• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI ETIKA SOSIAL POLITIK UNTUK SYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INTEGRASI ETIKA SOSIAL POLITIK UNTUK SYA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Noviandy

Abstrak: Tulisan ini mengkaji perlunya integrasi etika di dalam dinamika perpolitikan Aceh yang kompleks. Di dalam proses pengambilan kebijakan para pemangku kuasa (eksekutif) dan legislator acap kali terjebak dalam politik pragmatis yang bersifat transaksional. Etika menjadi bagian penting yang harus diintegrasikan di dalam kancah politik karena erat kaitannya dengan hak-hak dasar warga negara yang sudah terpatenkan dalam Hak Azazi Manusia (HAM). Sebuah hukum ditegakan demi terciptanya keadilan, dan keadilan tidak bisa lepas dari konteks HAM, karena penegakan HAM itu sendiri merupakan prasyarat terciptanya keadilan. Atas dasar ini, maka penelaahan akan pentingnya pengintegrasian nilai-nilai etis dalam proses mempolitisasi kebijakan menjadi penting, dan sekaligus bisa menjadi kritik konstruktif untuk perbaikan di Aceh

Kata Kunci: Syariat Islam, Qanun Jinayah, Etika, dan HAM.

Pendahuluan

Proses penerapan Syari’at Islam di Aceh terus bergulir seiring dengan dinamika perpolitikan di tingkat lokal dan nasional yang format dan tujuan fnalnya entah kemana. Di dalam proses pengaplikasian syari’at tersebut berbagai kontroversi terus bergejolak searah

 Noviandy, M. Hum, saat ini tercatat sebagai Dosen tetap di Prodi Komunikasi

(2)

dengan dinamika politik yang juga entah tujuannya apa. Penetapan Qanun Jinayah dan Qanun Hukum Acara Jinayah oleh Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA) pada tahun 2009 adalah awal dari percikan api yang menyambar emosi dan memompa adrenalin kontroversi, yang beritanya menyita perhatian masyarakat lokal, nasional dan bahkan internasional. Isu utamanya terfokus pada penetapan sanksi rajam bagi pelaku tindak pidana zina. Sekalipun menyadari bahwa sanksi rajam merupakan bagian dari pengaplikasian Syari’at Islam, namun bagi sebagain kalangan -utamanya di lingkungan eksekutif, aktifs dan LSM- sanksi rajam patut dibenturkan dengan masalah penjaminan hak-hak kodrati manusia yang dipatenkan dalam format Hak Asasi Manusia (HAM).1 Di samping itu

mereka menganggap bahwa hukuman rajam belum waktunya diaplikasikan di Aceh yang masyarakatnya masih terkendala oleh kesenjangan ekonomi dan sosial serta keamanan publik pasca konfik.

Belum selesai masalah rajam, di tahun yang sama, keputusan Bupati Aceh Barat yang mengeluarkan aturan larangan menggunakan celana panjang bagi perempuan menambah catatan kontroversi tentang penerapan Syari’at Islam. Celana panjang dianggap tidak mewakili pakaian dan kepribadian muslimah yang seharusnya menutup aurat. Bupati menganggap bahwa satu-satunya pakaian wanita yang bercitra rasa islami adalah pakaian yang berbalut rok panjang.2 Berbeda

dengan kasus pertama yang umumnya ditentang oleh organisasi sosial dan kelompok Islam liberal, keputusan

1 Noviandy, Etika Politik dalam Perumusan Qanun Jinayah di Aceh, 4th International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies, Lhokseumawe, 6-8 Juni 2013, by International Center on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Proceeding, 2013

(3)

Bupati Aceh Barat ini juga ditentang oleh sejumla h ulama Aceh sendiri, termasuk ketua Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.3

Isu kontroversial tentang proses pengaplikasian Syari’at Islam yang sama sekali tidak substansial terjadi lagi di awal tahun 2013, yaitu himbauan Walikota Kota Lhokseumawe mengenai larangan perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor.4 Menurut sang

Bupati, duduk menyamping bagi perempuan

merupakan muslimah style dalam berkendaraan.

Begitupula dengan larangan menari bagi remaja wanita Aceh Utara. Lucu memang, Syari’at Islam yang diidamkan masyarakan Aceh sebagai solusi problematika sosial kini terkebiri oleh urusan seksual. Belum lagi dengan kasus-kasus tindak kekerasan kaum mayoritas kepada kaum minoritas yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.

Patut diingat kembali bahwa Syari’at Islam merupakan pilihan masyarakat Aceh untuk menata kehidupan yang lebih baik pasca konflik dan tsunami. Syari'at Islam yang diformulasikan menjadi Qanun kini sudah menjadi identitas politik-religius dan identitas sosial-kultural masyarakat Aceh, suatu ciri khas daerah yang membedakannya dari provinsi-provinsi lain di belahan nusantara. Sebagai idiologi, Syari'at Islam mampu meredam dendam bangsa Aceh dan menyatukannya ke dalam satu visi, yaitu, mengembalikan kejayaan bangsa Aceh sebagai negeri Serambi Mekah dengan Islam yang kaffah. Bagi penduduk Aceh, visi tersebut bukan lagi utopia atau absurd, karena telah ditunjang oleh undang-undang otonomi daerah, sekalipun dalam prakteknya bukan perkara mudah.

Pengejawantahan Syari’at Islam yang dituangkan ke dalam bentuk Qanun, Peraturan Gubernur (pergub), Peraturan Bupati, dan

3 Komentar Muslim Ibrahim dilansir beberapa media masa, seperti Harian Aceh, Serambi Indonesia, dan vivanews.com. Muslim Ibrahim menegaskan bahwa Islam tidak melarang menggunakan celana, yang diatur adalah celana tidak ketat. Dalam kehidupan saat ini mustahil melarang perempuan menggunakan celana panjang. Lihat http://m.serambinews.com/news/larangan-pakai-celana-ketat-tak-perlu-ditiru

(4)

peraturan Wali Kota (perbub/perwal), adalah bagian dari usaha mewujudkan Syari'at Islam secara kaffah, walaupun setiap hasil pembahasannya cendrung dilematis dan bersifat polemik, seperti contoh yang telah disebutkan di atas. Dalam konteks pengambilan kebijakan publik, Qanun, Pergub, Perbup/Perwal, seruan bupati adalah bentuk dari positivisasi Syari'at Islam. Tegasnya, suatu proses kodifikasi Syari'at Islam menjadi hukum positif. Di dalam proses kodifikasi tersebut para legislator sering kali menemukan benturan, terutama dengan political interest kaum elitis dan kaum mayoritas yang pragmatis-konservatif. Fenomena ini dapat kita saksikan dalam proses tarik ulur perumusan Rancangan Qanun Jinayat, pro-kontra kebijakan para pimpinan di tingkat kabupaten/kota.

Walaupun Islam menjadi agama mayoritas dan sudah menjadi identitas politik-religius dan identitas sosial-kultural masyarakat Aceh, namun pengejawantahan Syari'at Islam dalam berbagai bentuk tidak melulu berjalan indah. Dalam prakteknya, identitas mayoritas tersebut seringkali dijadikan sebagai justifikasi etis perumusan untuk menekan, dan bahkan menafikan identitas-identitas lain di luar mainstream. Terlebih ketika para pemuka agama—gagap dan kurang sensitif atas berbagai dinamika kehidupan sosial- bertindak sebagai garda politis-religius yang mengkerdilkan Syari'at Islam menjadi eksklusivisme mazhab. Pada titik ini, semangat humanisme yang merupakan tujuan dari Syariat itu sendiri sudah terkamuflasekan oleh vandalisme yang memicu konflik hingga pada level wong cilik (grassroot).

Kemunculan dua kubu bersebrangan, radikalis (mereka yang memahami Syari'at Islam secara literalis-konservatif) dan liberalis (mereka yang memahami Syari'at Islam secara kontekstualis-liberal) yang mengendalikan eksekutif dan legislatif, merupakan salah satu indikator hilangnya nilai-nilai etis dalam setiap perumusan kebijakan. Keduanya terjebak dalam politik transaksional, dan tidak jarang dengan mengatasnamakan Tuhan dan Syari'at Islam, saling cakar berebut benar. Mirisnya, masyarakat digiring untuk memposisikan diri pada dua pilihan kubu tersebut. Dan bahkan, seperti diungkapkan Hefner Smith, konflik sengit kedua kelompok tersebut lebih menonjol dan menjadi wacana dominan dalam proses perumusan, mengalahkan tema utama, yaitu problematika kehidupan umat.5

(5)

Kehadiran kaum moderat—digawangi sebagian masyarakat Dayah yang melingkupi komunitas pesantren, akademisi, sebagian birokrat, dan para penggiat LSM- yang menengahi kedua kubu di atas mampu menyedot animo masyarakat karena menawarkan konsep Islam yang lebih transformatif, anti-kekerasan dan terorisme, serta corak pemikiran keagaman yang mengkombinasikan cara pandang tekstualis dan kontektualis.6 Namun, dalam perjalanannya kaum ini

sering diidentikan dengan kaum liberalis karena dalam realitas praktis mereka sering terjebak pada pergulatan pemikiran kontemporer yang sangat teoritis, kurang mengedepankan prinsip-prinsip etika universal (common good) yang sebenarnya dapat menjadi kendali sistem sosial masyarakat Aceh.

Tidak bisa dinafikan bahwa dalam setiap proses, ketiga kelompok di atas saling tarik ulur kepentingan, terlebih jika terjadi konflik horisontal antar masyarakat dan adanya gonjang ganjing politik di tingkat nasional. Idealnya, dan demi terciptanya keadilan, masyarakat Aceh harus berperan aktif untuk menghindari dan mempersempit ruang-ruang konflik politik dengan mengedepankan prinsip-prinsip etik, dan mengedepankan problema utama yang sedang dihadapinya, yaitu bagaimana perumusan kebijakan yang dilakukan oleh legislatif maupun eksekutif dapat mensejahterakan rakyat sesuai dengan visi suci Syari'at Islam, serta mengakomodir kepentingan seluruh golongan. Alasan inilah yang menjadi titik tolak kenapa kita perlu mengintegrasikan etika sosial dalam kancah perpolitikan di Aceh yang erat kaitannya dengan proses tarik ulur perumusan qanun.

Formulasi Kebijakan Syariat Dalam Hukum Positif

Tauhid dan humanisme pada dasarnya adalah landasan teologis-filosofis para Fuqaha dalam merumuskan Maqashid Syariah yang terdiri dari: Hifd Din (memelihara agama), Hifd

al-Nafs (memelihara jiwa), Hifd ‘Aql (memelihara akal), Hifd al-Nasl

(memelihara keturunan), Hifd Mal (memelihara harta) dan Hifd al-Biah (memelihara ekologi). Setiap orang yang menyalahi atau melanggar Maqashid al-Syariah dianggap sebagai tindakan kriminal (jarimah) yang harus diberi sanksi (‘uqubat) sesuai dengan porsinya,

(6)

baik berupa hudūd, qishash ataupun ta’zir.7 hal ini karena Maqashid

al-Syariah berperan sebagai penjamin hak-hak dasar umat yang menjadi titik tolak penegakan keadilan. Di samping itu, dalam konteks Syari’at Islam, Maqashid al-Syariah juga berperan sebagai prinsip etis yang mutlak dipatuhi oleh para legislator dalam menjabarkan Hukum Pidana Islam. Pun dalam konteks Aceh, Maqashid al-Syariah yang berperan sebagai penjamin hak-hak dasar umat dan prinsip dasar etis, idealnya menjadi pijakan dasar para legislatif-eksekutif dalam perumusan Qanun. Hal ini dikarenakan, sebagai hukum positif Islam, Qanun merupakan tatanan hukum komunal untuk mengatur hak dan kewajiban tiap individu di ranah sosial.

Ada pertanyaan yang terus menghantui kita di dalam proses pengaplikasian Syari’at Islam, yaitu, kenapa dalam proses formulasi Qanun di Aceh acap kali menimbulkan resistensi dan konflik, baik di level grass root, akademisi, ataupun legislator-eksekutif? Jawabannya sangat dilematis dan kompleks. Kendati demikian menurut hemat penulis, fenomena ini setidaknya disebabkan oleh dua faktor, yaitu: Pertama, kurang responsifnya masyarakat dan otoritas agama terhadap dinamika zaman yang menuntut reinterpretasi teks-teks teologis. Kedua, para pemangku kuasa terjebak pada politik transaksi-onal, alias menafikan politik etis.

Fakta menunjukan bahwa hingga saat ini sebagain besar ma-syarakat dan otoritas agama di Aceh kurang apresif terhadap isu-isu kontemporer, khususnya masalah HAM, multikulturalisme, Gender, LGBT, dan pluralisme agama. Padahal isu ini acap kali menjebak ma-syarakat dan otoritas agama di Aceh untuk memposisikan diri pada dua pilihan yang sama sekali tidak produktif, yaitu fundamentalisme atau liberalisme. Dengan fundamentalisme masyarakat terkungkung oleh eklusivisme mazhabiyah dan sikap antipati terhadap dinamika re-alitas dan pemikiran-pemikiran baru di luar mainstream. Dan dengan liberalisme umat sering kali keblabasan keluar dari Syari’at.

Di lain pihak dinamika perpolitikan Aceh berjalan kurang se-hat. Permasalahan umat yang esensial—terlebih perumusan Qanun/kebijakan pemerintah—selalu dikooptasi oleh kepentingan po-litik pragmatik yang bersifat transaksional dan temporal. Kita tidak menafikan akan urgensi politik dalam pemerintahan, karena basis dan

(7)

tujuan politik adalah kepentingan publik. Yang kita kritisi adalah pen-afian nilai-nilai etis dalam kancah politik praktis yang mengebiri pro-ses perumusan kebijakan-kebijakan tersebut, dan mempertaruhkannya untuk kepentingan golongan tertentu.

Penafian etika politik di komunitas politikus Aceh setidaknya tampak jelas dalam dua hal berikut:

1. Disintegrasi (Privatisasi) Kebijakan Syariat

Masyarakat Aceh merupakan komunitas yang budayanya dibangun di atas pondasi Syari’at Islam. Artefak yang menunjukan keintiman Syari’at Islam dengan masyarakat Aceh termaktub dalam pepatah leluhur bangsa Aceh, “Hukum ngon adat lage zat ngon sifeut”,8 dan

“Adat ban Adat, Hukom ban Hukom, Adat ngon Hukom sama Kuembeu, Wate meupakat adat ngon hukom, nanggroe seunang hana

Goga”. 9 Atas dasar inilah kenapa masyarakat Aceh menyambut baik

tawaran pemerintah untuk menerapkan Syari’at Islam sebagai solusi terbaik pasca konflik.

Syari’at Islam bisa dikatakan sebagai bentuk perlakuan istimewa pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Aceh. Istimewa, karena memang pemerintah daerah Aceh diberi keleluasaan oleh Undang-Undang No. 44 tahun 1999 untuk mengatur wilayahnya— tentunya dengan monitoring pemerintah pusat—secara otonom dalam tiga bidang Agama, Pendidikan dan Peradatan sesuai dengan Syari’at Islam. Bahkan pemerintah Aceh-pun mereson Undang-Undang tersebut dengan menjabarkan Syari’at Islam ke dalam wujud Hukum dan perundang-undangan yang di atur oleh Qanun.

Keistimewaan Aceh semakin jelas ketika tahun 2001 pemerintah pusat kembali mengesahkan Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam otonomi ini, Aceh diberikan kuasa untuk membentuk Peradilan Syari‘at Islam yang dijalankan oleh Mahkamah Syar‘iyah. Undang-undang ini kemudian direspon positif oleh pemerintah daerah Aceh dengan

8 Artinya: Hubungan syari‘at dengan adat ibarat hubungan suatu zat dengan sifatnya, melekat tidak dapat dipisahkan.

(8)

membentuk Makamah Syari’ah yang kewenangannya di atur dalam Qanun Provinsi NAD No. 10 tahun 2002.10

Pada bulan Maret 2003 Mahkamah Syar‘iyah Aceh diresmikan oleh Menteri Kehakiman, dan ketuanya dilantik oleh Mahkamah Agung. Adapun pada tingkat Nasional, diperkuat oleh Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dalam pasal 15 disebutkan bahwa peradilan Syari‘at Islam di Aceh adalah Peradilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Agama dan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Umum.

Adapun mengenai pembahasan Rancangan Qanun Jinayah di DPR Aceh dimulai sejak dikeluarkannya Surat Keputusan oleh DPR Aceh tentang pembetukan Tim Pansus XII pada bulan september 2008 yang dimotori oleh Barom Moh. Rasyid, dan kemudian dikukuhkan oleh Surat Keputusan (SK) tentang Penetapan Tenaga Ahli Pansus XII DPR Aceh,11 dan dimonitoring oleh Pemerintah Aceh yang diwakili

timnya.12 Dari pembahasan Pansus XII dihasilkan Rancangan Qanun

Jinayah yang pada tanggal 14 September 2009 disahkan oleh DPR Aceh. Sayangnya, Rancangan tersebut hanya berkisar masalah

huku-10 Kewenangan Makamah Syari’ah dalam bidang jinayah berkenaan dengan (1) Hudūd, meliputi Zina, menuduh zina (qadaf), mencuri, merampok, minuman keras dan napza, murtad, dan pemberontakan atau Bughah (2) Qishas/Diyat, meliputi pembunuhan dan penganiayaan (3) Ta‘zir, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melanggar syari’at selain Hudūd dan Qishas seperti; maisir (perjudian), penipuan, pemalsuan, khalwat, meninggalkan shalat fardhu dan puasa ramadhan (4) Zakat. Semuanya kewenangan ini termaktub dalam Qanun Provinsi NAD No 11 tahun 2002, Qanun Provinsi NAD No 12 tahun 2002, Qanun Provinsi NAD No 13 dan 14 tahun 2003, dan Qanun Provinsi NAD No 7 tahun 2004.

11 Berdasarkan SK Sekretaris DPR Aceh Nomor: 161/5.258/2008 tertanggal 27 Oktober 2008, Tenaga Ahli Pansus XII yang terdiri dari: H. Effendi Gayo, S.H, M.H. (Pengadilan Tinggi), Drs. Jufroi Ghalib, S.H., M.H (Mahkamah Syar‘iyah), Drs. H. Armia Ibrahim, S.H. (Mahkamah Syar‘iyah), Budiono (Polda), Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad, S.H. (IAIN Ar-Raniry), Prof. Dr. Al Yasa‘ Abubakar, M.A. (IAIN Ar-Raniry), Mawardi Ismail, S.H., M.Hum, Darwis, S.H (Advokat) dan Muhammad Rum, Lc., M.A (Tim Ahli DPR Aceh).

(9)

man lima tindak pidana yang sangat privatif, yaitu: Khalwat (Mesum), Maisir (Perjudian), Khamar (Minuman Keras) serta Aqidah dan Ibadah. Tidak menohok ke jantung masalah yang dihadapi oleh masyarakat Aceh, yaitu kesejahteraan ekonomi dan keamanan sosial.

Peraturan Bupati Aceh Barat di tahun 2010 yang melarang kaum wanita mengenakan celana panjang menjadi bagian yang mewarnai problematika penerapan Syari’at Islam, tegasnya syari’at Is-lam yang terkebiri oleh urusan hasrat seksual yang dikemas seolah bagian dari isu esensial. Bagi Bupati dan kelompoknya, celana panjang dianggap tidak islami karena memperjelas lekuk tubuh wanita yang dapat memompa hasrat. Bupati menganggap satu-satunya pakaian wanita yang merepresentasikan Islamic fashion adalah pakaian yang dibalut dengan rok panjang. Saking optimisnya dengan masalah itu, pemerintah Aceh Barat menyediakan 7000 rok dan me-mandatkan Wilayatul Hisbah untuk melakukan sweeping para wanita yang mengenakan celana panjang. Meskipun aturan ini diberlakukan pada tahun 2010, namun sebagai pilot project pada tanggal 3 Novem-ber 2009 Wilayatul Hisbah telah melarang perempuan Novem-bercelana pan-jang memasuki areal Rumah Sakit Umum Cut Nyak Dien, Meula-boh.13

Di awal tahun 2013, himbauan Walikota Kota Lhokseumawe mengenai larangan perempuan duduk mengangkang ketika mengendarai sepeda motor menjadi catatan sejarah menggelikan di dalam proses penerapan Syaria’at Islam yang entah kemana arahnya.14

Menurut sang Bupati, duduk menyamping bagi perempuan merupakan muslimah style dalam berkendaraan. Pun dengan seruan Bupati Aceh Utara yang melarangan remaja perempuan menari karena dianggap sensual dan dapat menabur aroma kebinalan.15

Tentu saja rancangan dan berbagai kebijakan-kebijakan para pemangku kuasa di atas menuai banyak kritik, selain karena penuh

13 Serambi Indonesia Edisi 4 November 2009

14 Himbauan bupati tentang larangan perempuan duduk mengangkang ketika berkendaraan pada awalnya dipicu oleh keinginan Bupati untuk membatasi ruang gerak pemuda-pemudi yang berpacaran, khususnya ketika duduk berdampingan di atas jok bersama non muhrim. Seruan ini mendapat dukungan dari ulama-ulama di kota Lhokseumawe.

(10)

dengan aroma eklusivisme fundamentalis, mengebiri Syria’t Islam dalam urusan seksualitas, isi berbagai kebijakan malah menjadi beban baru masyarakat Aceh yang sudah lama terhimpit oleh beban ekonomi, kesenjangan sosial dan ketidakadilan hukum. Sebagaimana diungkapkan direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Evi Narti Zain, qanun atau kebijakan yang kerap dihasilkan sangat tidak logis dan hanya mengurus masalah privasi, tidak melangkah ke dimensi sosial-ekonomi yang sudah carut marut. Evi menegaskan, seharusnya kebijakan menyangkut permasalahan kesejahteraan rakyat, pembukaan lapangan kerja, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, pemberantasan korupsi, atau permasalahan sosial-ekonomi yang real lainnya. Karena persoalan hukum yang privasi akan mudah ditegakan jika stabilitas sosial-ekonomi telah terpenuhi.

Suatu yang niscaya jika ada sebagian masyarakat Aceh yang galau dengan pengebirian ke ranah privasi,16 terlebih mereka yang dari

awal tidak setuju dengan penerapan Syari’at Islam di Aceh.17 Karena

pengebirian kebijakan-kebiajakn ke ranah privasi, seperti pada lima tindak pidana dalam Qanun Jinayah, etika duduk berkendaraan, pengenaan rok panjang, tarian remaja dan lain sebagainya, bisa jadi merupakan keberhasilan intrik politik pemerintah nasional dalam membius masyarakat rakyat Aceh yang ektase dengan romantisisme penegakan Syari’at Islam di era kejayaan Sultan Iskandar Muda. Atau, bisa jadi pula fenomena ini sebagai fakta nyata kecacatan para politisi lokal yang menggunakan kebijakan-kebijakannya sebagai legitimasi religius atas kekuasaannya, dan proyek akal-akalan demi memenuhi self interest. Karena faktanya, sekian jumlah APBD hanya dihabiskan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang tidak korelatif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apalagi Aceh yang berdasarkan Syari’at Islam kini telah dinobatkan sebagai provinsi terkorup ke-2 setelah DKI Jakarta.

16 Meskipun galau umumnya masyarakat Aceh takut untuk mengungkapkannya. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu: Pertama, takut memperbincangkan hal-hal yang bersentuhan dengan agama dengan alasan wilayah teologis yang tidak sepantasnya diperdebatkan. Kedua, tidak mau berkonflik dengan banyak pihak dan memilih mengikuti apa yang menjadi keputusan politik.

(11)

Lebih mengerikan lagi, baik Qanun Jinayah maupun ngangkang style, rok style, dancing style ataupun yang lainnya penuh dengan aroma eklusivisme fundamentalis yang seringkali menjadi tameng untuk menggilas entitas keagamaan di luar pemahamannya. Sehingga tidak jarang kita menyaksikan konflik sosial di level grass root. Sebut saja kafir-mengkafirkan karena perbedaan cara ibadah, atau menghukumi dan memarginalkan kaum minoritas yang distig-makan negatif. Anehnya, tidak sedikit dari otoritas agama yang men-ganggap fenomena ini sebagai perkara yang lumrah, bahkan dianggap sebagai bagian dari jihad li i’lai kalimatillah.

Sepenuhnya kita meyakini akan pentingnya Syari’at Islam dite-gakan di Aceh, begitu pula dengan urgensi dari kebijakan-kebijakan tersebut. Namun, kebijakan terhadap Syariat Islam harus terarah kepada jaminan hak-hak dasar umat yang lebih luas, utamanya untuk peningkatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat Aceh, kesejahter-aan sosial, serta penegakan HAM, karena semua itu menjadi hak umat dan prasyarat terciptanya keadilan dan bandatun tayyibun. Bukan hanya bergelut di wilayah hukuman tindak yang privatif. Tidak elok jika kebijakan pemerintah yang menguras kas negara hanya diarahkan untuk mengurus masalah rok, cara duduk wanita di jok, atau menghukum wanita binal dan pria nakal dengan cambuk. Akan men-jadi indah jika Syari’at Islam diorientasikan terlebih dahulu untuk pe-merataan dan kestabilan ekonomi, pertahanan dan keamanan sosial, peningkatan pendidikan serta pemberantasan tindak korupsi.

2. Kebijakan Syariat Islam: Tapal Batas Logika Politik Elitis

Ada apa di balik Syariat Islam sehingga para eksekutif, legis-latif dan masyarakat sipil kerap terlibat adu garang untuk menang? Bagi penulis, munculnya pertanyaan ini sangat wajar karena dalam proses legislasi Rancangan Qanun Jinayah di Aceh, masalah rajam menjadi isu yang sangat vital dan menyita perhatian bukan hanya warga lokal, tetapi juga nasional dan internasional. Kontroversi huku-man rajam pertama kali mencuat setelah ada penolakan dari fraksi Demokrat yang disampaikan dalam sidang ke IV DPR Aceh tahun 2009. Sidang yang membahas draft akhir Rancangan Qanun Jinayah.18

(12)

Penolakan hukuman rajam oleh fraksi Demokrat di ranah legislatif diikuti oleh para pemangku kuasa di ranah eksekutif. Dalam hal ini, Gubernur selaku kepala pemerintahan daerah Aceh tidak sependapat dengan dimasukannya poin rajam ke dalam Qanun Jinayah. Karena sejak awal pembahasan hukuman rajam bagi pelaku zina yang berstatus muḩṣan tidak diusulkan dan tidak dimasukkan dalam materi Rancangan Qanun. Mengenai hal ini Edrian mengungkapkan:

…bahwa pada awal penyusunannya, dalam draf awal yang disampaikan ke DPR Aceh, tidak ada persoalan rajam, yang ada hanya cambuk. Hal ini dilakukan dalam rangka pembinaan, bukan berarti pemerintah Aceh ingin menyimpangi dari al-Quran dan Hadis. Tetapi ini dilakukan secara step by step, jangan langsung begitu. Lalu kalaulah persoalan zina dan persoalan ini sudah

merajalela, maka baru di tingkatkan menjadi rajam.19

Penolakan tersebut berimplikasi kepada penolakan Gubernur untuk menandatangani Qanun yang sudah disahkan oleh DPR Aceh. Dalam suratnya yang dilayangkan kepada DRP Aceh, Gubernur hanya menyatakan “Belum Dapat Memberikan Persetujuan”.20 Bahkan surat

ini ditembuskan kepada ketua Makamah Agung, Menteri Dalam Ne-geri, dan Menteri Hukum dan HAM. Dan pastinya surat ini memicu berbagai reaksi. Suasana bertambah pelik ketika Gubernur Aceh mela-porkan sikap para anggota DPR Aceh kepada Menteri Dalam Negeri c/q Direktur Otonomi Daerah dengan tuduhan penyalahgunaan

we-fraksi ini mengusulkan agar uqubat zina diubah menjadi 10 kali cambuk dan denda 100 gram emas murni atau penjara maksimal 10 bulan. Usulan lainnya adalah agar setiap uqubat bagi semua jarimah dikurangi hingga menjadi 10% dari uqubat yang dirumuskan dalam Rancangan QJ. M. Arqom Pamulutan, Menakar Uqubat Rajam, hal. 125-126. Lihat pula Pemandangan Umum Anggota DPR Aceh terhadap Rancangan QJ dan Hukum Acara Jinayah tanggal 10 Desember 2009, dan Pendapat Akhir Fraksi DPR Aceh terhadap Rancangan Qanun Hukum jinayah dan Hukum Acara Jinayah tanggal 14 september 2009.

19 Wawancara, Edrian, S.H., M.Hum. (Kepala Bagian Perundang-Undangan Pada Bagian Hukum Secretariat Daerah Aceh), 7 juli 2010, dalam Noviandy, Penegakan HAM di Negeri Syariat, 4th International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies, Lhokseumawe, 6-8 Juni 2013, by International Center on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Proceeding, 2013

(13)

wenang karena memasukan persoalan rajam dalam draf Rancangan Qanun secara sepihak.21

Walaupun anggota Pansus XII dari DPR Aceh punya alasan lain kenapa masalah rajam dimasukan dalam draf Rancangan Qanun.22

Secara hukum Rancangan Qanun memang sudah sah dan wajib diundang-undangkan dalam peraturan Daerah, walaupun mengundang banyak polemik.23 Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan yang telah

diputuskan oleh para eksekutif. Baik itu larangan mengangkang bagi perempuan di kota lhokseumawe, larangan menari bagi remaja putri di

21 Surat Nomor: 188/62308 tertanggal 14 oktober 2009 perihal “Penyampaian Rancangan Qanun Aceh”. Surat ini ditembuskan kepada ketua DPRA, ketua Komisi A dan Ketua Komisi C DPR Aceh. Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar, menegaskan bahwa penolakan eksekutif terhadap penerapan hukum rajam di Aceh adalah pilihan final ’penolakan eksekutif bukan berarti menolak hukum Tuhan, akan tetapi yang kita lakukan adalah mengurangi hududnya, bukan menghilangkan subtansi hukumnya, dan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Aceh yang belum stabil. Pemerintah Aceh menginginkan penerapan hukuman pada Qanun Hukum Acara Jinayat lebih terarah kepada denda atau secara adat, bukan fisik’ The Global Jurnal, Pro Kontra Pengesahan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah, Rabu, 11 November 2009. http.tgj.com

22 Diantaranya adalah:

1. Karena pemerintah Aceh telah mengusulkan delik zina dan sanksi sebagai materi rancangan qanun, maka sanksi yang diberikan tidak cukup hanya dengan cambuk 100 kali. Karena ketentuan seperti itu dalam hukum Islam berlaku bagi yang belum menikah, maka bagi yang sudah menikah ada hukuman lain, yaitu rajam.

2. Jika hukuman rajam tidak dimasukkan, berarti kita menyembunyikan hukum Allah.

3. Pada masa lalu Sultan Iskandar Muda juga pernah melaksanakan eksekusi rajam terhadap anaknya, Meurah Pupok, karena berzina

4. Aceh sudah diberikan peluang untuk menerapkan Syari’at Islam, dan ini momentum penting untuk memasukan hukuman rajam ke dalam materi Rancangan QJ. Momentum yang bagi anggota DPR Aceh tidak akan terulang di masa yang akan datang. Selain itu, penetepan hukum ini dianggap sebagai bentuk tanggung jawab anggota DPR Aceh kepada agama dan tugasnya di DPR Aceh

Wawancara, Muhammad Rum (Tim Ahli DPR Aceh dan Anggota Tim Pansus XII), Bahrom Rasyid, (Ketua Pansus XII), dan Bustanul Arifin (Sekretaris Pansus), dalam Noviandy, Etika Politik dalam Perumusan Qanun Jinayah, 4th International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies, Lhokseumawe, 6-8 Juni 2013, by International Center on Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Proceeding, 2013

(14)

Aceh Utara, maupun larangan memakai celana bagi perempuan di Aceh Barat. Kebijakan yang diputuskan cendrung sepihak, tanpa proses komunikasi publik yang baik dan bijak. Efeknya, hampir setiap kebijakan yang diputuskan memunculkan kontroversi akut dan seringkali dilecehkan oleh masyarakat.24

Dalam hemat penulis, tidak adanya titik temu antara eksekutif dan legislatif dan masyarakat sipil dalam permasalahan Syariat Islam merupakan tapal batas dan bentuk pemiskinan etika politik di Aceh. Dalam kancah perpolitikan lokal, para pemangku kepentingan dan politisi tersebut terjebak ke dalam logika menang-kalah (binary opposition logic), Logika yang menuntut adu belati untuk meraih simpati. Logika yang menyulut api dendam dan konflik sosial karena selalu menuntut kemenangan dan memastikan siapa yang kalah, bukan kemaslahatan. Karena itu menjadi lumrah jika masyarakat Aceh digiring untuk memasuki medan pertarungan yang sama sekali absurd. Idealnya, dalam proses legislasi atau penentuan kebijakan publik para politisi di Aceh harus bersandar pada logika komunikatif partisifatif etis. Logika yang mengedepankan proses komunikasi dan partisipasi publik dengan tetap mengacu kepada nilai-nilai etis. Tatanan nilai-nilai yang membangun budaya Aceh. Semua yang menyangkut dengan kepentingan publik -yang kemudian dituangkan menjadi kebijakan atau peraturan pemerintah- semestinya dikomunikasikan, disosialisasikan, dan kemudian dirumuskan dengan melibatkan partisipasi masyarakat serta diuji kelayakan dan prioritasnya agar tidak keluar dari nilai-nilai etik masyarakat Aceh. Tampaknya, logika inilah yang sulit ditemukan di benak para pemangku kuasa. Sebagian para pemangku kuasa di Aceh lebih disibukan dengan pencarian citra agar daerahnya terkesan paling, atau setidaknya lebih islami, di tengah derita rakyat yang kian menjadi. Karena itu tidak aneh jika isu yang dihembuskan seputar rok mini.

Legislasi Etis Menuju Integrasi Etika Politik

(15)

dihadapkan dengan pertanyaan apakah proses legislasi hukum telah sesuai dengan hukum yang berlaku. Melalui prinsip legitimasi demokratis para legislator dituntut untuk membuktikan apakah proses legislasi hukum dilakukan secara transparan, dialogis-kritis serta diputuskan secara demokratis. Dan dengan prinsip legalitas moral para legislator dibrondong oleh pertanyaan apakah legislasi hukum tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral.25

Dalam sistem pemerintahan, ketiga prinsip di atas merupakan basis etis yang bertindak sebagai legitimasi etis rakyat yang membatasi hak para penguasa, sekaligus menjadi kepanjangan tangan rakyat untuk menolak setiap legislasi hukum yang bertentangan dengan hak-hak dasar rakyat. Tidak hanya itu, ketiga prinsip ini juga menjadi acuan rakyat untuk memonitor apakah proses legislasi hukum dilakukan secara dialogis, dialektis, kritis dan demokratis.

Dalam konteks Aceh, ketiga prinsip yang telah disebutkan di atas bisa dijadikan acuan dalam menilai kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh para eksekutor maupun legislator. Pertama, Apakah isi kebijakan-kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, baik ditingkat lokal dan nasional (Prinsip Legalitas). Tegasnya, apakah isi kebijakan yang diterapkan di Aceh tidak akan menimbulkan polemik hukum ketika hukum yang berlaku di tingkat lokal dibenturkan dengan hukum yang berlaku di tingkat nasional. Hal ini sangat rentan, karena jika terjadi polemik hukum, maka yang terlihat kebijakan yang lahir hanya mampu menghukum masyarakat kelas bawah yang terbelit ekonomi, dan akan menjadi mainan kaum elitis yang bengal. Mereka yang berduit akan mudah bebas dari hukuman hanya dengan membayar advokat untuk mengajukan kasasi di tingkat nasional.

Kedua, Apakah kebijakan yang diambil atau disahkan secara dialogis-demokratis (Legitimasi Demokrastis). Seluruh elemen masyarakat harus berperan aktif dan memastikan apakah kebijakan yang diputuskan hasil konvensi yang dialogis, kritis dan demokratis, atau didominasi oleh kepentingan otoritas agama tertentu yang memaksakan eklusivisme keberagamaannya dengan cara menunggangi para legislator.

(16)

Ketiga, Apakah kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip etis atau prinsip-prinsip moral (Legitimasi Moral). Sebagai warga negara kita punya tanggung jawab moral untuk memastikan apakah kebijakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang tujuannya untuk menegakan HAM, atau hanya menjadi sampan yang membawa visi dan misi sempit kelompok tertentu.

Dengan ketiga prinsip di atas, kita bukan diarahkan untuk menjadi Shu’udhanolog alias berpikiran ngawur, tetapi agar kita lebih kritis dalam menyikapi fenomena yang ada. Karena ketiga prinsip di atas tujuannya hanya satu, yaitu untuk mengarahkan agar kualitas kebijakan terhadap Syariat yang dihasilkan benar-benar untuk kesejakteraan dan keadilan rakyat, bukan untuk menambah beban rakyat.

Apakah proses pengambilan kebijakan para pemimpin di Aceh searah dengan ketiga prinsip di atas? Harapannya seperti itu, namun realitas berkata lain. Perseteruan tanpa ujung terus terjadi, baik itu antara legislatif dan eksekutif, maupun kelompok sipil dengan pemangku kepentingan—yang kerap ditunggangi oleh kepentingan golongan dan otoritas agama tertentu, terkhusus masalah Syariat Islam —dalam proses pengambilan kebijakannya menjadi indikator penafian ketiga prinsip di atas.

JMSPS[26] (Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah) menilai

bahwa Qanun Jinayah atau kebijakan Syariat Islam lainnya terlalu menitikberatkan pada semangat untuk menghukum secara kejam, bukan untuk menciptakan kesejahteraan dan menegakan keadilan. Dengan tegas JMSPS mengungkapkan bahwa kebijakan-kebijakan terhadap Syariat Islam saat ini bukan jawaban solutif bagi kebutuhan masyarakat Aceh. Bahkan sebaliknya, berpotensi menciptakan konflik horizontal yang mengganggu proses perdamaian yang sedang berlangsung. Mereka menuntut pemerintah untuk sesuai dengan nilai-nilai universal Islam dan Hak Asasi Manusia, memastikan harmonisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan, serta melibatkan partisipasi berbagai elemen masyarakat.

Kebuntuan komunikasi antara legislatif dan eksekutif, antara pemimpin dengan kelompok masyarakat sipil dalam proses

(17)

pengambilan kebijakan adalah wujud dari apa yang diidentifikasi oleh Haryatmoko sebagai upaya “Pemisikinan Poltik” di ruang publik.[27]

Modus operandi pemiskinan politik ini berjalan melalui tiga modus, yaitu: Pertama, Penafian dialektika ideologi, diskusi nilai-nilai, dan perdebatan tentang skala prioritas. Dengan waktu yang relatif singkat, sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan telah dilahirkan digodog melalui dialektika idiologis, yang nilai-nilainya telah ditempa dalam diskusi-diskusi kritis. Apalagi jika kita berbicara skala prioritas, materi kebijakan yang telah dilahirkan jauh dari substansi yang diinginkan rakyat Aceh yang gandrung akan kesejahteraan sosial-ekonomi dan penegakan keadilan.

Efek signifikan dari penafian dialektika ideologi, diskusi nilai-nilai, dan perdebatan tentang skala prioritas dalam dalam perumusan kebijakan memunculkan modus yang Kedua, yaitu pereduksian ruang publik menjadi ruang pasar yang berorientasi untung rugi. Dalam konteks ini, proses pengambilan kebijakan yang merupakan ruang dialektika publik sudah berubah fungsi menjadi pasar modal, tempat transaksi para politikus yang berjubel kepentingan. Atas dasar ini tidak salah jika banyak yang menganggap bahwa kebijakan Syariat Islam di Aceh merupakan produk transaksional para politikus yang dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu.

Yang lebih parah, dengan pereduksian ruang publik menjadi pasar, maka lahirlah modus yang Ketiga, yaitu pemiskinan etika politik. Dalam prosesnya common good semestinya menjadi dasar etika politik. Etika politik harus menjadi panglima yang mengendalikan para politikus. Karena dengan menjadikan etika sebagai panglima setiap politikus akan terdorong untuk terus mencari makna dan nilai-nilai untuk kemudian dirumuskan dalam setiap kebijakan, bukan menjadikan moral sebagai basis modal politis, yang pada akhirnya mengaburkan makna dan nilai-nilai.

Terlepas dari berbagai polemik, bagaimanapun juga masyarakat Aceh harus menyadari bahwa upaya pemiskinan politik hanya bisa dicegah dengan partisipasi dan peran aktif masyarakat untuk menguji kelayakan dan skala prioritas setiap kebijakan yang terintegrasi yang diputuskan oleh para pemangku kuasa.

(18)

II. KESIMPULAN

Syari’at Islam bagi masyarakat Aceh adalah pilihan final, dan kebijakan terhadap Syariat Islam adalah kebutuhan urgen untuk menjalankan roda pemerintahan. Maka dari itu, Idealnya, dalam proses legislasi atau penentuan kebijakan publik para politisi harus bersandar pada logika komunikatif partisifatif etis. Logika yang mengedepankan proses komunikasi dan partisipasi publik dengan tetap mengacu kepada nilai-nilai etis masyarakat yang dibangun dari syari’at dan adat. Karena setiap kebijakan senantiasa terkait dengan hajat hidup masyarakat, maka dalam proses perumusannya wajib dikomunikasikan, disosialisasikan, dan kemudian dirumuskan dengan melibatkan partisipasi masyarakat serta diuji kelayakan dan prioritasnya agar tidak keluar dari nilai-nilai etik dan harapan masyarakat Aceh.

Logika komunikatif partisifatif etis adalah mindset etika politik yang semestinya terintegrasi di dalam kancah perpolitikan masyarakat Aceh. Karena dengannya proses legislasi dan penentuan kebijakan akan terhindar dari upaya “Pemisikinan Politik” yang dilakukan oleh para politikus prakmatik di ruang publik. Proses pemiskinan yang modus operandinya berjalan melalui tiga tahapan, yaitu: Pertama, Penafian dialektika ideologi, diskusi nilai-nilai, dan perdebatan tentang skala prioritas. Kedua, Pereduksian ruang publik menjadi pasar. Ketiga, Pemiskinan etika politik. Di atas semua itu, hanya rakyat Aceh-lah yang mampu memperjuangkan

dan menjadikan Aceh sebagai baldatun tayyibah.

Daftar Pustaka

Abubakar, Al-Yasa, Syari'at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan (Banda Aceh: Dinas syari'at Islam, 2008).

Alfian, Teuku Sofyan Ibrahim, Demokrasi dalam Perspektif Budaya Aceh dalam Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Ed. Muhammad Najib (Yogyakarta: LKPSM, 1996).

(19)

An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Al-Qur`an, Syari’ah, dan HAM: Kini dan di Masa Depan. Jurnal Islamika, No. 2, Oktober-Desember 1993.

_______________, Islam dan Negera Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan dengan Syariah (Bandung: Mizan, 2007)

Arfiansyah, The Politicization of Shari’ah: Behind the Implementation of Shari’ah in Aceh-Indonesia (Tesis Institute of Islamic Studies, McGill University, 2009)

Burhani, Ahmad Najib, Islam Moderat adalah Sebuah Paradoks. Jurnal Ma’arif, Vol. 3, No.1, Feb 2008.

Devayan, Ampuh, Murizal Hamzah, Polemik Penerapan Syariat Islam di Aceh (Banda Aceh: Yayasan Insan Cita Madani & Patnership)

El Ibrahimy, M. Nur, Tengku Muhammad Daud Bereueh: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1986). Facruddin, Fuad, Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalaman

Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006).

Fatwa, A. M., Demokrasi Teistik: Upaya Merangkai Integrasi Politik dan Agama di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2003).

Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, cet II. 1999).

Husda, Husaini, Sejarah Pemberlakuan Syari'at Islam di Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam dalam Syariat Islam di Nanggroe

Aceh Darussalam. Ed. M. Zain Banda (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh Darussalam, 2007)

Ichwan, Moch. Nur, The Politics of Shari'atization; Central Governmental and Regional Discourses of Shari'a Implementation in Aceh dalam Islamic Law in Modern Indonesia: Ideas and Institution. Ed. Michael Feener and Mark Cammack (Harvard: Harvard University Press, 2007).

Kawilarang, Harry, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008).

(20)

Madjid, Nurcholish, Kebebasan Nurani (Freedom Of Conscience) dan Kemanusiaan Universal Sebagai Pangkal Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Keadilan dalam Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru. Ed. Elza Peldi Taher (Jakarta: Paramadina, 1994).

Mughni, Syafiq A. (Peny), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, Civil Society, dan Multiculturalisme (Malang: Pusat Studi Agama, Politik, dan Masyarakat (PuSAPoM), 2007). Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh:

Problema, solusi dan implementasi menuju pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu & IAIN Ar-Raniry, 2003).

Muzaffar, Chandra, Hak Asasi Manusia Dalam Tatanan Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global Barat (Bandung: Mizan, 1995). Pamulutan, M. Arqom, Menakar ‘Uqubat Rajam/Hukuman Mati di

Aceh: Subtansi, Operasionalisasi dan Dampaknya Terhadap HAM (Tesis: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, 2010)

Vallely, Paul, ed., Cita Masyarakat Abad 21 (Yogyakarta: Kanisius, 2007)

Sadikin, Sehat Ihsan, Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?, Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke 10, Banjarmasin, 1-4 November 2010

Suseno, Frans Magniz, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003).

Syamsuddin, Nazaruddin, Masyarakat Aceh dan Demokrasi dalam Demokrasi dalam Perspektif Budaya Nusantara. Ed. Muhammad Najib (Yogyakarta: LKPSM, 1996).

Tim Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Kajian Akademik: Pola Penyelesaian Pelanggaran Syariat Islam (Banda Aceh: Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam, 2008)

Perundang-undangan

(21)

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2001 tentang “Langkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh”.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2001 tentang Langkah-langkah Komprehenshif Dalam Rangka Penyelesaian Masalah Aceh

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2003 tentang “Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Konvensi Hak Anak PBB (Children on The Right) dan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang “Perlindungan Anak”

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang “Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam”.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 44 Tahun 1999 tentang “Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh”.

Undang-undang Republik Indonesia No 11 tahun 2006 tentang “Pemerintahan Aceh”

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang “Kewarganegaraan Republik Indonesia”

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 tentang “Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang “Hak Asasi Manusia”

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 tentang “Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau merendahkan Martabat Manusia (Convention Againt Torture and Other Cruel, in Human or Degrading Treatment or Punishment)” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang

“Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on Ilimination of all Form of Discrimination Against Women)”

(22)

Situs/web

Harian Aceh.com, Pengadilan Jalanan,12 maret 2011, http://harian-aceh.com/2011/03/24/pengadilan-jalanan

Hasanuddin Yusuf Adan, Mengantisipasi Pendangkalan Aqidan dan

Aliran Sesat, 30 April 2011. http://ddii.acehprov.go.i d

Serambinew.com, Larangan pakai Celana Ketat tak perlu di tiru, http://m.serambinews.com/news/larangan-pakai-celana-ketat-tak-perlu-ditiru

Media Indonesia .com, 14 Aliran Sesat Dilarang Berkembang di Aceh. http://www.mediaindonesia.com/rea-d

SMS Warga Serang Pasantren di Aceh.

http://www.tempo.co/read/news

The Aceh Traffic, Angka Kemiskinan di Aceh Meningkat 0,14%

(730.890 orang). 3 January 2012.

http://www.acehtraffic.com/2012/01/ The Global Journal, http://theglobejournal.com

Referensi

Dokumen terkait

Pada hakikatnya pesan moral yang terkandung dalam karya sastra lebih memberat pada sifat kodrati manusia yang hakiki, bukan pada aturan-aturan yang dibuat,

Kegiatan  assurance  merupakan  penilaian  objektif  yang  dilakukan  auditor  internal  atas  bukti  untuk  memberikan  pendapat  independen  mengenai  tata 

Pada hasil simulasi  software elemen hingga pada kait untuk pembebanan 20 ton, jenis kait tunggal diperoleh tegangan normal maksimum sebesar 277,31 MPa dan defleksi

We, high-level education officials responsible for technical and vocational education and training (TVET) and representing eight SEAMEO Member Countries (Brunei Darussalam,

When a candidate or group of candidates achieves a Pass or better in all of the Cambridge ICT Starters modules in a stage, submit your entries and samples as follows:. • Download

27,28 Penelitian ini untuk mengetahui hubungan kadar protein darah khususnya albumin dengan kadar hormon tiroid darah pada penderita sindroma nefrotik, dan mengetahui perubahan

Penelitian eksperimen ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi garam red B terhadap kualitas hasil pewarnaan pada batik kulit kayu Jomok menggunakan zat warna

Industri farmasi yang akan melakukan perubahan bermakna terhadap  pemenuhan persyaratan CPOB baik untuk perubahan kapasitas dan/atau fasilitas produksi wajib