• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT OBAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT OBAT "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Persidangan Antarabangsa Pembangunan Aceh 26-27 Disember 2006, UKM Bangi

PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN OBAT

Kintoko

e-mail: maskinjogja@yahoo.com.sg Pensyarah Bidang Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitras Ahmad Dahlan, Jogjakarta Pelajar Siswazah pada Pusat Pengajian Biosains dan Bioteknologi

Fakulti Sains dan Teknologi Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor D.E

Abstrak

Prospek pengembangan tanaman obat sangat cerah pada masa mendatang ditinjau dari pelbagai faktor penyokong. Antara faktor penyokongnya sebagai berikut: tersedianya sumber kekayaan alam Indonesia dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, sejarah pengobatan tradisional yang telah dikenal lama oleh nenek moyang dan diamalkan secara turun temurun sehingga menjadi warisan budaya bangsa, isu global “back to nature” sehingga meningkatkan pasar produk herbal termasuk Indonesia, krisis moneter menyebabkan pengobatan tradisional menjadi pilihan utama bagi sebahagian besar masyarakat dan kebijakan pemerintah berupa pelbagai peraturan perundangan yang menunjukkan perhatian serius bagi pengembangan tanaman obat. Pengembangan tanaman obat memiliki erti yang sangat luas, tidak sahaja sebagai sumber bahan baku obat herbal (agromedisin), namun lebih dari itu tanaman obat dapat difungsikan sebagai agrowisata, laboratorium botani (taman botani), sumber plasma nutfah, jalur kawasan hijau, komoditi ekspor nonmigas, dan sebagai sumber pendapatan masyarakat tempatan. Melihat begitu besarnya potensi yang dimiliki oleh tanaman obat, hal ini menjadi peluang bagi setiap daerah untuk menjadikan tanaman obat sebagai salah satu prioritas dalam pembangunan sektor ekonomi, sosial dan budaya. Tidak terkecuali Propinsi Nanggro Aceh Darussalam yang memiliki potensi sumber kekayaan alam melimpah. Pembentukan sentra budidaya tanaman obat merupakan langkah awal bagi mengembangkan tanaman obat. Sistem pembangunan yang terencana dan terintegrasi memungkinkan pencapaian tujuan pengembangan tanaman obat secara maksimal. Keterlibatan antar insituti seperti dinas kesehatan, pendidikan, pertanian, pariwisata, perencanaan tata kota dan perguruan tinggi sangat diperlukan selain partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat.

Kata kunci: prospek, pengembangan, tanaman obat

1. Pendahuluan

(2)

pembangunan yang dikucurkan pemerintah sebesar Rp 15,6 trilyun dan komitmen dunia Internasional sebesar US $ 7,1 Milyar setidaknya memberi angin segar akan berhasilnya rekontsruksi di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keberhasilan dari kegiatan ini ditentukan oleh perencanaan yang matang, sistematis dan integratif dengan mempertimbangkan faktor-faktor potensi asli daerah.

Dalam perspektif kesehatan, bencana gempa tsunami di NAD memunculkan pelbagai problem seperti sanitasi lingkungan yang buruk, penyakit infeksi, kualitas gizi rendah, depresi mentah/ trauma dan sebagainya. Pemberdayaan sumber-sumber potensial dapat dilakukan guna mengeliminasi/menetralisasi pelbagai efek negatif pada masyarakat maupun lingkungan hidup pasca bencana. Salah satu potensi yang amat besar adalah sumber kekayaan alami berupa tanam-tanaman yang dapat dikembangkan peran dan fungsinya secara luas. Kekayaan alam Indonesia sebagai mega senter keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia merupakan potensi yang sangat berarti. Terdapat lebih kurang 30.000 jenis tanaman berbunga yang tumbuh di hutan hujan tropis Indonesia (Sukrasno dkk. 2002).

2. Tanaman Obat Sebagai Penghijauan Kawasan Pantai Rawan Tsunami

Pada kolom berjudul Bencana Tsunami, Riset dan Mitigasi yang ditulis oleh Nanang T Puspito di harian Kompas 22 Februari 1996 menyebutkan bahwa salah satu tindakan proteksi pantai yang perlu dilakukan yaitu dengan membuat jalur hijau sepanjang 200 meter dari garis pantai yang dapat berfungsi sebagai penahan gelombang dan melestarikan batu karang yang dapat berperan sebagai pemecah ombak (Sudarmono, 2005). Daerah-daerah yang sangat perlu untuk dilakukan penghijauan meliputi sepanjang pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa Barat, Cilacap, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan Irian Jaya yang merupakan kawasan rawan tsunami. Hal ini kerana daerah-daerah tersebut merupakan jalur gempa tektonik. Terlebih lagi kawasan pantai yang langsung berhadapan dengan lautan luas seperti pantai selatan Jawa dan Sumatera, karena secara geografis pantai-pantai tersebut cukup terjal dan gelombang air lautnya tinggi.

Melihat struktur tanah di daerah pantai yang berpasir, maka konsep penghijauan pantai dapat dibagi menjadi 2, yaitu penghijauan pada perairan pantai dan tepi pantai. Penghijauan perairan pantai umumnya dengan tananam bakau (mangrove) dimana di Indonesia dikenal beberapa jenis yaitu Bakau (Rhyzophora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia), Tanjang (Bruguiera), dan Nyirih (Xylocarpus). Api-api sesuai pada tanah berpasir yang agak keras, sedangkan Pedada sesuai pada tanah yang berlumpur lembut. Pada tanah lempung yang agak pejal sesuai untuk Tanjang, biasanya di bagian hulu. Sedangkan bakau hidup pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak. Penghijauan pada tepi pantai dapat dilakukan dengan tanaman seperti rumput dan semak contohnya Cyperus sp., Ipomea pescaprae. Lebih ke arah daratan dapat ditanami cemara pantai (Casuaria equisetifolia), Ketapang (Terminalia catapa), Nyamplung (Callophyllum inophylum), Kelapa (Cocos nucifera), Pandan (Pandanus tectorius), Legundi (Vitex trifolia var simplicifolia), Angsana (Pterocarpus indicus), Tembusu padang (Fragraea fragrans), pong-pong (Cerbera odollam), Waru laut (Hibiscus tiliaceus), Mempari (Pongamia pinnata) (Sudarmono, 2005). Satu lagi tanaman obat yang sangat tepat ditanam pada daerah marginal yang panas, kering dan berbatu, yaitu Mimba (Azadirachta indica) (Kardinan. A & Dhalimi. A, 2003). Dengan adanya penghijauan, juga memberikan manfaat terhadap penghambatan perubahan suhu yang besar/ekstrim dan perintang angin (win breaks), dimana tanaman yang ditanam rapat dapat mengurangi kecepatan angin 75%-85% (Hanna. G, 2006).

3. Tanaman Obat Sebagai Usaha Tani Masyarakat

(3)

terhadap pasokan minyak nilam Indonesia (Sufriyadi. E & Mustanir, 2004). Minyak nilam banyak digunakan dalam industri farmasi dan industri parfum. Tanaman nilam dapat tumbuh subur dan menghasilkan minyak bermutu baik pada ketinggian 0 - 700 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan 1.750 – 3.500 mm/tahun, temperature rata-rata harian 24 - 28°C dengan tanah berdrainase baik, tekstur lempung liat berpasir, dan tanah berpasir lainnya, pH 5,5 - 7 dan gembur (Rosman. R & Hermanto, 2004). Di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat beberapa Kabupaten yang merupakan sentra produksi nilam karena daerah tersebut memiliki potensi lahan dan agroklimat yang sesuai untuk pengembangan nilam, antara lain Kabupaten Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Aceh Singkil (Puteh. A, 2004).

Proses budidaya tanaman nilam sebaiknya dilakukan secara menetap melalui pola tanam yang tepat. Pengolahan lahan dimulai 1 – 2 bulan sebelum tanam dengan pencangkulan tanah sedalam 30 cm. Dibuat bedengan untuk ditanami nilam dengan ukuran tinggi 20 - 30 cm, lebar 1 - 1,5 meter dan panjang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Jarak antara bedengan satu dengan lainnya berkisar antara 40 - 50 cm untuk memudahahkan perawatan. Kebutuhan pupuk sebanyak 10 - 20 ton per hektar tergantung dari tingkat kesuburan tanah. Setelah diberi pupuk kandang kemudian didiamkan selama 2 minggu. Menjelang waktu tanam dibuat lubang tanam ukuran 15 cm panjang x 15 cm tinggi x 15 cm lebar. Jarak antara lubang satu dengan lainnya antara 40 cm x 50 cm atau 50 cm x 50 cm. Penyiraman dapat dilakukan dengan mengalirkan air pada parit-parit antara bedengan atau dengan menggunakan sprinkle shower. Penyiangan diperlukan untuk menjaga kemampuan akar tanaman dalam menyerap unsure sara berjalan secara optimal (Sufriyadi. E & Mustanir, 2004).

4. Tanaman Obat Sebagai Komoditi Ekspor

Peningkatan ekspor bahan baku biofarmaka ke berbagai negara tujuan cukup meningkat sejalan dengan meningkatnya industri-industri farmasi di dunia. Total nilai dagang biofarmaka dunia mencapai US$ 45 miliar pada tahun 2001, dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi US$ 5 triliun pada tahun 2005. Sedangkan omzet penjualan biofarmaka Indonesia baru mencapai US$ 100 juta per tahun. Hal ini berarti, kontribusi ekspor biofarmaka Indonesia lebih kurang sekitar 0,22 % saja (Anonim, 2005). Tabel berikut menunjukkan perkembangan nilai ekspor dan jenis biofarmaka Indonesia.

Tabel 1. Perkembangan nilai ekspor biofarmaka

Tahun Nilai ekspor (Juta US$) Pertumbuhan

1998 4,8

-1999 5.5 15,39

2000 7,4 33,64

2001 5,3 -23,24

Oktober 2002 3,6 -23,17

Sumber : Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2003 Tabel 2. Jenis biofarmaka yang dominan diekspor

No Komoditas Nama Ilmiah Bagian tanaman yang digunakan

(4)

1. Tapak dara Catharanthus roseus Daun

Ekspor jahe Indonesia rata-rata meningkat 32,75 % per tahun. Sedangkan pangsa pasar jahe Indonesia terhadap pasar dunia 0,8 %, berarti peluang Indonesia sangat besar untuk meningkatkan ekspor. Jika dilihat dari prospeknya, pemasaran di luar negeri bukanlah masalah karena pasar biofarmaka ini masih belum optimal dan terbuka lebar, sementara pasokannya jauh lebih kecil. Contohnya adalah komoditas tanaman kencur (Kaemferia Galanga, Linn), yang harganya mencapai US$ 1.100/ton, dari permintaan ekspor dunia sebesar 200 – 300 ton per tahun hanya terpenuhi sekitar 62 ton per tahun. Disamping itu, Indonesia tidak dapat memenuhi demand pasar dunia internasional akan komoditas bangle (Zingiber purpureum Roxb.), lempuyang wangi (Zingiberis aromaticum) dan lempuyang gajah (Zingiberis zerumbeti) (Anonim, 2005). Melihat peluang yang masih terbuka luas, Propinsi NAD dapat memberikan kontribusi dalam pemenuhan pasar dunia melalui ekspor biofarmaka selain nilam Aceh yang sudah menjadi andalan sejak lama. Hal mengingat tanaman tersebut (kencur, bangle, jahe, lempuyang wangi dan lempuyang gajah) mudah dibudiyakan di sebagian besar wilayah Indonesia.

5. Tanaman Obat Sebagai Toga

Pemerintah telah menetapkan kebijakan dalam upaya pelayanan kesehatan yaitu Primary Health Care (PHC) sebagai strategi untuk mencapai derajat kesehatan optimal masyarakat melalui penerapan teknologi tepat guna dan peran serta masyarakat. Upaya pengobatan tradisional dengan tanaman obat merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dan penerapan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang pembangunan kesehatan (Tukiman, 2004). Dalam konteks implementasi praktis, setiap keluarga di Propinsi NAD dapat membudidayakan tanaman obat keluarga (TOGA) secara mandiri dan memanfaatkannya sehingga akan terwujud prinsip kemandirian dalam pengobatan keluarga. Selain daripada itu, TOGA dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki gizi keluarga mengingat jenis tanaman obat dapat berupa sayuran dan buah-buahan (Sukmaji, 2006).

TOGA adalah singkatan dari tanaman obat keluarga, yaitu pelbagai jenis tanaman yang dibudidayakan baik di halaman, pekarangan rumah, ladang atau di kebun. Tanaman tersebut sebagai Apotek Hidup yang dapat memenuhi keperluan keluarga akan obat-obatan (Hanna. G, 2006). Jenis tanaman yang dibudidayakan sebagai TOGA adalah tanaman yang tidak memerlukan perawatan khusus, tidak mudah diserang hama penyakit, bibitnya mudah didapat, mudah tumbuh dan tidak termasuk jenis tanaman terlarang dan berbahaya/beracun. Pemanfaatan TOGA lazimnya untuk pengobatan gangguan kesehatan keluarga menurut gejala-gejala umum seperti demam panas, batuk, sakit perut, gatal-gatal (Wakidi, 2003). Departemen kesehatan RI dalam buku “Pemanfaatan Tanaman Obat” telah menentukan jenis tanaman yang lazim di tanam di pekarangan rumah (terlampir). Pemerintah Propinsi NAD melalui instansi terkait seperti Dinas Kesehatan dengan kerjasama PKK dapat melakukan sosialisasi terhadap program TOGA bagi menunjang upaya peningkatan kesehatan oleh masyarakat secara optimal.

(5)

Bencana gempa tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 yang meluluhlantakkan wilayah Aceh mengakibatkan kehilangan sebagian sumber plasma nutfah. Hal ini berdasarkan persentase kerusakan yang terjadi yaitu sebesar 52,77% dari total luas ibu kota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang hancur total (Tim Inovasi, 2004). Menurut Hasanah. M (2005) dalam kajiannya tentang “Penelaahan tentang Plasma Nutfah Khusus: Tanaman Obat”, mengatakan bahwa ancaman kelestarian plasma nutfah tumbuhan obat hutan tropika saat ini sangat serius karena formasi hutan tropika dataran rendah selama 2 dekade belakangan ini mengalami kerusakan yang sangat parah, akibat ekspolitasi kayu, perambahan hutan, bencana alam (kebakaran hutan, tanah longsor, banjir/ tsunami), konversi hutan, perladangan berpindah dan lain-lain seperti dipaparkan pada tabel 3 berikut:

Tabel 3. Perusakan habibat di beberapa propinsi di Indonesia

No Propinsi Habitat yang tersisa (Ha)

Habitat yang lenyap (Ha)

1. Sumatera 20.000.000 255.300.000

2. Jawa dan Bali 1.300.000 11.300.000

3. kalimantan 24.000.000 20.000.000

4. Nusa Tenggara 2.300.000 6.700.000

5. Sulawesi 10.000.000 8.000.000

6. Maluku 4.300.000 2.000.000

7. Irian Jaya 36.600.000 3.000.000

Jumlah Persentase

98.500.000 24,33%

306.300.000 75,67% Sumber: Hasanah. M, 2004

Dalam UU No 12 tahun 1992, pasal 1 butir 2, plasma nutfah diartikan sebagai substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar baru (Hasanah .M, 2005). Klasifikasi kondisi tanaman obat akibat pengambilan bahan baku tanpa dilakukan pelestarian plasma nutfahnya diklasifikasikan menjadi 5 kelompok (Muharso, 2000).

1. Punah, dianggap telah musnah dari muka bumi.

2.

Genting, jenis tanaman yang terancam punah. Contohnya purwoceng (Pimpinella pruatjan), kayu angin (Usnea misaminensis), pulasari (Alyxia reiwardii) dan bidara laut (Trychnos ligustrina).

3.

Rawan, jumlah sedikit tapi terus dieksploitasi. Contohnya Ki koneng (Arcangelisia flava).

4.

Jarang, jenis tanaman dengan populasi besar tapi tersebar secara lokal, atau daerah penyebarannya luas tapi mengalami erosi berat. Contohnya pulai (Alstonia scholaris). 5. Terkikis, jenis tanaman yang jelas mengalami kelangkaan tapi informasi keadaan

sebenarnya belum mencukupi untuk masuk dalam kategori tersebut di atas.

Idealnya semua tanaman obat harus dilestarikan, meliputi semua populasinya di alam (in situ) dan dilakukan pengakaran di luar habitatnya (ex situ). Kegiatan eksplorasi yang merupakan pelacakan atau penjelajahan, mencari, mengumpulkan dan meneliti plasma nutfah tertentu dilakukan untuk mengamankan dari kepunahan. Peningkatan budidaya tanaman obat merupakan upaya yang diharapkan dapat melestraikan sumber plasma nutfah khususnya tanaman yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (tanaman sumber pangan, obat, papan dan sandang).

(6)

Pembangunan Agrowisata di Indonesia menunjukkan kecenderungan terus meningkat khususnya dalam bentuk menikmati objek-objek wisata spesifik seperti udara yang segar dan pemandangan yang indah. Tanaman obat dan aromatik merupakan kelompok tanaman yang mempunyai daya tarik spesifik sehingga menjadi peluang yang besar untuk dikembangkan sebagai objek wisata agro (OWA) unggulan. Contoh agrowisata yang telah berhasil guna dan bernilai guna sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) adalah OWA yang terletak di Desa Karyasari, Leuwiliang, Bogor dengan koleksi 420 jenis tanaman obat.

Tanaman obat dan aromatik tidak selalunya merupakan tanaman liar yang terdapat di hutan-hutan pedalaman, atau tanaman yang berupa tumbuhan yang tinggi seperti cengkeh (Syzigium aromaticum). Namun tanaman obat dan aromatik dapat berupa tanaman berbunga, berbuah, tanaman sayuran dan tanaman pagar. Contohnya adalah tanaman tapak dara (Catharantus roseus/Vinca rosea), dengan bunganya yang berwarna merah jambu. Juga kumis kucing/misai kucing (Orthosiphon stamineus), bunganya menarik karena tangkai sarinya panjang seperti misai/ kumis kucing. Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) dengan warna kulit buahnya merah hati. Tanaman sayuran seperti seledri (Apium graveolens) dikenal sebagai antihipertensi. Tanaman pagar seperti Keji Beling (Strobilantus crispus), merupakan tanaman perdu dengan daun yang rimbun sehingga sesuai untuk direka bentuk menjadi hiasan pagar.

Pada umumnya, tanaman obat dengan bunganya yang berwarna-warni disebabkan karena tajuk bunganya (corolla) mengandungi zat dari golongan flavonoid, auron, kalkon, antosianin/antosianidin. Bau aromatik (wangi) yang ditimbulkan disebabkan kandungan minyak atsiri/ minyak menguap. Reka bentuk agrowisata dengan tata ruang luar menggunakan hard material (patung, batuan, kolam ikan, dsb) dan soft material (tanaman berbunga, aromatik, sayuran dan buah-buahan) akan menghasilkan view yang indah dan menarik. Ukuran tanaman, warna tanaman, tekstur tanaman dan bentuk tanaman perlu diperhatikan untuk mendapatkan formulasi taman yang serasi (Hanna. G, 2006). Propinsi NAD dengan sumber daya alamnya yang potensial dapat melakukan koleksi terhadap tanaman-tanaman tersebut dengan spesifikasi yang menarik, unik dan berkhasiat sebagai obat, sehingga menjadi potensi tersendiri dalam membangunkan wisata yang berbasis agroholtikultura (agrowisata).

8. Tanaman Obat Sebagai Agromedicin

Sejarah pengobatan tradisional yang telah dikenal sejak lama sebagai warisan budaya dan tetap diteruskan sehingga kini menjadi potensi dan modal dasar untuk mengembangkan obat-obat tradisional yang berasal dari tanaman. Menurut WHO, diperkirakan sekitar 4 milyar penduduk dunia (± 80%) menggunakan obat-obatan yang berasal dari tanaman. Bahkan banyak obat-obatan modern yang digunakan sekarang ini berasal dan dikembangkan dari tanaman obat. WHO mencatat terdapat 119 jenis bahan aktif obat modern berasal dari tanaman obat (Suganda, A.G, 2002).

(7)

tahun 2002 ini sudah mencapai sekitar 1000 industri). Industri sebanyak ini mampu menghasilkan perputaran dana sekitar Rp. 1.5 trilyun per tahun.

Badan POM dalam arah pengembangan obat alami membagi 3 kelompok secara berjenjang yaitu jamu, sediaan ekstrak terstandar dan fitofarmaka. SK Menteri Kesehatan no. 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang obat fitofarmaka, dan SK Menteri Kesehatan no. 0584/Menkes/SK/VI/1995 tentang pembentukan sentra pengembangan dan penerapan pengobatan tradisional, menjadi dasar acuan agar obat tradisional dapat masuk dalam upaya pelayanan kesehatan formal (UPKF) (Supari. F, 2002). Pada lampiran memaparkan tanaman obat sebagai fitofarmaka yang prospektif.

Obat alami juga digunakan untuk hewan. Beberapa obat alami yang digunakan dalam dunia hewan adalah jahe merah (Zingiber officinalis var. rubra) sebagai koksidiostat yang dapat mengatasi koksidiosis ayam dan meningkatkan respon vaksinansi, pule pandak (Alstonia scholaris) untuk mengatasi cacingan pada ruminansia, unsur pedas Kapsaisin pada cabe yang ampuh untuk menahan serangan bakteri penyebab tifus pada unggas. Seiring dengan meningkatnya animo masyarakat dalam penggunaan obat alami untuk hewan, pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian dan Kehutanan No. 453/Kpts/TN.260/9/2000 telah mengeluarkan peraturan tentang obat alami untuk hewan (Maheshwari. H, 2002).

9. Tanaman Obat Sebagai Laboratorium Botani

Tanaman obat sebagai laboratorium botani sangat diperlukan. Peranan laboratorium botani sebagai media pendidikan dan penelitian perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah, mengingat masih banyak keanekaragaman hayati yang belum dikaji secara lebih mendalam untuk memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan hidup. Sumber-sumber informasi ilmiah yang diperoleh dari kegiatan penelitian yang berkesinambungan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Propinsi NAD dalam kebijakan pembangunan ekonomi daerah berbasis potensi sumber daya alam. Kajian-kajian ilmiah seperti ekologi, morfologi, fitokimia, bioteknologi tumbuhan dan sebagainya dapat dijalankan dengan kemudahan dari taman botani yang dikelola pemerintah daerah.

Berdasarkan penelitian terhadap nilam Aceh dalam aspek lahan dan iklim yang dilakukan oleh Rosman R & Hermanto dari Balittro, mendapati bahwa Propinsi NAD dapat diklasifikasikan menjadi 4 kumpulan wilayah pengembangan tanaman nilam Aceh, yaitu wilayah S1 (amat sesuai), S2 (sesuai), S3 (hampir sesuai), dan N (tidak sesuai) dengan luas lahan masing-masing seperti pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Luas wilayah kesesuaian lahan bagi tanaman nilam Aceh di Propinsi NAD

Klasifikasi kesesuaian lahan Luas (ha) Persentase (%) S1

S2 S3 N

1.160.464 1.816.764 1.230.721 1.462.651

20 32 21 27

Jumlah 5.670.600 100

Sumber : Rosman R & Hermanto, 2004

(8)

pihak akademisi (pusat penelitian), dan praktisi sehingga diharapkan banyak keuntungan yang didapat daripada hasil-hasil penelitian untuk membangunkan ekonomi daerah guna mencapai kesejahteraan masyarakat.

10. Sentra Budidaya Tanaman Obat

Deputi II Bidang Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik BPOM menuturkan bahwa dari segi produsen, industri obat tradisional ASEAN paling besar di Indonesia dengan nilai pasar obat tradisional Rp 2 triliun setahun. Namun dari segi kualitasnya masih bervariasi. Hal ini disebabkan oleh ketidakseragaman kandungan zat aktifnya. Untuk obat tradisional, standardisasi dimulai dari teknologi budidaya bahan baku, pascapanen, proses dan hasil akhir berupa produk obat tradisional. Dalam teknologi budidaya tanaman obat, perlu mempertimbangkan syarat pertumbuhan tanaman obat tersebut berdasarkan pada kesesuaian iklim, jenis tanah dan ketinggian tempat tumbuh. Selain daripada itu, pemilihan bibit, pengolahan tanah, teknik penanaman dan pemeliharaan tanaman perlu diperhatikan.

Budidaya tanaman obat yang disesuaikan dengan keadaan tanah dan iklim akan menghasilkan kandungan zat berkhasiat secara maksimal. Contohnya kandungan alkaloid pada kecubung (Datura metel) paling banyak jika ditanam pada ketinggian 2166 m dpl (Suganda. A.G, 2002). Berdasarkan kajian tanah dan iklim, mendapati Propinsi NAD mempunyai lahan seluas 1.160.464 hektar (20% dari luas wilayah) amat sesuai untuk dikembangkan sebagai sentra-sentra budidaya tanaman obat. Secara teknik lahan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa sentra budidaya tanaman obat yang bernilai ekonomis di pasaran global seperti pada tabel 2, atau tanaman obat unggulan nasional (sambiloto, jahe merah, jati belanda, cabe jawa, temulawak, kunyit, salam, mengkudu dan jambu biji).

Rujukan

Anonim, 2005, Pasar domestik dan ekspor produk tanaman obat (Biofarmaka), Pusat Studi Biofarmaka, IPB, Bogor

Hanna, G. 2006, TOGA, diakses dari http://giacinta.blogspot.com/2006 pada tanggal 3 Desember 2006.

Hasanah. M, 2004, Penelaahan terhadap plasma nutfah khusus: tanaman obat, diakses dari http://indoplasma.com/artikel pada tanggal 8 desember 2006.

Kardinan. A & Dhalimi. A, 2003, Mimba (Azadirachta indica) tanaman multimanfaat, Jurnal teknologi perkembangan TRO XV (1).

Maheshwari. H, 2002, Pemanfaatan obat alami: potensi dan prospek pengembangan, diakses dari http://rudct.tripod.com/sem2_012/hera_maheshwari.htm

Muharso, 2000, Kebijakan pemanfaatan tumbuhan Obat Indonesia. Makalah seminar “Tumbuhan Obat di Indonesia”, Kerjasama Indonesian Resource Centre for Indigenous Knowledge (INRIK), Universitas Pajajaran dan yayasan Ciungwanara dengan Yayasan KEHATI. 26-27 April 2000.

Rosman. R dan Hermanto, 2004, Aspek lahan dan iklim untuk pengembangan nilam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Perkembangan Teknologi TRO XVI (2). Puteh. A, 2004, Potensi dan kebijakan pengembangan nilam di Propinsi Nanggroe Aceh

(9)

Sudarmono, 2005, Tsunami dan penghijauan kawasan pantai rawan tsunami, Innovasi 3(3), PPI, Jepang.

Sufriyadi. E dan Mustanir, 2004, Strategi pengembangan menyeluruh terhadap nilam (petchouli oil) di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Perkembangan Teknologi TRO XVI (2).

Suganda. A.G, 2002, Standardisasi simplisia, ekstrak dan produk obat bahan alam, dalam prosiding Simposium standardisasi jamu dan fitofarmaka, ITB, Bandung, 26 september 2002.

Sukarno dkk, 2002, Meningkatkan jamu dan fitofarmaka menjadi obat pilihan, dalam prosiding Simposium standardisasi jamu dan fitofarmaka, ITB, Bandung, 26 September 2002.

Sukmaji, 2006, Budidaya TOGA dapat memacu usaha di bidang obat-obat herbal, diakses dari http//toga.com pada tanggal 8 Desember 2006.

Supari. F, 2002, Prospek penggunaan obat tradisional di kalangan medis, dalam prosiding Simposium standardisasi jamu dan fitofarmaka, ITB, Bandung, 26 september 2002.

Tim inovasi, 2004, Menata kembali Banda Aceh pasca tsunami, Innovasi 1(8), PPI, Jepang. Tukiman, 2004, Pemanfaatan tanaman obat keluarga (TOGA) untuk kesehatan keluarga,

Bagian Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fak. Kesehatan Masyarakat, USU, Sumatera Utara.

Wakidi, 2003, Pemasyarakatan tanaman obat keluarga “TOGA” untuk mendukung penggunaan sendiri “self medication”, Bagian Farmasi-Kedokteran, Fak. Kedokteran, USU, Sumatera Utara.

Lampiran

Tanaman obat sebagai TOGA dan fitofarmaka yang prospektif

No. Tanaman obat Bagian tan. obat Indikasi potensi 1. Temulawak

(Curcuma xantorrhiza oxb)

Umbi Hepatitis, artritis 2. Kunyit

(Curcuma domestica Val)

(10)
(11)

(Zingibers officinale Rosc) antiinflamasi 29. Delima putih

(Punica granatum Linn)

Kulit buah Antiseptik, antidiare 30. Dringo

(Acorus calamus Linn)

Umbi Sedatif

31. Jeruk nipis

(Citrus aurantifolia Swiqk)

Buah Antibatuk

Gambar

Tabel 3. Perusakan habibat di beberapa propinsi di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Secara harafiah, Arsitektur tropis adalah sebuah produk pemikiran dan budaya yang tumbuh dan berkembang di wilayah iklim tropis. Secara alamiah ia mengalami

Tindakan pencegahan dalam keadaan darurat (kebakaran, peledakan, keluarnya senyawa yang berbahaya) terutama mengandung informasi yang berhubungan dengan alat pemadan

Telah dilakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan tujuan Meningkatkan hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Seladang pada mata pelajaran IPS materi

Mengingat tersedianya data satelit altimetri yang dapat diakses secara gratis dan dapat digunakan untuk analisis kenaikan muka air laut, maka pada naskah tulisan

Berdasarkan data hasil observasi keterampilan proses sains dilakukan uji normalitas yaitu untuk mengetahui apakah dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan

berpacaran.Kegelisahan gadis itu karena ketahuan telah berbohong tidak membuat gadis itu berhenti berbohong, justru malah melanjutkan cerita kebohongannya itu, bahwa

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa pada pertemuan I anak mampu berhitung 1 sampai 20 dengan frekuensi jumlah anak yang baik 4 orang dengan persentase 33%, anak