• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Level Perkembangan Moral Kognitif Akuntan dalam Pengambilan Keputusan Etis pada Saat Menghadapi Dilema Etis T2 932011002 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Level Perkembangan Moral Kognitif Akuntan dalam Pengambilan Keputusan Etis pada Saat Menghadapi Dilema Etis T2 932011002 BAB II"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

II. KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS

Perkembangan Moral Kognitif Akuntan Dan Permasalahan Akuntansinya

Saat ini profesi akuntan menjadi sorotan tajam karena munculnya “malpraktik akuntansi” yang merugikan banyak pihak. Sehingga profesi akuntan baik itu auditor internal maupun auditor eksternal dituntut untuk bekerja secara profesional dengan mengutamakan etika. Namun seringkali dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, seorang akuntan diperhadapkan dalam situasi munculnya pertimbangan untuk melakukan sesuatu dan pertimbangan untuk tidak melakukan sesuatu. Situasi inilah yang disebut sebagai dilema etis. Dilema etis merupakan sebuah masalah yang muncul akibat pertimbangan untuk bertindak dengan cara tertentu dan diimbangi dengan pertimbangan untuk tidak melakukannya (Duska et al., 2011).

(2)

etis. Meskipun kedua profesi tersebut memiliki perbedaaan karakteristik, peran dan tanggung jawab baik auditor internal maupun auditor eksternal keduanya saling membutuhkan untuk membantu menghasilkan laporan audit dan tata kelola perusahaan yang baik.

(3)

Dilema Etis, Keputusan Etis Dan Perkembangan Moral Kognitif Akuntan

Dilema etis sering kali dihadapi oleh banyak profesi pekerjaan. Dilema etis muncul ketika ketaatan terhadap prinsip menimbulkan penyebab konflik dalam bertindak. Setiap profesi diharapkan mampu mengambil keputusan yang etis ketika menghadapi dilema etis dalam menjalankan tanggung jawabnya. Keputusan etis (ethical decision) adalah keputusan yang baik secara legal maupun moral yang dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986). Kohlberg (1995) dalam Wisesa (2011) mengatakan keputusan moral (etis) bukanlah soal perasaan atau “nilai’, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif terhadap dilema moral (etika). Pengambilan keputusan etis melibatkan proses penalaran etis yang didalamnya mengolaborasi kesadaran moral dan kemampuan moral kognitif seseorang yang pada akhirnya diwujudkan di dalam proses tindakan sebagai bentuk implementasi keputusan yang diambil. Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi di mana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri.

(4)

mengambil keputusan yang etis pada saat diperhadapkan dengan dilema etis. Perkembangan moral kognitif dapat berpengaruh terhadap keputusan yang diambil oleh akuntan ketika menghadapi dilema etis. Ketika seseorang diperhadapkan pada sebuah dilema etika, maka individu tersebut akan mempertimbangkan secara kognitif dalam benaknya (Abdurrahman dan Yuliani, 2011).

Dilema Etis dan Perkembangan Moral Kognitif Auditor Internal

Auditor internal sebagai salah satu pembuat keputusan akan mempengaruhi kebijakan organisasi dalam mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sehingga peran auditor internal menjadi penting (Abdurrahman dan Yuliani, 2011). Tugas auditor internal adalah melakukan pemeriksaan intern. Agoes dan Ardana (2009), tujuan pemeriksaan yang dilakukan internal auditor adalah membantu semua pimpinan perusahaan (manajemen) dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan memberi analisa, penilaian, saran dan komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya.

(5)

rekomendasi dan informasi kepada manajemen entitas dan dewan komisaris atau pihak lain yang setara wewenang dan tanggung jawabnya tersebut. Auditor internal mempertahankan objektivitasnya yang berkaitan dengan aktivitas yang diauditnya dan sebagai katalisator (ACIIA, 2014) untuk mencapai tujuan perusahaan. Dalam hal ini seorang auditor internal berperan dalam menemukan indikasi kecurangan dan melakukan investigasi. Hasil dari temuan tersebut harus diberitahukan kepada top manajemen.

(6)

Auditor internal seharusnya secara sosial juga bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata, sehingga auditor seringkali dihadapkan kepada masalah dilema etika dalam pengambilan keputusannya. Auditor internal harus memiliki sikap mental dan etika serta tanggung jawab profesi yang tinggi, sehingga kualitas hasil kerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat digunakan untuk membantu terwujudnya perkembangan perusahaan yang wajar dan sehat (Siswati, 2012).

Dilema Etis dan Perkembangan Moral Kognitif Auditor Eksternal

(7)

pengambilan keputusan etis dan tidak etis (Abdurrahman dan Yuliani, 2011).

Situasi dilematis dalam setting audit dapat terjadi ketika akuntan dan klien tidak sepakat terhadap beberapa aspek fungsi dan tujuan pemeriksaan. Dalam kondisi ini, klien dapat mempengaruhi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor eksternal. Klien bisa menekan auditor tersebut untuk mengambil tindakan yang melanggar standar pemeriksaan. Karena secara umum dianggap bahwa auditor termotivasi oleh etika profesi dan standar pemeriksaan, maka akuntan tersebut akan berada dalam situasi konflik. Memenuhi keinginan klien berarti melanggar standar. Penolakan terhadap permintaan klien dapat menghasilkan sanksi berupa kemungkinan penghentian penugasan dan hal ini tentu saja sangat merugikan auditor (Hidayat dan Handayani, 2010).

(8)

klien yang membayarnya, namun bertanggung jawab juga terhadap publik.

Zarkasyi (2009) menyatakan bahwa profesi akuntan harus sangat berhati-hati pada saat melakukan tugasnya, karena mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat umum tidak hanya kepada clientnya. Walaupun yang memberikan audit fee adalah perusahaan, sebenarnya tanggung jawab yang

dipikul profesi akuntan adalah tanggung jawab kepada “stakeholders”, termasuk didalamnya pemegang saham,

kreditor dan pihak-pihak lain yang menyandarkan kepentingan bisnisnya berdasarkan laporan audit (auditor’s opinion). Mengingat tanggung jawab profesinya yang mempunyai dampak kepada masyarakat umum sudah selayaknya jika auditor eksternal diharapkan mempunyai professional commitment yang tinggi, sehingga dapat mengambil keputusan

yang etis ketika diperhadapkan dengan dilema etis.

(9)

nilai-nilai yang dianut organisasi tersebut tentunya akan dijadikan rujukan akuntan untuk menentukan sikapnya (Ludigdo, 2007).

Teori Perkembangan Moral Kognitif

Dalam praktek kerja, perkembangan kognitif individu terjadi dalam interaksi dengan orang lain (Busch, 2007). Izzo (2000) mengatakan, perkembangan moral meningkat secara bertahap berdasarkan komponen perkembangan kognitif. Saat ini penelitian-penelitian etika akuntansi berfokus pada konsep perkembangan etika yang dipengaruhi oleh penelitian psikolog Law Kohlberg dan James Rest (Loh dan Wong, 2009).

Teori Kohlberg terdiri dari 3 level dan masing-masing level terdiri dari dua perkembangan moral yang berbeda (Dellaportas et al., 2006), yaitu level pre-conventional, level conventional dan level post-conventional (Tarigan dan

Satyanugraha, 2005). Hipotesis teori perkembangan moral Kohlberg menyatakan bahwa individu bergerak secara berurutan dari tahap ke tahap semakin maju dari tingkat moralitas yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi (Venezia et al., 2011).

(10)

perkembangan moral atau etika kognitif. Pada level conventional, Kohlberg menyatakan bahwa keputusan etis

individu dibentuk oleh pertimbangan hukum dan norma sosial. Level post-conventional disebut oleh Kohlberg sebagai rangka tertinggi dari pengembangan etika dimana pengambilan keputusan etika individu dipengaruhi oleh prinsip-prinsip keadilan yang universal, hati nurani dan peradilan (Loh dan Wong, 2009).

Tahap-tahap moral menurut Kolhberg adalah sebagai berikut (Duska dan Whelan, 1982; Kohlberg, 1995; Bertens, 2011):

Level Pre-Conventional

Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan. Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik-buruknya tindakan itu, entah apa pun arti atau nilai akibat-akibat itu bagi manusia. Menghindari hukuman dan tunduk pada kekuasaan (tanpa mempersoalkan) mempunyai nilai pada dirinya; bukan dasar hormat pada peraturan moral yang mendasari, yang didukung oleh hukuman dan otoritas.

(11)

sikap fair, hubungan timbal balik, kesamaan dalam ambil bagian sudah ada, tetapi semuanya dimengerti secara fisis dan pragmatis. Hubungan timbal balik antar manusia adalah soal “kalau kamu menggarukkan punggungku, saya akan garukkan punggungmu”, bukan soal loyalitas (kesetiaan), rasa terima kasih atau keadilan.

Level Conventional

Tahap 3. Orientasi masuk ke kelompok “anak baik” dan “anak manis”. Tingkah laku yang baik adalah tingkah laku

yang menyenangkan atau membantu orang-orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Ada banyak usaha menyesuaikan diri dengan gambaran-gambaran stereotip yang ada pada mayoritas atau dengan tingkah laku yang dianggap lazim. Tingkah laku sering kali dinilai menurut intensinya. “Dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang berusaha untuk diterima oleh lingkungan dan bersikap “manis”.

(12)

Level Post-Conventional

Tahap 5. Orientasi kontrak-sosial legalitas. Biasanya dengan tekanan utilitaritis (mementingkan kegunaannya). Tindakan benar cenderung dimengerti dari segi hak-hak individual yang umum dan dari segi patokan-patokan yang sudah dikaji dengan kritis dan disetujui oleh seluruh masyarakat. Ada kesadaran yang jelas bahwa nilai-nilai dan opini pribadi itu relatif dan oleh karenanya perlu adanya peraturan prosedural untuk mencapai konsensus.

Tahap 6. Orientasi asas etika universal. Benar diartikan dengan keputusan suara hati, sesuai prinsip-prinsip etika yang dipilih sendiri, dengan berpedoman pada kekomprehensifan logis, universalitas dan konsisten. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis dan bukan peraturan-peraturan moral konkret seperti sepuluh perintah Allah. Pada intinya itulah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, pertukaran hak dan kesamaan hak asasi manusia dan penghormatan kepada martabat manusia sebagai pribadi.

(13)

berada pada tahapan awal. Implikasi yang lain adalah bahwa orang pada tahapan akhir mampu mempertahankan keputusan mereka daripada orang pada tahapan awal (Tarigan dan Satyanugraha, 2005).

Defining Issues Test (DIT)

Instrumen yang paling sering digunakan untuk menerapkan pengembangan moral dan menempatkan individu dalam tingkat Kohlberg adalah Defining Issues Test (DIT) Rest (White Jr., 1999). DIT pertama kali dikembangkan di awal tahun 1970-an (Thoma dan Dong, 2012). Walaupun DIT didasarkan pada model perkembangan moral Kohlberg (1969), akan tetapi tidak sama dengan ukuran yang dikembangkan sendiri oleh Kohlberg untuk pengujian teorinya (Tarigan dan Satyanugraha, 2005). Rest mempunyai pokok bahasan bahwa individu dapat menggunakan kombinasi berbagai macam kemampuan penalaran moral secara bersama-sama (Venezia et al., 2011). Rest (1986), menegaskan bahwa ada empat

(14)

Awal pengembangan DIT, Rest mempertanyakan penerimaan tahapan model perkembangan moral teori Kohlberg yang mana individu akan bergerak dari tahap satu ke tahap yang lain. Sehingga, DIT dibuat untuk mendukung model pengembangan yang mendefinisikan pertumbuhan sebagai tahap demi tahap dari moral yang rendah ke yang lebih kompleks. Kemudian, para peneliti DIT mengasumsikan bahwa pada waktu-waktu tertentu ada konsep multiple yang tersedia untuk individu. Sehingga untuk menyediakan strategi pengukuran harus menilai tidak hanya dengan konsep itu tersedia, tetapi lebih pada sistemnya. Di tahun 1990-an, para peneliti DIT mengadopsi pandangan skema dari perkembangan moral judgement yang di dasarkan pada hubungan pengetahuan yang diorganisir melalui peristiwa hidup yang biasa terjadi dan keberadaannya untuk membantu individu memahami informasi baru berdasarkan pengalaman (Thoma dan Dong, 2012).

(15)

lengkap dan menginterpretasikan dilema tersebut tetapi menyediakan intisari dari penjelasan yang menggunakan pendekatan penggalan-penggalan kalimat. Pendekatan penggalan-penggalan kalimat tersebut diadopsi karena awalnya dalam pengembangan DIT, hal tersebut dicatat bahwa item-item pertanyaan yang mengandung interpretasi lebih detail dari dilema yang menghasilkan sedikit indeks bagian karena item-item tersebut mudah untuk diinterpretasikan kembali dan ditanggapi secara istimewa (Rest, 1987).

(16)

Penelitian Perkembangan Moral Kognitif dan Pengembangan Hipotesis

Banyak penelitian-penelitian pengembangan moral yang dikaitkan dengan pengambilan keputusan dalam konteks akuntansi yang menggunakan teori perkembangan moral Kohlberg dan instrumen DIT dari Rest.

Penelitian yang dilakukan oleh Throne et al. (2002), bertujuan menginvestigasi apakah konteks institusional kebangsaan berasosiasi dengan perbedaan dalam penalaran moral auditor dengan menguji tiga komponen proses keputusan moral auditor. Tiga komponen tersebut meliputi perkembangan moral, penalaran preskriptif dan penalaran deliberatif. Mereka membandingkan dua kebangsaan yang dimiliki oleh auditor-auditor yang diteliti yaitu Canada dan Amerika Serikat. Penelitian ini menemukan bahwa institusional kebangsaan lebih berasosiasi dengan faktor penalaran deliberatif daripada penalaran preskriptif.

(17)

dalam konteks dilema yang dirancang khusus, melalui cerita, keakraban, edukasi berpengaruh terhadap kedewasaan moral mahasiswa. Peningkatan nilai DIT P-Scores mengindikasikan bahwa mahasiswa akuntansi dapat bergerak menuju pada penalaran moral level tertinggi tetapi juga dapat mengalami rasional pengambilan keputusan moral pada tahap terendah.

Penelitian Loh dan Wong (2009) menguji hubungan perkembangan etika dan sikap etis yang dikaitkan dengan pengambilan keputusan etis. Dalam hipotesis mereka menyatakan bahwa individu yang memiliki perkembangan etika yang lebih tinggi menunjukkan sikap etis yang lebih tinggi. Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa akuntansi yang rata-rata berumur 22 tahun. Penelitian ini menggunakan teori perkembangan moral Kohlberg dan pengukuran moral DIT dari Rest. Namun penelitian ini tidak dapat membuktikan hubungan linier antara perkembangan etika dengan sikap etis. Adapula Venesia et al. (2011), meneliti hubungan antara pengalaman kerja, edukasi, umur, gender dan pengalaman manajemen berhubungan dengan kedewasaan moral, pengambilan keputusan etis dan etika bisnis.

(18)

sebuah penilaian etis yang lebih masuk akal daripada penilaian yang tidak berdasarkan fakta-fakta. Seseorang yang bertindak sesuai dengan pertimbangan yang cermat akan fakta telah bertindak dalam cara yang mendalam dengan pertimbangan yang lebih bertanggung jawab secara etis daripada orang yang bertindak tanpa pertimbangan mendalam (Hartman dan DesJardins, 2011). Tindakan yang etis inilah yang akan membantu seseorang untuk memecahkan dilema yang dihadapi. Tindakan etis menyangkut tentang tindakan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukannya.

Semua tindakan yang seharusnya dilakukan oleh akuntan dalam hal pengambilan keputusan etis pada saat menghadapi dilema etis, menyangkut tentang keputusan yang berasal dalam diri akuntan tersebut. Keputusan yang berasal dari dalam diri merupakan keputusan yang berasal dari suara hati atau hati nurani pihak yang bersangkutan. Hati nurani adalah “instansi” dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatn kita, secara langsusng, kini dan disini. Hati nurani itulah yang akan memerintahkan atau melarang seseorang untuk melakukan sesuatu, sekaligus menjadi saksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh manusia (Bertens, 2011).

(19)

subyektif mengenai rasa dan rasio, dimana pernyataan moral dikaitkan dengan perasaan dan keputusan etis lahir dari penalaran yang rasional. Dimensi inilah yang membuat seseorang akan mengambil keputusan dengan pertimbangan untuk mentolerir suatu tindakan yang benar menurut Tuhan, subyektifitas individu, maupun solidaritas umum.

(20)

Dalam teori perkembangan moral Kolhberg pada tahap tertinggi, menempatkan suara hati atau hati nurani sebagai pertimbangan dalam keputusan etis setelah prinsip-prinsip peraturan. Kohlberg menegaskan hanya pikiran atau bahasa tahap 6-lah yang sepenuhnya bersifat moral, bahwa setiap tahap yang lebih tinggi semakin mendekati karakteristik bahasa moral (Kohlberg, 1995). Sehingga hipotesis yang dapat disusun dalam penelitian ini adalah:

H1: Auditor internal mencapai perkembangan moral kognitif

lebih tinggi daripada auditor eksternal dalam pengambilan keputusan etis saat menghadapi dilema etis.

Telah banyak penelitian yang menggunakan faktor demografi sebagai faktor yang menentukan level perkembangan moral kognitif. Faktor-faktor demografi tersebut meliputi umur, jenjang pendidikan, gender, pengalaman kerja (Tarigan dan Satyanugraha, 2005; Venesia et al., 2011). Penelitian Trevino (1986) mengungkapkan

variabel model interaksi pembuatan keputusan etis dalam organisasi yaitu variabel individu (ego strength, field dependence, locus of control) dan variabel situasional

(characteristics of work, organizational culture, immediate

(21)

Penelitian ini juga akan menambahkan beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan moral kognitif seseorang yaitu gender, umur, pengalaman kerja dan jenjang pendidikan (White Jr.,1999; Izzo, 2000; Tarigan dan Satyanugraha, 2005; Venesia et al., 2011 dan Thoma dan Dong, 2012). Teori perkembangan moral Kohlberg (1969) mengasumsikan bahwa nilai moral seseorang meningkat sejalan dengan umur (Tarigan dan Satyanugraha, 2005). Rest (1986) melaporkan bahwa ada dua hal dominan yang menentukan perkembangan moral seseorang adalah umur dan pendidikan (White Jr., 1999).

Selain itu, gender juga memainkan peranan penting dalam perkembangan moral seseorang (Eynon et al., 1997; White Jr., 1999). Venesia et al. (2011), meneliti hubungan dan menemukan korelasi antara pengalaman kerja, edukasi, umur, gender dan pengalaman manajemen berhubungan dengan kedewasaan moral, pengambilan keputusan etis dan etika bisnis. Thoma dan Dong (2012) menyatakan umur, pendidikan, gender memiliki korelasi yang tinggi terhadap perkembangan moral yang diukur dengan DIT. Seseorang yang mempunyai perasaan dan intuitif yang kuat memiliki perkembangan moral yang lebih tinggi dari yang lain.

H2: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi

(22)

H3: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi

secara signifikan oleh tingkat umur subyek.

H4: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi

secara signifikan oleh pengalaman kerja subyek.

H5: Level perkembangan moral kognitif auditor dipengaruhi

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan website grup vocal Greace_34 ini merupakan sebuah aplikasi WWW yang berisi informasi dan profile mengenai Greace_34, yang dikemas ke dalam bentuk yang menarik dan

33.2 Sebagai tambahan dan tanpa menjejaskan peruntukan di atas, BSN tidak akan untuk apa-apa sebab bertanggungan untuk kerosakan yang dideritai atau kerugian yang

Jika rezim sebelum reformasi peradilan disetiri oleh otoritas kekuasaan, sedangkan wajah peradilan di era reformasi lebih dibopengi oleh praktik suap..

Dari hasil analisis intervening menunjukan bahwa variable Kompensasi memiliki pengaruh terhadap Kinerja Karyawan melalui motivasi, yang dapat dibuktikan dari nilai t hitung

Dengan kata lain bahwa pengaruh kuali- tas pelayanan(X2) terhadap loyalitas pelanggan (Y) sebesar 54.3%%, sedangkan sisanya sebesar 45.7% dipengaruhi oleh faktor lain yang dalam

Lafadz ini pada kedua mushaf (Indonesia dan Madinah) memiliki bentuk rasm yang sama yakni dengan penulisan wawu, hamzah, dan alif berdiri. Akan tetapi pada

Ibrahim dan Suparni, Pembelajaran Matematika Teori dan Aplikasinya,.. Berdasarkan wawancara pada tanggal 16 Januari 2019 dengan guru kelas IV MI Miftahul

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PADA PEMBELAJARAN IPA SD MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu