TINJAUAN PUSTAKA
Kambing Perah
Menurut Atabany (2002) kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan untuk anaknya. Kambing perah yang dipelihara biasanya adalah kambing lokal seperti kambing Peranakan Etawah (PE) yang merupakan bangsa kambing perah yang dapat hidup di daerah tropis. Kambing Etawah merupakan keturunan dari kambing Jamnapari yang sangat baik sebagai hewan perah dan penghasil daging (Devendra dan Burns, 1994).
Berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan susu dan potensi pertumbuhannya, kambing Etawah digunakan secara luas untuk meningkatkan mutu kambing asli yang lebih kecil di berbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia. Produksi susunya sekitar 235 kg selama masa laktasi 261 hari (Devendra dan Burns, 1994).
Kambing Sapera
Kambing Sapera merupakan hasil persilangan kambing Peranakan Etawah (tipe dwiguna) betina dengan kambing Seanen jantan (tipe perah) atau sebaliknya. Kambing ini memiliki bobot lahir dan kinerja pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan induknya (Sutama et al., 2009). Kambing PESA (nama lain Sapera) memiliki produksi susu harian lebih baik dari pada kambing Peranakan Etawah, tetapi produksinya lebih rendah dari pada kambing Seanen impor dan kambing Seanen keturunan (F1) (Ruhimat, 2003).
Pertumbuhan pasca sapih kambing Sapera jantan 77 g/hari sedangkan betina 75 g/hari. Pubertas kambing Sapera dicapai pada umur 7-10 bulan dan berat badan 23,4 kg. Produksi susu kambing Sapera meningkat dari 650 ml pada minggu pertama laktasi menjadi 900 ml pada minggu ketiga laktasi kemudian konstan hingga minggu keenam (Sutama et al., 2010). Menurut Macciota et al. (2008), puncak produksi susu terjadi antara minggu kedua sampai minggu keempat pada periode laktasi.
Menurut Ensminger (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas susu kambing diantaranya: 1) bobot badan induk; 2) umur induk; 3) ukuran ambing; 4) jumlah anak; 5) nutrisi pakan; 6) suhu lingkungan; dan 7) penyakit. Atabany (2003) menambahkan bahwa produksi susu kambing masih dapat ditingkatkan
Fase Produksi Konsumsi BK
dengan manajemen yang baik, seperti manajemen pemberian pakan tambahan dan bibit berkualitas.
Konsumsi Pakan
Menurut Ensminger (2002), salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya produksi susu adalah dari segi pemberian pakan dan minum. Pakan yang diberikan pada kambing harus dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup pokok dan reproduksi. Jumlah pakan diberikan tergantung kondisi fisiologis (pertumbuhan, bunting, dan laktasi), bangsa, dan kapasitas produksi (Gall, 1981). Kebutuhan nutrien kambing perah pada berbagai kondisi fisiologis menurut Rashid (2008) tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Kambing Perah Dewasa pada Berbagai Fase Produksi
(% bobot badan)
Kebutuhan nutrien harian PK (% BK) TDN (% BK) Hidup pokok 1,8 – 2,4 7 53 Awal kebuntingan 2,4 – 3,0 9 – 10 53 Akhir kebuntingan 2,4 – 3,0 13 – 14 53 Laktasi 2,8 – 4,6 12 – 17 53 – 56
National Research Council (1981) memberikan rekomendasi kebutuhan nutrien lebih terperinci untuk kambing perah laktasi tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekomendasi Kebutuhan Nutrien Kambing Perah Laktasi
Status Rekomendasi Kebutuhan
Bahan Kering (g) Protein Kasar (g) TDN (g) BB 30 kg, Produksi
susu 1 liter, Kadar 540 - 1210 1230 - 1340 704 - 798 Lemak 4%
Menurut Nursasih (2005), performa produksi ternak sangat dipengaruhi oleh tingkat konsumsi zat makanan dan tingkat palatabiltas pakan tercermin dari tingkat konsumsi suatu bahan pakan. Tillman et al. (1998) menambahkan bahwa palatabilitas pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya rasa, bentuk, dan bau dari suatu bahan pakan. Tingkat konsumsi pakan juga dapat dipengaruhi oleh
kondisi ternak (bobot badan, jenis kelamin, umur, dan genetik), pakan yang diberikan, dan kondisi lingkungan (Parakkasi, 1999).
Komposisi Susu Kambing
Menurut Badan Standardisasi Nasional (1998), susu kambing mengacu pada SNI 01-3141-1998 tentang susu segar adalah susu yang berasal dari ambing induk kambing yang sehat dan diperoleh dengan cara benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Susu kambing segar adalah susu kambing murni yang disebutkan di atas dan tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Susu kambing merupakan hasil sekresi dari ambing kambing sebagai makanan anaknya.
Perbedaan komposisi kimia pada susu kambing disebabkan oleh beberapa faktor pengontrol produksi susu baik secara kualitas maupun kuantitas seperti: 1) variasi antar bangsa kambing; 2) variasi inter bangsa kambing; 3) faktor genetik; 4) musim; 5) umur; 6) lama masa laktasi; 7) faktor perawatan dan perlakuan; 8) pengaruh masa birahi dan kebuntingan; 9) frekuensi pemerahan dan perlakuan; 10) jumlah anak dalam sekali beranak; 11) pergantian pemerahan; 12) lama masa kering; 13) faktor hormonal; 14) faktor pakan; dan 15) pengaruh penyakit (Sodiq dan Abidin, 2002).
Spreer (1998) menyebutkan bahwa komponen kimia alami susu kambing terdiri atas: air, lemak, protein, laktosa, dan komponen lain seperti garam, asam sitrat, enzim, vitamin, gas, dan fosfolipid. Menurut Sofyan dan Sigit (1993), susu kambing dari daerah tropis cenderung tinggi total padatannya terutama lemak dan protein, namun total susu kambing daerah tropis berkorelasi negatif dengan produksi susu. Komposisi susu kambing dari berbagai bangsa terdapat pada Tabel 3.
Susu kambing lebih berwarna putih dibanding susu sapi karena tidak mengandung karoten. Perbedaan utama antara susu kambing dan susu sapi adalah kandungan butiran lemak (fat globule) susu kambing yang lebih kecil dibandingkan dengan susu sapi (Ensminger, 2002). Protein susu disintesis dalam sel kelenjar susu pada bagian mitokondria mengikuti pengkodean genetik (Akers, 2002). Protein susu terdiri atas dua fraksi utama yaitu kasein (αS1, αS2, β, dan κ) dan whey (α- laktoalbumin dan β–laktoglobulin). Sebanyak 80% dari total protein susu kambing
adalah kasein. Kasein ini stabil dikarenakan kandungan kalsium dan fosfat (Greppi et al., 2008). Ditinjau dari sudut pandang kualitas, kasein susu kambing lebih dapat larut (soluble) dan mengandung proporsi protein terlarut yang lebih tinggi, diantaranya -laktoglobilin, -laktoalbumin dan serum albumin (Barrionuevo et al., 2002). Protein susu kambing yang lebih larut tentunya akan lebih mudah diserap dan mengindikasikan kualitas protein susu kambing lebih baik dibandingkan susu sapi (Aliaga et al., 2003).
Tabel 3. Komposisi Susu Kambing
Komposisi Bangsa Jumlah Sumber
Bahan Kering (%) PESA 11,11 Ruhimat (2003)
Protein (%) PESA 3,07 Ruhimat (2003)
Lemak (%) PESA 4,13 Ruhimat (2003)
BKTL (%) PESA 6,99 Ruhimat (2003)
Berat Jenis (kg/m3) PESA 1,0315 Ruhimat (2003)
pH PE 6,64-6,69 Hertaviani (2009)
Laktoferin (mg/l) PE 42,62-46,10 Hertaviani (2009)
Laktosa (%) PESA 3,48 Ruhimat (2003)
Susu kambing kaya akan MCT (Medium-chain Triglyiseride) meliputi asam kaproat (C6:0), asam kaprilat (C8:0), dan asam kaprat (C10:0), yang metabolismenya tidak membutuhkan cairan empedu untuk mengemulsikannya (Aliaga et al., 2003). Susu kambing mempunyai lemak yang mudah diserap dan dapat diubah menjadi energi secara cepat. Walaupun mudah diserap, MCT tidak menimbulkan risiko atherogenic (Aliaga et al., 2005).
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan merupakan kemampuan ternak untuk mengubah zat-zat nutrisi pakan menjadi daging. Pertambahan Bobot badan per satuan unit waktu sering digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Pertumbuhan diartikan sebagai pertambahan bobot badan sampai ukuran dewasa tercapai (Taylor dan Field, 2004). Menurut Tillman et al. (1998) selama pertumbuhan seekor ternak mengalami peningkatan bobot badan sampai dewasa dan perubahan bentuk yang disebut dengan pertumbuhan dan perkembangan.
Pertumbuhan ternak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bangsa, jenis kelamin, hormon, pakan, kastrasi, iklim, dan kesehatan ternak (Phillips, 2001). Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa faktor pakan sangat mementukan pertumbuhan, apabila kualitasnya baik dan diberikan dalam jumlah yang cukup, pertumbuhanya akan menjadi cepat. Church dan Pond (1988) menyatakan proses penggilingan bahan pakan memberikan peningkatan performa ternak karena partikelnya semakin kecil. Kualitas pakan yang baik akan diikuti pertambahan bobot badan yang lebih tinggi.
Som Jawa
Talinum paniculatum (Jacq.) Gaertn berasal dari benua Amerika kawasan
tengah dan selatan serta daerah Afrika bagian selatan, kemudian menyebar ke daerah tropis lainnya. Di pulau Jawa, jenis ini kemudian lebih dikenal dengan Som Jawa atau Ginseng Jawa. Som Jawa diintroduksi dari Suriname ke pulau Jawa (saat itu dikoleksi oleh Kebun Raya Bogor) pada tahun 1915 (Hidayat, 2005). Som Jawa tumbuh pada ketinggian 5-1.250 m dpl (Dalimartha, 2003).
Klasifikasi dari Talinum Paniculatum (Jacq.) Gaertn (Som Jawa) dalam Hidayat (2005) adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dictyledoneae Ordo : Caryphyllales Famili : Portulacaceae Genus : Talinum Spesies : Talinum Paniculatum (Jacq.)Gaertn
Selain itu ada beberapa nama sinonim untuk jenis Som Jawa ini, yaitu Talinum crassifolium Willd, Portulaca patens L., Talinum patens (L.) Wild. Tanaman ini juga memiliki nama daerah yaitu Gelang porslen (Dalimartha, 2003). Nama lain Som Jawa dikalangan masyarakat, antara lain Som Jawa, Kolesom, dan Ginseng Jawa (Hidayat, 2005).
Di Indonesia dikenal dua jenis tanaman yang secara morfologi dan kandungan kimianya sama dengan Ginseng Cina dan Korea yaitu Som Jawa (Talinum Paniculatum (Jacq.) Gaertn) dan Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.)
Willd) yang keduanya sering dianggap sebagai Ginseng Jawa. Som Jawa merupakan salah satu tanaman yang dimasukkan ke dalam kelompok ginseng yang diyakini bermanfaat untuk meningkatkan vitalitas tubuh dan daya seksual (afrodisiak) (Hidayat, 2005). Hasil penelitian Wahyuni dan Hadipoentyanti (1999), menunjukkan
Talinum Paniculatum (Jacq.) Gaertn dapat dibedakan dengan Talinum triangulare
(Jacq.) Willd pada : a) bentuk daun; warna pangkal batang; c) waktu bunga mekar; d) panjang dan lebar mahkota bunga; e) jumlah benangsari; f) warna kulit rimpang; dan g) bentuk dan warna buah.
Som Jawa merupakan terna tahunan yang tumbuh tegak, tinggi 30-60 cm, batang bercabang di bagian bawah, dan pangkalnya mengeras. Daun Som Jawa terletak berhadapan, bertangkai pendek, berbentuk bulat telur sungsang, bagian tepi rata, ujung dan pangkalnya runcing (Wijayakusuma et al., 1995). Wahyuni dan Hadipoentyanti (1999) menambahkan bahwa panjang daun Som Jawa 8,623+ 0,693 cm, lebar 4,210 + 0,383 cm dan tebal 0,091 + 0,016 cm. Buahnya kecil, berbentuk bulat pipih, warna hitam, dan matang 22-23 hari setelah berbunga. Buahnya berbentuk bola atau agak kotak berwarna merah kecoklatan, diameter 3 mm. Bijinya kecil berukuran 0,7-1 mm (Hidayat, 2005).
Som Jawa selain dapat dikonsumsi oleh manusia, daunnya juga dapat dijadikan pakan yang disukai oleh beberapa hewan ternak, seperti kambing dan kelinci (Hidayat, 2005). Daun Som Jawa mengandung saponin, flavonoid, tanin (Dalimarta, 2003), steroid dan minyak atsiri obat bisul (Seswita, 2010). Daun Som Jawa juga berkhasiat meningkatkan nafsu makan (stomakik), melancarkan ASI, mengobati bisul (Dalimartha, 2003), dan pembengkakan (anti radang) (Seswita, 2010).
Som Jawa merupakan tanaman yang menghasilkan umbi. Untuk menghasilkan umbi yang optimal, diperlukan tanah yang sifat-sifat fisik dan kesuburannya baik. Kondisi tersebut dapat dicapai dengan penggunaan bahan organik (kasting, kompos daun bamboo, dan pupuk kandang). Som Jawa mudah ditemukan di kawasan dimana tumbuhan lain sulit tumbuh dan mampu tumbuh bersama-sama dengan jenis tumbuhan yang bersifat gulma. Som Jawa mampu tumbuh optimal pada tanah-tanah yang kondisinya gembur, sedikit berpasir, dan tempat yang drainasenya baik (Hidayat, 2005).
Som Jawa yang ditanam dengan metode stek untuk diambil daunnya memiliki produksi daun yang lebih tinggi dibandingkan penanaman dengan biji Produksi daun Som Jawa yang digunakan dalam penelitian diketahui dari hasil survey dengan petani daun Som Jawa di kawasan Agropolitan, Cipanas. Petak lahan seluas 1,5 x 6 meter mampu menghasilkan daun segar rata-rata sebanyak 12 kg. Daun Som Jawa yang dirawat dengan baik mampu dipanen 4 kali dalam setahun. Apabila dikonversi kedalam produksi/ha/panen maka diperoleh:
Sehingga dalam satu tahun akan menghasilkan daun Som Jawa: