• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma dan Perspektif Kajian II.1.1 Paradigma Konstruksionis - Representasi Citra Perempuan Dalam Fotojurnalistik (Analisis Semiotika Foto Headline di Harian Tribun Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma dan Perspektif Kajian II.1.1 Paradigma Konstruksionis - Representasi Citra Perempuan Dalam Fotojurnalistik (Analisis Semiotika Foto Headline di Harian Tribun Medan)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Sumatera Utara BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Paradigma dan Perspektif Kajian

II.1.1 Paradigma Konstruksionis

Konsep mengenai konstruksionisme diperkenalkan oleh sosiolog

interpretatif, Peter L Berger bersama Thomas Luckman. Tesis utama darii Berger

adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural

secara terus menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara

terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya

manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi

seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya

(Eriyanto, 2004: 14).

Berger dan Luckman menyatakan terjadi dialektika antara individu

menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Berger menyebut

proses dialektis tersebut sebagai momen. Ada tiga tahap peristiwa dalam proses

tersebut yaitu; Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri

manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Ini sudah

menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di

mana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang

lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses

inilah dihasilkan suatu dunia─dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia.

Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun

fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas

objektif, misalnya budaya materil manusia menciptakan alat demi kemudahan

hidupnya. Atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi

maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan

dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Bahkan ia dapat menghadapi

(2)

Universitas Sumatera Utara

Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran

manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan

kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami

oleh setiap orang.

Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan

kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif

individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia

yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebaga igejala realitas di luar

kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui

internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu

tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan.

Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman seperti ini,

realitas berwajah ganda/ plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang

berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman,

preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan

menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksi masing-masing. Selain plural,

komstruksi sosial itu juga bersifat dinamis (Eriyanto, 2004: 15).

Paradigma konstruksionis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah

realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis

pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau

realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam

studi komunikasi, paradigma konstruksionis ini seringkali disebut sebagai

paradigma produksi dan pertukaran makna (Eriyanto, 2004: 37).

Kalau melihat komunikasi sebagai proses penyebaran (pengiriman dan

penerimaan) pesan, maka paradigma konstruksionis melihat komunikasi sebagai

produksi dan pertukaran makna. Yang menjadi titik perhatian bukan bagaimana

orang mengirimkan pesan, tetapi bagaimana masing-masing pihak dalam

lalu-lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan makna. Pesan itu

sendiri dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak

yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial di mana mereka

(3)

Universitas Sumatera Utara

Pendekatan konstruksionis ini memandang kegiatan komunikasi sebagai

proses yang dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana

pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa

bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang

bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam

menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan

tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator

dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan,

memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks

pengalaman, pengetahuannya sendiri (Eriyanto, 2004:41).

II.1.2 Konstruksi Realitas Sosial Media Massa

Bagi kaum konstruktivisme, realitas atau berita (dalam hal ini termasuk

juga foto) itu hadir dalam keadaan subjektif. Secara singkat, manusialah yang

membentuk imaji dunia. Teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai

cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas.

Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, karena

khalayak pada dasarnya menerima sebuah bentuk realitas yang dikonstruksi oleh

media. Menurut Gebner dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk

konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan

konstruksi realitas (Wibowo, 2011: 125).

Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial

media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap

sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin,

2008: 188-189). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan

ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan

(4)

Universitas Sumatera Utara

2) Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial

media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara

tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media,

menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3) Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi

berlangsung melalui: konstruksi realitas pembenaran; kesediaan

dikonstruksi oleh media massa; sebagai pilihan yang konsumtif.

4) Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun

penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya

untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.

Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran

individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki

makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subjektif oleh

individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objjektif. Individu

mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas,

memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi

sosialnya.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese, meringkas berbagai faktor

yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan

(Sudibyo,2001). Ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi, yaitu:

Gambar 1 Reference Of Influence

(5)

Universitas Sumatera Utara

1. Faktor Individual

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola

media. Level ini melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari

pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan

kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau

agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Aspek

persona tersebut secara hipotetik mempengaruhi skema pemahaman

pengelola media.

2. Level Rutinitas Media

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan

berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa

yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria

kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap

hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di

dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme

bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang

harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses

dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa

penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebagai mekanisme yang

menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media karenanya

mempengaruhi bagaimana wujud akhir sebuah berita.

3. Level Organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara

hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Masing-masing komponen dalam

organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Setiap

organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai

tujuan dan filosofi organisasi sendiri. Berbagai elemen tersebut

mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana

(6)

Universitas Sumatera Utara

4. Level Ekstramedia

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun

berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit

banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Beberapa

faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media yaitu sumber berita,

sumber penghasil media, dan pihak eksternal seperti pemerintah dan

lingkungan bisnis. Sumber berita disini dipandang bukanlah sebagai pihak

yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai

kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber

penghasil media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan/

pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala

media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka.

Sementara, pengaruh pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan

bisnis sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan

eksternal media.

5. Level Ideologi

Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi

tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana

mereka menghadapinya. Ideologi berhubungan dengan konsepsi atau

posisi seseorang dalam menafsirkan berita. Pada level ini akan terlihat

siapa yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukan.

Melalui paradigma konstruksionis dan perspektifnya dalam media massa ini,

dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas

sosial. Untuk itu, peneliti menggunakan paradigma dan perspektif iini sebagai

dasar untuk melihat bagaimana Harian Tribun Medan memaknai dan kemudian

(7)

Universitas Sumatera Utara II.2 Uraian Teoritis

II.2.1 Fotografi Jurnalistik

Fotojurnalistik merupakan produk dari jurnalistik foto. Sementara itu,

jurnalistik foto adalah cabang ilmu dari jurnalistik (komunikasi/ publisistik),

sedangkan fotografi jurnalistik adalah keilmuan dari fotojurnalistik itu sendiri.

Secara sederhana fotojurnalsitik adalah foto yang bernilai berita atau foto

yang menarik bagi pembaca, dan informasi tersebut disampaikan kepada

masyarakat sesingkat mungkin (Wijaya, 2011).

Sementara itu, Yuyung abdi menyatakan bahwa fotojurnalistik adalah foto

yang bersifat faktual dari suatu peristiwa atau kejadian. Faktual intinya sesuatu

yang didasarkan fakta. Dalam sebuah fotojurnalistik ada suatu interaksi antara

subjek dengan subjek, subjek dengan objek dan subjek dengan lingkungan.

Interaksi ini dikemas dalam suatu frame. Sedangkan menurut Banning (2007),

fotojurnalistik tidak harus identik dengan berita, tetapi harus ada aspek penting di

dalamnya, yang mengandung unsur informatif dan mampu bercerita banyak.

Banning juga menyatakan bahwa foto harusnya lebih berbicara. Daripada yang

seolah sudah mengandung jawaban, seharusnya foto malah balik bertanya kepada

masyarakat. Sehingga masyarakat berpikir, lebih kritis dan lebih cerdas.

Dari beberapa pengertian di atas, maka fotojurnalistik dapat diartikan

sebagai suatu laporan peristiwa yang tersaji dalam bentuk foto, yang mengandung

unsur informatif, faktual dan penting yang disampaikan dengan cepat serta dapat

membuat masyarakat lebih cerdas.

(8)

Universitas Sumatera Utara II.2.1.1 Tinjauan Historis Fotojurnalistik

Media foto pertama kali ditemukan oleh Joseph Nicephore Niepce,

seorang berkebangsaan Perancis, pada 1826 yang mampu membuat foto dengan

media perekam plat logam yang dilapisi petrolium. Penggunaan foto dalam dunia

jurnalistik berawal dari gambar hasil karya Josep yang berjudul “view from the

window at le gras”.

Embrio fotojurnalistik di media massa hadir pertama kali pada hari Senin,

16 April 1877, saat surat kabar harian The Daily Graphic di Newyork memuat

gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada halaman satu.

Terbitan ini menjadi tonggak awal adanya fotojurnalistik pada media cetak yang

saat itu masih hanya berupa sketsa.

Tahun 1891 surat kabar harian NewYork Morning Journal memelopori

terbitan surat kabar dengan foto yang dicetak menggunakan halftone screen,

perangkat yang mampu memindai titik-titik gambar ke dalam plat cetakan hingga

mampu dicetak dengan cepat secara massal. Perkembangan fotojurnalistik pun

sampai pada era fotojurnalistik modern yang dikenal dengan “golden age” pada

tahun 1930-1950. Saat itu terbitan seperti Sports Illustrated, The Daily Mirror,

The New York Daily News, dan LIFE menunjukkan eksistensinya dengan tampilan

foto-foto yang menawan. Istilah fotojurnalistik sendiri dipopulerkan oleh

Prof.Clifton Edom di AS tahun 1976 dengan bukunya “Photojournalism,

Principles and Practises” dan lewat mata kuliah yang diampunya di Universitas

Missouri.

Sejarah fotojurnalistik di Indonesia diwakili oleh agensi foto Indonesia

Press Photo Service (IPPHOS). Saat kedatangan Jepang pada 1942 dalam misi

penjajahan, muncul kantor berita Domei sebagai alat propaganda. Mendur dan

Umbas bersaudara adalah fotografer yang merekam berbagai imaji pergerakan

masyarakat pribumi dan situasi politiik saat itu untuk kantor berita milik Jepang

tersebut. Itulah mengapa foto-foto IPHHOS banyak digunakan sebagai arsip yang

menandai momen bersejarah Indonesia seperti Prokalamasi pada 17 Agustus

(9)

Universitas Sumatera Utara

Perkembangan fotojurnalistik di tanah air semakin konsisten dan berkelanjutan

setelah kantor berita ANTARA mendirikan Galeri Foto Jurnalsitik Antara (GFJA)

tahun 1992), sebuah galeri pertama yang berfokus pada fotojurnalistik.

Spesialisasinya menjadi katalis lahirnya jurnalis-jurnalis foto muda yang memiliki

minat dan wawasan jurnalsitik, bahkan menjadi pionir di Asia Tenggara. (Wijaya,

2011).

II.2.1.2 Karakteristik Fotojurnalistik

Wilson Hicks (editor foto majalah Life 1937-1950) dalam bukunya

Words and Pictures (Literature of Photography)”, menjabarkan tujuh

karateristik fotojurnalistik sebagai berikut :

1) Dasar fotojurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan data tertulis pada teks dan gambar adalah mutlak. Foto berita dapat mengungkapan cara pandang terhadap subjeknya, pesan yang disampaikan lebih penting dari pada sekedar ungkapan pribadi. Caption

sangat membantu suatu gambaran bagi masyarakat. Bahkan foto esai pun memerlukan caption. Menurut Hicks, caption foto adalah unit atau bagian dasar dari fotojurnalisti yang pada bagian tersebut dapat dibentuk pendekatan.

2) Medium fotojurnalistik biasanya di media cetak, kantor berita, koran atau majalah, tanpa memperhatikan tirasnya. Berbeda sekali dengan keberadaan foto penerangan (public relation) yang muatanya adalah kisah sukses dan positif, maka informasi yang disebar dalam fotojurnalistik adalah sebagaimana adanya, disajikan sejujur-jujurnya.

3) Lingkup fotojunalistik adalah manusia. Itu sebabnya fotojurnalis harus mempunyai kepentingan mutlak pada manusia. Posisinya berada puncak piramida sajian dan pesan visual. Merangkul manusia adalah pendekatan prioritas bagi fotojurnalis, karena kerja dengan subjek yang bernama manusia adalah segala-galanya dalam profesi tersebut.

(10)

Universitas Sumatera Utara

5) Fotojurnalistik adalah fotografi komunikasi, dimana komunikasi bisa diekspresikan seorang fotojurnalis melalui subjeknya. Objek pemotretan hendaknya mampu dibuat berperan aktif dalam gambar yang dihasilkannya sehingga lebih pantas menjadi subjek aktif.

6) Pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual fotojurnalistik harus jelas dan segera dipahami seluruh lapisan masyarakat. Pendapat pribadi atau pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam fotojurnalistik. Gaya pemotretan yang khas, Bahkan dengan polesan seni tidak menjadi batasan dalam berkarya. Yang penting pesan harus komunikatif bagi semua lapisan masyarakat.

7) Fotojurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan visual luas, populis, arif, jeli dalam menilai karya foto yang dihasilkan, serta mampu membina dan membantu mematangkan ide atau konsep sebelum memberi penugasan. Penyuntingan meliputi pemilihan gambar, saran-saran hingga meminta dilakukan suatu pengambilan gambar ulang jika kurang layak siar.

II.2.1.3 Kategori Fotojurnalistik

Kategori yang pernah dibuat tahun 2007 oleh Badan Fotojurnalistik Dunia

(World Press Photo Foundation) memberikan beberapa kategori fotojurnalsitik

yaitu:

a) Spot Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal atau tidak terduga yang diambil oleh si fotografer langsung di lokasi kejadian.

b) General News Photo

Adalah foto-foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Temanya dapat dari peristiwa politik maupun ekonomi.

c) People in the News Photo

Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita. Yang ditampilkan adalah pribadi atau sosok orang yang menjadi berita itu. Tokoh-tokoh pada foto people in the news bisa tokoh populer atau bisa tidak, tetapi kemudian menjadi populer setelah foto itu dpublikasikan.

d) Daily Life Photo

(11)

Universitas Sumatera Utara e) Portrait

Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up dan “mejeng”. Ditampilkan karena adanya kekhasan pada wajah yang dimiliki atau kekhasan lainnya.

f) Sport Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga. Karena olahraga berlangsung pada jarak tertentu antara atlet dengan penonton dan fotografer, dalam pembuatan foto olahraga dibutuhkan perlengkapan yang memadai.

g) Science and Technology Photo

Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

h) Art and Culture Photo

Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya.

i) Social and Environment

Adalah foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya.

II.2.1.4 Nilai Berita Fotojurnalistik

Fotojurnalistik merupakan bagian dari karya jurnalistik, sehingga berita

maupun fotojurnalistik (foto berita) tentunya mempunyai nilai-nilai tertentu agar

layak dikatakan berita dan dapat disiarkan. Nilai-nilai berita tersebut terdiri atas :

Magnitude. Nilai ini menunjukkan besaran atau bobot dari sebuah

peristiwa. Kejadian yang mengandung nilai magnitude layak untuk dijadikan

berita. Misalnya, kapal laut tenggelam, pesawat terbang jatuh, tabrakan kereta

api.

Timeliness. Nilai kesegaran atau kebaruan sangat penting. Hal yang

baru, yang belum diketahui orang lain, yang belum dipublikasikan akan menarik

banyak orang. Misalnya pengumuman Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia

2022 mendatang.

Proximity. Dekatnya kejadian dengan khalayak juga merupakan nilai

yang penting (geografis dan psiko-grafis). Jarak geografis dapat diukur dengan

(12)

Universitas Sumatera Utara

politik, kebudayaan, dan lain-lain. Peristiwa tenggelamnya kapal Costa

Concordia dimana 170 orang WNI menjadi awak kapalnya. Peristiwa ini

menjadi lebih dekat dengan warga Indonesia, meskipun secara geografis letak

Pulau Isola del Giglio cukup jauh dari negeri kita, namun secara psikologis

mereka tetap dekat dengan bangsa Indonesia.

Prominence. Sesuatu yang menonjol, atau bisa dikatakan aspek

ketokohan. Misalnya, melekat pada seorang tokoh, menyangkut prestasinya,

kecelakaannya, gaya hidupnya dan lain-lain.

Importance.Sesuatu apakah mempunyai arti penting ataukah tidak. Bila

memang penting maka hal tersebut layak untuk diberitakan. Kenaikan SPP tentu

menjadi hal yang penting bagi mahasiswa.

Impact atau Consequence. Akibat atau konsekuensi yang sangat luas

dirasakan masyarakat tentulah merupakan nilai yang tinggi. Kenaikan BBM

misalnya, menjadi isu yang sangat penting.

Conflict atau Controversy. Informasi yang mengandung konflik dan

kontroversi jelas mempunyai nilai cukup tinggi. Konflik sosial di Papua dan

Makassar sendiri selalu diberitakan media massa. Kontroversi fakta di lapangan

menjadi perhatian banyak pihak.

Sensation. Peristiwa yang besar disebut sensasi atau menggemparkan

tapi peristiwa kecil yang dibesar-besarkan dinamakan sensasional. Sensasional

tidak dibenarkan karena bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya (tidak

faktual). Peristiwa yang besar (mengandung juga nilai magnitude) biasa disebut

scoope.

Novelty, oddity, or the unusual. Ini adalah nilai yang menyangkut

hal-hal baru, aneh, atau yang tidak lazim. Misalkan seekor sapi berkepala tiga,

pohon pisang berbuah nenas.

Human Interest. Yaitu lebih pada kepentingan manusiawi, biasanya

berukuran menarik untuk semua orang. Misalnya seoarang nenek yang

membiayai kuliah cucunya dari pekerjaan sebagai buruh cuci.

(13)

Universitas Sumatera Utara Sex. Orang akan tertarik hal-hal yang berbau seks pada lawan jenisnya. Foto gadis seksi atau peristiwa perselingkuhan Bill Clinton dengan Monica

Lewinsky juga menarik untuk diberitakan disamping faktor ketokohan Bill

Clinton.

Crime. Peristiwa yang berbau kriminal memiliki magnet yang cukup

besar bagi masyarakat. Seorang perempuan diperkosa di angkot oleh tujuh

pemuda tentunya termasuk berita kriminal.

II.2.2 Represetasi Citra Perempuan

II.2.2.1 Representasi

Ada beberapa definisi representasi menurut para ahli, antara lain ;

1) Menurut Nuraini Juliastuti (2002).

Representasi adalah konsep yang menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret.

2) Menurut John Fiske (2004)

Representasi adalah sesuatu yang merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi, citra, atau kombinasinya.

3) Menurut Stuart Hall

Menurut Stuart Hall (1997), representasi mempunyai dua pengertian, yaitu:

a. Representasi mental yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini berbentuk sesuatu yang abstrak.

(14)

Universitas Sumatera Utara

Relasi antara ‘sesuatu’, ‘peta konseptual’ dan ‘bahasa atau simbol’

tersebut merupakan jantung dari produksi makna. Proses ini terjadi secara

bersamaan dan inilah yang kita sebut dengan representasi.

John Fiske menjelaskan bahwa untuk menampilkan representasi tersebut

paling tidak ada tiga proses yang meliputinya. Level pertama, peristiwa yang

ditandakan yaitu saat kita menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut

sebagai sebuah realitas. Level kedua, saat kita memandang sesuatu sebagai

realitas, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan.

Dalam level ini digunakanlah alat berupa kata, kalimat, grafik dan sebagainya.

Pemakaian kata, kalimat, atau grafik tertentu akan membawa makna tertentu pula

ketika diterima khalayak. Level ketiga, bagaimana kode-kode representasi

dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas social,

kepercayaan dominan dan sebagainya yang ada dalam masyarakat (Eriyanto,

2001:14).

II.2.2.2 Citra Perempuan dalam Media

Altenbernd mengatakan mengenai citraan yaitu gambar-gambar angan atau

pilkiran, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Sementara citra

perempuan adalah gambaran yang dimiliki setiap individu mengenai pribadi

perempuan. Yaitu berupa semua wujud gambaran mental dan tingkah laku yang

diekspresikan oleh tokoh perempuan. Wujud citra perempuan ini dapat

digabungkan dengan aspek fisis, psikis, dan sosial budaya dalam kehidupan

perempuan yang melatarbelakangi terbentuknya wujud citra perempuan

(Sugihastuti 2000:43).

Kebebasan dalam mengaktualisasikan diri memang merupakan hak semua

orang, sudah menjadi naluri yang alamiah jika manusia merupakan makhluk yang

ingin diakui keberadaannya dan tidak ada strata baik gender ataupun status sosial

dalam hal ini. Akan tetapi keindahan sosok perempuan sering kali dijadikan objek

yang sangat menguntungkan bagi pelaku media. Sehingga posisi perempuan

sangat potensial untuk dieksploitasi menjadi konsumsi masyarakat dalam media

(15)

Universitas Sumatera Utara

Dalam Tomogola (1998), citra perempuan yang berhasil dibentuk dalam

media massa tersebut antara lain yaitu:

 Citra Pigura : Perempuan sebagai sosok sempurna dengan bentuk tubuh ideal.

 Citra Pilar : Perempuan sebagai penyangga keutuhan dan penata rumah tangga.

 Citra Peraduan : Perempuan sebagai objek seksual

 Citra Pinggan : Perempuan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur.

 Citra Pergaulan : Perempuan sebagai sosok yang kurang aktif dalam bergaul.

II.2.2.3 Tinjauan tentang daya tarik

Daya tarik menurut Onong Uchjana Effendy adalah kekuatan atau

penampilan komunikator yang dapat memikat perhatian komunikan (Onong,

1989:33). Sedangkan menurut Kotler dalam Sindoro (1996) adalah: Daya tarik isi

pesan sebuah tayangan meliputi daya tarik rasional, emosional dan moral. Daya

tarik rasional menunjukan bahwa kegiatan tersebut menghasilkan manfaat,

sedangkan daya tarik emosional mencoba membangkitkan motivasi terhadap

suatu kegiatan atau produk, dan daya tarik moral diarahkan pada perasaan

seseorang sehingga sering digunakan untuk mendorong orang mendukung

masalah-masalah sosial.

Berdasarkan dari dua definisi mengenai daya tarik diatas, maka peneliti

mengambil kesimpulan bahwa daya tarik merupakan kekuatan yang dapat

memikat perhatian, sehingga seseorang mampu mengungkapkan kembali pesan

yang ia peroleh dari media komunikasi. Selain itu, daya tarik merupakan kekuatan

mutlak yang harus diperhatikan, karena berhubungan dengan kemampuan

komunikator dalam hal menyita perhatian komunikan sebagai langkah awal dalam

menyampaikan pesan.

Daya tarik dapat menjadi suatu proses psikologis yang dapat berkembang

menjadi pemberian respon positif maupun respon negatif terhadap pesan

(16)

Universitas Sumatera Utara

Daya tarik adalah proses awal terhadap kesan dari suatu bentuk komunikasi dan

sangat berperan dalam membentuk animo komunikan (Buchori, 1988: 135).

Oscar Matuloh, salah seorang ikon fotografi jurnalistik Indonesia dalam

sebuah wawancara dengan majalah fotografi The Light Magazine mengatakan,

“Ketika seseorang membaca koran, yang membuat berita jadi menarik dibaca selain tulisannya adalah fotonya. Dan memang itu tugas fotografer jurnalis, yaitu menarik perhatian pembaca untuk membaca lebih jauh lagi. Untuk itu hal paling penting dalam fotojurnalistik adalah eye catching. Semakin foto tersebut eye catching semakin ia berhasil menjalankan tugasnya”.

II.2.3 Semiotika

Secara etimologis, semiotika berasal dari kata yunani, “semeion” yang

berarti tanda dan secara terminologis, semiotika adalah cabang ilmu yang

berurusan dengan pengkajian tanda dan seggala sesuatu yang berhubungan

dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Sobur,

2004:15).

Alex Sobur mengemukakan pendapatnya mengenai semiotika yang dalam

pandangannya adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Dengan ungkapan lain, semiotika berperan untuk melakukan interogasi terhadap

kode-kode yang ada agar pembaca bisa memasuki bilik-bilik makna yang

tersimpan.

Dalam semiotika, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui

interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Dan membaca adalah proses

menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegosiasi

dengan teks. Negosiassi terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek

pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan tanda yang menyusun teks

(Fiske, 2007).

Fisske (dalam Bungin, 2007:167) membagi tiga bidang utama dari

semiotika yaitu ;

1) Tanda itu sendiri. Yaitu studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara

tanda yang berbeda dalam menyampaikan makna, dan cara tanda terkait

(17)

Universitas Sumatera Utara

Tand a merupakan konstruksi manusia, makanya bias dipahami dalam

artian manusia yang menggunakannya.

2) Kode atau Sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini meliputi

bagaimana berbagai kode dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan

suatu masyarakat atau budaya untuk mengekpolitasi saluran komunikasi

yang tersedia untuk mengirimkannya.

3) Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Bergantung bagaimana kode-kode dan tanda-tanda itu digunakan untuk keberadaan dan bentuknya

sendiri.

Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang biasanya dijadikan

rujukan para ahli. Yang pertama adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada

pandangan Charles Sanders Pierce. Pierce menandaskan bahwa tanda berkaitan

dengan obyek yang menyerupainya, keberadaanya memilki hubungan sebab

akibat dengan tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda Pierce melihat

tanda, acuannya dan penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga.

Gambar 2

Unsur Makna Pierce

Ikon

Indeks Objek

Sumber : Bungin, 2007:168

Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda menjadi tiga, yaitu

tanda/ikon, indeks, dan objek/simbol. Ikon adalah sesuatu yang berfungsi sebagai

penanda yang mengisyaratkan petandanya. Sedangkan simbol adalah sesuatu yang

melaksanakan fungsi sebgai penanda oleh kaidah secara konvensi telah lumrah

(18)

Universitas Sumatera Utara

Panah dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami

hanya dalam relasinya dengan yang lain. Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan

pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal. Tanda menunjuk pada

seseorang yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara atau

tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakan tersebut merupakan

interpretasi dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yaitu objeknya.

Yang kedua adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinan

de Saussure yang mengatakan bahwa tanda disusun dari dua elemen yaitu aspek

citra tentang bunyi dan sebuah konsep dimana bunyi disandarkan. Menurut

Saussure, tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna. Sebuah tanda terdiri

atas penanda (Signifier) dan petanda (signified) (Fiske, 2007).

Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan bermakna yang

meliputi aspek material . Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau

konsep aspek mental dari bahasa. Bila dianalogikan keduanya merupakan dua sisi

dari sekeping mata uang (Sobur, 20004:125). Penanda mewakili bentuk isi,

sedangkan petanda mewakili bentuk konsep atau makna. Berikut gambar

elemen-elemen makana Saussure:

Gambar 3 Unsur Makna Saussure

Sign

Composed of

Signification

Signifier Signified External Reality of Meaning

(Phsycal Existence) (Mental Concept)

(19)

Universitas Sumatera Utara

Pada dasarnya, apa yang disebut sebagai signifier dan signified merupakan

produk kultural yang mana hubungan diantara keduanya bersifat arbitrer atau

berada dalam dua hal yang sama dan hanya berdasarkan pada konvensi,

kesepakatan atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Signifikasi

merupakan hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental. Dapat

dikatakan signifikasi adalah upaya untuk memberikan makna terhadap dunia

(Sobur, 2004:125).

II.2.3.1 Semiologi Barthes

Saussure tidak begitu memperhitungkan makna sebagai proses negosiasi

antara pembaca/penulis dengan teks. Ia tidak menekankan cara tanda-tanda di

dalam teks berinteraksi dengan penagalaman kultural penggunanya. Maka dari itu

Roland Barthes, pengikut Saussure mengembangkan terori makna milik Saussure

lewat gagasan tentan dua tatanan pertandaan (order of signification) (Fiske, 2007).

Menurut Barthes, semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam

hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to

communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa

informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga

mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2006).

Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang

tanda adalah peran pembaca (The Reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat

asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara

lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran

kedua,yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua

ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya

secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

Untuk memperjelas signifikasi dua tahap, Barthes menciptakan peta

(20)

Universitas Sumatera Utara Gambar 4

Peta Tanda Roland Barthes

1. Signifier 2. Signified (Penanda) (Petanda)

3. Denotatie Sign (Tanda Denotatif)

4. Connotative Signifier 5. Connotative Signified (Penanda Konotatif) (Petanda Konotatif)

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Sumber : Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 2006:69

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas

penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif

adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif

tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian

tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan

antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan

konotasi yang dipahami oleh Barthes, yaitu (Sobur, 2006) ;

Denotasi

Tatanan ini merupakan hubungan anatara signifier dengan signified

dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, makna paling nyata dari tanda. Makna denotatif pada dasarnya meliputi pada hal-hal yang ditunjuk. Sifatnya langsung dan umum.

Konotasi

Konotasi merupakan signifikasi tahap kedua yang berubungan dengan bentuk. Konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Makna konotatif sifatnya subjektif, dalam pengertian ada pergeseran dari makna umum karena sudah ada penambaan rasa dan nilai tertentu.

Mitos

(21)

Universitas Sumatera Utara

Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan

atau memahami bebeapa aspek dari realitas atau alam. Menurut Barthes, mitos

adalah cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu atau sebuah cara memahami

suatu hal. “tak ada mitos yang universal pada satu kebudayaan. Yang ada adalah

mitos yang dominan (Fiske, 2007). Dapat dikatakan bahwa dari mitoslah kita

kemudian menemukan ideologi.

II.2.3.1 Semiotika MK.Halliday

M.K.Halliday, seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis

semiotik sosial, untuk studi teks berita (yang dalam penelitian ini dimaksudkan

adalah fotojurnalistik) dalam artian apa-apa yang dirangkai dalam isi berita yang

kemudian membentuk konstruksi suatu ideologi lewat penerbitan fotojurnalistik di

surat kabar. Pada penelitian ini, model ini sangat bermanfaat untuk menganalisis

caption foto (teks berita foto) yang merupakan satu keasatuan dari sebuah

fotojurnalistik.

Menurut Haliday, terdapat tiga komponen utama dalam menciptakan

makna, yakni komponen ideasional, interpersonal, dan tekstual. Komponen

ideasional berhubungan dengan bagaimana pengguna bahasa memahami

lingkungan sosial. Komponen interpersonal berhubungan dengan bagaimana

bahasa digunakan dalam interaksi sosial. Dan komponen tekstual berhubungan

dengan interpretasi bahasa dalam fungsinya sebagai pesan.

Halliday menjabarkan semiotiika pertama mengulas masalah makna (the

problem of meaning) atau bagaimana orang memahami pesan? Informasi apa

yang dikandung dalam struktur sebuah pesan?. Kedua adalah masalah tindakan

(the problem of action) atau pengetahuan tentang bagaimana memperoleh sesuatu,

dan yang ketiga ialah masalah koherensi (the problem of coherence) yang

menggambarkan bagaimana membentuk suatu pola bahasa masuk akal (logic) dan

(22)

Universitas Sumatera Utara Gambar 5

Skema Analisis Semiotika Sosial Halliday

Sumber : Halliday dan Hasan, 1992.

Sebagai suatu sistem, bahasa bersama-sama dengan sistem sosial lainnya

bekerja dalam menciptakan makna. Semiotika sosial melihat tanda dalam arti

yang lebih luas, yakni sebagai suatu sistem tanda yang merupakan bagian

tatanan-tatanan yang saling berhubungan sebagai pembawa maknadalam budaya.

Sehingga, bahasa dalam semiotika sosial mendapatkan maknanya melalui

interaksi sosial, dengan perantara sosial, dan untuk tujuan sosial pula.

Bahasa sebagai semiotika sosial berhubungan dengan penggunaan bahasa

bersama-sama dengan sistem makna lainnya dalam menciptakan kebudayaan.

Pengalaman-pengalaman manusia sebagai bagian dari dimensi sosial merupakan

awaldari munculnya gejala bahasa, oleh karena itu penting untuk melihat bahasa

dari sudut padnang dimensi sosial yang melingkupinya.

Lingkungan sosial merupakan tempat terjadinya pertukaran makna. Oleh

sebab itu, proses pertukaran makna adalah sesuatu yang bersifat kontekstual,

artinya penggunaan bahasa sebagai alat interaksi sosial untuk menciptakan makna

dari sederetan sistem makna yang tersedia secara keseluruhan berhubungan

dengan konteks yang melatarbelakangi interaksi tersebut. Terdapat tiga konteks

sosial yang melatarbelakangi penggunaan bahasa dalam suatu proses interaksi,

(23)

Universitas Sumatera Utara II.2.3.2 Foto Berita Sebagia Perangkat Ideologis

Sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan

untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Setiap penggunaan teks,

penanganan bahasa, perilaku semiosis alias penggunaan tanda umumnya timbul

berkat suatu ideologi yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai

tanda.

“Membaca” teks media (foto dan semacamnya) tidak ubahnya

membongkar praktik ideologis yang bekerja secara manipulatif di dalam sebuah

situasi sosial tertentu. Ideologi ini bekerja melalui sistem representasi atau kode

yang menentukan bagaimana seseorang menggambarkan dunia atau

lingkungannya (Littlejohn, 2009).

Penggunaan foto sebagai media merupakan bukti langsung tentang

pandangan sosial ataupun ideologi para komunikaatornya. Isi dalam

fotojurnalistik itu sendiri menjelaskan berbagai aspek tertentu dari arti atau

bentuknya. Dalam artian fotojurnalistik dimuati struktur yang mendasari

huubungan internal dari berbagai unsur di dalamnya (McQuail, 1987).

Dengan memakai model analisis tersebut diatas, karya foto dapat dianalisis

ideologinya dari :

1. Pesan ikonik yang tak terkodekan

Istilah ini menunjuk pada denotasi, pemahaman langsung dari gambar

tanpa mempertimbangkan kode social yang lebih luas.

2. Pesan ikonik yang terkodekan

Istilah ini merupakan konotasi visual yang diturunkan dari penataan

elemen-elemen visual. Ikonik disini artinya tanda yang memperlihatkan

kemiripan (Sobur, 2006).

Pesan ikonik yang tak terkodekan merupakan tatanan denotasi yang

berfungsi menetralkan pesan simbolik sementara pesan ikonik yang terkodekan

itu sendiri merupakan tatanan konotasi yang keberadaannya didasarkan atas

(24)

Universitas Sumatera Utara Objek Penelitian

Fotojurnalistik pada Headline Harian Tribun Medan

edisi Desember 2012-Februari 2013 II.3 Model Teoritik

Gambar 6

Bagan Model Teoritik Penelitian Representasi Citra Perempuan dalam Fotojurnalistik di Harian Tribun Medan.

Semiotika MK. Halliday

Analisis Semiotika Sosial

1. Medan Wacana

2. Pelibat Wacana

3. Sarana Wacana

1. Makna dalam fotojurnalistik pada Headline di Harian

Tribun Medan

2. Praktik ideologi dalam menampilkan perempuan

melalui foto berita Harian Tribun Medan

Semiotika Roland Barthes

Analisis Lima Kode Pembacaan

1. Hermeneutika 4. Proairetik

2. Semik 5. Kultural

3. Simbolik

Level Teks

Denotasi dan Konotasi

Level Konteks

Gambar

Gambar 1
Gambar 4 Peta Tanda Roland Barthes
Gambar 5
Gambar 6

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengujian karakteristik sifat listrik juga dilakukan dengan melihat perbedaan respon yang ditunjukkan oleh sampel dengan perlakuan yang diberikan pada sampel berupa

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk kesopanan tuturan pada naskah drama

sebagai bahan perekat dalam pembuatan pakan ikan dari bahan baku limbah bulu. ayam dan ampas tahu yang telah difermentasi serta ikan rucah sebagai

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Pautan genetik (genetic linkage dalam bahasa Inggris) dalam genetika adalah kecenderungan alel-alel pada dua atau lebih lokus pada satu berkas kromosom yang sama (kromatid)

Hasil penelitian mendapatkan bahwa petani jagung di Kabupaten Grobogan memiliki tingkat kompetensi yang sedang, artinya kemampuan dalam teknis budidaya jagung

20 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pertahanan Keamanan Negara pasal 1 ayat (2) yaitu “Tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh,

Skripsi Adaptasi Sosial Anak : Studi Ekslanasi Tentang ..... ADLN - Perpustakaan