada Demper,

Geng ini berpusat di daerah Demangan, Karas, Kediri, yang wilayah

persebarannya berada di daerah Kediri dan Tulungagung. Jumlah anggota

geng ini tak sebanyak yang lainnya, hanya sekitar seribu. Meski

begitu, geng ini adalah salah satu geng paling ditakuti di daerah Kediri.

Merespon masalah ini beberapa pakar mencoba menerangkan

dengan mengacu pada lemahnya landasan pendidikan moral di Indonesia

khususnya di lingkungan keluarga dan masyarakat. Menurut Setiono

(dalam Nurhani, 2016) umumnya orang tua Indonesia cenderung

memberikan larangan-larangan atau keharusan-keharusan yang harus

dipatuhi anak atau mendiktekan mana yang baik dan yang buruk tanpa

memberikan dasar-dasar pertimbangan mengapa hal tersebut baik atau

buruk untuk dilakukan. Dalam hal ini anak tidak dilatih untuk

menimbang-nimbang dan akhirnya mengambil keputusan sendiri

mengenai apa yang baik dan yang buruk. Selain itu adanya konflik dalam

rumah tangga serta perceraian akan sangat mempengaruhi dampak

psikologis terhadap anak yang pada akhirnya mempengaruhi penalaran

moral serta pencapaian akademik yang rendah.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yara pada

tahun 2010 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

pada pencapaian akademik anak yang berasal dari keluarga bercerai dan

(21)

9

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Omoruyi pada

tahun 2014 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

antara orangtua single dan pencapaian akademik. Selain itu, terdapat

hubungan yang signifikan antara remaja dari keluarga yang bercerai

terhadap pencapaian akademik.

Sarbini dalam penelitiannya pada tahun 2014 menyatakan bahwa

psikologis anak dari keluarga yang bercerai mengalami dampak negative

yang signifikan seperti rendah diri terhadap lingkungan, temperamen,

dan rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orang tuanya.

Selain itu, Fauziah menyatakan dalam hasil penelitiannya pada

tahun 2014 bahwa remaja korban broken home memiliki kecenderungan

suka menyendiri, pendiam, murung, merasa rendah diri terhadap

teman-temannya serta menilai perceraian orang tua mempengaruhi kegiatan

sehari-hari dan kegiatan belajar remaja.

Sejalan dengan hal itu, penelitian yang dilakukan oleh Aziz pada

tahun 2015 yang menunjukkan bahwa banyak anak korban broken home

tingkat SMP perilaku social mereka sudah sangat menggelisahkan para

guru. Perilaku mereka menyebabkan banyak guru yang mengeluh karena

suka melanggar aturan-aturan sekolah, bicara kasar, suka

melawan/menentang, tidak berakhlaq, tidak sopan, tidak bermoral, malas

ke sekolah, suka bolos, malas belajar, hilang semangat belajar, suka

(22)

Selanjutnya, Nurhani dalam penelitiannya pada tahun 2016

menghasilkan bahwa penalaran moral pada individu berbeda-beda

didasarkan pada modelling.

Namun tak dapat dipungkiri banyak para peneliti menemukan

bahwa anak yang diasuh satu orang tua akan jauh lebih baik dari pada

anak yang diasuh keluarga utuh yang diselimuti rasa tertekan. Perceraian

dalam keluarga, tidaklah selalu membawa dampak negatif. Sikap untuk

menghindari suatu konflik, rasa tidak puas. Perbedaan paham yang

terus-menerus, maka peristiwa perceraian itu satu-satunya jalan keluar untuk

memperoleh ketentraman diri. Perceraian dalam keluarga manapun

merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi remaja karena

akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu

orang tua. Bagaimana remaja bereaksi terhadap perceraian orang tuanya

sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan

sesudah perpisahan. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan

penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau

penarikan diri dari lingkungan sosial. Namun terdapat beberapa remaja

yang bahkan dengan sangat baik tetap mampu menjaga dirinya,

membentuk perilaku yang baik pula bahkan tetap bisa mempertahankan

prestasinya.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharani

(23)

11

berkembang dengan baik oleh adanya peran serta dukungan social ayah

meskipun keluarga tidak lagi utuh.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Wrastari pada tahun

2013 menunjukkan bahwa meskipun keluarga telah bercerai namun anak

mampu memiliki psychological well-being yang baik dikarenakan faktor

seperti peer support, kebutuhan akan cinta dan kemtangan menuju

dewasa.

Alasan mengapa peneliti tertarik untuk meneliti perkembangan

penalaran moral remaja pada keluarga yang bercerai ini dikarenakan

peneliti melihat adanya keunikan pada beberapa kasus terhadap

keberhasilan akademik yang tinggi serta memiliki kesadaran diri yang

baik pada remaja dari keluarga yang bercerai. Peneliti ingin melihat

bagaimana proses perkembangan penalaran moral yang terbentuk

sehingga mampu membentuk pribadi yang sedemikian tanpa adanya

pengawasan serta pengasuhan dari keluarga yang lengkap. Keunikan dari

beberapa kasus ini terletak pada kemampuan subjek mengelola diri,

perilaku moral yang baik serta pencapaian prestasi belajar yang tinggi

bahkan disaat ia tidak diasuh oleh orang tua yang lengkap. Subjek

penelitian merupakan remaja yang berasal dari keluarga yang bercerai.

Penelitian ini akan dilakukan di kabupaten Kediri dengan kriteria subjek

yang telah ditentukan oleh peneliti. Peneliti ingin mengungkap latar

(24)

detail serta mendalam melalui penelitian kualitatif dengan strategi studi

kasus.

B. Fokus Penelitian

Untuk mempermudah penulis dalam menganalisis hasil penelitian,

maka Penelitian ini difokuskan pada Remaja dengan rentang usia 12

hingga 16 tahun dari keluarga yang bercerai terutama dengan pencapaian

prestasi yang tinggi serta memiliki perilaku serta penalaran moral yang

baik.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimanakah

proses perkembangan penalaran moral remaja pada keluarga yang

bercerai.

D. Manfaat Penelitian

1. Praktis

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat secara praktis terutama

kepada orang tua, keluarga, serta anak. Hal tersebut diharapkan dapat

dijadikannya sebuah bahan pengetahuan mengenai proses penalaran

moral seorang remaja khususnya pada keluarga yang bercerai.

2. Teoritis

Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

(25)

13

dalam bidang pengetahuan ilmu Psikologi yang mengkaji tentang

penalaran moral remaja dan keluarga yang bercerai.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berfokus mengenai penalaran moral remaja dari

keluarga yang bercerai pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti

sebelumnya diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yara pada

tahun 2010 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

pada pencapaian akademik anak yang berasal dari keluarga bercerai dan

keluarga yang utuh.

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Omoruyi pada

tahun 2014 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

antara orangtua single dan pencapaian akademik. Selain itu, terdapat

hubungan yang signifikan antara remaja dari keluarga yang bercerai

terhadap pencapaian akademik.

Sarbini dalam penelitiannya pada tahun 2014 menyatakan bahwa

psikologis anak dari keluarga yang bercerai mengalami dampak negative

yang signifikan seperti rendah diri terhadap lingkungan, temperamen,

dan rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orang tuanya.

Selain itu, Fauziah menyatakan dalam hasil penelitiannya pada

tahun 2014 bahwa remaja korban broken home memiliki kecenderungan

(26)

teman-temannya serta menilai perceraian orang tua mempengaruhi kegiatan

sehari-hari dan kegiatan belajar remaja.

Sejalan dengan hal itu, penelitian yang dilakukan oleh Aziz pada

tahun 2015 yang menunjukkan bahwa banyak anak korban broken home

tingkat SMP perilaku social mereka sudah sangat menggelisahkan para

guru. Perilaku mereka menyebabkan banyak guru yang mengeluh karena

suka melanggar aturan-aturan sekolah, bicara kasar, suka

melawan/menentang, tidak berakhlaq, tidak sopan, tidak bermoral, malas

ke sekolah, suka bolos, malas belajar, hilang semangat belajar, suka

recok dan caper, suka mengganggu teman dan guru.

Selanjutnya, Nurhani dalam penelitiannya pada tahun 2016

menghasilkan bahwa penalaran moral pada individu berbeda-beda

didasarkan pada modelling.

Namun tak dapat dipungkiri banyak para peneliti menemukan

bahwa anak yang diasuh satu orang tua akan jauh lebih baik dari pada

anak yang diasuh keluarga utuh yang diselimuti rasa tertekan. Perceraian

dalam keluarga, tidaklah selalu membawa dampak negatif. Sikap untuk

menghindari suatu konflik, rasa tidak puas. Perbedaan paham yang

terus-menerus, maka peristiwa perceraian itu satu-satunya jalan keluar untuk

memperoleh ketentraman diri. Perceraian dalam keluarga manapun

merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi remaja karena

akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu

(27)

15

sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan

sesudah perpisahan. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan

penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau

penarikan diri dari lingkungan sosial. Namun terdapat beberapa remaja

yang bahkan dengan sangat baik tetap mampu menjaga dirinya,

membentuk perilaku yang baik pula bahkan tetap bisa mempertahankan

prestasinya.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharani

pada tahun 2003 menunjukkan bahwa penyesuaian social anak dapat

berkembang dengan baik oleh adanya peran serta dukungan social ayah

meskipun keluarga tidak lagi utuh.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Wrastari pada tahun

2013 menunjukkan bahwa meskipun keluarga telah bercerai namun anak

mampu memiliki psychological well-being yang baik dikarenakan faktor

seperti peer support, kebutuhan akan cinta dan kemtangan menuju

dewasa.

(28)

Selain itu penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh penelitian

yang dilakukan oleh Fauziah pada penelitiannya yang menyatakan bahwa

Remaja yang berasal dari keluarga broken home agar lebih mengetahui

dan memahami diri sendiri sehingga bisa menerima dan menilai

perceraian orang tuanya secara positif.

Namun dalam penelitian ini pula tidak diungkap bagaiman proses

penalaran moral remaja sehingga mampu mencapai penalaran moral yang

(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Perkembangan Moral

a. Pengertian moral

Kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak mores) yang berarti

kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standart salah

atau benar bagi seseorang (Rogers & Baron, dalam Martini, 1995). Kata

moral sendiri berasal dari bahasa Latin moris yang berarti adat istiadat,

kebiasaan, tata cara dalam kehidupan. Jadi suatu tingkah laku dikatakan

bermoral apabila tingkah laku itu sesuai dengan nilai – nilai moral yang

berlaku dalam kelompok sosial dimana anak itu hidup.

Sejalan dengan pengertian diatas, menurut Hurlock (2003) moral

berasal dari bahasa latin “Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat,

dan cara kebiasaan rakyat. Perilaku moral merupakan perilaku di dalam

konformitas dengan suatu tata cara moral kelompok sosial. Kohlberg

menegasakan bahwa moral merupakan bagian dari penalaran. Maka

iapun menamakannya dengan penalaran moral.

b. Penalaran Moral

Kohlberg (dalam Slavin, 2011) mendefinisikan penalaran moral

sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap

(30)

Penalaran moral dapat dijadikan sebuah prediktor terhadap dilakukannya

tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Kohlberg

mengemukakan bahwa penalaran moral adalah suatu pemikiran tentang

masalah moral. Pemikiran tersebut merupakan prinsip yang dipakai

dalam menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral.

Menurut teori Piaget (dalam Slavin, 2011) proses penalaran moral

sejalan dengan perkembangan kognisi. Piaget percaya bahwa struktur dan

kemampuan kognisi berkembang lebih dulu. Kemampuan kognisi

kemudian menentukan kemampuan anak-anak bernalar mengenai dunia

sosialnya.

Piaget membagi tahap perkembangan moral menjadi dua, yatu

tahap moralitas heteronom dan tahap moralitas otonom. Tahap moralitas

heteronom terjadi pada usia anak-anak awal yaitu sekitar usia 4 tahun

hingga 7 tahun. Slavin (2011) menyebutnya juga sebagai tahap “realisme

moral” atau “moralitas paksaan”. Kata Heteronom berarti tunduk pada

aturan yang diberlakukan orang lain.

Selama periode heteronom, seorang anak kecil selalu dihadapkan

terhadap orang tua atau orang dewasa lain yang memberitahukan kepada

mereka manakah hal yang salah dan manakah hal yang benar. Pada usia

ini, seorang anak akan memikirkan bahwa melanggar aturan akan selalu

dikenakan hukuman dan orang yang jahat pada akhirnya akan dihukum.

Selain itu Piaget (dalam Slavin, 2011) menegaskan bahwa anak pada usia

(31)

19

menghasilkan konsekuensi negatif sekalipun maksudnya adalah sebuah

kebaikan.

Sedangkan tahap moralitas kedua menurut Piaget adalah tahap

moralitas otonom. Tahap moralitas otonom ini terjadi pada usia diatas 6

tahun atau pada masa pertengahan dan akhir anak-anak. Pada usia 10

hingga 12 tahun, anak-anak mulai tidak menggunakan dan menaati

aturan dari suara hati. Moralitas otonom disebut pula sebagai moralitas

kerja sama. Moralitas tersebut muncul ketika dunia sosial anak itu meluas

hingga meliputi makin banyak teman sebaya. Dengan terus-menerus

berinteraksi dan bekerja sama dengan anak lain, gagasan anak tersebut

tentang aturan dan karena itu juga moralitas akhirnya berubah.

c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral

Faktor yang paling mempengaruhi penilaian moral adalah keluarga.

Rice ( dalam Suciati, 2008) penelitian mengenai perkembangan moral

anak dan remaja menekankan pentingnya peran orang tua dan keluarga.

Terdapat beberapa faktor keluarga yang berhubungan secara signifikan

dengan pembelajaran moral pada anak

1) Tingkat kehangatan, penerimaan dan kepercayaan yang

ditunjukan terhadap anak. Anak cenderung mengagumi dan

meniru orangtua yang hangat, sehingga menumbuhkan sifat

yang baik pada anak. Teori differential assosiation dari

Sutherland dan Cressey (dalam Suciati, 2008) menjelaskan

(32)

orangtua anak memfasilitasi pembelajaran moral dan perilaku

kriminal pada anak. Hubungan orangtua anak yang dianggap

penting (prioritas tinggi) dalam jangka waktu yang lama

(durasi tinggi), dikarakteristikan dengan kedekatan emosi

(intensitas tinggi) serta jumlah kontak dan komunikasi yang

maksimal (frekuensi tinggi), memiliki efek positif pada

perkembangan moral anak.

2) Frekuensi interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anak.

Teori role modelling mengatakan bahawa identifikasi anak

terhadap orangtua dipengaruhi frekuensi interaksi

orangtua-anak. Orangtua yang sering berinteraksi secara intensif dengan

anaknya cenderung lebih mempunyai pengaruh terhadap

kehidupan anaknya. Interaksi orangtua-anak memberikan

kesempatan untuk pembahasaan nilai-nilai dan norma-norma,

terutama bila interaksi dilakukan secara demokratis dan

bersifat mutual.

3) Tipe dan tingkat disiplin yang dijalankan orangtua. Hasil

penelitian menunjukan bahwa disiplin mempunyai efek yang

positif terhadap pembelajaran moral ketika:

a) Konsisten, baik intraparent (konsisten dalam melakukan

disiplin maupun interparent (konsisten antara kedua

(33)

21

b) Kontrol terutama dilakukan secara verbal melalui

penjelasan guna mengembangkan kontrol internal pada

anak. Orangtua yang melakukan penjelasan verbal secara

jelas dan resional menghasilkan internalisasi nilai dan

standar pada anak, terutama ketika penjelasan disertai

dengan afeksi sehingga anak cenderung untuk menerima.

Remaja menginginkan dan membutuhkan arahan orangtua.

c) Adil dan sesuai serta menghindari kekerasan Orangtua

yang menggunakan kekerasan menyimpang dari tujuan

disiplin, yaitu, mengembangkan hati nurani, sosialisasi,

dan kooperasi (Herzberger and Tennen, 1985, dalam Rice,

1993). Orangtua yang terlalu permisif juga menghambat

perkembangan sosialisasi dan moral anak karena mereka

tidak memberikan bantuan untuk mengembangkan kontrol

dalam diri anak.

d) Bersifat demokratis, bukan permisif ataupun autokratik.

4) Contoh yang diberikan orangtua bagi anak.

Hasil penelitian menunjukan bahwa perilaku

menyimpang ayah berkorelasi secara signifikan dengan

perilaku devian anak pada masa remaja dan dewasa. Sangatlah

penting bagi orangtua untuk menjadi sosok yang bermoral jika

ingin memberikan model positif bagi anak mereka untuk ditiru.

(34)

Pengaruh peer juga penting bagi perkembangan anak. Kontak

sosial dengan orang-orang dari budaya dan latar belakang sosiale konomi

yang berbeda membantu perkembangan moral.

Selanjutnya, Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menekankan bahwa

cara berfikir tentang moral berkembang dalam tahapan. Tahapan ini,

menurut Kohlberg bersifat universal. Dalam teorinya, Kohlberg

mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip

perkembangan moral Piaget. Konsep dari penalaran moral Kohlberg ini

merupakan perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan

secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.

Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menggambarkan tiga tingkatan

penalaran tentang moral dan setiap tingkatnya memiliki 2 tahapan, yaitu :

1. Penalaran Prakonvensional adalah tingkat terendah dari

penalaran moral menurut Kohlberg. Pada tahap ini baik dan

buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan

punishment (hukuman) eksternal.

a. Tahap 1, moralitas heteronom adalah tahap pertama dalam

penalaran prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran

moral terkait dengan punishment. Sebagai contoh anak

berfikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut

hukuman terhadap perilaku membangkang.

b. Tahap 2, individualisme, tujuan instrumental, dan

(35)

23

prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran individu yang

memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang benar

dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu,

menurut mereka apa yang benar adalah sesuatu yang

melibatkan pertukaran yang setara. Mereka berpikir

apabila mereka baik terhadap oaring lain maka orang lain

akan baik terhadap mereka juga.

2. Penalaran konvensional, yaitu tingkat kedua atau menengah

dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini,

individu memberlakukan standart tertentu, tetapi standart ini

ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua atau

pemerintah.

a. Tahap 3, ekspektasi interpersonal mutual, hubungan

dengan orang lain, dan konformitas interpersonal

merupakan tahap ketiga dari tahap perkembangan moral

Kohlberg. Pada tahap ini individu menghargai

kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain

sebagai dasar dari penilaian moral. Anak dan remaja

seringkali mengadopsi standart moral orang tua dalam

tahap ini agar dianggap sebagai anak yang baik.

b. Tahap 4, moralitas system sosial adalah tahap keempat

(36)

didasari oleh pemahaman tentang keteraturan di

masyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban.

3. Penalaran Pascakonvensional, adalah tingkatan tertinggi dalam

perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini, individu

menyadari adanya jalur moral alternative, mengeksplorasi

pilihan ini, lalu memutaskan berdasarkan kode moral personal.

a. Tahap 5, kontrak atau utilitas sosial dan hak individu.

Pada tahap ini, individu menalar bahwa nilai, hak dan

prinsip lebih utama atau lebih luas daripada hukum.

Seseorang mengevaluasi validitas hukum yang ada, dan

system sosial dapat diuji berdasarkan sejauh mana hal ini

menjamin dan melindungi hak asasi dan nilai dasar

manusia.

b. Tahap 6, prinsip etis universal adalah tahapan tertinggi

dalam perkembangan moral menurut Kohlberg. Pada

tahap ini, seseorang telah mengembangkan standard moral

berdasarkan hak asasi manusia universal. Ketika

dihadapkan dengan pertentangan antara hukum dan hati

nurani, seseorang menalar bahwa yang harus diikuti

adalah hati nurani, meskipun keputusan itu dapat

(37)

25

Rest membagi komponen penalaran moral menjadi empat hal

(dalam Nurhani, 2016). Adapun empat komponen utama penalaran moral

yang dikemukakan oleh Rest, antara lain :

1. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan

moral (mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya,

memperkirakan bagaimana masing-masing pelaku dalam

situasi terpengaruh oleh berbagai tindakan tersebut).

2. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang,

merumuskan suatu rencana tindakan yang merujuk kepada

suatu standar moral atau suatu ide tertentu (mencakup konsep

kewajaran & keadilan, penalaran moral, penerapan nilai moral

sosial).

3. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan

dengan bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral

atau bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang

secara aktual akan dilakukan seseorang (mencakup proses

pengambilan keputusan, model integrasi nilai, dan perilaku

mempertahankan diri).

4. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan

yang berbobot moral (mencakup ego-strength dan proses

pengaturan diri).

Menurut Kohlberg (dalam Nurhani, 2016), ada 3 faktor umum yang

(38)

1. Kesempatan pengambilan peran

Perkembangan penalaran moral meningkat ketika

seseorang terlibat dalam situasi yang memungkinkan seseorang

mengambil perspektif sosial seperti situasi dimana seseorang

sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan,

kebutuhan, hak, kewajiban, nilai dan standar orang lain.

2. Situasi moral

Setiap lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak

dan kewajiban yang fundamental yang didistribusiakan dan

melibatkan keputusan. Dalam beberapa lingkungan, keputusan

diambil sesuai dengan aturan, tradisi, hukum, atau figur

otoritas (tahap 1). Dalam lingkungan yang lain, keputusan

didasarkan pada pertimbangan pada system yang tersedia

(tahap 4 atau lebih tinggi). Tahap penalaran moral ditunjukkan

oleh situasi yang menstimulasi orang untuk menunjukkan nilai

moral dan norma moral.

3. Konflik moral kognitif

Konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran

moral seseorang dengan penalaran orang lain. Dalam beberapa

studi, subjek bertentangan dengan orang lain yang mempunyai

penalaran moral lebih tinggi maupun lebih rendah. Anak yang

mengalami pertentangan dengan orang lain yang memiliki

(39)

27

perkembangan moral yang lebih tinggi dari pada anak yang

berkonfrontasi dengan orang lain yang memiliki tahap

penalaran moral yang sama dengannya.

Penalaran moral berhubungan dengan nilai-nilai mengenai apa

yang dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain yang

diteliti dalam 3 domain (dalam Santrock, 2003), yaitu :

1. Bagaimana remaja mempertimbangkan dan memikirkan

peraturan-peraturan melakukan tingkah laku etis.

2. Bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang

sebenarnya.

3. Bagaiamana perasaan remaja mengenai perasaan moral.

Erickson (dalam Santrock, 2003) mengemukakan bahwa ada tiga

perkembangan moral yang spesifik dimasa anak-anak, perhatian terhadap

ideology pada masa remaja, dan konsolidasi etis di masa dewasa.

Menurut Erikson selama masa remaja individu melakukan pencarian

identitas. Bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan

yang mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka merasa

kehilangan tujuan dan merasa hidup mereka kosong setidaknya untuk

sementara. Hal ini dapat membawa remaja ke usaha mencari ideology

yang akan memberikan tujuan dalam hidup mereka.

Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur dan bukan

sebuah isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat

(40)

akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur,

maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis moralitas,

sehingga penalaran moral bersifat universal.

Penalaran moral inilah yang menjadi indicator dari tingkatan atau

tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu

tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan

perilaku seseorang atau bahkan mendengar bahwa suatu itu salah.

Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari

moral adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2001).

Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang

diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar

dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas

pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban

atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada

keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010).

Proses penalaran moral yang terjadi pada remaja sanagt ditentukan

oleh hubungan atau aktivitasnya dengan lingkungan, selain dengan

keluarga khusunya adalah dengan teman sebaya. Hal ini sejalan dengan

Kohlberg (dalam Santrock, 2011) percaya bahwa proses dalam keluarga

pada dasarnya tidak penting dalam perkembangan moral anak. Ia

berpendapat bahwa hubungan orang tua – anak biasanya tidak

(41)

29

memberi dan menerima. Menurut Kohlberg kesempatan ini justru ada

pada hubungan dengan teman sebaya. Meskipun banyak ahli lain yang

lebih berfokus kepada nilai moral orang tua mempengaruhi

perkembangan penalaran moral anak. Namun mereka juga setuju dengan

Kohlberg dan Piaget, bahwa teman sebaya juga memiliki peran yang

sangat penting dalam perkembangan penalaran moral.

d. Perubahan Konsep Moral

Hurlock (2003) mengemukakan bahwa tugas perkembangan

penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang

diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk

perilakunya agar sesuai dengan harapan social tanpa harus dibimbing,

diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dilakukan pada

masa anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral

yang berlaku dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku

umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang selanjutnya

berfungsi sebagai pediman bagi perilakunya.

Remaja dituntut harus mampu mengendalikan perilakunya sendiri

yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell

(dalam Hurlock, 2003) meringkas lima perubahan dasar dalam

perkembangan moral remaja, yaitu :

a. Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih

(42)

b. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan

kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai

kekuatan moral yang dominan.

c. Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ini mendorong

remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap pelbagai

masalah moral yang dihadapinya.

d. Penilaian moral menjadi kurang egosentris.

e. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam

arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan

menimbulkan ketegangan psikologis.

Seorang remaja laki-laki dan perempuan pada usia ini telah

mencapai pada tahap perekembangan moral Kohlberg, yaitu tahap

pascakonvensional. Dalam tahap ini moralitas didasarkan pada rasa

hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat

pribadi. Sekalipun dengan dasar yang terbaik, tugas pokok dalam

mencapai moralitas dewasa merupakan tugas yang sulit bagi kebanyakan

remaja.

Terdapat dua kondisi yang membuat penggantian konsep moral

khusus kedalam konsep moral umum menjadi lebih sulit. Menurut

Hurlock (2003) pertama, karena kurangnya bimbingan dalam

mempelajari bagaiman membuat konsep khusus menjadi konsep umum.

(43)

31

pembinaan terhadap remaja mengenai prinsip umum yang penting dalam

mengendalikan perilaku kehidupan orang dewasa.

Selanjutnya, yang membuat sulitnya mengubah konsep moral

khusus menjadi konsep moral umum adalah model atau pola kedisiplinan

yang diterapkan dirumah maupun sekolah. Karena orang tua maupun

guru melihat bahwa remaja telah mengetahui konsep benar dan salah,

maka kedisiplinan hanya berfokus pada pemberian hukuman pada

perilaku salah yang dibuat remaja.

Menurut Erikson (dalam Slavin, 2011) perkembangan psikososial

individu dibagi menjadi 8 tahap perekembangan,dan pada masing-masing

tahap terdapat krisis atau masalah kritis yang harus diatasi. Kebanyakan

orang mengatasi krisis psikososial itu dengan memuaskan dan kemudian

meninggalkannya untuk menghadapi tantangan baru. Tetapi beberapa

orang tidak mengatasi semua krisis ini secara menyeluruh dan harus terus

menghadapinya kemudian dalam kehidupannya (Miller, dalam Slavin,

2011).

Pandangan Kohlberg mengenai pentingnya peran teman sebaya

dalam penalaran moral sejalan dengan teori Erikson mengenai tahap

perkembangan psikososialnya. Erikson membagi tahap perkembangan

psikososial menjadi 8 tahapan. Dimana pada usia remaja yaitu sekitar

usia 12 hingga 18 tahun remaja melalui tahap identitas vs kebingungan

(44)

Untuk menjawabnya, remaja makin menjauhkan diri dari orangtua dan

makin mendekati kelompok sebaya. Erikson percaya bahwa, selama

masa remaja fisiologi orang yang berubah pesat ditambah dengan

tekanan untuk mengambil keputusan tentang pendidikan dan karir masa

depan, mengakibatkan perlu mempertanyakan dan mendefinisikan

kembali identitas psikososial yang sudah terbentuk selama masa-masa

sebelumnya.

2. Masa Remaja

a. Pengertian Masa Remaja

Istilah adolesenceatau remaja berasal dari kata latin adolescere kata

bendanya adolescentia yang berarti reamaja yang berarti tumbuh atau

tumbuh menjadi dewasa. Dahulu remaja dianggap tidak berbeda dengan

periode- periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap telah

dewasa apabila telah mampu bereproduksi.

Hurlock (2003), mengungkapakan istilah adolescence, seperti yang

telah dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup

kematangan mental, emosional, social, dan fisik. Sejalan dengan

Hurlock, Piaget (dalam Hurlock, 2003) mengatakan bahwa remaja adalah

usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia

dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih

tua, melainkan pada tingkatan yang sama., sekurang-kurangnya dalam

masalah hak. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir

(45)

33

social orang dewasa, yang kenyataaanya merupakan ciri khas yang dari

periode perkembangan ini.

Hurlock membagi usia remaja dalam dua masa, yaitu awal masa

remaja yang berlangsung kira-kira dari tigabelas tahun sampai enambelas

atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari 16 atau 17

tahun sampai 18 tahun yaitu usia matang sesuai hukum.

Muagman (1980) dalam Sarwono (2006) mendefinisikan remaja

berdasarkan definisi konseptual World Health Organization(WHO) yang

mendefinisikan remaja berdasarkan 3 (tiga) kriteria, yaitu : biologis,

psikologis, dan sosial ekonomi.

1. Remaja adalah situasi masa ketika individu berkembang dari

saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder

sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

2. Remaja adalah suatu masa ketika individu mengalami

perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak

menjadi dewasa.

3. Remaja adalah suatu masa ketika terjadi peralihan dari

ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan

yang relatif lebih mandiri.

Istilah remaja seringkali disebut juga sebagai pubertas (puberty).

Santrock (2003) mengemukakan pubertas ialah suatu periode dimana

kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada masa awal

(46)

berangsur-angsur. Sejalan dengan hal itu, Feist (2014) menyatakan

bahwa masa remaja diawali pubertas dan diakhiri dengan kebutuhan akan

cinta seksual terhadap seseorang. Masa ini ditandai dengan ledakan

ketertarikan genital dan datangnya hubungan yang bersifat berahi.

Sedangkan Erikson (dalam Feist, 2014) melihat remaja sebagai

periode latensi social, seperti ia melihat usia sekolah sebagai periode

latensi seksual. Ia menambahkan bahwa remaja merupakan fase adaptif

dari perkembangan kepribadian atau periode mencoba-coba. Sedangkan

pubertas ia definisikan sebagai kematangan genital yang memainkan

peranan cukup kecil dalam konsep teori perkembangannya. Erikson

menambahkan, untuk sebagian orang muda kematangan genital tidak

menampilkan krisis seksual. Akan tetapi pubertas penting secara

psikologis karena memicu pengharapan akan peran seksual dimasa

mendatang.

Pada masa remaja, sesuai dengan teori perkembangan Erikson

seseorang berada pada tahap identitas versus kebingungan identitas.

Pencarian akan ego identitas mencapai puncaknya selama remaja sebagai

anak muda yang berjuang untuk mencari tahu siapa dirinya dan bukan

dirinya. Dengan berkembangnya pubertas, remaja mencari peran baru

untuk membantu mereka menemukan identitas seksual, ideologis, dan

pekerjaan mereka. Dalam pencariaanya ini, remaja menarik beragam

(47)

35

selama masa kanak-kanak, usia bermain, dan usia sekolah. Lalu pada

masa remaja dikuatkan dengan konflik psikososial identitas versus

kebingungan identitas.

b. Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan

dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut

Hurlock (2003), antara lain

1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu

perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan

dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan

mempengaruhi perkembangan selanjutnya

2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti

perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat

dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas,

keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya

hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan

sifat yang paling sesuai dengan dirinya.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada

emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa

yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta

(48)

4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari

remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa

peranannya dalam masyarakat.

5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan.

Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku

yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua

menjadi takut.

6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja

cenderung memandang kehidupan dari kaca mata berwarna

merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain

sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya

terlebih dalam cita-cita.

7. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami

kebingungan atau kesulitan di dalam usaha meninggalkan

kebiasaan pada usia sebelumnya dan di dalam memberikan

kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan

merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan

dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa

perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

c. Tahap Perkembangan Masa Remaja

Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global

(49)

37

tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja

pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Monks, 2009).

Menurut Hurlock (2003), masa remaja dibagi menjadi dua tahap

perkembangan yaitu masa remaja awal yang rentang usianya adalah

sekitar 12-16 tahun, dengan ciri khas antara lain lebih dekat dengan

teman sebaya, ingin bebas, lebih banyak memperhatikan keadaan

tubuhnya dan mulai berpikir abstrak, mencari identitas diri. Sedangkan

masa remaja akhir sekitar 17-21 tahun, dengan ciri khas antara lain

pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya,

mempunyai citra jasmani dirinya, mampu berfikir abstrak.

Garis pemisah antara awal masa remaja dan kahir masa remaja

terletak kira-kira di sekitar usia tujuh belas tahun, yaitu usia saat dimana

rata-rata setiap remaja memasuki sekolah tingkat atas. Awal masa remaja

biasanya berlangsung kira-kira dari usia tiga belas tahun sampai enam

belas tahun atau tujuh belas tahun. Usia awal remaja ini biasanya disebut

sebagai “usia belasan” kadang-kadang bahkan disebut sebagai “usia

belasan yang tidak menyenangkan”. Usia belasan tahun ini cenderung

dihubungkan oleh pola perilaku khas remaja.

Namun perlu diingat bahwa pembagian ini tidak mutlak dan ketat.

Pembagian ini hanya menunjukkan umur rata-rata pria dan wanita mulai

menunjukkan perubahan-perubahan dalam penampilan, minat, sikap, dan

(50)

3. Keluarga

a. Pengertian Keluarga

Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan,

kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan

budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta

sosial dari tiap anggota keluarga (Duvall dan Logan, 1986). Selain itu,

dijelaskan pula bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup

dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau

adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai

peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu

budaya (Bailon dan Maglaya,1978 ).

Menurut Departemen Kesehatan RI (1988), keluarga merupakan unit

terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa

orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap

dalam keadaan saling ketergantungan. Sejalan dengan hal tersebut Kartono

(dalam Rozano, dkk, 2016), keluarga merupakan unit sosial yang terkecil

yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Sedangkan

menurut Bustaman (dalam Rozano, dkk, 2016) keluarga adalah

kelompok-kelompok orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan

perkawinan darah atau adopsi yang membentuk satu sama lain dan

berkaitan dengan melalui peran-peran tersendiri sebagai anggota keluarga

dan pertahanan kebudayaan masyarakat yang berlaku dan menciptakan

(51)

39

Dari beberapa pengertian ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup

bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya

selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal

bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga

dan makan dalam satu periuk.

b. Ciri-Ciri Keluarga

Ciri–ciri umum menurut Mac iver and Page, ciri–ciri umum keluarga

antara lain :

1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

2. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan

dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan

dipelihara .

3. Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis

keturunan.

4. Ketentuan–ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota–

anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap

kebutuhan–kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan

kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan

anak .

5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga

yang walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah

(52)

c. Fungsi Keluarga

Secara umum fungsi keluarga menurut Friedman (dalam Setyowati

dan Muwarni, 2007 : 29) adalah sebagai berikut:

a) Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga

yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk

mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang

lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan

psikososial anggota keluarga.

b) Fungsi sosialisasi dan tempat sosialisasi (sosialitation and sosial

placement function) adalah fungsi mengembangkan dan tempat

melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan

rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

c) Fungsi reproduksi (the reproduktif function) merupakan fungsi

untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan

keluarga.

d) Fungsi ekonomi (the economic function) yaitu keluarga

berfungsi memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan

tempat untuk mengembangkan kemampuan individu

meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

keluarga.

e) Fungsi perawatan / pemeliharaan kesehatan (the health care

function) yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan

(53)

41

tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di

bidang kesehatan.

Terdapat 5 fungsi keluarga dalam tatanan masyarakat, yaitu :

1. Fungsi Biologis

a. Untuk meneruskan keturunan

b. Memelihara dan membesarkan anak

c. Memberikan makanan bagi keluarga dan memenuhi

kebutuhan gizi

d. Merawat dan melindungi kesehatan para anggotanya

e. Memberi kesempatan untuk berekreasi

2. Fungsi Psikologis

a. Identitas keluarga serta rasa aman dan kasih sayang

b. Pendewasaan kepribadian bagi para anggotanya

c. Perlindungan secara psikologis

d. Mengadakan hubungan keluarga dengan keluarga lain atau

masyarakat

3. Fungsi Sosial Budaya atau Sosiologi

a. Meneruskan nilai-nilai budaya

b. Sosialisasi

c. Pembentukan noema-norma, tingkah laku pada tiap tahap

perkembangan anak serta kehidupan keluarga

(54)

a. Mencari sumber-sumber untuk memenuhi fungsi lainnya

b. Pembagian sumber-sumber tersebut untuk pengeluaran atau

tabungan

c. Pengaturan ekonomi atau keuangan

5. Fungsi Pendidikan

a. Penanaman keterampilan, tingkah laku dan pengetahuan

dalam hubungan dengan fungsi-fungsi lain.

b. Persiapan untuk kehidupan dewasa.

c. Memenuhi peranan sehingga anggota keluarga yang dewasa

d. Bentuk Keluarga

Keluarga dibagi menjadi beberapa bentuk berdasarkan garis

keturunan, jenis perkawinan, pemukiman, jenis anggota keluarga dan

kekuasaan.

1. Berdasarkan Garis Keturunan

a. Patrilinear adalah keturunan sedarah yang terdiri dari sanak

saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan

itu disusun melalui jalur garis ayah.

b. Matrilinear adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak

saudara sedarah dalam beberapa ganerasi dimana hubungan itu

(55)

43

2. Berdasarkan Jenis Perkawinan

a. Monogami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami

dengan seorang istri.

b. Poligami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami

dengan lebih dari satu istri.

3. Berdasarkan Pemukiman

a. Patrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau

dekat dengan keluarga sedarah suami.

b. Matrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau

dekat dengan keluarga satu istri

c. Neolokal adalah pasangan suami istri, tinggal jauh dari

keluarga suami maupun istri.

4. Berdasarkan Jenis Anggota Keluarga

a. Keluarga inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri

dari ayah, ibu dan anak-anak.

b. Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti

ditambahkan dengan sanak saudara. Misalnya : kakak, nenek,

keponakan, dan lain-lain.

c. Keluarga Berantai (Serial Family) adalah keluarga yang

terdiiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali

(56)

d. Keluarga Duda/janda (Single Family) dalah keluarga yang

terjadi karena perceraian atau kematian.

e. Keluarga berkomposisi (Composite) adalah keluarga yang

perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama.

f. Keluarga Kabitas (Cahabitation) adalah dua orang yang terjadi

tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.

5. Berdasarkan Kekuasaan

a. Patriakal adalah keluarga yang dominan dan memegang

kekuasaan dalam keluarga adalah dipihak ayah.

b. Matrikal adalah keluarga yang dominan dan memegang

kekuasaan dalam keluarga adalah pihak ibu.

c. Equalitarium adalah keluarga yang memegang kekuasaan

adalah ayah dan ibu.

4. Keluarga yang bercerai (Broken Home)

Keluarga merupakan salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang

hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan

biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya,

tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala

keluarga. Dalam satu keluarga selalu memiliki tujuan yang sama yaitu dalam

rangka mencapai kebahagiaan. Seperti dambaan setiap manusia, bahwa

(57)

45

keturunan, karena adanya perasaan saling menyayangi dan mengasihi serta

memiliki tujuan bersama untuk mewujudkan kehidupan harmonis.

Dalam kenyataan sehari-hari tidak semua keluarga mencapai keluarga

yang bahagia, banyak diantara keluarga mengalami masalah dalam

berkeluarga seperti masalah hubungan suami istri, pendidikan anak, ekonomi

keluarga, hubungan kemasyarakatan dan lain sebagainya. Menurut Wirawan

(dalam Hyoscyamina, 2008) Konflik dalam keluarga akan tetap ada karena

manusia tidak akan pernah lepas dari masalah.

Dalam Oxford Dictionary (2010, h. 219) dituliskan bahwa broken home

adalah “A family in which the parents are divorced or separated”. Jadi

broken home adalah keluarga yang orangtuanya bercerai atau berpisah tempat

tinggal.

Platt (dikutip dalam Musick, 1995, h. 147) menyatakan bahwa “A

psychologically broken home is one where quarreling and fighting dominates,

where regular verbal abuse of children and parents occurs. Physically

broken homes are those where one or both parents are missing.”

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa broken home adalah

kondisi ketidakutuhan dalam sebuah keluarga yang diakibatkan oleh

perceraian dan perpisahan antara suami dan istri.

Habsari (2005) menyatakan bahwa beberapa hal yang menjadi

penyebab broken home adalah kemiskinan dan hutang yang melilit, pasangan

tidak lagi saling menghargai dan menyayangi, pengaruh orang ketiga yang

(58)

jatuh cinta terhadap orang lain sehingga menyebabkan terjadinya

perselingkuhan.

Sumber utama konflik dalam keluarga Around dan Pauker (dalam

Hndayani, Suminar, dkk 2008) yang mampu menyebabkan permasalahan

dalam keluarga adalah masalah finansial, keluarga, gaya komunikasi,

tugas-tugas rumah tangga, dan selera pribadi.

Selain itu menurut Wirawan (dalam Hyoscyamina, 2008)

penyebab-penyebab dari masalah keluarga sangat beragam, karena setiap keluarga

mempunyai masalah sendiri-sendiri. Beberapa faktor dibawah ini adalah

penyebab masalah keluarga yang sering timbul:

1. Kurangnya kemampuan berinteraksi antar pribadi dalam

menanggulangi masalah. Dalam usahanya untuk menghadapi masa

transisi dan krisis, banyak keluarga kesulitan menanggulangi

masalah karena kurangnya pengetahuan, kemampuan dan

fleksibilitas untuk berubah, hal ini disebabkan karena

masing-masing mengalami kesulitan beradaptasi, yang menghalangi

penyesuaian kembali dengan situasi yang baru. Jenis

halangan-halangan tersebut dapat muncul dengan tipe yang berbeda-beda,

yaitu:

a. Halangan dalam komunikasi, timbul jika masing-masing

anggota keluarga tidak tahu bagaimana mereka harus

membagikan perasaan mereka dengan anggota keluarga

(59)

47

dengan jelas. Hal yang sulit bagi sebuah keluarga adalah jika

masing-masing dari anggota keluarga tidak dapat

berkomunikasi secara efektif.

b. Halangan dalam hal keakraban/ kedekatan merupakan ciri dari

keluarga yang mempunyai hubungan yang tidak erat satu sama

lain. Mereka jarang meluangkan waktu untuk bersama-sama,

tidak saling percaya atau tidak menghormati anggota keluarga

yang lain, jarang berbagi masalah, dan punya kesulitan dalam

menangani krisis karena mereka tidak pernah belajar untuk

bekerjasama dengan akrab.

c. Halangan dalam hal aturan keluarga yang tidak tertulis, bahkan

seringkali tidak dikatakan, namun biasanya merupakan

hukum-hukum yang diterima tentang siapa tidak boleh melakukan apa.

Hampir semua keluarga tidak mempunyai aturan yang baku

sehingga hal ini seringkali membingungkan terutama bagi

anak-anak.

d. Halangan sehubungan dengan sejarah keluarga, terutama

rahasia keluarga yang tidak boleh diungkapkan, misalnya

kehamilan yang tidak sah, anak cacat, hutang dan lain

sebagainya.

2. Kurangnya Komitmen Terhadap Keluarga menjadi sangat sulit

untuk membangun kebersamaan keluarga dan menangani masalah

(60)

keinginan atau waktu untuk terlibat dalam menyelesaikan masalah

keluarga.

3. Peran yang kurang jelas dan kaku dari anggota keluarga. Setiap

keluarga menetapkan peran masing-masing anggotanya dan harus

fleksibel jangan kaku. Kurangnya kestabilan menghadapi

lingkungan.

4. Masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga kerap kali berasal

dari luar rumah, adanya campur tangan dari keluarga besar dan

orang-orang lain yang dapat mengganggu kestabilan keluarga.

5. Tidak lancarnya komunikasi dalam keluarga sehingga

permasalahan yang muncul tidak dapat dibicarakan dan dicari jalan

keluar terbaik.

B. Perspektif Teoritis

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari

kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu

tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Selain itu,

keluarga juga memiliki tujuan bersama untuk menciptakan kehidupan yang

harmonis, bahagia dan sejahtera. Namun dalam kenyataan sehari-hari tidak

semua keluarga mencapai keluarga yang bahagia, banyak diantara keluarga

mengalami masalah dalam berkeluarga seperti masalah hubungan suami istri,

pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan kemasyarakatan dan lain

sebagainya.

(61)

49

diselesaikan oleh anggota keluarga itu sendiri. Namun tak sedikit pula,

masalah yang hanya dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan berakhir

pada perceraian.

Perceraian yang terjadi pada sebuah keluarga tidak hanya berdampak

terhadap pasangan itu sendiri. Namun sangat berdampak pada perkembangan

anak. Sejalan dengan hal itu, banyak peneliti setuju bahwa anak-anak dari

keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk

dibanding anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai. Menurut Conger dan

Chao (dalam Santrock, 2007) dibanding anak dari keluarga utuh,

anak-anak dari keluarga yang bercerai lebih memiliki kecenderungan untuk

mengalami masalah akademis, menunjukkan masalah-masalah eksternal

(seperti menyuarakan perasaan dan kenakalan) dan masalah internal (seperti

kecemasan dan depresi), kurang memiliki tanggung jawab social, memiliki

hubungan intim yang kurang baik, putus sekolah, aktif secara seksual di usia

dini, menggunakan obat-obatan, berhubungan dengan peer yang antisosial,

dan memiliki nilai diri yang rendah.

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat

belajar sebagai makhluk sosial juga merupakan dasar pembentukan tingkah

laku, watak, moral dan pendidikan anak. Interaksi di dalam keluarga akan

menentukan pula tingkah laku terhadap orang lain dalam masyarakat. Orang

tua sangat besar peranan dan tanggung jawabnya dalam mendidik dan

membimbing anak-anaknya. Intensitas kehadiran orang tua untuk bertemu

(62)

Gambar

Tabel 2. Panduan Wawancara …...…………………………………… 59
 Tabel 1
  Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 sebagai produk baru yang mengamendemen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dinilai sebagai produk yang bertentangan

1) Tahap penyusunan rencana, yang dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat) langkah. Langkah

memperbesar ukuran sel, sehingga pada tahap awal fermentasi glukosa yang ada pada subtsrat terkonversi menjadi produk (bioetanol) oleh mikroorganisme masih sedikit. Pada

Pendekatan Kuantitatif Analisis SWOT Pendekatan kuantitatif merupakan suatu pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui posisi objek wisata Pemandian Manigom pada

Hasil yang dilakukan dengan one way anova menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan terhadap pelayanan penjualan tiket antara kelompok konsumen transportasi darat, laut

Dalam banyak kasus, Sistem Operasi menyediakan suatu pustaka dari fungsi-fungsi standar, dimana aplikasi lain dapat memanggil fungsi-fungsi itu, sehingga dalam

pendidikan 37Yo responden menjawab ingin beke{a dan melanjutkan strata dua. Responden kurang berani untuk mengambil resiko memulai sebuah usaha dengan kendala-kendala

Namun pada grafik efek aktivitas antiinflamasi yang memperlihatkan penurunan volume radang yang baik adalah pada dosis 250 mg/kgBB karena penurunannya lebih stabil