ANALISIS PERBANDINGAN PENERIMAAN SEBELUM DAN SESUDAH DESENTRALISASI PBB MENJADI PBB-P2 PADA PEMERINTAH
KOTA GORONTALO
NOVITA BOLOWANTU1, NILAWATY YUSUF,SE,AK.,M.Si2, AMIR LUKUM,S.Pd., MSA3
Jurusan Akuntansi Universitas Negeri Gorontalo
Novita Bolowantu, 921 411 215. Analisis Perbandingan Penerimaan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi PBB Menjadi PBB-P2 Pada Pemerintah Kota
Gorontalo. Skripsi. Program Studi S1 Akuntansi, Jurusan Akuntansi, Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Gorontalo. Di bawah bimbingan Ibu Nilawaty Yusuf, SE., Ak., M.Si dan Bapak Amir Lukum, S.Pd., MSA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penerimaan sebelum dan sesudah desentralisasi PBB menjadi PBB-P2 pada Pemerintah Kota Gorontalo Populasi dalam penelitian ini adalah laporan realisasi penerimaan PBB-P2 Kota Gorontalo. Sampel yang digunakan adalah laporan realisasi PBB-P2 selama periode 2009-2014. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh melalui metode dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis t paired test atau uji statistik perbedaan antara periode sebelum dan sesudah desentralisasi.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan penerimaan PBB-P2 sebelum dan sesudah desentralisasi untuk nilai nominal. Berdasarkan data deskriptif bahwa rata-rata penerimaan PBB-P2 sebelum desentralisasi (dipungut oleh pusat) masih lebih besar dibandingkan setelah desentralisasi (dipungut oleh daerah).
Kata kunci: penerimaan sebelum dan sesudah desentralisasi PBB menjadi PBB-P2.
1
Novita Bolowantu, Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Gorontalo
2
Nilawaty Yusuf, SE, Ak., M.Si, Dosen Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Gorontalo
3
Amir Lukum S.Pd., MSA., Dosen Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Gorontalo
PENDAHULUAN
Pajak dikenakan atas bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan, biasanya disebut
sebagai pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan (Perda Nomor 9
Tahun 2011:4).
Mulai 1 Januari 2012 PBB-P2 telah resmi dialihkan menjadi pajak daerah
hal ini ditandai dengan disahkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada tanggal 15 september 2009 dan mulai
berlaku secara efektif pada tanggal 1 januari 2011 maka tahun 2011 merupakan
tahun terakhir bagi Pemerintah Pusat untuk mengelolah PBB-P2. Pengalihan
tersebut dikarenakan pemungutan pajak dinilai lebih efektif jika diserahkan pada
pemerintah daerah, sebab pemerintah daerah lebih memahami seluk beluk
daerahnya sendiri dan mengetahui apa yang terbaik untuk daerahnya dan juga
didukung dengan adanya hubungan antara pembayar pajak dengan penikmat pajak
(Radjak, 2014:4).
Dapat diambil kesimpulan bahwasannya dengan dialihkannya PBB-P2
yang awalnya pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat sekarang sudah menjadi
pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yaitu dengan tujuan agar pemerintah
daerah dapat meningkatkan realisasi penerimaan PBB-P2 lebih meningkatkan
penerimaan dari target-target yang ditentukan, manfaatnya juga dapat dirasakan
oleh daerah sendiri, pendapatan yang meningkat dapat mendorong pembangunan
Gorontalo melakukan pengalihan pemungutan pada tahun 2012 dengan
disahkannya Peraturan Daerah No 9 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan. Pada tahun 2011 pemungutan PBB-P2
tersebut masih dilakukan oleh pemerintah pusat namun penerimaannya dialihkan
seluruhnya ke pemerintah daerah. Berikut adalah tabel target dan realisasi
penerimaan PBB-P2 sebelum dan sesudah desentralisasi Periode 2011-2012 di
Kota Gorontalo.
Tabel 1: Penerimaan PBB-P2 Sebelum dan Sesudah dialihkan ke Pemda Kota Gorontalo TA. 2011-2012 (Jutaan Rupiah).
Tahun Kota/Kecamatan Target
Penerimaan Realisasi Penerimaan Presentase 2011 1. Kota Timur 2. Kota Selatan 3. Kota Utara 4. Kota Tengah 5. Kota Barat 6. Dungingi Rp. 833.230.624 Rp.1.093.338.401 Rp. 829.717.080 Rp. 550.741.909 Rp. 248.790.647 Rp. 338.790.647 Rp. 491.316.893 Rp. 872.523.809 Rp. 540.975.850 Rp. 550.519.291 Rp. 191.671.468 Rp. 249.791.802 58,96% 79,80% 65,20% 99,95% 77,04% 73,73% 2012 1. Kota timur 2. Kota Selatan 3. Kota Utara 4. Kota Tengah 5. Kota Barat 6. Dungingi Rp. 685.400.724 Rp. 1.231.339.091 Rp. 543.217.863 Rp. 746.970.380 Rp. 255.358.655 Rp. 332.826.786 Rp. 536.359.796 Rp. 873.233.519 Rp. 314.452.471 Rp. 535.357.977 Rp. 192.495.611 Rp. 221.140.749 78,25% 70,91% 57,89% 71,67% 75,38% 66,44% *Data Sementara
Sumber: Data sebelum pengalihan di KPP Pratama Gorontalo, sesudah pengalihan di DPPKAD Kota Gorontalo
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat besarnya perbandingan penerimaan
yang diterima pemerintah pusat dan daerah seperti penerimaan pada Kecamatan
Kota Timur dan Kota Selatan mengalami sedikit peningkatan, tetapi pada empat
Kecamatan Dungingi mengalami penurunan setelah dialihkan ke Pemda
khususnya pada Kecamatan Kota Utara perbandingan penurunan pendapatan
yaitu sebesar Rp.226.523.379.
Sehubungan dengan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian yang
berjudul “Analisis Perbandingan Penerimaan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi PBB Menjadi PBB-P2 Pada Pemerintah Kota Gorontalo.
KAJIAN PUSTAKA
Konsep Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan Perkotaan (PBB-P2) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memiliki dasar hukum antara lain
Undang No. 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 12 tahun 1994 (Mardiasmo, 2009:311), Keputusan Menteri
Keuangan No. 523 /KMK.01/1998 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya
NJOP Sebagai Dasar Pengenaan Pajak, UU No. 6 Tahun 1983 diperbaharui
dengan UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Peraturan
Daerah Kota Gorontalo Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Pedesaan Perkotaan.
PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/ atau bangunan yang dimiliki,
dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan
(Perda No. 9 Tahun 2011: 4).
Tarif PBB-P2
Tarif PBB-P2 yang ditetapkan di Kota Gorontalo berdasarkan Perda No.9
sebesar 0,3%. Sebelum adanya pengalihan PBB P2 dari Pajak Pusat menjadi
Pajak Daerah tarif PBB-P2 sebelumnya yaitu 0,5%.
Adapun yang membedakan antara UU PBB sebelum pengalihan dan UU PDRD
sesudah pengalihan yaitu dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Perbedaan PBB Perdesaan & Perkotaan pada UU PBB dan UU PDRD UU PBB UU PDRD Subjek Objek Tarif NJKP NJOPTKP PBB Terutang
Orang atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasa dan/atau memanfaatkan atas bangunan
(Pasal 4 ayat 1)
Bumi dan/atau bangunan
(Pasal 2)
Sebesar 0,5% (Pasal 5)
20% s.d. 100% (PP 25 Tahun 2002 ditetapkan sebesar 20% atau 40%) (Pasal 6)
Setinggi-tingginya Rp12 Juta
(Pasal 3 ayat 1)
Tarif x NJKP x (NJOP NJOPTKP)
0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP), atau0,5% x 40% x (NJOP NJOPTKP)
(Pasal 7)
Sama
(Pasal 78 ayat 1 & 2)
Bumi dan/atau bangunan, kecuali kawasan usaha perhutanan, dan pertambangan.
Paling tinggi 0,3 % (Pasal 77 ayat 1)
Tidak dipergunakan (Pasal 80 ayat 1)
Paling Rendah Rp10 Juta
(Pasal 77 ayat 4)
Tarif x (NJOP-NJOPTKP) Maksimal 0,3% x (NJOP-NJOPTKP)
(Pasal 81)
Sumber data: Materi Presentase DJP, 2011
Dasar Perhitungan PBB-P2
Dasar perhitungan yang digunakan untuk menghitung pajak terhutang
adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan
setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak (Peraturan Pemerintah).
Besarnya presentase NJKP yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional (Direktorat Jenderal Pajak Tahun
Pembagian Hasil Penerimaan PBBB-P2
Hasil penerimaan PBB adalah dimaksudkan untuk kepentingan
masyarakat daerah yang berkepentingan, maka oleh sebab itu sebagian besar hasil
PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Pasal 182 ayat 1, menentukan bahwa
hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan Negara yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan perimbangan
sekurang-kurangnya 90%. Tetapi setelah PBB-P2 dialihkan sesuai dengan ketentuan UU
No. 28 tahun 2009 penerimaan PBB-P2 hanya untuk daerahnya masing-masing.
Manfaat Pengalihan PBB-P2
Dengan pengalihan ini, penerimaan PBB-P2 akan sepenuhnya masuk ke
pemerintah Kabupaten/Kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah
pendapatan asli daerah. Pada saat PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat,
pemerintah kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 %. Setelah
pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 akan masuk ke dalam kas
pemerintah daerah.
Hipotesis Penelitian
Sehubungan dengan penelitian ini maka hipotesis yang dikemukakan
dalam penelitian ini, yakni diduga terdapat perbedaan penerimaan sebelum dan
sesudah desentralisasi PBB menjadi PBB-P2 pada Pemerintah Kota Gorontalo.
METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan
pendekatan kuantitatif. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua
desentralisasi. Penelitian ini dilakukan di Kota Gorontalo, dengan pengambilan
data sekunder yaitu target dan realisasi penerimaan yang dilakukan di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Gorontalo yaitu data PBB-P2 sebelum desentralisasi dan
data target dan realisasi penerimaan PBB-P2 di Dinas Pendapatan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAP) Kota Gorontalo sesudah Desentralisasi.
Data yang digunakan yakni dari tahun 2009-2014.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laporan realisasi
penerimaan daerah di KPP Pratama Gorontalo yaitu tiga tahun (2009-2011)
sebelum pengalihan dan Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Daerah
(DPPKAD) Kota Gorontalo yaitu tiga tahun (2012-2014) sesudah pengalihan.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu keseluruhan dari semua
populasi yaitu keseluruhan laporan realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan
sektor pedesaan perkotaan, jumlah sampel keseluruhan yaitu 36 data.
HASIL PENELITIAN
Adapun statistik deskriptif dari variabel penelitian yakni deskripsi dari PBB-P2 sebelum dan setelah desentralisasi Kota Gorontalo yaitu sebagai berikut:
Tabel 3: Statistik Deskriptif
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Nominal_PBB_Pusat Nominal_PBB_Daerah Valid N (Listwise) 18 18 18 181545153,0 186216773,0 111591071 937910956,0 499410231,3 496732257,7 273478020,7 289588775,2
Sumber: Pengolahan data SPSS 21, 2015
Berdasarkan data deskriptif terlihat bahwa pada saat sebelum
desentralisasi (pemungutan PBB-P2 oleh Kantor Pajak) terlihat rata-ratanya lebih
besar dibandingkan ketika setelah desentralisasi (Pemungutan PBB-P2 oleh
PBB-P2 sebesar Rp. 499.410.231,1 sedangkan periode setelah desentralisasi
memiliki rata-rata nilai nominal sebesar sebesar Rp. 496.732.257,7. Hal ini berarti
bahwa dilihat dari nilai nominal pemungutan pajak oleh Kantor Pajak memiliki
nilai yang lebih besar dibandingkan pemungutan oleh daerah. Hal ini karena
daerah belum maksimal dalam melakukan tindakan ekstensifikasi dan
intensifikasi Pajak Bumi Bangunan.
Tabel 4: Hasil Pengujian Normalitas
Sumber: Data Olahan SPSS 21, 2015
Hasil analisis diatas menunjukkan nilai koefisien Kolmogorov Smirnov
(KS) untuk variabel nominal PBB-P2 sebelum desentralisasi sebesar 0,648 dengan
nilai signifikansi sebesar 0,796 dan untuk variabel nominal PBB-P2 sebesar
0,957 dengan signifikasni sebesar 0,319. Sedangkan nilai Z pada tingkat
signifikansi 5% adalah sebesar 1.96. Karena nilai KS lebih kecil dari nilai Z tabel
maka Ho diterima. Dapat pula dilihat bahwa signifikansi Kolmogorov Smirnov
lebih besar dari 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai nominal
Tabel 5: Perbandingan Nilai Nominal PBB-P2 Sebelum dan Setelah Desentralisasi
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh nilai thitung untuk
perbedaan rata-rata nilai nominal PBB-P2 sebelum dan setelah desntralisasi
adalah sebesar 0,077 dengan nilai sig (2-tailed) sebesar 0,940. Sementara nilai
ttabel dengan degree of fredoom (df) sebesar 17 yakni 2,109. Nilai thitung ini
masih lebih kecil dibandingkan nilai ttabel dan nilai signifiknsi ini masih lebih
besar dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ho
diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara nilai nominal . PBB-P2 sebelum dan setelah desentralisasi
pada Kota Gorontalo.
PEMBAHASAN
Berdasarkan pengujian hipotesis dengan Paired Samples t-Test ditemukan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nominal PBB-P2 sebelum
dengan setelah desentralisasi, hal tersebut karena nilai thitung pengujian lebih
kecil dibandingkan dengan nilai ttabel. Hal ini mengindikasikan bahwa PBB-P2
Kota tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara PBB-P2 sebelum dan
setelah adanya desentralisasi (pengalihan pajak Bumi Bangunan kepada
Pengujian menunjukan bahwa penerimaan Pemerintah Daerah maupun
Pemerintah pusat dari pengujian nominal PBB-P2 tidak memiliki perbedaan yang
signifikan artinya pihak Pemerintah daerah telah mampu mencapai hasil-hasil
pengelolaan seperti yang dicapai oleh Pemerintah Pusat melalui Kantor Pajak di
masing-masing Provinsi. Namun jika dilihat dari nilai rata-rata terlihat bahwa
rata-rata nominal PBB-P2 yang dipungut oleh Pemerintah Pusat lebih besar
dibandingkan dengan Pemerintah daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak
Pemerintah daerah masih perlu melakukan pembenahan terkait cara pemungutan
pajak PBB-P2, selain itu masih perlunya langkah konkrit oleh Pemerintah Daerah
dalam mengelola PBB-P2 dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.
Intensifikasi pajak merupakan optimalisasi penggalian penerimaan pajak
terhadap objek serta subjek pajak yang telahtercatat atau terdaftar dalam
administrasi DJP. Tindakan ini terkait dengan mengidentifikasi masalah teknis
pemungutan pajak. Teknik pemungutan pajak secara umum dilakukan dengan
penyuluhan, dengan beragam cara dan melalui berbagai media. Secara khusus
untuk wajib pajak tertentu, teknik ini berbentuk himbauan, konseling,
penelitian, pemeriksaan dan bahkan penyidikan apabila terdapat indikasi
adanya pelanggaran hukum. Sementara Ekstensifikasi pajak merupakan kegiatan
yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak terdaftar. Dimana
masyarakat diberikan kesempatan untuk mendaftarkan dirinya sebagai Wajib
Pajak (Aditama dan Nuzula, 2013).
Hasil penelitian ini tentunya menggambarkan bahwa untuk Penerimaan
adanya desentralisasi. Hal tersebut membuktikan bahwa perlunya tindakan
maupun langkah-langkah koordinasi antara pihak Pemerintah Kota dengan pihak
Pemerintah kecamatan maupun Pemerintah Desa yang merupakan unsur yang
mengumpulkan dan melakukan pemungutan pajak PBB-P2.
Hasil-hasil pengujian di atas, sangat jelas menggambarkan keadaan pajak
PBB-P2. Adanya langkah yang baik serta dukungan dari masyarakat malalui sikap
yang patuh dalam pembayaran pajak, akan berdampak pada makin baiknya
penerimaan pajak daerah yakni PBB-P2. Sehingga Pemerintah daerah Kota
Gorontalo dituntut untuk terus melakukan tindakan ekstensifikasi maupun
intensifikasi dalam hal perpajakan terutama PBB-P2.
Istilah pajak yang mengandung kata bersifat memaksa dalam
Undang-Undang sebaiknya disosialisasikan kepada masyarakat dalam bentuk yang lebih
baik. Sehingga masyarakat secara ikhlas akan meningkatkan kesadaran dan
kepatuhan dalam pembayaran pajak terutama PBB-P2. Adanya ketidakpatuhan
dari masyarakat karena adanya rasa tidak ingin repot (berdasarkan wawancara
tidak terstruktur kepada bagian pengelola pendapatan). Sehingga bagi Pemerintah
Daerah yang menangani pajak PBB-P2, kedepannya agar lebih agresif dalam
penyediaan fasilitas pembayaran pajak PBB-P2 sehingga akan meningkatkan
tingkat penerimaan PBB-P2 Kota Gorontalo.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sugiyono (2013) yang terkait
pajak daerah namun judulnya yakni Analisis Perbandingan Penerimaan Pajak
Reklame Dan Pajak Penerangan Jalan Terhadap Pendapatan Asli Daerah Sebelum
penelitiannya menemukan bahwa perbedaan penerimaan pajak reklame dan pajak
penerangan jalan tidak signifikan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) sebelum
dan sesudah pemekaran daerah di Kota Tangerang.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik simpulan bahwa hasil pengujian hipotesis menemukan bahwa
PBB-P2 Kota Gorontalo sebelum desentralisasi tidak memiliki perbedaan signifikan
dibandingkan dengan PBB-P2 Kota Gorontalo setelah desentralisasi, dikarenakan
nilai thitung lebih kecil dibandingkan nilai ttabel artinya Pemerintah Daerah sudah
mampu mencapai hasil-hasil pengelolaan seperti yang dicapai oleh Pemerintah
Pusat.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan yang telah diuraikan di atas,
maka saran penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebaiknya pihak Pemerintah Kota Gorontalo melakukan tindakan-tindakan
dan langkah konkrit berupa intensifikasi dan ekstensifikasi pajak terkait
penerimaan PBB-P2. Serta perlunya sosialisasi kepada masyarakat akan
pentingnya penerimaan pajak ini bagi daerah tingkat dua (Kabupaten/Kota)
agar lebih bisa meningkatkan pendapatan daerah khususnya dari hasil
PBB-P2.
2. Perlunya koordinasi antara Pemerintah Kabupaten Gorontalo dengan
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, dkk. 2013. Intensifikasi Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Di Wilayah Singosari. Skripsi. Universitas Brawijaya
Mardiasmo, 2011. Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi.
Peraturan Walikota Gorontalo Nomor 9 Tahun 2011. Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan Perkotaan.
Radjak, Nurhayati (2014). Analisis Efektivitas Pemungutan BPHTB dan Pengaruhnya Terhadap Pajak Daerah Kota Gorontalo. Skripsi. Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo.
Direktorat Jenderal Pajak, 2012. Pengalihan Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (Pbb-P2) Sebagai Pajak Daerah. http://www.pajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perkotaan. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, Ikhwan. 2013. Analisis Perbandingan Penerimaan Pajak Reklame Dan Pajak Penerangan Jalan Terhadap Pendapatan Asli Daerah Sebelum Dan Sesudah Pemekaran Daerah Pada Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.