• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN (TELAAH SURAT „ABASA AYAT 1-10) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN (TELAAH SURAT „ABASA AYAT 1-10) SKRIPSI"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

i

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM AL-

QUR‟AN

(TELAAH SURAT „ABASA AYAT 1

-10)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

Sri Widayati

NIM 11112150

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)

i

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM AL-

QUR‟AN

(TELAAH SURAT „ABASA AYAT 1

-10)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

Sri Widayati

NIM 11112150

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

v

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangannya)

hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Qur‟an surat al-ahzab: 21).

PERSEMBAHAN

Untuk orang tuaku, adik-adikku,

Keluargaku, dosen-dosenserta guru-guruku

Teman-teman seperjuanganku, sahabat-sahabatku,

(8)

vi

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM

AL-QUR‟AN (Telaah Surat „Abasa Ayat 1-10),” membahas tentang nilai pendidikan

akhlak dalam al-Qur‟an, lebih khususnya nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat „Abasa ayat 1-10.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak bantuan dari berbagai pihak, baik berupa material maupun spiritual. Selanjutnya penulis haturkan ucapan terimakasih kepada mereka yang memiliki andil besar atas terselesaikannya skripsi ini:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M. Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga

3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam 4. Bapak Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag selaku dosen pembimbing yang

senantiasa memberikan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Ibu Dra.Ulfah Susilowati,M.SI selaku dosen pembimbing akademik

(9)
(10)

viii

Keguruan. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag. Kata Kunci: Nilai, Pendidikan Akhlak, al-Qur‟an

Problematika rendahnya akhlak yang berarah pada kehancuran bangsa ini. Sehingga untuk menyelamatkan bangsa seluruh masyarakat, orang tua, pendidik harus membiasakan anak dengan akhlak yang baik agar tercipta generasi yang berakhlak mulia. Kembali kepada ajaran al-Qur‟an dan as-Sunnah merupakan solusi yang tepat dalam menyelesaikan krisis akhlak. Penelitian yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur‟an (Telaah Surat „Abasa Ayat 1-10)” ini, bertujuan untuk menjawab pertanyaan dari permasalahan: 1. Bagaimana konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam? 2. Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur‟an surat „Abasaayat 1-10.

Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan, atau bahan-bahan bacaan untuk mencari pendapat para ahli tafsir dan ahli pendidikan tentang pendidikan akhlak. Kemudian dianalisis untuk mencapai tujuan. Metode analisis data yang penulis gunakan adalah analisis mawdhu‟i dan analisis semantik.

(11)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Penegasan Istilah ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK ... 12

A. Nilai ... 12

1. Pengertian Nilai ... 12

2. Macam-macam Nilai ... 13

(12)

x

4 Sumber Pendidikan Akhlak ... 27

BAB III ASBĀBUN NUZŪL, POKOK-POKOK ISI SURAT „ABASA, MUNĀSABAH DAN TAFSIR QUR‟AN SURAT „ABASA AYAT 1-10 ... 28

A. Asbâbun Nuzūl QS. „Abasa Ayat 1-10 ... 28

B. Pokok-pokok Isi Surat „Abasa Ayat ... 31

C. Munâsabah QS. „Abasa Ayat 1-10 ... 32

D. Pandangan Mufasir dan Penafsiran Tentang al-Qur‟an Surat „Abasa Ayat 1-10 ... 35

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM QS. „ABASA AYAT 1-10 ... 51

A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak ... 51

B. Aplikasi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari ... 59

BAB V PENUTUP ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran-saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA

(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

1

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, baik dunia maupun akhirat kelak. Sumber agama Islam adalah al-Qur‟an dan al-Hadits. Allah telah memberikan pegangan dan pedoman kepada setiap hamba-Nya dalam menjalankan kehidupannya, agar nantinya dapat menjalankan kehidupannya dengan baik serta tidak menyimpang dari tatanan syari‟ah. Pegangan tersebut adalah al-Qur‟an. Fungsi al-Qur‟an diturunkan adalah sebagai pokok ajaran Islam, yang

mendasari ajaran-ajaran hukum, dan peraturan bagi umat manusia (Budihardjo, 2012: 13). Dasarnya antara lain terdapat pada Q.S. an-Nisā‟/4:

“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.(QS. an-Nisā‟: 105)

(15)

2

kehidupannya dengan baik, karena didalamnya mengandung panduan, aqidah, hukum, kisah, petunjuk, ibadah serja janji dan ancaman. Semua petunjuk yang terkandung di dalam al-qur‟an menuntun manusia untuk berakhlak mulia, dan seluruh kandungan dalam al-Qur‟an berisi petunjuk dari Allah. Allah Swt

“(al-Qur‟an) ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”(Ali Imrān: 138).

Petunjuk yang diberikan kepada setiap manusia itu berupa akal, kecerdasan dan pengetahuan untuk dikembangkan dan juga petunjuk atau hidayah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Untuk mencapai hal tersebut, maka manusia salah satunya yaitu harus memperhatikan pendidikan akhlak. Hal itu karena akhlak adalah buahnya Islam yang diperuntukkan bagi seorang individu dan umat manusia, dan akhlak menjadikan kehidupan ini menjadi manis dan elok. Tanpa akhlak, yang merupakan kaidah-kaidah kejiwaan dan sosial bagi individu juga masyarakat, maka kehidupan manusia tidak berbeda dengan kehidupan hewan dan binatang (hafidz dan Kastolani, 2009: 107). Allah telah menjadikan contoh akhlak yang luhur dalam

al-Qur‟an dan mengajak kaum muslimin untuk menyerupai nilai-nilai dalam

al-Qur‟an tersebut. Selain itu, Islam juga menjadikan Rasulullah sebagai sumber

(16)

kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”(al-Ahzāb: 21).

Selain terdapat dalam al-Qur‟an, juga dalam hadits Rasulullah:

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik”.

Melihat firman-firman Allah dan hadits Rasulullah tersebut, kita sebagai umat Islam dianjurkan untuk meneladani Rasulullah SAW karena seluruh umat Islam pastilah tahu bahwa Rasulullah adalah diutus kepada umat manusia untuk menyempurnakan akhlak. Pada prinsipnya akhlak itu mengatur pola tingkah laku manusia melalui dua cara yaitu hablumminallah, hubungan manusia dengan Allah dan hablumminannas hubungan manusia dengan sesama manusia. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat terpisahkan dari manusia lain, pastinya juga tidak dapat terpisahkan dari interaksi atau hubungan, yang mana dari hubungan-hubungan tersebut membutuhkan akhlak agar tetap terjaga keharmonisannya.

(17)

4

akal dan akhlak. Pendidikan akhlak memiliki tujuan utama yaitu agar manusia senantiasa berada dalam kebenaran dan di jalan yang lurus, jalan yang telah ditetapkan oleh Allah.

Namun, di zaman yang semakin maju sekarang ini mengalami kemerosotan kualitas akhlak. Seperti contohnya di masyarakat, banyak anak-anak yang berani membantah kepada yang lebih tua atau bahkan kepada orang tuanya sendiri, jangkar atau memanggil nama tanpa sebutan pak, mas, bu, dll.Bahkan sama sekali tidak memiliki tata krama dalam pergaulan. Di media cetak atau televisi, sering kita jumpai berita mengenai pembunuhan anak oleh orang tuanya sendiri.

Kaitannya dengan permasalahan tersebut terutama di dalam dunia pendidikan maka perlu kita perhatikan pendidikan akhlak agar manusia setidaknya dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Atas dasar beberapa realita di atasmenjadikan alasan dan mendorong penulis untuk menyusun skripsi dengan judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN (Telaah Surat „Abasa Ayat 1-10)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam?

(18)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam. 2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an surat

„Abasa ayat 1-10.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca di dunia pendidikan dan khususnya terutama mengenai konsep pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an dan nilai -nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam surat „Abasa ayat 1 -10.

2. Manfaat Praktis

Dapat memberi masukan kepada pendidik, pemikir di masa mendatang, atau pun seluruh manusia dalam mensosialisasikan pendidikan akhlak sesuai dengan ajaran Islam. Dan juga, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mempelajari nila-nilai pendidikan akhlak dalam surat „Abasa ayat 1-10 secara komprehensif dan

(19)

6

E. Metode Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Penulisan penelitian ini, data-data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka (Zed, 2004: 3). Hal ini dilakukan dengan jalan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Sumber Primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar, 2009: 91). Sumber data primer ini berupa al-Qur‟an surat “Abasa ayat 1-10 beserta tafsirnya baik berupa haidts-hadits maupun penjelasan dan tafsir-tafsir para ulama‟ diantaranya adalah tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi, al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI, tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, dan tafsir al-Azhar karya HAMKA..

b. Sumber Sekunder

(20)

yang mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi dari data sumber primer.

2. Metode Analisis Data a. Analisis Mawdhu‟i

Analisis mawdhu‟i atau metode tafsir al-mawdhu‟i menurut istilah adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik dan menyusunnya berdasarkan kronologi dan sebab turunnya ayat-ayat tersebut (Budihardjo, 2012: 50). Metode ini penulis gunakan untuk membahas ayat al-Qur‟an surat „Abasa ayat 1-10 dan berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang lain dari berbagai surat yang berkaitan dengan tema

yang dibahas, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. b. Analisis Semantik

(21)

8

F. Penegasan Istilah

Untuk menghindari adanya kemungkinan penafsiran yang salah tentang istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara lain:

1. Nilai

Nilai yaitu esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan. Kata majemuk “nilai-nilai” menurut Muhaimin berasal dari kata dasar “nilai” diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak dan

sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan penting (Muhaimin, 1993: 110). Dalam hal ini, nilai yang dimaksudkan adalah nilai pendidikan yang terdapat dalam surat „Abasa ayat 1-10. Selain itu, nilai juga diartikan sifat yang melekat pada sesuatu sistem kepercayaan yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (Thoha, 1996: 60). Subjek yang dimaksud di sini yaitu manusia yang meyakininya.

2. Pendidikan Akhlak

Secara terminologi, pendidikan merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi yaitu berasal dari bahasa Yunani Kuna Paidos dan agoo. Paidos

artinya “budak” dan agoo artinya “membimbing”. Akhirnya pedagogie

diartikan sebagai „budak yang mengantarkan anak majikan untuk belajar

(22)

kegiatan formal yang melibatkan guru, murid, kurikulum, evaluasi, administrasi yang secara simultan memproses peserta didik menjadi lebih bertambah pengetahuan, Skiil dan nilai kepribadiannya dalam suatu keteraturan kalender akademik. Sedangkan menurut UU No. 20 th 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengemdalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan pendidikan akan dihasilkan manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, dan memiliki kesadaran akan penciptaan dirinya.

Secara etimologi, akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari Khuluq ( ) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat (Munawwir, 1984: 364). Berakar dari kata khalaqa ( ) yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan) (Ilyas, 2007: 1). Masih di dalam buku yang sama, yaitu Kuliah Akhlak oleh Yunahar Ilyas (2007: 2), pengertian akhlak secara terminologi menurut beberapa tokoh diantaranya:

1. Imam al-Ghazali:

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan

(23)

10

2. Ibrahim Anis:

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya

lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.

3. Abdul Karim Zaidan:

“(Akhlak) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa,

yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya”.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak yang berkaitan dengan perilaku yang harus ditanamkan pada diri anak sejak mulai dini. Penanaman ini dapat di lakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Dengan pendidikan akhlak menjadikan kehidupan manusia itu lebih harmonis.

3. Al-Qur‟an

al-Qur‟an secara bahasa berarti pengumpulan dan penghimpunan (Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, 1967: 78). Sedangkan secara istilah al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

(24)

Sedangkan yang diteliti dalam penulisan ini adalah mengenai surat „Abasa ayat 1-10 karena ayat tersebut ada kaitannya dengan nilai-nilai

pendidikan akhlak.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II Landasan Teori Nilai-nilai Pendidikan Akhlak. Pada bab ini akan dibahas mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak yang meliputi: pengertian nilai, macam-macam nilai,pengertian pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, dan sumber pendidikan akhlak.

Bab III Asbābun nuzūl, munāsabah, pokok-pokok isi surat „Abasa dan tafsir Qur‟an surat „Abasa ayat 1-10.

Bab IV Analisis. Pembahasan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an (telaah surat „Abasa ayat 1-10) dan aplikasi nilai-nilai pendidikan

akhlak dalam kehidupan sehari-hari.

(25)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

A. NILAI

1. Pengertian Nilai

Ada banyak tokoh pendidikan yang mengartikan apa itu nilai. Nilai menurut Milton Rokearch dan James Bank adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan (Thoha, 1996: 60). Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu dan berhubungan dengan subjek yang memberi arti yaitu orang yang mempercayainya.

Masih di dalam buku yang sama Chabib Thoha mengutip pendapat J.R. Fraenkel yang mendefinisikan nilai yaitu a value is an idea a concept about what some one thinks is important in life (Thoha,

(26)

objek/hal. Nilai sesuatu akan selalu berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.

2. Macam-macam Nilai

Menurut Noeng Muhadjir, nilai dibagi menjadi dua yaitu nilai ilahiyah dan nilai insaniyah (Muhadjir, 1987: 64). Nilai ilahiyah

adalah nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah). Nilai ilahiyah dibagi menjadi dua. Pertama, nilai ubudiyah yaitu nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya berlaku atau beribadah kepada Allah. Nilai ilahiyah juga bisa disebut dengan “hablum minallah”. Kedua, nilai muamalah yaitu nilai yang ditentukan oleh Allah bagi manusia untuk dijadikan pedoman dalam berhubungan sosialnya. Sedangkan nilai insaniyah terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai individual, nilai ekonomik, nilai politik dan nilai estetik. Nilai insaniyah ini juga dapat kita sebut dengan “hablum minannas”.

Berdasarkan adanya macam-macam nilai tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat menemukan nilai ilahiyah maupun nilai insaniyah yang terdapat pada surat “Abasa ayat 1-10.

B. Pendidikan Akhlak

1. Pengertian Pendidikan Akhlak

(27)

14

terbentuk dari dua kata yaitu “pendidikan” dan “akhlak”. Dalam pendidikan banyak sekali para ahli pendidikan yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pendidikan.

Menurut M.J. Langeveld pendidikan adalah kegiatan membimbing anak manusia menuju pada kedewasaan dan mandiri. Juga menurut David Reisman, pendidikan adalah kegiatan yang harus berujud lembaga yang mampu counter cyclical, yaitu sekolah harus lebih banyak mengajukan dan menanamkan nilai dan norma-norma yang tidak banyak dikemukakan oleh kebanyakan lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat. Sekolah harus bertindak sebagai agent ofchange dan creative (Jumali, 2004: 20). Dalam pendidikan itu terdapat usaha, pengaruh dan perlindungan yang diberikan oleh orang dewasa dengan menanamkan nilai-nilai yang baik sehingga terbentuklah manusia dewasa, mandiri dan mulia.

Dalam bahasa Arab, pendidikan sama dengaa “At-Tarbiyah”,

kata At-Tarbiyah berasal dari kata “robaya” ( ) yang berarti mendidik, mengajar, mengasuh, dan kata “robba-robaya” ( - )

yang berarti mengasuh, mendidik, mengemong (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, 2003: 952). Sedangkan pengertian At-Tarbiyah dalam buku Ilmu Pendidikan Islam yang dikutip oleh Achmadi (1987: 2), menerangkan lebih lengkap bahwa ditinjau dari asal bahasa pengertian At-Tarbiyah mencakup empat unsur:

(28)

b. Mengembangkan potensi dan kelengkapan manusia yang beraneka ragam (terutama akal budinya).

c. Dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan anak.

Untuk pengertian akhlak itu sendiri adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran (Nata, 1997: 5). Sedangkan menurut Imam al-Ghazali di dalam buku Akhlak Tasawuf yang dikutip oleh Abuddin Nata, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

(29)

16

2. Tujuan Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak merupakan salah satu pendidikan yang mana dari situlah kita akan mengetahui banyak teori yang menjelaskan tentang akhlak, banyak contoh-contoh akhlak mulia yang diberikan oleh pendidik atau pun kita dapat mengetahui bagaimana akhlak yang terdapat pada suri tauladan kita yakni Nabi Muhammad SAW yang mana dari situlah ditujukan agar kita dapat mengikuti atau mencontoh akhlak-akhlak mulia dan senantiasa berada dalam kebenaran serta berjalan di jalan yang lurus. Meneladani Nabi Muhammad SAW adalah kewajiban bagi umat Islam. Perintah untuk menjadikan beliau suri tauladan adalah firman Allah:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (al-Ahzāb, 33: 21).

(30)

akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak

Menurut Yunahar Ilyas (2007: 17), di dalam bukunya Kuliah Akhlak membagi akhlak menjadi lima, yaitu: Akhlak terhadap Allah,

Akhlak terhadap Rasulullah, Akhlak Pribadi, Akhlak dalam keluarga, akhlak dalam masyarakat dan akhlak bernegara. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:

a. Akhlak terhadap Allah

Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang harus dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Allah sebagai Khalik (Nata, 2002: 147). Sikap atau perbuatan tersebut harus mencerminkan akhlak mulia yang menggunakan tolok ukur ketentuan Allah.

Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah, diantaranya:

1) Allah yang menciptakan manusia.

2) Allah yang telah memberikan perlengkapan pancaindra berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.

(31)

18

4) Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan.

Dalam berakhlak kepada Allah manusia mempunya banyak cara diantaranya yaitu dengan taat dan tawadduk kepada Allah, karena Allah SWT yang telah menciptakan manusia untuk berakhlak kepadanya dengan cara menyembah kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah: melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku”(QS. adh-Dhāriyāt: 56).

b. Akhlak terhadap Rasulullah SAW

(32)

1) Mencintai dan memuliakan rasul 2) Mengikuti dan mentaati rasul 3) Mengucapkan shalawat dan salam c. Akhlak manusia kepada diri sendiri

Cakupan akhlak terhadap diri sendiri adalah semua yang menyangkut persoalan yang melekat pada diri sendiri, semua aktifitas, baik secara rohaniah maupun secara jasadiyah (Nasharuddin, 2015: 257). Adapun akhlak terhadap diri sendiri menurut Yunahar Ilyas (2007: 81) di dalam buku “Kuliah Akhlak”

itu meliputi: 1) Shidiq

Shidiq (ash-sidqu) secara bahasa berasal dari kata

-- yang artinya benar, nyata, berkata jujur, lawan

dari dusta atau bohong (al-khadzib) (Munawwir, 1984: 770). Seorang muslim dituntut untuk selalu berada dalam keadaan benar lahir batin, benar hati (shidq al-qalb), benar perkataan (shidqal-hadits) dan benar perbuatan (shidiq al-„amal). Antara

(33)

20

kepada kejahatan dan kejahatan akan berakhir di neraka. Selain itu Allah SWT menyukai orang-orang yang menepati janji. Dalam al-Qur‟an disebutkan pujian Allah kepada Nabi Isma‟il yang menepati janjinya:

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma‟il (yang tersebut) di dalam al-Qur‟an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi”(QS. Maryam 19: 54).

2) Amanah

(34)

“Sesungguhnya Kami mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia.

Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS.

Al-Ahzāb 33: 72) 3) Istiqāmah

Secara etimologis, istiqāmah berasal dari kata –

- yang berarti tegak lurus. Dalam terminologi

akhlak, istiqāmah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Perintah supaya beristiqamah ini dinyatakan dalam al-Qur‟an dan sunnah. Allah berfirman:

(35)

22

4) „Iffah

Secara etimologis, „iffah adalah bentuk masdar dari

yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang

tidak baik. Dan berarti kesucian tubuh. Sedangkan secara terminologi, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

...

“...Apabila mereka lewat di tempat-tempat hiburan yang tidak berfaedah, mereka melewatinya dengan menjaga kehormatan diri” (QS. al-Furqān: 72).

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. al-Isrā‟: 32).

Dari dua ayat tersebut adalah contoh bentuk dari „iffah. Seorang muslim maupun muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan dan pergaulannya. Tidak mengunjungi tempat-tempat hiburan yang ada kemaksiatannya dan tidak pula melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkannya kepada perzinaan.

5) Mujāhadah

(36)

akhlak mujāhadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT. Untuk mengatasi dan melawan semua hambatan tersebut diperlukan kemauan keras dan perjuangan yang sungguh. Perjuangan sungguh-sungguh itulah yang dinamakan mujāhadah. Dalam hal ini

“Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari

keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-„Ankabūt 29: 69)

6) Syajā‟ah

Syajā‟ahsecara etimologis berasal dari kata –

– artinya berani (Munawwir, 1984: 695), yaitu berani

(37)

24

sebagainya, semua itu adalah karunia dari Allah SWT. Allah berfirman:

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan” (QS. an-Nahl 16: 53).

7) Malu

(38)

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan Allah Maha meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan”(QS. an-Nisā‟: 108).

8) Sabar

Secara etimologis, sabar (ash-shabr) berasal dari kata

– berarti sabar, tabah hati (Munawwir, 1984:

760). Secara terminologi, sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah. Orang-orang yang memiliki sifat sabar akan mendapatkan balasan syurga karena kesabaran mereka. Allah berfirman: mereka disambut dengan pengormatan dan ucapan selamat di dalamnya” (QS. al-Furqān: 75).

9) Pemaaf

Dalam bahasa arab, sifat pemaaf di sebut dengan

al-„afwu, yaitu berasal dari kata – – yang berarti

(39)

26

Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permohonan maaf dari yang bersalah, karena sesungguhnya Allah Maha pemaaf. Allah berfirman:

“Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”(QS. an-Nisā‟: 149).

d. Akhlak dalam keluarga

Seperti yang terdapat di dalam buku Pendidikan Agama Islam yang dikutip oleh Mohammad Daud Ali (2008: 358), akhlak

dalam keluarga, karib kerabat diantaranya adalah saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, berbakti kepada ibu bapak, mendidik anak-anak dengan kasih sayang, dan memelihara hubungan silaturrahim yang dibina orang tua.

e. Akhlak terhadap bermasyarakat

(40)

masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri serta orang lain melakukan perbuatan jahat (munkar).

f. Akhlak Bernegara

Akhlak bernegara di sini meliputi: bermusyawarah,

menegakkan keadilan, amar ma‟ruf nahi munkar dan juga

membentuk hubungan yang baik antara pemimpin dengan yang dipimpin.

4. Sumber Pendidikan Akhlak

Berbicara tentang akhlak, di dalam Islam banyak dimuat dalam al-Qur‟an dan hadits. Hal tersebut karena al-Qur‟an dan hadits adalah sumber akhlak. Sumber tersebut merupakan ukuran atau batasan-batasan mengenai baik dan buruk atau mulia dan tercela suatu tindakan sehari-hari bagi manusia (Ilyas, 2007: 4)

(41)

28

BAB III

ASBĀBUN NUZŪL, POKOK-POKOK ISI SURAT „ABASA,

MUNĀSABAH, DAN TAFSIR QUR‟AN

SURAT „ABASA AYAT 1-10

A. Asbābun Nuzūl QS. 'Abasa Ayat 1-10

Asbābun nuzūl terdiri dari dua kata yaitu asbāb dan nuzūl. Secara bahasa, kata asbāb adalah bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab. Kata nuzūl adalah isim masdar dari nazala yang berarti menurunkan sesuatu atau kejadian sesuatu (Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, V, 1967: 417). Jadi kata asbābun nuzūl dapat diartikan sebab-sebab turunnya al-Qur‟an. Sedangkan

secara istilah, asbābun nuzūl menurut Muhammad Ali Ash Shabuni adalah sebagai sebab atau masalah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat al-Qur‟an (Ash-Shabuni, 1999: 45).

Sebelum membahas tentang asbābun nuzūl surat „Abasa ayat 1-10, terlebih dahulu penulis ingin mengetahui sekilas tentang surat „Abasa. Surat „Abasa terdiri dari 42 ayat, termasuk kelompok surat Makiyyah, diturunkan

setelah surat an-Najm. Nama „Abasa (ia bermuka masam) diambil dari perkataan „Abasa yang terdapat pada ayat pertama surat ini (Departemen

Agama RI, 2009: 544). Selain itu, ada juga yang menamainya surat ash-Shakhkhah (yang memekakkan telinga), surat as-Safarah (para penulis kalam

(42)

Adapun asbābun nuzūl surat „Abasa ayat 1-10 yang terdapat dalam

“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling (1). karena seorang buta telah datang kepadanya („Abdullah bin Ummi Maktum) (2). dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa) (3). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? (4). Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy) (5). Maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya (6). Padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman) (7). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan segera (untuk mendapatkan pengajaran) (8). Sedang dia takut (kepada Allah) (9). Engkau (Muhammad) malah mengabaikannya (10).

Al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 546) menjelaskan bahwa surat ini diturunkan sehubungan dengan peristiwa seorang buta yang bernama „Abdullāh bin Ummi Maktūm anak paman

Khadijah. Beliau termasuk diantara sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama memeluk Islam. Ketika Rasulullah melaksanakan jihad dan meninggalkan kota Madinah, beliau ini yang ditunjuk untuk menjadi sesepuh kota madinah, mengimami sholat dan juga sering melakukan adzan seperti Bilal.

(43)

30

telah memeluk agama Islam, niscaya akan membawa pengaruh besar pada orang-orang bawahannya. Diantara pembesar Quraisy yang sedang dihadapi itu adalah „Utbah bin Rabi‟ah, Syaibah bin Rabi‟ah, Abu Jahal bin Hisyam,

al-„Abbas bin „Abdul-Mutalib, Umayyah bin khallaf, dan Walid bin al-Mugirah. Besar sekali keinginan Rasulullah untuk mengislamkan mereka itu karena melihat kedudukan dan pengaruh mereka kepada orang-orang bawahannya.

Ketika Rasulullah sedang sibuk menghadapi para pembesar Quraisy, tiba-tiba datanglah „Abdullāh bin Ummi Maktūm dan menyela pembicaraan-Nya dengan ucapannya, “Ya Rasulullah, coba bacakan dan ajarkan kepadaku

apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepadamu. Ucapan itu diulanginya beberapa kali sedang ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah sedang sibuk menghadapi pembesar Quraisy. Melihat perbuatan „Abdullāh bin Ummi

Maktūm tersebut, Rasulullah merasa kurang senang yang seolah-olah mengganggu beliau dalam kelancaran tabligh-Nya, sehingga beliau memperlihatkan muka masam dan berpaling darinya (Depag, 2009: 546).

Allah menyampaikan teguran kepada Rasulullah yang telah bermuka

masam terhadap „Abdullāh bin Ummi Maktūm. Karena dengan sifat bermuka

(44)

B. Pokok-pokok Isi Surat „Abasa 1. Keimanan

Dalil-dalil keesaan Allah dan keadaan manusia pada hari kiamat. Hal ini tercantum dalam surat „Abasa ayat 33-42. Dalam al-Qur‟an dan

tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 557-558), pada hari kiamat orang-orang kafir merasa sedih dan menyesal karena telah datang tiupan Malaikat Isrofil yang kedua kalinya. Manusia pada hari ini berpisah dari saudara, ibu, dan bapaknya bahkan istri dan anak-anaknya untuk menyelamatkan diri dari bencana yang sangat menakutkankan. Pada hari kiamat manusia terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan mukmin yang bahagia dan golongan kafir yang celaka.

2. Penghargaan yang Sama

Dalam berdakwah hendaknya memberi penghargaan yang sama kepada orang-orang yang diberi dakwah (tercantum dalam surat „Abasa ayat 1-10). Allah menegur Nabi Muhammad karena bermuka masam dan berpaling dari „Abdullāh bin Ummi Maktūm, seorang sahabat yang buta

dan memohon diberi pelajaran oleh Nabi ketika beliau sedang sibuk menghadapi pembesar-pembesar Quraisy untuk diajak masuk Islam (Depag, 2009: 548).

3. Peringatan Untuk Tidak Mengulangi Tindakan

(45)

32

dimaksud dengan tindakan-tindakan di sini adalah bersikap memalingkan/bermuka masam yaitu ketika Rasulullah sedang menghadapi pembesar Quraisy, tibalah „Abdullāh bin Ummi Maktūm

yang menyela dakwah Rasulullah.

4. Peringatan Untuk Bersyukur

Cercaan Allah kepada manusia yang tidak mensyukuri nikmat Allah, yang mana tercantum dalam surat „Abasa ayat 17-22. Karena Allah

telah memberikan nikmat dengan menciptakan manusia dan melimpahkan nikmat-Nya dalam tiga tahap yaitu kelahiran, pertengahan, dan bagian akhir/penghabisan. Begitu banyak nikmat Allah, maka tidak wajar jika manusia mengingkarinya.

C. MunāsabahQS. „Abasa Ayat 1-10

Secara etimologi, munāsabah berasal dari kata .

kata tersebut merupakan bentuk tsulatsi mujaradnya (nasaba) yang berarti hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain (Budihardjo, 2012: 39).

Sedangkan secara terminologi, munāsabah memiliki arti segala sesuatu yang menerangkan korelasi atau hubungan antara suatu ayat dengan ayat yang lain, baik yang ada dibelakangnya atau ayat yang ada di mukanya (Syadali, 1997: 168). Selain itu, di dalam buku pembahasan Ilmu-ilmu al-Qur‟an karya Budihardjo (2012: 39), munāsabah mengandung pengertian

(46)

hal-hal tertentu dalam al-Qur‟an baik pada surat maupun pada ayat-ayatnya yang menghubungkan antara uraian yang satu dengan yang lainnya.

Munāsabah antar ayat atau antar surat dalam al-Qur‟an didasarkan

pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Sehingga ilmu munāsabah dioprasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain (http://pemikiranislam.wodpress.com, diakses pada tanggal 1 Juni 2016).

QS. „Abasa ayat 1-10 ini tentang teguran yang diberikan oleh Allah

kepada Rasulullah terhadap sikap beliau. Yaitu ketika Rasulullah sedang menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy, yang beliau harapkan agar masuk Islam. Ketika itu datanglah „Abdullāh bin Ummi

Maktūm, seorang sahabat yang buta yang mengharapkan agar Rasulullah saw membacakan ayat-ayat al-Qur‟an yang telah diturunkan Allah. Akan tetapi Rasulullah bermuka masam dan memalingkan muka dari „Abdullāh bin

Ummi Maktūm yang buta itu. Lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah kepada sahabat tersebut. Akan tetapi pada bagian ini penulis akan membahas munāsabah antar surat yaitu surat „Abasa dengan surat sebelum dan sesudahnya.

(47)

34

1. Munāsabahdengan Surat Sebelumnya

Pada akhir surat an-Nazi‟at diterangkan bahwa Nabi Muhammad hanyalah pemberi peringatan kepada orang-orang yang takut kepada hari kiamat, yang berbunyi: kepadanya (hari berbangkit)” (an-Nazi‟at: 45).

Pada permulaan surat „Abasa dijelaskan bahwa dalam memberikan

penghargaan yang sama kepada orang-orang yang diberi peringatan dengan tidak memandang kedudukan seseorang dalam masyarakat, seperti antara tokoh-tokoh bangsawan Quraisy dengan orang buta yang bernama „Adullah bin Ummi Maktum (Depag, 2009: 546). Sahabat Nabi yang

terkenal ini sebenarnya bernama „Abdullah bin Syuraih bin Malik bin Abi

Rabi‟ah. Ibunya yang bernama Ummi Maktūm adalah anak paman

Khadijah sehingga lebih dikenal dengan nama „Abdullāh bin Ummi

Maktūm.

2. Munasabah dengan Surat Sesudahnya

Dalam tafsir al-Qur‟an oleh Departemen Agama (2009: 560), hubungan surat „Abasa dengan surat sesudahnya yaitu at-Takwir adalah sama-sama menerangkan tentang huru-hara pada hari kiamat, sama-sama menerangkan bahwa manusia pada hari kiamat dibagi menjadi dua dan

(48)

Takwir Allah menegaskan bahwa Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang mulia.

Mengenai situasi dan keadaan hari kiamat, dalam surat „Abasa dijelaskan semua manusia sibuk dengan urusan mereka masing-masing karena dahsyatnya gejala-gejala alam yang mengiringinya. Masing-masing menyikapi hari kiamat sesuai dengan amal perbuatan mereka. Orang-orang mukmin tertawa gembira, sedangkan orang-orang kafir wajah mereka menjadi kelam karena ketakutan dan kesedihan. Pada surat at-Takwir, Allah bersumpah dengan berbagai makhluk-Nya seperti matahari yang dihancurkan, dan unta-unta bunting yang tidak dipedulikan lagi dan sebagainya. Tujuan sumpah itu adalah memberitahu manusia bahwa di hari kiamat manusia akan mengetahui semua amal perbuatan mereka di dunia dan buku catatan amal mereka.

D. Pandangan Mufasir dan Penafsiran Tentang al-Qur‟an Surat „Abasa Ayat 1-10

(49)

36

Muhammad Nasib ar-Rifa‟i. Maka di sini penulis akan menguraikannya sebagai berikut:

1. Penafsiran Ayat Ke 1-2

Dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2012: 70) dimulai dengan penjelasan kemudian penyebutan kata-kata sulit masuk kedalam penjelasan, seperti „Abasa, dan al-a‟mā. Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 80) dimulai dengan penjelasan kemudian diberi hadits-hadits Nabi. Dalam tafsir Ibnu Katsir ini tidak terdapat kosa kata sulit. Tafsir al-Maragi (1993: 69) dimulai dengan penafsiran kata-kata sulit seperti „Abasa, tawallā dan an jā‟a hul-a‟mā, pengertian secara umum kemudian penjelasan. Tafsir al-Qur‟an oleh Departemen Agama RI dimulai dengan kosa kata, penjelasan ayat dan kesimpulan. Di dalam tafsir al-Azhar karya HAMKA tidak terdapat kosa kata, dimulai dengan penjelasan.



yang buta, ketika sahabat ini menyela pembicaraan Nabi dengan beberapa tokoh Quraisy. Saat itu „Abdullāh bin Ummi Maktūm bertanya dan

(50)

yang telah diterima Nabi. Permintaan itu diulanginya beberapa kali karena ia tidak tahu Nabi sedang sibuk mengahadapi beberapa pembesar Quraisy.

Dalam skala prioritas, sebenarnya Nabi saw sedang menghadapi tokoh-tokoh penting yang diharapkan dapat masuk Islam karena hal ini akan berpengaruh besar terhadap perkembangan dakwah selanjutnya. Maka adalah manusiawi apabila Nabi SAW tidak memperhatikan pertanyaan „Abdullāh bin Ummi Maktūm, apalagi telah ada porsi waktu

yang telah disediakan untuk pembicaraan Nabi dengan para sahabat. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW sebagai manusia terbaik dan contoh teladan utama bagi setiap orang mukmin (uswah hasanah), maka Nabi tidak boleh membeda-bedakan derajat manusia. Dalam menetapkan skala prioritas juga harus lebih memberi perhatian kepada orang kecil apalagi memiliki kelemahan seperti „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang buta. Maka seharusnya Nabi lebih mendahulukan pembicaraan dengan “Abdullāh bin

Ummi Maktūm daripada dengan para tokoh Quraisy.

Dalam peristiwa ini Nabi SAW tidak mengatakan sepatah katapun

kepada „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang menyebabkan hatinya terluka,

tetapi Allah SWT melihat raut muka Nabi Muhammad SAW yang masam

dan tidak mengindahkan „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang

menyebabkan dia tersinggung. Dijelaskan juga bahwa „Abdullāh bin

(51)

38

besar adalah orang-orang yang kaya dan angkuh sehingga tidak sepatutnya Nabi terlalu serius menghadapi mereka untuk diislamkan. Tugas Nabi hanya sekedar menyampaikan risalah dan persoalan hidayah semata-mata berada di bawah kekuasaan Allah. Kekuatan manusia haris dipandang dari segi kecerdasan pikiran dan keteguhan hatinya serta kesediaan untuk menerima dan melaksanakan kebenaran (Depag, 2009: 547).

Nabi sendiri setelah ayat ini turun selalu menghormati „Abdullāh bin Ummi Maktūm dan sering memuliakannya melalui sabda beliau, “Selamat datang kepada orang yang menyebabkan aku ditegur oleh Allah.

Apakah engkau mempunyai keperluan?”.

Dalam keterangan tafsir al-Misbah, apa pun hubungannya surat „Abasa ayat 1-2 ini bagaikan menyatakan bahwa: Dia, yakni Nabi

Muhammad SAW berubah wajahnya sehingga tampak bermuka masam dan memaksakan dirinya berpaling didorong oleh keinginannnya menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin atau salah seorang dari mereka. Dia berpaling karena telah datang kepadanya seorang tuna netra yang memutuskan pembicaraannya dengan tokoh-tokoh itu (Shihab, 2012: 70).

(52)

Rasulullah sering berdialog dengan pembesar-pembesar Quraisy tersebut dengan tujuan agar mereka beriman. Tiba-tiba datang kepada beliau laki-laki buta yaitu Abdullāh bin Ummi Maktūm. Abdullāh meminta Nabi saw. untuk membacakan beberapa ayat al-Qur‟an kepadanya dan berkata, “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepada engkau”, Rasulullah SAW berpaling darinya dengan wajah masam,

menghindar dan tidak suka berbicara dengannya, lalu melanjutkan dialog dengan orang lain yakni pembesar Quraisy.

Setelah usai melaksanakan urusannya, Rasulullah SAW pun pulang, tiba-tiba Allah menahan pandangannya dan menundukkan kepalanya. Selanjutnya Allah menurunkan ayat, “Dia bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya” (Muhammad Nasib

Ar-Rifa‟i, 2000: 80). Keberpalingan itu karena Rasulullah SAW sangat menginginkan kalau sesaat saja itu dihentikan pastilah dia tidak akan mendapatkan kesempatan untuk berbicara di hadapan para pembesar tersebut, sebab beliau sangat mengharapkan mereka mendapatkan hidayah.

(53)

40

menyebabkan marah dan berpalingnya Rasulullah SAW dari padanya. Seolah-olah ayat ini mengatakan, maka kamu (Muhammad) seharusnya lebih berbelas kasihan dan berlaku lemah lembut kepadanya.

Dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa ini menurut ahli-ahli bahasa yang mendalami al-Qur‟an merasa benar-benar betapa mulia dan tinggi susun bahasa wahyu itu dari Allah terhadap rasul-Nya. Beliau disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka masam kepada orang yang datang bertanya, hendaklah bermuka manis terus, sehingga orang-orang yang tengah dididik itu merasa bahwa dirinya dihargai. Mengenai penjelasan ayat 1-2 ini merupakan teguran yang sanga halus sekali karena tidaklah dipakai bahasa berhadapan, tidak pula bersifat larangan. Di sini Rasulullah saw. disebut sebagai orang ketiga, Allah tidak mengatakan engkau melainkan dia (HAMKA, 1982: 44). Dengan membahasakannya sebagai orang ketiga, ucapan itu menjadi lebih halus. Apalagi dalam hal ini Rasulullah saw. tidaklah membuat suatu kesalahan yang disengaja atau yang mencolok mata.

Dari beberapa penjelasan mengenai penafsiran tersebut, penulis lebih condong pada al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI. Dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw bermuka masam ketika „Abdullah

bin Ummi Maktum menyela pembicaraan Nabi Muhammad saw dengan beberapa tokoh Quraisy. Saat itu „Abdullāh bin Ummi Maktūm bertanya

(54)

karena ia tidak tahu Nabi sedang sibuk mengahadapi beberapa pembesar Quraisy.

Akan tetapi pada kejadian ini Nabi Muhammad SAW tidak memperhatikan pertanyaan „Abdullāh bin Ummi Maktūm dan hal ini

adalah manusiawi karena pada skala prioritas Nabi Muhammad saw sangat mengharapkan tokoh-tokoh Quraisy untuk masuk Islam. Meskipun menetapkan skala prioritas juga harus tetap berlaku adil dengan yang dihadapinya atau tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan lainnya sehingga tidak akan menimbulkan sifat tersinggung atau kecewa. Nabi Muhammad SAW hanya sekedar menyampaikan risalah jadi Nabi tidak sepatutnya terlalu serius menghadapi tokoh Quraisy sehingga tidak

memperhatiakan „Abdullāh bin Ummi Maktūm. Persoalan hidayah

semata-mata berada di bawah kekuasaan Allah.

2. Penafsiran Ayat ke 3-4

“Apakah yang menjadikanmu mengetahui boleh jadi ia ingin membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu?”.

Teguran ayat-ayat yang lalu dilanjutkan oleh ayat di atas. Dalam

al-Qur‟an dan Tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 548) dalam ayat

(55)

42

sedangkan pengajaran itu belum tentu bermanfaat bagi orang-orang kafir Quraisy yang sedang kamu hadapi itu”. Dalam tafsir al-Misbah oleh

Quraish Shihab (2012: 72) mengenai ayat ini dijelaskan bahwa: Apakah yang menjadikanmu mengetahui, yakni engkau tidak dapat mengetahui, walau berupaya keras menyangkut isi hati seseorang, boleh jadi ia sang tuna netra itu ingin membersihkan diri, yakni beramal shaleh dan mengukuhkan imannya dengan mendengar tuntunan agama walau dengan tingkat kebersihan yang tidak terlalu mantap atau ia ingin mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu walau dalam bentuk yang tidak terlalu banyak.

Kata yazzakkā asalnya adalah yatazakkā tetapi huruf ta tidak disebut, ia diganti dengan huruf za‟ dan di-idgham-kan, demikian juga dengan kata yadzdzakkar asalnya yatadzakkar. Ini menurut al-Biqa‟i, untuk mengisyaratkan bahwa hal tersebut diharapkan oleh yang bersangkutan dapat wujud walau tidak terlalu mantap.

Di dalam tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 911) tidak terdapat kosa kata sulit. Akan tetapi ayat tersebut memiliki maksud yaitu barang kali dia (seorang tuna netra) ingin membersihkan dirinya, artinya dia akan mendapatkan hati yang bersih dan suci, “atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya,” yaitu dia dapat menjadikannya sebagai nasihat dan penengah

(56)

Dalam tafsir al-Maraghi (1993: 73) juga dijelaskan mungkin ia (Abdullāh bin Ummi Maktūm) hendak membersihkan diri dengan apa yang ia dengar dan apa yang ia terima dari Rasulullah SAW sehingga ia akan terbebas dari bahaya perbuatan dosa. Atau ia hendak meminta nasehat kepada Rasulullah SAW kemudian ia mengambil manfaat dari peringatan dan nasehat-nasehat Rasulullah SAW. Dijelaskan dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (1982: 45) melalui ayat 3-4 ini Rasulullah SAW diberi ingat oleh Allah bahwa Abdullāh bin Ummi Maktūm itu lebih besar harapannya akan berkembang lagi menjadi seorang yang suci, seorang yang bersih hatinya, walaupun dia buta. Karena meskipun mata buta, kalau jiwa bersih kebutaan tidaklah akan menghambat kemajuan iman seseorang.

Berdasarkan beberapa penafsiran tersebut penulis lebih condong kepada tafsir al-Azhar karya HAMKA. sebab tafsir al-Azhar ini menjelaskan Abdullāh Ibnu Ummi Maktūm mempunyai harapan yang lebih besar untuk menerima ajaran yang diberikan oleh Rasulullah dan akan berkembang lagi menjadi orang yang suci. Meskipun dia seorang yang buta akan tetapi dia mempunyai jiwa yang bersih.

3. Penafsiran Ayat ke 5-10

(57)

44

adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya mengabaikan”.

Dalam ayat-ayat ini, Allah melanjutkan teguran-Nya, “Adapun orang-orang kafir Mekah yang merasa dirinya serba cukup dan mampu, mereka tidak tertarik untuk beriman padamu, mengapa engkau bersikap terlalu condong pada mereka dan ingin sekali supaya mereka masuk Islam”. Allah mengingatkan Nabi Muhammad, “Dan adapun orang seperti

„Abdullāh bin ummi Maktūm yang datang kepadamu dengan bersegera

untuk mendapat petunjuk dan rahmat dari Tuhannya, sedang ia takut kepada Allah jika ia jatuh ke dalam lembah kesesatan, maka kamu bersikap acuh tak acuh dan tidak memperhatikan permintaannya” (Depag,

2009: 548).

Menurut Quraish Shihab (2012: 72), ayat 5-10 surat „Abasa ini menjelaskan sikap Nabi Muhammad SAW kepada tokoh kaum musyrikin yang beliau sangat harapkan keislamannya. Ayat di atas menyatakan: Adapun orang-orang yang merasa tidak butuh kepada Nabi karena memiliki harta, anak, atau kedudukan sosial serta pengetahuan maka walau ia tidak memiliki motivasi untuk takut kepada Allah, engkau terhadapnya saja bukan kepada tuna netra itu melayaninya dengan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam.

(58)

melakukan hal itu, padahal tiada celaan atasmu kalau ia, yakni yang engkau layani itu, tidak membersihkan diri yakni tidak beriman walau dalam tingkat sekecil apa pun. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera, yakni penuh perhatian untuk mendapatkan pengajaran sedang ia takut kepada Allah, maka sebaliknya, engkau terhadapnya mengambil sikap mengabaikan.

Kata istaghnā terambil dari kata ghaniya dan ista. Ghain dan nun dan huruf mu‟tal, keduanya asli sakhih (ghain dan nun). Keduanya menunjukkan cukup dan yang lain suara (Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, IV, 1967: 397). Di dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2012: 73), kata berarti tidak butuh. Huruf sin pada kata tersebut dipahami dalam arti merasa/menduga. Ia merasa tidak butuh kepada Allah serta petunjuk Nabi Muhammad SAW karena kekayaan, pengetahuan, dan kedudukan sosialnya.

Kata tashaddā terambil dari kata shadā, yaitu gema yakni suara yang memantul. Seseorang yang menghadapi orang lain dan melayaninya diibaratkan sebagai memantulkan suaranya, sehingga ia tidak berhenti kecuali kalau orang itu berhenti, sebagaimana gema suara dan pantulannya akan terus terdengar sampai terhentinya suara itu. Siapa yang melakukan hal itu dinamai tashaddā (Shihab, 2012: 73). Dalam tafsir al-Maragi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi (1993: 69) kata

(59)

46

Kata talahhā terambil dari kata - lahā-yalhā yang berarti menyibukkan diri dengan sesuatu sehingga mengabaikan yang lain (Shihab, 2002: 73). Dalam tafsir al-Maragi kata talahhā memiliki arti menganggap remeh atau mengabaikannya (Ahmad Mustafa al-Maraghi, 1993: 69).

Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 911) firman Allah SWT, “Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya mengabaikan”. Terjemah tersebut memiliki maksud yaitu “adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya”. Yaitu, adapun orang kaya

dan menyombongkan diri dari dakwahmu, maka kamu selalu begitu terbuka kepadanya dengan harapan dia mendapatkan petunjuk, “padahal

tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri”. Yaitu, padahal kamu tidak diminta untuk melakukan itu kalau dia tidak mau membersihkan hatinya. “Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan

bersegera, sedang dia takut kepada Allah”, yaitu dia menuju ke arahmu

dan menginduk kepada kamu agar dia mendapatkan petunjuk dari dakwah kamu, “maka kamu mengabaikannya”, yaitu berpura-pura tidak sempat.

Allah Ta‟ala memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memberikan

(60)

disamaratakan semuanya. Kemudian Allah lah yang akan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus bagi siapa saja yang Dia kehendaki.

Setelah Nabi mendapat teguran itu, beliau sangat menghormati keberadaan Abdullāh bin Ummi Maktūm. Dan, Ibnu Ummi Maktūm ini adalah salah seorang muadzin. Nabi SAW beliau bersabda:

“Sesungguhnya Bilal itu adzan di tengah malam. Karenanya, makan dan minumlah sehingga kamu mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum”.

Mengenai namanya, yang paling masyhur adalah Abdullah, namun ada juga yang mengatakan namanya Amar.

Selanjutnya Allah Ta‟ala berfirman, “Sekali-kali jangan.

Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan”. Yang dimaksud ajaran-ajaran Tuhan di sini adalah surah ini atau wasiat untuk menyamakan sikap terhadap semua orang, dalam menyampaikan ilmu, antara golongan atas dan golongan bawah.

Allah SWT berfirman, “Maka barang siapa yang menghendaki,

tentulah dia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan”, yaitu surah atau nasihat ini, dan kedua-duanya diabadikan bahkan seluruh isi Qur‟an dalam mushaf yang dimuliakan, artinya diagungkan dan

dihormati, “yang ditinggikan”, yaitu mempunyai kedudukan dan derajat yang sangat tinggi “lagi disucikan” dari berbagai macam noda,

pengurangan dan penambahan. Allah Ta‟ala berfirman, “Di tangan para

(61)

48

para abdi-Nya. Selanjutnya Allah Ta‟ala berfirman, “Yang mulia lagi berbakti”, maksudnya akhlak mereka sangat baik dan suci. Atas dasar ini

sangat dianjurkan bagi para penyandang al-Qur‟an agar perbuatan dan ucapannya berada di atas keseimbangan dan bimbingan.

Dalam tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi (1993: 73) kaum Quraisy yang dihadapi Nabi adalah orang yang merasa dirinya kaya dengan harta benda dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tidak membutuhkan iman dan apa yang ada pada Rasulullah. Akan tetapi Rasulullah melayani mereka dengan suatu harapan akan kesediaan mereka memasuki Islam dan kesediaan untuk beriman. Rasulullah saw. tiada lain hanyalah seorang Rasul yang diperintahkan untuk menyampaikan apa-apa yang datang dari Allah. Rasulullah telah menunaikan hal tersebut. Rasululllah tidak perlu mengharapkan ke-Islam-an mereka.

(62)

orang yang telah tertanam dalam jiwanya keimanan yang baik kepada Allah (tuna netra).

Dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (1982: 45-46), kaum Quraisy adalah merasa dirinya cukup yaitu merasa dirinya sudah pintar, tidak perlu diajari lagi dan merasa dirinya kaya. Orang-orang yang merasa dirinya cukup itu memandang enteng segala nasihat. Pekerjaan besar, perjuangan-perjuangan yang hebat tidaklah dimulai oleh orang-orang yang telah merasa cukup, biasanya orang yang demikian datangnya ialah kemudian sekali, setelah melihat pekerjaan orang telah berhasil.

“Padahal, apalah rugimu kalau dia tidak mau suci”. Padahal

sebaliknyalah yang akan terjadi, sebab dengan menunggu-nunggu orang-orang seperti itu tempoh akan banyak terbuang. Karena mereka masuk ke dalam perjuangan lebih dahulu akan memperkajikan, berapa keuntungan benda yang akan didapatnya. Di dalam ayat ini Allah telah membayangkan, bahwa engkau tidaklah akan rugi kalau orang itu tidak mau menempuh jalan kesucian. Yang akan rugi hanya mereka sendiri, karena masih bertahan dalam penyembahan berhala (HAMKA, 1982: 46). Penjelasan ini hampir sama dengan tafsir al-Maraghi, karena tugas Nabi adalah menyampaikan saja.

“Dan adapun orang yang datang kepadamu berjalan cepat”.

(63)

50

mempunyai kendaraan sendiri, dan dia pun dalam rasa takut, yaitu rasa takut kepada Allah, karna iman mulailah tumbuh, maka engkau terhadapnya berlengah-lengah. Sejak teguran ini Rasulullah SAW merobah taktiknya yang lama. Lebih-lebih terhadap orang-orang baru yang datang dari kampung-kampung yang jauh, Rasulullah bersikap lemah lembut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis lebih condong pada tafsir al-Maraghi. Sebab tafsir al-Maraghi ini menjelaskan kaum Quraisy yang sedang dihadapi Nabi adalah kaum yang merasa dirinya kaya dengan harta benda dan kekusasaan yang dimilikinya, ia tidak membutuhkan iman dan apa yang ada pada Rasulullah. Akan tetapi Rasulullah melayani mereka dengan suatu harapan akan kesediaan mereka membutuhkan iman dan masuk Islam. Adapun terhadap orang yang lemah yaitu „Abdullāh Ibn

ummi Maktūm Rasullah justru meremehkan dan mengabaikannya dengan tidak bersedia menjawabnya. Padahal „Abdullāh Ibn ummi Maktūm

(64)

51

A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak

Penulis mencoba untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam surat „Abasa ayat 1-10. Diantaranya:

1. Memberikan Penghargaan Yang Sama

Yang dimaksud dengan memberikan penghargaan yang sama di sini adalah dengan tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya.

(65)

52

Ayat di atas menyatakan bahwa: Dia, yakni Nabi Muhammad SAW berubah wajahnya sehingga tampak bermuka masam dan memaksakan dirinya berpaling didorong oleh keinginannnya menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin atau salah seorang dari mereka. Dia berpaling karena telah datang kepadanya seorang tuna netra yang memutuskan pembicaraannya dengan tokoh-tokoh itu (Shihab, 2012: 70). Ayat tersebut sampai ayat sampai ayat sepuluh menurut banyak ulama turun menyangkut sikap Nabi Muhammad SAW kepada sahabat beliau „Abdullāh Ummi Maktūm, ketika Nabi Muhammad SAW sedang

sibuk menjelaskan Islam kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Mekkah, atau salah seorang utamanya, yaitu al-Walid Ibn al-Mughirah. Nabi Muhammad SAW berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam. Jika para pembesar masuk Islam tentunya hal ini akan membawa dampak positif bagi

perkembangan dakwah Islam. Namun saat itu „Abdullāh Ummi Maktūm

(66)

namun Nabi Muhammad tidak menegur atau memarahinya. Hanya saja nampak pada raut wajah Nabi rasa tidak senang, maka turunlah ayat di atas menegur nabi Muhammad SAW atas sikapnya terhadap Abdullāh Ibn Ummi Maktūm (Shihab, 2012: 70-71).

Apa yang dilakukan oleh Abdullāh Ibn Ummi Maktūm termasuk perbuatan tidak sopan apabila seandainya Abdullāh Ibn Ummi Maktūm mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW sedang sibuk dengan orang lain dan beliau mengharapkan keislamannya. Akan tetapi Allah SWT tetap menegur Rasullah SAW atas perbuatannya yang telah berpaling dari Abdullāh Ibn Ummi Maktūm. Dalam ayat ini Rasullah disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka masam kepada orang yang datang bertanya, hendaklah bermuka manis, sehingga orang-rang yang tengah dididik itu merasa bahwa dirinya dihargai (HAMKA, 1982: 44).

(67)

54

seorang tuna netra, Abdullāh Ibn Ummi Maktūm yang lemah, sangat mengharapkan ajaran Nabi Muhammad akan tetapi beliau bermuka masam dan tidak memperhatikan Abdullāh Ibn Ummi Maktūm. Hal mengandung nilai pendidikan akhlak yaitu mengajarkan bahwasanya didalam menghadapi orang-orang harus memberikan penghargaan yang sama, yaitu dengan tidak boleh membeda-bedakan antara yang satu dengan lainnya. Hal ini bersifat umum, kepada siapa saja entah itu guru terhadap muridnya, orang tua terhadap anaknya atau terhadap sesama teman atas keberagaman manusia mengenai perbedaan diantara kaya, miskin, cantik, jelek, dan lain-lain. Jika hal ini benar-benar diperhatikan maka hidup manusia akan menjadi lebih harmonis.

2. Tidak Berfikir Negatif Terhadap Orang Lain

Berfikir negatif/prasangka dalam istilah sehari-hari dipahami sebagai pendapat atau anggapan kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan dan menyelidiki) sendiri (Republika, 2006: 129). Muslim tidak dibenarkan meyakini dan mempercayai sesuatu yang didasarkan pada prasangka. membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu?”.

(68)

dapat mengetahui, walau berupaya keras menyangkut isi hati seseorang, boleh jadi ia sang tuna netra itu ingin membersihkan diri, yakni beramal shaleh dan mengukuhkan imannya dengan mendengar tuntunan agama walau dengan tingkat kebersihan yang tidak terlalu mantap atauia ingin mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaranitu walau dalam bentuk yang tidak terlalu banyak. Dalam tafsir al-Maraghi (1993: 73) juga dijelaskan mungkin ia (Abdullāh Ibn Ummi Maktūm) hendak membersihkan diri dengan apa yang ia dengar dan apa yang ia terima dari Rasulullah SAW sehingga ia akan terbebas dari bahaya perbuatan dosa. Atau ia hendak meminta nasehat kepada Rasulullah SAW kemudian ia mengambil manfaat dari peringatan dan nasehat-nasehat Rasulullah SAW juga dijelaskan dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (1982: 45) melalui ayat 3-4 ini Rasulullah SAW diberi ingat oleh Allah bahwa Abdullāh Ibn Ummi Maktūm itu lebih besar harapannya akan berkembang lagi menjadi seorang yang suci, seorang yang bersih hatinya, walaupun dia buta. Karena meskipun mata buta, kalau jiwa bersih kebutaan tidaklah akan menghambat kemajuan iman seseorang.

(69)

56

lebih perhatian kepada kaum Quraisy. Hal ini mengandung nilai pendidikan akhlak yaitu agar tidak berfikir negatif terhadap orang lain, sehingga akan menimbulkan sikap yang baik pula terhadap orang yang dihadapi.

3. Bersikap Cermat dan Berhati-hati dalam Mengambil Suatu Tindakan

Dalam kamus umum bahasa Indonesia karya Poerwadarminta (1987: 202), cermat adalah seksama, teliti dengan penuh minat (perhatian), serta tidak tergesa-gesa dan tidak ceroboh dalam melaksanakan pekerjaan. Allah tidak menyukai makhluknya yang bekerja/bertindak dengan tergesa-gesa karena bisa menimbulkan kesalahan dan kegagalan dalam mencapai suatu tujuan. Bersikap cermat dan berhati-hati di dalam mengambil suatu tindakan terkandung di dalam surat „Abasa ayat 5-10, sebagai berikut:

melayani padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. danadapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya mengabaikan”.

Referensi

Dokumen terkait

Dan secara praktis dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penulis dan pembaca dalam memahami pesan yang terkandung dalam surat al-Maidah ayat 8-11 mengenai pendidikan

Hasil dari peelitian penulis mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak kepada kaum dhuafa perspektif al-Qur’an surat An- Nisa ayat 36 Tafsir Al-Maraghi ini adalah bahwa

Penelitian ini tentang nilai-nilai akhlak dalam perspektif pendidikan Islam (Kajian tafsir surat Al-Hujurat ayat 11-13) bahwa akhlak Islam adalah nilai-nilai yang utuh,

Dari berberapa nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Yusuf ayat 20-29, bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Q.S Yusuf ayat 20-29 sangat relevan untuk

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam surat al- An‟am ayat 151 -153 terdapat akhlak yang baik dan buruk, diantaranya: tidak berbuat

Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah apa saja nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam Al- Qur’an surat Al - Mu’minun ayat 1 -11?1. Untuk

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka dapat disimpulkan bahwa : nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an (surat Al- Baqarah ayat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nilai pendidikan akhlak yang ada dalam surat al-Hujurat ayat 11 dan 12 adalah Perintah untuk tidak mencela orang lain karena