• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modul Metode Penelitian Kualitatif 9

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Modul Metode Penelitian Kualitatif 9"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PERKULIAHAN

Judul

METHODE PENELITIAN KOMUNIKASI KUALITATIF

UNIVERSITAS : MERCU BUANA (KRANGGAN) TA 2014-2015 FAKULTAS : IKMU KOMUNIKASI

JURUSAN :

MATA KULIAH : METODE PENELITIAN KOMUNIKASI KUALITATIF KELAS : PKK

DOSEN : DRS HASYIM ALI IMRAN , MSi.

SAP

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Fakultas Ilmu Komunikasi

Program Studi Humas

09 85021 Nama : Drs. Hasyim Ali Imran,

(2)

PERTEMUAN Inti persoalan komunikasi Kualitatif

Mahasiswa bisa membedakan Penelitian Komunikasi Pendekatan Kualitatif dari Penelitian Komunikasi

Mahasiswa bisa membedakan mana penelitian kualitatif bersasis teks dan berbasis field.

penelitian kualitatif Mahasiswa memahami dan mengerti cara merumuskan masalah penelitian dalam

8 UTS Bahan : Materi ajar K 1-7 Mahasiswa dapat Menguasai materi yang ditanyakan dalam Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif : Model Saussure

(3)

Van Leuuween Van Leuuween

13 Penelitian Komunikasi Pendekatan Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif : Model Semiotika Sosial

MAK Halliday

Mahasiswa dapat memahami cara dalam menggunakan model analisis teks berbasis Model Semiotika Sosial MAK Halliday

Mahasiswa dapat melakukan analisis teks dengan

berbasiskan model analisis teks semiotika Sosial model MAK Halliday

14 Penelitian Komunikasi Pendekatan Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif : Model Marxis

Mahasiswa dapat memahami cara dalam menggunakan model analisis teks berbasis Model Marxis

Mahasiswa dapat melakukan analisis teks dengan berbasiskan model analisis teks berbasis Model Marxis 15 Penelitian Komunikasi Pendekatan

Kualitatif Berbasis Teks : Aplikatif : Critical Discourse

Analysis : Norman Fairclough

Mahasiswa dapat memahami cara dalam menggunakan model analisis teks berbasis Critical Discourse

Analysis : Norman Fairclough

Mahasiswa dapat melakukan analisis teks dengan

berbasiskan model Critical Discourse

Analysis : Norman Fairclough

16 UAS Bahan : Materi ajar : 9-12 Mahasiswa dapat Menguasai materi yang ditanyakan dalam UAS menurut materi K 9-15

(4)

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

Fakultas Ilmu Komunikasi

Program Studi Humas

09 85021 Nama : Drs. Hasyim Ali Imran,

MSi.

Abstract Kompetensi

Membahas tentang Penelitian Komunikasi Pendekatan Kualitatif Berbasis Teks : 1) Semiotika : Saussure, Pierce, Barthes 2) Semiotika Sosial : Van Leuuween ; MAK Halliday;

3) Marxis tekxt analysis

3) Critical Discourse : Analysis : Norman Fairclough; Sarah Mill

(5)

Pembahasan

K 9 : PENELITIAN KOMUNIKASI PENDEKATAN KUALITATIF BERBASIS TEKS

Dalam kuliah-kuliah sebelumnya kita sudah banyak membahas mengenai penelitian komunikasi dengan pendekatan kualitatif ini. Setidaknya, topik ini ada enam kali kita acarakan dalam perkuliahan. Dalam acara perkuliahan itu, topik ini kita mulai pembahasan pendekatan kualitatif tersebut dalam hubungannya dengan asumsi filosofis yang mempengaruhinya. Kemudian bahasan dikaitkan dengan masalah eksistensi “will” dalam diri manusia dan kemudian dikaitkan pengaruhnya terhadap asumsi perolehan data yang nota bene terbagi menjadi dua, yaitu a priori dan a phosteriori, dengan mana pendekatan kualitatif itu asumsinya bersifat a phosteriori. Bahasan ini pun akhirnya dikaitkan pula dengan masalah pemanfaatan teori dalam riset pendekatan kualitatif, di mana diketahui pula bahwa akhirnya konsep teoritik atau konsep yang terdapat dalam teori yang digunakan dalam dalam suatu penelitian dengan pendekatan kualitatif itu, fungsinya adalah sebagai penjelas dan bukan untuk diuji atas perolehan data empirik. Selain itu, sehubungan data a phosteriori tadi diyakini juga tidak bebas konteks sifatnya dan karenanya bersifat tentakel, penggunaan konsep teoritik pun jadi tidak kaku seperti halnya dalam penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Penggunaan konsep teoritik melainkan sangat memungkinkan berkembang (bertambah) jumlahnya seiring perkembangan konteks yang diperlihatkan data empirik.

Dalam acara perkuliahan berikutnya, bahasan akhirnya menuju pada persoalan hakiki pada penelitian pendekatan kualitatif itu sendiri. Pembahasan ini sendiri berangkat dari persoalan fenomena umum, bahwa di kalangan akademisi itu cenderung berkembang dan bertahan pengetahuan keliru mengenai penelitian dengan pendekatan kualitatif. Pengetahuan mengenai penelitian dengan pendekatan kualitatif, sejalan dengan literatur yang ada saat ini, cenderung memang mengkondisikan situasi tadi.

(6)

Gambaran tentang pengetahuan keliru menyangkut pendekatan kualitatif ini, secara epistemologis tentu menjadi persoalan sangat serius karena bisa menjadi “mind set” yang tentunya juga sangat mengganggu perkembangan ilmu pengetahun itu sendiri.

Karena itulah, persoalan dimaksud itu menjadi hakiki sifatnya. Penelitian dengan pendekatan kualitatif secara hakiki sebenarnya berpulang kepada sumber data itu sendiri. Dengan kata lain, pembahasan masalah penelitian dengan pendekatan kualitatif itu sudah seharusnya dimulai dengan suatu elaborasi atau “bridging” mengenai hakikat dimaksud tadi. Tujuannya yaitu supaya para akademisi minimal memperoleh pengetahuan yang bersifat “mapping” tentang penelitian dengan pendekatan kualitatif. Dengan demikian, para akademisi menjadi sadar secara ideal epistemologis mengenai penelitian dengan pendekatan kualitatif itu.

Hakikat yang membedakan penelitian dengan pendekatan kualitatif itu sendiri, seperti sudah disinggung sebelumnya, yaitu terkait dengan kriterium sumber perolehan data penelitiannya. Terkait dengan ini, dari perkuliahan sebelumnya diketahui bahwa sumber perolehan data penelitian itu ada dua, yaitu seperti sebagaimana tampak dalam bagan berikut ini :

1) Field Research : Studi Kasus,Fenomenologi,Grounded Theory, Etnometodologi. Etnografi

Biografi , Historical Social Science, Clinical Research. Cultural Studies

MPK Analisis Teks : Semiotika; Kualitatif Marxis; 2) Discourse analysis Framing;

Semiotika Sosial; dll.

Analisis wacana Kritis (CDA) : -Norman Fairclough;

-Ruth Wodak -Sarah Mill, -Van Dick, -Van Leuween

(7)

penelitian studi kasus itu ternyata hanya sebagai salah satu saja dari sekian banyak metode penelitian yang dapat diterapkan dalam proses penelitian pendekatan kualitatif yang bersumberkan pada data penelitian “Field Research”. Keterkaitan metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif inilah yang kini cenderung tidak dipahami secara ideal oleh kalangan akademisi pada umumnya.

Dengan pembahasan perihal pendekatan kualitatif barusan, kiranya diharapkan bisa menjadi klaar dan tidak dijumpai lagi kekeliruan epistemologis yang fundamental. Dengan kesepakan paham ini, pembahasan penelitian pendekatan kualitatif ini tentunya kini sudah menjadi jelas dan terarah. Dalam hubungan ini, maka dalam pertemuan kali ini pembahasannya akan difokuskan pada topik “penelitian komunikasi pendekatan kualitatif berbasis teks”. Pengenyampingan penelitian pendekatan kualitatif berbasis “fields” senantiasa dilakukan hanya karena faktor keterbatasan ruang dan waktu. Bukan karena tidak penting, bukan sama sekali.

Dalam kaitan fokusing dimaksud, maka dengan mengacu pada paparan bagan sebelumnya, itu berarti bahwa yang termasuk dalam pendekatan penelitian jenis ini hanya meliputi :

Discourse analysis : 1. Analisis Teks : Semiotika; Marxis; Framing;

Semiotika Sosial; dll.

2. Analisis wacana Kritis (CDA) : -Norman Fairclough;

-Ruth Wodak -Foucolt -Sarah Mill, -Van Dick,

Dari fokusing dimaksud, dalam perkuliahan ini juga akan dilakukan kembali pemfokusing ulang. Fokusing dimaksud yaitu akan kembali dilakakukan pengkonsentrasian. Konsentrasi ini hanya dilakukan pada sejumlah metode-metode tertentu dalam masing-masing typologi analisis teks.

Metode-metode tadi, maka dari segi 1. Analisis Teks : bahasannya akan meliputi : Semiotika; Marxis text analysis; Framing; dan Semiotika Sosial.

(8)

akan difokuskan pada model analysis teks dari MAK Halliday dan Theo Van Leeuwen. Perlu diketahui, prinsip dasar dalam memahami/memaknai teks dalam konteks semiotika guna dapat dilakukan dengan mudah oleh peneliti adalah dengan cara kita menempatkan diri sebagai pembaca teks itu sendiri. Sementara jika kita sedang menganalisis teks dalam konteks studi wacana, maka kiat mudah dalam memahami teksnya adalah dengan cara kita menempatkan diri sebagai wartawan penulis teks itu sendiri. Itu hanya sekedar catatan masukan yang kiranya dapat membantu.

Selanjutnya, bahasan dilanjutkan pada model analisis teks Marxis. Pada model Marxis teks Analysis ini, akan dibahas model Marxis text analysis yang diadopsi dari interpretasi NormanFairclough. Menurut interpretasinya model Marxis teks Analysis ini merupakan sumber bagi lahirnya studi-studi Critical Discourse Analysis yang ada saat ini.

Dalam bagian berikutnya lalu akan dibahas mengenai framming. Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson (1955-1972, dalam Reese, 2001: 37). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini lalu dikembangkan oleh Goffman (1974) yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Fauzi 2003, 22). Analisis framing adalah suatu tradisi dalam ranah studi komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis wacana komunikasi. Dalam prakteknya, analisis framing memungkinnya dilibatkannya konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis fenomena-fenomena komunikasi, hingga suatu fenomena dapat benar-benar dipahami dan diapresiasi berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya. Konsep frame

atau framing sendiri bukan murni berasal dari ilmu komunikasi, tetapi dari ilmu kognitif (psikologi). Iamerupakan sebuah metode penelitian empirik dan tehnik analisis isi media yang mampu mengungkapkan upaya media untuk mendefinisikan realitas sosial. Frame diinterpretasikan secara beragam menurut objek kajiannya. Dalam psikologi, framing

(9)

configuration of ideas and attitudes in which the elements are bound together by some form of constraint or functional interdependence (Wahyuni 2008, 287-414).

Masih menurut Goffman, frame merupakan struktu kognitif yang memandu persepsi dan presentasi mengenai realitas. Frame menunjukkan Schemata of Interpretation yang memungkinkan orang untuk meletakkan, memersepsikan, mengidentifikasi, dan memberi label peristiwa-peristiwa dalam kehidupan bahkan dunia secara umum. Kunci dari argumen Gofman tentang analisis framing adalah bahwa individu merasakan kehidupan sehari-harinya dengan devising frames yang membentuk dan compartmentalize pengalaman mereka serta membantu mereka menjelaskan bidang objek serta peristiwa di sekitar mereka (Kendall 2011, 9)1

Karena alasan di atas, wajar banyak ragam definisi mengenai framing. Charlotte (Charlotte 1991, 53)2 menjelaskan bahwa framing adalah Perjuangan terhadap pembingkaian dalam menentukan peristiwa sehari-hari manakah yang dianggap penting. Saat ini, media menjadi arena penting untuk perjuangan ini, dan gerakan sosial terus-menerus memusatkan perhatian pada media karena perannya yang berpengaruh dalam memberikan pentingnya masalah yang dihadapi publik. Tetapi, mendapatkan perhatian itu sendiri bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh gerakan sosial, pertarungan yang sebenarnya adalah tafsir siapakah, framing realitas siapakah yang dimunculkan”.

Todd Gitlin (dalam Kendall 2011, 9) menjelaskan bahwa framing adalah prinsip-prinsip dalam pemilihan, penekanan, dan penyampaian yang dirangkai dengan sedikit teori mengenai apa yang ada, apa yang terjadi, dan apa yang berarti3. Menurutnya,

framing adalah strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Ini dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.

David E. Snow and Robert Benford, mengatakan bahwa framing adalah pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan

1“According to Goffman, frame serve as cognitif structure that guide perceptioan and the presentation of reality. Frame denotes schemata

of interpretation that make it possible for people to " to locate, perceive, identify, and label," occurences within their life space and the world at large. A key argument of gofman's frame analysis is that individual make sense of their everyday lives by devising frames that shape and compartmentalize their experience and help them explain the realm of object and event around them.

2Struggle over framing decide which of the day’s many happenings will be awarded significance. Today, media have become critical

arenas for this struggle, and social movement have increasingly focused on the media since it plays such an influential role in assigning importance to issue facing the public. But gaining attention alone is not what a social movement wants, the real battle is whose interpretations, whose framing of reality, gets the floor.

3 “Frames are principles of selection, emphasis, and presentation composed of little tacit theories about what

(10)

sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu sumber informasi, dan kalimat tertentu. Amy Bider mengatakan bahwa framing

adalah skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan mengidentifikasi dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisasi peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk memahami makna peristiwa. Sedangkan Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki mengatakan bahwa framing adalah strategi konstruksi untuk memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dihubungkan dengan peristiwa, rutinitas, dan konvensi pembentukan berita (Eriyanto 2002, 68).

Wiliam A. Gamson mengatakan bahwa framing adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan-pesan yang disampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima (Eriyanto 2002, 67).

(11)

Proses framing menjadikan media masa sebagai arena di mana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung oleh para pembaca. Dengan demikian, framing merupakan seleksi dan penekanan aspek-aspek realitas melalui beberapa cara seperti penempatan (kontekstualisasi), pengulangan, asosiasi terhadap simbol-simbol budaya, generalisasi, simplifikasi dan lain-lain. Adapun tujuannya adalah untuk membuat aspek-aspek tertentu dari realitas yang diwacanakan menjadi lebih

noticeable, meaningful dan memorable bagi khalayak.

Penjelasan di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Robert M. Entman. Ia mengatakan framing adalah memilih beberapa aspek realitas yang dirasakan dan membuatnya lebih menonjol dalam teks komunikasi dengan cara agar mempromosikan definisi masalah tertentu, penafsiran sebab akibat, evaluasi moral, dan atau rekomendasi perlakuan untuk item yang digambarkan (Entman 1993, 52).4 Jadi, Entman melihat

framing dalam dua dimensi besar yakni seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kata penonjolan (salience) perlu didefinisikan sebagai membuat informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan/mudah diingat. Peningkatan dalam penonjolan mempertinggi probabilitas bahwa penerima menerima informasi, memahaminya dengan seksama lalu memprosesnya serta menyimpannya dalam ingatan (Entman 1993, 53).

Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok sudah barang tentu memiliki peluang besar untuk diperhatikan dan memengaruhi khalayak dalam memahami realitas. Karena itu, dalam prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lainnya. Penonjolan aspek isu itu dilakukan dengan menggunakan berbagai strategi wacana seperti penempatan yang mencolok (menempatkan berita di headline, halaman depan atau halaman belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian lebel tertentu ketika menggambarkan peristiwa tertentu. Penonjolan yang dilakukan oleh media terhadap suatu berita tertentu bukanlah dianggap atau dimaknai sebagai hal yang biasa tetapi secara ideologi sebagai strategi wacana, yakni sebuah upaya menyuguhkan publik tentang pandangan tertentu agar pandangannya lebih diterima.

Teks dapat membuat bagian informasi tertentu lebih menonjol dengan cara penempatan, pengulangan, atau dengan mengasosiasikannya dengan simbol-simbol

4“To select some aspect of a perceived reality and make them more salient in a communicating text in such a way as to promote a

(12)

budaya yang sudah dikenal. Kendatipun penonjolan kesan yang diilustrasikan tadi terdapat pada bagian teks yang kurang jelas, ia dapat menjadi sangat menonjol asalkan teks itu sejalan dengan skemata yang ada pada sistem kepercayaan penerima. Dengan simbol yang sama, ide yang mendapat penonjolan dalam teks bisa jadi memberikan kesulitan bagi khalayak untuk memerhatikannya, menafsirkannya, atau mengingatnya karena skemata mereka. Skemata dan konsep-konsep yang terkait seperti kategori, script

atau stereotype menunjukkan kumpulan-kumpulan ide yang tersimpan secara mental yang memandu individu dalam memproses informasi. Karena penonjolan merupakan dihasilkan dari proses interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame dalam teks tidak menjamin pengaruhnya terhadap pemikiran khalayak (ibid).5

Framing -menurut Norris- memiliki level yang dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) level, yaitu: (1) Level tematik, dan (2) Level episodik. Pada analisis framing, level episodik diproyeksikan untuk mencari perbedaan kecenderungan framing suatu wacana berita dalam periode waktu tertentu dengan periode waktu yang lain. Sedangkan analisis

framing pada level tematik merujuk pada analisis framing makrostruktural dan mikrostruktural. Pada makrostruktural menempatkan presentasi berita dalam konteks bahasan spesifik, sehingga lebih memungkinkan untuk memengaruhi interpretasi khalayak. Sedangkan mikrostruktural memokuskan presentasi berita pada angel atau aspek tertentu dari suatu realitas dan pengaburan pada aspek lainnya. (Fauzi 2007, 25).

Frame dapat dideteksi melalui penggalian kata-kata dan gambar-gambar khusus yang secara konsisten muncul dalam suatu narasi dan menyampaikan makna-makna konsonan tematik yang membentang antara media dan waktu. Dengan cara menetapkan, mengulangi kata-kata dan gambar, maka memperkuat kata-kata dan visual images yang merujuk pada beberapa isu. Frame bekerja agar beberapa ide lebih menonjol di dalam teks, atau setidaknya yang lain lebih tidak menonjol, sehingga sama sekali tak tampak. Namun, frame tidak mengeliminir semua inkonsisten informasi, sehingga teks tak terelakkan dapat berisi beberapa data yang janggal. Tapi melalui pengulangan, penempatan dan penguatan asosiasi satu sama lain, kata-kata atau image yang membangun menjadikan sebuah interpretasi dasar lebih dapat terlihat, dipahami dan berkesan daripada yang lainnya (Fauzi 2007, 26).

5Texts can make bits of information more salient by placement or repetition, or by associating them with culturally familiar symbols.

(13)

Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis framing mencermati cara-cara media melakukan seleksi penonjolan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih berarti atau diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai dengan perspektif media. Dengan kata lain,

framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartwan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Fauzi 2003, 23).

Pan & Kosicki (1993: 56-57) menyatakan, framing dapat dipelajari sebagai suatu strategi untuk memproses dan mengontruksi wacana berita atau sebagai karakteristik wacana itu sendiri. Proses framing berkaitan erat dengan rutinitas dan konvensi profesinal jurnalistik. Proses framing tidak dapat dipisahkan dari strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam presentasi media. Dengan kata lain, proses framing

merupakan bagian integral dari proses redaksional media massa. Dominasi sebuah frame dalam wacana berita bagaimanapun berkaitan dengan proses produksi berita yang melibatkan unsur-unsur seperti reporter, redaktur dan lain-lain. Analisis framing tidak melihat presentasi media sebagai sesuatu yang bebas nilai. Akan selalu ada faktor-faktor yang memengaruhinya. Seperti yang dikemukakan oleh Pan & Kosicki (Pan & Kosicki, 1993: 58): “… it accepts both assumsions of the rule governed nature of the text formation and the multidimensional conception of the news text that will allow for cognitive shortcuts in both news production and consumtion”.

(14)

itu adalah berdasarkan bahwa wacana itu katanya tak tepas dari persoalan perubahan sosial budaya. Jadi secara epistemologis idealnya seperti ini. Begitu juga dengan model analisis wacana kritis lainnya, masing-masing juga memiliki asumsinya sendiri atas suatu wacana. Untuk model analisis wacana kritis Teun Van Dijk asumsinya adalah terkait dengan kelompok minoritas/kelompok etnis. Sarah Mill sendiri asumsinya berbasis pada soal feminisme. Sementara Ruth Wodak basis asumsinya adalah bahwa konteks/historikal menentukan kekuasaan. Discourse is always historical kata Wodak. Sementara menurut Foucolt basis asumsi wacananya adalah bahwa relasi sosial itu mentukan realitas. Dengan demikian berbagai model analisis wacana yang ada masing-masing memiliki asumsinya sendiri. Namuin, dalam perkuliqahan ini fokus bahasan teks dalam kaitan studi wacana kritis akan dibatasi pada beberapa model saja karena keterbatasan ruang dan waktu. Beberapa model dimaksud itu yakni terkait dengan model analisis wacana kritisnya Norman Fairclough, Teun Van Dijk dan Sarah Mill saja. Sementara model lainnya tidak dibahas karena berkaitan dengan keterbatasan ruang dan waktu yang ada.

Daftar Pustaka

Charlotte, Ryan. 1991. Prime Time Activisme, Media Strategies for Grassroots Organizing. Boston: South End Press.

De Vreese, Claes H. 2012. New Framing: Theory And Typology. Information

Design Journal 13, no. 1 (Februari 2),

http://www.tveiten.net/futurelearninglab/menu4/1233468300.pdf. (Acessed February 2, 2012).

Entman, Robert M. 1993. Framing Toward Clarification of A Fractured Paradigm.

Journal of Communication: 41-53.

Eriyanto. 2002. Analisis Framing Konstruksi, Ideology dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS

Fauzi, Arifatul Choiri. 2007. Kabar-Kabar Kekerasan Dari Bali. Yogyakarta: LKiS Fauzi, Arifatul Fauzi. 2003. Wacana Terorisme dalam Media: Framing Analisis

Pemberitaan Harian Kompas dan Republika dalam Peristiwa Peledakan Bom di Bali. Master Thesis, Universitas Indonesia.

Kendall, Diana Elizabeth. 2011. Framing Class: Representation of Wealth and PovertyinAmerica-2nd Edition. Maryland: Littlefield Publishing Group.

Michel Foucault : Teori tentang Kekuasaan, Wacana, dan Pengetahuan, dalam :

http://www.wartamadani.com/2013/09/michel-foucault-teori-tentang-kek, diakses 19 mei 2015.

P, FX Dimas. 2011. Bom Cirebon Disinyalir Terkait dengan Jaringan Aceh. Koran Tempo, April 18.

Riky. 2011. Pelaku Bom Cirebon Diduga Jaringan Lokal. Koran Tempo, April 17. Rusadi, Udi. Ideologi Dan Media Dan Ideologi Dalam Media: Tinjauan Teoritis,

Konseptual dan Metodologis. Sumber:

www.balitbang.depkominfo.go.id/.../IDEOLOGI%. Diakses tanggal 31

Oktober 2011.

(15)

Siahaan, Hotman, 2001. Pers yang Gamang: Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor-Timur. Jakarta: Institute Studi Arus Informasi.

Taiwo, Rotimi. 2007. Language, Ideology and Power Relations in Nigerian. Nebula: 218-245

Referensi

Dokumen terkait

Deteksi sinyal FA memerlukan syarat bahwa hanya sinyal akustik yang mempunyai frekuensi sama dengan sinyal referensi saja yang dapat Untuk menormalisasi sinyal

14 Bagaimanakah penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam meningkatkan keterampilan siswa untuk menyajikan/mengemukakan argumen terkait dengan cara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh campuran pakan buatan dan rumput laut (Gracillaria sp) terhadap pertumbuhan abalon (Haliotis squamata) yang

anak dengan nilai OR = 6,20 yang berarti bahwa tindakan ibu yang kurang baik dalam pemeliharaan kesehatan gigi anak disebabkan sebesar 6 kali oleh tingkat pendidikan ibu

Jenis data yang digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata bukan dalam bentuk angka. Dalam penelitian ini data

Importir dengan tingkat risiko tinggi ini tidak selamanya akan berada di dalam jalur merah, dengan track record yang baik, importir ini bisa naik menjadi risiko tingkat menengah

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Pada 1 detik pertama, belitan fasa a di- energize sehingga gigi 1 dan gigi 5 rotor akan berhadap-hadapan dengan kutub-kutub fasa a atau rotor bergerak dari posisi 10