STUDI KUALITATIF: PENGALAMAN BERADAPTASI REMAJA
TERHADAP PERUBAHAN PERAN DI LAPAS
Ayu Pratiwi
*Program Studi Keperawatan, STIKes Yatsi
E-mail: pangeran_jojoy@yahoo.co.id
Abstrak
Remaja merupakan masa peralihan yang memiliki proses perkembangan yang berbeda dengan usia anak-anak dan dewasa. Remaja yang tinggal di Lapas harus menghadapi perubahan peran selama di Lapas yang akan menimbulkan berbagai macam respon psikologis dan upaya-upaya untuk beradaptasi bagi mereka. Tujuan penelitian ini ingin mengeksplorasi pengalaman dan mekanisme adaptasi remaja Lapas dalam menghadapi perubahan peran. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Partisipan penelitian ini terdiri dari delapan orang remaja Lapas. pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam berdasarkan tujuan penelitian. Analisis data hasil wawancara menggunakan tahapan analisis menurut Colaizzi. Temuan hasil penelitian menunjukkan 5 tema dengan beberapa katagori antara lain:
1) Perubahan penampilan peran yaitu perubahan peran dalam keluarga,perubahan penampilan peran terhadap hubungan sosial dengan teman sebaya, dan perubahan aktivitas sekolah, 2) Keadaan harga diri remaja yang di Lapas adalah malu kepada keluarga dan aib keluarga,3) Respon psikologis yang terjadi pada remaja Lapas adalah respon psikologis awal masuk Lapas dan respon psikologis saat ini,4) Upaya dalam beradaptasi adalah upaya dari diri sendiri dan upaya dari orang lain dan 5) Harapan untuk masa depan adalah harapan untuk diri sendiri dan harapan untuk orang lain. Rekomendasikan hasil penelitian ini ditujukan pada perawat jiwa atau petugas Lapas yang mungkin akan berhubungan langsung dengan remaja Lapas dalam membantu mereka untuk menggunakan strategi yang adaptif dalam menghadapi kondisi di Lapas.
Kata kunci: Remaja, adaptasi, perubahan peran, Lapas
Abstract
Adolescents are a transitional period that has different developmental processes with the age of children and adults. Adolescents living in prisons must face role change while in prisons that will lead to various psychological responses and attempts to adapt to them. The purpose of this study would be to explore the experiences and mechanisms of adolescent adaptation Prisons in the face of role change. This research uses qualitative method with descriptive phenomenology approach. The study participants consisted of eight prison juveniles. Data retrieval is done by in-depth interviews based on research objectives. Data analysis of interview result using analysis phase according to Colaizzi. The research findings show 5 themes with several categories, among others: 1) Change of role appearance that is change of role in family, change of role appearance to social relation with peer, and change of school activity, 2) The pride of pride of adolescent in prison is shame to Family and family disgrace 3) Psychological responses occurring in adolescence Prisons are the initial psychological response to prison and the current psychological response, 4) The adaptation effort is the effort of oneself and the efforts of others and 5) Hope for the future is hope For yourself and hope for others. Recommend the results of this study aimed at mental nurses or prison officers who may be in direct contact with prison juveniles in helping them to use adaptive strategies in the face of prison conditions.
PENDAHULUAN
mendengarnya melalui radio. Kasus yang
dilakukan juga bermacam-macam, mulai
dari kasus kriminalitas ringan hingga
kasus yang berat. Remaja yang tertangkap
tangan melakukan aksi kriminalitas inilah
yang kemudian akan diproses dan apabila
terbukti bersalah mereka akan dimasukan
dalam Lapas sebagai hukumannya.
Data rehablitasi social menjelaskan bahwa
tiap tahunnya didapati lebih dari 4.000
dengan perkara pelanggaran hukum yang
dilakukan remaja di usia 16 – 18 tahun
dan dari seluruh remaja yang ditangkap
tersebut sekitar yang dibawa di meja
pengadilan dan setelah melalui proses
pengadilan 83% dari anak-anak tersebut
dipenjarakan Jumlah remaja yang
melakukan kenakalan seperti yang
dijelaskan, di Indonesia memang berada
pada angka yang cukup tinggi1.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
bahwa jumlah tindak pidana menurut
kepolisian daerah di Indonesia pada
tahun 2011 berjumlah 347.605 orang,
pada tahun 2012 berjumlah 341.159 orang
dan pada tahun 2013 berjumlah 342.084
orang.
Jumlah tindak pidana pada tahun 2011 di
Riau sebanyak dan pada tahun 2013
sebanyak 9.399 orang2.
Penelitian yang dilakukan oleh Watson,
juga mengatakan bahwa berbagai masalah
muncul di Lembaga Pemasyarakatan,
mulai dari masalah fisik seperti penyakit
menular, masalah yang terkait dengan
kesehatan mental, dan penyalahgunaan zat.
Menurut Danu dalam penelitiannya terjadi
kekerasan verbal berupa hinaan dan ejekan
yang sering diperoleh remaja selama di LP
Pekanbaru membuatnya merasa tidak
berharga dan tidak berguna, sehingga
remaja sering murung dan kurang
bersosialiasai dengan remaja lain.
Pengalaman yang menyenangkan maupun
kurang menyenangkan yang terjadi di
Lapas akan menimbulkan perasaan positif
atau perasaan negatif terhadap diri remaja.
Kehidupan di dalam Lapas berbeda dengan
kehidupan yang berada pada masyarakat.
Adanya keterbatasan-keterbatasan dan
aturan-aturan dalam Lapas tidak dapat
dihindari, hal ini dapat berdampak
terhadap perubahan peran remaja. mereka
pun harus bisa beradaptasi dengan dunia
barunya. Remaja diharapkan dapat
beradaptasi dengan lingkungan hidup.
Melihat permasalahan yang terjadi pada
remaja yang sudah dijelaskan, maka perlu
dilakukan pengkajian yang mendalam
tentang kehidupan remaja yang tinggal di
Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode qualitative dengan pendekatan
Fenomenologi. Pada penelitian ini akan
menggali pengalaman beradaptasi terhadap
perubahan peran remaja khususnya pria
yang tinggal di Lapas. Partisipan penelitian
ini sejumlah 10 partisipan dipilih dengan
teknik purposive sampling. Kriteria
partisipan dalam penelitian ini adalah
remaja yang berusia 15-18 tahun dengan
pendidikan minimal SLTA dengan masa
tahanan minimal 6 bulan. Penelitian
dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak Pria Klas I Tangerang mulai Januari
sampai April 2017. Peneliti menggunakan
prinsip etik autonomy, anonimity, justice,
beneficience, dan non maleficience saat
penelitian. Metode pengumpulan data
menggunakan wawancara mendalam, field
note.
Hasil
Kasus pertama remaja Lapas adalah kasus
pelecehan seksual dengan masa tahanan 2
tahun. Partisipan dalam penelitian ini
berjumlah delapan remaja Lapas. lima
tema yang dihasilkan dalam penelitian ini
yaitu: 1) Perubahan penampilan peran, 2)
Keadaan harga diri, 3) Respon psikologis
terhadap perubahan peran, 4) Upaya
adaptasi terhadap perubahan peran remaja
di Lapas , 5) Harapan untuk masa depan.
Tema 1 : Perubahan penampilan peran
Perubahan penampilan peran remaja yang
tinggal di Lapas merupakan pengalaman
yang umumnya dirasakan oleh partisipan
dalam penelitian ini. Sebagian besar
partisipan mengungkapkan perubahan
penampilan peran terjadi ketika ada peran
baru yang diperoleh partisipan. Peran baru
muncul ketika partisipan dinyatakan bersalah
dan menjadi narapidana. Dengan adanya
peran baru ini, muncul suatu konflik
peran yaitu pertentangan antara harapan dan
kenyataan yang tidak sesuai. Sebelum
menjadi narapidana, partisipan menjalankan
perannya yang meliputi:
1. Peran sebagai anak dalam keluarga,
terlihat dari pernyataan
“Kebiasaan saya di rumah waktu nganggur saya bantu2, ibu saya, kayak pembantu aja, ngepel, nyapu, nyuci pring, kalau saya rajin biasanya saya diturutin”. (P.2)
“Pastinya da yang berubah kak, jadi lebih mandiri aja kalau disini dan yang ilang masa-masa kumpul sama keluarga”. (P.7)
2. Perubahan Penampilan Peran dalam
hubungan sosial dengan teman sebaya,
diungkapkan partisipan sebagai berikut:
“...Di bilang kan disini orang jahat semua berarti otaknya jahat semua dong, kita juga kan lebih berhati-hati lagi jangan sampai kita ke dorong sama dia, misal kan diomongin gini-gini, itu nama nya dipancing doang disini kan masalah sedikit menjadi besar...”. (P.2)
3. perubahan aktivitas remaja sebagai anak
sekolah yang merupakan salah satu dari
peran remaja. yang diungkapkan partisipan
dalam pernyataannya sebagai berikut: udah cukup. Kalau ada PR, kita ga ngerjain aja, ga apa-apa. Bebas disini kalau sekolah mah. Ga kayak di sekolah saya dulu, banyak tugas nya..”. (P.5)
Tema 2: Keadaan harga diri
Dalam penelitian ini, sebagian besar
partisipan mengungkapkan rasa malu dan
penyesalan terhadap perbuatan yang telah
dilakukannya hal ini disebabkan karena
adanya persepsi yang salah dari partisipan
sendiri. Menjadi narapidana dan harus
tinggal di Lembaga Pemasyarakatan bagi
partisipan dianggap sebagai suatu
hukuman atas apa yang mereka perbuat,
sehingga partisipan merasa bersalah pada
diri sendiri maupun pada keluarga dan
partisipan mulai menyesali perbuatannya.
Berikut ini beberapa pernyataan yang
diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut:
“Malu, nama orang tua ngerasa tecoreng cuman saya juga berharapannya kedepan, saya juga pas bebas ini saya pengen ngerubah dari malu menjadi harga dirinya tinggi dan bertahannya untuk kedepannya”. (P.3)
“Malah jadi rugi, pastinya kalau udah masuk penjara pasti orang berpikir jelek sama saya dan keluarga saya sendiri...tidak sesuai dengan harapan orangtua saya sendiri”. (P.7)
“saya mah kapok ga mau kayak begini lagi, pokoknya mah ga mau nyusahin orangtua lagi, jadi kayak beban keluarga. Jadi saya tuh malu ama tetangga lingkungan rumah.. mungkin apalagi dengan orangtua saya teh...”(P10)
Tema 3: Respon psikologis terhadap
perubahan peran
Terdapat 2 katagori di dalam tema respon
psikologis terhadap perubahan peran yaitu
katagori pertama mengenai respon
psikologis awal masuk Lapas dan respon
psikologis saat remaja sudah beradaptasi di
lingkungan Lapas. respon psikologis awal
partisipan mengungkapkan rasa sedih,
kecewa,cemas dan takut, diungkapkan
sebagai berikut
“Pertama kali masuk, cukup tegang, takut namanya juga penjara pasti ada kekerasan fisik terus gimana ya.. pikirannya campur aduk, aneh- aneh pikirannya”. (P.1)
Selanjutnya adalah respon psikologis saat
ini yang merupakan respon psikologis yang
sudah beradaptasi selama remaja tinggal di
Lapas sehingga rasa takut partisipan
terhadap lingkungan dan teman Lapas
sudah tidak ada remaja akan merasakan
kejenuhan, merasa bersalah dan merasa
sedih ingin cepat bebas dan berkumpul
dengan keluarga. Terhadap situasi tersebut,
beberapa partisipan mengungkapkan
pernyataan, sebagai berikut
“..Rasa takut sudah tidak ada karna selama saya tinggal tidak sesuai dengan yang saya pikirkan diawal masuk” (P.1)
“...Pernah stress kak, bosen lahh kak, setiap hari kerjaan nya sama, mondar-mandir aja...” (P.5)
“...kalau lagi sendirian tuh saya mah suka ngelamun.. pengen cpet pulang, gara-gara saya ngebuat salah saya jadi masuk kesini {Lapas}saya bersalah banget sama orangtua..” (P.10)
Tema 4 : Upaya adaptasi terhadap
perubahan peran
untuk bisa beradaptasi partisipan
memanfaatkan fasilitas yang ada di Lapas
seperti perpustakaan dan mengikuti
kegiatan yang ada di Lapas serta untuk
mengurangi rasa kejenuhan mereka
berkumpul dan mengbrol. Berikut ini adalah
beberapa pernyataan yang diungkapkan oleh
partisipan:
“Senang soalnya apa yang saya belum nemuin, ga biasa saya kerjain, akhirnya kan saya disini bisa ngerjain, misalkan kaya nyapu, ngepel, ngelap- ngelap begitu. Saya juga dirumah belum biasa kayak gitu kak. Paling kalau dirumah maen hp nonton tv, nungguin orang tua buat nasi goreng ya paling gitu doang”. (P.3)
“bisa ngelakuin kegiatan positif yang lain kayak baca buku gitu, bisa kumpul segala macem tapi kan kalau disini semuanya ketunda, mau ngapain- ngapain juga bingung biasanya sabtu jalan-jalan ke jakarta kan, sendirian sekarang mah sudah tidak bisa, kebiasaan saya kayak gitu kak, kalau dirumah dulu jalan-jalan ke jakrta sendirian”. (P1)
Tema 5 : Harapan untuk masa depan
Sebagian besar dari partisipan masih
mempunyai keinginan untuk mewujudkan
cita-cita setelah tertunda akibat hukuman
di Lapas, yang diungkapkan sebagai
berikut
“Saya juga ingin membahagiakan orangtua, ga mau buat ibu saya sedih lagi. Harus sekolah yang rajin biar nanti bisa dapat kerjaan” (P.3)
Pembahasan
1. Perubahan penampilan peran
Perubahan-perubahan yang dialami remaja
akan mempengaruhi sikap dan
perilakunya. Sebagian partisipan
mengungkapkan perubahan penampilan
peran terjadi ketika ada peran baru yang
diperoleh partisipan. Ketika partisipan
menjadi warga binaan pemasyarakatan dan
tinggal di lapas, terjadi perubahan
penampilan peran dan harus mengikuti
seluruh kegiatan yang sudah terjadwal.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Roy
bahwa fungsi peran yang dimainkan
seseorang mengacu pada peran primer,
Salah satu dari perubahan penampilan
peran dalam penelitian ini adalah
perubahan peran remaja sebagai seorang
anak dalam keluarga. Kemandirian remaja
secara spesifik menuntut suatu kesiapan
individu baik secara fisik maupun
emosional untuk mengatur, mengurus, dan
melakukan aktivitas atas tanggung
jawabnya sendiri tanpa banyak tergantung
pada orang lain. Menurut Yunita,
remaja akan mengalami kesulitan dalam
menghadapi berbagai masalahnya untuk
dapat memperoleh kemandirian.
Perubahan penampilan peran remaja dalam
hubungan sosial dengan teman sebaya.
Pada penelitian ini, sebagian besar remaja
memiliki kelompok teman yang
anggotanya berusia sama. Empat dari
sepuluh partisipan mengungkapkan anggota
yang lebih tua dengan lama tahanan yang
lama akan lebih dihormati oleh sesama
remaja Lapas4. Andikpas berada pada
kategori rentang usia remaja dimana pada
fase ini remaja laki-laki menjadi cenderung
lebih berani dalam mengambil perilaku
berisiko, sehingga melakukan behavior
problem bahkan tindakan kriminalitas5.
Menurut Bandyopadhay, Andikpas laki-laki
akan lebih berjuang dalam kehidupan
penjara dibandingkan wanita6. Hal ini sesuai
dengan penelitian Stanko, bahwa di Afrika
Selatan, dimana perjuangan narapidana
laki-laki dalam penjara ditentukan oleh hirarki,
narapidana yang berada pada kategori
power-relation yang tinggi akan
mengintimidasi narapidana lain. Selain itu, ia
juga menemukan bahwa ketakutan,
intimidasi, dan perkelahian merupakan cara
narapidana bertahan dalam penjara7.
Selanjutnya adalah perubahan aktivitas
dalam sekolah. Peranan sekolah sangat
penting yaitu memberikan pendidikan
moral dan apabila tidak adanya pendidikan
berdampak terhadap remaja akan cepat
masuknya pengaruh kekerasan terhadap
karakter anak dan membuat nilai-nilai
yang berlaku tidak berfungsi.
Sekolah bertugas membentuk karakter
remaja agar mempunyai pemikiran yang
positif dan perilaku yang menunjukkan tata
krama yang baik. Keduanya harus seimbang
agar nanti ketika berinteraksi dengan
masyarakat mereka dapat memberikan
manfaat bagi diri sendiri maupun
masyarakat seperti menyumbangkan
pemikiran positif dan menampilkan sikap
kesopanan dalam bermasyarakat dengan
menghargai setiap hak-hak yang dimiliki
individu, taat pada peraturan yang berlaku,
serta gotong royong dalam kehidupan
bermasyarakat. Sesuai dengan faktor-
faktor yang dikemukakan oleh Muslimin
yang dapat mempengaruhi penalaran
moral itu adalah diskusi antara orangtua,
hukuman, dan peran kognitif yang tinggi
seperti pendidikan. Terkait dengan hak
pendidikan dalam UU SPPA, Pasal 82
Ayat (1) butir e mengatakan bahwa
tindakan yang dapat dikenakan kepada anak
adalah kewajiban mengikuti pendidikan
formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta8.
Disamping itu, sekolah adalah satu-
satunya institusi didalam masyarakat yang
mampu menyediakan sistem pelayanan
yang diperlukan untuk pendidikan karir –
instruksi, bimbingan, penempatan dan
jalinan komunitas.
Pendidikan merupakan sektor penunjang
yang sangat penting dalam pembangunan
nasional, kualitas hidup suatu bangsa akan
menjadi baik apabila kebutuhan akan
pendidikan telah terpenuhi. Meskipun
seorang anak menjalani pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak,
ketentuan-ketentuan tentang hak-hak anak
tetap harus berlaku padanya. Keberadaan
mereka di Lembaga Pemasyarakatan Anak
dan statusnya sebagai anak didik
pemasyarakatan tidak menghapuskan hak-
hak yang melekat pada diri mereka, wajib
terpenuhi serta terlindungi dengan baik,
yaitu hak untuk memperoleh pendidikan
yang layak. Sekolah dapat menjadi faktor
pelindung bagi anak didiknya terhadap
perilaku remaja di Lapas jika sekolah bisa
konsisten dan fokus memberikan hal-hal
positif bagi anak didiknya dalam hal
akademik yaitu memberikan penugasan
belajar, belajar kelompok, mengadakan
kelas belajar bersama dimana hal-hal
tersebut akan meningkatkan perilaku
positif remaja Lapas.
2. Keadaan harga diri
Rahmafitri mengatakan bahwa harga diri
berpengaruh dalam tingkah laku manusia
untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan, nilai-nilai, serta tujuan hidup
seseorang9. DeLaune dan Ladner juga
menyatakan bahwa harga diri akan
bervariasi dari waktu ke waktu tergantung
pada situasi, lingkungan, dan tingkat
pengembangan rasa percaya diri individu
secara keseluruhan. Kehidupan di LP yang
jauh dari orang-orang tersayang akan
mempengaruhi pembentukan harga diri
remaja. Remaja yang berada di LP akan
mengalami banyak perubahan hidup
diantaranya hilangnya kebebasan, hak-hak
yang semakin terbatas, dan perolehan label
penjahat. Menurut Handayani, Remaja
masih membutuhkan arahan, bimbingan,
serta pendampingan dari orangtua agar
mereka dapat berkembang ke arah
pendewasaan yang lebih positif. Setiap
peran dapat memenuhi harapan tertentu
dari orang lain10. Pemenuhan harapan ini
mengarah pada penghargaan
ketidakberhasilan untuk memenuhi
harapan ini menyebabkan penurunan harga
diri atau terganggunya konsep diri
seseorang11.
3. Respon psikologis terhadap perubahan
peran
Respon psikologis yang ditunjukkan oleh
remaja dalam penelitian ini terkait
perubahan perannya di awal masuk Lapas
sampai respon psikologis saat ini. Respon
psikologis awal ditemukan dalam
penelitian ini berupa rasa takut,sedih,
cemas pada saat pertama kali masuk
Lapas. Narapidana mulai menjalankan
hukuman dan jauh dari orang-orang
terdekatnya sejak vonis dijatuhkan, seorang
narapidana akan memiliki perasaan-perasaan
yang melibatkan emosinya, misalnya
perasaan jenuh, kesepian, sedih, takut,
cemas, dan perasaan negatif lainnya yang
akan berpengaruh terhadap penilaian dirinya.
Semuanya mengaku mengalami kondisi
terpukul yang berat diawal menjalani hidup
di Lapas. Mereka harus beradaptasi dengan
lingkungan baru, ketakutan akan hidup di
Lapas dan sangat cemas akan masa depan
mereka. Respon psikologis saat ini berupa
rasa sedih, rasa cemas mengenai masa
depannya dan rasa bosan karna rutinitas atau
kegiatan yang sama dilakukan setiap hari.
Ratnawati mengungkapkan kegiatan
pembinaan yang dilakukan oleh pihak LP
kemungkinan besar dapat mempengaruhi
kondisi psikologis remaja yang di ditekankan
pada kegiatan pembinaan kepribadian dan
kegiatan pembinaan kemandirian.
Pembinaan kepribadian diarahkan pada
pembinaan mental dan watak agar
bertanggung jawab kepada diri sendiri,
keluarga dan masyarakat12. Pembinaan
kemandirian diarahkan pada pembinaan
bakat dan keterampilan agar Warga Binaan
Pemasyarakatan dapat kembali berperan
sebagai anggota masyarakat yang bebas
dan bertanggung jawab.
4. Upaya adaptasi terhadap perubahan
peran. Penelitian ini yang dihadapi dalam
penyesuaian diri atau beradaptasi remaja
Lapas, khususnya yang paling
tempat tinggal dan lingkungannya dari
yang tinggal di rumah bersama keluarga
lalu masuk ke Lapas. Proses peralihan ini
meliputi bagaimana cara remaja bergaul,
bersikap serta berinteraksi dengan teman-
teman baru yang merupakan warga binaan
Lapas dan penjaga Lapas, dalam hal ini
remaja dituntut untuk dapat menyesuaikan
diri dengan suasana Lapas misalnya dapat
mentaati segala peraturan dan kegiatan
yang sudah terjadwal yang diterapkan di
Lapas, yang tentunya berbeda dengan
peraturan saat tinggal dirumah bersama
keluarga. Berbagai cara yang dilakukan
individu untuk bisa menyesuaikan diri
dengan kondisi lingkungan tertentu
tidaklah sama. Lingkungan Lapas menjadi
lingkungan sosial yang utama dalam
mengadakan penyesuaian diri. Dari hasil
penelitian upaya-upaya yang dilakukan
partisipan untuk beradaptasi adalah dengan
banyak beribadah, rajin dalam melakukan
kegiatan di Lapas, membaca buku, yang
aktivitas tersebut tidak pernah
dilakukannya pada saat tinggal dirumah.
Keberadaannya di Lapas membuat mereka
mampu belajar mendapatkan pengalaman
bersosialisasi pertama kalinya baik dengan
teman-teman maupun petugas Lapas.
5. Remaja dituntut dapat berkembang
dan menyesuaikan diri agar menjadi modal
utama mereka ketika berada dalam
masyarakat luas. Apabila remaja tidak
dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, maka remaja akan
memiliki sikap negatif dan tidak bahagia.
Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan
oleh Schneiders, individu dikatakan tidak
mampu menyesuaikan diri apabila perasaan
sedih, rasa kecewa, atau rasa putus asa
berkembang dan mempengaruhi fungsi-
fungsi fisiologi serta psikologinya.
Individu menjadi tidak mampu
menggunakan pikiran dan sikap dengan
baik, sehingga tidak mampu mengatasi
tekanan-tekanan yang muncul dengan cara
yang baik13. Menurut Walgito, Penyesuaian
diri merupakan kemampuan individu
meleburkan diri dalam lingkungan yang
dihadapinya14
6. Harapan untuk masa depan
Dari hasil penelitian, selama menjalani
masa hukuman di Lapas dapat diketahui
bahwa semua partisipan mempunyai
harapan yang tinggi, harapan untuk diri
sendiri maupun untuk keluarga. Harapan
secara umum pada hasil penelitian
meliputi sikap optimis partisipan dalam
menjalani kehidupan sehari-hari di
Lembaga Pemasyarakatan maupun untuk
memperbaiki keadaan dalam hidup melalui rehabilitasi dengan dukungan fasilitas di Lapas pun
mendukung harapan partisipan. Kemampuan diri untuk mengembangkan potensi diri, maupun
penyesuaian diri partisipan untuk bertahan dalam keadaan sulit.
Narapidana remaja mendapatkan binaan kemandirian seperti membuat kerajinan handycraft,
membuat sepatu, tekstil seta kaligrafi di Lapas yaitu pekerjaan membuat adanya motivasi
dalam dirinya bertambah untuk aktif secara sosial dan optimis sehingga konsep dirinya bisa
terbentuk dengan positif, penjelasan ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Andriawati menyatakan semakin positif konsep diri narapidana maka akan semakin rendah
tingkat kecemasan menghadapi masa depan, dan sebaliknya semakin negatif konsep diri
narapidana maka semakin tinggi tingkat kecemasan menghadapi masa depan15. Mereka
mempunyai tanggung jawab besar terhadap apa yang mereka kerjakan sehingga mereka dapat
melaksanakan tugas mereka dengan baik. Harapan mereka setelah mendapatkan binaan dari
penjara, mereka bisa menerapkan binaan tersebut untuk bekerja saat berada di lingkungan
masyarakat dan keinginan untuk meraih cita-cita untuk menjadi orang sukses yang bisa
membahagiakan kedua orangtua mereka.
Menurut Weil adapun yang mempengaruhi harapan diantaranya dukungan sosial, kepercayaan
religius dan kontrol. Seseorang dengan keadaan sejahtera atau sebaliknya akan berpengaruh
pada harapan yang dimiliki. Dukungan sosial merupakan salah satu faktor harapan yang dari
lingkungan maupun orang-orang disekitar. Dalam penelitian ini, harapan partisipan
dipengaruhi oleh keluarga dan atau rekan yang cukup berpengaruh dalam kehidupannya
maupun lingkungan tempat tinggal16.
Simpulan
Gambaran pengalaman adaptasi remaja terhadap perubahan peran selama tinggal di Lapas.
Adanya perubahan peran dapat menimbulkan perubahan penampilan peran antara lain:
perubahan penampilan peran remaja sebagai anak dalam keluarga, sebagian besar patisipan
mengungkapkan ada perubahan perilaku menjadi lebih mandiri dibandingkan pada saat
sebelum masuk Lapas yang tidak pernah melakukan perannya sebagai anak terhadap orangtua
seperti membantu pekerjaan rumah orangtua. Lingkungan dan teman-teman yang baru dapat
terjadi perubahan penampilan peran dalam masyarakat dengan teman sebaya serta
perubahan aktivitas sebagai anak sekolah sehingga akan berpengaruh kepada keadaan harga
Perubahan peran yang terjadi pada remaja Lapas memunculkan respon psikologis seperti rasa
sedih dan bosan. Perasaan sedih diungkapkan partisipan karena jauh dari keluarga dan
perasaan bosan karena rutinitas yang sama dilakukan setiap hari oleh partisipan. Untuk
menghadapi perubahan peran yang terjadi, remaja Lapas mempunyai upaya-upaya untuk
bisa beradaptasi terhadap perubahan perannya, seperti banyak beribadah, membantu petugas
Lapas, mengobrol dengan sesama remaja Lapas, memanfaatkan fasilitas Lapas dan
mengikuti kegiatan pembinaan yang ada di Lapas. Pembinaan yang dilakukan di Lapas
membantu remaja untuk bisa beradaptasi dengan perubahan peran yang terjadi sehingga
remaja Lapas masih mempunyai harapan yang tinggi untuk masa depannya.
Daftar Pustaka
1. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (2015). Data terakhir jumlah penghuni perkanwil. Diperoleh tanggal 20 Oktober 2016 jam 13.00 WIB dari http://smslap.ditjenpas.go.id 2. Badan Pusat Statistik. (2013). Ringkasan eksekutif statistik kriminal . Diperoleh tanggal
20 Oktober 2016 jam 13.00 WIB dari http://www.bps.go.id
3. Helmina. (2007). Pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan Kasus Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Tesis. Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia.. Diakses dari http://remote-lib.ui.ac.id pada tanggal 15 Oktober 2016 jam 20.28 WIB
4. Handayani, T. P. (2010). Kesejahteraan psikologis narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarjo. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Skripsi. Diperoleh pada tanggal 20 April jam 16.00 WIB dari http://eprints.undip.ac.id
5. Steinberg, laurence. (2002). Adolescence 6th edition. New York: The Graw-Hill Companies, Inc
6. Bimo Walgito, 2007, Psikologi Kelompok, Andi Offset, Yogyakarta
7. Steinberg, L., Haskins, Ron. (2014). Keeping Adolescents Out of Prison. Policy Brief Fall. Melalui http://futureofchildren.org/futureofchild ren/publications/docs/18_02_PolicyBrie
f.pdf pada tanggal 20 Oktober 2016 Jam 17.30 WIB
8. Muslimin, Z.I. (2004). Penalaran moral siswa ditinjau dari jenis lembaga pendidikan dan faktor pendidikan orangtua. Diakses melalui http://portal.kopertis3.or.id pada tanggal 20 April 2017 jam 16.00 WIB
9. Rahmafitri. (2008). Hubungan antara harga diri dengan mekanisme koping lansia di Desa Batursari Mranggen. Semarang: Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang. Skripsi. Diperoleh tanggal 25 April 2017 jam 13.00 WIB dari
http://digilib.unimus.ac.id/gdl.php
Menjadi Pelaku. Diakses melalui http://portal.kopertis3.or.id pada tanggal 12 Oktober jam 16.00 WIB
11. Potter, A., & Perry, A.G. (2010). Fundamental Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta
12. Ratnawati, G. (2008). Pola pembinaan narapidana anak sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Diperoleh tanggal 25 April 2017 jam 13.00 WIB dari http://imadiklus.googlecode.com
13. Schneider, A.A. 2008. Personal Adjustment and Mental Health. New York: Holtt. Renehart and Winston Inc. melalui http://remote-lib.ui.ac.id pada tanggal 05 Oktober 2016 jam 20.28 WIB
14. Walgito, (2007). Psikologi Kelompok, Andi Offset, Yogyakarta. Diakses melalui
http://portal.kopertis3.or.id pada tanggal 20 April jam 16.00 WIB
15. Amaliawati, Tresna. (2013). Pola Interaksi Komunikasi pada Hubungan Petugas LAPAS dengan Anak Didik Pemasyarakatan(Andikpas):Deskriptif Kualitatif pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Tangerang di akses melalui http://remote-lib.ui.ac.id
pada tanggal
15 ktober 2016 jam 16.00 WIB
16 Weil, (2007). Models of Teaching (Second Edition). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. http://www.tapartnership.org/ Resource_screeningAssessment.pdf