1
PENDIDIKAN AQIDAH DAN AKHLAK DALAM SURAT AN-NABA’
Oleh: Syarboini, MA
Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Lhokseumawe
Abstrak
Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya. Dalam al-qur’an surat an
Naba’ ayat 38-40 mengandung nilai pendidikan ibadah. Nilai pendidikan aqidah
disebut juga dengan nilai kematian ataupun sesuatu yang dipercayai dan diyakini kebenarannya oleh hati manusia. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah
mengatakan bahwa surat an Naba’ ayat 38-40 mengandung uraian tentang hari
kiamat dan bukti-bukti kekuasaan Allah Swt. yang menunjukkan adanya hari pembalasan pada hari kiamat nanti. Oleh karena itu dalam al-qur’an surat an
2 A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan pedoman bagi ummat Islam yang paling utama,
didalamnya terdapat berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan baik yang bersifat
teoritis maupun bersifat praktis. Ia tersusun dengan beberapa surat yang dimulai
dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, yang disampaikan
kepada kita secara mutawattir baik dari segi tulisan maupun ucapannya, dari satu
generasi ke generasi lain, terpelihara dari berbagai perubahan dan pergantian.
Salah satu cara yang digunakan untuk menjelaskan nilai adalah dengan cara
membandingkanya dengan fakta. Fakta adalah sesuatu yang ada atau tengah
berlangsung begitu saja. Fakta dapat ditemui dalam konteks peristiwa yang
unsur-unsurnya dapat diuraikan satu persatu secara rinci dan keadaan fakta pada
prinsipnya dapat diterima oleh semua orang. Pada dasarnya Islam telah
memberikan landasan yang kuat bagi pelaksaaan pendidikan. Pertama Islam telah
menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama di mana proses
pembelajaran dan transmisi ilmu sangat bermakna bagi manusia. Kedua, seluruh
rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah. Sebagai sebuah
ibadah, pendidikan merupakan kewajibanindividual sekaligus kolektif. Ketiga,
Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuan.
Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas
sepanjang hayat. Dan yang kelima kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat
dialogis, inovatif, dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari timur
maupun barat.
Tujuan pendidikan Islam, tidaklah sekedar proses alih budaya atau ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga proses alih nilai-nilai ajaran Islam
(transfer of islamic values). Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya menjadikan
manusia yang bertaqwa, manusia yang dapat mencapai al-falaḥ, serta kesuksesan hidup yang abadi di dunia dan akhirat (mufliḥun). Pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam suatu sistem memberikan kemungkinan berprosesnya
3
Al qur’an sebagai dasar pokok pendidikan Islam di dalamnya terkandung
sumber nilai yang absolut, eksistensinya tidak mengalami penyesuaian sesuai
dengan konteks zaman, keadaan dan tempat. Surat An-Naba’ adalah salah-satu surat al-Qur’an yang mana pada ayat 38-40 di dalamnya terangkum aktivitas pendidikan. QS. an-Naba’ ayat 38-40 menjelaskan tentang perintah Allah agar manusia memilih jalan yang benar kepada tuhannya. Adapun bunyi firman Allah
swt. adalah sebagai berikut:
Ketiadaan wewenang dan kemampuan itu menurut ayat 38 akan sangat jelas
terlihat pada hari kiamat, hari ketika ruh, yakni Malaikat Jibril dan para malaikat
semuanya, berdiri bershaf-shaf, menghadap-Nya. Mereka tidak berkata-kata,
lebih-lebih keberatan atau memohonkan ampunan atau syafaat kepada yang
durhaka, kecuali siapa yang telah diberi izin khusus untuk berbicara oleh
ar-Rahman, Tuhan yang Maha Pemurah itu; dan yang diberi izin itu mengucapkan
kata yang benar.
Ayat 39 menyatakan bahwa: Itulah hari yang pasti terjadi dan jika demikian
maka siapa yang menghendaki, untuk menelusuri jalan keselamatan sebelum
Jahanam menjadi tempat tinggalnya, maka hendaklah dia sekarang ini juga
bersungguh-sungguh menempuh menuju tuhannya jalan kembali dengan beriman,
bertaubat, dan beramal saleh.
B. Pembahasan
1. Asbabunnuzul Surat An Naba’
Surah an-Naba’ (Arab: ابّنلا, "Berita Besar") adalah surat ke-78 dalam al-Quran. Surat ini tergolong surah Makkiyah, terdiri atas 40 ayat. Dinamakan an-
Naba’ yang berarti “berita besar” diambil dari kata an-Naba´ yang terdapat pada
ayat 2 surat ini. Dinamai juga Amma yatasaa aluun diambil dari perkataan Amma
yatasaa aluun yang terdapat pada ayat 1 surat ini. Asbabun nuzul ayat tersebut
yaitu ketika Nabi Muhammad Saw. Diutus menjadi rasul, orang kafir Quraisy
saling bertanya-tanya mengenai berita besar yang dibawa rasul pada saat itu,
4
Surah an-Naba’ bercerita tentang kaum kafir Mekkah yang selalu mempertanyakan peristiwa kiamat yang akan menuntup rangkaian kehidupan
dunia. Perdebatan dan pertanyaan seperti itu telah menyebabkan banyak orang
berbuat zalim. Mereka asyik memperkosa dunia untuk mendapatkan kesenangan
sementara karena mereka tidak meyakini kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Sebagian besar Al qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak
peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang
memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian
mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal
itu, maka al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.
Kalimat asbabun nuzul pada mulanya merupakan gabungan dua kalimat
atau dalam bahasa arab disebutnya kalimat idhafah yakni dari kalimat asbab dan
nuzul. Secara etimologi maka asbab an-nuzul didefinisikan sebagai sebab-sebab
yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Asbabun nuzul yang dimaksudkan
disini adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya al-Qur’an. Adapun
asbabun nuzul surat An-Naba’ ayat 38-40 yaitu dikemukakan bahwa ketika Muhammad diutus menjadi rasul, orang-orang kafir Quraisyi saling
bertanya-tanya tentang berita yang dibawa rasul.
Subhi Shalih dalam Zaini menyatakan bahwa Asbabun Nuzul yaitu semua
yang disebabkan olehnya diturunkan suatu atau beberapa ayat yang mengandung
sebabnya, atau memberi jawaban terhadap pertanyaan, atau menerangkan
hukumnya pada saat terjadi peristiwa itu (Muhammad Zaini, 2012: 53).
Surat an-Naba’ menerangkan pengingkaran orang-orang musyrik terhadap hari berbangkit, ancaman Allah terhadap sikap mereka, azab yang akan mereka
terima di hari kiamat serta kebahagiaan orang-orang yang beriman. Ayat 38 surat
An-Naba’ yaitu tentang maksud ruh dalam ayat tersebut. Ruh dalam ayat 38
tersebut ada yang mengatakan Jibril, ada yang mengatakan tentara Allah, ada pula
5
Ditinjau dari aspek bentuknya, asbabun nuzul dapat diklasifikasikan dalam
bentuk yaitu asbabun nuzul yang berbentuk peristiwa dan asbabun nuzul yang
berbentuk pertanyaan (Muhammad Zaini, 2012: 54).Berkaitan dengan ayat 38-40
surat surat an-Naba’ yang tersebut di atas, maka asbabun nuzul ayat tersebut berbentuk peristiwa, yaitu peristiwa yang terjadi pada hari kemudian.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, mengetahui asbabun nuzul bagi
ayat-ayat al-Qur’an adalah sangat penting, terutama dalam hal memahami ayat-ayat al-Qur’an dan menghindarkan kesulitannya. Wawasan tentang asbabun nuzul dapat memberikan pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah secara
khusus dalam mensyari’atkan hukum-hukum agama di dalam al-Qur’an.
2. Nilai-Nilai Pendidikan
Kandungan dari surat an-Naba’ ayat 38-40 yang menjadi bahasan utama dalam penelitian ini adalah nilai-nilai pendidikan Islam yang harus diajarkan
kepada peserta didik, karena itu semua merupakan salah satu faktor untuk
menggapai kebahagian, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian
akan dipaparkan mengenai analisis terhadap nilai-nilai pendidikan Islam dalam
surat an-Naba’ ayat 38-40.
Pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan
mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam
bentuk pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan Islam yang
dilaksanakan dalam suatu sistem memberikan kemungkinan berprosesnya
bagian-bagian menuju ke arah tujuan yang ditetapkan sesuai ajaran Islam. Jalannya
proses itu baru bersifat konsisten dan konstan (tetap) bilamana dilandasi dengan
pola dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan pendidikan
Islam (Abdurrahman Saleh,1994: 54).
Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku,
pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta
bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan
kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya (Abdurrahman An Nahlawi,
6
manusia yang berpedoman pada syariat Allah. Artinya, manusia tidak merasa
keberatan atas ketetapan Allah dan Rasul-Nya.
Pemahaman nilai-nilai pendidikan Islam dalam surat an-naba’ ayat 38-40 bahwa pendidikan Islam merupakan usaha orang dewasa muslim yang bertakwa
secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan
fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal
pertumbuhan dan perkembangannya. Dari sini, pendidikan adalah suatu proses
yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola
tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik (Abudin
Nata, 3010: 28).
Berdasarkan surat an-Naba’ ayat 38-40, maka berikut akan dikemukakan mengenai nilai-nilai pendidikan Islam yang termuat dalam surat an-Naba’ ayat 38-40 tersebut. Nilai-nilai pendidikan Islam yang termuat dalam surat an-Naba’ ayat 38-40 dapat diuraikan sebagai berikut:
Pemurah, dan yang mengucapkan kata-kata yang benar (an Naba’:38).
Berdasarkan ayat di atas dapat dijelaskan bahwa (Pada hari itu) lafal
Yauma merupakan Zharaf bagi lafal Laa Yamlikuuna (ketika ruh berdiri) yakni
malaikat Jibril atau bala tentara Allah Swt. (dan para malaikat dengan
bershaf-shaf) lafal Shaffan menjadi Haal artinya dalam keadaan berbaris bershaf-shaf
(mereka tidak berkata-kata) yakni makhluk semuanya (kecuali siapa yang telah
diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah) untuk berbicara (dan ia
mengucapkan) perkataan (yang benar) mereka terdiri dari orang-orang yang
7
orang-orang yang diridai oleh-Nya untuk mendapatkan syafaat. Pada hari ketika
Jibril dan para malaikat berbaris dengan khusyuk. Tak satu pun di antara mereka
yang berbicara, kecuali malaikat yang dizinkan oleh Sang Maha Penyayang untuk
berbicara secara benar (M. Quraish Shihab, 2009: 22-27).
Ar-ruuh” maksudnya adalah Malaikat Jibril. Berarti semua malaikat ada di satu shaf, dan ada satu shaf lagi yang hanya di tempati ruh, yang ruh itu adalah
malaikat jibril. laa yatakallamuuna illaa man adzinalahu al-rahman, artinya
“tidak ada yang bisa berbicara kecuali yang diizinkan oleh Allah. Wa qaala
shawaabaa, artinya “dan ia mengucapkan kata yang benar.” Atau juga bisa
diartikan, “dan apa yang ia bicarakan itu haruslah pembicaraan yang benar.”
Tidak ada yang bisa berbicara, kecuali jika ada izin dari Allah, dan kalaupun bisa
berbicara maka haruslah dengan pembicaraan yang benar (M. Quraish Shihab,
2009: 22-27). Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim menjelaskan sebagai berikut:
َف اِمُهَدا َرَا ْنَم َو ِمْلِعْلاِب ِهْيَلَعَف َة َر ِخَ ْلْا َداَرَا ْنَم َو ِمْلِعْلاِب ِهْيَلَعَف اَيْنُّدلا َدا َرَا ْنَم
ِمْلِعْلاِب ِهْيَلَع
) ٌمِلْسُم َو ى ِراَخُبْلا ُها َو َر(
Artinya: Barangsiapa yang menghendaki kebaikan di dunia maka dengan ilmu.Barangsipa yang menghendaki kebaikan di akhirat maka dengan ilmu. Barangsiapa yang menghendaki keduanya maka dengan ilmu” (HR. Bukhori dan Muslim).
Allah Penguasa di dunia dan di akhirat. Kekuasaan-Nya di akhirat sangat
menonjol sehingga tidak satu pun yang mengingkarinya. Semua takut
kepada-Nya, tidak seperti dalam hidup duniawi. Di sana, para malaikat yang dekat
kepada-Nya pun tidak dapat berbicara kecuali dengan izin-Nya, maka tentu lebih
lebih makhluk durhaka. Mereka pasti akan bungkam. Allah adalah Pemilik,
Pemelihara, dan Pengatur alam raya dari yang sekecil-kecilnya hingga yang
sebesar-besarnya. Dia bukan sekadar Pencipta, lalu menyerahkan wewenang
pengaturan aneka ciptaan-Nya kepada malaikat, baik dipersonifikasi dengan
berhala-berhala, maupun tanpa personifikasi (sekadar percaya) (M. Quraish
8
niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya (an Naba’:39).
Ayat 39 di atas disebutkan bahwa: "Itulah hari yang pasti terjadi dan jika
demikian maka siapa yang menghendaki, untuk menelusuri jalan keselamatan
sebelum Jahanam menjadi tempat tinggalnya, maka hendaklah dia sekarang ini
juga bersungguh-sungguh menempuh menuju Tuhannya jalan kembali dengan
beriman, bertaubat, dan beramal saleh. Ayat tersebut mengandung makna bahwa
ganjaran, bahkan balasan yang diberikan Allah adalah bagian dari rahmat-Nya,
termasuk yang diterima oleh para pendurhaka. Bukankah merupakan rahmat
menghukum yang bersalah. Bukankah merupakan rahmat membedakan antara
yang baik dan yang buruk (M. Quraish Shihab, 2009: 22-27).
Itulah hari yang pasti terjadi) hari yang pasti kejadiannya, yaitu hari kiamat.
(Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali
kepada Rabbnya) yakni, kembali kepada Allah dengan mengerjakan ketaatan
kepada-Nya, supaya ia selamat dari azab-Nya pada hari kiamat itu. Di hari
kemudian setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di dunia. Itu dapat
berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya, atau bahkan
melihatnya kembali sebagaimana yang terjadimelebihi cara manusia sekarang
melihat rekaman peristwa-peristiwa (Ismail bin Katsir, 2001: 113).
Pada hari itu, dalam suasana serba baru, keadilan berjalan sempurna:
kepastian bahwa kebenaran (haqq) akan berlaku adalah mutlak. Keadilan sejati
juga meliputi eksistensi ini, tapi sebagai makhluk yang terbatas manusia sering
tidak mengetahuinya karena manusia tidak dapat memahami semua hubungan
timbal-balik di antara berbagai sistem penciptaan yang sangat banyak sekali. Dari
sudut pandang Wujud Mutlak tidak pernah ada sedikit pun ketidakadilan. Allah
berkata, 'Aku menciptakan mereka untuk api neraka dan Aku tidak perduli.' Allah
9
karena kebodohannya, merusak keseimbangan itu sehingga menciptakan
ketidakadilan yang nyata.
Ungkapan 'Maka siapa yang menghendaki, hendaklah mencari perlindungan
kepada Tuhannya' menunjukkan bahwa Allah sedang berbicara kepada
orang-orang yang tidak menyadari kenyataan bahwa mereka dipelihara dan disantuni
oleh Tuhan. Oleh karena itu ungkapan tersebut merupakan peringatan yang
disampaikan kepada mereka yang sekarang berkeinginan untuk menemukan jalan
kembali ke wujud tunggal yang telah memberi mereka kebebasan untuk
menentang. Allah adalah 'tempat kembali yang berulang-ulang'. Dia berulang-kali
menerima manusia kembali, laksana seorang ayah yang penuh kasih dan
menyadari bahwa anaknya suka melawan sehingga akan pergi dan pergi lagi.
Bilamana sang anak kembali pulang, si ayah menyambutnya, dengan tetap
sepenuhnya menyadari bahwa kelak anaknya akan pergi lagi.
Sifat rendah manusia penuh dengan kecemasan yang tidak menyenangkan.
Tapi bagi orang yang percaya akan belas kasih Allah yang mutlak dan berserah
diri kepada-Nya, maka takkan ada kecemasan lagi karena ia menerirna apa yang
terjadi padanya sebagai hal terbaik baginya. Dari penerimaan yang tulus ini
muncullah kepastian. Pada hari pengadilan, hari keputusan, semua keragu-an yang
mengandung pertanyaan akan lenyap. Siapa pun yang ingin kembali ke dalam
keesaan, yakni warisan sejati yang terkandung dalam hakikatnya, maka ia harus
menemukan jalan (Ismail bin Katsir, 2001: 113).
Jalan menuju pengenalan Tuhan adalah melalui pengenalan nafs, yakni,
dengan mengetahui nafs yang rendah, nafs binatang, nafs yang kuat, nafs yang
ragu, nafs yang bertingkah atau bersemangat, dan mengetahui gangguan yang
disebabkan oleh semua aspek diri yang rendah ini. Kalau sudah mengetahui
semua ciri ini maka orang yang berakal akan mampu menghindarinya dalam
situasi yang akan datang, dan segala aspek diri yang lebih tinggi akan secara
spontan menjadi terpelihara dan mulai berkuasa.
Diri yang aman dan senang, nafs tinggi yang disucikan, yang tenteram dan
10
untuk berbuat sekehendak-Nya terhadap sang diri dengari mengikuti rancangan
yang sempurna. Karena itu, jalan menuju Tuhan terietak pada pengenalan dan
penghindaran semua hal yang akan menyebabkan manusia rugi dan kacau.
Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam ayat 39 di atas antara lain: Nilai-nilai
aqidah dan nilai ibadah. Adapun Surat an Naba’ ayat 40 adalah sebagai berikut:
Artinya: Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir)
siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat
oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata:"Alangkah baiknya Sekiranya dahulu adalah tanah" (an Naba’:40).
Di hari kemudian setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di
dunia. Itu dapat berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya,
atau bahkan melihatnya kembali sebagaimana yang terjadi melebihi cara manusia
sekarang melihat rekaman peristiwa-peristiwa. Penghuni neraka menyesal,
penyesalan yang tidak berguna, mengapa mereka harus diwujudkan di dunia
untuk memikul tanggung jawab. Karena itu yang berakal hendaknya
menggunakan kesempatan hidupnya di dunia, agar tidak menyesal di hari
kemudian (M. Quraish Shihab, 2009: 22-27).
Pada pangkal surat an Naba’ ayat 40 disebutkan bahwa “sesungguhnya
telah kami ancam kamu sekalian, dengan azab yang telah dekat. Artinya, sebelum
menghadapi hari perhitungan atau hari kiamat itu, ada hari yang lebih dekat lagi,
pasti kamu temui dalam masa yang tidak lama lagi. Hari itu ialah hari bercerai
dengan dunia fana ini, hari Malaikat Maut mengambil nyawamu: “Di hari yang seseorang akan memandang apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya.”
Setelah nyawa bercerai dengan badan, maka lepaslah nyawa itu daripada
sangkarnya dan bebaslah dia dari selubung hidup fana ini. Maka mulailah
11
kelihatan. Berbesar hati melihat bekas yang baik, bermuram durja melihat catatan
yang buruk; manusia mungkin lupa namun dalam catatan Allah, setitik pun tiada
yang hilang dan sebaris pun tiada yang lupa: “Dan akan berkata orang yang kafir.”
Yaitu orang yang di kala hidupnya hanya menolak mentah-mentah seruan Rasul,
dia melihat daftar dosa yang dia kerjakan.
Pada ujung surat an Naba’ ayat 40 disebutkan “Alangkah baiknya kalau
dahulu aku hanya tanah saja”. Timbullah sesal dan keluhan, pada saat sesal dan
keluh tidak ada gunanya lagi: “Kalau aku dahulunya hanya tanah saja, kalau aku
dahulunya tidak sampai menjadi manusia, tidak tercatat dalam daftar kehidupan,
tidaklah akan begini tekanan yang aku rasakan dalam kehidupan.
Nabi Muhammad, semoga Allah melimpahkan kedamaian dan rahmat
kepada beliau, keluarga dan para sahabatnya yang benar (sudah biasa, apabila
disebut nama Nabi Muhammad manusia memohonkan kedamaian dan rahmat
Allah untuk beliau, keluarga dan para sahabatnya yang saleh), memperingatkan
umat manusia akan batas-batas tempat berakhirnya ketenangan dan berawalnya
kerugian. Beliau mewanti-wanti pelanggaran terhadap ketetapan yang sudah
disepakati dan menegaskan bahwa ketetapan itu adil; mengingkari dan menolak
ketetapan ini berarti membuka diri terhadap penderitaan yang entah apa akibatnya.
Makna yang paling dalam dari ayat ini adalah bahwa manusia menimpakan
penderitaan atas diri manusia sendiri di sini dan saat ini juga, namun manusia
tidak menyadarinya karena manusia senantiasa memberikan pembenaran terhadap
diri manusia dengan segala macam alasan. Karena manusia memiliki nafs yang
meliputi semua hal yang mengandung dan mencerminkan makna Rahmân (Maha
Pengasih), dan juga makna syaithdn (setan), maka ia dapat membenarkan setiap
tindakan, mulia atau hina, baik atau buruk (Ismail bin Katsir, 2001: 113).
Pembenaran, sesungguhnya, mempakan cara untuk menghubungkan satu hal
dengan hal lain. la mencerminkan hasrat sejati manusia terhadap tauhid yang
memang sudah ada menetap dalam diri manusia, tapi sebenarnya merupakan
aspek pembenaran yang menyimpang. Siapa pun yang menyatukan niat dan
12
altar Yang Maha tinggi, yang menghasilkan pengetahuan tentang Tuhan Yang
Maha-kuasa, atau yang menghasilkan khayalan dan keputusan.
Di hari kemudian setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di
dunia. Itu dapat berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya,
atau bahkan melihatnya kembali sebagaimana yang terjadimelebihi cara manusia
sekarang melihat rekaman peristwa-peristiwa. Sebagian dari kondisi atau suasana
hari kemudian ketika segala sesuatu disingkapkan bisa dirasakan sekarang oleh
manusia jika manusia mau dan sanggup menghentikan pikiran dan perbuatan
manusia dan mengadakan introspeksi yang menyeluruh terhadap diri manusia.
Jika manusia punya keberanian untuk menghadapi segala niat manusia dan secara
jujur mengakui tingkat kesucian manusia, manusia akan melihat sekilas apa arti
hari pembalasan ini dan manusia akan memahami makna dari keseimbangan.
Pada hari pengadilan manusia akan direkonstruksi ulang sesuai dengan niat
dan perbuatan manusia di dunia ini. Jika manusia ingin mengetahui kondisi hati
manusia di kehidupan mendatang, maka yang perlu manusia lakukan adalah
memeriksa kondisi hati manusia di kehidupan ini. Jika kondisi hatinya bersih,
maka mmah manusia di kehidupan mendatang akan dekat dengan Sumber
penciptaan yang bersih. Jika tidak, maka tempatnya akan berada pada suatu
tempat di sepan-jang spektrum, di ujung yang satu adalah api abadi dan di ujung
satunya lagi adalah taman-taman yang paling tinggi. Jika manusia secara total
menjalani kehidupan sekarang ini, dengan senantiasa menyadari dan
memperhatikan diri manusia, maka berarti manusia sedang menjalani hari
Kebangkitan itu sekarang.
'Dan orang-orang kafir akan berkata: Oh, andaikan dahulu aku adalah debu!'
Barang siapa menyangkal masa lalu, terputus hubungannya dengan masa lalu, dan
secara tiba-tiba sadar telah menyia-nyiakan waktu dan kehidupannya yang
berharga, maka ia akan berharap seandainya dahulu hanya menjadi debu saja, dan
terlupakan. Sayangnya untuk manusia semacam itu tidak ada yang terlupakan.
Setiap orang, setiap roh, akan benar-benar dihidupkan kembali dan menyadari
13
debu yang sirna di padang pasir. Allah mengatakan bahwa bila seseorang
mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, maka kebaikan itu akan muncul di
hadapannya. Tidak akan ada lagi ceruk untuk nafs menyelinap masuk; semua
gang akan dibuka.
Itulah sebabnya jika seseorang sungguh-sungguh menghadapi dirinya
sendiri dalam kehidupan sekarang, maka tindakannya ini menjadi hari pengadilan
pribadinya. Inilah salah satu makna dari ucapan Nabi, 'Jika engkau mengenal
dirimu, engkau mengenal Tuhanmu', karena urusan Ketuhanan adalah
mengungkapkan segala sesuatu secara terbuka dengan segala cara. Manusia
semua mencari keabadian pada segala sesuatu dalam kehidupan ini, dalam
hubungan dan pengetahuan, dan itulah sebabnya manusia membedakan antara
pengetahuan yang benar dengan sekadar informasi. Informasi bisa berubah,
seperti ketika obat-obat baru dikembangkan untuk mengobati penyakit tertentu.
Namun pengetahuan yang benar tidak berubah. Ia bersifat mutlak, dan
karena alasan inilah maka manusia semua mencarinya. Pengetahuan yang mutlak
adalah berita ini, al-naba`. Apa yang mereka tanyakan? Berita apa yang mereka
inginkan? Informasi atau berita lebih tinggi apa lagi yang mereka harapkan selain
dari berita kebenaran yang menyatakan bahwa yang ada hanyalah Allah, dan
dengan inayah-Nya manusia telah diciptakan. Bila manusia berserah diri kepada
Allah dan mengikuti para rasul Allah, manusia akan memasuki alam pengetahuan
mutlak yang dicari ini.
Berdasarkan ayat 38-40 di atas, nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam ayat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Nilai Pendidikan Aqidah
Nilai aqidah adalah konsep-konsep nilai yang berpusat pada ketuhanan dan
diimani manusia sehingga seluruh perbuatan dan perilakunya bersumber pada
konsepsi tersebut. Secara terminologi aqidah berarti pengakuan atas keesaan Allah
SWTsebagai Sang Pencipta seluruh alam yang melahirkan kepercayaan manusia
akan kekuasaan Allah. Nilai ini sangat penting, karena dengan adanya kesadaran
14
termasuk ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya bagian dari rahmat dan
kekuasaan Allah Swt.
Pondasi aktifitas manusia itu tidak selamanya bisa tetap tegak berdiri, maka
dibutuhkan adanya sarana untuk memelihara pondasi yaitu ibadah. Ibadah
merupakan bentuk pengabdian dari seorang hamba kepada allah. Ibadah dilakukan
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan terhadap Allah.
Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah telah dijalankan oleh manusia,
maka kedua hal tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, oleh karena itu
diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur itu semua. Aturan itu disebut
Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang mengatur hubungan antar
sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik apabila telah memiliki
dampak sosial yang baik.
Untuk dapat mewujudkan aqidah yang kuat yaitu dengan cara ibadah yang
benar dan juga muamalah yang baik, maka diperlukan suatu adanya ilmu yang
menjelaskan baik dan buruk, menjelaskan yang seharusnya dilakukan manusia
kepada yang lainya, yang disebut dengan nilai ibadah. Dengan akhlak yang baik
seseorang akan bisa memperkuat aqidah dan bisa menjalankan ibadah dengan baik
dan benar. Ibadah yang dijalankan dinilai baik apabila telah sesuai dengan
muamalah (Ismail bin Katsir, 2001: 113).Rasulullah bersabda:
: َلاَق ُهْنَع ُالله َي ِضَر ٍّ يِلَع ْنَع
ُعِفَتْنَي ُمِلاَعْلا : َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُالله ىَّلَص ِالله ُل ْوُسَر َلاَق
) ِمَلْيَّدلا ُها َوَر( ٍّدِباَع ِفْلَا ْنِم ٌرْيَخ ِهِمْلِعِب
Artinya: Dari Ali R.A ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Orang-orang yangberilmu kemudian dia memanfaatkan ilmu tersebut (bagi orang lain)
akan lebih baik dari seribu orang yang beribadah atau ahli ibadah. (H.R
Ad-Dailami).
Orang yang beriman tidak bakal putus asa atau patah hait pada keadaan
yang bagaimanapun. Orang yang beriman mempunyai kemauan keras, kesabaran
yang tinggi dan percaya teguh kepada Allah SWT. Keimanan membuat
15
dapat mengembangkan sikap cinta damai dan keadilan menghalau rasa cemburu,
iri hati dan dengki.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa aqidah itu merupakan satu
hal yang sangat fondamental dalam Islam dan dengan sendirinya dalam
kehidupan. Kemantapan aqidah dapat diperoleh dengan menanamkan kalimat
tauhid La Illaha illa al-Allah. Tiada yang dapat menolong, memberi nikmat
kecuali Allah; dan tiada yang dapat mendatangkan bencana, musibah kecuali
Allah. Pendek kata, kebahagiaan dan kesengsaraan hanyalah dari Allah.
b. Nilai pendidikan Akhlak
Akhlak merupakan kehendak lahir dan jiwa seseorang yang dilakukan
secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan atau tingkah laku yang berupa
pekerjaan yang baik dan terpuji baik secara akal dan syara’.Berdasarkan tafsir surat an-Naba’ ayat 38-40 terdapat nilai pendidikan akhlak yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Namun pada ayat 40 dijelaskan mengenai akhlak
Manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat, dan telah menjadi kebiasaan.
Kata akhlak dalam pengertian ini disebut dalam al-Qur’andengan bentuk tunggalnya, khulq, pada firman Allah Swt yang merupakan konsiderans
pengangkatan Muhammad sebagai Rasul Allah. Dijelaskan dalam
al-Qur’ansebagai berikut:
ٍميِظَع ٍقُلُخ ٰىَلَعَل َكَّنِإَو
Artinya :Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pengerti
yang agung (QS Al-Qalam :4)
Beberapa istilah yang bekaitan dengan akhlak. Menurut jamil salibah (ahli
bahasa arab kontemporer asal suriah), adalah akhlak yang baik dan ada yang
buruk. Akhlak yang baik disebut adab (adab). Kata adab juga digunakan dalam
arti etika yaitu tata cara sopan santun dalam masyarakat guna memelihara
hubungan baik antar mereka.
Selanjutnya, dikalangan Ulama terdapat perbedaan pendapat tentang apakah
akhlak yang lahir dari manusia merupakan hal pendidikan dan latihan ataukah
16
sejak lahir orang yang bertingkah laku baik atau buruk karena pembawanya sejak
lahir. Karenanya, akhlak tidak bisa diubah melalui pendidikan atau latihan.
Pandangan ini dipegang oleh kaum jabariah, salah satu aliran dalam teologi Islam.
Sebagian lain berpendapat bahwa akhlak merupakan hasil pendidikan. Karenanya,
akhlak bisa diubah melalui pendidikan, dan itulah sebabnya mengapa Rasulullah
SAW “diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Malik).
Pendapat ini dipegang oleh kebanyakan ulamah. Ibnu maskawaih, ketika
mengeritik pandangan pertama, mengatakan bahwa pandangan negatif tersebut
antara lain akan memebuat segalah bentuk normal dan bimbingan jadi tertolak,
orang jadi tunduk pada kekejaman dan kelaliman, serta nak-anak jadi liar karena
tubuh dan perkembangan tanpa nasihat dan pendidikan.
Menurut Quraish Shihab, meskipun kedua potensi ini terdapat dalam diri
manusia, ada issyarat dalam Al qur’anbahwa manusia pada dasarnya cendrung pada kebajikan. Di dalam Al qur’an diuraikan bahwa iblis menggoda Adam, lalu adam durhaka kepada Tuhan. Sebelum digoda iblis, Adam tidak durhaka artinya
ia tidak melakukan sesuatu yang buruk akibat godaan itu, adam menjadi sesat,
tetapi kemudian bertobat kepada tuhan sehingga kembali kepada kesuciannya (M.
Quraish Shihab, 2009: 35).
Adapun sasaran ahlak dalam Islam, secara garis besar akhlak manusia
mencangkup tiga sasaran, yaitu terhadap Allah Swt, terhadap bersama manusia,
dan terhadap lingkungannya. akhlak manusia terhadap Allah Swt bertitik tolak
dari pengakuan dan kesadaran bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Swt yang
memiliki segalah sifat terpuji dan sempurna.
Mensucikan Allah Swt dan memuji-nya. Bertaqwa (berserah diri) kepada
Allah Swt setelah berbuat atau berusaha lebih dahulu. Berbaik sangka kepada
Allah Swt akhlak terhadap sesama manusia, sebagai contoh akhlak terhadap orang
tua diantaranya sebagai berikut : (1) Memelihara keridaan orang tua; (2) Berbakti
kepada orang tua; dan (3) Memelihara etika pergaulan kepada orang tua. Akhlah
17
sesuatu yang berada disekitar manusia, seperti binatang, tumbuhan-tumbuhan dan
benda-benda yang tak bernyawa.
Sementara menurut Ibnu Katsir, akhlak yang dianjurkan Al qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Khalifah menuntut
adanya interaksi antara manusia dan alam. Khalifah mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, dan bimbingan agar setiap mahluk mencapai
tujuannya (Ismail bin Katsir, 2001: 125). Mahluk-mahluk itu adalah umat seperti
manusia juga. Al qur’an menggambarkan :
Artinya: “dan tiada binatang-binatang yang ada dibumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melaikan umat-umat (juga) seperti kamu… ”(Q.S.al An’am :38).
Tujuan akhlak sendiri adalah menghasilkan nilai yang mampu
menghadirkan kemanfaatan bagi manusia, bukan nilai materi. karena Akhlak
adalah salah satu dasar bagi pembentukan kepribadian individu. Tentu saja secara
pasti, akhlak sebagai salah satu dasar pembentuk masyarakat tidak akan diabaikan
begitu saja. Manusia tidak akan baik kecuali ketika akhlaknya baik. Namun,
masyarakat tidak akan menjadi baik hanya dengan akhlak, tetapi dengan
dibentuknya pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan dan tingkah laku yang baik
dalam kehidupan sehari-hari akan meningkatkan keimanan kepada Allah dan
terhindar dari ajaran-ajaran sesat yang berkembang saat ini.
c. Nilai pendidikan Ibadah
Pendidikan ibadah adalah proses pendidikan yang mengajarkan kepada
seorang anak harus menjalankan rukun Islam pada khususnya dan seluruh
ajaran Islam pada umumnya. Sehingga menjadi hamba Tuhan yang taat (Ismail
18
Akhlak terhadap sesama manusia, sebagai contoh akhlak terhadap orang tua
di antaranya sebagai berikut : (1) Memelihara keridaan orang tua; (2) Berbakti
kepada orang tua; dan (3) Memelihara etika pergaulan kepada orang tua. Akhlah
terhadap Lingkungan. Dimaksudkan dengan lingkungan disini ialah segalah
sesuatu yang berada disekitar manusia, seperti binatang, tumbuhan-tumbuhan dan
benda-benda yang tak bernyawa. Nilai ibadah yang dianjurkan al- Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Khalifah
menuntut adanya interaksi antara manusia dan alam. Khalifah mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, dan bimbingan agar setiap makhluk mencapai
tujuannya.
Berdasarkan nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam surat an Naba’ ayat 38-40 dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia
dianjurkan untuk beribadah kepada Allah Swt.untuk menempuh jalan kebenaran,
beribadah serta dapat mengimplementasikan nilai-nilai aqidah karena semua itu
akan di pertanggung jawabkan di hari kiamat. Karena setiap orang, setiap roh,
akan benar-benar dihidupkan kembali dan menyadari sepenuhnya akan arti
penting dirinya. Dia tidak akan dapat bersembunyi laksana debu yang sirna di
padang pasir. Allah mengatakan bila seseorang mengerjakan kebaikan sekecil
apapun, maka kebaikan itu akan muncul di hadapannya.
Surat an Naba’ayat 39 di atas disebutkan bahwa: "Itulah hari yang pasti
terjadi dan jika demikian maka siapa yang menghendaki, untuk menelusuri jalan
19
sekarang ini juga bersungguh-sungguh menempuh menuju Tuhannya jalan
kembali dengan beriman, bertaubat, dan beramal saleh. Menurut Quraish Shihab
ayat tersebut mengandung makna bahwa balasan yang diberikan Allah adalah
bagian dari rahmat-Nya, termasuk yang diterima oleh para pendurhaka.
Sementara Surat an Naba’ ayat 40 di atas menerangkan bahwa di hari kemudian setiap orang akan melihat apa yang dikerjakannya di dunia. Itu dapat
berarti melihat dengan mata kepala ganjaran dan balasan amalnya, atau bahkan
melihatnya kembali sebagaimana yang terjadi melebihi cara kita sekarang melihat
rekaman peristiwa-peristiwa. Penghuni neraka menyesal, penyesalan yang tidak
berguna, mengapa mereka harus diwujudkan di dunia untuk memikul tanggung
jawab. Karena itu yang berakal hendaknya menggunakan kesempatan hidupnya di
dunia, agar tidak menyesal di hari kemudian.
Surat an Naba’ ayat 38-40 dalam perspektif ahli pendidikan Islam pada dasarnya tidak menjelaskan secara khusus atau secara terperinci bahwa dalam
surat an-Naba’ ayat 38-40 mengandung nilai aqidah di nilai ibadah, tetapi Abdul Wahab Khalaf (pengarang terakhir tasyrik) lebih memperhatikan pokok
kandungan al-Qur’an yang terdiri dari 3 kategori yaitu sebagai berikut: (1) Masalah aqidah (kepercayaan yang berhubungan dengan hukum lima); (2)
Masalah etika; dan (3) Masalah amaliylah.
Menurut Muhaimin dan Abdul Mujid, nilai aqidah sangatlah kompleks dan
sangat banyak. Nilai itu dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Jika dilihat dari
sumbernya nilai aqidah Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu: (1)
Nilai ilahiyah yaitu nilai yang lahir dari keyakinan yang mencakup nilai kematian
dan nilai ibadah; dan (2) Nilai insaniyah yaitu nilai yang lahir dari kebudayaan
yang mencakup nilai etika dan sosial (Muhaimin dan Abdul Mujid, 1993: 111).
Sementara menurut Moh. Mathna, dalam ayat-ayat Makiyah kebanyakan
mengandung masalah aqidah (ketauhidan), masalah kepercayaan adanya Allah
Swt, masalah ibadah, mengenai azab dan nikmat dihari kemudian (Moh. Mathna,
20
C.Kesimpulan
Seperti diketahui bahwa pokok-pokok iman itu ada 6 perkara yaitu percaya
kepada Allah, percaya kepada malaikat, percaya kepada kitab Allah, percaya
kepada Rasul, percaya kepada hari kiamat dan percaya kepada qadha dan qadhar.
Keenam pokok iman tersebut harus selalu lengkap dan tidak boleh terlepas
walaupun hanya satu diantaranya.
Nilai pendidikan akhlak yaitu nilai moral, nilai etika dan karakter yang
terdapat dalam diri seseorang. Ruang lingkup nilai akhlak mencakup akhlak
kepada Allah, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada lingkungan. Sebagai
umat Islam memang selayaknya akhlak kepada Allah itu harus yang baik-baik
jangan akhlak yang buruk. Seperti kalau kita sedang diberi nikmat, kita harus
bersyukur kepada Allah. Titik tolak Ahlak kepada orang lain adalah kesadara
bahwa manusia hidup di dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku
bangsa yang berbeda- beda bahasa dan budaya. Akhlak yang baik terhadap
lingkungan adalah ditunjukkan kepada penciptaan suasana yang baik, serta
pemeliharaan lingkungan agar tetap membawa kesegaran, kenyamanan hidup,
tanpa membuat kerusakan dan polusi sehingga pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap manusia itu sendiri yang menciptanya.
Nilai ibadah yaitu suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada sang
pencipta sebagai rasa syukur atas segala nikmat yang telah diterimanya. Ibadah
adalah sarana untuk menghubungkan diri kita dengan Tuhan dan untuk
membuktikan diri kita sebagai hamba serta sekaligus untuk menegaskan
keberadaan Tuhan. Manakala ibadah dilakukan tanpa totalitas penghambaan diri
kepada Tuhan, apalagi jika ibadah itu dilakukan sebagai manifestasi kepentingan
pribadi kita sebagai manusia, yakni untuk memperoleh manfaat biologis, dengan
kata lain, ibadah yang kita lakukan bukan mur ni penghambaan diri yang
21
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Abdurrahman Saleh, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Quran, terj. H. M. Arifin, Bandung: Rineka Cipta, 1994
Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
Ismail bin Katsir, Tafsir Ibn Katsir, ter:Bahrun Abu Bakar, Vol. VII, Bandung: Sinar Baru Algensindo: 2001
Muhaimin dan Abdul Mujid, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosof dan Kerangka Dasar Operasional, Bandung Trigenda Karya: 1993
Muhammad Zaini, Pengantar ‘Ulumul Qur’an, Banda Aceh: Pena, 2012
M. Quraish Shihab, Al Misbah, Volume XV, Ciputat: Lentera Hati, 2009.