• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL) JAKARTA, 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL) JAKARTA, 2016"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAPAT HUKUM SAHABAT PENGADILAN

(

AMICUS CURIAE BRIEF

)

ATAS

PUTUSAN NOMOR 24/PDT.G/2015/PN.Plg

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW

(ICEL)

JAKARTA, 2016

ANTARA

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN

KEHUTANAN

V.

(2)

Halaman

1 dari 51

Halaman

Daftar Isi

Kepentingan Indonesian Center for Environmental Law ... 2

Ringkasan Kasus Posisi Perkara ... 3

Referensi Sumber Hukum 6

Argumentasi Sahabat Pengadilan ... 11

(3)

Halaman

2 dari 51

Halaman

KESATU

Kepentingan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

ICEL merupakan organisasi yang bergerak dalam pengembangan hukum

lingkungan hidup di Indonesia melalui penelitian, pengembangan kapasitas,

dan advokasi. ICEL memiliki visi mewujudkan sistem hukum dan tata kelola

lingkungan hidup sesuai dengan prinsip keadilan, demokratis dan

keberlanjutan. Untuk mewujudkan visi tersebut ICEL memiliki 3 misi, yaitu:

1. Melakukan penelaahan, penelitian, dan advokasi terkait pengembangan

hukum lingkungan hidup dan tata kelola;

2. Memberdayakan dan meningkatkan kapasitas organisasi masyarakat

sipil dan lembaga non-pemerintah dalam mereformasi dan menegakkan

hukum lingkungan hidup; dan

3. Mendukung pemberdayaan korban/kelompok yang berpotensi menjadi

korban dalam rangka membela hak-hak mereka terhadap lingkungan

hidup.

Sebagai lembaga pengembangan hukum lingkungan hidup, saat ini ICEL

fokus dalam melakukan advokasi pembaharuan hukum pada 3 (tiga) isu

kunci, yaitu tata kelola hutan dan lahan (green issue), pengendalian

pencemaran (brown issue) dan tata kelola laut dan pesisir (blue issue).

Sesuai dengan mandat sebagai organisasi lingkungan hidup yang termaktub

dalam visi dan misi, ICEL memiliki tanggungjawab untuk turut serta dalam

proses pembaharuan hukum lingkungan hidup dan penegakan hukum

lingkungan hidup di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dan untuk

mendukung terciptanya tata kelola lingkungan hidup yang baik termasuk

hutan dan lahan, maka disusunlah Pendapat Hukum Sahabat Pengadilan

(Amicus Curiae Brief) ini sebagai sarana informasi, referensi atau

sumbangsih pemikiran bagi hakim dalam memutuskan perkara kebakaran

hutan dan lahan.

Disusunnya Amicus Curiae Brief ini merupakan bentuk dari kepercayaan

dan dukungan ICEL kepada lembaga pengadilan dalam berkontribusi

mendukung terciptanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

(4)

Halaman

3 dari 51

Halaman

KEDUA

RINGKASAN KASUS POSISI

1. Para Pihak yang berperkara:

a. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (selanjutnya disebut MenLHK) untuk kepentingan negera dalam melindungi lingkungan hidup sebagai penggugat.

b. PT Bumi Mekar Hijau (selanjutnya disebut PT BMH) sebagai tergugat. 2. Pertanyaan hukum:

a. Dasar pertanggungjawaban apa (PMH atau strict liability) yang dapat digunakan untuk perkara ini?

b. Alasan apa saja yang dapat membantah pembelaan dari Tergugat untuk lepas dari pertanggungjawaban hukum?

3. Fakta:

a. Pada tanggal 13 April 2004 Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.104/Menhut-VI/2004 menetapkan pemenang penawaran dalam pelelangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri Hutan Alam-Hutan Industri (IUPHHK HA-HTI) atas wilayah kawasan hutan di mana PT BMH adalah pemenang pelelangan IUPHHK HTI tersebut. PT BMH sudah memenuhi izin-izin untuk melakukan kegiatan/ usahan hutan tanam industri.

b. Pada areal konsesi PT BMH telah terjadi kebakaran hutan dan lahan1 dari

tahun ke tahun.

c. Berita Acara Verifikasi Sengketa Lingkungan Hidup tertanggal 17 Desember 2014 di lapangan lokasi PT BMH menyatakan bahwa api pertama pada tahun tersebut ditemukan pada tanggal 26 September 2014. Bagian terluar dari tanaman yang terbakar di Distrik Simpang Tiga tidak berbatasan langsung dengan perkampungan penduduk karena jaraknya sekitar 5 km. d. Berdasarkan verifikasi lapangan pada bulan Oktober dan Desember

2014, sarana prasarana pengendalian kebakaran yang dimiliki PT BMH berdasarkan ketentuan peraturan, sangat minim. Pengadilan melakukan pemeriksaan lapangan pada Desember 2015 dan menyimpulkan bahwa sarana dan prasarana kebakaran yang dimiliki PT BMH sudah memadai. 4. Argumentasi KLHK (Penggugat):

a. Dasar hukum yang digunakan oleh KLHK adalah Pasal 1365 KUHPerdata karena tergugat telah membuka lahan dengan cara membakar.

1

(5)

Halaman

4 dari 51

Halaman

b. Berdasarkan verifikasi lapangan oleh KLHK, sarana dan prasarana yang

dimiliki oleh PT BMH sangat minim.

c. Kebakaran yang terjadi di areal konsesi PT BMH telah menimbulkan kerugian:

(1) Ekologis;

(2) Kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati; (3) Kerugian akibat lepasnya karbon; dan

(4) Kerugian ekonomis.

c. KLHK juga telah meminta hakim untuk menerapkan precautionary principle dalam mengadili perkara aquo. Pada saat pemberian keterangan ahli, keterangan ahli dari KLHK juga telah menyampaikan mengenai prinsip strict liability, perkembangan, dan penerapannya di Indonesia.

5. Argumentasi PT BMH (Tergugat):

a. PT BMH menyangkal tidak melakukan perbuatan melawan hukum.

b. Dalil yang digunakan oleh PT BMH untuk menyangkal dalil KLHK antara lain:

(1) PT BMH tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; (2) PT BMH sudah melakukan upaya untuk mencegah terjadinya

kebakaran;

(3) lahan yang dikelola PT BMH adalah lahan yang terdegradasi akibat kebakaran pada tahun 1997/1998;

(4) tidak terjadi kerusakan pada lahan yang dikelola oleh PT BMH karena tanah tersebut masih dapat ditanami Akasia dan tumbuh dengan baik; (5) Metode penghitungan kerusakan yang digunakan oleh KLHK dianggap

tidak mewakili seluruh lahan terbakar yang didalilkan oleh PT BMH (20.000 ha).

6. Pertimbangan hakim dalam pokok perkara atas kasus aquo adalah:

a. “.... PT BMH telah menyediakan perlengkapan penanggulangan kebakaran, namun belum ada ketentuan baku/standar minimum jumlah tenaga pemadam kebakaran berikut jenis peralatan dalam pengusahaan tanaman industri”.

b. “....tidak ada indikasi bahwa tanah telah rusak, lahan masih berfungsi dengan baik sesuai dengan peruntukannya sebagai lahan Hutan Tanaman Industri, di atas bekas lahan yang terbakar tersebut tanaman akasia dapat tumbuh kembali secara baik, sebagaimana penglihatan Majelis sebagai fakta prosesuil ketika melakukan sidang pemeriksaan di tempat”;

c. “....lingkup usaha Tergugat sebagai mana yang didalilkan oleh Tergugat didasarkan pada ketentuan Pengelolaan Hutan Tanaman Industri dengan tata kelola yang baik...”;

d. “....tidak ada hubungan kausalitas antara peristiwa kebakaran dengan maksud “intent” Tergugat untuk membuka lahan dengan biaya murah, karena dilokasi kebakaran tersebut sudah ditanam pohon akasia dan ada yang sudah siap untuk dipanen ikut terbakar...”;

(6)

C-Halaman

5 dari 51

Halaman

organik, sebesar 12 – 16 % menurun menjadi 0,4-15.8 % disimpulkan tidak terjadi kepunahan/ kerusakan sifat biologis tanah....”;

f. “....tidak dapat dibuktikan secara rinci dan jelas secara kuantitatif dari mana dasar-dasar penghitungannya, demikian juga tentang kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara tidak bisa dibuktikan, dengan demikian harus ditolak”;

g. “... karena Tergugat tidak melakukan perbuatan yang didalilkan oleh Penggugat, maka tidak perlu menilai lebih lanjut tentang ganti rugi dalam perkara a quo.

7. Putusan majelis hakim pengadilan negeri Palembang pada 28 Desember memutus:

a. menolak tuntutan provisi Penggugat; b. menolak Eksepsi Tergugat;

c. menolak Gugatan Penggugat seluruhnya; dan

(7)

Halaman

6 dari 51

Halaman

KETIGA

Referensi Sumber Hukum

1. Peraturan Perundang-Undangan

NO PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

KETERANGAN

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)

Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik (Pasal 28H ayat (1)).

2. Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH)

- Asas-Asas dalam UU PPLH a. “asas tanggung jawab negara”, dimana negara:

 menjamin pemanfaatan sumber daya alamakan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.

 menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

 mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(8)

Halaman

7 dari 51

Halaman

dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

c. “asas keadilan”, dimana

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.

d. “asas pencemar membayar” adalah

bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran

dan/atau kerusakan

lingkungan hidup wajib

menanggung biaya pemulihan lingkungan.

- Tanggung jawab atas kerugian yang muncul tanpa pembuktian unsur kesalahan (Ps 88)

Pasal 88

Setiap orang yang:

1. tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3; dan/atau

2. tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

3. Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disebut UU Kehutanan)

Pasal 48 ayat (3):

- Kewajiban pemegang izin untuk melindungi areal konsesinya

Pasal 49:

- Pemegang hak atau izin

(9)

Halaman

8 dari 51

Halaman

kerjanya.

4. Peraturan Pemerintah No 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (selanjutnya disebut PP 4/2001)

a. Kewajiban penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan di lokasi usahanya. (Ps 13)

b. Kewajiban penanggung jawab usaha atas kebakaran lahan di lokasi usahanya dan segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. (Ps 18 ayat (1))

c. Kewajiban penanggung jawab

usaha untuk melakukan

pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. (Pasal 21 ayat (1)).

5. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

Pasal 10 Ayat (1)

Perlindungan hutan hak dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang hak

Pasal 10 Ayat (2)

Perlindungan hutan meliputi kegiatan antara lain

a. Pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak;

b. Pencegahan, pemadaman, dan

penanganan dampak

kebakaran;

c. Penyediaan personil dan

(10)

Halaman

9 dari 51

Halaman

perlindungan hutan;

d. Mempertahankan dan memelihara sumber air;

e. Melakukan kerja sama dengan sesame pemilik hutan hak, pengelola kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pemungutan, dan masyarakat.

Pasal 30 Ayat (1)

Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

Pasal 30 Ayat (2)

Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:

a. Tanggung jawab pidana;

b. Tanggung jawab perdata;

c. Membayar ganti rugi; dan/atau

d. Sanksi administrasi.

6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 14 tahun 2012 tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Gambut.

Permen LH ini telah mengatur mengenai metode penghitungan valuasi ekonomi untuk ekosistem gambut.

(11)

Halaman

10 dari 51

Halaman

2. Selain itu, Mahkamah Agung RI juga telah mengeluarkan pedoman

penanganan kasus lingkungan hidup dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 yang diantaranya berisi pedoman bahwa dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup, hakim harus memahami asas-asas kebijakan lingkungan (principles of environmental policy) yang meliputi:2

a. prinsip substansi hukum lingkungan;

b. prinsip-prinsip proses; dan

c. prinsip keadilan

3. Salah satu prinsip substansi hukum lingkungan adalah precautionary principle. Penerapan prinsip ini dapat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai instrumen, misalnya dalam menentukan pertanggungjawaban (liability rule). Hakim juga harus mempertimbangkan prinsip keadilan, seperti keadilan dalam satu generasi dan antar-generasi dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkunganhidup.3

2

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

(12)

Halaman

11 dari 51

Halaman

KEEMPAT

Argumentasi Sahabat Pengadilan

Amicus Curiae Brief ini hendak menjawab pertanyaan sebagai berikut:

1. Dasar pertanggungjawaban apa (PMH atau strict liability) yang dapat digunakan untuk perkara ini?

2. Alasan apa saja yang dapat membantah pembelaan dari Tergugat untuk lepas dari pertanggungjawaban hukum?

A. Argumentasi Terkait Tujuan Peradilan

Sebelum memberikan pendapat mengenai pertanyaan di atas, terlebih dahulu kami menyampaikan pendapat mengenai tujuan peradilan:

1.Peradilan berperan untuk menegakan hukum dan peradilan

- Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan, sehingga peradilan memiliki peran untuk menegakan hukum dan keadilan. Dalam mewujudkan peran peradilan tersebut, Pasal 2 UU 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) juga menyatakan bahwa peradilan negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

- Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim bukan sekedar corong undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya menerapkan peraturan hukum, melainkan pejabat negara yang memiliki pengetahuan yang luas, bermartabat, berwibawa, dan sebagai tempat mengadu bagi para pencari keadilan (justitiabellen).

2.Pengadilan atau Hakim sebagai Pelaksana Penegak Hukum Memiliki Fungsi sebagai Penjaga Kemerdekaan Anggota Masyarakat

Sebagai penjaga kemerdekaan anggota masyarakat, hakim berfungsi dan berperan menjaga kemerdekaan anggota masyarakat (in guarding the freedom of society) dalam arti luas mengembangkan nilai-nilai hak asasi manusia dalam segala bidang sebagai ideologi universal atau ideologi global.4 Oleh karena itu, hakim dituntut memahami dan menerapkan

semua nilai hak asasi manusia dalam berbagai generasi, termasuk nilai hak asasi manusia dalam konteks lingkungan hidup.

3.Keadilan yang diwujudkan adalah Keadilan Lingkungan

- Berkaitan dengan sengketa lingkungan hidup, maka keadilan yang hendak dilindungi adalah keadilan lingkungan. Di dalam UU PPLH,

4

(13)

Halaman

12 dari 51

Halaman

keadilan lingkungan diejawantahkan dalam asas keadilan. Penjelasan Pasal 2 huruf g UU PPLH menjelaskan:

“yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas

daerah, lintas generasi, maupun lintas gender”.

- Kuehn mengategorikan keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif, keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif, keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural, dan keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial.5 Di dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) sendiri, keadilan ditujukan untuk keadilan intragenerasi dan keadilan antar generasi.6

- Andri G. Wibisana lebih lanjut menjelaskan elemen keadilan intragenerasi berdasarkan pengelompokan Koehn sebagai berikut:7

1. Keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif didefinisikan sebagai hak atas persamaan perlakuan (equal treatment). Dalam konteks lingkungan hidup, keadilan distributif terkait dengan persamaan atas beban dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan yang membahayakan lingkungan.

2. Keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif merupakan bentuk keadilan yang ditujukan sebagai upaya pemberian sanksi, pemulihan, atau kompensasi bagi mereka yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam konteks ini, maka pihak yang menimbulkan kerugian lingkungan, yang mana diartikan menyebabkan ketidakadilan lingkungan, memikul tanggung jawab untuk mengembalikan dampak akibat kerugian tersebut.

3. Keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural merupakan keadilan untuk memperoleh perlakuan yang sama.

4. Keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial merupakan cabang dari keadilan yang mendorong dilakukannya upaya terbaik untuk mencapai tatanan masyarakat yang adil.

-Elemen keadilan antar generasi dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap keseimbangan tersedianya kebutuhan generasi saat ini dengan kebutuhan generasi berikutnya. Prinsip ini juga bermakna bahwa generasi saat ini berkewajiban untuk menggunakan sumber daya alam dengan hemat dan bijaksana, serta melaksanakan konservasi sumber daya alam. Prof. Takdir Rahmadi berpendapat bahwa sangat tidak bijaksana jika

5

Indonesian Center for Environmental Law, Anotasi Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ed. Pertama, (Jakarta: 2014), hlm 50.

6

Indonesian Center for Environmental Law, Ibid., hlm 51.

7

(14)

Halaman

13 dari 51

Halaman

generasi saat ini meninggalkan sumber-sumber air, tanah, dan udara yang telah tercemar, sehingga generasi yang akan datang tidak lagi mendapatkan sumber daya alam tersebut dengan layak dan sesuai kebutuhannya.8

-Putusan terhadap perkara kebakaran hutan dan/atau lahan ini, tidak hanya berdampak pada kepentingan para pihak saja, yakni Menteri LHK dan PT. BMH, melainkan akan berdampak secara signifikan juga pada generasi masa kini dan masa depan.

4.Hakim harus aktif mencari keadilan untuk mewujudkan tujuan peradilan

- Dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana terdapat doktrin yang menyatakan bahwa dalam perkara perdata hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun, Jimmly Asshiddiqie9 berpendapat bahwa:

“hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan

menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan

keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama”.

- Dalam menangani perkara lingkungan hidup, para hakim diharapkan bersikap progresif karena perkara lingkungan hidup sifatnya rumit dan banyak ditemui adanya bukti-bukti ilmiah (scientific evidence), oleh karenanya hakim haruslah berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, seperti precautionary principles, dan melakukan judicial activism.10

- Dalam mencari dan menemukan hukum untuk mewujudkan keadilan tersebut, maka hakim dianggap mengetahui semua hukum (curia novit jus). Berdasarkan prinsip curia novit jus atau jus curia novit, hakim diwajibkan mencari dan menemukan hukum yang persis berlaku untuk diterapkan dalam perkara yang bersangkutan. Pada saat ini, tuntutan

8

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm. 12.

9 Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum”, hlm. 2

, diakses melalui http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf. Lihat juga Yahya Harahap dalam bukunya

Hukum Acara Perdata yang menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara melalui proses peradilan, hakim tidak hanya berfungsi dan berperan memimpin jalannya persidangan, tetapi juga berfungsi bahkan berkewajiban mencari dan menemukan hukum objektif atau materiil yang akan diterapkan dalam memutus perkara.

10

(15)

Halaman

14 dari 51

Halaman

atas doktrin curia novit jus ini tidak hanya sebatas pada hukum positif dan hukum objektif nasional yang berlaku, tapi pengetahuan hakim harus menjangkau kebiasaan-kebiasaan maupun prinsip-prinsip yang berkembang di negara lain maupun dalam hukum internasional.

- Prof. Takdir Rahmadi11 dalam artikelnya Perkembangan Hukum

Lingkungan di Indonesia menyatakan UUPPLH sebagai sumber formal utama hukum lingkungan di Indonesia, selain memuat ketentuan-ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-undang sebelumnya, yaitu UU LH 1982 dan UULH 1997, juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen hukum-hukum baru, seperti pengadopsian asas-asas dalam Deklarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggung jawab negara, keterpaduan, kehati-hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal. Prof Takdir Rahmadi lebih lanjut menyatakan:12

“...hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat

menggunakan asas-asas itu untuk memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang”.

Pandangan Prof Takdir Rahmadi tersebut memiliki makna bahwa hakim dalam mengadili sebuah perkara harus menerapkan asas in dubio pro natura.

B. Dasar Pertanggungjawaban dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH

Terdapat dua dasar pertanggungjawaban yang dapat digunakan dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH, yakni: (a) pertanggungjawaban mutlak (strict liability); dan (b) perbuatan melawan hukum (PMH). Bagian kedua tulisan ini akan membahas dua pertanggungjawaban tersebut, dimulai dengan pertanggungjawaban mutlak.

B.1 Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability)

B.1.1 Dasar Hukum dan Praktik Pengadilan Berkaitan dengan Pertanggungjawaban Mutlak

Kerangka peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup di Indonesia mengakui adanya dasar pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban mutlak misalnya diatur di dalam Pasal 88 UU PPLH yang berbunyi:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,

11

Takdir Rahmadi, https://www.mahkamahagung.go.id/rbnews.asp?bid=4084, diakses terakhir 30 Januari 2016, Pk 21.58 WIB.

12Ibid

(16)

Halaman

15 dari 51

Halaman

dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Dari rumusan tersebut, kita dapat melihat terdapat beberapa unsur dalam pertanggungjawaban mutlak yang harus dibuktikan, meliputi: 1). Unsur setiap orang; 2). Unsur tindakan, usaha, dan/atau kegiatannya; dan 3). Menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Dari ketiga unsur tersebut, Sahabat Pengadilan tidak membahas unsur kesatu dan kedua, namun hanya memfokuskan pada pembahasan unsur ketiga.

Unsur ketiga: “…..menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap

lingkungan hidup” menggunakan rumusan alternatif. Dalam kaitannya

dengan perkara Menteri LHK vs PT. BMH, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan PT. BMH memenuhi unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.” Terdapat dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam membuktikan unsur tersebut.

Sumber yang pertama mengenai maksud dari unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup” terdapat di dalam SK KMA No.

36/KMA/SK/II/2013. Menurut SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 yang dimaksud dengan ancaman serius adalah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dampaknya berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali dan/atau komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air permukaan, air bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan hewan.13

Mengacu pada definisi tersebut, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH telah mengakibatkan terjadinya kebakaran lahan dengan dampak yang berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali. Hal ini terlihat misalnya dari luasan lahan yang terbakar mencapai angka 20.000 Ha.14 Selain itu,

kebakaran tersebut telah menyebabkan terjadinya penurunan kedalaman gambut yang mencapai rata-rata 20 – 30 cm.15 Menteri LHK dalam

gugatannya juga menyatakan bahwa upaya memulihkan lahan gambut yang terbakar harus dilakukan meskipun mustahil mengembalikannya kepada keadaan seperti semula sebelum terbakar.16

13

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, hal. 39.

14

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 12.

15

Ibid., hal. 62.

16

(17)

Halaman

16 dari 51

Halaman

Selain itu, kebakaran seluas 20.000 Ha di dalam konsesi PT. BMH juga telah mengakibatkan dampak buruk terhadap komponen-komponen lingkungan hidup yang sangat luas. Dari sisi kesehatan manusia dan ruang udara, kebakaran tersebut telah berkontribusi terhadap terjadinya pencemaran udara yang mengakibatkan puluhan ribu penduduk menderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut.17 Lebih jauh lagi, kebakaran

tersebut juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi air dari lahan gambut, kerusakan tanah, dan juga kematian mikroorganisme yang menjadi sumber daya genetik dari lahan gambut.18

Selain bersumber pada SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, upaya membuktikan suatu usaha dan/atau kegiatan memiliki risiko “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup” dapat ditentukan juga melalui disyaratkan atau tidaknya Amdal terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan tersebut. Maksudnya adalah jika Amdal merupakan syarat sebelum suatu usaha dan/atau kegiatan dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut memiliki risiko menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Logika ini selaras dengan pengaturan Amdal di dalam UU PPLH, di mana salah satu

pasalnya menyebutkan bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang

berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki amdal.”19 Frase

“berdampak penting” di dalam pasal tersebut dapat dimaknai sama dengan

frase “ancaman serius” di dalam unsur dari pertanggungjawaban mutlak. Selain itu, kriteria “dampak penting” di dalam Pasal 22 Ayat (2) UU PPLH

juga sama dengan maksud dari “ancaman serius” di dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, seperti tercantum di dalam daftar di bawah ini:20

a) Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;

b) Luas wilayah penyebaran dampak;

c) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d) Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;

e) Sifat kumulatif dampak;

17 Harianterbit.com, “30.000 Warga Palembang Menderita ISPA Akibat Kabut Asap”,

http://entertainment.harianterbit.com/entertainment/2014/10/07/9364/0/29/30.000-Warga-Palembang-Menderita-ISPA-Akibat-Kabut-Asap, diakses pada tanggal 12 Juni 2016.

18

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 13 – 16.

19

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059., Pasal 22 Ayat (1).

20

Ibid., Pasal 22 Ayat (2). Kriteria yang diberi penebalan merupakan kriteria dampak penting yang

(18)

Halaman

17 dari 51

Halaman

f) Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau

g) Kriteria lain sesuai dengan perkembangan teknologi.

Amdal termasuk salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri dilakukan oleh PT. BMH. Hal ini terbukti berdasarkan pada Keputusan Bupati Ogan Komering Ilir No. 195/KEP/K-PELH/2004 tanggal 8 Juli 2004 tentang Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Rencana Pengelolahan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanam (IUPHHKHT) PT. Bumi Mekar Hijau Lokasi Kecamatan Tulung Selapan dan Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir Luas 123.490 ha.21 Maka dari itu, dari sisi kewajiban

dilakukannya Amdal, usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH telah memenuhi unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup”.

Selain berdasarkan UU PPLH, PP 4/2001 juga mengatur perihal dasar pertanggungjawaban dalam peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan.

Pasal 51 Ayat (1) PP 4/2001 menyatakan, “Penanggung jawab usaha dan

atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.”22 Hal ini semakin menguatkan dalil Sahabat

Pengadilan di awal bagian ini yang menyatakan bahwa kerangka peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup di Indonesia, khususnya dalam peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan, mengakui adanya dasar pertanggungjawaban mutlak atau pertanggungjawaban langsung dan seketika.

Masih berkaitan dengan pertanggungjawaban mutlak, Menteri LHK dalam gugatannya juga telah memohon kepada Majelis Hakim PN Palembang untuk mempertimbangkan perihal penerapan asas kehati-hatian (precautionary principle) di dalam memeriksa perkara antara Menteri LHK melawan PT. BMH.23 Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan yang

penting berkaitan dengan penggunaan dasar pertanggungjawaban mutlak

21

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 29 - 30.

22

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, LN Tahun 2001 No. 10, TLN No. 4076, Pasal 51 Ayat (1).

23

(19)

Halaman

18 dari 51

Halaman

dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH terutama dengan adanya Putusan Mahkamah Agung No. 1794K/Pdt/2004 yang lebih populer dikenal dengan

perkara “Mandalawangi”. Putusan perkara “Mandalawangi” menjadi penting

karena Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengkaitkan asas kehati-hatian dengan dasar pertanggungjawaban mutlak, sebagaimana tergambar di bawah ini:

(1) Menimbang, bahwa dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan, termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka pengadilan dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum

lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini “precautionary

principle”, Prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992, walaupun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut, maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek.24

(2) Menimbang, bahwa dalam menerapkan prinsip ini terdapat 3 hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan dimana precautionary principle ini perlu ditempuh dan diterapkan, yaitu sebagai berikut:25

1. Ancaman kerusakan lingkungan sangat serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan (irreversible). Perlakuan yang serius diperlukan dalam keadaan akibat atau implikasi bagi generasi sekarang dan yang akan datang, atau dalam keadaan tidak terdapat substitusi dari sumber daya yang digunakan;

2. Ketidakpastian pembuktian ilmiah (scientific evidence), keadaan dimana akibat yang akan ditimbulkan dari suatu kegiatan tidak dapat diperkirakan dengan pasti karena karakter dari persoalannya itu sendiri (nature of problem), penyebab, maupun dampak potensal dari kegiatan tersebut;

3. Upaya pencegahan kerusakan lingkungan tersebut meliputi upaya pencegahan sampai dengan cost effectiveness.

(3) Menimbang, bahwa dapat disimpulkan dengan penerapan prinsip pencegahan dini/ prinsip kehati-hatian ini mengandung makna, apabila telah terjadi kerusakan lingkungan hidup, maka kekurangan/ lemahnya pengetahuan tidak dapat dijadikan alasan menunda upaya-upaya pemulihan terhadap lingkungan yang rusak tersebut;26

24

Dedi, dkk. vs Perhutani, dkk. Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, hal. 101.

25

Ibid., hal. 101 – 102.

26

(20)

Halaman

19 dari 51

Halaman

(4) Menimbang, bahwa bagaimana bentuk tanggung jawab terhadap

lingkungan serta siapa yang harus diberikan tanggung jawab, maka dengan penerapan prinsip ini pembuktian unsur kesalahan (liability base on fault) seperti dalil gugatan penggugat agar supaya Para tergugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukurn menjadi tidak relevan karena dengan diterapkannya prinsip "precautionary principle", pertanggung jawaban menjadi ketat/mutlak „strict liability”27

Dengan Penggugat mendalilkan permohonan penerapan asas kehati-hatian sebagaimana diterapkan di dalam Perkara Mandalawangi, maka relevansi digunakannya dasar pertanggungjawaban mutlak dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH menjadi semakin kuat. Setelah membahas dasar hukum pertanggungjawaban mutlak dan kemungkinan penerapannya di dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH, pada bagian berikutnya Sahabat Pengadilan membahas hal-hal yang perlu dibuktikan dalam pertanggungjawaban mutlak.

B.1.2 Hal yang Perlu Dibuktikan dalam Pertanggungjawaban Mutlak

Setelah memastikan bahwa dasar pertanggungjawaban perdata dapat digunakan dalam perkara kebakaran hutan dan/atau lahan antara Menteri LHK melawan PT. BMH, maka pembahasan berikutnya adalah merumusan hal-hal apa saja yang perlu dibuktikan dalam skema pertanggungjawaban mutlak. Ada tiga hal yang perlu dibuktikan di dalam skema pertanggungjawaban mutlak, yaitu: 1). Kegiatan yang dilakukan oleh PT. BMH merupakan kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup; 2). Penggugat/Menteri LHK mengalami kerugian; dan 3). Kerugian yang diderita oleh Penggugat/Menteri LHK disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat/PT. BMH (hubungan kausalitas). Mengenai sifat kegiatan Tergugat/PT. BMH yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup sudah dibuktikan di dalam bagian B.1.1. Maka dari itu, pada bagian ini akan dibuktikan perihal kerugian yang dialami oleh Penggugat/Menteri LHK serta hubungan kausalitas antara kegiatan Tergugat/PT. BMH dengan kerugian yang diderita Penggugat/Menteri LHK.

Kerugian

Perihal kerugian yang dialami oleh Penggugat/Menteri LHK telah tergambar di dalam putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. Penggugat/Menteri LHK mendalilkan bahwa terjadinya kebakaran seluas

27

(21)

Halaman

20 dari 51

Halaman

20.000 Ha di dalam konsesi Terggugat/PT. BMH telah mengakibatkan dideritanya beberapa jenis kerugian, seperti:28

1. Kerugian Ekologis

Kerugian ekologis ini secara spesifik berkaitan dengan kerusakan struktur lahan gambut yang berujung pada hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan air. Hal ini berkaitan juga dengan kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang terdapat di dalam Bagian B Lampiran PP 4/2001. Salah satu parameter dari baku kerusakan tanah gambut adalah kadar air tersedia.29 Terjadinya penurunan

kadar air merupakan contoh kerusakan dalam parameter kadar air tersedia. Selain itu, subsidence juga menjadi parameter lainnya dalam baku kerusakan tanah gambut. Di dalam parameter subsidence, contoh kerusakan yang terjadi adalah ketika terjadi penurunan permukaan tanah gambut. Dr. Basuki Wasis di dalam keterangannya menjelaskan bahwa penurunan ketebalan gambut di lahan gambut PT. BMH yang terbakar rata-rata mencapai 20 – 30 cm.30

2. Kerugian Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Sumber Daya Genetika

Selain kerugian ekologis dari sisi struktur lahan gambut, kebakaran seluas 20.000 Ha pada lahan PT. BMH juga telah menyebabkan hilangnya sumber daya genetika seperti microorganism tanah. Mikroorganisme tanah yang hilang ini ada yang peruntukannya sampai saat ini belum diketahui dan/atau sudah diketahui tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal.

3. Kerugian Terlepasnya Karbon ke Udara

Kebakaran seluas 20.000 Ha pada lahan PT. BMH juga mengakibatkan terlepasnya karbon ke udara yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca di atmosfir. Jadi, kebakaran di lahan gambut selain menyebabkan struktur gambut menjadi rusak juga menyebabkan terjadinya kontribusi emisi gas rumah kaca di atmosfir melalui karbon yang terlepas dari lahan gambut.

4. Kerugian Ekonomis

28

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 13 - 18.

29

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, LN Tahun 2001 No. 10, TLN No. 4076, Bagian Huruf B mengenai sifat fisika tanah.

30

(22)

Halaman

21 dari 51

Halaman

Dari sisi ekonomi, kebakaran seluas 20.000 Ha di lahan PT. BMH juga telah menghilangkan umur pakai dari lahan itu sendiri. Setidak-tidaknya umur pakai yang hilang akibat kebakaran tersebut mencapai 11 tahun.

Berdasarkan empat uraian kerugian tersebut, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa pembuktian kerugian yang diderita oleh Menteri LHK sudah cukup kuat dan terlihat secara nyata. Berikutnya Sahabat Pengadilan akan membuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh Menteri LHK terjadi disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH.

Hubungan Kausalitas antara Kerugian Menteri LHK dengan Usaha dan/atau Kegiatan PT. BMH

Pembuktian kausalitas biasanya dilakukan berdasarkan pengujian terhadap dua bentuk kausalitas, yakni dalam bentuk cause in fact dan dalam bentuk proximate cause. Sahabat Pengadilan akan membahas perihal kausalitas berdasarkan dua bentuk ini, dimulai dari cause in fact terlebih dahulu. Pengujian cause in fact atau sebab faktual biasa dikenal dengan istilah “but

for test”.31 Suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai sebab faktual dari suatu

kerugian apabila kerugian tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya perbuatan tersebut. Akan tetapi pembuktian sebab faktual saja tidak cukup untuk menetapkan bahwa seseorang bertanggungjawab atas suatu kerugian tertentu. Dibutuhkan pembuktian lainnya dari sisi aspek-aspek non faktual yang mungkin akan berpengaruh terhadap pertanggungjawaban Tergugat. Pembuktian dari sisi aspek-aspek non faktual ini-lah yang disebut sebagai proximate cause.

Menurut Owen, sebagaimana dikutip oleh Wibisana, proximate cause sering juga disebut sebagai legal cause atau the scope of liability.32 Proximate cause

berperan dalam menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penggugat, mengingat terjadinya suatu kerugian bisa disebabkan oleh beberapa perbuatan yang saling mengintervensi. Dalam konteks ini, pihak yang perbuatannya merupakan

sebab paling “dekat” dengan kerugian Penggugat dapat diputuskan sebagai

pihak yang bertanggungjawab.33

31 Terminologi “but for test” bisa diartikan dengan “jika bukan karena”. Diamond, dkk. menyatakan

perihal “but for test” seperti ini: for the defendant to be held liable, the plaintiff must establish that but for the

defendant’s culpable conduct or activity the plaintiff would not have been injured”. Lihat dalam John L. Diamond, et. al., Understanding Torts, (New York: Matthew Bender & Co. Inc, 1996), hal. 192.

32 Andri G. Wibisana, “

Beberapa Catatan Penting Terkait Aspek Prosedural Gugatan, Pertanggungjawaban Perdata, dan Pembuktian”, Pelatihan Sertifikasi Hakim Lingkungan Hidup, Pusdiklat MA, 2016 hal. 46.

33

(23)

Halaman

22 dari 51

Halaman

Terdapat dua doktrin yang dapat memudahkan dalam menentukan proximate cause. Doktrin yang pertama adalah “the direct-consequences

doctrine”. Doktrin ini berkaitan dengan sebab-sebab lain yang

mengintervensi di antara perbuatan Tergugat dengan kerugian yang dialami oleh Penggugat. Di dalam keadaan tersebut, pihak yang menjadi penyebab yang paling akhir atau dekat yang akan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Penggugat. Doktrin kedua mengenai proximate cause adalah

“the reasonable-foresight doctrine”. Menurut doktrin ini, seseorang tidak akan bertanggung jawab atas kerugian yang secara wajar tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Dengan kata lain, seseorang dapat diputuskan sebagai pihak yang bertanggung jawab jika kerugian yang terjadi termasuk ke dalam risiko yang selayaknya sudah dapat diperkirakan akan terjadi akibat dari kesalahan (jika dasar pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan) atau dari kegiatan (jika dasar pertanggungjawaban mutlak digunakan) pihak tersebut.34

Kedua pembahasan mengenai cause in fact dan proximate cause di atas merupakan pembahasan dalam dasar pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau yang lazim dikenal dengan frase “Perbuatan Melawan

Hukum” di dalam hukum Indonesia. Di sisi lain, sebenarnya terdapat

perbedaan pembuktian cause in fact dan proximate cause khusus untuk dasar pertanggungjawaban mutlak (strict liability) jika dibandingkan dengan pembuktian kedua bentuk kausalitas tersebut dalam dasar pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Berikut ini perbedaan pembuktian dua bentuk kausalitas tersebut di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak.

Menurut Palmer, sebagaimana dikutip oleh Wibisana, pembuktian cause in fact di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak cukup dibuktikan dengan pembuktian penyebab faktual secara sederhana. Maksud dari pembuktian penyebab faktual secara sederhana adalah pengadilan tidak perlu membuktikan penyebab faktual dengan cara yang hipotetis atau counterfactual.35 Pertanyaan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak

melahirkan Z. Z pada saat umur ke-16 tahun telah secara lalai menyebabkan kecelakaan mobil yang mencederai C. Kelalaian A di awal dalam membuat pil kontrasepsi adalah sebab faktual bagi cedera yang dialami oleh C, karena Z tidak mungkin hidup jika pil kontrasepsi tersebut tidak gagal mencegah kelahiran X. Akan tetapi, A tidak akan diputuskan sebagai pihak yang bertanggung jawab karena kelalaian A merupakan penyebab yang terlalu jauh dengan cedera yang dialami C, sehingga tidak bisa pula ditetapkan sebagai

proximate cause dari terjadinya kecelakaan mobil yang mencederai C. Lihat dalam John L. Diamond, et. al., op. cit., hal. 204 -205.

34

Andri G. Wibisana, loc. cit. Diamond berpendapat bahwa dalam menentukan adanya proximate cause melalui foreseeable harm test, maka ada dua hal yang harus dipenuhi: 1). A reasonably foreseeable result or type of harm; dan 2). No superseding intervening force. Diamond menilai bahwa suatu intervening force dapat dikatakan sebagai sesuatu yang superseding hanya ketika terjadinya intervening force tersebut terlihat luar biasa (extraordinary). Lihat dalam John L. Diamond, et. al., op. cit., hal. 206.

35

(24)

Halaman

23 dari 51

Halaman

dilakukan oleh tergugat menjadi tidak relevan dalam konteks pertanggungjawaban mutlak karena pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan dalam konteks pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau PMH. Jadi, di dalam dasar pertanggungjawaban mutlak, pembuktian penyebab faktual difokuskan pada pertanyaan sederhana: apakah kerugian yang terjadi disebabkan secara faktual oleh kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat?

Pembuktian proximate cause juga berbeda di dalam konteks pertanggungjawaban mutlak. Dua hal yang harus dibuktikan di dalam proximate cause, yakni scope of liability dan juga ada atau tidaknya intervening atau superseding cause, telah berpindah letaknya dalam konteks pertanggungjawaban mutlak. Scope of liability dalam konteks pertanggungjawaban mutlak telah berpindah pada pembuktian ruang lingkup usaha dan/atau kegiatan seperti apa yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara mutlak.36 Dengan kata lain, pembuktian

scope of liability dalam dasar pertanggungjawaban mutlak terletak pada pembuktian apakah usaha dan/atau kegiatan Tergugat “menimbulkan dampak yang serius terhadap lingkungan hidup”. Lalu pembuktian ada atau tidaknya intervening cause atau superseding cause dalam dasar pertangggungjawaban mutlak telah berpindah pada ranah pembelaan (defense) bagi Tergugat.37 Dengan kata lain, pembuktian adanya intervening

cause atau superseding cause dalam konteks pertanggungjawaban mutlak bukan lagi menjadi beban pembuktian dari Penggugat.

Satu hal lagi yang berbeda dari pembuktian proximate cause dalam konteks pertanggungjawaban mutlak adalah mengenai foreseeability dari resiko usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat. Menurut MacAyeal, sebagaimana dikutip oleh Andri, ukuran foreseeability resiko usaha dan/atau kegiatan Tergugat dalam konteks pertanggungjawaban mutlak telah berubah menjadi objektif, tidak lagi berdasarkan ukuran pengetahuan subjektif dari Tergugat. Maksudnya dalam konteks pertanggungjawaban mutlak, pengetahuan subjektif Tergugat mengenai resiko usaha dan/atau kegiatan yang ia lakukan tidak lagi dipertimbangkan. Hal ini dikarenakan pengetahuan Tergugat mengenai resiko usaha dan/atau kegiatannya diperlukan untuk melihat apakah Tergugat telah melakukan upaya yang hati-hati dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya. Namun, di dalam konteks pertanggungjawaban mutlak, dilakukan atau tidak dilakukannya upaya hati-hati oleh Tergugat dalam melakukan usaha dan/atau

lakukan? Atau apakah penggugat akan tetap menderita kerugian seandainya tergugat tidak melakukan perbuatan yang ia lakukan? Kedua pertanyaan tersebut merupakan pengujian yang hipotetis karena pertanyaannya bersifat menduga-duga dan juga dapat dikatakan counterfactual karena pada kenyataannya tergugat tidak melakukan perbuatan yang berbeda dengan perbuatan yang ia lakukan. Lihat: Andri G. Wibisana, op. cit., hal. 48.

36

Andri G. Wibisana, op. cit., hal. 49.

(25)

Halaman

24 dari 51

Halaman

kegiatannya bukan merupakan hal yang dipertimbangkan. Maka dari itu, ukuran yang digunakan untuk mengetahui foreseeability resiko usaha dan/atau kegiatan Tergugat adalah pengetahuan umum/luas yang ada di masyarakat, bukan lagi pengetahuan subjektif Tergugat.38

Jadi, penggunaan dasar pertanggungjawaban mutlak di dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH akan menimbulkan konsekuensi terhadap pembuktian cause in fact dan proximate cause. Konsekuensinya adalah pembuktian cause in fact dan proximate cause menjadi lebih longgar dalam dasar pertanggungjawaban mutlak dibandingkan dengan pembuktian dalam dasar pertanggungjawaban PMH.

Berdasarkan penjelasan pada paragraf di atas, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa pembuktian cause in fact dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH cukup dilakukan dengan cara pembuktian faktual yang sederhana. Maka dari itu, pembuktian penyebab faktual secara sederhana dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH cukup dilakukan dengan menjawab pertanyaan ini: Apakah kerugian berupa terjadinya degradasi lahan disebabkan secara faktual oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat? Terdapat tiga bukti dalam menjawab pertanyaan penyebab faktual dari kerugian tersebut.

Bukti pertama adalah adanya fakta bahwa kebakaran lahan terjadi di dalam konsesi PT. BMH. Fakta tersebut tidak dapat dipungkiri sebagaimana dapat dilihat di dalam Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg. Hal ini menunjukan bahwa kebakaran terjadi di dalam areal yang menjadi tanggung jawab dari PT. BMH. Bukti yang kedua adalah kebakaran yang terjadi di dalam konsesi PT. BMH telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan, baik lahan gambut maupun mineral. Bukti ini terlihat sebagaimana Sahabat Pengadilan telah jelaskan di awal bagian B.1.2 ini, di mana menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. Basuki Wasis, kebakaran seluas 20.000 Ha di dalam konsesi PT. BMH telah menyebabkan terjadinya kerusakan struktur gambut.

Bukti yang ketiga, yang juga tidak kalah penting, adalah peristiwa kebakaran lahan merupakan resiko yang inheren di dalam usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri. Kegiatan membuka lahan gambut untuk dijadikan usaha Hutan Tanaman Industri merupakan kegiatan dengan resiko tinggi. Dengan karakteristik seperti itu, dengan dasar pertanggungjawaban mutlak, maka apa yang sudah dilakukan PT. BMH

38

(26)

Halaman

25 dari 51

Halaman

untuk mencegah terjadinya kebakaran menjadi tidak relevan.39 Maka

Sahabat Pengadilan berkesimpulan bahwa usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH merupakan penyebab faktual terjadinya kerugian degradasi lahan yang diderita oleh Menteri LHK.

Dari sisi pembuktian proximate cause, Sahabat Pengadilan akan fokus dalam pembuktian foreseeability dari resiko terjadinya kebakaran lahan dalam usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH. Pembuktian scope of liability dari PT. BMH telah dibuktikan dengan menguji apakah kerugian yang terjadi termasuk dalam ruang lingkup dasar pertanggungjawaban mutlak atau tidak. Pengujian tersebut telah dilakukan di bagian huruf B.1.1. Lalu pembuktian adanya intervening cause dan juga superseding cause tidak akan dibahas di sini mengingat kedua hal tersebut dalam dasar pertanggungjawaban mutlak telah dikanalisasi menjadi bagian dari pembelaan (defense) bagi PT. BMH. Maka dari itu, paragraf berikutnya akan fokus pada pembuktian proximate cause khususnya dari sisi foreseeability resiko menurut pandangan umum.

Setidaknya ada tiga hal yang saling berkaitan dalam membuktikan foreseeability terjadinya kebakaran lahan dalam usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH. Hal yang pertama adalah kegiatan membuka lahan gambut untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri. Resiko terjadinya kebakaran setidaknya telah meningkat dalam kondisi lahan gambut yang sudah dibuka. Hal yang kedua adalah kondisi iklim pada saat melakukan kegiatan pembukaan lahan gambut. Kondisi iklim yang dimaksud adalah situasi musim kemarau dan juga adanya fenomena El Nino ketika kegiatan pembukaan lahan gambut untuk Hutan Tanaman Industri dilakukan. Fenomena El Nino sendiri telah dapat diprediksi keberadaannya.

Sahabat Pengadilan berpandangan bahwa resiko terjadinya kebakaran lahan sudah dapat diperkirakan ketika PT. BMH melakukan kegiatan pembukaan lahan gambut untuk Hutan Tanaman Industri di saat musim kemarau dan juga fenomena El Nino sedang berlangsung. Waktu berlangsungnya musim kemarau dan juga fenomena El Nino sudah menjadi hal yang diketahui oleh umum mengingat informasi tersebut sudah diumumkan oleh lembaga pemerintah.40 Maka dapat dikatakan bahwa

39 Resiko terjadinya kebakaran lahan dalam usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri diakui

juga oleh PT. BMH, sebagaimana terlihat dalam surat Jawabannya pada Bagian Huruf C, nomor 8. Pada bagian tersebut, PT. BMH mendalilkan bahwa PT. BMH senantiasa mengupayakan sistem pengelolaan lingkungan termasuk antisipasi dan penanganan kebakaran. Namun seperti yang sudah dijelaskan oleh Sahabat Pengadilan, dalam dasar pertanggungjawaban mutlak, upaya antisipasi dan/atau pencegahan yang dilakukan oleh PT. BMH menjadi tidak relevan untuk dipertimbangkan mengingat tingginya resiko kebakaran lahan di dalam usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri. Lihat dalam Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 34.

40

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pada bulan Juni 2014 menyatakan bahwa fenomena

(27)

Halaman

26 dari 51

Halaman

resiko terjadinya kebakaran lahan di dalam konsesi PT. BMH merupakan resiko yang sudah dapat diperkirakan (foresseable) sebelumnya (berdasarkan pada pandangan umum).

Sahabat Pengadilan telah membuktikan empat hal di dalam bagian huruf B.1 ini, meliputi:

1. Dasar pertanggungjawaban mutlak diakui di dalam kerangka hukum lingkungan di Indonesia, bahkan lebih spesifik lagi di dalam kerangka hukum perlindungan hutan dan lahan dari peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan;

2. Usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh PT. BMH memenuhi

unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup”

sehingga dasar pertanggungjawaban mutlak dapat digunakan dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH;

3. Menteri LHK sebagai Penggugat telah mengalami kerugian yang nyata, meliputi kerugian ekologis, kerugian rusaknya keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik, kerugian terlepasnya karbon ke udara, dan juga kerugian ekonomis. Kerugian tersebut berhubungan dengan fungsi dan tugasnya dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan

4. Hubungan kausalitas antara kerugian yang diderita Menteri LHK dengan kegiatan yang dilakukan oleh PT. BMH :

a. Kerugian yang diderita oleh Menteri LHK disebabkan secara faktual oleh kebakaran yang terjadi akibat kegiatan pembukaan lahan gambut oleh PT. BMH (penyebab faktual/cause in fact);

b. Terjadinya kebakaran lahan di dalam konsesi PT. BMH merupakan resiko yang sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Terlebih karena periode berlangsungnya musim kemarau dan juga fenomena El Nino merupakan informasi yang dapat diketahui oleh masyarakat umum.

Berdasarkan pada pembuktian empat hal tersebut, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa PT. BMH harus bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang diderita Menteri LHK akibat kebakaran lahan yang terjadi di dalam konsesi PT. BMH.

B.2 Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Sejarah Dampak El Nino di Indonesia,

(28)

Halaman

27 dari 51

Halaman

a.Dasar Hukum Perbuatan Melawan Hukum sebagai Dasar

Pertanggungjawaban PT BMH dalam Perkara Menteri LHK v. PT BMH.

- Dasar hukum yang digunakan oleh MenLHK untuk pertanggungjawaban berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum dalam kasus MenLHK v. PT BMH adalah Pasal 1365 KUHPer. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1365 terdiri atas unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian, dan kausalitas antara perbuatan dengan kerugian. Dalam kasus kebakaran hutan dan/atau lahan, dasar hukum perbuatan melawan hukum sebagai dasar pertanggungjawaban adalah Pasal 87 UU PPLH dan Pasal 49 PP 4/2001.

- Pasal 87 UU PPLH menyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

- Lebih lanjut dalam Pasal 49 PP 4/2001 dinyatakan bahwa setiap perbuatan yang melanggar ketentuan mengenai:

1) Larangan melakukan kegiatan pembakaran hutan dan/atau lahan.41

2) Kewajiban setiap orang untuk mencegah terjadinya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.42

3) Kewajiban mencegah kebakaran bagi penanggungjawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya.43

4) Kewajiban penanggung jawab usaha untuk memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya.44

41

Pasal 11 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

42

Pasal 12 PP 4/2001 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

43

Pasal 13 PP 4/2001 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

44

(29)

Halaman

28 dari 51

Halaman

5) Kewajiban penanggung jawab usaha melakukan pemantauan

untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan jauh dari satelit kepada Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab.45

6) Kewajiban setiap orang untuk menanggulangi kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi kegiatannya46

7) Kewajiban penanggung jawab usaha untuk bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran di lokasi usahanya dan kewajiban untuk segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya.47

8) Kewajiban penanggung jawab usaha untuk melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya.48

wajib membayar ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu.

b.Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum PT BMH

Berdasarkan Pasal 1365 KUHPer dan Pasal 87 UUPLH, maka unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum PT BMH atas kebakaran yang terjadi di area konsesinya diuraikan sebagai berikut:

1. Unsur perbuatan melawan hukum

- Dalam Kasus MenLHK v. PT BMH, PT BMH telah melanggar kewajiban hukumnya sebagai penanggung jawab usaha yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu PT BMH sudah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.

- Unsur perbuatan melawan hukum sebagai suatu konsep diartikan sebagai melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, melanggar hak orang lain atau

45

Pasal 15 PP 4/2001 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

46

Pasal 17 PP 4/2001 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

47

Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

48

(30)

Halaman

29 dari 51

Halaman

bertentangan dengan kewajiban hukum, dan/ atau bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas masyarakat. Dalam pembuktian perbuatan melawan hukum, membuktikan adanya kewajiban hukum yang dilanggar oleh PT BMH terkait dengan kebakaran yang terjadi di areal konsesinya sudah dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum.

- Pelanggaran atas peraturan perundang-undangan dan kewajiban hukum PT BMH yang timbul sebagai akibat dari perikatan melalui undang-undang merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Di antara lingkup unsur perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan undang-undang dan juga kewajiban hukum. UU Kehutanan dan PP 4/2001 sendiri telah melahirkan perikatan terhadap PT BMH sebagai pemegang izin kegiatan/usaha. Dari perikatan tersebut, PT BMH memiliki kewajiban untuk melindungi hutan dalam areal kerjanya49, mencegah

kebakaran hutan dan/ atau lahan di lokasi usahanya,50 dan juga

bertanggung jawab atas kebakaran yang terjadi di areal kerjanya.51

Dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal konsesi PT. BMH, PT BMH telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar kewajiban hukumnya untuk mencegah terjadinya kebakaran dan melindungi hutan yang ada dalam areal kerjanya, yang mana hal ini merupakan (unsur) perbuatan melawan hukum.

- Berikut adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban hukum oleh PT BMH sebagai penanggung jawab usaha:

Dasar Hukum Kewajiban Hukum

UU 41/1999 1. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. Perlindungan hutan dan kawasan hutan didefinisikan sebagai (1) usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan kebakaran, dan (2) mempertahankan dan ejaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, dan

49

Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

50

Pasal 13 Peraturan Pemerintah No 4/2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

51

(31)

Halaman

30 dari 51

Halaman

ivestasi, serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.52

2. Kewajiban pemegang hak atau izin untuk bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

PP 4/2001 1. mencegah timbulnya kebakaran hutan dan/atau lahan,

2. melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali yang dilengkapi dengan data penginderaan

jauh dari satelit kepada

Gubernur/Bupati/Walikota dengan tembusan kepada instansi teknis dan instansi yang bertanggung jawab, Kewajiban penanggung jawab usaha untuk bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran di lokasi usahanya

3. kewajiban untuk segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya,

4. Kewajiban penanggung jawab usaha untuk melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya.

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor 243/Kpts/DJ-VI/1994 tentang

Petunjuk Teknis Pencegahan dan

Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal

Kepdirjen PHPA No 243/1994 merupakan penjabaran lebih lanjut mengenai aturan teknis terkait kewajiban perusahaan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran di areal pengusahaan hutan atau areal penggunaan lainnya. Kewajiban pencegahan dan penanggulangan kebakaran di areal konsesi lebih lanjut dijabarkan sebagai berikut:

1. Rencana kegiatan Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran setiap tahun untuk seluruh areal pengusahaan hutan yang sedikitnya memuat:

a. Regu pemadam kebakaran

Regu/Satuan Tugas Pemadam Kebakaran disingkat Regu SATGASDAMKAHUT adalah

52

(32)

Halaman

31 dari 51

Halaman

Pengusahaan

Hutan dan Areal Penggunaan Lainnya.

(Kepdirjen PHPA 243/1994)

karyawan perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan atau Hak Pengusahaan Tanaman Industri baik yang tergabung dengan SATPAM Pengusahaan Hutan berdiri sendiri, yang diangkat oleh Direksi Perusahaan, yang ditugaskan dan diberi wewenang untuk melakukan perlindungan dan pengamanan hutan di areal Pengusahaan Hutannya.

b. Sarana operasi yang digunakan c. Biaya yang diperlukan

d. Prasarana yang dibangun

e. Memanfaatkan teknologi pembakaran terkendali

f. Program kegiatan pengendalian kebakaran

2. Perencanaan pencegahan kebakaran:

a. Membuat peta kerawanan kebakaran b. Penyusunan data statistik

c. Membentuk regu pemadam kebakaran

d. Menyediakan tenaga dan peralatan pemadaman

e. Memantau cuaca, akumulasi bahan bakar, dan gejala rawan kebakaran.

f. Membuat sekat bakar, waduk serba guna, sarana transportasi dan komunikasi.

g. Memasang rambu-rambu peringatan bahaya kebakaran pada lokasi yang rawan kebakaran dan mudah dilihat masyarakat

h. Mengikutsertakan pendidikan dan latihan pemadam kebakaran hutan.

i. Koordinasi dengan instansi yang berwenang atau aparat pemerintah setempat.

3. Melakukan kegiatan deteksi dini kebakaran, antara lain:

a. Mendirikan menara pengawas kebakaran dengan jangkauan pandang cukup jauh, dilengkapi dengan sarana deteksi (teropong dan range finder), serta sarana komunikasi.

b. Patroli periodik, dengan frekuensi lebih meningkat pada saat musim kemarau.

(33)

Halaman

32 dari 51

Halaman

berbatasan dengan desa atau lahan usaha pertanian.

d. Memanfaatkan informasi penerbangan, data cuaca, dan data satelit pada areal pengusahaannya.

e. Rehabilitasi/ penanaman kembali areal bekas kebakaran

f. Evaluasi pelaksana pemadaman kebakaran.

4. Sarana dan prasarana yang harus disediakan:

a. Ilaran api, Jalan pemeriksaan, waduk penyimpanan air, dan tanaman penyangga, sesuai dengan satuan luas dan lokasi hutan

b. Personil regu/SATGASDAMKARHUT dengan ketentuan:

1) Minimal pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP/SMP) yang dibekali pendidikan dan latihan yang diselenggaran oleh instansi kehutanan

2) Jumlah personil

regu/SATGASDAMKARHUT

disesuaikan berdasarkan tingkat kerawanan, keluasan, dan aksesibilitas dengan rasio 1 (satu) orang untuk setiap 1.000 s/d 2.000 hektar areal Hak Pengusahaan Hutan

Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian

Alam No

247/Kpts/DJ-VI/1994 tentang Petunjuk Standarisasi Sarana

Pencegahan dan Penanggulangan

1. Sarana St

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian pakan serat dengan konsentrat berkualitas mampu memberikan laju pertambahan bobot badan harian (PBBH) sampai 1 kg/ekor/hari, hal ini menunjukkan bahwa

Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberdayaan yang dilakukan oleh kelompok Maju Pemuda Makmur sudah terlaksana dengan baik dan salah satu diantara pemberdayaan

Di dalam sumber yang sama Rgveda juga ditemukan konsepsi Tuhan yang tunggal sebagai berikut “Ekam sat wiprah bahudha vadanti” hanya satu Tuhan, tapi para bijaksana

Jenjang Pendidikan Kepala Desa % kriteria SMP 77,2 Tinggi SMU 73,8 Tinggi Sarjana 74,1 Tinggi Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa indikator tentang

'LWLQMDX GDUL FDUD SHUZXMXGDQQ\D +D., VHEHQDUQ\D EHUEHGD GHQJDQ REMHN \DQJ EHUZXMXG ODLQQ\D 6HEDJDL FRQWRK KDN FLSWD GDODP VHEXDK OXNLVDQ DGDODK NHND\DDQ \DQJ WHUSLVDK GDUL

MEMENUHI Auditee melakukan pembelian bahan baku dari pengepul berupak kayu rakyat dengan disertai Kwitansi pembelian bahan baku, dokumen angkutan hasil hutan yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari delapan faktor yang diteliti, terdapat enam faktor yang berhubungan dan menjadi faktor prediktor

Antara kontrol negatif dengan konsentrasi 5mg/mL memberikan hasil yang tidak berbeda signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol herba pulutan pada