',. !,.. ..,,r.r,
.'
n
,,
i
.
i
j
'€
=,.
e,
.Ei
EE
.Eu;
*j'
€,,E3=
=:
::=
=
==!:'==
+.1'iE
:Ei,,',E,!4ii
,1,
ia
i
i
I,,i
.:
E=;-=
==+
=1i
j-=:,
;
i=irj
PENDIDIKAN DAN KONSELING DI ERA
GLOBAL
Dalam Perspektif Prof. Dr.M.Djawad Dahlan
Editor
:
Mamat SuPriatnaAchmad Juntika Nurihsan
Cover
:
lwan dlrISBN
:979-gg412-O-2
Cetakan pertama, Maret 2005
-
Copyright@2005 Penerbit: RIZQI press, BandungDAFTAR ISI
NO. JUDUL HAL.
I PERSPEKTIF PROF. DR. M. D. DAHLAN
TENTANG PENDIDIKAN DAN KONSELING
01 MENGEMBANGKAN FITRAH MANUSIA
DALAM UPAYA MERAIH NUR ILLAHIAH
Aplikasi Asmaul Husna dalam Membeningkan
Kalbu Melalui Konseling
(200s)
3-l3
U.J WARNA ARAH BIMBINGAN DAN
KONSELING ALTERNATIF DI ERA
GLOBALISASI
Q00lDa02\
15-29
03 CARA PANDANG APTISI I.]NTUK
MEMBUDAYAKAN IPTEK DALAM
PEMBANGI'NAN JAWA.BARAT
(2001)
3t-37
i_H METODOLOGI zuSET PSIKOLOGI ISLAMI 39-5 I
05 PROSPEK DTINIA PENDIDIKAN DI
INDONESIA MENGHADAPI MILLENNIUM III
(1 999)
53-63
:6
PENDIDIKAN KEIMANAN DAi-AMKELUARGA BAGI ANAK-ANAK O-5 TAHUN
(BALITA)
(1995)
65-85
PERAN SARJANA DALAM KEHIDUPAN
(Menyongsong Masa Depan yang Lebih Cerah)
fl990)
87-94
tr
KECENDERUNGAN PENGEMBANGANPROFESI KONSELING
-
i
Arah dan Tantangan Bimbingan dan KonselingProfes ional : Historik
-
Futuristik(Sunaryo Kartadinata)
97-r20
Fengembangan Program Pendidikan Akademik dan
Profesi Konseling Pada Program Pascasarjani (Rochman Natawidiaia)
121-154
\fenegaskan Kembali Batas Profesi Konseling (llfiandra)
UI
KONSELINGDALAM
KONTEKS BUDAYADAN RELIGIUSITAS
tl
Konseling Lintas Budaya Dalam Perspektif StrategiPendidikan Berwawasan Kebangsaan
(Mamat Supriatna)
t7t-197
t2 Pendekatan Konseling EMDR Berbasis Lintas
Budaya dan Kekalutan Ketegangan Pasca Trauma
(Syaiful Bahri)
199-222
l3 Konseling Berorientasi Budaya Siri
(Sulaiman Samad)
223-240
t4 Dimensi Religuisitas Dalam
Bimbingan dan Konseling
(Mubiar Azustin)
241-251
t5 Mempertemukan Konseling Model Barat dan
Konseling Model Timur dalam Pendekatan, Metode
dan Prosedur
(Imam Tadiri)
253-274
ry
KONSELINGDALAM
ADEGAN KELUARGA,KELOMPOK
LINGKUNGAN INDUSTRI,DAN KEBERBAKATAN
16 Pendidikan Anak Dalam Keluarga Di Dalam Upaya
Pengembangan Akhlakul Karimah
(Mellv Sri Sulastri Rifa'i)
277-290
17 Konseling Keluarga Yang Sensitif Gender Untuk
Istri Korban Kekerasan Suami
(EtiNurhayati)
291-314
t8 Program Konseling Keluarga Berbasis Sekolah
(Endane Pudiiastuti)
315-327
l9
Konseling Kelompok untuk Klien yang MemilikiPenyakit Kronis
(Azus Taufiq)
329-351
20 Konseling Kelompok Bagi Individu
Berkebutuhan Khusus Melalui Terapi Realitas (Maria)
353-361
21 Bimbingan dan Konseling dalam Adegan
Lingkungan Industri (Dadang Sudrajat)
363-383
22 Bimbingan dan Konseling Bagi Anak Berbakat:
Aspek Sosial-Emosional (Rochmat Wahab)
v
KONSELINGDALAM
KONTEKS ANALISIS TBORETIK DAN PRAKSISZ3 Konseling, Pembelajaran, dan Kreativitas
G.Jana Syaodih Sukmadinata)
401-406
24 Konseling Kolaboratif Berbasis Kompetensi
(Achmad Juntika Nurihsan)
407-415
25 Kemungkinan Penerapan Mutual Need Therapy
di Indonesia
(Euis Farida)
417 -431
26 Terapi Perilaku Kognitif
(M. Ramli)
433-446
27 Bimbingan Anak Usia Dini: Optimalisasi Kesiapan
Belajar atau Belajar Anak
(M. Solehuddin)
447-456
28 Memahami Perkembangan Remaja
(Sofvan S. Willis)
457 -473
?9 Bernafas Sebagai Self-C ounseling
(l
Ketut Dharsana)475-483
\.I
KONSELINGDALAM
KONTEKS PERKEMBANGAN MASYARAKAT MODERN_-u Kecenderungan Perkembangan Kesehatan Mental Masyarakat Modern
(Syamsu Yusuf)
487-502
Pelayanan Konseling Di Era Global (Nurhudaya)
503-52
l
Konseling Keterampilan Hidup (S.P. sukartini)
523-547
i-1
lfakna Keterampilan Hubungan Sosial Bagi Santri(Uman Suherman, AS)
549-56s
\TI
POTRET DIRI, RIWAYAT HIDUP SINGKAT,DA]i
KESAN-KESAN SAHABAT, SEJAWAT,DAN MURID
PROF.
DR
M. DJAWAD DAHLAN-*
}fTRET DIzu DAN RIWAYAT HIDUP SINGKAT \IOFIAIVIMAD DJAWAD DAHLAN569-570
tr:
S:Sd\-KESAN SAHABAT, SEJAWAT,-DAN MURIDBAGIANIV
KONSELING DALAM
ADEGAN
KELUARGA,
KEL
oMPoK,
*lTgxHl:iil"P
u
srRr,
DAN
t6
PENDIDIKAN ANAK
DALAM
KELUARGA
DI DALAM
UPAYA PENGEMBANGAN
AKHLAKUL
KARIMAH
(Melly Sri
Sulastri
Rifa,i/UpI)
17
KONSELING KELUARGA YANG SENSITIF GENDER
UNTUK ISTRI KORBAN KEKERASAN SUAMI
(Eti Nurhayati/STAIN Cirebon)
t8
PROGRAM KONSELING KELUARGA
BERBASIS SEKOLAH
(Endan g
pudj
iastuti/LINISBA)
t9
KONSELING KELOMPOK UNTUK
KLIEN
YANG
MEMILIKI
PENYAKIT KRONIS
(Agus
Taufiq/UPf
20
KONSELING KELOMPOK BAGI
INDIVIDU
BERKEBUTUHAN
KHUSUS
MELALUI
TERAPI REALITAS
(MarjaAJNJ)
2t
BIMBINGAN
DAN KONSELING
DALAM
ADEGAN LINGKUNGAN INDUSTRI
(Dadang
Sudrajat/Upl)
22
BIMBINGAN DAN KONSELING
BAGI ANAK BERBAKAT
t7
KONSELING KELUARGA
YANG SENSITIF GENDER
UNTUK ISTRI
KORBAN
KEKERASAN SUAMI
PENDAHULUAN
Kecenderungan
saat
ini
semakin meningkat
kasus
perrakuan
sewenang-wenang dan kekerasan terhadap perempuan,
uak
secarafisik
maupunpsikis,
sebagaimana pemberitaun*.diu'massa
cetakmaupun elektronik.
Kasus
sewenang-wenang terhadap perempuan sebenarnyatelah berlangsung setua umur manusia
di
mukabumi.
Hanya saat
ini,
berhubung perkembangan media, informasi semakin meruasdan
banyak, bahkan pemberitaan kekerasan yang
terjadi
daram rumah$ggu
-
yang umumnya dari pihak suami terhadapisteri
_- yangsebelumnya bersifat. rabu untuk diekspos karena
aiunglaf
sebagaipersoalan p rivacy,
kini
menjadi komoditaspemberitaa;;";g
sangatmencengangkan. Betapa
tidak!
Suamiistiri
yang
konon-terjalin*cinta",
telah tersingkaptabir misteri
bahwadi
ialamnya
terjaditindak
kekerasan.Acapkali
isteri-lah yang rawanmen;aii
korbandari tindak kekerasan.rumah tangga
itu,
meski inipun Iranyu.eua-FiT
kecil yang terekspos daramhedia. Masih banyak isteri yangbertahan dan enggan meraporkan kasus kekeruru,
yurg
diaiaminya,sebab menganggap akan membuka aib rumah
tung[uniu.
Berbagai
penelitian
mengenaidomestic
violence
sudahbanyak dilakukan
di
Barat,
dan
hasirnya menunjukkan bahwainstitusi keluarga merupakan tempat paring rawan
bigi
perempuan,sebagaimana Emerson Dobash dan RusselfDobash (Sire Titus Reid,
1985:269) menyatakan:
It still
true thatfor
a v,omanto
bebrutally
fi
systematically assaulted she must usually enterour
most sacredinrtitution,
thefamily.
It
is within
morriage thata
womanis
mostItlely
to be slapped and shoved, severery assaurted, killed,or
raped.dengan gambaran
di
Barat. Pantaslah menjadi keprihatinan durueterhadap nasib kaum perempuan, dan sudah disuarakan lebih d"m
seperempat abad yang
lalu,
tepatnya pada Konferensi Perempnr"',Dunia
I
di
Mexico tahun 1975 yangdalam plattform-nya "berusahamenghapuskan segala bentuk diskriminasi" antar ras, etnik, maup.tn
jenis
kelamin,
karena mencatat semakin banyak kasus kekerasanterhadap perempuan (Jurnal Inte r
alui,
20A23).LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam sebuah seminar (1996), Nesim Tumkaya, Kepala Perwakilan
Dana PBB Kependudukan
(IINFPA)
untuk Indonesiamenyebutkan-seluruh dunia, setidaknya satu dari tiga perempuan, telah dan masih
mengalami pemukulan, dipaksa melakukan hubungan seksual, dan
mengalami
bentuk
kekerasanlain,
seringkali
oleh
suami
atauanggota keluarga
lain
yanglaki-laki.
Satudari
empat perempuanmengalami kekerasan saat
hamil;
dan
sepertigahingga
setengah kasus kekerasan merupakan kekerasan seksual.Dalam seminar yang sama (1996) Khofifah Indar Parawansa
mengungkapkan bahwa
dari
217 juta penduduk Indonesia, sekitar24
juta
perempuan,atau
ll,4o/o
tinggal
di
pedesaan, mengakupernah menerima
tindak
kekerasan, sebagianbesar
merupakankekerasan dalam rumah tangga.
Menurut data
dari
satu
LSM
yang
menangani
kasuskekerasan terhadap perempuan
di
WomanCrisis
Centre (WCC)"Balqis"
Cirebon, sejakberdiri tahun
1998 sampai 2004, tercatarsudah 344 kasus isteri korban yang meminta bantuan karena tindak
sewenang-wenang suaminya (dokumentasi
WCC Balqis,
2004);sedangkan satu WCC
milik
organisasi Koalisi Perempuan Indonesia(WCC KPI)
yang baruberdiri
Januari2004
sudah menerima 14isteri yang meminta bantuan karena tindak kekerasan oleh suaminya
(dokumentasi WCC KPI, 2004).
Data
di
PengadilanAgama
Kota
Cirebon
menunjukkan,bahwa selama
kurun waktu dari
Januari sampai Desember 2003tercatat ada 518 kasus perceraian, yang
terdiri
atas 205 cerai-talakwawancara penulis dengan- petugas pencatat perkara
di
pengadilanAgama
ini,
sebanyak
2lg Lur*
p.nyibub
perceraian
itu
dikategorikan sebagai korban tindak kesewenangan suami terhadap
isteri
-
dalam
perbagaibentuk
kekerasan, seperti:tidak
memberinafkah
(ekonomi),
meninggalkantanpa
tanggungjawab,penga_
niayaan
fisik,
dan perselisihin terus menerus..
.
-Menurut pub^rikasipBB
yang diraporkan orehDivision.for
the Advancement
of
Women_,Cinti
for'sociatl
i;;rh;;"nt
andHumanitarian
Affairs
yang berpusatdi
Vienna,buh;;:,...,
onduct
that
falls
within
the definition
of
viorence against;*;;,
in
thefomily
includes
p.hysic.g!
battering,
sexual battering
andpsychological battering..." Merujuk pada
pubrik*i
t..r"uui
MansurFaqih (1999:17)
berpendapat, 6ahwatindakan
keterasan adalahserangan
atau
invasi
(a-ssaylt)yang
menyakitkan terhadapfisik
maupun integritas mental psikologis perempuan.
Meskipun kekerasan daram rumah tangga dapat terjadi
dari
yam-i terhadap isteri, orangtua terhadap anak, kakak terhaiap adik,
dan dari majikan terhadap pembantu, aiau sebariknyu;
nu*rn
daramkenyataan perempuan
c"nde.rng rebih
mudah
;;rfii
korban dalamlingkup
keluarganya sendiri. Secara umum,tonoisi
feor
of
clime
pada perempuan rebih besar dibandingkankaum
laki-raki.Oleh
karena
itu,
pengertian kekerasan
dalam
rumahtangga(domestic
violence), atau
lebih
tegasIagi
*i7,
onis"--1srru*u,
l?q9).adalah
penyeranganfisik
ataupsilologis
di
L"tuu.gu
ofehlaki-laki
terhadap pasangan perempuannya"(Sciortino,
lD96: z2T).
Penegasan
ini
disebabkan'ibentul krk.ruran
yang paring
sering
terjadi
adalah
kekerasan terhadapisteri atau
yig' i.uit
t.put
I:trurll
terhadap perempuan ole'h pasangan intim,, (Heise, et al.,1994:
4).
"lstilah
kekerasanru.uhtunfga
ini
dipakai
karenakeengganan
laki-raki
mengakui bahwarali--tati
rur,iunj
uerrang-gungjawab
atas
kekerasanyang dialami
p...rnprun;i fTi"r.o,
r99r).
-
Meskipun tindakan
kekerasan tersebut tampaknya cukupaneh dan fantastis karena
teiadi
pada mereka yang'konon terjalinhubungan
"cinta"
antara "suami-iiteri"
darami[atai.r*uh
tangga,
dan yang
lebih
tragislagi
karenasi
korbantidak
dapat(tidak
etis)yang
kuat
ini
tampal5nya yang melanggengkantindak
kekerasandalam rumah tangga,
di
samping seperti mendapat pembenaran dariinterpretasi
tekstual
agamayang bias
gender
dan
"misoginis-(kebencian) terhadap perempuan
Penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuen
menurut R. Langley dan C. Levy (1977:75-76) adalah karena suami
sakit mental, pecandu alkohol dan obat bius; pandangan masyarakat
seperti melegalkan tindakan kekerasan suami terhadap isterinyq
komunikasi
suami isteri yang
tidak
harmonis,
persoalan seks (seperti : disfungsi seks, penyelewengan, ketidak-puasan seks), citradiri
yang rendah, frustrasi, perubahan situasi dan kondisi ekonomi,serta bentuk
kekerasanyang
merupakan kebiasaandan
bentukpenyelesaian
masalah.
Namun,
kekerasanterhadap
satu
jeniskelamin tertentu lazimnya
disebabkanoleh
anggapanyang
biasgender
(gender related
violence),yakni
karena ketidak-setaraankekuatan yang ada dalam masyarakat.
Oleh
karena
itu,
kekerasan apapunyang terjadi
dalammasyarakat, sesungguhnya berangkat
dari
suatuideologi
tertentuyang mengesahkan penindasan
di
satu pihak..
baik
perseoranganmaupun
kelompok
-
terhadappihak lain
yang
disebabkan olehanggapan ketidak-setaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
Pihak yang tertindas disudutkan pada posisi yang membuat mereka
berada dalam ketakutan melalui cara penampakan kekuatan se&ra
periodik.
Kekerasan yang kerap
terjadi
dalam rumah tangga adalahtindakan
sewenang-wenangdari
suami
terhadap
isteri
untukmelegitimasi kekuasaan. Perkawinan dianggap legitimate oleh
laki-laki
yang berhak melakukan apa saja yang ia kehendaki dan sedikit sekali campur tangan pihak luar.William
P. College (dalam KerstiYIlo,
1988) menegaskan,bahwa penindasan disebabkan oleh pandangan sub-ordinatif yang
didukung
oleh
dinamika sosialpolitik
yang berakar pada tatananhirarkhis, submisif,
dan
mengesahkan
kekerasan
sebagaimekanisme
kontrol. Ketika
tatanan yangphollo-centris
(Lacan,1990) disahkan sebagai
hal
yang biasa dalam masyarakat, makaberada
di
tanganlaki-laki
dalam relasi antar jenis. pantaslah Heise(1994:l)
mensinyalir,
"setiap
masyarakatmemiliki
mekanismekontrol
yang
melegitimasi,
mengaburkan,
dan
mengingkarikekerasan, dan den gan dem iki an me lestari kannya".
Dalam
kultur Timur
(sebut Indonesia), masih jarangperem-puan yang
mengadukanperkara
kekerasanpihak
suami
kepengadilan.
Kalaupun ada,
biasanya setelah mengalamipenga-niayaan
yang terus
menerusdan
di
luar
batas
kemanusiaan.Masyarakat masih beranggapan bahwa
"konflik
rumah tangga harusdiselesaikan secara kekeluargaan,
bukan melalui
jalur
hukum,,(Kedaulatan
Rakyat,
1993:
2).
Hasil
penelitian
menunjukkanbahwa
kekerasanyang
dilakukan suami
terhadapisteri
seringterjadi, tetapi tidak
pernah
dipersoalkan secaraterbuka;
selainkarena tidak ada hukum yang menjamin korban, juga karena budaya
kita belum mendukung isteri yang berani mempersoalkan kekerasan
yang dialami (dalam Rosalia Sciortino, 1999:241).
Lebih
lanjut
Rosalia Sciortino (1994:242)
mengutif,"perempuan korban kekerasan beranggapan bahwa bercerita pada
orang
lain
tentang kekerasan yang dialaminya adalah sesuatu yang'tabu',
yang akan
merusaknama
baik
suami dan
keluarga,,.Sekalipun
saat
ini
sudahmulai
ada
pengakuan terhadap delikpengaduan perkara
tindak
kekerasan yangdialami
perempuan kedalam
jerat
pasal penganiayaan, serta pada tahun 2004 pemerintahsudah mengesahkan Undang-undang Anti Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
(KDRT);
tetapi
berhubung
masih
baru
masapemberlakuannya,
maka
perubahandari
implementasiUndang-:.mdang tersebut
belum cukup
efektif
untuk
memberantas tindakkekerasan suamiterhadap isteri dalam rumah tangga. Dalam realitas
:osial,
perempuanmasih
menghadapi hambatanpsikologis
danoosio-kultural untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya
ke
luar. Sebagaimana Wahyuni (Kompas, 1994:19) menyinggung,-Sebenarnya kekerasan suami terhadap
isteri
dapatdiajukan
kerengadilan dengan pasal penganiayaan, tetapi
jarang sekali
isterir€nuntut
tindakan 'ringan tangan' suaminya."Berkaitan dengan hambatan-hambatan i steri untuk
melapor-rasr kasus kekerasan suaminya
itu,
Schneider (1994:39)hukum
telah
menyampaikan pesan ideologisyang
merendahkanperempuan
dan
fungsinya,
dan
memandangbahwa
kehidupanperempuan
tidak
cukup pe-nting untuk diatur melaluihukum".
Halini
sesuai dengan pernyataan DonaldBlack
(1976 17) bahwa:/z
most societies, women and children have less wealth than men, and
so they also have
lesslaw.
Situasidemikian
merupakan suuuhidden crime.
Apabila
situasiini
tetap berlangsungdi
masyarakat,serta
isteri
tetap bertahan dan pasrah menerimatindak
kekerasandari suami, dan menganggap sebagai suatu nasib/takdir perempuan,
maka menurut
Tuti
Heraty Noerhadi
(1990:173)akan
memper-kokoh
pengaturan,
penopangankonstruksi,
dan
pengulangandominasi
laki-laki
terhadap perempuan.Posisi suami yang
tidak
setara(sekufu')
dengan isterinya,biasanya yang acapkali memicu perselisihan
di
antara pihak suamidan isteri.
Perselisihanyang terus
menerus,kemudian diiringi
dengan kata-kata
dari
suami yang
menyakitkanisteri,
tindakanpe*ukulan
atau
penganiayaan
fisik,
perilaku
yan1
tidaktertanggungiawab,
tidak
memenuhi kebutuhanekonomi,
kawinlagi;
bahkan dapatpula
menjurus pada tindakan sadisme dengan.iny"rgrurakan
atau
berusaha menghilangkan
nyawa
isteri.Perlakuan suami terhadap isteri seperti
ini
merupakan ekspresi dariotoritas
laki-laki
dalam struktur ideologi
rnasyarakat
yangpatriarkhis. Menurut Andersen (1983:133) hal tersebut merupakan
iute of
thumb,di
mana pemukulan suami terhadapisteri
sepertisudah menjadi hak dan bahkan tampaknya cenderung
dilegalisasi-kan. Hebatnya, fenomena semacam
ini
terjadidi
berbagai stratify-kasi sosial, baikdi
masyarakat tradisional, menengah, maupun atas(modern);
di
masyarakat berpendidikan apalagidi
masyarakat yangkurang atau
tidak
berpendidikan,di
wilayah
perkotaan maupunpedesaan, yang
terjadi
sejak dahulu sampai sekarang, setua umurmanusia
di
muka bumi, di beberapa belahan dunia ini.Gugatan
isteri untuk
bercerai dengan penyebab kekerasandari pihak
suami meskipun secara defacto
diterima,tetapi
isteritidak
dapat
melakukan dengan mudah. Masyarakat
masih ntemandang rendah kepada perempuan yang bercerai.Perceraian
bagi
seorang
isteri
meski dapat
berartiI
sementara; atau hanya sebuah hadiah yang diberikan oreh suaminya,
akan tetapi perceraian bukan satu-satunya obat
,r;u.uu
fung
segeramengh.ilangkan penderitaannya, terutama
bagi
isteri
'yang
tidak
memiliki
pekerjaan atau penghasilanyang
bi'sa,rnopurg
hidup
beserta anak-anaknya. perempuan seteiah
lercerai
akari ier*epungoleh
kedudukannyayang surit, yakni
seorangibu'yang
harus
menanggung beban dan tanggungjawab mengasuh
,.riu
,,rru*ut
anak-anak, juga ketakutan akan kecaman masyirakat
atas kegagaran
merawat
anak-anak
akan
lebih
besar dirasakan
perempuandibandingkan laki-laki.
Dengan
d:Tlkiu.r,
,,dalam perkawinan maupun
dalamperceraian hanya laki-raki lah yang
tidik
pernah kehirangankemer-dekaan
untuk
menurutkan kebebasan seksualnya,k.r.iung
annya,kawin
atau
cinta,
serta
dengan mudahdapai
*.rupur.un
anak-anaknya atau sedikitnya
tidak
terraru bergaur aengari unut-unut,,(Nawal
El
Saadawi, 20Ol:
406).Seiring
dengan perkembangan zaman,saat
ini
banyakperempuan
mulai
berani
merawanresistensi
keruarga,tradisi,
maupun ideologi kultural untuk mengadukan kasus kekJrasan yang
dialaminya
ke
lembaga-lembaga swadaya rnuryu.ut ui---atauke
kantor
PengadilanAgama.
Dengan memutuskanlebih
memirih
hidup
lapar,miskin, dan
tidak
memiriki rumah
daripaaa tinggalbersama
suami yang
melakukantindak
kekerasant.frounyu.
Meskipun, dia akan mengalami kesuritan meminta bantuan, karena sampai saatini
pemerintah berum dapat menyediakan p"luyunu,khusus untuk mencegah atau menanggurangi tindak kekJrasan ini.
Demikian pula dengan lem.baga-lembaga
,*uduyu
masy4rakat yangmasih terbatas untuk peduli dan menangani kasui tersebui.
.
Apapun
keputusan perempuan,tetap
seorang perempuanharus membayar mahar daram har-apapun, bahkan
jilIa
ia
memirihuntuk tunduk
sekalipun,ia
harusmimbayar
dengan kesehatan,ketabahan, kepribadian, dan masa depannya.
Akibatlari
kekerasanrumah
tangga sangat
mengganggu kesehatanfisik
dan
psikisperempuan, serta berdampak negatif terhadap kesejahteraan
oleh
karenaitu,
menolongisteri
korban kekerasan suami menjadi keniscayaan. Bantuan yang diberikantidak
cukup sekedarbantuan medis untuk mengobati luka
fisik
akibat tindak kekerasanitu;
tetapi
harus melakukanjalinan
kerja
sama dengan berbagaipihak terkait,
seperti dokter,
polisi,
pengadilan, k.lukruir,
rohaniwan, psikolog, konselor dan pekerja sosial lainnya. Bantuan
itu
dapat
mencakup bantuan
medis, hukum, ekonomi,
atauketerampilan
yang
dapat
menopang kemandirian
ekonomi,pendidikan
untuk
pemberdayaan,serta
bantuanpsikologis
dankonseling
untuk
memberi dukunganmoral (suppirt) agai
dapat bangkit kembali(re-buitding)
serta menghilanglan p..u.'uun yung traumatis._
Dengandemikian,
bantuantidak
dibatasi hanyadari
sisifisik,
akan tetapi harus pula dipertimbangkan kerusakan mental danpsikis yang dialami isteri dan anak-anaknya. Jadi, selain dibutuhkan
obat,
juga
dibutuhkan bantuan ekstradari sisi
psikologis, mental,maupun spiritual, baik dari rohaniwan, psikolog, itaupun konselor.
Khusus konselor, bantuan konseling sangat berguna untuk memberdayakan
(empowering)
mereka
agar -dapat
mengatasimasalahnya,
dan
mampu bangkit kembali dalam
ikatan
rumahtangganya,
ikatan_rumah tangga
yang baru, dan atau
tanpaberumah-tangga
sekalipun,
untuk
melanjutkan kehidupan
masa depannyayang lebih baik. untuk
kasusini,
tampaknya bentukkonseling keluarga
lebih efektif
dibanding konseiing
individual (Davidson&
Siegel, 1985;Noble, l9g9),
di
manap.rin
dinamikakeluarga dapat berguna untuk
klien
dalam mengukuhkancitra diri
positif,
menyusun rencana
masa
depan,
mengembangkanketerampilan cara
mengatasi
masalah,-memperolei
berbagaialternatif pemecahan, dan memperkokoh pilihan
ieputusan
terbaikakibat
dari
kemunculan gejalaperilaku
termasalaholeh
seoranganggota keluarga.
Menurut
Noble
(1991) konseling keluarga
merupakanpendekatan psikoterapeutik
yang
memusatkanpadl
pengubahaninteraksi antara pasan gan, antara keluarga, sistem antar priba'di yang
lain, dengan tujuan meringankan masarah yang timbur
iari
anggotakeluarga secara
individu,
sub-sistem keruarga, maupun keruargaJ.
4.
TUJUAN
Konseling keluarga bertujuan untuk:
l.
Membantu
meredakanreaksi
emosionaldan
menghilangkanperasaan
traumatis
klien dan
keluarganya
akibat
yangditimbulkan dari anggota keluarga;
Meningkatkan fungsi sistem keluarga yang lebih efektif;
Membantu anggota keluarga
memperoleh
kesadaran barutentang pola hubungan yang tidak berfungsi secara harmonis;
Menciptakan cara-cara baru dalam berinteraksi untuk mengatasi
masalah keluarga; dan
6.
Memberi
dukungan emosional kepada
klien
(isteri)
untukbangkit kembali merencanakan masa depannya.
SASARAN
Sasaran konseling
ini
adalah keluargadi
manaterjadi
kekerasandalam
rumah
tangga, khususnyaisteri yang
mengalami
tindak kekerasandari
suami,
mencakup:(1)
kekerasanfisik,
sepertipemukulan, penyiksaan
yang
mengarah pada organalat
kelamin(genital mutilation);
(2)
pemaksaan alat kontrasepsi tertentu yangmengakibatkan kesakitan, seperti sterilisasi (enforced sterilization);
(3) kekerasan ekonomi, seperti ditelantarkan/tidak mendapat nafkah
ekonomi;
dan
(4)
kekerasan
psikologis,
seperti
intimidasi,pendiskreditan, pengusiran, berbicara kasar dan menyakitkan secara
terus menerus, dan lain-lain.
PERMASALAHAN
Permasalahan kekerasan suami terhadap
isteri
sudah merupakanmasalah sosial yang serius sebagaimana masalah kasus narkotika
dan obat-obat terlarang atau masalah sosial lainnya. Permasalahan
kekerasan
terhadap
isteri
telah
merampashak-hak
reproduksiperempuan serta menimbulkan korban-korban yang tersembunyi.
Isteri
yang mengalami tindak kekerasan suami secarafisik
akan mengalami hal-hal seperti patah tulang, cacat seumur hidup,
tergantung pada
jenis
tindakanitu.
Secarapsikologis, isteri
akanmengalami
gangguanemosi
seperti
kecemasan,trauma
psikis,depresi
ringan
sampai berat, perasaan rendahdiri,
atau tindakanagresif
sebagai
cara
pelampiasandendam.
Di
samping
itu,kekerasan terhadap isteri akan melahirkan generasi penerus kepada
anak-anaknya yang biasanya melanjutkan
tradisi
kekerasan dalammembina keluarga kelak.
Data kuantitatif
kasus
kekerasansuami
terhadap
isterisebenarnya hanya merupakan
"puncak
gununges",
karena padakenyataannya, perempuan dan
juga
anak-anaknya yang mengalamipenderitaan hidup akibat kekerasan
ini
sangat banyak. Akan tetapi,mereka
terjebak dalam
mitos-mitosyang
menyesatkan sehinggatidak
seharusnya mereka mengorbankandiri
mereka sedemikianrupa.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka karakteristik klien
yang perlu
mendapat layanankonseling keluarga adalah
isteribeserta anggota keluarganya,
di
mana mengalamihal-hal
seperti:(l)
isteri
yang mengalami tindakan kekerasanfisik
maupun psikisdari
suami,
(2)
klien
yang
telah
mendapat bantuanmedis
daritindakan kekerasan
fisik
untuk mendapatkan pemulihan kesehatanpsikologis,
(3) klien
yang
akan atau sedang menghadapi prosesbantuan hukum,
(4) klien
yang mengalami traumapsikis,
frustasi,cemas,
dan
depresi akibat
mengalami kekerasanfisik
dan/atau psikis.KRITERIA KEBERHASILAN
Untuk
melaksanakan konseling keluarga dalam menangani klienyang
mengalami tindakan
kekerasan,
maka
konselor
harusmemposisikan
diri
sebagai pihak yang tidak menyalahkan tindakankorban
dan tidak
memandang
klien
sebagai
orang
yang"bermasalah", sehingga tidak tercipta suasana
klinis.
Konselor jugaharus bersikap empatik, menjalin
hubungan
yang hangat denganklien
dan
dapat
mengklarifikasi
permasalahanklien.
Kualitashubungan merupakan salah
satu
prasyaratyang
sangat esensialDi
samping memelihara hubungan denganklien,
konselorharus dapat membantu mengeksplorasi masalah dan perasaan klien
secara mendalam,
karena
kemampuan konselor mengeksplorasidan
kemudian
melakukan
klarifikasi
terhadap masalah
klienmerupakan landasan
untuk
merumuskan langkah-langkah strategikonseling berikutnya. Konselor
juga
harus dapat membantu klienuntuk
mengekpresikan
perasaan-perasaannya,sehingga
untukmengakhiri hubungan konseling nanti, konselor bersama klien dapat
merumuskan tujuan, tindakan, evaluasi, dan klien mampu
mengim-plementasikan
rencana tersebut dengan
support
dari
anggotakeluarganya dan juga konselor.
Apabila konselor telah memerankan
diri
secara tepat, makakeberhasilan
konseling
ini
dapatterlihat dari
indikator-indikator klien sebagai berikut:L
Reaksi
emosi
klien
dan
anggotakeluarga
menjadi
normalkembali
(misalnya:
mulai
saling
mempercayai,mulai
salingmenghargai, mulai berkomunikasi secara terbuka).
2.
Fungsi
sistem keluargamulai lebih
harmonis sesuai denganperan harapan
diri
dan masyarakat (misalnya,mulai
bertang-gung jawab sesuai dengan peran harapan
diri
dan masyarakat).3.
Klien
dan anggota keluarga dapat memperoleh kesadaran barubahwa
pola
hubungan selama
ini
tidak
berfungsi
secaraharmonis dan sedang berusaha terus membangun pola hubungan
yang semakin harmonis.
4.
Terciptanya cara-cara baru berinteraksi dalam keluarga untuk mengatasi masalah keluarga5.
Klien
dan anggota keluarga mampu mengatasi masalah (seperti:berupaya menerima kelebihan
dan
kelemahandiri,
berupayaberkomunikasi secara
jujur
dan terbuka
denganorang
lain,mengungkapkan kemarahan secara
jelas, berani
mengambil resiko sebagai sikap pilihannya sendiri.6.
Klien
dan
anggota keluarga mampubangkit kembali
meren-canakan masa depan (seperti:
belajar
dari
kesalahan, dapatberusaha sendiri, mampu menghormati orang lain, bertanggung
jawab, luwes, terbuka, memilih atas dasar fakta, mengusahakan keseimbangan, mendapat kebebasan dan ketergantungan dalam
terpuruk secara terus menerus menyalahkan
diri
sendiri, mulaimerencanakan kehidupan selanj utnya).
STRATEGI KONSELING
Shertzer
&
Stone (1980:20-21) berpendapat,"Counseling
is
aninteraction process that
facilitates
meaningful understanding ofself
and
environment
and
result
in
the
estoblishment
and/orclarification
of
goals
and
valuesfor
future
behavior".
Dalamkonseling
ini,
seorangkonselor
di
samping
dituntut
memiliki
kompetensi
profesional
di
bidang
konseling,juga
harus
dapatmenjauhkan
diri
dari praktek konseling yang bias gender yang tidaksesuai dengan asas equalify menurut norTna-norTna agama, karena
salah satu pesan
moral dari
ajaran agama(Islam)
adalah untukmeletakkan dasar-dasar sosial yang egaliter,
anti
diskriminasi, dananti kekerasan terhadap perempuan.
Adapun contoh praktek konseling
yang bias
genderberdasarkan hasil penelitian Hayati
(2000:
123-124), ada konseloryang menyarankan kepada
klien
korban kekerasan bahwa, "dalamkeadaan
bagaimanapun
isteri
harus selalu
bersabar
dalammenghadapi sang suami, harus
tetap
melayani denganbaik
jika
ingin
mempertahankan perkawinandemi
anak-anak,suatu
saatTuhan akan memberi kesadaran kepada suami ibu setelah ibu tetap
berlaku baik
kepadanya".
Selanjutnya, Hayati (2000:124'125) jugamenemukan konselor yang memberi advis kepada klien korban dari
suami
yang
selingkuh,
"isteri
harus
mau
menerima perubahanseperti itu, karena
laki-laki
wajar mengalami puber kedua pada usiadi atas 40 tahun".
Survey
yang
pernah dilakukan
oleh
APA
(AmericanPsychological Association) juga membenarkan tentang adanya
bias-bias gender dalam proses psikoterapi (Brown, 1983) yaitu:
(1) Terapis
memelihara paradigma
tradisional
terhadap
perandomestik perempuan.
(2)
Klien
perempuantidak
mendapat penghargaan secara moral(3) Terapis
cenderung
memegangteguh konsep
psikoanalisisFreudian
yang
berkaitan denganperan
seksyang
disosiali-sasikan dalam keluarga.(4)
Terapis memposisikanklien
perempuan sebagai objek seksual,sehingga
dalam
batas-batastertentu masih
mengindikasikan melecehkan peran perempuan.Model
konseling
untuk
perempuanyang sentisif
gendersering diistilahkan dengan Counseling of women atau counselingfor
women
(Rao,
1984)
yang
merupakansuatu upaya
metodologisuntuk
mengubah epistemologi konseling
dalam
memahamikompleksitas perrnasalahan yang dialami
oleh
perempuan. Modelkonseling
yang sensitif
genderuntuk
menanganikrisis
rumahtangga (keluarga)
ini
biasanya
mengkolaborasikan beberapapendekatan sekaligus, seperti pendampingan dalam proses hukum,
medis, dan psikososial (Thackeray, 1994).
Oleh
karena banyaknya permintaan bantuandari
korbankekerasan,
maka
pusat-pusatkrisis
harus
menyediakan layananbantuan
yang
terorganisasi secara sistematis. Thackeray (1994) menjelaskanbahwa tugas pusat
krisis
hendaknya memberikanintervensi
krisis
kepada klien, termasuk menghubungi pihak-pihakberwajib.
Intervensi pusat
krisis
harus membantuklien
membangunkembali
hidup
mereka dengan pengukuhan-pengukuhan melaiuikonseling
dan
dukungan emosional (emotional supporr), melaluisetting
individual
maupun dalam setting keluarga.Levine
(Orford,1992) mengklaim bahwa ketika bantuan keluarga sendiri (self
helf
group)
bekerja
denganbaik,
maka setting keluarga akan
lebihmendukung.
Dimensi psikologis
dari
intervensi
psikososialberfokus pada upaya menormalkan reaksi emosi korban, terutama
bagi
korban
post
traumotic
event (Davidson, 1996).
Tanpaintervensi psikologis,
simptom-simptomdepresi
dan
kecemasanakan selalu membayangi dan me4jadi
mimpi
buruk
para korban.Bahkan, Cohen, Roth dan
Kilpatrick
(Davidson, 1996) menyatakanbahwa
risiko
paling
tinggi
adalah keinginan korbanuntuk
bunuhPenelitian Rahman (2002) dapat menjadi acuan konseptual
dalam
konseling
berperspektif
gender,
yaitu
pengembanganparadigma humanistik yang berangkat
dari
pemahaman ontologisyang lebih menusiawi yang menempatkan perempuan dan
laki-laki
dalam
posisi yang
egaliter
berdasarkan paradigmaCarl
Rogerstentang
Client
Centered Therapy. Konselor memberikan kebebasandan
kemerdekaan sepenuhnya kepadaklien
untuk
mengutarakanapa saja yang dikehendaki olehnya.
Selama proses konseling berlangsung, konselor mengambil
peran bukan sebagai
figur
otoritatif yang selalu mengarahkan klien,tetapi
lebih
sebagaimitra
yang mampu mendengarkan secaraaktif
keluh-kesah
klien.
Penerimaan
secara
penuh
dari
konselor(unconditionol
positive regard)
merupakankunci
keberhasilanproses konseling. Sikap penerimaan yang penuh
dari
konselor inimendorong
klien
untuk meneliti
perasaan-perasaantak
sadar itumenjadi
kesadaran.Dalam
hubungan-hubunganterapeutik
yangaman,
perasaan-perasaanyang
selama
ini
mengancam dapatdiasimilasikan
ke
dalam strukturdiri.
Asimilasi
ini
membutuhkanreorganisasi
yang
agak
drastisdalam
konsepdiri
klien
supayasejalan dengan realitas pengalaman organismik.
Klien
akan lebihbersatu dengan
dirinya
sendiri
sebagai organisme
dan
inimerupakan
hakikat
dari
terapi
(Hall
&
Lindsey,
1993). Tujuanutama
dari
pendekatanini
adalah bagaimanakonselor
mampumelihat,
merasakan,dan
mengalami
dunia
klien
sebagaimanadilihat,
dirasakan dan dialami oleh klien. Konselor dapat meyakinibahwa
dirinya
mampu
memasukidunia
klien
dengan membuatkomitmen emosional terhadap
klien,
terutama
melalui
caramenunjukkan
dirinya
sebagai pribadi yangmemiliki
kelebihan dankel emahan (s e lf- di s c I o s ure).
Secara operasional, strategi konseling keluarga untuk klien
yang
mengalami kekerasandari
suami mencakuphal-hal
sebagaiberikut:
a.
Teknik
KonselingMenurut
Mary
(1988)
sertaSmith
dan Steven-Smith(1992),
adabeberapa
teknik
dasar
yang
dapat digunakan
dalam
konselingl.
1
J.
4.
5.
6.
7.
Sequencing,
di
mana dalamteknik
ini,
konselor dapatmenga-jukan
pertanyaan yangberisi
arahan tentang siapa melakukanapa, kapan dan
di
mana. Misalnya, apa yang dilakukan isteri,atau
anak-anak
saat suami
marah-marahatau
menamparisterinya.
Hyphotetic
Questions,yakni teknik
yang digunakan konselordengan mengajukan pertanyaan
untuk
memperoleh jawabanhipotesis. Misalnya, apa yang akan terjadi pada anak-anak
jika
ayah dan ibu sering bertengkar ?
Family
Photos, photo
keluargadalam album
keluarga yangsangat penting dalam menyajikan kekayaan informasi mengenai
situasi masa
lalu
dan
sekarang. Tanggapan-tanggapan verbalmaupun nonverbal terhadap gambar dan
peristiwa
mendekatikenyataan
Dengan
teknik
ini
dapat
memperoleh gambaranmeng€nai anggota keluarga yang penting dan lokasi peristiwa
dari
generasiyang
lalu
dan dapat mendiskusikanhasil
yangdiperoleh
dari
photo tersebut.Melalui
diskusi photo, konselorakan lebih
jelas
melihat bagaimana hubungan keluarga, ritualagam4 struktur, peran, dan pola komunikasi yang terjadi.
Reframing.
Teknik yang
digunakan
konselor
denganmendekripsikan
perilaku
negatif dengan cara
ya
g
berbedasehingga
menjadi perilaku positif. Misalnya,
kecemburuansuami
terhadap
isteri
yang
berlebihan dideskripsikan
olehkonselor
sebagaiwujud
sangatperhatian
dan
cinta
suamiterhadap isterinya.
Tracking.
Teknik yang
digunakan
konselor dengan
caramendengarkan secara intensif cerita keluarga dan secara sermat
,mencatat peristiwa dan urutannya. Melalui
teknik
ini,
konselormampu mengidentifikasi urutan
peristiwa
yangterjadi
dalamsuatu sistem sebagaimana adanya.
Family
Sculpting. Penciptaan gambar diam dari keluarga yangmenyimbolkan hubungan dengan
meminta
anggota keluargamemposisikan
satu
denganlainnya
secarafisik.
Teknik
ini
menghindarkan
pertahanan
diri
secara intelektual
danmenjadikan anggota keluarga dapat mengekspresikan
diri
secaranon verbal.
Unbalancing.
Teknik
yang digunakan konseloruntuk
mendu-kung
individu
atau subsistem dengan mengorbankan orang lain.Teknik
ini
mengubah struktur keluargadan
memperkenalkan8,
Genogram.
Teknik
yang
digunakan
pada
awal
konselingkeluarga
yang
memberikan gambargrafis
sejarah keluarga.Teknik
ini
mengungkapkanstruktur
dan
demografi
dasarkeluarga.
9.
The Empty Chair. Teknik kursi kosong diadopsi oleh konselingkeluarga
dari
konseling Gestalt.Teknik
ini
digunakan dengancara meminta anggota keluarga mengekspresikan perasaan atau
pikiran
kepada anggota keluarga yang dibayangkanduduk
dikursi
kosong, kemudian
ia
memainkanperan orang
yangdibayangkan
duduk
di
kursi
tersebutyang berlanjut
dengandialog
secara bergantian antara perandirinya
dan peran oranglain yang dibayangkan duduk di kursi kosong.
1A. Homewarfr.
Teknik
yang digunakan konselor dengan memintaanggota keluarga melakukan
tindakan atau aktivitas
tertentuyang
menunjang tercapainya
tujuan
konseling
yangdilaksanakan antara pertemuan
konseling
yang
satu
denganpertemuan konseling lainnya.
b. Tahapan Konseling
l.
Tahap Perencanaan KonselingPenting
untuk
merencanakan pertemuanbagi
pertemuan pertamakali
dengan keluargaklien
untuk memperoleh data awal mengenailatar
belakangkeluarga
untuk
bahan-bahanidentifikasi
masalahyang dihadapi
klien.
Pada tahapini,
konselor harus mendoronganggota
keluarga
untuk terlibat
dalam
proses penentuan aturandasar konseling, mencakup:
jadual
pertemuan, durasiwaktu
yangdibutuhkan tiap pertemuan, frekuensi pertemuan, tempat pertemuan,
dan ketentuan yang mengatur jalannya proses konseling.
Pada
tahap
ini
konselor berusaha membangun hubunganbaik dengan anggota keluarga dengan cara menunjukkan perhatian,
penerimaan,
penghargaan,dan
pemahamanempatik,
hangat,terbuka, permisif, dan penuh keakraban. Satu hal yang membedakan
konseling keluarga dengan konseling perorangan adalah dinamika
interaksi sosial yang
dapat
berkembang secaraintensif
dalamkeluarga.
Peranan
konselor
dalam konseling diperkuat
oleh2.Tahap Eksplorasi
Menurut
M.
Sholehudin (1993) konseling pada tahapini
difokuskanuntuk:
(l)
membuka
dan
menjalin
hubungan
konseling,
(2)mengklarifikasi
permasalahanklien,
(3)
menentukan
apakahkonseling
ini
sebaiknya dilanjutkan atautidak, (4)
menstrukturkanhubungan konseling.
Setelah hubungan terbina dengan semua anggota keluarga,
konselor mau dan mampu mendengarkan dengan
aktif
dan cermatterhadap masalah
yang
dikemukakanklien dan
mengumpulkan informasi dari seluruh anggota keluarga.Konselor hendaknya
jeli
dalam mendengarkan pengalaman)keluhan,
kesedihan anggota,dan
dapat
memanfaatkanpeluang-peluang untuk mengidentifikasi beberapa masalah yang muncul dari
para anggota, sehingga dapat mendeskripsi
awal
kasus kekerasanrumah tangga
yang
dialami
secara
lebih
akurat.
Dalammengupayakan keberhasilan tahap
ini,
konselor
dapat membukapembicaraan dengan
sikap
responsifdan rileks,
penuh
empati,penerimaan, penghargaan,
serta penuh perhatian
kepada klien.Menurut
M.Sholehudin
(1993)
teknik
mendengarkan, refleksi,leading,
paraphrasing,
danprobing
dapat digunakan pada tahapeksplorasi ini.
Pada tahap
ini
perasaanklien
seringkaliragu,
samar, dankompleks.
Di
satusisi ia
ingin
mendapat bantuandari
konselor,tetapi
di
sisi lain ia
masih ragu terhadap- konselor, terutama kasuskekerasan
rumah tangga
yang
selamaini
menurut
persepsinyahanya
merupakan masalahpribadi
yang
bersangkutan, sehinggatidak
etis untuk
berbagi kepada konselor yang baru pertama kalidikenalnya.
Beberapa
hal
yang
perlu
menjadi
kewaspadaan konselorpada tahap
ini
adalah:(l)
kadang-kadangklien
merasa lebih baik,sehingga merasa
permasalahannya terpecahkan,padahal
yangterjadi
baru
sebatasperedaan
perasaanyang belum
terlihatperubahan mendasar dalam wawasannya,
(2)
kadang-kadang klienkehilangan
semangat (discoragemenet),sehingga
ingin
segeraKonselor dapat meminta
klien dan
anggota
keluargamengemukakan respon terhadap layanan konseling dan kemudian
membahasnya bersama. Untuk
itu,
konselor dapat menggali secaradetail permasalahan-permasalahan dan
motif-motif
yang mendasariperilaku dan persepsi
klien,
serta menawarkan kepadaklien
suatupandangan
yang
berbeda
dari
yang
mereka
miliki,
sehinggamerangsang mereka untuk mempertimbangkan kembali posisi dan
pandangan-pandangannya. Teknik yang dapat digunakan pada tahap
ini
menurutM
Sholehuddin (1993) adalahprobing,
konfrontating,ilustrasi, interpretasi, pemberian informasi, dan lain-lain.
Melalui
konseling
tahap
ini,
diharapkan
klien
menjadipercaya
dan
terbuka kepada konselor. Konselor
diharapkanmemiliki
pengetahuantentang posisi
dan
peranannya dalamhubungan konseling, serta ada kesiapan
klien
untuk bekerja samadengan konselor
dan
anggota keluarga. Konselorperlu memiliki
kejelasan tentang alasan-alasan klien perlu mendapat bantuan.
3. Tahap
Klarifikasi
Pada
tahap
ini,
kegiatan
diharapkandapat
menghasilkan:
(1)deskripsi
awal
kasus,
(2)
ide-ide
rincian
permasalahan,kemungkinan sebab
dan
kemungkinan akibatnya,(3)
upaya danhasil
penjelajahanlebih
lanjut terhadap setiap permasalahan yangterkandung
pada
kasusyang
dimaksud,(4)
upaya
penanganansecara khusus terhadap permasalahan pokok yang menjadi sumber
permasalahan
pada
umumnya.Untuk
keperluan tersebut, proseskonseling dapat ditempuh selain melalui wawancara,
juga
dengananalisis anecdotal
report,
casehistory,
cummulativerecord,
oto-biography, atau dengan case-conference
(
Prayitno&
ErmanAmti,
1999:78).
Konselor dapat
melakukanklarifikasi
sehingga masalahlebih fokus dan spesifik
dengancara
mengajukanpertanyaan-pertanyaan
yang
berguna.
Misalnya:
Apakah seperti
itumasalahnya? Seberapa sering masalah
itu
muncul? Kapan
?
Di
mana? Siapa yang mereaksi masalah itu? Dengan cara apa ? Apa
yang
terjadi
sebelum muncul masalah?Apa
yang akanterjadijika
masalah
itu
tidak terpecahkan? Apa yang akanterjadijika
masalah4. Tahap Interaksi
Setiap anggota keluarga
mendapat kesempatanuntuk
menge-mukakan masalah dan menanggapi masalah
klien
dan anggota lainsecara
bergiliran, meski
pandangannyamasih menurut
versimasing-masing.
Saat ada
perbedaanmencolok
antara
anggotakeluarga,
maka
konseling
memasukitahap
interaksi,
di
manakonselor dapat mengamati bagaimana
pola
interaksi yang terjadidalam
keluarga.Konselor dapat
mendorongmereka
membahasperbedaan-perbedaan tersebut
dan
mencobamenarik
titik
temutentang masalah
yang
dihadapi.Interaksi
ini
menjadi
informasiyang berharga untuk memahami masalah yang sebenarnya dialami
keluarga.
Berdasarkaninformasi
ini,
konselor
mengembangkanintervensi
yang
akan
menghasilkan perubahan bermanfaat bagi keluarga dan angggota keluarga.5. Tahap Penetapan Tujuan
Pada tahap
ini
konselor menetapkan kesepakatan dengan anggotakeluarga tentang masalah yang akan dipecahkan dan memprakarsai
proses yang akan mengubah situasi sosial sedemikian rupa. Masalah
yang akan dipecahkan hendaknya secara spesifik dinyatakan dalam
bentuk
tujuan
yang akan dicapai, sehingga dapat diketahui targetwaktu dan indikator
keberhasilan pemecahan masalah, sepanjangkonselor meyakini klien dapat berhasil mengatasi masalah tersebut.
Aktivitas
utama
yang
dilakukan konselor
bersama klienadalah berkisar pada perumusan tujuan yang
ingin
dicapaidi
masadepan, misalnya akan mencoba memperbaiki pola komunikasi baru
dengan
suami dan
menjauhkandiri
dari
komunikasi yang
akanmemicu emosi
dan tindak
kekerasansuami, akan
membangunkehidupan rumahtangga
yang baru, atau akan
berpisah dengansuami
dan hidup
mandiri
untuk
membesarkan
anak-anak.Perumusan
tujuan
ini
merupakan kerangka acuanuntuk
melihatsejauhmana
klien
berhasil mencapai perubahanyang
diinginkan,perencanaan tindakan, evaluasi dan meninjau kembali sejauhmana
klien
mampu mengimplementasikan rencana-rencana tindakannyaSetelah tercapai kesepakatan tentang masalah
dan
tujuanyang
ingin
dicapai, konselor dapat memberi pekerjaan rumah yangberkaitan dengan
masalahtersebut
dan
juga
dapat
mengatasiperubahan struktural dan urutan yang menyebabkannnya.
6.Tahap
Akhir
KonselingKonselor meminta respon ulang berkaitan dengan proses kegiatan
konseling yang telah berlangsung, dan kemudian menyusun rencana
program berdasarkan
(l)
spesifikasi permasalahan,(2)
hasil kajianteoretik dan studi empirik,
(3)
analisis
terhadap kemungkinanperanan pihak-pihak terkait, serta (4) faktor-faktor operasional.
Secara
lebih
khusus
tujuan
pada
tahap
ini
untuk:
(l)
menentukan perubahan yang tepat,
(2)
mentransferhal-hal
yangdiperoleh
dalam
konseling
ke
dalam
kehidupannyata
di
luarkonseling,
(3)
mengimplementasikanperubahan
berdasarkanperencanaan
dan
pengambilan
tindakan
secara
kongkrit,
(4) mengakhiri hubungan konseling.c. Evaluasi dan
Tindak Lanjut
Kegiatan konseling keluarga
ini
dapat ditawarkan untuk 5-7
sesi pertemuan yang diselenggarakan seminggu sekali,masing-masing pertemuan membutuhkan waktu
90
menit, atau tergantungkesepakatan konselor dengan
klien.
Dalam sesi terakhir, konselordapat
melakukan evaluasi
terhadapteknik
konseling
maupunmengevaluasi berdasarkan indikator keberhasilan yang ditunjukkan
klien
berdasarkan
pengamatanterhadap
perubahan
perilaku,maupun
berdasarkan penuturan
klien
dan
anggota
keluargamengenai perubahan perasaan, perilaku, pemahaman
diri
terhadappermasalahaffrya
sendiri
dan
rencanamasa depan
yang
telah disusunnya setelah mendapat tanggapan dari anggota keluarga.Konselor dapat
memfasilitasi
untuk
menyusun
rencanatindak
lanjut
yang
dibutuhkan anggota keluarga,
misalnyaCONTOH
KASUSSebut saja,
Ibu
Sisi (36 tahun) adalah seorang bidan yang bertugasdi
satu RSUD sebuah kotakecil. Ia
menjalankan tugasnya denganulet,
di
samping seorang isteri setia. Hubungandia
dengan suami(43 tahun) yang menjadi guru PNS
di
sebuah Sekolah PendidikanGuru
Negeri
(SPGN)
di
kota
yang
sama,cukup
harmonis dantampak bahagia dengan
dikaruniai
dua orangputeri, yaitu
lta
(8tahun)
dan
Sinta(4
rahun), dan hasil pemikahan mereka selamasepuluh tahun berlalu.
Pada
suatu ketika,
penghapusanSPG menjadi
SMA,mendorong
suami
Ibu
Sisi untuk
melanjutkanstudi
52
denganmaksud agar dapat mutasi menjadi dosen
UT
sebagimanateman-temannya,
dan
kebetulan
ia
studi
52
di
luar
kota,
di
manapertemuan suami
isteri
tersebutpaling
cepatdua minggu
sekali,meski pada awalnya tanpa masalah yang berarti.
Awal
malapetaka,ketika
setahun berselang,Ibu
Sisi
mengalami pendarahan yangselama
5
bulan, berat badan terus menurun, meskipun masih tetapdapat bertugas. Berbagai obat sudah
diminum
dania
menyangkapendarahan
hanya
sebagaiefek
dari alat
kontrasepsiyang
iagunakan, kelelahan
bekerja,
dein stres.Akan
tetapi
alangkahterkejut,
sedih,dan
marahketika hasil
pemeriksaan menyatakanbahwa ia positif
HIV.
Singkat cerita, begitu suaminya datang,
Ibu Sisi
langsungmenanyakan bagaimana
perilaku
suaminyadi
luar kota,
temyatasuami berang dan langsung seketika itu tamparan melayang sambil
membenturkan kepala
isterinya
ke
tembok
sehinggaia
pingsan.Begitu
Ibu
Sisi siuman, suaminya sudah pergi dan hanyamening-galkan
sepucuk
surat yang
tergeletak didekatnya,
menyatakanbahwa
ia
mengakui perbuatannya sering'Jajan"
dan
bermaksuduntuk menikahi perempuan simpanannya itu
di
luar kota.Dengan tertatih
Ibu
Sisi minta bantuan tetangga berobat kedokter karena benturan
di
kepala dan penyakitHIV-nya.
Kini
iasedang mengalami depresi berat, akibat penderitaan
fisik,
ekonomi,mental dan
psikis,
dan sudah hampir satu tahunia
meninggalkantugas
PNS.
Ibu
Sisi dan
anak-anak sekarangtinggal
bersamaenam tahun yang lalu meninggal. Advokasi untuk korban kekerasan
suami
ini
membutuhkan bantuanhukum, medis, ekonomi,
danpsikologis,
di
mana hampir duatahun
ini
masalahnya belum dapat terselesaikan.REFERENSI
Andersen, Margaret
L.
(1983). Women: Sociological and FeministPerspectives. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.
Black, Donald. (1976). The Behavior of Law. New
York:
AcademicPress.
Bogard,
K & Yllo,
K.
(1988). Feminist Perspectiveson
Wife Abuse.London: Sage Publication.
Brown, JA.
&
Pate, JR, RH. (1983). Being a Counselor: Directionsand
Challenges.
California:
Brooks-Cole
PublishingCompany.
Buzawa, Eve S.
&
Carl G. Buzawa (1996). Domestic Violence: TheCriminal Justice Response. California: Sage.
Campbell,
J.
(1992). "Wife-battering:
Cultural
Contexts VersusWestern
Social
Sciences".
dalam Counts,
Brown
&
Campbell. Sanctions and Sanctuary:
Cultural
Perspectiveson the Beating
of
Wives. Boulder: Westview Press.Corey,
G.
(1991).
Theory
and
Practice
of
Group
Counseling.California: Brooks/ Cole Publishing Company.
Davison,
J.A.
&
Pate,
Jr.
R.H.
(1983). Being
a
Counselor:Directions
and
Challenges.California:
Brooks
ColePublishing Company.
Davidson, N.P
&
Siegel, L.J. (1985)."Family
Counseling". DalamHusen,
T.
&
Potletrvhite,T.N.
(Eds.).
The InternationalEncyclopedia of Education: Research and Studies,
p.
1827-1831. Oxford: Pergamon Press.
Division
for
the
Advancementof
Women
Centre
for
SocialDevelopment and Humanitarian
Affairs.
(1992). "ViolenceAgainst
Women".
Women
2000. Austria:
ViennaIntemational Centre.
FISIP UNSOED. (2002). Jurnal Sosiologi: Interalcsi
Foley,
V.
D.
(1989).
Dalam Corsini,
R.J.&
Wedding,
D.Contemporary
Psychotherapies:Models
and
Methods,Gazda,
G.M.
(1989). Group
Counseling:
A
DevelopmentallyApproach. Boston:
Allyn
&
Bacon.Gladding, S.T. (1994). Effective
Group
Counseling.ERIC
Digest 362822.Hall,
Calvin,
S.&
Lindsey, Gardner. (1993).Teorileori
Holistik:
O r gan i s mi k Fe no m e no logrs. Yo gyakarta: Kan i si u s.
Hansen,
J.C,
Warner,
R.W
&
Smith,
E.J.
(1980).
GroupCounseling: Theory and Process. Chicago: Rand
McNally
College Publishing Company.
Hayati.
(2000). Panduan Untuk Pendamping Perempuan KorbanKekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Heise,
L,
Pitanguy,J
&
Bermain,A.
(1994)."Violence
AgainstWomen:
The
Hidden Health Burden".
Poper. WashingtonDC: World Bank.
Lindsey,
Linda,
L.
(1994). Gender Roles:
A
SociologicalP er spe ct iv es. New Jersey : Prentice Hall-Englewood C
liffs.
Mansur Faqih.
(1999).Analisis
Gender&
Transformasi Sosial.Yo gyakarta: Pustaka Pelaj ar.
Mary,
A.
(1988). CounselingFamiliesfrom
a Systemrs Perspective.ERIC/CAPS Di gest.ED 30463 4.
Noble,
F. C.
(1991). "Counseling Couples andFamilies".
DalamCapuzzi,
D. &
Gross,
D.R
(Eds.). Introduction
toCounseling: Perspective
for
the
1990s.Boston:
Allyn
&
Bacon.
Peterman,
LM
&
Dixon, C.G. (2003)."Domestic Violence BetweenSame-Sex Partner: Implications
for
Counseling'l. Journalof
Counseling
&
Development.Yol.8l.
Prayitno
&
Erman
Amti.
(1999).
Dasar-dasarBimbingan
don Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.Rao, S. Narayana. (1984). Counseling Psycholog,t New Delhi: Tata
McGraw
Hill
Publishing.Reid,
SueTitus.
(1985). Crime and Criminolog,,.Edisi IV.
NewYork:
CBS College.Roger Langley
&
Richard C. Levy. (1987).Alih
BahasaM.
Mosasi.Memukul Isteri. Jakarta: Cakrawala Cinta.
Saadawi,
El,
Nawal. (2001).
The
Hidden Face
of
Eve.
(A.b.Zulh i I m iyasri). Yogyakarta : Pustaka Pel aj ar,
Schneider, E. (1994)-.:lThe Violence
of
Privacy" dalam Fineman&
Mykitiuk.
The
Public Nature
of
Private
Violence:
TheSciortino, Rosalia: (1999). Menuju Kesehatan Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shertzer,
B.
&
Stone,S.C. (1981).
Fundamentalsof
Guidance.Boston: Houghton
Mifflin
Company.Solehuddin,
M.
(1993)."ProsesKonseling".
Makalah. PPB
FIPIKIP
Bandung: Workshop dalam Dies Natalis ke 28 tanggal25-26 Juni 1993.
Smith,
R.L
&
Stevens-Smith,P.
(1992).
Basic
Techniques inMarriage
and
Family
Counseling
and
Therapy.
ERICDigest.
ED350526.
http://www.ericdigest.orgllgg2-l/basic.htmThackeray,
Milton, G.
(1994).Introduction
to
Social
ll/orlc
New
Jersey: Prentice
Hall
International, Inc.Tiezen
C.
(1991).
'oFeministPractice
and Family
Violence".Feminist
Social
Work Practicein
Clinical
Settings. SourceBooks for Human Service Series. Newbury Park: Sage.
Toeti
Fleraty Noerhadi
&. Aida
Vitalaya
S.
Hubeis.
(1990).Dinamika
Wanita Indonesia.
Seri
0l
Multidimensional.Jakarta: Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita.
Walklate,
Sandra.(1989). Victimologt: The
Victimand Criminal