• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Toksoplasmosis

2.1.1. Definisi

Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh T.gondii, merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia (Hiswani, 2005). Parasit ini merupakan golongan Protozoa yang bersifat parasit obligat intraseseluler. Menurut Nurcahyo (2001) infeksi parasite T.gondii dapat terjadi pada manusia dan hewan. Pada manusia, infeksi ini selalu terjadi pada wanita dan ibu hamil. Apabila infeksi toksoplasmosis terjadi secara kongenital dapat menyebabkan perkapuran pada bayi, korioretinitis, hidrosefalus, mikrosefalus, gangguan psikologis, gangguan perkembangan mental pada anak setelah lahir dan kejang-kejang. Pada hewan, toksoplasmosis menimbulkan kerugian ekonomi karena abortus, kematian dini, kelainan kongenital, dan potensi penyebaran bagi manusia. Hal ini menyebabkan pengertian akan infeksi Toksoplasmosis sangat penting dipahami dan diketahui oleh masyarakat.

2.1.2. Morfologi

T.gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit) (Hiswani, 2005). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan

(2)

golgi (Sasmita, 2001). Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit juga dapat memasuki tiap sel yang berinti.

Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot bergaris. Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot (Gandahusada, 2003).

Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu. T.gondii dalam klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi secara bergantian.

2.1.3. Distribusi Geografis

T.gondii ditemukan kosmopolit pada manusia dan binatang. Organisme ini tersebar di alam dan merryebabkan salah safu infeksi yangtersering pada manusia. Terjadinya tolcsoplasmosis dalam masyarakat, dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kebiasaan makan daging yang kurang matang, kucing sebagai binatang peliharaan, adanya burung dan tikus sebagai hospes perantara yang merupakan binatang buruan kucing (Frenkel, 1986 dalam

(3)

Gandahusada, 2003). T.gondii umumnya dijumpai didaerah panas, basah dan tersebar luas di dunia. Telah dilaporkan batrwa parasit ini menginfeksi manusia, babi, domba, lembu, anjing, kucing dan binatang domestik lainrrya. Respon terhadap infeksi parasit ini sangat bervariasi tapi yang paling barryak adalah asimptomatik (Garcia, 1996 dalam Gandahusada, 2003).

2.1.4. Cara Penularan

Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara. Pada toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma kepada janin terjadi melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil. Pada toksoplasmosis akuista, infeksi dapat terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung kista atau trofozoit T. gondii (Gandahusada, 2003). Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran T. gondii.

Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak (Chahaya, 2003). Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T. gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laroratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi dengan T. gondii yang hidup. Infeksi dengan T. gondii juga dapat terjadi waktu mengerjakan autopsi.

(4)

2.1.5. Pencegahan Toksoplasmosis

Peranan kucing sebagai hospes definitif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya toksoplasmosis, karena kucing mengeluarkan berjuta juta ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah yang teduh dan lembab. Untuk mencegah hal ini, maka dapat di jaga terjadinya infeksi pada kucing, yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak berburu tikus atau burung.

Lalat dan lipas dapat menjadi vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista dari tanah atau lantai ke makanan (Gandahusada, 2003). Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70°C yang disiramkan pada tinja kucing (Gandahusada, 2003). Anak balita yang bermain di tanah atau ibu-ibu yang gemar berkebun, juga petani sebaiknya mencuci tangan yang bersih dengan sabun sebelum makan. Di Indonesia, tanah yang mengandung ookista T. gondii belum diselidiki (Chahaya, 2003). Sayur-mayur yang dimakan sebagai lalapan harus dicuci bersih, karena ada kemungkinan ookista melekat pada sayuran, makanan yang matang harus di tutup rapat supaya tidak dihinggapi lalat atau kecoa yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan tersebut.

Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan memasaknya sampai 66°C. Daging dapat menjadi hangat pada semua bagian dengan suhu 65°C selama empat sampai lima menit atau lebih, maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah

(5)

dengan garam dan nitrat (Chahaya, 2003). Setelah memegang daging mentah (tukang potong, penjual daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan dengan sabun sampai bersih.

Yang paling penting dicegah adalah terjadinya toksoplasmosis kongenital, yaitu anak yang lahir cacat dengan retardasi mental dan gangguan motorik, merupakan beban masyarakat. Pencegahan dengan tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya sampai kehamilan 21-24 minggu, mengurangi kejadian toksoplasmosis kongenital kurang dari 50 %, karena lebih dari 50 % toksoplasmosis kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester terakhir kehamilan (Chahaya, 2003).

Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada ibu hamil yang diduga menderita infeksi primer dengan T.gondii, dapat dilakukan dengan spiramisin. Vaksin untuk mencegah infeksi toksoplasmosis pada manusia belum tersedia sampai saat ini.

2.2 Perilaku

2.2.1 Pengertian

Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar (Skinner, 1983 dalam Notoatmodjo, 2007) berdasarkan pengertian tersebut Siknner membedakan adanya dua respons, yaitu:

a. Responden respons atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut electing stimulation karena menimbulkan respon-respon

(6)

yang relative tetap. Responden respon ini juga mencakup perilaku emosional.

b. Operant respons atau instrumental respons yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing atau reinforce, karena memperkuat respon.

Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2003), pada dasarnya merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit. Sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Sedangkan perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit adalah cara manusia merespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi tentang suatu penyakit yang ada pada dirinya dan luar dirinya), maupun secara aktif (praktek) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit tersebut.

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut Sarwono (2007), perilaku merupakan respon maupun reaksi seseorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Faktor dari dalam individu mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, sikap, emosi dan motivasi yang berfungsi untuk pengolahan rangsangan dari luar. Faktor dari luar individu meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik seperti iklim, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2007), perilaku pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri baik dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.

(7)

Menurut Teori Lawrence Green, ada berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan perilaku seseorang. Pembentukan perilaku manusia terjadi akibat:

1. Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisikan terjadinya perilaku seseorang. Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Pengetahuan dan sikap seseorang akan Toksoplasmosis dan tradisi masyarakat Bali mengonsumsi lawar yang berkaitan dengan Toksoplasmosis yang akan membentuk perilaku.

2. Faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut juga faktor pendukung. Misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, tempat pembuangan air, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya.

3. Faktor penguat adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang meskipun orang mengetahui untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun dari pemerintah daerah terkait dengan kesehatan.

(8)

2.2.3 Domain Perilaku Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2005), mengukur perilaku dan perubahannya khususnya perilaku kesehatan juga mengacu kepada 3 domain yaitu :

1. Pengetahuan (Knowledge)

Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan adalah hasil dari tahu dan hasil tersebut akan diperoleh setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan menurut Notoatmodjo (2010), yaitu:

a. Tahu

Tahu adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Dalam hal ini, subjek mengetahui apa itu Toksoplasmosis dalam sudut pandangnya.

b. Paham

Paham diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang mampu menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Dalam hal ini, subjek mampu menjelaskan Toksoplasmosis secara benar.

c. Aplikasi

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya seperti

subjek mampu menggunakan pengetahuannya mengenai

(9)

d. Analisis

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain, misalnya menjabarkan mengenai dampak-dampak dari adanya Toksoplasmosis baik pada individu maupun orang lain dan lingkungannya yang dapat menimbulkan kerugian-kerugian.

e. Sintesis

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, misalnya subjek dapat menghubungkan dampak dari adanya Toksoplasmosis terhadap masalah kesehatan di masyarakat.

f. Evaluasi

Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Dalam hal ini subjek mampu menilai Toksoplasmosis tersebut dalam hal yang positif atau negatif.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket kepada subjek penelitian atau responden yang berisikan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang ingin diukur, dalam hal ini adalah materi mengenai Toksoplasmosis. Menurut Dharmana (2007) rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai cara penularan toksoplasmosis merupakan salah satu penyebab permasalahan toksoplasmosis di Indonesia. Sehingga masyarakat tidak mampu menghindari factor risikonya.

(10)

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan seseorang berdasarkan kualitas yang dimilikinya. Menurut Notoatmodjo (2007) membagi tingkat pengetahuan menjadi empat tingkat yaitu :

a. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai mencapai 76-100% b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai mencapai 56-75% c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai mencapai 40-55% d. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai mencapai <40% 2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan keyakinan seseorang mengenai objek atau situai yang relatif sama, disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar pada orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya (Walgito, 2001 dalam Sunaryo 2004). Dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi yang memegang peranan penting. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan :

1. Menerima adalah subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon adalah memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan yang merupakan suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga

4. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi

(11)

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dinyatakan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju (Notoadmodjo, 2007).

3. Praktik Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2007), setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penelitian atau pendapat terhadap yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan seseorang dapat melaksanakan atau mempraktikan apa yang diketahui atau disikapinya. Inilah disebut praktik kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (over behavior). Praktik kesehatan atau tindakan untuk hidup sehat adalah semua kegiatan atau aktivitas orang dalam rangka memelihara kesehatan. Tindakan atau praktik kesehatan ini juga meliputi 4 faktor kesehatan, yaitu:

1. Tindakan atau praktik yang sehubungan dengan penyakit menular dan tidak menular (jenis penyakit dan tanda-tandanya atau gejalanya, penyebabbnya, cara penularannya, cara pencegahannya, cara mengatasi atau menangani sementara).

2. Tindakan atau praktik yang sehubungan dengan factor-faktor yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan, antara lain: gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan air limbah, pembuangan kotoran manusia, pembuangan sampah, perumahan sehat, polusi udara dan sebagainya. 3. Tindakan atau praktik sehubungan dengan penggunaan (utilisasi)fasilitas

(12)

4. Tindakan atau praktik untuk menghindari kecelakaan baik kecelakaan rumah tangga, maupun kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan di tempat-tempat umum.

Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengukuran perilaku yang baik adalah secara langsung yakni dengan pengamatan (form observasi) yaitu mengamati tindakan dari subjek dalam rangka memelihara kesehatannya. Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali (recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan objek tertentu.

2.2.4 Proses Adaptasi Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:

1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu

2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus

3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dari tindakannya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial, yakni orang telah mencoba perilaku baru

5. Adaption, yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus.

(13)

2.3 Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia. Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik, biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari organisme hidup manusia (Suratman, 2006) Lingkungan dan manusia harus ada keseimbangan, apabila terjadi ketidakseimbangan lingkungan maka akan menimbulkan berbagai macam penyakit.

Menurut John Gordon, triangulasi epidemiologi penyebaran penyakit keseimbangannya tergantung adanya interaksi tiga faktor dasar epidemiologi yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia dan karakteristiknya) dan environment (lingkungan).

Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akantercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu Environment komponen akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit.

Aspek lingkungan yang berkaitan dengan proses penularan penyakit Toksoplasmosis adalah sebagai berikut:.

1. Keberadaan T.gondii pada sumber air

Air menjadi suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Air biasanya digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-harinya seperti mencuci, mandi, minum dan lain-lainnya. Biasanya sumber air yang digunakan untuk diminum harus dimasak terlebih dahulu dan/atau dibeli dari air kemasan

(14)

yang telah diproses oleh produsennya. Sumber air yang digunakan biasanya berasal dari sungai, mata air, sumur, PDAM, dan sebagainya.

Sumber air kemungkinan bisa menjadi sumber penularan dan pencemaran bakteri-bakteri maupun protozoa-protozoa yang dapat menginfeksi manusia, hewan dan tumubuhan yang ada disekitarnya. Salah satunya adalah toksoplasmosis. Air sebagai sumber penularan toksoplasmosis dimana ookista yang hidup di air adalah ookista yang bersporulasi yang dapat hidup dan tetap menginfeksi di air selama 54 bulan pada suhu 4°C (IOWA State Univ.,2005 dalam Santika, 2014). Keberadaan T.gondii di air bisa disebabkan oleh perilaku manusia dan keberadaan hewan-hewan yang berada disekitar sumber air tersebut. Apalagi keberadaan akan kotoran-kotoran hewan di sekitar sumber air dan/atau pada sumber airnya sendiri yang akan menyebabkan air tersebut tercemar oleh bakteri maupun protozoa yang terkandung dalam kotoran hewan tersebut.

Di Indonesia, sampai saat ini belum ada penelitian mengenai sumber air sebagai factor risiko penularan Toksoplasmosis. Namun penelitian yang dilakukan oleh D Aubert dan I Villena dalam Santika (2011) mengemukakan adanya keberadaan T.gondii dari ketiga jenis air yang diambil dari sampel air dilingkungan yang terkait dengan penyakit yang disebabkan oleh parasite yang terjadi di air tersebut dalam Underground Water ditemukan sebanyak 29 ookista, di Raw Surface Water ditemukan 1 ookista dan di Public Drinking Water ditemukan 3 ookista T.gondii, hasil deteksi ini merupakan hasil uji laboratorium yang dilakukan dengan metode PCR dan Bioassay. Keadaan seperti inilah yang sangat memungkinkan manusia terutama manusia yang

(15)

berada atau tinggal disekitar lingkungan tersebut untuk terinfeksi parasite T.gondii, baik secara disengaja maupun tidak disengaja.

2. Keberadaan Hewan dan Kotoran Hewan di Lingkungan Sumber air Hewan merupakan sumber penularan parasite T.gondii terutama kucing dan kotorannya. Selain kucing, hewan lain yang dapat menjadi sumber penularan T.gondii adalah hewan unggas seperti ayam dan bebek, anjing, dan kemungkinan yang kecil pada hewan lainnya. Keberadaan hewan dan kotoran-kotoran hewan di sekitar sumber air dan/atau pada sumber air dapat mempengaruhi adanya keberadaan T.gondii pada sumber air. Hal itu karena ookista yang hidup di air adalah ookista yang bersporulasi yang dapat hidup dan tetap menginfeksi di air selama 54 bulan pada suhu 4°C (IOWA State Univ.,2005 dalam Santika, 2014).

2.4 Penelitian-Penelitian Terkait

Penelitian yang pernah dilakukan yang berhubungan Pengetahuan, Sikap, Perilaku dan Kondisi Lingkungan yang Berisiko Terhadap Toksoplasmosis pada Siswi SMA di Kabupaten Tabanan sebagai berikut :

(16)

Tabel 2.4. 1 Penelitian-Penelitian Terkait

Nama Judul Variabel yang diteliti Desain Tempat Hasil

Yoso Wiyarno (2008) Hubungan Kejadian Toksoplasmosis dengan Kebiasaan Hidup Pada Ibu Umur Produktif di Surabaya

 Kebiasaan Hidup  Kejadian

Toksoplasmosis

Kasus Kontrol Surabaya  Ada hubungan antara kejadian Toksoplasmosis dengan kebiasaan memelihara kucing, dekat dengan kucing, berkebun, membersihkan got rumah, dan makan daging setengah matang  Tidak ada hubungan antara kejadian

Toksoplasmosis dengan adanya kucing lain yang masuk ke rumah, memakai sarung tangan saat bekerja dan mengonsumsi sayur mentah (lalapan) Ni Wayan Dessy Indrayan ti (2014) Tingkat Pengetahuan dan Perilaku Penderita Toksoplasmosis di Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung  Pengetahuan terhadap infeksi Toksoplasmosis  Perilaku hidup  Karakteristik Penderita Toksoplasmosis Unmatched Case Control Kecamatan Mengwi, Badung

 Hasil uji multivariate menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan perilaku bermakna secara statistic dalam mempengaruhi kejadian toksoplasmosis.(29,1%) Ida Bagus Putu Santika (2014) Gambaran Keadaan lingkungan fisik dan biologis pada rumah penderita toksoplasmosis terhadap penyakit Toksoplasmosis di Kecamatan Mengwi  Lingkungan fisik penderita toksoplasmosis  Lingkungan biologis penderita toksoplasmosis Cross-sectional Kecamatan Mengwi, Badung

 33 rumah ibu-ibu penderita toksoplasmosis sebagian besar 26 (78,8%) memiliki sumber air berupa sumur.

 33 rumah ibu-ibu penderita toksoplasmosis sebagian besar 22 (66,7%) memiliki halaman rumah yang terbuat dari tanah.

 33 rumah ibu-ibu penderita toksoplasmosis sebagian besar 28 (84,8%) hewan peliharaan yang mereka miliki tidak dikandangkan  33 rumah ibu-ibu penderita toksoplasmosis

sebagian besar 21 (63,6%) memelihara ayam dirumahnya Ni Made Sukarya wati (2011) Faktor Risiko Kejadian Toxoplasmosis Pada  Faktor Host (kepemilikan kucing, konsumsi lawar, Cross-sectional Kecamatan Mengwi, Badung

 Prevalensi T.gondii pada ibu hamil yang ada di Kecamatan Mengwi sebesar 41,3%  Besar risiko konsumsi lawar pada ibu hamil

(17)

Ibu Hamil Di Wilayah Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Tahun 2011. konsumsi daging mentah dan atau daging yang belum matang dengan sempurna)  Toksoplasmosis

pada ibu hamil

 Besar risiko konsumsi daging yang belum matang dan atau belum sempurna dimasak pada ibu hamil terinfeksi T.gondii sebesar 4,889 kali

 Besar risiko memelihara kucing pada ibu hamil terinfeksi T.gondii sebesar 3,249 kali

Gambar

Tabel 2.4. 1 Penelitian-Penelitian Terkait

Referensi

Dokumen terkait

Adapun batasan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi hasil produksi karet pada PT.. Perkebunan Nusantara III tahun

“Mapassulu yang baru di gelar menghabiskan hampir semua uang yang saya dapatkan dari kedua mayat yang saya curi sebelumnya.” (PKP/ 2015 : 131) Dari kutipan di atas, sikap Allu

Upaya-upaya untuk membuktikan peran farmasis klinik dalam meningkatkan outcome terapi bagi pasien harus terus dilakukan, sehingga akan semakin membuka peluang

Stasiun kerja accecories berdasarkan perhitungan skor REBA berada pada level 3 dengan level resiko pada muskuloskeletal tinggi yaitu segera dilakukan perbaikan

namun demikian bayi dengan hipotiroidisme kongenital yang pada saat lahir lebih ringan, dapat mempunyai kelainan fungsi tiroid yang menetap dibandingkan

Sedangkan Tujuan organisasi HIMPPAR ada dua, yaitu Pertama, Menghimpun Mahasiswa dan Pelajar yang berasal dari daerah Papua Barat yang sedang menuntut ilmu di Salatiga

a) Membuat Surat Keputusan Direktur untuk menambah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Bagian Umum sebagai pengelola aset PDAM. b) Menelusuri kembali selisih data aset

Dalam proses unique selling proposition yang dimiliki didalam buku ini adalah buku katalog berukuran 23cm x 23cm, serta menjelaskan tentang sejarah singkat