• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Menghada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Menghada"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Menghadapi Perubahan Sosial

Dr. R. Cecep Eka Permana (Universitas Indonesia)

Abstrak

Masyarakat Baduy saat ini masih hidup sederhana di daerah Pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Masyarakat Baduy juga pada umumnya masih terikat pada pikukuh (aturan adat). Pikukuh tersebut antara lain menyatakan lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Implikasi dari pikukuh itu adalah masyarakat Baduy menerima apa adanya atau tidak mengubah ketentuan yang sudah ada dari karuhun (luluhur/nenek moyang), termasuk didalamnya adalah tidak menerima barang moderen atau buatan pabrik. Insan Baduy yang melanggar pikukuh akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi).

Hingga saat ini, pikukuh relatif bertahan pada masyarakat Baduy Dalam (tangtu), namun kecenderungan melonggar pada masyarakat Baduy Luar (panamping). Makalah ini akan mengkaji pergulatan bathin masyarakat Baduy antara menjaga kemurnian pikukuh dan mengikuti perkembangan zaman. Kajian tersebut akan didasari pada kearifan atau pengetahuan lokal Baduy dalam menghadapi perubahan sosial masyarakat pada era modernisasi dan globalisasi sekarang ini.

Kata Kunci: Kearifan Lokal, Masyarakat Baduy, Perubahan Sosial

1. Pembuka

Masyarakat Baduy merupakan salah satu sukubangsa di Indonesia yang masih menjalani kehidupan secara bersahaja. Kesahajaan masyaraat ini antara lain ditunjukkan dengan rumah-rumah yang bentuknya hampir sama dari bahan kayu, bambu, rumbia dan ijuk; pakaian adat dengan bahan sederhana berwarna putih dan hitam; hidup dari matapencaharian perladangan berpindah; dan menjalankan tata kehidupan berdasarkan kepercayaan Sunda Wiwitan.

Masyarakat Baduy terletak di wilayah Jawa bagian Barat, pada daerah yang merupakan bagian dari pegunungan Kendeng (900 meter dari permukaan laut). Secara geografis, lokasi masyarakat Baduy ini terletak pada 6o 27'27" - 6°30' Lintang Utara (LU) dan 108o 3' 9" - 106o 4' 55" Bujur Timur (BT) (Iskandar, 1992: 21). Secara administratif, wilayah

(2)

Baduy sekarang termasuk dalam Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, dengan luas 5.101,85 hektar. Sebagai suatu desa, Baduy atau Kanekes terdiri atas beberapa kampung yang terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Baduy Tangtu (Baduy Dalam) dan Baduy Panamping (Baduy Luar). Hingga sekarang masyarakat Baduy masih menyimpan berbagai kearifan lokal sebagai senjata dan sekaligus benteng menghadapi perubahan sosial-budaya.

2. Gambaran Ringkas Masyarakat Baduy

Sebutan Orang Baduy atau Urang Baduy awalnya bukanlah berasal dari mereka sendiri. Istilah Baduy diberikan oleh orang-orang di luar wilayah Baduy, dan kemudian digunakan oleh laporan-laporan etnografi pertama susunan orang-orang Belanda. Dalam laporan orang Belanda tersebut, masyarakat itu disebut dengan badoe'i, badoei, dan badoewi (Hoevell 1845, Jacob dan Meijer 1891, Pleyte 1909), sehingga sebutan "Baduy" lebih dikenal. Bahkan, pada tahun 1980, ketika Kartu Tanda Penduduk (KTP) diperkenalkan di daerah itu hampir semua penduduk tidak menolak sebutan Orang Baduy. Namun sesungguhnya, sebutan diri yang biasa mereka gunakan adalah Urang Kanekes. Mereka biasa pula dengan menyebut asal dan wilayah kampung mereka, seperti Urang Cibeo (nama salah satu kampung), Urang Tangtu, dan Urang Panamping (Garna, 1993a: 120).

Istilah Baduy ini juga muncul dari nama sebuah bukit bernama Gunung Baduy, dan di dekatnya mengalir sungai kecil bernama Cibaduy. Menurut beberapa pendapat, sebenarnya hanya penduduk di daerah inilah yang disebut Urang Baduy. Karena daerah Baduy merupakan pintu gerbang masuk ke daerah ini, dan penduduk daerah ini sering bepergian ke luar dan bergaul dengan penduduk di sekitarnya, maka orang luar mengenal sebutan

Urang Baduy untuk masyarakat yang lebih luas lagi (Danasasmita dan Djatisunda, 1986:1).

Secara umum, masyarakat Baduy terbagi menjadi tiga lapisan masyarakat, yaitu tangtu,

panamping, dan dangka. Tangtu dan panamping berada pada wilayah desa Kanekes,

(3)

Pada masyarakat Baduy ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Desa Kanekes ini dipimpin oleh kepala desa yang disebut Jaro Pamarentah (dahulu disebut Jaro Warega, lalu pada jaman kolonial disebut Jaro Gubernemen). Seperti kepala desa atau lurah di desa lain, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa bila kepala desa lainnya dipilih oleh warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan sebagai kepala desa.

Secara tradisional pemerintahan pada masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut

kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini ada tiga

orang, masing-masing puun Cikeusik, puun Cibeo, dan puun Cikartawana. Dalam menjalankan tugasnya Puun dibantu oleh sejumlah “pejabat” kapuunan, seperti Girang

Seurat (Pembantu utama puun atau pemangku adat); Baresan (petugas keamanan kampung);

Jaro (pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan); Palawari (petugas upacara adat);

Tangkesan (dukun kepala dan sebagai 'atasan' dari semua dukun).

Mata pencaharian masyarakat Baduy berfokus pada berladang dengan menanam padi. Padi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari dunia mereka yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi. Padi harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan

karuhun (leluhur). Padi hanya boleh ditanam di lahan ladang kering tanpa pengairan yang

disebut huma untuk keperluan upacara adat dan sehari-hari. Bahkan sebagian besar upacara Lokasi Masyarakat Baduy (peta kiri)

(4)

keagamaan orang Baduy tidak terlepas dari hubungannya dengan padi dan perladangan ini. Sistem kalender atau penanggalan orang Baduy pun berkaitan sangat erat dengan tata urutan kegiatan perladangan mereka.

3. Pikukuh Baduy

Pada dasarnya kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang. Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Obyek pemujaan ini pada dasarnya merupakan sisa kompleks peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan sejumlah menhir dan arca di atasnya. Inilah yang dianggap oleh orang Baduy sebagai tempat berkumpulnya para karuhun (Permana, 2006).

Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Menurut ajaran agama ini, kekuasaan tertinggi berada pada Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki), Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa), atau Batara Tunggal (Yang Mahaesa). Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada

pikukuh (ketentuan adat) agar supaya orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan

kehidupan Baduy dan luar Baduy. Menurut keyakinan mereka, masyarakat Baduy berasal dari hierarki tua, sedangkan di luar Baduy merupakan keturunan yang lebih muda.

Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah seperti tertuang dalam ungkapan sebagai berikut:

gunung teu meunang dilebur lebak teu meunang diruksak larangan teu meunang dirempak buyut teu meunang dirobah lojor teu meunang dipotong pondok teu meunang disambungan nu lain kudu dilainkeun

nu ulah kudu diulahkeun nu enya kudu dienyakeun

Artinya:

(5)

yang bukan harus ditiadakan yang lain harus dipandang lain yang benar harus dibenarkan

(Garna, 1988:53-54, 1993a:139)

Dengan demikian pikukuh mengatur tentang menjaga dan melestarikan lingkungan alam, adat, dan perilaku pantas manusia. Ketentuan yang mengatur tentang menjaga dan melestarikan lingkungan alam ditunjukkan dengan ungkapan ”gunung teu meunang dilebu,

lebak teu meunang diruksak”. Ketentuan yang mengatur tentang menjaga dan melestarikan

adat ditunjukkan dengan ungkapan ”larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang

dirobah, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung”. Sementara itu,

ungkapan lainnya berkaitan dengan menjaga dan melestarikan perilaku pantas manusia.

4. Perubahan Sosial-Budaya Masyarakat Baduy

a. Perubahan Sosial-Budaya dalam Kepercayaan

Gambaran perubahan sosial-budaya masyarakat Baduy berkaitan dengan kepercayaan dapat dilihat dari kisah asal-usulnya. Dikisahkan bahwa Batara Tunggal atau Nu Ngersakeun menciptakan tujuh batara, masing-masing Batara Cikal, Batara Patanjala, Batara Wisawara, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa. Secara umum terlihat bahwa para batara dalam pantheon Baduy ini merupakan para dewa Hindu. Hal ini jelas diketahui dari penggunaan istilah 'batara' dan nama-nama batara tersebut seperti Batara Tunggal, Wisawara (mungkin sama dengan Iswara atau Syiwa), Wisnu, Brahma, dan Mahadewa (nama lain untuk Syiwa). Agaknya hanya nama Cikal yang mengandung unsur 'asli' dari Baduy. Sementara nama Niskala dan Patanjala walaupun mengandung unsur Hindu, tetapi sering dijumpai dalam tokoh-tokoh Sunda dan bukan termasuk dalam pantheon Hindu.

(6)

'patanjala' dapat berarti 'air hujan' (pata=jatuh, jala=air) yang sangat dibutuhkan dalam pertanian. Dalam cerita yang tergolong sakral yaitu lakon Lutung Kasarung versi pantun Baduy, tokoh Guru Minda disebut dengan Guru Minda Patanjala. Isi lakon ini berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Saya menduga bahwa pengangkatan dan penggunaan nama Patanjala dalam pantheon Baduy ini karena besarnya pengaruh dan perannya dalam sistem pertanian (ladang) yang merupakan fokus utama kehidupan masyarakat Baduy.

Pengangkatan dan penggunaan nama-nama Hindu dalam pantheon Baduy, saya kira sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Seperti diketahui dalam sejarah nusantara pada umumnya dan Jawa Barat khususnya termasuk daerah yang sejak awal didatangi dan dipengaruhi oleh unsur Hindu; mulai dari Tarumanagara (abad 4-5 M) hingga Pajajaran (abad 15-16). Rentang waktu yang sangat lama tersebut (kira-kira 1000 tahun) unsur-unsur hinduisme tersebut sangat mungkin berpengaruh dan merasuk dalam kehidupan. Pusat-pusat pemujaan asli seperti kompleks megalitik 'ditundukkan' dan dihindukan dengan bukti prasasti. Pusat-pusat pemujaan tersebut misalnya di kompleks megalitik Ciamis dengan prasasti kawalinya, di kompleks megalitik Ciampea (Bogor) dengan prasasti Ciareuteum, Kebon Kopi dan Muara Cianteunya. Namun hal seperti itu rupanya tidak terjadi di wilayah Baduy dan sekitarnya yang juga memiliki kompleks megalitik seperti Arca Domas, Kosala, Pangguyangan, Tugu Gede, Salak Datar, dan Lebak Sibedug. Di daerah Baduy ini agaknya unsur-unsur hindu yang masuk dapat disaring, diseleksi dan disesuaikan dengan inti kepercayaan dan kebutuhan setempat. Di samping itu, faktor lokasi yang terpencil dan medan yang sulit juga mendukung sulitnya atau kurangnya unsur-unsur asing yang masuk.

(7)

Ketika masuknya agama Islam sejak abad 16 M yang berpusat di Banten, masyarakat Baduy pun merasakan rembesannya sehingga pantheonnya memasukkan unsur-unsur Islam. Seperti Batara Cikal (tertua) disamakan dengan Nabi Adam sebagai penurun orang Baduy, dan Batara Tujuh (termuda) disamakan dengan Nabi Muhammad sebagai penurun orang di luar Baduy. Selain itu, dalam tradisi lisannya dikatakan:

"Dahulu, umat Nabi Adam (Baduy) melakukan puasa selam sebulan, dan umat Nabi Muhammad (luar Baduy) selama tiga bulan. Tetapi suatu ketika Nabi Muhammad minta tukaran waktu puasa dengan kakaknya (Nabi Adam), karena umat Nabi Adam lebih kuat dan lebih tabah. Nabi Adam memenuhi permintaan tersebut. Maka mulai saat itu, umat Nabi Muhammad hanya berpuasa selama sebulan (bulan Ramadhan), dan umat Nabi Adam berpuasa selama tiga bulan (bulan Kawalu)"

Adanya unsur Hindu dan Islam juga diperoleh gambaran dari laporan C.L. Blume ketika melakukan ekspedisi botani ke daerah tersebut pada tahun 1822. Ia menulis:

"...dipangkuan sebuah rangkaian pegunungan, yang menjulang tinggi di Kerajaan Bantam di Jawa Barat... kami mendapatkan beberapa kampung pribumi, yang dengan sengaja bersembunyi dari penglihatan orang-orang luar... Di sebelah barat dan di selatan gunung ini... yang tidak dimasuki oleh ekspedisi Hasanudin... dalam kegelapan hutan yang lebat, mereka masih dapat memuja para dewa mereka selama berabad-abad..."

Menurut Blume, komunitas Baduy ini berasal Kerajaan Sunda Kuno, yaitu Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad ke-17, menyusul bergeloranya ajaran Islam dari Kerajaan Banten (Garna, 1993b:144).

Menurut cerita rakyat di daerah Banten diriwayatkan bahwa dalam suatu pertempuran, Kerajaan Pajajaran tidak dapat membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan Pajajaran saat itu yang bernama Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi) beserta punggawa yang setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan masuk ke dalam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat pemukiman di sana (Djuwisno, 1986:1-2).

(8)

mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b:146). Masyarakat Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian Kerajaan Pajajaran. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5) orang Baduy adalah penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan yang suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur), bukan agama Hindu atau Budha. Kabuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

Menurut saya, adanya penyebutan nama dan unsur asli setempat merupakan kearifan lokal masyarakat Baduy dalam upaya menjaga eksistensi dan sekaligus sebagai suatu adaptasi sistem kepercayaan mereka terhadap perubahan sosial-budaya. Di samping itu, juga bertujuan untuk menyatakan bahwa mereka sebenarnya tidak lebih rendah dari yang lain. Bahkan, hingga sekarang pun ketika agama Islam telah dianut hampir semua warga di sekitar wilayah Baduy, masyarakat Baduy masih tetap bertahan dengan agama Sunda Wiwitannya.

b. Perubahan Sosial-Budaya dalam Perladangan

Masyarakat Baduy merupakan peladang murni, karena berladang merupakan tumpuan pokok mata pencaharian mereka. Sistem perladangan yang mereka kenal berupa perladangan berpindah- pindah. Lahan ladang Baduy dalam bahasa setempat disebut huma. Bekas huma yang masih baru disebut jami, sedangkan bekas huma yang sudah lama ditelantarkan sehingga telah menjadi semak belukar disebut reuma.

Menurut tradisi masyarakat Baduy, berdasarkan fungsinya, dikenal lima macam huma. Pertama, huma serang, yaitu huma adat kepunyaan bersama dan hanya ada di Baduy Dalam (tangtu) yaitu di Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Kedua, huma puun adalah ladang kepunyaan puun dan juga hanya terdapat di daerah Baduy Dalam (tangtu). Ketiga, huma

tangtu disediakan untuk keperluan penduduk tangtu. Keempat, huma tuladan untuk

keperluan upacara (seperti huma serang) di daerah panamping. Sedangkan, Kelima, huma

panamping untuk keperluan penduduk panamping.

(9)

narawas (pemilih ladang), nyacar (menebas/menebang hutan), nukuh (membakar hasil

tebangan), ngaseuk (menanam padi), ngored (membersihkan hama padi), dan ngunjal (panen). Namun, dalam makalah ini saya hanya akan membicarakan tentang narawas, karena lebih banyak terlihat gambaran perubahan sosial-budayanya.

Kata 'narawas' berasal dari kata kerja tarawas yang berarti rintis, sehingga narawas berarti merintis. Kegiatan ini berupa mencari atau memilih lahan untuk dijadikan huma.

Narawas ini dilakukan setelah terlihat munculnya bentang kidang (bintang waluku) pada

bulan pertama Orang Baduy, yaitu bulan Kapat (biasanya dimulai pada tanggal 18). Lahan yang biasa dijadikan ladang baru itu berupa reuma atau hutan sekunder yang telah diberakan cukup lama yaitu rata-rata lebih dari 3 tahun. Lahan itu telah mengalami suksesi alami dari bekas huma. Selain tumbuh-tumbuhan liar atau semak belukar, biasanya pada lahan ini masih dijumpai sejumlah tanaman yang ditanam ketika lahan tersebut belum diberakan.

Ada empat indikator yang merupakan kearifan lokal masyarakat Baduy dalam memilih lahan huma. Keempat indikator tersebut adalah jenis tanah, kandungan humus, jenis tumbuhan dan kemiringan lereng. Indikator pertama, yaitu jenis tanah, dapat dilihat berdasarkan paling sedikit tiga hal, yaitu warna, kandungan air dan udara, serta kandungan batu. Berdasarkan warnanya dikenal taneuh hideung (tanah hitam), taneuh bodas (tanah putih), dan taneuh beureum (tanah merah). Tanah hitam merupakan prioritas karena pada tanah tersebut banyak mengandung surubuk (humus), sedangkan tanah yang lain kurang atau tidak subur. Berdasarkan kandungan air dan udaranya dikenal taneuh liket (tanah lengket) dan taneuh bear (tanah gembur). Untuk memperoleh lahan huma yang baik, maka sebaiknya dipilih taneuh bear karena pada tanah ini selain terdapat air, tanah ini juga longgar dan terdapat banyak udara sehingga akar tanaman bisa bebas bergerak dan bernapas. Sementara itu, berdasarkan kandungan batunya, lahan yang baik adalah taneuh teu aya

batuna (tanah yang tidak ada batunya) dan jangan memilih taneuh karang (tanah yang

banyak terdapat batu).

(10)

permukaan tanah. Kedua unsur ini sangat penting bagi Orang Baduy sebagai pupuk organik, mengingat mereka buyut (tabu) menggunakan pupuk, baik pupuk kandang maupun pupuk kimia.

Indikator ketiga, yaitu jenis tanaman, dengan melihat berbagai jenis tanaman yang tumbuh pada lahan tersebut. Lahan yang diperkirakan subur apabila banyak ditemukan tumbuhan seperti babakoan, bintinu dan kiseureuh. Sementara itu, lahan yang diperkirakan kurang subur biasanya ditumbuhi tanaman seuhang, peuris, dan reungkang. Dan indikator keempat, yaitu kemiringan lereng, dapat dibedakan menjadi lahan gedeng (lahan yang miring atau curam) dan lahan cepak (lahan di tempat datar). Pada dasarnya lahan huma yang baik adalah lahan cepak, namun karena bentukan permukaan lahan di wilayah Baduy jarang sekali ditemukan tanah yang datar, maka umumnya huma ditemukan pada lahan

gedeng. Untuk menjaga agar humus tanah tidak terbawa air hujan, maka pada lereng

tersebut biasanya dibuat teras-teras penahan yang terbuat dari potongan-potongan kayu.

Dalam proses pemilihan lahan ini, bila telah ditemukan calon huma (khususnya huma

tangtu), maka pada tempat itu biasanya diberi tanda dengan cara meletakkan batu, batu

asahan dan tanaman koneng atau kunyit (Curcuma longa). Hal ini yang tidak boleh dilupakan adalah setiap pilihan lahan huma tersebut harus sepengetahuan dan restu dari

puun. Selama proses pemilihan lahan ini terdapat beberapa pantangan, yakni tidak boleh

meludah, berbicara kasar/kotor, kentut, merokok, dan memakai baju kotor, serta harus mengenakan ikat kepala.

Hal penting lain yang diperhatikan adalah calon huma telah cukup masa bera atau perputaran untuk kembali ke ladang semula. Dahulu waktu bera calon huma mencapai 7-10 tahun, tetapi sekarang ini memerlukan waktu sekitar 3-5 tahun. Selain itu, dari segi ukuran huma juga mengalami pengurangan dari sekitar 1 hektar menjadi 0,5 hektar. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang terus bertambah, sedangkan luas wilayah yang boleh dibuka untuk huma tidak bertambah atau terbatas.

(11)

dan Meijer 1891; Pennings 1902). Pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1908 penduduk Baduy dilaporkan berjumlah 1.547 orang, sedangkan dua puluh tahun kemudian, jumlah penduduk dilaporkan sedikit berkurang menjadi 1.521 orang (Tricht 1929).

Pada tahun 1966 penduduk Baduy diketahui berjumlah 3.935 orang, dan menjadi 4.063 pada tahun 1969. Pada tahun 1984 penduduk Baduy berjumlah 4.587 orang, dan tahun 1986 berjumlah 4850 orang (Garna, 1985, 1993; Iskandar, 1992). Menurut catatan tahun 1990 orang Baduy berjumlah 5582 jiwa, tahun 1993 tercatat 5.649 orang, tahun 1994 berjumlah 6.483 orang, dan tahun 2004 tercatat 7.532 orang (Permana, 2006). Berdasarkan perhitungan terakhir (2009) oleh Kantor Desa Kanekes penduduk Baduy berjumlah 11.172 orang. Dengan demikian, setelah 112 tahun penduduk Baduy bertambah lebih dari 40 kali lipat!

Dampak lain dari berkurangnya jumlah masa bera dan ukuran lahan adalah berkurang pula hasil panen. Terlebih lagi pantangan menggunakan pupuk buatan pabrik, sehingga kesuburan tanaman berkurang. Berkurangnya hasil panen berarti berkurang pula persediaan beras di lumbung (leuit). Kenyataan sekarang ini banyak leuit yang tidak terisi dan akhirnya rusak. Untuk kebutuhan sehari-hari yang biasanya diperoleh dari leuit masing-masing keluarga, kini terpaksa harus membeli beras dari luar Baduy. Membeli berarti memerlukan uang, sementara uang diperoleh dari kegiatan jasa melalui kerja ekstra. Bahkan, tidak sedikit pula, warga Baduy (terutama Baduy Panamping) menjadi penggarap atau membuka huma di luar wilayah Baduy. Agaknya, kearifan lokal masyarakat Baduy sedang diuji.

c. Perubahan Sosial-Budaya dalam Aktivitas Sehari-hari

Secara lebih nyata perubahan sosial-budaya pada masyarakat Baduy terlihat pada aktivitas sehari-hari, antara lain pada pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan pergaulan. Sejatinya pakaian orang Baduy memancarkan kesederhanaan. Menurut mereka meninggalkan kesederhanaan berarti membatalkan tapa dunianya. Hal tersebut tertuang dalam ungkapan bijak mereka: ”sare tambah teu tunduh, ngawadang tambah teu lapar, make

tambah teu taranjang” artinya tidur sekadar pelepas kantuk, makan sekadar pelepas lapar,

berpakaian sekadar tidak telanjang.

(12)

tiga bagian, yaitu ikat kepala yang disebut telekung, romal, atau iket; baju tanpa kerah berlengan panjang yang disebut kutung; dan sarung yang disebut aros. Pakaian pria

tangtu agak berbeda dari pria panamping, terutama pada warna dan kualitas bahannya. Pria

tangtu memakai ikat kepala berwarna putih tenunan sendiri, bajunya hasil tenunan serat

daun pelah atau boeh berwarna putih, dan sarungnya terbuat dari benang kanteh (benang kasar) bergaris putih dan nila yang dikenakan sebatas dengkul (mirip rok wanita) dan diikat dengan beubeur (ikat pinggang) berupa selendang kecil. Sebaliknya pria panamping mengenakan ikat kepala berwarna nila yang disebut merong. Bajunya disebut jamang

kampret (baju kampret), biasanya berlapis dua, baju putih di sebelah dalam dan baju hitam

di sebelah luar. Akan tetapi banyak pria panamping hanya mengenakan baju hitam.

Sementara itu, wanita tangtu mengenakan pakaian yang kadang berbeda dari pakaian wanita panamping. Wanita tangtu mengenakan kemben, yaitu selendang yang dililitkan pada badan bagian atas. Untuk pakaian bawahnya digunakan sehelai samping (kain) yang dililitkan sebatas pinggang. Baik kemben maupun samping terbuat dari benang kanteh atau serat daun pelah yang dibuat sendiri. Pakaian wanita panamping berupa kebaya berwarna biru muda dan kain berwarna biru tua. Jenis kainnya ada yang disebut kacang

herang hasil tenunan sendiri, dan ada pula yang disebut kain merong. Pada waktu

mengikuti upacara turun muja di tangtu, mereka mengenakan kebaya warna putih dan kain biru tua atau biru muda.

Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran atau perubahan. Pada awalnya masyarakat tangtu menenun sendiri pakaiannya, tetapi sekarang hanya masyarakat panamping yang masih menjalaninya. Itu pun bahan benang yang digunakan tidak lagi diperoleh dan dibuat sendiri, tetapi dari benang buatan pabrik. Khusus untuk masyarakat panamping, telah lama mengenakan pula kain bermotif batik warna hitam dan biru dengan hiasan tertentu buatan Majalaya Bandung atau membelinya di Pasar Tanah Abang Jakarta. Belakangan ini, batiknya pun telah menggunakan hiasan bervariasi dengan warna coklat dan hijau. Bahkan kaum remaja prianya pun sudah terbiasa menggunakan celana berbahan jeans. Dalam hal ini pun, kearifan lokal masyarakat Baduy kembali diuji.

(13)

beberapa jenis peralatan yang tidak dapat dibuat sendiri, ditukar atau dibeli dari luar, seperti golok, pisau, panjang (piring/mangkok porselen), kenceng (penggoreng logam), dan seeng (dandang tembaga).

Peralatan rumah tangga yang biasa terdapat dan dibuat oleh orang Baduy, terutama oleh orang tangtu adalah: (1) peralatan tidur, berupa samak (tikar anyaman daun pandan), rekal atau angklak (bantal dari kayu), dan simbut (selimut tenunan sendiri); (2) peralatan dapur dan makan, aseupan (kukusan dari anyaman bambu), hihid (kipas dari anyaman bambu),

jahas (piring kayu), comong (cangkir bambu), dan batok (cangkir tempurung kelapa); (3)

peralatan rumah lainnya adalah totok atau pagawangan (semacam pelita dari ruas bambu pendek dengan gantungan kayu, bahan bakarnya: minyak picung), kelek (tempat air dari bambu satu ruas), tomo (sejenis periuk tanah liat tempat menyimpan air matang), siwur (alat penyiduk air dari tempurung kelapa dengan tangkai bambu atau kayu), lodong (tabung bambu tempat nira atau tuak), koja atau jarog (tas rajutan serat kayu), nyiru (alat penampi gabah dari anyamam bambu), dan pakara (peralatan tenun dari kayu dan bambu).

Hingga sekarang, orang tangtu sebagian besar masih membuat dan menggunakannya untuk keperluan sehari-hari. Namun tidak demikian halnya pada orang panamping yang telah banyak menggunakan peralatan sehari-hari dengan buatan pabrik/moderen, seperti piring dan cangkir kaca atau porselen, sendok dan garpu dari plastik atau logam, lampu minyak tanah, kasur dan bantal kapuk/busa, bahkan memiliki lampu senter, radio, dan handphone!.

5. Penutup

Kebudayaan tidak statis, melainkan bersifat dinamis. Kebudayaan selalu bergerak dan berubah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Melalui kebudayaan itulah suatu masyarakat beradaptasi untuk melangsungkan kehidupannya. Hanya saja, daya dan cara adaptasi setiap individu dan masyarakat berbeda-beda, sehingga melahirkan penyesuaian diri dan kelompok juga berbeda-beda terhadap berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi dalam masyarakat.

Pada masyarakat Baduy perubahan sosial-budaya relatif sedikit terjadi pada masyarakat

tangtu dibandingkan panamping. Masyarakat tangtu masih teguh menjalankan pikukuh

(14)

pembagian tangtu dan panamping secara budaya merupakan kearifan lokal sebagai buffer

zone dalam pemertahanan adat terhadap pengaruh luar yang akan menyebabkan perubahan

sosial-budaya masyarakat Baduy. Daerah panamping yang identik dengan Baduy Luar merupakan filter pertama yang berlapis-lapis (ditunjukkan dengan banyaknya kampung

panamping) menghadapi pengaruh-pengaruh luar yang kemungkinan masuk ke wilayah

budaya Baduy. Bahkan di daerah tangtu pun terdapat kampung-kampung pertahanan mulai dari kampung Cibeo dan Cikartawana, sebelum memasuki kampung adat Cikeusik yang paling sakral.

Inti pikukuh untuk mempertahankan adat dan sekaligus menangkal pengaruh dari luar Baduy adalah: lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Hakikat dari pikukuh tersebut adalah tetap mempertahankan aturan dan ketentuan yang telah diturunkan oleh karuhun (leluhur), tanpa menambah atau mengurangi dari aturan dan ketentuan yang ada. Dalam rangka menjalankan pikukuh maka terdapat pula sejumlah buyut (pantangan/larangan) yang berlaku baik untuk masyarakat Baduy maupun masyarakat di luar Baduy yang datang berkunjung. Dengan mengikuti pikukuh niscaya adat dan kebiasaan sehari-hari masyarakat Baduy tidak berubah. Oleh karena itulah maka gambaran tentang masyarakat Baduy relative tidak berubah selama ratusan tahun.

Seperti juga telah digambarkan di atas, walaupun pikukuh tetap dijalankan oleh masyarakat

panamping, namun derasnya pengaruh dan ‘godaan’ modernisasi menyebabkan longgarnya

pertahanan adat mereka. Masyarakat panamping berada dalam dilema antara mempertahankan adat (dianggap tidak bisa maju) dan menerima modernisasi (dianggap melanggar pikukuh). Dalam perubahan sosial-budaya yang terus menerus itu, pilihan pahitnya adalah tetap menjadi atau keluar dari seorang Baduy dengan segala konsekuensinya. Agaknya kearifan lokal Baduy pun perlu adaptasi dalam menghadapi perubahan ini.

Daftar Pustaka

Adimihardja, K. (2000, Januari-April). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai. Jurnal Antropologi Indonesia XXIV (61), 47-59.

Danasasmita, S., dan Djatisunda, A. (1986). Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi).

(15)

Ekadjati, E. S. (1995). Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.

Garna, J. (1985). Masyarakat Baduy dan Siliwangi (menurut anggapan orang-orang Baduy masa kini). Makalah Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung: Pemda Tk. I Propinsi Jawa Barat-Pusat Penelitian Arkeologi Nasional-Ecole Francaise d'Extreme-Orient.

Garna, J. (1988a). Perubahan Sosial Budaya Baduy. In N. Rangkuti (Ed.), Orang Baduy

dari Inti Jagat (pp. 47-55). Yogyakarta: Bentara Budaya, KOMPAS, Etnodata

Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa.

Garna, J. (1988b). Nyi Pohaci Sanghyang Asri. In N. Rangkuti (Ed.), Orang Baduy dari

Inti Jagat (pp. 60-66). Yogyakarta: Bentara Budaya, KOMPAS, Etnodata Prosindo,

Yayasan Budhi Dharma Pradesa.

Garna, J. (1993a). Masyarakat Baduy di Banten. In Koentjaraningrat (Ed.), Masyarakat

Terasing di Indonesia (pp. 120-152). Jakarta: Departemen Sosial RI, Dewan Nasional

Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, dan Gramedia,

Garna, J. (1993b). Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap Pembangunan. L. T. Ghee dan Alberto G. Gomes (Ed.), Suku Asli

dan Pembangunan di Asia Tenggara (pp. 142-160). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

Iskandar, J. (1992). Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah

Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.

Jacobs, J. and Meijer, J.J. (1891). De Badoej's. 's-Grahenhage: Martinus Nijhoff.

Pennings, A.A. (1902). De Badoewi's in verband met enkele oudheden in de Residentie Bantam. TBG, XLV, 370-386.

Referensi

Dokumen terkait

Pemungutan bunga cengkeh dilakukan dengan cara memetik tangkai bunga dengan tangan, kemudian dimasukkan kedalam kantong kain atau keranjang yang telah disiapkan,

Peneliti melakukan penelitian terhadap novel Bidadari- Bidadari Surga karya Tere Liye menggunakan bermacam-macam sumber atau dokumen untuk menguji data yang sejenis

.. Kurikulum yang menggabungkan sejumlah disiplin ilmu melalui pemaduan area isi, keterampilan dan sikap. Anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui

Tidak adanya leukosit dalam sediaan hapus pulasan Gram sampel urine bersih yang dibuat seperti di atas merupakan bukti yang baik bahwa urine tidak terinfeksi.Spesimen urine

regresi menghasilkan nilai Adjusted R 2 sebesar 0,130 atau (13%) menyatakan bahwa perubahan variabel book-tax differences dapat dijelaskan oleh variabel independen ( tax

mempergunakan teopri ilmu pengetahuan, profesional dapat menjelaskan apanyang dihadapinya dan apa yang akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi. Teori ilmu

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan proposal

 Sangat baik dalam sikap patuh pada tata tertib atau aturan dan mengerjakan/mengumpulkan tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan, mengikuti kaidah berbahasa tulis yang baik