• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Neufeld ed. in chief, 1988; Webster New World Dict

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1 Neufeld ed. in chief, 1988; Webster New World Dict"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Museum dalam Sejarahnya

Keberadaan museum sampai sekarang dipandang sebagai lembaga-lembaga konservasi, ruangan-ruangan pameran atas peninggalan dan tempat-tempat alamiah, arkeologis dan etnografis, peninggalan tempat-tempat bersejarah, makhluk-makhluk hidup, seperti kebun-kebun tanaman dan binatang, akuarium, makhluk dan tumbuhan lain, suaka alam dan sebagainya. Hal ini berdasar pada definisi museum dari International Council of Museums (ICOM), Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun Kamus Webster yang menyebutkan bahwa, museum mengacu pada lembaga, bangunan atau ruangan untuk memelihara dan melindungi, memamerkan benda-benda yang bernilai seni, bersejarah, dan bernilai ilmu pengetahuan1

Masyarakat selama ini melihat museum sebagai tempat yang pasif dan statis, artefak dan budaya fisik lain yang dilihat, dibaca dan dinikmati keindahan fisiknya. Meseum tampak sebagai sebuah bangunan kuno, angker, gelap, sunyi dan tidak terawat kebersihan koleksi maupun lingkungannya dan hanya dikunjungi jika diperlukan sebagai tempat penelitian, pengkajian ilmu atau pembelajaran saja. Dan sangat tidak menarik untuk dikunjungi sampai terpatri pameo : “berkunjung ke museum seumur hidup hanya dua kali saja, yaitu pertama kali pada waktu masih kecil dan terakhir pada waktu mengantarkan sang cucu”.

.

Menurut survey singkat yang telah saya lakukan, 95% responden mengatakan bahwa mereka pernah melakukan kunjungan museum, namun 78% dari responden tersebut mengaku sangat jarang (enam bulan sekali) dalam melakukan kunjungan itu. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat tidak mendapat kepuasan saat mengunjungi museum sehingga mereka tidak melakukan kunjugan ulang.

(2)

2 Diagram 1.1. Hasil Survey Mengenai Kunjungan Museum

Sumber :Analisis 2012

Paradigma museum seperti gambaran di atas harus diubah secara perlahan dan pasti dalam era globalisasi. Museum bisa dijadikan sebagai tempat yang lebih dinamis yang bisa digunakan sebagai sarana pembelajaran maupun sebagai tempat wisata.

Jika museum dilihat sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan, maka museum bukan menjadi suatu tempat yang pasif lagi. Karena di sana berkembang forum ilmiah diskusi, seminar dan workshop atas kajian yang dilaksanakan yang memungkinkan timbul ilmu dan pengetahuan yang baru, teknologi yang baru yang menciptakan kondisi dinamis bagi sebuah museum. Interaksi antara ilmuwan, mahasiswa, pelajar dan masyarakat dengan komunitas pengelola museum menjadikan museum tempat yang tidak lagi sepi, dan statis.

Dari sisi konservasi atas artefak benda cagar budaya maka museum merupakan pusat perawatan dan pemeliharaan, dan bahkan perlindungan/pelestarian fisik dan non fisik. Suatu hal yang perlu direnungkan adalah sisi non fisik untuk pelestarian budaya atas koleksi yang dimiliki suatu museum. Atraksi budaya atas benda cagar budaya koleksi yang dimiliki atau visualisasi atas koleksi berupa pementasan/ pagelaran/ parade/ festival benda-benda koleksi bagi suatu museum adalah merupakan suatu upaya melestarikan budaya atas benda koleksi yang dimiliki, sehingga masyarakat tidak hanya mengenal seni dan budaya tradisional lewat buku cerita, film, dongeng dan legenda tutur saja melainkan menikmati langsung berupa living culture.

Sisi inilah yang memberikan kontribusi dan ikut menciptakan museum menjadi aktif dan dinamis, disamping lebih mempopulerkan keberadaan museum atau kegiatan atraksi tersebut menjadikan museum sebagai tempat wisata yang

(3)

3 mendapat lebih banyak perhatian peminat untuk berkunjung dan pada akhirnya museum tidak sepi lagi.

1.1.2. Perkembangan Museum Batik di Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki keberagaman budaya, dikenal sebagai pemrakarsa budaya batik. Di negara ini sudah seharusnya memiliki beberapa museum khusus batik yang diletakkan di beberapa kota penghasil batik. Di Indonesia sendiri, Museum Batik yang cukup terkenal baru ada 5, yaitu di Solo (Surakarta), Pekalongan, Jakarta dan Yogyakarta, di mana keempat kota ini dianggap sebagai kota pengrajin batik.

Gambar 1.1. (kiri) House of Danar Hadi Solo, (kanan) Museum Batik Pekalongan Sumber :http://mobile.seruu.com/

Gambar 1.2. (kiri) Museum Tekstil Jakarta, (kanan) Museum Batik Yogyakarta Sumber :http://mobile.seruu.com/

Belakangan ini isu tentang pengakuan batik sebagai hak milik negara lain sempat terdengar. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian pemerintah untuk melestarikan Museum Batik yang menjadi tempat khusus untuk pengenalan dan ajang “pamer” kebudayaan batik Indonesia kepada masyarakatnya sendiri maupun kepada masyarakat luar, sehingga masyarakat Indonesia sendiri kurang mengenal secara dekat mengenai budaya batik. Padahal batik merupakan warisan seni dan

(4)

4 budaya bangsa yang patut untuk dipertahankan. Tidak saja demi kebanggaan bangsa, namun sekaligus menjadi jembatan bagi generasi muda untuk tetap menjalin komunikasi dengan para leluhur dan sejarah masa silam bangsa kita berabad-abad yang lalu.

1.1.3. Perkembangan Museum Batik di Yogyakarta

Yogyakarta sebagai kota yang dikenal dengan budaya batiknya baru memiliki satu museum batik yang terletak di Jl.Dr.Sutomo No 13 A Yogyakarta. Museum ini pun mengalami ketertinggalan seiring dengan berkembangnya jaman, dan ironisnya museum ini merupakan salah satu museum di Yogyakarta yang kurang diminati oleh para wisatawan. Pada tahun 2012, tercatat kunjungan ke Museum Batik hanya 1.652 wisatawan nusantara dan 131 wisatawan asing. Bahkan dari survey singkat yang telah saya lakukan, 90% responden mengaku belum pernah mengunjungi atau bahkan tidak mengetahui Museum Batik yang berada di Yogyakarta.

Diagram 1.2. Data Statistik Pengunjung Museum Tahun 2012 Sumber :Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Hal ini terjadi karena banyaknya tempat yang menawarkan wisata batik seperti tempat belajar membatik, tempat penjualan kain batik, tempat penjualan alat dan bahan membatik di Yogyakarta. Sebut saja daerah Rotowijayan dan Sidomukti sebagai pusat perbelanjaan pakaian batik jadi, daerah Ngasem sebagai pusat penjualan peralatan membatik dan daerah kampung batik, daerah Malioboro hingga

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 M us eum B ent eng … M us eum P er jua ng an M us eum S andi M us eum … M us eu m B io lo gi M us eu m Sas mi tal ok a Mu se um De wa nta ra M us eum … M us eu m D har ma … M us eu m M at a … M us eum M onum en M us eu m K rat on M us eum P ur o … M us eum B at ik M us eum B aha ri WISNU WISMN

(5)

5 Pasar Beringharjo sebagai pusat kain batik hingga pakaian jadi dengan beraneka ragam kreasi.

Hal ini menjadikan Museum Batik yang ada di Yogyakarta menjadi tertinggal karena tidak memiliki daya tarik yang mampu memikat pengunjung untuk datang ke sana. Di museum ini pengunjung hanya bisa melihat dan mempelajari budaya batik secara pasif, tentu saja fasilitas seperti ini akan kalah jika dibandingkan dengan atraksi dan fasilitas yang ditawarkan oleh tempat-tempat di atas tadi, di mana pengunjung bisa terlibat secara aktif dalam mengenal budaya batik.

Gambar 1.3. (kiri-kanan) Rotowijayan, Sidomukti, Ngasem, Malioboro, Pasar Beringharjo Sumber :http://google.co.id/

Dari beberapa tempat yang telah disebut di atas, belum ada yang mewadahi segala aktivitas seputar batik dalam satu tempat saja, dari mulai memamerkan koleksi dari awal munculnya batik sampai perkembangannya hingga saat ini, tempat belajar membuat batik (workshop), tempat membeli peralatan membatik, tempat membeli batik yang siap pakai.

Maka dari itu, penulis ingin meningkatkan fungsi museum, dalam hal ini museum batik, dengan membuat sebuah museum batik yang tidak hanya menjadi tempat menyimpan koleksi batik dari jaman dahulu hingga sekarang tapi juga mampu menjadi pusat studi batik yang mengedukasi masyarakat dengan pembelajaran mengenai batik, dan mampu memfasilitasi para pengrajin batik untuk menjual kreasi mereka seputar batik.

(6)

6 1.2. PERMASALAHAN

1.2.1. Permasalahan Umum

1. Aspirasi masyarakat terhadap batik masih rendah.

2. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap budaya batik.

3. Museum masih dianggap sebagai tempat kuno dan membosankan untuk menyimpan koleksi bersejarah.

4. Masyarakat belum memiliki gambaran bahwa museum merupakan tempat edukasi yang menyenangkan (edutainment).

5. Fasilitas kegiatan museum batik yang mampu menjawab tuntutan bentuk dan karakter ruang yang sesuai masih belum terpenuhi.

6. Karakter museum batik yang dapat menjadi media eksplorasi bagi masyarakat masih belum dieksplor secara maksimal.

7. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap Museum Batik yang sudah ada.

1.2.2. Permasalahan Khusus

1. Belum adanya suatu tempat yang bisa dijadikan wadah untuk menyimpan dan memamerkan koleksi kuno batik, sekaligus menyatukan para pengrajin dan penikmat batik serta masyarakat awam.

2. Belum adanya suatu wadah yang mampu menjadi tempat wisata sekaligus wahana ilmu pengetahuan dan pemberdayaan batik.

3. Dibutuhkannya satu tempat yang mampu mengedukasi masyarakat baik secara pasif maupun aktif secara efektif dan efisien seiring dengan perkembangan jaman.

1.3. TUJUAN DAN SASARAN PEMBAHASAN 1.3.1. Tujuan Pembahasan

1.3.1.1. Tujuan Non Arsitektural

1. Sebagai wadah pengumpulan batik-batik dari awal muncul sampai perkembangannya hingga saat ini.

2. Sebagai salah satu tempat kunjungan wisata bagi para wisatawan, baik lokal maupun internasional jika berkunjung di Yogyakarta.

(7)

7 3. Sebagai sarana untuk memberikan edukasi kepada seluruh masyarakat

mengenai kebudayaan batik.

4. Sebagai wadah ajang “pamer” bagi para pengrajin batik mengenai kreasi batik.

5. Menjadi sebuah tempat yang mampu memberikan fasilitas dari segala aktivitas yang berhubungan dengan batik (one stop).

1.3.1.2. Tujuan Arsitektual

Merumuskan suatu konsep perencanaan dan perancangan sebuah Museum Batik dengan memperhatikan segala aspek keruangan, fungsi hingga struktur dan dapat diapresiasi oleh semua lapisan masyarakat di kota Yogyakarta sebagai satu pusat yang mampu mengedukasi masyarakat secara aktif mengenai batik, dan menggabungkan seluruh fasilitas yang berhubungan dengan batik yang sudah ada saat ini.

1.3.2. Sasaran Pembahasan

Menciptakan desain Museum Batik di Yogyakarta dengan : 1. Pemahaman permasalahan lokasi dengan analisis dan identifikasi. 2. Penggunaan perspektif untuk menghargai kearifan lokal.

3. Pemahaman dasar-dasar dalam perancangan pasar yang berfokus pada studi fleksibilitas ruang.

4. Merumuskan konsep perancangan museum berdasar dari pemahaman tinjauan teori dan permasalahan.

5. Mengaplikasikan metode One Stop Edutainment dalam konteksnya sebagai satu pemberhentian dengan fasilitas yang lengkap.

1.4. METODE PEMBAHASAN a. Observasi Lapangan

Observasi dan survey lapangan meliputi studi lokasi perancangan, mencari data yang behubungan dengan lokasi terpilih untuk mendapatkan gambaran, serta pencarian data-data kondisi eksisting lokasi terpilih untuk

(8)

8 menangkap isu yang berkembang seputar desain dan perancangan bangunan dengan fungsi museum khususnya museum batik.

b. Studi Literatur

Pembelajaran dari sumber-sumber tertulis berupa buku, majalah, laporan maupun internet sebagai landasan teori dan acuan dalam perancangan museum.

c. Analisis

Langkah analisis dalam upaya mengelompokkan dan menglolah data yang didapat dari studi literatur maupun observasi lapangan untuk menarik prinsip perancangan, persyaratan, standar dan kesimpulan yang didapat. d. Sintesis

Sintesis dilakukan dalam upaya mencari fakta-fakta lalu menarik kesimpulan dari proses analisis yang telah dilakukan setelahnya untuk mendapatkan prinsip-prinsip pendekatan yang akan digunakan untuk menetapkan konsep perancangan Museum Batik Yogyakarta yang baru.

1.5. SISTEMATIKA PENULISAN Bab 1 Pendahuluan

Latar belakang permasalahan yang menyebabkan perlunya konsep desain yang baru untuk Museum Batik di Yogyakarta.

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka bertujuan untuk mendapatkan kesimpulan dasar perancangan sebuah museum batik yang relevan sebagai tempat pembelajaran dan tempat wisata. Untuk itu pada awal bab ini dibahas tinjauan berupa teori, persyaratan, ketentuan, standar dan preseden mengenai museum.

Museum sebagai ruang publik dituntut memiliki sifat rekreatif dan mampu mengakomodasi berbagai macam kebutuhan formal maupun informal. Maka dari itu sebelum mendapatkan dasar perancangan sebuah museum batik, dijabarkan terlebih dahulu tinjauan mengenai museum itu sendiri dan serba-serbi mengenai batik.

(9)

9 Bab 3 One Stop Edutaiment

Penjabaran mengenai konsep dalam perancangan ruang yang nantinya berhubungan dengan sirkulasi, massa bangunan, building image, dll.

Bab 4 Tinjauan Lokasi

Penjabaran data-data fisik maupun non fisik lokasi yang dijadikan alternatif Museum Batik di Kota Yogyakarta serta kondisi di lingkungan sekitarnya yang didapatkan dari hasil observasi.

Bab 5 Pendekatan Konsep Perencanaan dan Perancangan

Analisis tentang permasalahan yang ada pada eksisting. Sekaligus penjabaran analisis permasalahan kebutuhan ruang, analisis permasalahan fleksibilitas ruang sebagai penekanananya, serta pengembangannnya,

Bab 6 Konsep Perencanaan dan Perancangan

Berisi tentang konsep perancangan yang dipilih sebagai konsep desain dengan berbagai pertimbangan sebagai penyelesaian yang paling baik dan cocok.

1.6. KEASLIAN PENULISAN

Berikut ini merupakan beberapa karya penulisan lain yang memiliki kesamaan dalam studi kasus Museum Batik. Untuk menunjukkan keaslian penulisan laporan ini maka perlu adanya perbandingan dari beberapa penulisan yang diangkat dalam penulisan ini.

Diagram 1.3. Laporan Penelitian-Skripsi UGM Bertema Museum Sumber : Analisis Data

Perbedaan karya penulisan ini dengan karya-karya sebelumnya adalah permasalahan dan pendekatan yang diangkat. Pada laporan Pra-Tugas Akhir ini

(10)

10 fungsi museum batik lebih ditekankan pada efektifitas dan efisiensi ruang yang disediakan sehingga pengunjung bisa menemukan semua hal yang berhubungan dengan batik di dalam satu tempat saja yang dikemas dengan konsep edutainment (education and entertainment) di mana pembelajaran didapat dengan cara yang menyenangkan.

1.7. KERANGKA BERPIKIR

Berikut kerangka berpikir dalam mengolah latar belakang permasalahan yang ada hingga mendapatkan konsep awal sebuah perancangan Museum Batik dengan aplikasi sistem one stop edutainment:

Diagram 1.4. Kerangka Berpikir Sumber : Analisis 2012

Gambar

Gambar 1.1. (kiri) House of Danar Hadi Solo, (kanan) Museum Batik Pekalongan   Sumber :http://mobile.seruu.com/
Diagram 1.2. Data Statistik Pengunjung Museum Tahun 2012   Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Gambar 1.3. (kiri-kanan) Rotowijayan, Sidomukti, Ngasem, Malioboro, Pasar Beringharjo  Sumber : http://google.co.id/
Diagram 1.3. Laporan Penelitian-Skripsi UGM Bertema Museum  Sumber : Analisis Data http://digilib.archiplan.ugm.ac.id 2012
+2

Referensi

Dokumen terkait

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul : “Mekanisme Audit oleh Satuan Pengawasan Intern Marketing & Trading

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis bagaimana kinerja Badan Pendapatan Daerah dalam pengelolaan Pajak Daerah di Kabupaten Barru dan untuk

Hal itu pula yang menyebabkan rumput laut dari jenis Corallina officinalis sangat disukai oleh foraminifera sebagai substrat, karena tum- buhan ini kokoh (kaku) dan memiliki

menunjukkan terdapat hubungan yang sangat kuat dan memiliki arah hubungan yang positif dari semua variabel, baik dari variabel kemudahan, variabel kemanfaatan dan variabel risiko

Pada penelitian Gordon (2010) mengenai pemodelan harga rantai pasokan ikan Canada dipengaruhi musiman dan kurs US/Canada, menyatakan bahwa keunggulan metode ARMAX

yang dilakukan oleh LPS dalam rangka penyelamatan Bank Century (yang kemudian berubah nama menjadi Bank Mutiara) maka LPS wajib melakukan penjualan (divestasi) atas saham Bank

(7) Kriteria penyensoran terhadap isi film dan iklan film dari segi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e meliputi adegan visual, dialog,

mendukung pemberontakan yang keras; d) “manusia baru” menebus dirinya sendiri (menjadi juruselamat bagi dirinya sendiri). Teologi Pembebasan juga menerapkan sepuluh