• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda

Disusun Oleh

Dr. Heny Syahrini

NIP 132 316 964

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

R.S.U.P. ADAM MALIK MEDAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TUBERKULOSIS PARU RESISTENSI GANDA

Heny Syahrini, Zuhrial Zubir, E.N.Keliat, Alwinsyah Abidin

Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran USU / RSUP H.Adam Malik/RSU Dr. Pirngadi Medan

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan basil Mycobacterium tuberculosis dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini1,2. Pada tahun 1992 World Health

Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai ‘Global Emergency’. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman

tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk2. Di Indonesia, TB menduduki peringkat ke-3 dengan prevalensi tertinggi di dunia setelah Cina dan India. Kematian oleh karena TB ini terutama terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia TB menduduki peringkat ke-3 sebagai penyebab kematian3.

Di Amerika Serikat (AS) sejak ditemukan dan kemudian berkembangnya obat anti tuberkulosis (OAT) yang cukup efektif, TB dapat ditekan jumlahnya. Akan tetapi sejak tahun 1989-1992 timbul kembali peningkatan penyakit ini, yang dikaitkan dengan peningkatan epidemi HIV/AIDS, urbanisasi dan migrasi akibat resesi melanda dunia. Bersamaan dengan peningkatan penyakit ini timbul masalah baru yaitu TB dengan resistensi ganda (Multidrug Resistant Tuberculosis / MDR TB)4. “WHO Report on Tuberculosis Epidemic 1995” menyatakan bahwa resistensi ganda kini menyebar dengan sangat cepat di berbagai belahan dunia5. Pada gambar 1 menunjukkan prevalensi TB resistensi ganda di berbagai belahan dunia6. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis khususnya Rifampisin dan isoniazid (INH), serta kemungkinan pula ditambah obat TB yang lainnya5. Pada pengelolaan TB

(3)

Gambar 1. Atas (A) : Prevalensi TB resistensi ganda pada kasus-kasus baru dari 1994-2002. Bawah (B) : Prevalensi TB resistensi ganda pada kasus yang telah diberikan obat sebelumnya dari 1994-2002 (dikutip dari 6).

dengan resistensi ganda ternyata memerlukan perawatan rumah sakit cukup lama, OAT yang lebih toksik, resiko mendapatkan tindakan operasi serta biaya pengobatan cukup tinggi yang diperkirakan sampai 180.000 dolar AS untuk seorang penderita4. Di Indonesia, pernah dilaporkan di

(4)

Rumah Sakit Dr.Rotinsulu Bandung tahun 2005, terdapat 28,2% resisten rifampycin dan isonoazid;17,8% resisten rifampycicn-isoniazid-ethambutol H-E); 13,8% resisten ryfampicin-isoniazid-ethambuol-pyrazinamid (R-H-E-Z); 10,3% resisten ryfampicin-isoniazid-ethambutol-pyrazinamid-streptomycin (R-H-E-Z-S)7. Sementara di Medan, Tanjung A dan Keliat E.N melaporkan (1994) pola resistensi primer terhadap gabungan 2 macam obat H-E (10,34%), S-E (3,45%), E-R (17,2%); dan gabungan 3 macam obat yaitu masing-masing S-H-E dan S-E-R berkisar 3,45%. Sedangkan gabungan 2 macam obat (S-H, S-R, R-H), 3 macam obat (H-E-R dan S-H-R) serta 4 macam obat lainnya (R-H-E-S) masih sensitif8.

Pada makalah ini selanjutnya akan dibahas mengenai apa itu TB paru dengan resistensi ganda, mekanisme resistensi, diagnosis, hingga penatalaksanaannya.

DEFINISI

TB dengan resistensi ganda dimana basil M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya2,9,10,11.

TB resistensi ganda dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sesnsitif obat1,12.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESISTENSI OAT

Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran TB resistensi ganda digambarkan pada gambar 2. Basil mengalami mutasi resisten terhadap satu jenis obat dan mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Selanjutnya resistensi sekunder (dapatan) terjadi.

(5)

Mutasi baru dalam pertumbuhan populasi basil menyebabkan resistensi obat yang banyak bila terapi yang tidak adekuat terus berlanjut. Pasien TB dengan resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik. Resistensi obat yang primer dan sekunder dapat diimpor, khususnya dari negara dengan prevalensi yang tinggi dimana program kontrol tidak adekuat. Resistensi obat primer, seperti halnya resistensi sekunder, dapat ditransmisikan ke orang lain jadi dapat menyebarkan penyakit resistensi obat di dalam komunitas13.

Koloni M.tuberculosis

1

Mutasi alamiah

Mutan resisten

Strain resisten akibat terapi yang tidak adekuat

Transmisi secara droplet

Resistensi obat TB sekunder (multipel)

Resistensi obat TB primer (multipel)

2

Infeksi HIV

Kontrol infeksi yang tidak adekuat Diagnostik yang terlambat

3a

3b

Transmisi yang lebih jauh

Resistensi obat TB primer yang lebih banyak

(multipel)

Gambar 2. Tiga tahap perkembangan dan penyebaran MDR TB. Keempat masalah tersebut berasal dari pasien yang resisten primer dan sekunder pindah ke daerah kontrol (dikutip dari 13)

(6)

Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu2,5:

• Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

• Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya

yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.

• Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.

• Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam

suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.

• Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan

secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.

• Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.

MEKANISME RESISTENSI OAT Mekanisme Resistensi Terhadap INH

Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air shingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase12,14.

Mutan M.tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan

(7)

isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase14.

Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces

mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun

ekstraseluler12,14. Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12.

Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu. Resistensi rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut12.

Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide

Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek

(8)

memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat14.

Mekanisme resistensi pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas pyrazinamidase sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase14,15.

Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol

Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel14.

Resistensi ethambutol pd M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus14.

Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin

Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi ribosomal14.

Pada 2/3 strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap

(9)

streptomysin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin14.

DIAGNOSIS

Tuberkulosis paru dengan resistensi ganda dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2) Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4) Inveksi human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB12.

Diagnosis TB resistensi ganda tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan bronkoskopi. Tes sensitiviats terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium rujukan yang memadai12.

Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resistensi ganda khususnya pada

(10)

suasana dengan prevalensi TB resistensi ganda yang tinggi. Sementara metode fenotipik , di lain sisi, merupakan metode yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara rutin15.

Tabel 1. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT(dikutip dari 15) Metode fenotipik konvensional Metode fenotipik baru Metode genotipik

Metode proporsional Metode rasio resistensi Metode konsentrasi absolut Metode radiometri BACTEC Tabung indikator pertumbuhan

mikobakterial

Metode phage-based Metode kolorimetri

The nitrate reductase assay The microscopic observation

broth-drug susceptibility assay

Metode agar thin-layer

Rangkaian DNA

Teknik hybridisasi fase Agar Teknik real-time Polymerase

Chain Reaction (PCR) Microarrays

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan TB resistensi ganda ini memerlukan seorang spesialis yang ahli dibidangnya6,16. Tiga hal penting dan perlu diperhatikan pada penatalaksanaan TB resistensi ganda adalah teknik diagnostik, pemberian obat, dan kepatuhan16. Dengan pemilihan panduan obat yang tepat maka diharapkan separuh penderita TB resistensi ganda ini akan sembuh dan bisa diselamatkan kemungkinan terjadinya kompilkasi dan kematian. Untuk dapat menyusun panduan yang tepat bagi setiap penderita diperlukan beberapa informasi mengenai hasil tes resistensi kuman tuberkulosis, riwayat pengobatan dan pola resistensi kuman di lingkungan masyarakat penderita menetap. Bila data resistensi baru tidak ada maka data resistensi lama dapat dipakai apabila belum ada OAT yang dipakai penderita setelah tes resistensi dilakukan atau OAT yang dipakai setelah tes resistensi tersebut memang terbukti terdiri dari paduan obat yang masif sensitif. Bila tidak didapat tiga obat yang sensitif maka OAT yang dipilih adalah yang belum pernah dipakai penderita dan menurut data resistensi di mana penderita bertempat tinggal jarang yang resisten4.

(11)

Pengobatan berbasis rumah sakit dianjurkan setidaknya hingga konversi sputum, kemudian setelah keluar rumah sakit, program DOT dijalankan terutama pada kasus resistensi didapat dan sebelumnya terbukti tidak patuh16. Konsep DOTS (Directly Observed Treatment Short

Course) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin

keteraturan berobat penderita dan menanggualngi masalah tuberkulosis

khususnya resistensi ganda ini5,12,16. Program DOTS-plus untuk TB

resistensi ganda memerlukan modifikasi pada lima komponen strategi DOTS6 (tabel 2). Dalam pengawasan hasil terapi, harus dipahami bahwa perbaikan terjadi lebih lambat bila dibandingkan tanpa TB resistensi ganda, namun pada beberapa serial kasus didapatkan kultur sputum konversi negatif setelah 2-3 bulan terapi16.

Strategi DOTS Strategi DOTS-plus

Komitmen adminstratif dan politik

(pemerintah) Komitmen adminstratif dan politik (pemerintah) yang lebih lama Diagnosis dengan kualitas baik

menggunakan pemeriksaan sputum mkroskopis

Diagnosis yang akurat dengan

pemeriksaan kultur dan uji resistensi obat yang terjamin

Pengobatan yang berkesinambungan terhadap obat lini pertama untuk pasien rawat jalan

Pengobatan yang berkesinambungan terhadap obat lini pertama dan kedua, pemberian obat lini kedua dilakukan dibawah pengawasan yang ketat Pengawasan obat secara langsung

(Directly Observed Therapy)

Pengawasan obat secara langsung (Directly Observed Therapy) Pencatatan yang sistematik dan

bertanggung jawab Sistem pelaporan dan perekaman data yang memungkinkan untuk pencatatan dan evaluasi terhadap hasil akhir

Tabel 2. Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dasar dgn DOTS-plus*(dikuti dari 6)

* DOTS-plus merupakan komponen yang utuh dari program kontrol tuberkulosis nasional yang telah ada yang dimplementasikan melalui program infrastuktur

Ketika hendak memulai terapi, yang perlu dingat adalah jangan pernah menambahkan satu jenis obat ke regimen yang sudah gagal, karena hal ini yang mempermudah terjadinya resistensi obat. Minimal 3 obat, dan yang lebih dianjurkan 4 sampai 6 obat diberikan pada kasus TB resistensi ganda yang belum pernah digunakan sebelumnya dan aktivitas obat secara in vitro terjamin6,16,17. Regimen obat berdasarkan bukti medis

(12)

(evidence-based medicine) pada penderita TB resistensi ganda belum ada yang pasti. Pemberian OAT telah disebutkan menurut panduan internasional yang didasarkan pada studi-studi yang telah dijalankan18 (tabel 3).

Selain itu literatur lain ada juga yang menyarankan pemberian regimen obat TB pada pasien dengan berbagai bentuk resistensi (tabel 4). Pilihan obat yang dianjurkan adalah dengan memberikan obat lini pertama yang masih aktif, seperti pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Resistensi pada salah satu obat golongan aminoglikosida, yang paling sering adalah streptomycin, secara umum masih dapat digunakan jenis yang lain obat dari golongan ini. Obat-obatan parenteral seperti amikacin, capreomycin, kanamycin termasuk dalam obat-obatan lini kedua (fluoroquinolone, ethionamide, PAS, cycloserine, clarythromycin, co-amoxiclav, linezolid) yang dapat diberikan. Beberapa jenis obat yang dapat digunakan pada terapi TB resistensi ganda dan dosisnya (tabel 5)16.

Fase inisial Fase lanjutan Obat resisten Durasi (bulan) OAT Durasi (bulan) OAT H + S 3 R+Z+E 6 R+E H+E+S 2 1 R+Z+Amk+Pth, diikuti R+Z+Pth 6 R+Pth H+R±S 3-6 Z+E+Pth+Amk+Fqn 18 E+Pth+Fqn H+R+E+S 3-6 Z+Pth+Amk+Fqn+Cyc 18 Pth+Fqn+Cyc H+R+Z+E+S 3-6 Pth+Amk+Fqn+Cyc+Pas 18 Pth+Fqn+Cyc

(dikutip dari 18)

Tabel 3. Pengobatan TB resistensi obat : rekomendasi WHO*

H: isoniazid; R: rifampicin; Z: pyrazinamide; E: ethambutol; S: streptomycin;

Pth: protionamide/ethionamide; Pas: p-aminosalicylic acid; Amk : Amikacin; Fqn : Fluoroquinolon; Cyc : Cycloserine

*:pilihan terapi untuk resistensi obat yg diketahui. Jika diasumsikan resistensi banyak obat (gagal pengobatan setelah terapi jangka pendek dan dengan pengawasan langsung), terapi 3 bulan dengan aminoglikosida, prothionamide, pyrazinamide, dan fluoroquinolon diikuti 18 bulan dengan prothionamide dan fluoroquinolone.

(13)

Tabel 4. Regimen yang potensial untuk penderita TB dengan berbagai bentuk resistensi(dikutip dari 16) Bentuk resistensi Regimen yang

dianjurkan

Durasi minimum (bulan)b

Keterangan

R + H (± S) Z+ E+Fqn+Amk 18 Pada penyakit yang luas, dapat ditambahkan regimen tambahan. R + H + E (± S) Z+Fqn+Amk+ 2a 18 Pertimbangkan operatif R + H + Z (± S) E+Fqn+Amk+2a 18-24 Pertimbangkan operatif

R + H + Z + E (± S) Fqn+Amk+3a 18-24 Pertimbangkan operatif

R : Rifampycin; H : Isoniazid; Z : Pyrazinamide; E : Ethambutol; S : Streptomycin

Fqn : Fluoroquinolone (Ofloxacin,ciprofloxacin, atau levofloxacin)

Amk : Amikacin (capreomycin sebagai alternatif pada kasus yang resisten)

a

Regimen tambahan : ethionamide, Para Amino Salycilic acid (PAS), cycloserine, β-lactam, clarythromycin, linezolid, clofazimine. bSetelah konversi sputum

Tabel 5. Formulasi, dosis, tipe aktivitas dan bukti evaluasi klinis obat yang dapat digunakan pada terapi TB resistensi ganda(dikutip dari 16)

(14)

Untuk pemilihan obat lini kedua disarankan berdasarkan aktivitas intrinsik obat terhadap M.tuberculosis dan efikasinya terhadap klinis (tabel 6). Durasi terapi ditentukan berdasarkan setiap individu, tetapi secara umum, sebaiknya diberikan minimal 18 bulan setelah konversi sputum. Menurut kerentanan obat-obat M.tuberclosis pada saat awal, penarikan obat satu atau lebih bisa saja dilakukan selama terapi tanpa memperkirakan akibatnya nanti, tetapi obat bakteriostatik dan yang tidak mempunyai efek bakterisid sebaiknya diperpanjang, jika efek samping tidak dapat ditolerir yang menjadi alasan mengapa regimen tersebut direvisi (contoh : aminoglikosida, cycloserine) 16.

Jenis Obat Urutan

Levofloxacin I Aminoglycoside/capreomycin Ethionamide/prothionamide Ofloxacin/ciprofloxacin II PAS III Cycloserine IV β-Lactam V Clarythromycin, linezolid, clofazimine VI

Tabel 6. Urutan obat lini kedua yang diusulkan berdasarkan aktivitas antimikrobial intrinsik dan efikasi klinisnya(dikutip dari 16)

Hasil mengenai keberhasilan terapi TB resistensi ganda dengan menggunakan OAT lini kedua pernah dilaporkan pada empat studi. Dari keempat studi ini, hasil sputum yang mengalami konversi negatif berkisar 51-95% dan yang mengalami keberhasilan terapi berkisar 44-77% sementara yang mengalami mortalitas berkisar 0-37%(tabel 7) 18.

(15)

Dari data National Jewish Centre for Immunology and Respiratory

Medicine pada tahun 1983-1990, berdasarkan operasi pada 57 penderita

TB resistensi ganda ternyata 45 penderita dinyatakan sembuh. Berdasarkan laporan tersebut jelas bahwa tindakan operasi mempunyai

peran yang besar dalam penanganan TB resistensi ganda4. Berbagai

prosedur pembedahan dilakukan terhadap pasien TB paru resistensi ganda, mulai dari reseksi segmental sampai pleuro-pneumonectomy. Berdasarkan pengalaman yang ada, tindakan operasi pada penderita TB paru resistensi ganda dengan resiko mortalitas rendah (< 3%). Tetapi angka komplikasi yang terjadi cukup tinggi dimana fistula bronkopleural dan empiema yang menjadi komplikasi utama. Lebih dari 90 persen pasien pemeriksaan sputumnya menjadi negatif setelah dilakukan tindakan operasi. Pembedahan reseksional saat ini direkomendasikan pada penderita TB paru resistensi ganda yang terapi dengan obat-obatan cukup jelek. Indikasi pembedahan yaitu (1) Kultur sputum positif yang menetap meskipun sudah diterapi dengan obat yang cukup banyak; dan atau (2) adanya resistensi obat yang luas yang dikaitkan dengan kegagalan terapi atau bertambahnya resistensi; dan atau (3) adanya kavitasi lokal, nekrosis/destruksi pada sebuah lobus atau sebagian paru yang disetujui untuk dilakukannya operasi tanpa adanya insufisiensi respiratori dan atau hipertensi pulmonal yang berat. Hal tersebut dilakukan setelah minimum tiga bulan terapi intensif dengan regimen obat-obatan, dimana diharapkan status sputum menjadi negatif jika memungkinkan. Dengan tindakan operasi ketahanan hidup jangka panjang dapat diperbaiki daripada dengan meneruskan terapi obat-obatan saja. Walaupun begitu, pemakaian obat-obatan tetap dilanjutkan setelah operasi dilakukan, kemungkinan dalam waktu setahun lebih, sebaliknya ketahanan hidup yang jelek mungkin saja terjadi19.

Penderita TB resistensi ganda sering mengalami kakeksia, terutama pada penderita dengan infeksi HIV (Human Immunodeficiency

Virus). Mekanisme hilangnya berat badan tersebut dikaitkan dengan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), yang menginduksi terjadinya demam

(16)

dan kerusakan jaringan sehingga mempengaruhi respon katabolik. Selain itu obat-obatan seperti pyrazinamide dan golongan fluoroquinolon menyebabkan anoreksia, nausea, vomiting, dan diare yang menganggu masukan makanan yang selanjutnya akan memperparah keadaan katabolik. Peranan nutrisi menjadi faktor yang penting dalam penanganan pasien dengan TB resistensi ganda, khususnya pada pasien-pasien yang hendak menjalani operasi paru. Walaupun belum ada bukti yang jelas, tetapi malnutrisi diperkirakan menjadi faktor resiko yang besar untuk mengalami komplikasi pasca operasi19.

Modifikasi sistem imun pada pasien tuberkulosis dapat memfasilitasi kesembuhan. Oleh karena itu ada beberapa penelitian yang mencari tahu agen-agen yang berpotensial sebagai imunoterapi, di anataranya vaksinasi Mycobacterium vaccae. Hasil sementara yang diamati ketika imunitas membaik dengan memberikan vaksinasi M.vaccae sebagai terapi penderita TB yang gagal dengan obat-obatan. Hal tersebut didalilkan bahwa M.vaccae kembali merespon imun seluler secara langsung dari jalur dominan Th-2 ke Th-1 yang menyebabkan sedikitnya destruksi jaringan dan lebih efektif menginhibisi replikasi mikobakterial. Walaupun begitu, kelanjutan hasil ini belum dikonfirmasi dari penelitian lanjutan. Selain itu terapi sitokin juga telah dicoba sebagai terapi TB dengan resistensi ganda. Data belakangan ini menunjukkan bahwa pemberian interferon gamma (IFN-γ) dan interferon alfa (IFN-α) cukup bermanfaat. IFN-γ disekresikan sel Th CD4+ yang memiliki efek antituberkulosis. Sebagai tambahan, IFN-α dapat menginduksi IFN- γ yang disekresi oleh sel Th CD4+, dan kedua tipe IFN tersebut dapat menstimulasi aktivitas makrofag. IFN- γ aerosol (500μg, tiga kali sehari) secara klinis memberikan respon pada penderita TB dengan resistensi ganda. Keuntungan yang didapat termasuk konversi sputum menjadi negatif tidak memakan waktu yang lama, menghambat pertumbuhan kuman pada kultur, dan mengurangi kavitas. Sementara pemberian IFN-α aerosol (3 MU, tiga kali seminggu) untuk dua bulan sebagai terapi tambahan pada penderita yang tidak respon terhadap obat lini kedua yang

(17)

telah diobati selama 6 bulan, memberikan hasil sementara yaitu penurunan jumlah koloni kuman per kultur. Data sebelumnya juga mendukung bahwa IFN-α aerosol merupakan terapi tambahan yang menjanjikan terhadap penderita TB dengan resistensi ganda. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui persis dosis yang optimal dan jadwal pemberian. Selain itu sitokin lainnya, interleukin 2 (IL-2), diyakini aktivitasnya terhadap meningkatnya produksi IFN-γ. Pemberian

recombinant human IL-2 (rhu IL-2) sebagai terapi tambahan setiap hari

dikatakan dapat menurunkan atau membersihkan jumlah kuman pada sputum sekitar 62 persen penderita dan sekitar 58 penderita mengalami perbaikan gambaran foto thoraks setelah enam minggu pengobatan19.

PROGNOSIS

Ada beberapa hal yang dapat menjadi petanda untuk mengetahui prognosis pada penderita TB resistensi ganda. Dari beberapa studi yang ada menyebutkan bahwa adanya keterlibatan ekstrapulmoner, usia tua, malnutrisi, infeksi HIV, riwayat menggunakan OAT dengan jumlah yang cukup banyak sebelumnnya, terapi yang tidak adekuat (< 2 macam obat yang aktif) dapat menjadi petanda prognosis buruk pada penderita tersebut6.

Dengan mengetahui beberapa petanda di atas dapat membantu

klinisi untuk mengamati penderita lebih seksama dan dapat memperbaiki hal yang menjadi penyebab seperti malnutrisi6.

KESIMPULAN

TB resistensi ganda dimana terjadi resistensi minimal terhadap obat rifampicin dan isoniazid kini menyebar dengan sangat cepat di berbagai belahan dunia. Teknik diagnostik, pemberian obat dan kepatuhan penderita sangat penting dalam tatalaksana TB dengan resistensi ganda ini.

(18)

Terapi yang dianjurkan dengan memberikan 4 sampai 6 macam obat. Pilihan obat yang diberikan yaitu obat lini pertama yang masih sensitif disertai obat lini kedua berdasarkan aktivitas intrinsik terhadap kuman M.tuberculosis. Pembedahan perlu dipertimbangkan bila setelah 3 bulan terapi OAT tidak terjadi konversi negatif sputum. Pemberian nutrisi yang baik dan modifikasi sistem imun (dengan vaksin M.vaccae dan sitokin) dapat membantu keberhasilan terapi, tetapi hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds), Baum’s Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher, Boston, 2003.

2. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.

3. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo AW, dkk (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006. 4. Tanjung A. Pengelolaan MDR TB dalam Workshop Pengelolaan

Tuberkulosis Paru dengan Penyulit dan Keadaan Khusus.2001. 5. Aditama TY. Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya,

edisi V. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.2005.

6. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis : A

Menace That Threatens To Destabilize Tuberculosis Control.

CHEST 2006; 130:261–272.

7. Andra. Kupas Tuntas Tuberculosis dalam Simposia Update on Tuberculosis and Respiratory Disorder. Juni 2007.

8. Tanjung A, Keliat EN. Resistensi primer kuman tuberkulosis

terhadap beberapa obat yang sering dipakai pada penderita tuberkulosis paru dewasa. Medan. 1994.

(19)

9. Blanc AT, et al. Management of Chronic and Multi Drug

resistance cases in Treatment of Tuberculosis : Guidelines for

national programmes, 3rd ed,.WHO. Geneva.2003.

10. Iseman MD. Mycobacterial Diseases of the Lungs in Hanley M, Welsh CH (eds), Current Diagnosis and Treatment in Pulmonary Medicine. Mc Graw Hill. New York. 2003.

11. Iseman MD. Tuberculosis in Goldman L, Ausiello D (eds), Cecil Textbook Medicine.

12. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala. PERPARI. Bandung. 2006.

13. Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) ,

Crofton and Douglas’s Respiratory diseases Vol 1, 15th ed.

Berlin.2000.

14. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds), Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York. 2004.

15. Martin A. Portaels F. Drug Resistance and Drug Resistance

detection in Palmino JC, et al (eds), Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, 1st ed. www.textbookcom. 2007.

16. Perri GD, Bonora S. Which Agents Should We Use For The

Treatment of Multi Drug Resistant Mycobacterium Tuberculosis?. Journal of Antimicrobial chemoteraphy (2004) 54,

593-602.

17. Gerberding JL, et al. Treatment of Tuberculosis. Department of Health and Human services Centers for Disease Control and Prevention. MMWR. Atlanta. 2003.

18. Loddenkemper R, Sagebiel D.,Brendel A. Strategies against

multidrug-resistant tuberculosis. Eur Respir J 2002; 20: Suppl.

36, 66s–77s.

19. Sharma SK, Mohan A. Multidrug resistant Tuberculosis. Indian J Med Res 120, Oct 2004, 354-76.

Gambar

Gambar 1. Atas (A) : Prevalensi TB resistensi ganda pada kasus-kasus baru dari 1994-2002
Gambar 2.  Tiga tahap perkembangan dan penyebaran  MDR TB. Keempat masalah tersebut  berasal dari pasien yang resisten primer dan sekunder pindah ke daerah kontrol  (dikutip dari 13)
Tabel 1. Metode fenotipik dan genotipik untuk deteksi resistensi OAT (dikutip dari 15)
Tabel 2. Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dasar dgn DOTS-plus* (dikuti dari 6)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tapi biasanya pegawai yang sudah berkeluarga sih yang suka meminta gaji lebih katanya kebutuhannya naik, ada keluarga yang harus dibiayai, biaya hidup makin mahal paahal ya

The students consult the dictionary when they have to choose a word among synonymous words to be used in a certain context.

Peran bidan dalam penurunan angka kematian dan kesakitan pada ibu dan bayi adalah dengan memberikan asuhan kebidanan yang komprehensif mencakup kegiatan

Pada penelitian ini didapatkan hasil rerata kepadatan dendrit Rattus norvegicus baru lahir yang dipapar musik Mozart selama kebuntingan lebih tinggi dibandingkan yang

Filtering merupakan hasil pada data OLAP yang akan meringkas dan mengumpulkan sejumlah besar data, melakukan filtering, pengurutan,dan memberikan peringkat

a) Menyiapkan alat penimbangan bayi, Kartu Menuju Sehat (KMS), alat peraga, alat pengukur lingkar lengan atas untuk ibu hamil dan bayi/ anak, obat-obatan yang dibutuhkan

Kedua faktor penyebab konflik tokoh Amelia meliputi kondisi lingkungan yang tidak mendukung, tuduhan yang tidak sesuai kenyataan, kenyataan yang tidak sesuai harapan,

Prayitno (1997) menyatakan perekat yang tidak menghasilkan keteguhan rekat yang tinggi atau sesuai dengan tujuan perekatan disebut kegagalan perekatan. Dinyatakan pula,