• Tidak ada hasil yang ditemukan

EBook Pajak Saat Transaksi Jual Beli Pro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EBook Pajak Saat Transaksi Jual Beli Pro"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PERPAJAKAN

Pajak :

฀ Kontribusi wajib kepada Negara

฀ Yang terutang oleh Orang Pribadi/Badan ฀ Bersifat memaksa berdasar UU

฀ Tidak memberikan imbalan secara langsung ฀ Digunakan untuk keperluan Negara bagi rakyat

Wajib Pajak

฀ Orang Pribadi ฀ Badan

฀ Yang mempunyai hak & kewajiban perpajakan sesuai UU

Kewajiban perpajakan bagi wajib pajak yang bergerak dalam sektor pengembang dengan mempertimbangkan sistem perpajakan di Indonesia yang self assessment system dimana wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung,

membayar/menyetor, melapor, dan memperhitungkan sendiri pajaknya tanpa harus menunggu adanya ketetapan dari Direktorat Jenderal Pajak.

Pajak Pada Transaksi Jual Beli Real Estate Pajak Penjual

Pajak Penghasilan Sehubungan Dengan Pengalihan Hak Atas Tanah & Bangunan (PPH)

฀ Pajak Bumi Bangunan (PBB ) Pajak Pembeli

฀ Pajak Pertambahan Nilai (PPN )

(2)

Kewajiban atas penghasilan sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/

bangunan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : PP-71

Tahun 2008, Pajak Penghasilan Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan :

Subjek Pajak

 Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah & bangunan.

Objek Pajak

 Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah:

penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah;

Tarif PPh

Pajak Penghasilan Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan : Tarif 5% x jumlah bruto nilai pengalihan,

1% x jumlah bruto nilai pengalihan, (untuk rumah sederhana) Penyetoran Surat Setoran Pajak (SSP) via bank persepsi atau kantor pos.

sebelum Akte Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditandatangani

Pelaporan SPT masa PPh Pasal 4 ayat (2) Max tanggal 20 bulan berikutnya.

(3)

Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan,kecuali :

1. dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan.

2. dalam ha1 pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pengalihan hak

฀ adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang pada Pajak Bumi dan Bangunan tahun ybs atau dalam hal Surat Pemberitahuan Pajak Teru tang dimaksud belum terbit, adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang tahun pajak sebelumnya.

฀ Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama, maka Nilai Jual Objek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan yang di terbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/ atau bangunan yang bersangkutan berada.

Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana

Rumah Sederhana sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas Rumah Scdcrhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh.

Rumah Susun Sederhana sebagaimana dimaksud di atas adalah bangunan

bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipcrgunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik.

Pengecualian

(4)

1. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecahpecah

2. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus

3. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak- pihak yang bersangkutan; keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang

4. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang

ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau keagamaan, badan pendidikan, badan sosial menjalankan usaha mikro dan kecil, yang

5. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

Example :

Harga jual transaksi Rp 200.000.000 PPh final = 5% x Rp 200.000.000

(5)

 Orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

B. Objek Pajak

Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan.

Bumi adalah seluruh bumi baik permukaan dan tubuh bumi yang ada di bawahnya;

Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

- jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;

- jalan TOL; - kolam renang; - pagar mewah; - tempat olah raga;

- galangan kapal, dermaga; - taman mewah;

- tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; - fasilitas lain yang memberikan manfaat.

2 Objek pajak yang tidak dikenakan PBB ?

 Objek Pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;

 Objek Pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;

(6)

 Objek Pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

 Objek Pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

C. Tarif PBB

Tarif PBB adalah tunggal sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen).

D. Dasar Pengenaan Dan Cara Menghitung PBB 1. Pegurang dalam penghitungan PBB

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). NJOPTKP diberikan kepada setiap Wajib Pajak sebagai pengurang penghitungan PBB terutang.

2. Besarnya NJOPTKP

NJOPTKP ditetapkan secara regional (setiap kabupaten/kota) paling banyak sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak oleh Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Pemda setempat.

3. Perlakuan pemberian NJOPTKP kepada Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu Objek PBB

NJOPTKP diberikan hanya sekali untuk Objek PBB yang nilainya paling tinggi untuk satu tahun pajak.

4. Dasar pengenaan PBB

(7)

 Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu

pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;

 Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk

memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut;

 Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.

5 Cara untuk memudahkan penghitungan PBB terutang

Cara untuk memudahkan penghitungan PBB terutang adalah dengan membuat klasifikasi bumi dan bangunan, yaitu pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya. Klasifikasi dimaksud sekaligus sebagai pedoman penentuan NJOP. Faktor-faktor yang diperhatikan dalam dalam penentuan klasifikasi bumi adalah :

1. letak;

2. peruntukan; 3. pemanfaatan;

4. kondisi lingkungan dan lain-lain.

Faktor-faktor yang diperhatikan dalam dalam penentuan klasifikasi bangunan adalah :

1. bahan yang digunakan; 2. rekayasa;

3. letak;

4. kondisi lingkungan dan lain-lain.

6 Dasar penghitungan PBB

(8)

PBB. NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari NJOP.

1) sebesar 40 % dari NJOP apabila NJOP bernilai Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau lebih;

2) sebesar 20 % dari NJOP apabila NJOP bernilai kurang dari Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

7. Cara menghitung PBB terutang Penghitungan PBB adalah sebagai berikut :

NJOP sebagai dasar pengenaan PBB = Jumlah NJOP bumi dan bangunan NJOP untuk penghitungan PBB = NJOP sebagai dasar pengenaan PBB

dikurangi dengan NJOPTKP

NJKP = (20% atau 40%)* x NJOP untuk penghitungan PBB PBB yang terutang = 0,5% x NJKP

NJOP bumi = luas bumi x NJOP bumi per m2 NJOP bangunan = luas bangunan x NJOP

bangunan per-m2*) Besarnya ditentukan berdasarkan jumlah NJOP bumi dan bangunan dan sektor.

E. Tahun Pajak, Saat, Dan Tempat Yang Menentukan PBB Terutang 1. Saat PBB terutang

Saat PBB terutang adalah keadaan objek PBB pada tanggal 1 Januari untuk suatu tahun pajak tertentu (jangka waktu satu tahun takwim)

2. Tempat PBB terutang

Tempat PBB terutang adalah : Meliputi letak objek PBB.

F. Pendaftaran, Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)

(9)

Mendaftarkan objek PBB-nya dengan mengisi SPOP secara jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan ke KPPBB/KP4/tempat lain yang ditunjuk yang wilayah kerjanya meliputi letak objek PBB, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek PBB. Pelaksanaan dan tata cara

pendaftaran objek pajak sebagaimana diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. SPOP adalah sarana bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan

Objek PBB yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung PBB yang terutang. Yang dimaksud dengan jelas, benar, dan lengkap adalah :

 Jelas, berarti penulisan data yang diminta dalam SPOP dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri;

 Benar, berarti data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;

 Lengkap berarti seluruh bagian yang harus diisi oleh Wajib Pajak terisi semua dan ditandatangani.

2. Sanksi yang dapat dikenakan apabila Wajib Pajak tidak

mengembalikan SPOP atau mengisi SPOP secara jelas, benar, dan lengkap a. Sanksi Administrasi

 Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran, maka akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang.

 Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih besarnya PBB yang terutang. b. Sanksi Pidana

 Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP atau

(10)

bagi negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;  Barang siapa karena dengan sengaja :

1. Tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak;

2. Menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar; 3. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen

yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;

4. Tidak memperlihatkan data atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;

5. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;

sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang. Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.

3. SPPT

SPPT adalah Surat Keputusan Kepala KPPBB mengenai besarnya PBB terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak pada 1 (satu) tahun pajak tertentu. SPPT diterbitkan berdasarkan data sebagaimana tertulis pada SPOP.

4. Hak Wajib Pajak atas SPPT

 Menerima SPPT PBB setiap tahun pajak.

 Mendapatkan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan dengan ketetapan PBB.  Mengajukan keberatan dan atau pengurangan.

(11)

tercantum pada SPPT atau ATM) atau Tanda Terima Sementara (TTS) dari petugas pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi dengan SK Walikota/Bupati.

5. kewajiban Wajib Pajak atas SPPT

 Menandatangani bukti tanda terima SPPT dan menyampaikannya kembali kepada Lurah/Kepala Desa/Dinas Pendapatan Daerah/KP4 untuk diteruskan ke KPPBB yang menerbitkan SPPT atau menyampaikannya ke KPPBB.

 Membayar/melunasi PBB terutang pada tempat yang telah ditentukan.

6. SKP PBB

SKP PBB adalah Surat Keputusan Kepala KPPBB yang memberitahukan besarnya PBB yang terutang termasuk denda administrasi kepada Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.

Apa yang menyebabkan SKP PBB diterbitkan ? SKP diterbitkan apabila :

 Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.

 Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain yang ada ternyata jumlah PBB yang terutang lebih besar dari jumlah PBB yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP.

7. Berapakah besarnya PBB terutang dalam SKP PBB?

 Jumlah PBB yang terutang dalam SKP yang disebabkan oleh pengembalian SPOP lewat 30 hari setelah diterima WP adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.

(12)

G. Tata Cara Pembayaran dan Penagihan 1. Batas waktu pelunasan utang PBB

 Berdasarkan SPPT yang diterima, Wajib Pajak harus melunasi utang PBB-nya selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT.

 Berdasarkan SKP yang diterima, Wajib Pajak harus melunasi utang PBB-nya selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP.

2. Besar denda yang dikenakan kepada Wajib Pajak yang belum melunasi utang PBB-nya setelah lewat jatuh tempo

PBB terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

3. Cara membayar PBB

Wajib pajak membayar PBB terutang melalui :

 Bank atau Kantor Pos yang tercantum pada SPPT atau  ATM bank-bank tertentu (BCA, BII) atau

 Counter/teller bank-bank tertentu (Bank Nusantara Parahyangan) atau  Petugas pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi dengan SK

Walikota/Bupati.

Catatan : Pembayaran harus dilakukan sekaligus (tidak diperkenankan mencicil).

4. Dasar penagihan PBB

Dasar penagihan PBB adalah SPPT, SKP, dan Surat Tagihan Pajak (STP).

(13)

7. Pokok pajak terutang yang belum atau kurang dibayar dan atau denda administrasi. STP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh Wajib Pajak.

6. Dalam hal bagaimana STP PBB diterbitkan ?

 Wajib pajak tidak melunasi PBB terutang setelah lewat jatuh tempo pembayaran SPPT/SKP.

 Wajib pajak melunasi PBB terutang setelah lewat jatuh tempo pembayaran SPPT/SKP, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.

7. Apakah upaya yang dapat dilakukan apabila STP PBB telah lewat jatuh tempo dan tidak dilunasi ?

Apabila STP PBB tidak dibayar setelah lewat jatuh tempo ditagih dengan Surat Paksa (SP) berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa s.t.d.d. UU Nomor 19 Tahun 2000.

H. Keberatan dan Banding

1. Apa saja yang dapat diajukan permohonan keberatan PBB ?

Yang dapat diajukan keberatan PBB adalah besarnya PBB terutang sebagaimana tercantum dalam SPPT atau SKP. Keberatan dimaksud dapat dikarenakan :

 Kesalahan luas bumi dan atau bangunan;  Kesalahan klasifikasi bumi dan atau bangunan;  Kesalahan penetapan/pengenaan

 Terdapat perbedaan penafsiran peraturan perundang-undangan PBB antara Wajib Pajak dan fiskus;

 Kesalahan Penetapan Subjek Pajak.

Keberatan atas SPPT atau SKP harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak.

2. Bagaimana tata cara permohonan keberatan PBB ?

(14)

 Menyampaikan permohonan secara lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SPPT atau SKP, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

 Diajukan per Objek PBB dan per tahun pajak.  Melampirkan foto kopi sebagai berikut :

- Bukti pemilikan hak atas tanah/sertifikat; dan/atau - Bukti Surat Ukur/Rincik; dan/atau

- Akta Jual Beli; dan/atau - SPPT/SKP; dan/atau

- Izin Mendirikan Bangunan (IMB); dan/atau - Bukti pendukung (resmi) lainnya.

 Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.

 Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,

Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan PBB.

 Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar PBB dan pelaksanaan penagihan.

3. Berapa lama jangka waktu penyelesaian permohonan keberatan PBB ? Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas

(15)

4. Apa yang dapat disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum keputusan keberatan diterbitkan ?

Sebelum surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

5. Apa bentuk keputusan keberatan ? Keputusan Keberatan dapat berupa :

 menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan terbukti kebenarannya.

 menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian terbukti

kebenarannya.

 menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti kebenarannya.

 menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan, mengakibatkan

peningkatan jumlah PBB-nya.

6. Yang dapat dilakukan Wajib Pajak jika permohonan keberatannya ditolak

Wajib pajak yang keberatannya ditolak dapat mengajukan banding ke Badan Pengadilan Pajak (BPP). Ketentuan banding PBB mengikuti ketentuan dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP stdtd UU Nomor 16 Tahun 2000.

7. Bentuk putusan Banding , Putusan Banding dapat berupa :  menolak;

(16)

8. Sifat Putusan Banding

Putusan Banding oleh BPP bukan merupakan putusan final dan dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.

9. Keputusan Banding menerima sebagian atau seluruhnya ?

Apabila putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan

pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran PBB sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.

I. Pengurangan

1. Pengurangan PBB dapat diberikan kepada :

Pengurangan PBB yaitu pemberian keringanan pembayaran PBB yang terutang atas Objek PBB dapat diberikan kepada :

Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu Objek PBB yang ada hubungannya dengan Subjek PBB dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, yaitu :

 lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki/dikuasai atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi;

 Objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat disebabkan karena adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan;

 Objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiun, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;

 Objek PBB yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;

(17)

 Pemberian pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dan ditetapkan berdasarkan kondisi/penghasilan Wajib Pajak.

 Wajib Pajak Orang Pribadi dalam hal objek PBB terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan sebagainya serta sebab- sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit, dan hama tanaman.

Untuk kondisi Wajib Pajak ini dapat diberikan pengurangan sampai dengan 100% (seratus persen).

 Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya.

Pemberian pengurangan ditetapkan 75% (tujuh puluh lima persen), akan tetapi bagi janda/dudanya telah menikah lagi diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dan ditetapkan berdasarkan kondisi/penghasilan Wajib Pajak.

2. Bagaimana tata cara pengajuan permohonan pengurangan PBB ?  Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala KPPBB yang

menerbitkan SPPT/SKP dengan menyebutkan persentase pengurangan yang diminta.

 Pengajuan permohonan dilakukan dengan ketentuan :

o Untuk ketetapan PBB s/d Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) dapat diajukan secara perseorangan atau kolektif (melalui Kepala Desa/Lurah dan diketahui oleh Camat).

o Untuk ketetapan PBB di atas Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) harus diajukan oleh WP yang bersangkutan dengan melampirkan :

- fotokopi SPPT/SKP PBB Tahun Pajak yang dimohonkan; - fotokopi STTS tahun pajak terakhir;

- fotokopi KTP/SIM/Tanda Pengenal Diri lainnya. - Untuk WP Badan, melampirkan fotokopi :

(18)

- SPT PPh tahun terakhir;

- Laporan Keuangan Perusahaan.

o Untuk Objek Pajak yang terkena bencana alam, hama tanaman dan sebab lain yang luar biasa dan bersifat massal diajukan oleh Kepala Desa/Lurah dengan diketahui oleh Camat dengan mencantumkan nama-nama Wajib Pajak yang dimohonkan pengurangannya dengan mempergunakan formulir yang telah ditentukan.

o Permohonan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung sejak

SPPT/SKP diterima Wajib Pajak atau terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.

o Pengurangan atas SKP hanya dapat diberikan atas pokok ketetapan PBB terutang; o Apabila batas waktu pengajuan tersebut tidak dipenuhi, maka permohonannya

tidak diproses, dan Kepala KPPBB yang bersangkutan harus memberitahukan secara tertulis kepada WP/Kepala Desa/Lurah, disertai penjelasan seperlunya.

3. Kriteria pengajuan permohonan pengurangan PBB ?

 Pengurangan PBB untuk masing-masing kabupaten/kota hanya diberikan untuk 1 (satu) objek PBB yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan Wajib Pajak;  Dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki, menguasai dan atau

memanfaatkan lebih dari 1 (satu) objek PBB maka objek yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah objek PBB yang menjadi tempat domisili Wajib Pajak;

 Dalam hal Wajib Pajak yang memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari 1 (satu) objek PBB adalah Wajib Pajak Badan, maka objek yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah salah satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan Wajib Pajak.

K. Pengembalian Kelebihan Pembayaran PBB

(19)

Kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terjadi dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) lebih besar dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.

2. Apakah penyebab terjadinya kelebihan pembayaran PBB ?  Perubahahan peraturan;

 Surat Keputusan Pemberian Pengurangan;  Surat Keputusan Penyelesaian Keberatan;  Putusan Banding;

 Kekeliruan pembayaran.

3. Bagaimanakah perlakuan atas kelebihan pembayaran PBB ? Kelebihan Pembayaran PBB dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak (restitusi), diperhitungkan dengan utang pajak lainnya, atau disumbangkan kepada Negara.

4. Bagaimana tata cata pengajuan permohonan atas kelebihan pembayaran PBB ?

 WP mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyebutkan jumlah kelebihan pembayaran disertai alasan yang jelas kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPPBB yang menerbitkan SPPT/SKP/STP.  Surat permohonan disampaikan langsung atau dikirim melalui pos tercatat;

 Surat permohonan dilampiri dengan dokumen yang berkaitan dengan Objek Pajak yang dimohonkan berupa:

o -fotokopi SPPT/SKP/STP dan Surat Keputusan Keberatan/Banding dan/atau Surat Keputusan pemberian pengurangan;

o Asli Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB.

(20)

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dari Wajib Pajak. Apabila dalam jangka waktu tersebut surat keputusan tidak diterbitkan maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.

6. Apakah bentuk Surat Keputusan yang dapat diterbitkan atas pengembalian kelebihan pembayaran PBB ?

Kepala KPPBB atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan :

 Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak PBB (SKKPP PBB), apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang;  Surat Pemberitaan (SPb), apabila jumlah PBB yang dibayar sama dengan jumlah

PBB yang seharusnya terutang;

 Surat Ketetapan Pajak (SKP), apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB yang seharusnya terutang.

7. Dalam jangka waktu maksimal berapa lama Kepala KPPBB harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak PBB

(SPMKPPBB)

Kepala KPPBB harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak PBB

(SPMKPPBB) dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKKPPPBB. Dalam hal KPPBB terlambat menerbitkan SPMKPPBB, maka WP diberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan sampai dengan diterbitkannya SPMKPPBB. L. LAIN-LAIN (250304 )

(21)

Pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan objek PBB adalah : Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Kewajiban PAJAK PEMBELI

Pajak Pertambahan Nilai (PPN )

1. Atas penyerahan tanah dan/ bangunan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000, Tarif 10% x harga jual,

0% untuk rumah sederhana

Penyetoran SSP pribadi atau badan ,di setor ke bank persepsi /kantor pos max tanggal 15 bulan berikunya setelah pengeluaran baiaya Pelaporan SPT Masa PPN (1107)

Max tanggal 20 bulan berikuntya.

Perlakuan PPnBM Pada Real Estate

Rumah mewah dikenakan PPnBM 20%, yang termasuk :

 Hunian mewah seperti apartemen, kondominium, town house,Luas 150 m2 atau lebih dan harga jual bangunanya Rp 4.000.000/m2 tidak termasuk nilai tanahnya.  Rumah termasuk rukan atau ruko dengan luas bangunan min. 400 m2 dan

harga jual bangunan/m2 Rp 3.000.000/m2 tidak termasuk nilai tanah  PPnBM hanya berlaku untuk pembelian properti dari developer, tidak untuk

transaksi antar perorangan. Pajak langsung dibayar konsumen saat bertransaksi.

Untuk property yang dibeli dari developer,pemungutan dan pelaporan biasanya dilakukan developer. Beli kavling dikawasan real estate tetap kena PPN, diluar kawasan real estate tidak kena PPN.

PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri

(22)

 Membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain.

 Bangunan diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha.

o Yang dimaksud dengan bangunan untuk tempat tinggal adalah bangunan atau konstruksi yang semata-mata diperuntukkan bagi tempat tinggal (tidak termasuk fasilitas olah raga atau fasilitas lain).

o Yang dimaksud dengan bangunan untuk tempat usaha adalah keseluruhan bangunan atau konstruksi yang diperuntukkan bagi tempat usaha termasuk seluruh fasilitas yang ada.

 Luas bangunan minimal 300 m2 .  Bangunan bersifat permanent.

o Yang dimaksud bangunan permanent adalah bangunan yang konstruksi

utamanya terdiri dari beton dan/atau kayu dan/atau baja dan/ atau bahan lain yang umur bangunannya lebih dari 25 (dua puluh lima) tahun.

Tarif dan DPP untuk kegiatan membangun sendiri :

 Pajak Pertambahan Nilai = 10 % (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

DPP atas kegiatan membangun sendiri = 40% (empat puluh persen) x seluruh biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Atau PPN terutang = 10% x 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah pada setiap bulannya.

Termasuk dalam pengertian seluruh biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri tersebut.

Saat & Tempat Pajak Terhutang Atas Kegiatan Membangun Sendiri :  Saat yang menentukan Pajak Pertambahan Nilai terutang adalah saat dimulainya

(23)

 Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap

merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan- tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

 Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.

Kegiatan Membangun Sendiri Di Kawasan Real Estate :

Membangun sendiri di atas tanah kavling pada Kawasan Real Estate terjadi sesudah tanggal 1 Januari 1995, maka :

 Kegiatan membangun sendiri oleh pemilik Kavling di kawasan Real Estate

dianggap dibangun oleh PKP Real Estate. PPN membangun sendiri terutang untuk setiap bulan, dimulai dari kegiatan secara fisik,spt penggalian fondasi dan pasang tiang pancang, dll.

 Pada saat ditandatanganinya surat pemesanan tanah/surat perjanjian jual

beli/perjanjian jual beli/akta jual beli atas transaksi penjualan tanah kavling, pembeli tanah kavling wajib mengisi dan enandatangani form surat pernyataan kesanggupan membayar PPN atas kegiatan membangun sendiri yang diberikan oleh pihak real estate.

 Jadi PKP Real Estate harus memungut PPN yang terutang kepada pemilik kavling, kemudian menyetor dan melaporkannya dalam SPT Masa PPN pada bulan yang bersangkutan.

 DPP adalah sebesar nilai bangunan (tidak termasuk harga tanah) yang dihitung oleh PKP Real Estate seandainya rumah tersebut dibangun oleh PKP Real Estate.

 Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pemilik kavling sehubungan dengan

pembangunan rumah tersebut dilaporkan kepada PKP Real Estate setiap bulan dan dianggap sebagai pembayaran termin.

(24)

SPT Masa PPN bulan yang bersangkutan kavling, maka atas selisih tersebut harus dipungut PPN, disetor dan dilaporkan oleh PKP Real Estate dalam SPT Masa PPN bulan yang bersangkutan.

 Pengusaha real estate wajib melaporkan penjualan tanah kavling kepada KPP yang wilyah kerjanya meliputi tempat tanah kavling berada.Bila tidak, yang dianggap melakukan pembangunan adalah pengusaha real estate.

 Tidak ada batasan luas atas pengenaan PPN atas membangun sendiri pada kawasan real estate, berapapun luasnya kena PPN.

Apabila patokan harga bangunan yang berlaku lebih kecil daripada jumlah pembayaran termin pajak keluaran atas kegiatan membangun sendiri :

 Dalam hal kegiatan sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SSP tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan.

 Faktur Pajak atas perolehan Barang Kena Pajak yang digunakan untuk membangun rumah oleh pemilik real estate tidak dapat dikreditkan.

Tarif dan DPP untuk kegiatan membangun sendiri :

Pajak Pertambahan Nilai = 10 % (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. DPP atas kegiatan membangun sendiri = 40% (empat puluh persen) x seluruh biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Atau PPN terutang = 10% x 40% atau 4% x jumlah biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah pada setiap bulannya.

Termasuk dalam pengertian seluruh biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri tersebut.

Contoh :

Luas tanah 250 m2, dibangun sendiri tanpa jasa konstruksi atau real

(25)

PPN membangun sendiri = 40% x Rp 1.000.000. x 250 m2 = Rp 10.000.000

Membangun Sendiri Secara Bertahap

 Membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kegiatan, sepanjang tenggang waktu antar tahapan tersebut tidak lebih dari 2 thn. Kalau pembangunan dilakukan secara bertahap dan luas bangunan pada tahap awal kurang dari 200 m2, kemudian tenggang waktu anatara kegiatan membangun sendiri tsb lebih adri 2 thn, sehingga luas bangunan yang dianggap secara bertahap tsb menjadi lebih dari 200m2, maka atas kegiatan membangun sendiri tsb tidak dikenakan PPN.

Example :

 Bapak X pada juli 2008 membangun rumah pribadi seluas 150 m2 dengan biaya Rp 300.000.000 . Pada Mei 2010 bangunan diperluas menjadi 255 m2 dengan tambahan biaya Rp 200.000.000.

PPN terutang = 4% x Rp 500.000.000 = Rp. 20.000.000

 Pada Juli 2008 Y membangun rumah pribadi seluas 150 m2 dengan biaya pembangunan sebesar Rp 300.000.000.Pada agustus 2010, bangunan diperluas menjadi 255 m2 dengan tambahan biaya Rp 200.000.000.

PPN terutang = nihil ( tidak terutang )

Pertimbangan Membangun Rumah Susun Pada Real Estate

Pengerjaan rumah susun akn terutang PPN, kecuali atas rumah susun sederhana milik. Rumah susun sederhana milik (RUSUNAMI) adalah bangunan bertingkat yang

dibangun dalam satu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi kamar mandi/wc, dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehanya dibiayai dengan kredit pemilikan rumah bersubsidi atau tidk bersubsidi yang memiliki ketentuan sbb:

(26)

 Harga Jual max Rp 144.000.000

 Diperuntukkan bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan max. Rp. 4.500.000/ bln dan memiliki NPWP

 Pembangunan mengacu pada peraturan Men PU yang mengatur ketentuan tekhnis pembangunan rusun sederhana

 Merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal, dan tidak dipindah tangankan dalam jangka waktu 5 thn sejak kepemilikan.Atas penyerahan RUSUNAMI dibebaskan dari pengenaan PPN.

Membangun Melalui Kontraktor

Kegiatan membangun sendiri lewat kontraktor atau pemborong bukan merupakan kegiatan membangun sendiri, sepanjang dapat dibuktikan bahwa atas kegiatan membangun tersebut telah dipungut PPN

Bea Perolehan Hak Tanah & Bangunan (BPHTB)

BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas semua pengalihan hak atas property baik baru maupun lama,yang dibeli dari developer atau perorangan.

Subjek Pajak

Orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.

Objek Pajak

adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan meliputi:

a. Pemindahan hak karena

1. jual beli;

2. tukar-menukar; 3. hibah;

4. hibah wasiat; 5. waris;

6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; 7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

(27)

9. putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10.penggabungan usaha;

11. peleburan usaha; 12.pemekaran usaha; 13.hadiah.

b. Pemberian hak baru karena:

1. kelanjutan pelepasan hak; 2. di luar pelepasan hak.

Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak

milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan

Tarif BPHTB.

Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen)

Pengenaan BPHTB

a. pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari

BPHTB yang seharusnya terutang.

b. pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:

-0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam

hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah

Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah

Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum

Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);

-50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam

(28)

Penghitunagan BPHTB

Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dikurangi Nilai Perolehan

Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara

matematis adalah;

BPHTB = 5 % X (NJOP/Nilai transaksi – NPOPTKP)

Example:

Nilai transaksi Rp 200 juta,

BPHTB yang harus dibayar adalah 5% x (Rp 200 juta - Rp60 juta) = Rp 7 juta. Bila transaksi hanya Rp60 juta atau kurang, BPHTB-nya nol.

NJOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak

terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta – Rp. 60 juta)

= 5 % x (0)

= Rp. 0 (nihil).

 Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan “S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp.

400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp.

100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan.

BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400 – Rp. 300) juta

= 50% x 5 % x ( Rp. 100) juta

= Rp. 2,5 juta.

Ketentuan BPHTB

(29)

amortisasi hak atas tanah sepanjang hak atas tanah tersebut dapat diamortisasi sesuai ketentuan Pasal 11A UU PPh.

2. BPHTB atas hak atas bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak melalui penyusutan bangunan tersebut sesuai ketentuan Pasal 11 UU PPh;

3. PBB atas tanah dan bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sekaligus sebagai biaya dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak;

Peneriman Negara Bukan Pajak (PnBP)

(30)

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu faktor yang sangat menunjang keberhasilan peternakan kuda adalah pakan. Pakan akan menjamin kelangsungan hidup dan pertumbuhan kuda. Pakan pokok kuda

Khairi “Ketika tiang merariq saya berebeng pisuke, laguq araq masalah karena keluarge seninen tiang meleq pisuke saq penoq laloq dait melene kepeng pisuke bejulu ye ampqne ngawinan

Penerapan diskresi oleh penyidik menurut dasar hukumnya, harus memperhatikan beberapa hal, yakni tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum dan memperhatikan kode

WAVIN BLACK merupakan pipa yang tangguh dan ringan serta mudah dalam penanganan, namun demikian pipa dan fitting harus ditangani dengan hati-hati agar tidak terjadi kesulitan pada

Bentuk terapi ARV/HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam upaya pencegahan penularan infeksi HIV dari ibu ke bayi adalah penggunaan obat antiretroviral jangka

Mikroorganisme yang tumbuh melekat pada media akan mendegradasi polutan organik seperti zat organik, fosfat dan polutan organik lainya dengan kondisi cukup oksigen terlarut

Bila dikaitkan dengan kasus ini, yaitu perkawinan yang dilakukan dibawah ancaman, pihak yang diancam dapat mengajukan upaya hukum pembatalan perkawinan karena terdapat unsur