PERKEMBANGAN PENALARAN MORAL REMAJA PADA KELUARGA YANG BERCERAI
SKRIPSI
DiajukanKepadaUniversitas Islam NegeriSunanAmpel Surabaya
untukMemenuhi Salah SatuPersyaratandalamMenyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
DessyNurmaAzizi B07213003
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
INTISARI
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui proses perkembangan penalaran moral remaja pada keluarga yang bercerai. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara yang dilakukan kepada subjek dan significant other serta didukung oleh dokumentasi. Subjek penelitian adalah seorang remaja laki-laki dengan usia 13 tahun dari keluarga yang bercerai. Subjek berada pada tahapan perkembangan penalaran moral yang kedua yaitu penalaran moral konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perkembangan moral subyek dilatar belakangi oleh kesempatan pengambilan peran, situasi moral serta konfklik moral kognitif yang membentuk subyek memiliki penalaran moral yang baik tanpa pendampingan yang intens oleh orang tua. Adapun Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral subyek meliputi faktor internal yaitu sifat bawaan subyek seperti rasa empati, pemurah, tanggung jawab, serta menghormati orang tua. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan penalaran moral subyek meliputi lingkungan tempat ia tinggal, teman bermain, kegiatan positif yang subyek ikuti, serta bimbingan dari keluarga.
qualitative method with case study approach. Technique for collecting data used in this research are observation and interviews which done to subject and significant other, also equipped with documentations. Subject is male teenager (13 years old) from divorced family. Subject is on second stage of moral reasoning development which is conventional moral reasoning. Research result shows moral development process of subject caused by chance of role taking, moral situation and cognitive moral conflict which from subject to has good moral reasoning even without intense parental assistance. As for factors which influenced subject moral reasoning development including innate nature of subject (internal factor) such as empathy, generosity, responsibility, and parental respect whereas external factor that influenced subject’s moral reasoning development are environment, friends of the same age, positive activities, and family guidance.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN PENGESAHAN ……...……… ii
HALAMAN PERNYATAAN ……….. iii
KATA PENGANTAR ………...……… iv
DAFTAR ISI ……… vi
DAFTAR TABEL ………. vii
DAFTAR LAMPIRAN ……… ix
INTISARI …..………....……… x
ABSTRACT ..……… xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian …..……… 1
B. Fokus Penelitian …….……… 12
C. Tujuan Penelitian ………... 12
D. Manfaat Penelitian ………. 12
E. Keaslian Penelitian ……… 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Perkembangan Moral ………... 17
a. Pengertian Moral ………... 17
b. Penalaran Moral ………. 17
c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Mora ……… 19
d. Perubahan Konsep Moral …...……… 29
2. Masa Remaja ……… 33
a. Pengertian masa remaja ……..……… 33
b. Ciri-ciri masa remaja ..……… 36
c. Tahap perkembangan masa remaja ……… 38
3. Keluarga ………...………... 39
a. Pengertian keluarga ………... 39
b. Ciri-ciri keluarga ………... 40
c. Fungsi keluarga ……..………... 41
d. Bentuk keluarga ……..………... 44
4. Keluarga yang bercerai (Broken Home) ...………... 46
B. Lokasi Penelitian …...……… 55
C. Sumber Data ………..……… 55
D. Prosedur Pengumpul Data ….……… 56
E. Subjek Penelitian …...……… 60
F. Analisis Data ……… 62
G. Keabsahan Data …….……….... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek ……….. 68
B. Hasil Penelitian ……...……….. 69
1. Deskripsi temuan Penelitian …….……….. 69
2. Analisis temuan penelitian ……...……….. 86
C. Pembahasan ……….. 92
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 100
B. Saran ……….. 101
DAFTAR PUSTAKA ……..……… 103
DAFTAR TABEL
[image:11.595.143.472.235.554.2]BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Budaya Indonesia yang terkenal dengan menjunjung tinggi nilai
luhur sebaiknya masih tertanam di dalam diri para penerus bangsa agar
tetap memiliki moral yang baik. Moral yang baik pada individu akan
mengantarkan setiap individu kepada kesejahteraan hidup serta secara
tidak langsung akan menjaga kesejahteraan masyarakat umum.
Penanaman nilai moral dinilai efektif apabila dilakukan sejak dini oleh
lingkungan keluarga tempat anak tumbuh dan berkembang. Sehingga
diharapkan nilai moral akan mengakar kuat pada diri seorang individu.
Hal ini tentunya sesuai dengan isu-isu yang muncul belakangan ini
terkait semakin resahnya masyarakat terutama orang tua mengenai
kenakalan remaja. Pergaulan remaja pada masa sekarang sangat
mengkhawatirkan dikarenakan perkembangan arus modernisasi yang
men-dunia dan menipisnya moral serta keimanan seseorang (Nurhani,
2016). Hal ini dikarenakan pada masa remaja seorang individu berada
pada masa ketegangan emosi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar.
Remaja adalah suatu masa peralihan dari anak-anak menuju
dewasa dimana individu berproses menuju kedewasaannya. Masa remaja
diasumsikan berada pada rentang usia 12 hingga 21 tahun. Pada masa ini
berada pada masa ketegangan emosi sebagai akibat dari perubahan fisik
dan kelenjar. Selain itu meningginya emosi terutama karena laki-laki dan
perempuan berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru,
sedangkan pada masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk
menghadapi keadaan-keadaan itu (Rutter, M., dkk dalam Hurlock 2003).
Selain emosi yang tidak stabil, pada masa remaja dinilai sangat
rentan terhadap dampak yang timbul oleh lingkungan sosial. Hal ini
dikarenakan pada masa ini, individu memiliki tugas perkembangan yang
penting terkait dengan lingkungan sosial dan erat kaitannya dengan
pengaruh kelompok sebaya atau lingkungan tempat ia tinggal. Salzman
(dalam Fatimah, 2006) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa
perkembangan dari sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke
arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri,
dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.
Sangatlah mungkin pengaruh lingkungan tempat tinggal terhadap
sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada
pengaruh keluarga. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga
sangatlah dibutuhkan perannya untuk mengawasi serta membimbing
sedini mungkin agar perilaku yang timbul pada usia remaja tidak terlalu
mengkhawatirkan. Pendidikan yang ditekankan dalam pendidikan
keluarga tidak semata tentang pendidikan akademik namun lebih kearah
pendidikan karakter dan pendidikan moral. Sehingga apabila fungsi
3
yang baik pula. Namun pada kenyataanya, banyak keluarga yang hancur
ditengah jalan dikarenakan banyak factor dan berakhir pada perceraian.
Perceraian terjadi karena adanya beragam konflik yang ada pada sebuah
keluarga, sehingga tidak ditemukannya jalan keluar. Tidak dapat pungkiri
bahwa semakin hari tingkat perceraian di Indonesia terlihat semakin
meningkat terlebih daerah Jawa Timur.
Fakta pertama ditunjukkan oleh Harian Kompas (2016) yang
menyatakan bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang
terbesar angka perceraian di Indonesia, yakni mencapai 47 persen atau
mencapai sekitar 90.000 pasangan. Sedangkan empat tahun lalu,
berdasarkan data pengadilan agama tercatat ada 60.000 pasangan yang
bercerai setiap tahun, dan sekarang sudah mencapai 90.000 pasangan per
tahun. Hal serupa dikemukakan oleh Harian Malang (2016) bahwa
Provinsi Jawa Timur menjadi penyumbang angka perceraian terbesar di
Indonesia, yakni dengan prosentase 47 persen atau hampir separuh dari
kasus perceraian di Indonesia.
Perceraian dalam rumah tangga tentunya membawa dampak yang
signifikan terhadap keluarga itu sendiri. Khusunya terhadap anak-anak
yang terbiasa hidup dalam keluarga utuh akan berusaha menerima
keadaaan yang terpaksa ia harus jalani akibat perceraian tersebut. Usia
yang dikatakan rentan terhadap dampak perceraian adalah ketika
anak-anak serta awal masa remaja. Hal tersebut dikarenakan pada usia ini,
psikis kepada kedua orang tua mereka. Pada awal masa remaja, banyak
anak dari keluarga-keluarga yang retak telah tersandung ke dalam sarang
lebah malapetaka kaum remaja termasuk nilai-nilai yang merosot,
tingkah laku seksual terlampau dini, penggunaan obat-obat terlarang dan
tindakan kejahatan serta perilaku moral yang buruk.
Pada masa remaja, menurut Kohlberg dalam teori perkembangan
moral seorang individu remaja berada pada tahap perkembangan moral
konvensional. Pada tingkatan ini, individu memberlakukan standart
tertentu, tetapi standart ini ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua
atau pemerintah. Penalaran moral inilah yang menjadi indicator dari
tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran
mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada
memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar bahwa suatu
itu salah.
Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari
moral adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2001).
Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang
diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar
dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas
pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban
atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada
5
Penalaran serta pendidikan moral sangat tergantung terhadap
pengasuhan sebuah keluaraga. Keluarga dianggap sebagai pembentuk
pondasi utama jati diri seorang anak. Dalam usia remaja, seorang
individu berada pada masa yang cenderung ambivalen terhadap setiap
peristiwa dan godaan-godaan dan cobaan-cobaan yang bersifat duniawi.
Sehingga peran keluarga dianggap penting untuk membentuk,
meluruskan serta membimbing remaja untuk berperilaku serta memiliki
penalaran moral yang baik. Hal ini sesuai penelitian yang pernah
dilakukan oleh Harston dan May (dalam Nurhani, 2016) yang
mengemukakan bahwa pendidikan moral yang tidak disertai penalaran
tidak cukup efektif untuk meningkatkan moralitas seseorang. Harston dan
May telah melakukan serangkaian studi tentang mencuri, berbuat curang,
dan berbohong di rumah, di sekolah, di perkumpulan-perkumpulan, dan
di kelompok keagamaan-keagamaan. Kesimpulan dari setiap studi
tersebut menunjukkan bahwa cara-cara pendidikan moral yang kurang
menggunakan penalaran ternyata kurang efektif, artinya karena
penekanan pendidikan moral tidak diarahkan kepada perubahan struktur
berfikir, maka individu akan mengalami kesulitan membuat
keputusan-keputusan moral bila menghadapi masalah atau situasi baru yang berbeda
dengan apa yang telah diajarkan.
Maraknya isu terkait kenakalan remaja di Indonesia tentunya
sedikit banyak akan membuat orang tua khawatir tentang pergaulan anak
remaja, peran keluarga dianggap sangat penting sebagai pembimbing,
pengarah serta pengawas seluruh kegiatan yang dilakukan oleh remaja
mereka. Sehingga bagi kelurga yang telah bercerai akan sulit dilakukan
pemantauan yang intens terhadap remaja mereka dikarenakan bentuk
keluarga yang tidak lagi lengkap seperti sebelum terjadinya perceraian.
Ditunjukkan oleh bisnissurabaya.com bahwa banyaknya kasus
kenakalan remaja yang kian hari semakin meningkat, hal itu dapat dilihat
dari statistik data kenakalan remaja sejak Januari hingga 22 November
2016, total kenakalan remaja yang ditangani tim satpol PP sebanyak 793
kasus. Rinciannya, 597 laki-laki dan 196 perempuan. Angka ini
mengalami peningkatan jika dibanding tahun lalu sebanyak 675 kasus.
menurut data satpol PP (2016), pelanggaran kenakalan remaja terbanyak
tahun ini didominasi oleh remaja yang kongkow di café. Jumlahnya
mencapai 135 kasus. Mereka yang terjaring razia di café umumnya
terjerat masalah minuman keras (miras) dan narkoba. Fakta lain
ditunjukkan oleh Harian Kompas (2016) bahwa total kejahatan yang
terjadi selama 2016 meningkat dari 44.304 pada 2015 menjadi 43.149
pada 2016. Peningkatannya lebih kurang tiga persen. Tercatat, ada 11
jenis kasus yang menonjol pada 2016. Sebanyak 11 kasus itu adalah
pencurian dengan pemberatan (curat) sebanyak 3.187 kasus, pencurian
dengan kekerasan (curas) sebanyak 719 kasus, penganiayaan berat
7
Karena kurangnya pengawasan orang tua dan penanaman nilai
moral yang kurang terhadap anak, banyak anak yang akhirnya terjerumus
ke dalam kelompok-kelompok sebaya yang buruk atau biasa disebut
dengan geng. Seperti yang peneliti lihat di daerah Kediri terdapat
beberapa kelompok (geng) yang sering membuat onar dan meresahkan
warga, diantaranya adalah balap liar dan punk. Hal ini banyak
disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan pengawasan orang tua serta
akibat dari perceraian keluarga.
Seperti ditunjukkan oleh liputan6.com bahwa terdapat geng-geng
terbesar yang berada di area Jawa Timur dan beberapa diantaranya
berasal dari Kediri. Liputan6.com, Jakarta mengungkapkan bahwa
zaman sekarang dunia memang sudah berkembang pesat, tak terkecuali
kenakalan remaja. Biasanya mereka akan menyalurkan kenakalannya
dengan bergabung dalam sebuah geng. Saya akan berbagi info soal
beberapa geng besar di Jawa Timur dan jika Anda mempunyai masalah
dengan geng-geng ini, penolong terbaik Anda adalah pihak kepolisian.
Geng tersebut diantaranya adalah Ligas yaitu salah satu geng terbesar di
daerah Jawa Timur. Persebaran geng ini meliputi beberapa kabupaten,
yaitu Kediri, Jombang, Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar. Pusat geng
ini berada di wilayah Ngantru, Tulungagung dan Prigi, Trenggalek.
Diperkirakan Jumlah anggotanya mencapai 20.000 pemuda. Beberapa
pelanggaran hukum sering dilakukan oleh geng ini salah satunya adalah
melibas musuhnya menggunakan senjata tajam. Selain itu ada Demper,
Geng ini berpusat di daerah Demangan, Karas, Kediri, yang wilayah
persebarannya berada di daerah Kediri dan Tulungagung. Jumlah anggota
geng ini tak sebanyak yang lainnya, hanya sekitar seribu. Meski
begitu, geng ini adalah salah satu geng paling ditakuti di daerah Kediri.
Merespon masalah ini beberapa pakar mencoba menerangkan
dengan mengacu pada lemahnya landasan pendidikan moral di Indonesia
khususnya di lingkungan keluarga dan masyarakat. Menurut Setiono
(dalam Nurhani, 2016) umumnya orang tua Indonesia cenderung
memberikan larangan-larangan atau keharusan-keharusan yang harus
dipatuhi anak atau mendiktekan mana yang baik dan yang buruk tanpa
memberikan dasar-dasar pertimbangan mengapa hal tersebut baik atau
buruk untuk dilakukan. Dalam hal ini anak tidak dilatih untuk
menimbang-nimbang dan akhirnya mengambil keputusan sendiri
mengenai apa yang baik dan yang buruk. Selain itu adanya konflik dalam
rumah tangga serta perceraian akan sangat mempengaruhi dampak
psikologis terhadap anak yang pada akhirnya mempengaruhi penalaran
moral serta pencapaian akademik yang rendah.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yara pada
tahun 2010 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
pada pencapaian akademik anak yang berasal dari keluarga bercerai dan
9
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Omoruyi pada
tahun 2014 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara orangtua single dan pencapaian akademik. Selain itu, terdapat
hubungan yang signifikan antara remaja dari keluarga yang bercerai
terhadap pencapaian akademik.
Sarbini dalam penelitiannya pada tahun 2014 menyatakan bahwa
psikologis anak dari keluarga yang bercerai mengalami dampak negative
yang signifikan seperti rendah diri terhadap lingkungan, temperamen,
dan rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orang tuanya.
Selain itu, Fauziah menyatakan dalam hasil penelitiannya pada
tahun 2014 bahwa remaja korban broken home memiliki kecenderungan
suka menyendiri, pendiam, murung, merasa rendah diri terhadap
teman-temannya serta menilai perceraian orang tua mempengaruhi kegiatan
sehari-hari dan kegiatan belajar remaja.
Sejalan dengan hal itu, penelitian yang dilakukan oleh Aziz pada
tahun 2015 yang menunjukkan bahwa banyak anak korban broken home
tingkat SMP perilaku social mereka sudah sangat menggelisahkan para
guru. Perilaku mereka menyebabkan banyak guru yang mengeluh karena
suka melanggar aturan-aturan sekolah, bicara kasar, suka
melawan/menentang, tidak berakhlaq, tidak sopan, tidak bermoral, malas
ke sekolah, suka bolos, malas belajar, hilang semangat belajar, suka
Selanjutnya, Nurhani dalam penelitiannya pada tahun 2016
menghasilkan bahwa penalaran moral pada individu berbeda-beda
didasarkan pada modelling.
Namun tak dapat dipungkiri banyak para peneliti menemukan
bahwa anak yang diasuh satu orang tua akan jauh lebih baik dari pada
anak yang diasuh keluarga utuh yang diselimuti rasa tertekan. Perceraian
dalam keluarga, tidaklah selalu membawa dampak negatif. Sikap untuk
menghindari suatu konflik, rasa tidak puas. Perbedaan paham yang
terus-menerus, maka peristiwa perceraian itu satu-satunya jalan keluar untuk
memperoleh ketentraman diri. Perceraian dalam keluarga manapun
merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi remaja karena
akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu
orang tua. Bagaimana remaja bereaksi terhadap perceraian orang tuanya
sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan
sesudah perpisahan. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan
penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau
penarikan diri dari lingkungan sosial. Namun terdapat beberapa remaja
yang bahkan dengan sangat baik tetap mampu menjaga dirinya,
membentuk perilaku yang baik pula bahkan tetap bisa mempertahankan
prestasinya.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharani
11
berkembang dengan baik oleh adanya peran serta dukungan social ayah
meskipun keluarga tidak lagi utuh.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Wrastari pada tahun
2013 menunjukkan bahwa meskipun keluarga telah bercerai namun anak
mampu memiliki psychological well-being yang baik dikarenakan faktor
seperti peer support, kebutuhan akan cinta dan kemtangan menuju
dewasa.
Alasan mengapa peneliti tertarik untuk meneliti perkembangan
penalaran moral remaja pada keluarga yang bercerai ini dikarenakan
peneliti melihat adanya keunikan pada beberapa kasus terhadap
keberhasilan akademik yang tinggi serta memiliki kesadaran diri yang
baik pada remaja dari keluarga yang bercerai. Peneliti ingin melihat
bagaimana proses perkembangan penalaran moral yang terbentuk
sehingga mampu membentuk pribadi yang sedemikian tanpa adanya
pengawasan serta pengasuhan dari keluarga yang lengkap. Keunikan dari
beberapa kasus ini terletak pada kemampuan subjek mengelola diri,
perilaku moral yang baik serta pencapaian prestasi belajar yang tinggi
bahkan disaat ia tidak diasuh oleh orang tua yang lengkap. Subjek
penelitian merupakan remaja yang berasal dari keluarga yang bercerai.
Penelitian ini akan dilakukan di kabupaten Kediri dengan kriteria subjek
yang telah ditentukan oleh peneliti. Peneliti ingin mengungkap latar
detail serta mendalam melalui penelitian kualitatif dengan strategi studi
kasus.
B. Fokus Penelitian
Untuk mempermudah penulis dalam menganalisis hasil penelitian,
maka Penelitian ini difokuskan pada Remaja dengan rentang usia 12
hingga 16 tahun dari keluarga yang bercerai terutama dengan pencapaian
prestasi yang tinggi serta memiliki perilaku serta penalaran moral yang
baik.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimanakah
proses perkembangan penalaran moral remaja pada keluarga yang
bercerai.
D. Manfaat Penelitian
1. Praktis
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat secara praktis terutama
kepada orang tua, keluarga, serta anak. Hal tersebut diharapkan dapat
dijadikannya sebuah bahan pengetahuan mengenai proses penalaran
moral seorang remaja khususnya pada keluarga yang bercerai.
2. Teoritis
Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
13
dalam bidang pengetahuan ilmu Psikologi yang mengkaji tentang
penalaran moral remaja dan keluarga yang bercerai.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berfokus mengenai penalaran moral remaja dari
keluarga yang bercerai pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yara pada
tahun 2010 yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
pada pencapaian akademik anak yang berasal dari keluarga bercerai dan
keluarga yang utuh.
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Omoruyi pada
tahun 2014 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara orangtua single dan pencapaian akademik. Selain itu, terdapat
hubungan yang signifikan antara remaja dari keluarga yang bercerai
terhadap pencapaian akademik.
Sarbini dalam penelitiannya pada tahun 2014 menyatakan bahwa
psikologis anak dari keluarga yang bercerai mengalami dampak negative
yang signifikan seperti rendah diri terhadap lingkungan, temperamen,
dan rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orang tuanya.
Selain itu, Fauziah menyatakan dalam hasil penelitiannya pada
tahun 2014 bahwa remaja korban broken home memiliki kecenderungan
teman-temannya serta menilai perceraian orang tua mempengaruhi kegiatan
sehari-hari dan kegiatan belajar remaja.
Sejalan dengan hal itu, penelitian yang dilakukan oleh Aziz pada
tahun 2015 yang menunjukkan bahwa banyak anak korban broken home
tingkat SMP perilaku social mereka sudah sangat menggelisahkan para
guru. Perilaku mereka menyebabkan banyak guru yang mengeluh karena
suka melanggar aturan-aturan sekolah, bicara kasar, suka
melawan/menentang, tidak berakhlaq, tidak sopan, tidak bermoral, malas
ke sekolah, suka bolos, malas belajar, hilang semangat belajar, suka
recok dan caper, suka mengganggu teman dan guru.
Selanjutnya, Nurhani dalam penelitiannya pada tahun 2016
menghasilkan bahwa penalaran moral pada individu berbeda-beda
didasarkan pada modelling.
Namun tak dapat dipungkiri banyak para peneliti menemukan
bahwa anak yang diasuh satu orang tua akan jauh lebih baik dari pada
anak yang diasuh keluarga utuh yang diselimuti rasa tertekan. Perceraian
dalam keluarga, tidaklah selalu membawa dampak negatif. Sikap untuk
menghindari suatu konflik, rasa tidak puas. Perbedaan paham yang
terus-menerus, maka peristiwa perceraian itu satu-satunya jalan keluar untuk
memperoleh ketentraman diri. Perceraian dalam keluarga manapun
merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi remaja karena
akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu
15
sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan
sesudah perpisahan. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan
penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar, atau
penarikan diri dari lingkungan sosial. Namun terdapat beberapa remaja
yang bahkan dengan sangat baik tetap mampu menjaga dirinya,
membentuk perilaku yang baik pula bahkan tetap bisa mempertahankan
prestasinya.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maharani
pada tahun 2003 menunjukkan bahwa penyesuaian social anak dapat
berkembang dengan baik oleh adanya peran serta dukungan social ayah
meskipun keluarga tidak lagi utuh.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Wrastari pada tahun
2013 menunjukkan bahwa meskipun keluarga telah bercerai namun anak
mampu memiliki psychological well-being yang baik dikarenakan faktor
seperti peer support, kebutuhan akan cinta dan kemtangan menuju
dewasa.
Selain itu penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh penelitian
yang dilakukan oleh Fauziah pada penelitiannya yang menyatakan bahwa
Remaja yang berasal dari keluarga broken home agar lebih mengetahui
dan memahami diri sendiri sehingga bisa menerima dan menilai
perceraian orang tuanya secara positif.
Namun dalam penelitian ini pula tidak diungkap bagaiman proses
penalaran moral remaja sehingga mampu mencapai penalaran moral yang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Perkembangan Moral
a. Pengertian moral
Kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak mores) yang berarti
kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standart salah
atau benar bagi seseorang (Rogers & Baron, dalam Martini, 1995). Kata
moral sendiri berasal dari bahasa Latin moris yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, tata cara dalam kehidupan. Jadi suatu tingkah laku dikatakan
bermoral apabila tingkah laku itu sesuai dengan nilai – nilai moral yang
berlaku dalam kelompok sosial dimana anak itu hidup.
Sejalan dengan pengertian diatas, menurut Hurlock (2003) moral
berasal dari bahasa latin “Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat,
dan cara kebiasaan rakyat. Perilaku moral merupakan perilaku di dalam
konformitas dengan suatu tata cara moral kelompok sosial. Kohlberg
menegasakan bahwa moral merupakan bagian dari penalaran. Maka
iapun menamakannya dengan penalaran moral.
b. Penalaran Moral
Kohlberg (dalam Slavin, 2011) mendefinisikan penalaran moral
sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap
Penalaran moral dapat dijadikan sebuah prediktor terhadap dilakukannya
tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Kohlberg
mengemukakan bahwa penalaran moral adalah suatu pemikiran tentang
masalah moral. Pemikiran tersebut merupakan prinsip yang dipakai
dalam menilai dan melakukan suatu tindakan dalam situasi moral.
Menurut teori Piaget (dalam Slavin, 2011) proses penalaran moral
sejalan dengan perkembangan kognisi. Piaget percaya bahwa struktur dan
kemampuan kognisi berkembang lebih dulu. Kemampuan kognisi
kemudian menentukan kemampuan anak-anak bernalar mengenai dunia
sosialnya.
Piaget membagi tahap perkembangan moral menjadi dua, yatu
tahap moralitas heteronom dan tahap moralitas otonom. Tahap moralitas
heteronom terjadi pada usia anak-anak awal yaitu sekitar usia 4 tahun
hingga 7 tahun. Slavin (2011) menyebutnya juga sebagai tahap “realisme
moral” atau “moralitas paksaan”. Kata Heteronom berarti tunduk pada
aturan yang diberlakukan orang lain.
Selama periode heteronom, seorang anak kecil selalu dihadapkan
terhadap orang tua atau orang dewasa lain yang memberitahukan kepada
mereka manakah hal yang salah dan manakah hal yang benar. Pada usia
ini, seorang anak akan memikirkan bahwa melanggar aturan akan selalu
dikenakan hukuman dan orang yang jahat pada akhirnya akan dihukum.
Selain itu Piaget (dalam Slavin, 2011) menegaskan bahwa anak pada usia
19
menghasilkan konsekuensi negatif sekalipun maksudnya adalah sebuah
kebaikan.
Sedangkan tahap moralitas kedua menurut Piaget adalah tahap
moralitas otonom. Tahap moralitas otonom ini terjadi pada usia diatas 6
tahun atau pada masa pertengahan dan akhir anak-anak. Pada usia 10
hingga 12 tahun, anak-anak mulai tidak menggunakan dan menaati
aturan dari suara hati. Moralitas otonom disebut pula sebagai moralitas
kerja sama. Moralitas tersebut muncul ketika dunia sosial anak itu meluas
hingga meliputi makin banyak teman sebaya. Dengan terus-menerus
berinteraksi dan bekerja sama dengan anak lain, gagasan anak tersebut
tentang aturan dan karena itu juga moralitas akhirnya berubah.
c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Faktor yang paling mempengaruhi penilaian moral adalah keluarga.
Rice ( dalam Suciati, 2008) penelitian mengenai perkembangan moral
anak dan remaja menekankan pentingnya peran orang tua dan keluarga.
Terdapat beberapa faktor keluarga yang berhubungan secara signifikan
dengan pembelajaran moral pada anak
1) Tingkat kehangatan, penerimaan dan kepercayaan yang
ditunjukan terhadap anak. Anak cenderung mengagumi dan
meniru orangtua yang hangat, sehingga menumbuhkan sifat
yang baik pada anak. Teori differential assosiation dari
Sutherland dan Cressey (dalam Suciati, 2008) menjelaskan
orangtua anak memfasilitasi pembelajaran moral dan perilaku
kriminal pada anak. Hubungan orangtua anak yang dianggap
penting (prioritas tinggi) dalam jangka waktu yang lama
(durasi tinggi), dikarakteristikan dengan kedekatan emosi
(intensitas tinggi) serta jumlah kontak dan komunikasi yang
maksimal (frekuensi tinggi), memiliki efek positif pada
perkembangan moral anak.
2) Frekuensi interaksi dan komunikasi antara orangtua dan anak.
Teori role modelling mengatakan bahawa identifikasi anak
terhadap orangtua dipengaruhi frekuensi interaksi
orangtua-anak. Orangtua yang sering berinteraksi secara intensif dengan
anaknya cenderung lebih mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan anaknya. Interaksi orangtua-anak memberikan
kesempatan untuk pembahasaan nilai-nilai dan norma-norma,
terutama bila interaksi dilakukan secara demokratis dan
bersifat mutual.
3) Tipe dan tingkat disiplin yang dijalankan orangtua. Hasil
penelitian menunjukan bahwa disiplin mempunyai efek yang
positif terhadap pembelajaran moral ketika:
a) Konsisten, baik intraparent (konsisten dalam melakukan
disiplin maupun interparent (konsisten antara kedua
21
b) Kontrol terutama dilakukan secara verbal melalui
penjelasan guna mengembangkan kontrol internal pada
anak. Orangtua yang melakukan penjelasan verbal secara
jelas dan resional menghasilkan internalisasi nilai dan
standar pada anak, terutama ketika penjelasan disertai
dengan afeksi sehingga anak cenderung untuk menerima.
Remaja menginginkan dan membutuhkan arahan orangtua.
c) Adil dan sesuai serta menghindari kekerasan Orangtua
yang menggunakan kekerasan menyimpang dari tujuan
disiplin, yaitu, mengembangkan hati nurani, sosialisasi,
dan kooperasi (Herzberger and Tennen, 1985, dalam Rice,
1993). Orangtua yang terlalu permisif juga menghambat
perkembangan sosialisasi dan moral anak karena mereka
tidak memberikan bantuan untuk mengembangkan kontrol
dalam diri anak.
d) Bersifat demokratis, bukan permisif ataupun autokratik.
4) Contoh yang diberikan orangtua bagi anak.
Hasil penelitian menunjukan bahwa perilaku
menyimpang ayah berkorelasi secara signifikan dengan
perilaku devian anak pada masa remaja dan dewasa. Sangatlah
penting bagi orangtua untuk menjadi sosok yang bermoral jika
ingin memberikan model positif bagi anak mereka untuk ditiru.
Pengaruh peer juga penting bagi perkembangan anak. Kontak
sosial dengan orang-orang dari budaya dan latar belakang sosiale konomi
yang berbeda membantu perkembangan moral.
Selanjutnya, Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menekankan bahwa
cara berfikir tentang moral berkembang dalam tahapan. Tahapan ini,
menurut Kohlberg bersifat universal. Dalam teorinya, Kohlberg
mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip
perkembangan moral Piaget. Konsep dari penalaran moral Kohlberg ini
merupakan perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan
secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Kohlberg (dalam Santrock, 2011) menggambarkan tiga tingkatan
penalaran tentang moral dan setiap tingkatnya memiliki 2 tahapan, yaitu :
1. Penalaran Prakonvensional adalah tingkat terendah dari
penalaran moral menurut Kohlberg. Pada tahap ini baik dan
buruk diinterpretasikan melalui reward (imbalan) dan
punishment (hukuman) eksternal.
a. Tahap 1, moralitas heteronom adalah tahap pertama dalam
penalaran prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran
moral terkait dengan punishment. Sebagai contoh anak
berfikir bahwa mereka harus patuh karena mereka takut
hukuman terhadap perilaku membangkang.
b. Tahap 2, individualisme, tujuan instrumental, dan
23
prakonvensional. Pada tahap ini, penalaran individu yang
memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang benar
dan hal ini juga berlaku untuk orang lain. Karena itu,
menurut mereka apa yang benar adalah sesuatu yang
melibatkan pertukaran yang setara. Mereka berpikir
apabila mereka baik terhadap oaring lain maka orang lain
akan baik terhadap mereka juga.
2. Penalaran konvensional, yaitu tingkat kedua atau menengah
dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini,
individu memberlakukan standart tertentu, tetapi standart ini
ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua atau
pemerintah.
a. Tahap 3, ekspektasi interpersonal mutual, hubungan
dengan orang lain, dan konformitas interpersonal
merupakan tahap ketiga dari tahap perkembangan moral
Kohlberg. Pada tahap ini individu menghargai
kepercayaan, perhatian, dan kesetiaan terhadap orang lain
sebagai dasar dari penilaian moral. Anak dan remaja
seringkali mengadopsi standart moral orang tua dalam
tahap ini agar dianggap sebagai anak yang baik.
b. Tahap 4, moralitas system sosial adalah tahap keempat
didasari oleh pemahaman tentang keteraturan di
masyarakat, hukum, keadilan, dan kewajiban.
3. Penalaran Pascakonvensional, adalah tingkatan tertinggi dalam
perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan ini, individu
menyadari adanya jalur moral alternative, mengeksplorasi
pilihan ini, lalu memutaskan berdasarkan kode moral personal.
a. Tahap 5, kontrak atau utilitas sosial dan hak individu.
Pada tahap ini, individu menalar bahwa nilai, hak dan
prinsip lebih utama atau lebih luas daripada hukum.
Seseorang mengevaluasi validitas hukum yang ada, dan
system sosial dapat diuji berdasarkan sejauh mana hal ini
menjamin dan melindungi hak asasi dan nilai dasar
manusia.
b. Tahap 6, prinsip etis universal adalah tahapan tertinggi
dalam perkembangan moral menurut Kohlberg. Pada
tahap ini, seseorang telah mengembangkan standard moral
berdasarkan hak asasi manusia universal. Ketika
dihadapkan dengan pertentangan antara hukum dan hati
nurani, seseorang menalar bahwa yang harus diikuti
adalah hati nurani, meskipun keputusan itu dapat
25
Rest membagi komponen penalaran moral menjadi empat hal
(dalam Nurhani, 2016). Adapun empat komponen utama penalaran moral
yang dikemukakan oleh Rest, antara lain :
1. Menginterpretasi situasi dan mengidentifikasi permasalahan
moral (mencakup empati, berbicara selaras dengan perannya,
memperkirakan bagaimana masing-masing pelaku dalam
situasi terpengaruh oleh berbagai tindakan tersebut).
2. Memperkirakan apa yang seharusnya dilakukan seseorang,
merumuskan suatu rencana tindakan yang merujuk kepada
suatu standar moral atau suatu ide tertentu (mencakup konsep
kewajaran & keadilan, penalaran moral, penerapan nilai moral
sosial).
3. Mengevaluasi berbagai perangkat tindakan yang berkaitan
dengan bagaimana caranya orang memberikan penilaian moral
atau bertentangan dengan moral, serta memutuskan apa yang
secara aktual akan dilakukan seseorang (mencakup proses
pengambilan keputusan, model integrasi nilai, dan perilaku
mempertahankan diri).
4. Melaksanakan serta mengimplementasikan rencana tindakan
yang berbobot moral (mencakup ego-strength dan proses
pengaturan diri).
Menurut Kohlberg (dalam Nurhani, 2016), ada 3 faktor umum yang
1. Kesempatan pengambilan peran
Perkembangan penalaran moral meningkat ketika
seseorang terlibat dalam situasi yang memungkinkan seseorang
mengambil perspektif sosial seperti situasi dimana seseorang
sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan,
kebutuhan, hak, kewajiban, nilai dan standar orang lain.
2. Situasi moral
Setiap lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak
dan kewajiban yang fundamental yang didistribusiakan dan
melibatkan keputusan. Dalam beberapa lingkungan, keputusan
diambil sesuai dengan aturan, tradisi, hukum, atau figur
otoritas (tahap 1). Dalam lingkungan yang lain, keputusan
didasarkan pada pertimbangan pada system yang tersedia
(tahap 4 atau lebih tinggi). Tahap penalaran moral ditunjukkan
oleh situasi yang menstimulasi orang untuk menunjukkan nilai
moral dan norma moral.
3. Konflik moral kognitif
Konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran
moral seseorang dengan penalaran orang lain. Dalam beberapa
studi, subjek bertentangan dengan orang lain yang mempunyai
penalaran moral lebih tinggi maupun lebih rendah. Anak yang
mengalami pertentangan dengan orang lain yang memiliki
27
perkembangan moral yang lebih tinggi dari pada anak yang
berkonfrontasi dengan orang lain yang memiliki tahap
penalaran moral yang sama dengannya.
Penalaran moral berhubungan dengan nilai-nilai mengenai apa
yang dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain yang
diteliti dalam 3 domain (dalam Santrock, 2003), yaitu :
1. Bagaimana remaja mempertimbangkan dan memikirkan
peraturan-peraturan melakukan tingkah laku etis.
2. Bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang
sebenarnya.
3. Bagaiamana perasaan remaja mengenai perasaan moral.
Erickson (dalam Santrock, 2003) mengemukakan bahwa ada tiga
perkembangan moral yang spesifik dimasa anak-anak, perhatian terhadap
ideology pada masa remaja, dan konsolidasi etis di masa dewasa.
Menurut Erikson selama masa remaja individu melakukan pencarian
identitas. Bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan
yang mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka merasa
kehilangan tujuan dan merasa hidup mereka kosong setidaknya untuk
sementara. Hal ini dapat membawa remaja ke usaha mencari ideology
yang akan memberikan tujuan dalam hidup mereka.
Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur dan bukan
sebuah isi, maka sesuatu dikatakan baik atau buruk akan sangat
akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat sebagai struktur,
maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis moralitas,
sehingga penalaran moral bersifat universal.
Penalaran moral inilah yang menjadi indicator dari tingkatan atau
tahap kematangan moral. Memperhatikan penalaran mengapa suatu
tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan
perilaku seseorang atau bahkan mendengar bahwa suatu itu salah.
Menurut Gibbs dan neo Kohlbergian lainnya aspek penting dari
moral adalah bagaimana penalaran moral seseorang (Papalia dkk, 2001).
Penalaran moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang
diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar
dan salah. Penalaran moral bukan berkenaan dengan jawaban atas
pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban
atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada
keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk (Sarwono, 2010).
Proses penalaran moral yang terjadi pada remaja sanagt ditentukan
oleh hubungan atau aktivitasnya dengan lingkungan, selain dengan
keluarga khusunya adalah dengan teman sebaya. Hal ini sejalan dengan
Kohlberg (dalam Santrock, 2011) percaya bahwa proses dalam keluarga
pada dasarnya tidak penting dalam perkembangan moral anak. Ia
berpendapat bahwa hubungan orang tua – anak biasanya tidak
29
memberi dan menerima. Menurut Kohlberg kesempatan ini justru ada
pada hubungan dengan teman sebaya. Meskipun banyak ahli lain yang
lebih berfokus kepada nilai moral orang tua mempengaruhi
perkembangan penalaran moral anak. Namun mereka juga setuju dengan
Kohlberg dan Piaget, bahwa teman sebaya juga memiliki peran yang
sangat penting dalam perkembangan penalaran moral.
d. Perubahan Konsep Moral
Hurlock (2003) mengemukakan bahwa tugas perkembangan
penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk
perilakunya agar sesuai dengan harapan social tanpa harus dibimbing,
diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dilakukan pada
masa anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral
yang berlaku dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku
umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang selanjutnya
berfungsi sebagai pediman bagi perilakunya.
Remaja dituntut harus mampu mengendalikan perilakunya sendiri
yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell
(dalam Hurlock, 2003) meringkas lima perubahan dasar dalam
perkembangan moral remaja, yaitu :
a. Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih
b. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan
kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai
kekuatan moral yang dominan.
c. Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ini mendorong
remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap pelbagai
masalah moral yang dihadapinya.
d. Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
e. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam
arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan
menimbulkan ketegangan psikologis.
Seorang remaja laki-laki dan perempuan pada usia ini telah
mencapai pada tahap perekembangan moral Kohlberg, yaitu tahap
pascakonvensional. Dalam tahap ini moralitas didasarkan pada rasa
hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat
pribadi. Sekalipun dengan dasar yang terbaik, tugas pokok dalam
mencapai moralitas dewasa merupakan tugas yang sulit bagi kebanyakan
remaja.
Terdapat dua kondisi yang membuat penggantian konsep moral
khusus kedalam konsep moral umum menjadi lebih sulit. Menurut
Hurlock (2003) pertama, karena kurangnya bimbingan dalam
mempelajari bagaiman membuat konsep khusus menjadi konsep umum.
31
pembinaan terhadap remaja mengenai prinsip umum yang penting dalam
mengendalikan perilaku kehidupan orang dewasa.
Selanjutnya, yang membuat sulitnya mengubah konsep moral
khusus menjadi konsep moral umum adalah model atau pola kedisiplinan
yang diterapkan dirumah maupun sekolah. Karena orang tua maupun
guru melihat bahwa remaja telah mengetahui konsep benar dan salah,
maka kedisiplinan hanya berfokus pada pemberian hukuman pada
perilaku salah yang dibuat remaja.
Menurut Erikson (dalam Slavin, 2011) perkembangan psikososial
individu dibagi menjadi 8 tahap perekembangan,dan pada masing-masing
tahap terdapat krisis atau masalah kritis yang harus diatasi. Kebanyakan
orang mengatasi krisis psikososial itu dengan memuaskan dan kemudian
meninggalkannya untuk menghadapi tantangan baru. Tetapi beberapa
orang tidak mengatasi semua krisis ini secara menyeluruh dan harus terus
menghadapinya kemudian dalam kehidupannya (Miller, dalam Slavin,
2011).
Pandangan Kohlberg mengenai pentingnya peran teman sebaya
dalam penalaran moral sejalan dengan teori Erikson mengenai tahap
perkembangan psikososialnya. Erikson membagi tahap perkembangan
psikososial menjadi 8 tahapan. Dimana pada usia remaja yaitu sekitar
usia 12 hingga 18 tahun remaja melalui tahap identitas vs kebingungan
Untuk menjawabnya, remaja makin menjauhkan diri dari orangtua dan
makin mendekati kelompok sebaya. Erikson percaya bahwa, selama
masa remaja fisiologi orang yang berubah pesat ditambah dengan
tekanan untuk mengambil keputusan tentang pendidikan dan karir masa
depan, mengakibatkan perlu mempertanyakan dan mendefinisikan
kembali identitas psikososial yang sudah terbentuk selama masa-masa
sebelumnya.
2. Masa Remaja
a. Pengertian Masa Remaja
Istilah adolesenceatau remaja berasal dari kata latin adolescere kata
bendanya adolescentia yang berarti reamaja yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa. Dahulu remaja dianggap tidak berbeda dengan
periode- periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap telah
dewasa apabila telah mampu bereproduksi.
Hurlock (2003), mengungkapakan istilah adolescence, seperti yang
telah dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup
kematangan mental, emosional, social, dan fisik. Sejalan dengan
Hurlock, Piaget (dalam Hurlock, 2003) mengatakan bahwa remaja adalah
usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih
tua, melainkan pada tingkatan yang sama., sekurang-kurangnya dalam
masalah hak. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir
33
social orang dewasa, yang kenyataaanya merupakan ciri khas yang dari
periode perkembangan ini.
Hurlock membagi usia remaja dalam dua masa, yaitu awal masa
remaja yang berlangsung kira-kira dari tigabelas tahun sampai enambelas
atau tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja bermula dari 16 atau 17
tahun sampai 18 tahun yaitu usia matang sesuai hukum.
Muagman (1980) dalam Sarwono (2006) mendefinisikan remaja
berdasarkan definisi konseptual World Health Organization(WHO) yang
mendefinisikan remaja berdasarkan 3 (tiga) kriteria, yaitu : biologis,
psikologis, dan sosial ekonomi.
1. Remaja adalah situasi masa ketika individu berkembang dari
saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder
sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2. Remaja adalah suatu masa ketika individu mengalami
perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa.
3. Remaja adalah suatu masa ketika terjadi peralihan dari
ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan
yang relatif lebih mandiri.
Istilah remaja seringkali disebut juga sebagai pubertas (puberty).
Santrock (2003) mengemukakan pubertas ialah suatu periode dimana
kerangka dan seksual terjadi secara pesat terutama pada masa awal
berangsur-angsur. Sejalan dengan hal itu, Feist (2014) menyatakan
bahwa masa remaja diawali pubertas dan diakhiri dengan kebutuhan akan
cinta seksual terhadap seseorang. Masa ini ditandai dengan ledakan
ketertarikan genital dan datangnya hubungan yang bersifat berahi.
Sedangkan Erikson (dalam Feist, 2014) melihat remaja sebagai
periode latensi social, seperti ia melihat usia sekolah sebagai periode
latensi seksual. Ia menambahkan bahwa remaja merupakan fase adaptif
dari perkembangan kepribadian atau periode mencoba-coba. Sedangkan
pubertas ia definisikan sebagai kematangan genital yang memainkan
peranan cukup kecil dalam konsep teori perkembangannya. Erikson
menambahkan, untuk sebagian orang muda kematangan genital tidak
menampilkan krisis seksual. Akan tetapi pubertas penting secara
psikologis karena memicu pengharapan akan peran seksual dimasa
mendatang.
Pada masa remaja, sesuai dengan teori perkembangan Erikson
seseorang berada pada tahap identitas versus kebingungan identitas.
Pencarian akan ego identitas mencapai puncaknya selama remaja sebagai
anak muda yang berjuang untuk mencari tahu siapa dirinya dan bukan
dirinya. Dengan berkembangnya pubertas, remaja mencari peran baru
untuk membantu mereka menemukan identitas seksual, ideologis, dan
pekerjaan mereka. Dalam pencariaanya ini, remaja menarik beragam
35
selama masa kanak-kanak, usia bermain, dan usia sekolah. Lalu pada
masa remaja dikuatkan dengan konflik psikososial identitas versus
kebingungan identitas.
b. Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan
dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut
Hurlock (2003), antara lain
1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu
perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan
dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan
mempengaruhi perkembangan selanjutnya
2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti
perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat
dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas,
keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya
hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan
sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada
emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa
yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta
4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari
remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa
peranannya dalam masyarakat.
5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan.
Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku
yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua
menjadi takut.
6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja
cenderung memandang kehidupan dari kaca mata berwarna
merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain
sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya
terlebih dalam cita-cita.
7. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami
kebingungan atau kesulitan di dalam usaha meninggalkan
kebiasaan pada usia sebelumnya dan di dalam memberikan
kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan
merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan
dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa
perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.
c. Tahap Perkembangan Masa Remaja
Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global
37
tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja
pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Monks, 2009).
Menurut Hurlock (2003), masa remaja dibagi menjadi dua tahap
perkembangan yaitu masa remaja awal yang rentang usianya adalah
sekitar 12-16 tahun, dengan ciri khas antara lain lebih dekat dengan
teman sebaya, ingin bebas, lebih banyak memperhatikan keadaan
tubuhnya dan mulai berpikir abstrak, mencari identitas diri. Sedangkan
masa remaja akhir sekitar 17-21 tahun, dengan ciri khas antara lain
pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya,
mempunyai citra jasmani dirinya, mampu berfikir abstrak.
Garis pemisah antara awal masa remaja dan kahir masa remaja
terletak kira-kira di sekitar usia tujuh belas tahun, yaitu usia saat dimana
rata-rata setiap remaja memasuki sekolah tingkat atas. Awal masa remaja
biasanya berlangsung kira-kira dari usia tiga belas tahun sampai enam
belas tahun atau tujuh belas tahun. Usia awal remaja ini biasanya disebut
sebagai “usia belasan” kadang-kadang bahkan disebut sebagai “usia
belasan yang tidak menyenangkan”. Usia belasan tahun ini cenderung
dihubungkan oleh pola perilaku khas remaja.
Namun perlu diingat bahwa pembagian ini tidak mutlak dan ketat.
Pembagian ini hanya menunjukkan umur rata-rata pria dan wanita mulai
menunjukkan perubahan-perubahan dalam penampilan, minat, sikap, dan
3. Keluarga
a. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan,
kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan
budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta
sosial dari tiap anggota keluarga (Duvall dan Logan, 1986). Selain itu,
dijelaskan pula bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup
dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau
adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai
peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu
budaya (Bailon dan Maglaya,1978 ).
Menurut Departemen Kesehatan RI (1988), keluarga merupakan unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa
orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap
dalam keadaan saling ketergantungan. Sejalan dengan hal tersebut Kartono
(dalam Rozano, dkk, 2016), keluarga merupakan unit sosial yang terkecil
yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Sedangkan
menurut Bustaman (dalam Rozano, dkk, 2016) keluarga adalah
kelompok-kelompok orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan
perkawinan darah atau adopsi yang membentuk satu sama lain dan
berkaitan dengan melalui peran-peran tersendiri sebagai anggota keluarga
dan pertahanan kebudayaan masyarakat yang berlaku dan menciptakan
39
Dari beberapa pengertian ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup
bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya
selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal
bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga
dan makan dalam satu periuk.
b. Ciri-Ciri Keluarga
Ciri–ciri umum menurut Mac iver and Page, ciri–ciri umum keluarga
antara lain :
1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.
2. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan
dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan
dipelihara .
3. Suatu sistem tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis
keturunan.
4. Ketentuan–ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota–
anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap
kebutuhan–kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan
kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan
anak .
5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga
yang walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah
c. Fungsi Keluarga
Secara umum fungsi keluarga menurut Friedman (dalam Setyowati
dan Muwarni, 2007 : 29) adalah sebagai berikut:
a) Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga
yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk
mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang
lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan
psikososial anggota keluarga.
b) Fungsi sosialisasi dan tempat sosialisasi (sosialitation and sosial
placement function) adalah fungsi mengembangkan dan tempat
melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan
rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.
c) Fungsi reproduksi (the reproduktif function) merupakan fungsi
untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan
keluarga.
d) Fungsi ekonomi (the economic function) yaitu keluarga
berfungsi memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan
tempat untuk mengembangkan kemampuan individu
meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
e) Fungsi perawatan / pemeliharaan kesehatan (the health care
function) yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan
41
tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di
bidang kesehatan.
Terdapat 5 fungsi keluarga dalam tatanan masyarakat, yaitu :
1. Fungsi Biologis
a. Untuk meneruskan keturunan
b. Memelihara dan membesarkan anak
c. Memberikan makanan bagi keluarga dan memenuhi
kebutuhan gizi
d. Merawat dan melindungi kesehatan para anggotanya
e. Memberi kesempatan untuk berekreasi
2. Fungsi Psikologis
a. Identitas keluarga serta rasa aman dan kasih sayang
b. Pendewasaan kepribadian bagi para anggotanya
c. Perlindungan secara psikologis
d. Mengadakan hubungan keluarga dengan keluarga lain atau
masyarakat
3. Fungsi Sosial Budaya atau Sosiologi
a. Meneruskan nilai-nilai budaya
b. Sosialisasi
c. Pembentukan noema-norma, tingkah laku pada tiap tahap
perkembangan anak serta kehidupan keluarga
a. Mencari sumber-sumber untuk memenuhi fungsi lainnya
b. Pembagian sumber-sumber tersebut untuk pengeluaran atau
tabungan
c. Pengaturan ekonomi atau keuangan
5. Fungsi Pendidikan
a. Penanaman keterampilan, tingkah laku dan pengetahuan
dalam hubungan dengan fungsi-fungsi lain.
b. Persiapan untuk kehidupan dewasa.
c. Memenuhi peranan sehingga anggota keluarga yang dewasa
d. Bentuk Keluarga
Keluarga dibagi menjadi beberapa bentuk berdasarkan garis
keturunan, jenis perkawinan, pemukiman, jenis anggota keluarga dan
kekuasaan.
1. Berdasarkan Garis Keturunan
a. Patrilinear adalah keturunan sedarah yang terdiri dari sanak
saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan
itu disusun melalui jalur garis ayah.
b. Matrilinear adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak
saudara sedarah dalam beberapa ganerasi dimana hubungan itu
43
2. Berdasarkan Jenis Perkawinan
a. Monogami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami
dengan seorang istri.
b. Poligami adalah keluarga dimana terdapat seorang suami
dengan lebih dari satu istri.
3. Berdasarkan Pemukiman
a. Patrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau
dekat dengan keluarga sedarah suami.
b. Matrilokal adalah pasangan suami istri, tinggal bersama atau
dekat dengan keluarga satu istri
c. Neolokal adalah pasangan suami istri, tinggal jauh dari
keluarga suami maupun istri.
4. Berdasarkan Jenis Anggota Keluarga
a. Keluarga inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri
dari ayah, ibu dan anak-anak.
b. Keluarga besar (Extended Family) adalah keluarga inti
ditambahkan dengan sanak saudara. Misalnya : kakak, nenek,
keponakan, dan lain-lain.
c. Keluarga Berantai (Serial Family) adalah keluarga yang
terdiiri dari wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali
d. Keluarga Duda/janda (Single Family) dalah keluarga yang
terjadi karena perceraian atau kematian.
e. Keluarga berkomposisi (Composite) adalah keluarga yang
perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama.
f. Keluarga Kabitas (Cahabitation) adalah dua orang yang terjadi
tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.
5. Berdasarkan Kekuasaan
a. Patriakal adalah keluarga yang dominan dan memegang
kekuasaan dalam keluarga adalah dipihak ayah.
b. Matrikal adalah keluarga yang dominan dan memegang
kekuasaan dalam keluarga adalah pihak ibu.
c. Equalitarium adalah keluarga yang memegang kekuasaan
adalah ayah dan ibu.
4. Keluarga yang bercerai (Broken Home)
Keluarga merupakan salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang
hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan
biasanya selalu ada hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya,
tinggal bersama dalam satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala
keluarga. Dalam satu keluarga selalu memiliki tujuan yang sama yaitu dalam
rangka mencapai kebahagiaan. Seperti dambaan setiap manusia, bahwa
45
keturunan, karena adanya perasaan saling menyayangi dan mengasihi serta
memiliki tujuan bersama untuk mewujudkan kehidupan harmonis.
Dalam kenyataan sehari-hari tidak semua keluarga mencapai keluarga
yang bahagia, banyak diantara keluarga mengalami masalah dalam
berkeluarga seperti masalah hubungan suami istri, pendidikan anak, ekonomi
keluarga, hubungan kemasyarakatan dan lain sebagainya. Menurut Wirawan
(dalam Hyoscyamina, 2008) Konflik dalam keluarga akan tetap ada karena
manusia tidak akan pernah lepas dari masalah.
Dalam Oxford Dictionary (2010, h. 219) dituliskan bahwa broken home
adalah “A family in which the parents are divorced or separated”. Jadi
broken home adalah keluarga yang orangtuanya bercerai atau berpisah tempat
tinggal.
Platt (dikutip dalam Musick, 1995, h. 147) menyatakan bahwa “A
psychologically broken home is one where quarreling and fighting dominates,
where regular verbal abuse of children and parents occurs. Physically
broken homes are those where one or both parents are missing.”
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa broken home adalah
kondisi ketidakutuhan dalam sebuah keluarga yang diakibatkan oleh
perceraian dan perpisahan antara suami dan istri.
Habsari (2005) menyatakan bahwa beberapa hal yang menjadi
penyebab broken home adalah kemiskinan dan hutang yang melilit, pasangan
tidak lagi saling menghargai dan menyayangi, pengaruh orang ketiga yang
jatuh cinta terhadap orang lain sehingga menyebabkan terjadinya
perselingkuhan.
Sumber utama konflik dalam keluarga Around dan Pauker (dalam
Hndayani, Suminar, dkk 2008) yang mampu menyebabkan permasalahan
dalam keluarga adalah masalah finansial, keluarga, gaya komunikasi,
tugas-tugas rumah tangga, dan selera pribadi.
Selain itu menurut Wirawan (dalam Hyoscyamina, 2008)
penyebab-penyebab dari masalah keluarga sangat beragam, karena setiap keluarga
mempunyai masalah sendiri-sendiri. Beberapa faktor dibawah ini adalah
penyebab masalah keluarga yang sering timbul:
1. Kurangnya kemampuan berinteraksi antar pribadi dalam
menanggulangi masalah. Dalam usahanya untuk menghadapi masa
transisi dan krisis, banyak keluarga kesulitan menanggulangi
masalah karena kurangnya pengetahuan, kemampuan dan
fleksibilitas untuk berubah, hal ini disebabkan karena
masing-masing mengalami kesulitan beradaptasi, yang menghalangi
penyesuaian kembali dengan situasi yang baru. Jenis
halangan-halangan tersebut dapat muncul dengan tipe yang berbeda-beda,
yaitu:
a. Halangan dalam komunikasi, timbul jika masing-masing
anggota keluarga tidak tahu bagaimana mereka harus
membagikan perasaan mereka dengan anggota keluarga
47
dengan jelas. Hal yang sulit bagi sebuah keluarga adalah jika
masing-masing dari anggota keluarga tidak dapat
berkomunikasi secara efektif.
b. Halangan dalam hal keakraban/ kedekatan merupakan ciri dari
keluarga yang mempunyai hubungan yang tidak erat satu sama
lain. Mereka jarang meluangkan waktu untuk bersama-sama,
tidak saling percaya atau tidak menghormati anggota keluarga
yang lain, jarang berbagi masalah, dan punya kesulitan dalam
menangani krisis karena mereka tidak pernah belajar untuk
bekerjasama dengan akrab.
c. Halangan dalam hal aturan keluarga yang tidak tertulis, bahkan
seringkali tidak dikatakan, namun biasanya merupakan
hukum-hukum yang diterima tentang siapa tidak boleh melakukan apa.
Hampir semua keluarga tidak mempunyai aturan yang baku
sehingga hal ini seringkali membingungkan terutama bagi
anak-anak.
d. Halangan sehubungan dengan sejarah keluarga, terutama
rahasia keluarga yang tidak boleh diungkapkan, misalnya
kehamilan yang tidak sah, anak cacat, hutang dan lain
sebagainya.
2. Kurangnya Komitmen Terhadap Keluarga menjadi sangat sulit
untuk membangun kebersamaan keluarga dan menangani masalah
keinginan atau waktu untuk terlibat dalam menyelesaikan masalah
keluarga.
3. Peran yang kurang jelas dan kaku dari anggota keluarga. Setiap
keluarga menetapkan peran masing-masing anggotanya dan harus
fleksibel jangan kaku. Kurangnya kestabilan menghadapi
lingkungan.
4. Masalah-masalah yang terjadi dalam keluarga kerap kali berasal
dari luar rumah, adanya campur tangan dari keluarga besar dan
orang-orang lain yang dapat mengganggu kestabilan keluarga.
5. Tidak lancarnya komunikasi dalam keluarga sehingga
permasalahan yang muncul tidak dapat dibicarakan dan dicari jalan
keluar terbaik.
B. Perspektif Teoritis
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari
kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Selain itu,
keluarga juga memiliki tujuan bersama untuk menciptakan kehidupan yang
harmonis, bahagia dan sejahtera. Namun dalam kenyataan sehari-hari tidak
semua keluarga mencapai keluarga yang bahagia, banyak diantara keluarga
mengalami masalah dalam berkeluarga seperti masalah hubungan suami istri,
pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan kemasyarakatan dan lain
sebagainya.
49
diselesaikan oleh anggota keluarga itu sendiri. Namun tak sedikit pula,
masalah yang hanya dapat diselesaikan melalui jalur hukum dan berakhir
pada perceraian.
Perceraian yang terjadi pada sebuah keluarga tidak hanya berdampak
terhadap pasangan itu sendiri. Namun sangat berdampak pada perkembangan
anak. Sejalan dengan hal itu, banyak peneliti setuju bahwa anak-anak dari
keluarga yang bercerai menunjukkan penyesuaian diri yang lebih buruk
dibanding anak-anak dari keluarga yang tidak bercerai. Menurut Conger dan
Chao (dalam Santrock, 2007) dibanding anak dari keluarga utuh,
anak-anak dari keluarga yang bercerai lebih memiliki kecenderungan untuk
mengalami masalah akademis, menunjukkan masalah-masalah eksternal
(seperti menyuarakan perasaan dan kenakalan) dan masalah internal (seperti
kecemasan dan depresi), kurang memiliki tanggung jawab social, memiliki
hubungan intim yang kurang baik, putus sekolah, aktif secara seksual di usia
dini, menggunakan obat-obatan, berhubungan dengan peer yang antisosial,
dan memiliki nilai diri yang rendah.
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat
belajar sebagai makhluk sosial juga merupakan dasar pembentukan tingkah
laku, watak, moral dan pendidikan anak. Interaksi di dalam keluarga akan
menentukan pula tingkah laku terhadap orang lain dalam masyarakat. Orang
tua sangat besar peranan dan tanggung jawabnya dalam mendidik dan
membimbing anak-anaknya. Intensitas kehadiran orang tua untuk bertemu