• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUBERKULOSIS PARU paru yang dirawat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUBERKULOSIS PARU paru yang dirawat "

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

TUBERKULOSIS PARU

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberculosis (dan kadang-kadang oleh M. bovis dan africanum). Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan asam.

Penularan terjadi melalui udara (airborne spreading) dari "droplet" infeksi. Sumber infeksi adalah penderita TB paru yang membatukkan dahaknya, dimana pada pemeriksaan hapusan dahak umumnya ditemukan BTA positif. Batuk akan menghasilkan droplet infeksi (droplet nuclei). Pada sekali batuk dikeluarkan 3000 droplet. Penularan umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Sinar matahari dapat membunuh kuman dengan cepat, sedang pada ruangan gelap kuman dapat hidup. Risiko penularan infeksi akan lebih tinggi pada BTA (+) dibanding BTA (-).

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup. Setelah seseorang terinfeksi kuman tuberkulosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan test tuberkulin positif, 10% akan sakit. Penderita yang sakit, bila tanpa pengobatan, setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25 % menjadi kronik dan infeksius.

EPIDEMIOLOGI

(2)

setiap tahun muncul 165 penderita tuberkulosis paru menular setiap 100.000 penduduk.

Pada tahun 1995 diperkirakan 9 juta kasus baru dengan 3 juta kematian akibat tuberkulosis. 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB terjadi di negara berkembang. 75% kasus TB menyerang usia produktif ( 15-50 tahun ). Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency.

Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit pada system pernafasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, TB merupakan penyebab kematian kedua, sedang pada SKRT 2001 menunjukkan TB merupakan penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.

WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita TB paru BTA (+) yang diobati (23% dari perkiraan penderita TB BTA(+). Tiga perempat dari kasus berusia 15-49 tahun dan baru 20% yang tercakup dalam program pemberantasan tuberkulosis yang dilaksanakan pemerintah.

PATOGENESIS Tuberkulosis primer :

(3)

menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil menjadi kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang buruk, respons imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga akan menjadi sakit pada beberapa bulan kemudian. Sehingga kompleks primer akan mengalami salah satu hal sebagai berikut :

1. Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat (restirution ad integrum).

2. Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon, firotik, perkapuran). 3. Menyebar dengan cara :

a. Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya.

Sebagai contoh adalah pembesaran kelenjar limfe di hilus, sehingga menyebabkan penekanan bronkus lobus medius, berakibat atelektasis. Kuman akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat menuju lobus yang atelektasis, menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis, hal ini disebut sebagai epituberkulosis. Pembesaran kelenjar limfe di leher, dapat menjadi abses disebut scrofuloderma. Penyebaran ke pleura menyebabkan efusi pleura.

b. Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru sebelahnya. Atau tertelan bersama dahak sehingga terjadi penyebaran di usus.

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain seperti tuberkulosis milier, meningitis, ke tulang, ginjal, genetalia.

Tuberkulosis post primer

(4)

pula di tempat lain di seluruh tubuh umumnya pada usia dewasa. Karakteristik TB post primer adalah adanya kerusakan paru yang luas dengan kavitas, hapusan dahak BTA positif, pada lobus atas, umumnya tidak terdapat limfadenopati intratoraks. Tuberkulosis post primer dimulai dari sarang dini yang umumnya pada segmen apical lobus superior atau lobus inferior. Awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil. Sarang ini dapat mengalami salah satu keadaan sbb:

1. Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat

2. Sarang meluas, tetap segera mengalami penyembuhan berupa jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat aktif kembali membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan menimbulkan kaviti.

3. Sarang pneumonik meluas, membentiik jaringan keju, yang bila dibatukkan akan menimbulkan kaviti. Kaviti awalnya berdinding tipis kemudian menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti akan mengalami :

a. Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru.

b. Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan sembuh, tapi dapat aktif kembali dan mencair menibulkan kaviti kembali.

c. Menyembuh dan disebut open healed cavity, atau menyembuh dengan dengan membungkus diri,akhirnya mengecil. Kaviti dapat menciut dan tampak sebagai bintang (stellate shape).

Bentuk tuberkulosis post primer dapat sebagai tuberkulosis paru dan ekstra paru : Pulmonary TB :

Cavitas

Upperlobe infiltrate Fibrosis

Progressive pneumonia

(5)

Common Spine, other bone & joint

Less common repons imun seluler (cell mediated immunity) dan reaksi hipersensitiviti tipe lambat terhadap antigen kuman tuberkulosis.

Perjalanan infeksi tuberkulosis terjadi melalui 5 stage.

Stage 1 : dimulai dari masuknya kuman tuberkulosis ke alveoli. Kuman akan difagositosis oleh makrofag alveolar dan umumnya dapat dihancurkan. Bila daya bunuh makrofag rendah, kuman tuberkulosis akan berproliferasi dalam sitoplasma dan menyebabkan lisis makrofag. Pada umumnya pada stage ini tidak terjadi pertumbuhan kuman.

Stage 2 : stage simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam non-activated macrophag yang gagal mendestruksi kuman tuberkulosis hingga makrofag hancur dan kuman tuberkulosis difagositosis oleh makrofag lain yang masuk ke tempat radang karena faktor kemotaksis komponen kompleman C5a dan monocyte chemoatractant protein (MPC-1). Lama kelamaan makin banyak makrofag dan kuman tuberkulosis yang berkumpul di tempat lesi.

(6)

merupakan respons imun utama yang mampu menghancurkan makrofag yang berisi kuman. Respons ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi. Dalam solid caseous center yang terbentuk, kuman ekstraseluler tidak dapat tumbuh, dikelilingi non-activated macrofag, dan partly activated macrofag. Pertumbuhan kuman TB secara logaritmik terhenti, namun respons imun DTH ini menyebabkan perluasan caseous center dan progresifitas penyakit. Kuman tuberkulosis masih dapat hidup dalam solid caseous necrosis tapi tidak dapat berkembang biak karena keadaan anoksia, penurunan pH dan adanya inhibitory fatty acid. Pada keadaan dorman ini metabolisme kuman minimal sehingga tidak sensitif terhadap terapi. Caseous necrosis ini merupakan reaksi DTH yang berasal dari limfosit T, khususnya T sitotoksik (Tc), yang melibatkan clotting factor, sitokin TNF-alfa, antigen reactif, nitrogen intermediate, kompleks antigen antibody, komplemen dan produk-produk yang dilepaskan kuman yang mati. Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler menjadi aktif menghasilkan molekul-molekul adesi (ICAM-1, ELAM-1, VCAM-1), MHC klas 1 dan II.

Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen tubekulin pada sel Tc sehingga menyebabkan jejas pada endotel dan memicu kaskade koagulasi. Trombosis lokal menyebabkan iskemia dan nekrosis di dekat jaringan.

(7)

terlepas akan masuk kedalam kelenjar limfe trakheobronkhial dan meyebar ke organ lain

Stage 5 : terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama kalinya terjadi multiplikasi kuman tuberkulosis ekstraseluler yang dapat mencapai jumlah besar. Respons imun CMI sering tidak mampu mengendalikannya.

Dengan progresifitas penyakit terjadi perlunakan caseous necrosis, membentuk kavitas dan erosi dinding bronkus. Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis dan respons DTH terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan makrofag tidak dapat hidup dan merupakan media pertumbuhan yang baik bagi kuman. Kuman tuberkulosis masuk ke dalam cabang-cabang bronkus/ menyebar ke bagian pant lain dan jaringan sekitarnya.

DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU

Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain.

Gejala :

Respiratorik : batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas. Sistemik : demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan

turun.

Penderita dengan gejala tersebut dianggap sebagai curiga TB dan harus diperiksakan dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (pagi-sewaktu-pagi/SPS) dengan cara pengecatan.

Pemeriksaan fisik :

(8)

kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara napas bronkial, amforik, ronki basah. Pada efusi pleura didapatkan gerak napas tertinggal, keredupan dan suara napas menurun sampai tidak terdengar. Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar limfe, sering di daerah leher, kadang disertai adanya skrofuloderma.

Pemeriksaan laboratorium :

Pemeriksaan bakteriolgis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan lambung, bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan dapat dilakukan secara mikroskopis dan biakan.

Pemeriksaan dahak untuk menemukan basil tahan asam merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita tuberkulosis atau suspek. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu), dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau Kinyoun Gabbet. Interpretasi pembacaan didasarkan skala IUATLD atau bronkhorst.

Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahan ditemukan BTA (+).

(9)

Foto toraks

Pada kasus dimana pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila:

 Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks)

 Hemoptisis berulang atau berat

 Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+).

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif :

1. bayangan berawan/nodular di segmen apical dan posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru.

2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular. 3. bayangan bercak milier

4. Efusi pleura

Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif :

1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah.

2. Kalsifikasi 3. Penebalan pleura.

Destroyed lung:

Gambaran radiologis yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Sulit untuk menilai aktiviti penyakit berdasarkan gambaran radiologis tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk megetahui aktivitas penyakit.

(10)

1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus verebra torakalis IV, atau korpus vertebra torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak dijumpai kaviti.

2. Lesi luas, bila proses lebih dari lesi minimal.

Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting sebagai indikator kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk evaluasi penyembuhan.

Pemeriksaan serologi dilakukan dengan metoda Elissa, Mycodot, PAP ( peroksidase anti peroksidase). Tehnik lain untuk mengidentifikasi M.tb dengan PCR (polymerase chain reaction), RALF (Restrictive fragment length polymorphisms), LPM (light producing maycobacterophage).

Pemeriksaan histopatologi jaringan, diperoleh melalui transbronchial lung biopsy, transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar dan organ lain diluar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan menunjukkan adanya granuloma dengan perkejuan.

DEFINISI KASUS

Saat menegakkan diagnosis TB, dan sebelum menetukan pengobatan yang diberikan, harus ditentukan pula definisi kasus TB. Definisi kasus ditentukan oleh 4 determinan yaitu :

1. lokasi penyakit ( pulmoner/extra pulmoner) 2. hasil hapusan dahak

(11)

1. Definisi kasus berdasarkan lokasi penyakit :

• TB paru yaitu bila penyakit melibatkan parenkim paru • TB ekstra paru yaitu TB pada organ selain paru. 2. Definisi kasus berdasarkan hasil hapusan dahak :

• TB paru BTA (+), bila 2 atau lebih dari pemeriksaan dahak didapatkan BTA (+) atau satu BTA (+) plus abnormalitas radiologis yang menunjukkan TB paru, atau satu hapusan BTA (+) plus kultur M.tb positif.

• TB paru BTA (-), yaitu diluar definisi pada BTA (+) tersebut. 3. Definisi kasus berdasarkan beratnya penyakit :

Lokasi penyakit, luasnya kelainan, bacillary load menentukan beratnya penyakit. Yang di kiasifikasikan berat bila penyakit dapat mengancam jiwa atau dan atau menimbulkan cacat (TB milier, efusi perikardial, efusi pleura masif atau bilateral meningitis TB, TB spinal, intestinal, genitourinaria).

4. Definisi kasus berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya : Kasus baru (new case) :

Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.

Kambuh (relaps):

Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif- (hapusan atau kultur).

Gagal pengobatan (treatment after failure):

Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan pengobatan sebelumnya. Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita dengan BTA negative menjadi positif pada akhir bulan ke-2.

Pengobatan setelah default (Treatment after default/drop out):

(12)

Pindahan (transfer in) :

Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten kemudian pindah ke kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat rujukan/ pindah (form TB 09).

Kasus kronik

Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan ulang dengan kategori- 2.

PENGOBATAN

Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyebuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif dengan pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk pengobatan TB didasarkan pada rekomendasi WHO.

Terdapat 4 populasi kuman TB yaitu:

1. "Metabolically active", yaitu kuman yang terus tumbuh dalam kaviti. 2. "Basilli inside cell", misal dalam makrofag

3. "Semi-dorman bacilli" (persisters) 4. "Dorman bacilli"

Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh kuman semi dorman.

Terdapat 3 aktifitas anti tuberkulosis yaitu :

1. Obat bakterisidal : INH, rifampisisn, pirazinamid 2. OAT dengan kemampuan sterilisasi : Rifampisin, PZA

(13)

OBAT ANTI TB

Anti TB drug Action Potency Dosemg/kg Daily Intermitten Pengobatan TB terdiri dari 2 fase yaitu :

Fase initial/fase intensif (2 bulan ):

Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu penderita yang infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik. Kebanyakan penderita BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Pada fase ini sangat penting adanya pengawasan minum obat oleh PMO (pengawas minum obat).

Fase lanjutan ( 4-6 bulan ) :

Bertujuan mebunuh kuman persister (dorman) dan mencegah relaps. Fase ini juga perlu adanya PMO.

Contoh kode pada regimen pengobatan TB : 2 (HRZE)/4 HR

Fase inisial adalah 2 (HRZE), lama pengobatan 2 bulan, dengan obat INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diminum tiap hari.

(14)

Recommended treatment regiment for each diagnostic category

(15)

c. Regimen HE berhubungan dengan angka gagal pengobatan dan kambuh yang tinggi dibandingkan dengan pengobatan regimen yang menggunakan ^famgisin selama fase lanjutan.

d. Bila mungkin, direkomendasikan untuk dilakukan tes sensitiviti terhadap OAT sebelum pemberian obat kategori II pada kasus gagal pengobatan. Penderita yang terbukti MDR-TB direkomendasikan menggunakan OAT Kategori OAT plus. e. Etambutol dapat tidak digunakan selama pengobatan fase inisial pada penderita

tanpa adanya kavitas pada paru; hapusah dahan negatif pada penderita HIV-negatif; telah diketahui terinfeksi dengan kuman yang sensitif terhadap OAT; dan penderita muda TB primer. masif, TB kelenjar adrenal, laringitis, TB pada ginjal/saluran kencing, TB kelenjar limfe yang luas dan pada reaksi hipersensitiviti akibat OAT.

(16)

Kehamilan dan menyusui:

Hampir semua obat anti tuberkulosis aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak boleh digunakan pada kehamilan karena sifat ototoksik pada janin.

Pada penderita TB yang menyusui, semua OAT dapat diberikan. Bila bayinya juga mendapat OAT, dianjurkan untuk tidak menyusui agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan.

Kontrasepsi oral :

Rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi hormonal dengan risiko penurunan efektifitas kontrasepsi, sehingga diperlukan dosis kontrasepsi yang lebih tinggi (estrogen 50ug). Atau disarankan untuk menggunakan jenis kontrasepsi lain.

Gagal ginjal:

Rifampisin, INH dan pirazinamid aman digunakan untuk INH penderita gagal ginjal. Jangan menggunakan streptomisin. kanamisin dan capreomisin. Hindari penggunaan etambutol, digunakan hanya bila tidak ada alternatif obat lain, dengan menyesuaikan dosis sesuai dengan fungsi ginjal.

Penyakit hati kronik :

Pirazfriamid tidak boleh diberikan. INH rifampisin plus satu atau dua obat non-hepatotoksik seperti streptomisin dan etambutol dapat diberikan dengan total pengobatan 8 bulan. Alternatif lain dengan 9 RE atau SHE pada fase inisial dilanjutkan HE pada fase lanjutan dengan total pengobatan 12 bulan. Regimen yang direkomendasikan adalah 2 SHRE/6_HR ; 9 RE atau 2 SHE/10 HE

(17)

Sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis sembuh. Bila sangat diperlukan OAT dapat diberikan dengan kombinasi SE selama 3 bulan. Selanjutnya setelah hepatitis sembuh dapat diberikan fase lanjutan selama 6 bulan dengan INH dan Rifampisin. Bila hepatitis tidak menyembuh, SE diteruskan sampai 12 bulan. Regimen yang diberikan 3 SE/6 HR atau 12 SE.

GAMBARAN TB SAAT INI

Kematian akibat TB saat ini makin meningkat, terutama pada usia muda. Diperkirakan terjadi kematian 2-3 juta akibat TB setiap tahunnya. Pada setiap detik akan terdapat 1 penderita baru. Tiap 1 orang penderita TB dengan BTA (+) dapat menulari 10-15 orang lain/tahun. Dengan meningkatnya jumlah penderita HIV, kasus TB juga makin meningkat.

“MULTI DRUGS RESISTANCE TB"

Yaitu penderita TB aktif dengan kuman yang resisten terhadap sedikitnya rifampisin dan INH, dengan atau tanpa disertai resistensi terhadap obat lain. MDR TB terjadi akibat pengobatan yang tidak rasional, seperti pemberian resep yang tidak benar oleh dokter, regimen tidak benar, penggunaan obat tidak lengkap dan berkesinambungan atau oleh karena tidak adanya supervisi dalam pengobatan.

DOTS ( Directly Observe Treatment Shortcourse )

Sejak tahun 1995 program pemberantasan penyakit TB dilaksanakan dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Di Indonesia dituangkan dalam bentuk GERDUNAS-TB (Gerakan Terpadu Nasional TB). Yang dimaksud dalam strategi DOTS adalah :

1. Adanya komitmen pemerintah untuk menanggulangi TB

(18)

3. Pemberian obat yang diawasi secara langsung (DOT = Directly Observe Therapy)

4. Penyediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu. 5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan.

a. Screening: cough > 2-3 weeks. Diagnosisxlinical sign, symptorn, normal chest radiography

(19)

KEPUSTAKAAN

1. Dannenberg AM, Rook GAW. Pathogenesis of pulmonary tuberculosis : an interplay of tissuedamaging and macrophageactivating immune responses -dual mechanism that control bacillary multiplication. In: Bloom BR ed. Tuberculosis. Pathogenesis. Protection. And Control.. Washington: ASM press, 1994, pp 495 - 483

2. Tuberkulosis. Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI, 2003 3. WHO. TB. A Clinical Manual for South-East Asia. WHO, 1997

(20)

Multi-Drug Resistance (MDR)-TB

Soedarsono

Multi-Drug Resistance dalam pengobatan tuberkulosis (TB) menjadi masalah kesehatan masyarakat di sejumlah negara dan merupakan hambatan terhadap program pengendalian TB secara global. Kekebalan kuman TB terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) sebenarnya telah muncul sejak lama. MDR-TB muncul seiring dengan dimulainya penggunaan rifampisin secara luas semenjak tahun 1970-an. Kekebalan ini dimulai dari yang sederhana yaitu monoresisten, poliresisten sampai dengan MDR dan extensive drug resistance (XDR).

WHO pada tahun 2005 melaporkan di dunia lebih dari 400.000 kasus MDR-TB terjadi setiap tahunnya sebagai akibat kurang baiknya penanganan dasar kasus MDR-TB dan transmisi strain-strain kuman yang resisten obat anti TB. Penatalaksanaan MDR-TB lebih sulit dan membutuhkan biaya lebih banyak dalam penanganannya dibandingkan dengan kasus TB yang bukan MDR. 2,3,4

Menurut WHO, saat ini Indonesia menduduki peringkat ke delapan jumlah kasus MDR-TB dari 27 negara. Data awal survei resistensi obat OAT lini pertama (Drug Resistant Survey = DRS) yang dilakukan di Jawa Tengah pada 2006, menunjukkan angka TB-MDR pada kasus baru yaitu 2,07%, angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelurnnya yaitu 16,3%. Beberapa komponen yang harus dipenuhi dalam penatalaksanaan MDR-TB adalah tersedianya sarana laboratorium yang tersertifikasi khususnya untuk uji resistensi OAT, obat-obat TB lini ke dua yang lengkap dan sumber daya manusia yang terlatih serta sumber dana yang memadai.

Batasan.

Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT lini pertama

(21)

Multidmg-resistance (MDR): kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin. Secara singkat MDR-TB adalah resistensi terhadap INH dan rifampisin secara bersama dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain.8,9

Extensive drug-resistance (XDR): Selain MDR-TB, juga terjadikekebalan terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolonsebagai OAT lini ke dua, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).

Totally drug-resistance (TDR): Resistensi total ini dikenal juga dengan istilah super XDR-TB, yaitu didefinisikan dengan kuman yang sudah resisten dengan seluruh OAT lini pertama (INH, rifampisin, etambutol, streptomisin, pirazinamid) dan OAT lini kedua (amikasin, kanamisin, kapreomisin, fluorokuinolon, thionamide, PAS).

Selain itu berkaitan dengan mekanisme resistensi obat TB, maka perlu diketahui beberapa definisi dari resistensi OAT.

• Resistensi Primer (primary resistance): adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang belum pernah mendapat pengobatan OAT atau sudah pernah mendapat pengobatan tetapi kurang dari 1 bulan. Pada resistensi ini terjadi oleh karena individu terpajan dengan kuman yang telah resisten terhadap obat TB atau disebut resistance among new cases.2,3,8

• Resistensi sekunder (acquired resistance): Resistensi sekunder adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang sebelumnya telah pernah mendapat terapi OAT (tercatat) minimal selama 1 bulan, sehingga pengobatan yang tidak adekuat akan menimbulkan seleksi terhadap kuman yang resistensi terhadap obat yang telah diberikan dan disebut resistance among previously treated cases. 2,3,8

PENYEBAB RESISTENSI OBAT- TB

(22)

ketiga program. Bagaimanapun DR-TB pada dasarnya adalah suatu fenomena yang terjadi oleh karena perbuatan manusia sendiri (man made phenomena}. Pada perspektif kuman , DR-TB terjadi oleh karena adanya mutasi genetik yang menimbulkan obat tidak efektif melawan kuman yang mengalami mutasi. Dari perspektif klinis dan program, DR-TB terjadi karena terapi yang tidak memadai/adekuat atau kurang baik. 3,4

Pada awalnya, resistensi obat TB dapat terjadi oleh karena kesalahan manusia (human error) yaitu meliputi kesalahan dalam penatalaksanaan kasus, manajemen logistik, peresepan obat.

Beberapa human error yang sering terjadi antara lain ialah : (a) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan TB, (b) Pemberian obat yang tidak adekuat (tidak teratur, dosis kurang, waktu yang tidak tepat ), (c) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya dilakukan tidak dengan baik sehingga mengganggu bioavaibilitas obat, (d) Penyediaan obat yang tidak teratur, (e) Pengetahuan penderita yang minimal tentang penyakit TB akibat tidak ada atau kurangnya KIE dari provider terhadap penderita tersebut ,4'15 Jadi terdapat 3 faktor utama penyebab terjadinya pengobatan

TB yang tidak adekuat yang pada akhirnya memudahkan terjadinya kasus resistensi obat TB, yaitu (1) faktor penyedia sarana dan prasarana kesehatan, (2) faktor obat, dan (3) faktor pasien sendiri. Uraian selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.3,4

Tabel 2 . Penyebab terapi OAT tidak adekuat3,4

Penyelenggara Kesehatan: Regimen yang tidak adekuat

Obat: (Ketersediaan/ Kualitas yang tidak adekuat)

(23)

Pedoman yang tidak

(24)

1. Individu yang mengalami gagal terapi setelah retreatment dan kasus kronik, dimana kelompok ini memiliki angka tertinggi (80 %) menempati kasus MDR-TB.

2. Individu yang gagal terapi dengan OAT kategori 2 (sputum tetap positif pada bulan ke-3)

3. Individu yang diterapi OAT tetapi sputum tetap positif pada bulan ke- 3 setelah pemberian sisipan pada kategori 1.

4. Individu yangkembali stelah DO pada pengobatan kategori 1 atau kategori 2 . 5. Memiliki riwayat pengobatan TB yang tidak adekuat, bukan DOTS atau

managemen yang buruk.

6. Tinggal didaerah yang kasus MDR -TB tinggi 7. Kasus TB kambuh ( kategori 1 atau kategori 2)

8. Individu yang memiliki keluhan TB dan kontak erat dengan penderita MDR-TB, termasuk petugas kesehatan yang kontak erat dengan penderita MDR-TB

9. Memiliki kondisi yang co-morbid dengan MDR-TB, malabsorbsi atau rapid transit diare diare.

10. Individu dengan infeksi HIV

DASAR-DASAR PENGOBATAN MDR-TB

(25)

belum jelas efekasinya, amosisilin + asam Klavulanat dan makrolide baru (Klaritromisin).

Grup pertama : semua obat oral lini pertama yang terbukti sensitif seyogyanya digunakan, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat ini sebaiknya digunakan dengan dosis maksimal

Grup kedua: obat injeksi bersifat bakterisidal. Golongan obat ini merupakan komponen yang krusial dalam regimen pengobatan MDR-TB. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah yaitu memelau hasil kultur negative. Penelitian di Peru, keadaan ini dicapai setelah minimal enam bulam pengobatan. Kanamisin (Amikasin) jika alergi diganti Kapreomisin, Viomisin.

Grup ketiga : Fluorokuinolon, merupakan obat bakterisidal tinggi. Semua pasien yang sensitive terhadap group obat ini, harus mendapat quinolon dalam regimennya.

Grup keempat : merupakan obat bakteriostatik lini kedua. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan quinolon.

Grup kelima : golongan obat ini belum jelas efikasinya. Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR-TB masih minimal.

(26)

Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan regimen didasarkan atas hasil DRS yang bersifat respresentatif pada populasi dimana regimen tersebut akan diterapkan. Semua pasien MDR-TB akan mendapat regimen yang sana.

Pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita : Awalnya semua pasien akan mendapat regimen yang. Regimen tersebut dibuat berdasrkan hasil DST sebagaimana tersebut di atas. Selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji sensitivitas yang telah tersedia dari pasien yang bersangkutan.

Pengobatan secara empirik yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien: tiap regimen bersifat individualis dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas obat dari pasien yang bersangkutan tersedia.

Saat ini, di Indonesia dikarenakan sumber daya yang masih terbatas, pendekatan yang dipakai dalam mengobati penderita MDR-TB adalah pendekatan pengobatan dengan regimen standar. Meskipun demikian seorang klinisi hendaknya mengetahui bagaimana pentahapan dalam membuat regimen untuk pengobatan MDR-TB. WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai dilukiskan pada gambar berikut.

Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasi

Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan hasil uji sensitiviti dan riwayat pengobatan

Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan fluorokuinolon

(27)

Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.

Selain itu, ada beberapa butir dalam pengobatan MDR-TB yang dianjurkan oleh WHO (2008) sebagai prinsip dasar, antara lain : 3.4

1. Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita 2. Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan

obat lini kedua yang berada di area/ negara tersebut.

3. Regimen minimal terdiri dari 4 obat yang jelas diketahui efektivitasnya 4. Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan

5. Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin etambutol, pirazinamid, dan fluorokuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi.

6. Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi.

7. Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh.

8. Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR-TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif.

9. Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan.

(28)

Di Indonesia, saat ini panduan standar obat dalam uji program pendahuluan di RSU Dr. Soetomo dan RS Persahabatan yang akan diberikan pada setiap pasien MDR-TB adalah sebagai berikut :

Fase intensif Fase intermiten Km-(E)-Eto-Lfx-Z-Cs E-Eto-Lfx-Z-Cs

Keterangan :

Km : Kanamisin E : Ethambutol Eto : Ethionamid

Lfx : Levofloksasin Z : Pirazinamid Cs : Sikloserin

Dua hal yang sangat penting yang harus diperhatikan adalah: yang pertama, KIE yang bersifat komprenhensif terhadap penderita dan keluarganya menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan pengobatan yang akan diberikan. Yang kedua, selama pengobatan harus dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT).

PEMANTAUAN SELAMA PENGOBATAN & HASH PENGOBATAN

Evaluasi awal merupakan penentu kondisi klinis pasien dan apakah diperlukan pengobatan ancillary (misalnya bronkodilator, suplemen nutrisi, steroid). Selain itu, deteksi yang cepat dan tepat adanya ko-morbid seperti insufisiensi ginjal, HIV, diabetes dan depresi sangat membantu dalam perencenaan program pengobatan pada pasien MDR-TB tersebut. Mengingat obat-obat MDR-TB yang toleransinya rendah atau banya efek samping, maka pemantauan selama pengobatan terutama nenyangkut efek samping harus dilakukan sesering mungkin. Penatalaksanaan yang appropriate dengan waktu yang tepat merupakan hal yang sangat penting dan menentukan kelangsungan/ kepatuhan pengobatan.

(29)

Pada kasus TB dengan adanya kuman persisten pada jaringan nekrotik luas pada paru, sedikitnya vaskularisasi dar keterbatasan penetrasi obat akan menimbulkan terjadinya kegagalan terapi atau kekambuhan kasus TB. Kerusakar jaringan paru dan kavitas parti yang luas kemungkinan jugs sebagai tempat terjadinya kekambuhan kuman. Kondis: tersebut sangat memungkinkan terjadinya DR-TB.10

Terapi pembedahan diindikasikan pada kasus DR-TB dengan kerusakan jaringan paru yang luas dan dengan kavitas luas atau kavitas yang persisten. Pada kasus dengan kegagalan terjadinya konversi sputum setelah terapi OAT selama 4 bulan pada fase intensif dipertimbangkan untuk dilakukan terapi pembedaan. Jenis operasi pembedahan sangat tergantung dengan luas kerusakan jaringan paru dan fungsi paru sebelum pembedahan, sehingga pemilihan operasi bedah dapat segmentectomy, atau lobectomy.4,10

Pengobatan OAT harus diberikan selama 3-4 bulan sebelum tindakan bedah dilakukan pada kasu DR-TB, dengan tujuan untuk menurunkan infeksi bakteri di sekitar jaringan paru. Setelah tindakan bedah dilakukan, terapi OAT tetap diberikan selama 18-24 bulan. Pada beberapa penelitiana tindakan bedah pada kasus DR-TB dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.4,10

II. PENCEGAHAN TERJADINYA RESISTENSI OBAT

WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahan yang terbaik adalah dengan strandarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.3,4,9

(30)
(31)

DAFTAR PUSTAKA

Anti-tuberculosis drug resistance in the world. Third global report.

The WHO/IUATLD global project on drug resistance surveillance, 1999-2002. World Health Organization, Geneva; 2004 (WHO/ HTM/TB/2004.343).

Bjorn Petrini, Sven Hoffner, Drug-resistant and multidrug-resistant tubercle bacilli, International Journal of Antimicrobial Agents 13 (1999) 93-97

Global tuberculosis control: surveillance, planning, financing. WHO report 2004. Geneva, World Health Organization (WHO/HTM/TB/2005.349).

Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis. Geneva, World Health Organization, 2006 (WHO/ HTM/TB/ 2006.360).

Revised National TB Control Programme, DOTS Plus Guidelines. Central TB Division, DGHS, Ministry of Health, New Delhi, 2006.

WHO/IUATLD. Anti-tuberculosis drug resistance in the world. Third global report 2004, WHO, Geneva, Switzerland.

Referensi

Dokumen terkait

Promosi yang kami gunakan untuk memperkenalkan “Pia SIPUT” adalah melalui face to face yaitu produsen sendiri atau melalui bagian pemasaran memperkenalkan produk kepada

Dalam buku ‘Aqaiduna yang juga merupakan karya Nashir Makarim al-Syirazi – menyebutkan bahwa karya ini ialah intisari dari persoalan-persoalan akidah Syi’ah

penulisan tesis yang berjudul “ Keanekaragaman Spesies Ikan yang Terdapat di Pulau Jefman, Distrik Salawati Utara, Kabupaten Raja Ampat ”. Penulisan tesis ini terlaksana

sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.. Akan tetapi, berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku

Istilah kecerdasan emosi pada mulanya dilontarkan oleh dua ahli psikologi, yakni Peter Salovey, dari Universitas Harvard, dan John Mayer, dari Universitas New

Ketiga, memperbaiki diri peserta didik dari berbagai sifat dan amal tidak terpuji (amal al- syai‟at) yang telah dilakukannya, baik dipandang dari perspektif agama

Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 09 Tahun 2001 tentang ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2001 tentang

bertindak sebagai responden wawancara, maka hal ini tidak efisien karena salah satu ciri dari salah satu variabel yang akan diteliti adalah sifat pemalu peserta didik,