BAB II
TINJAUAN YURIDIS ATAS KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH ATAU RUMAH (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.
2511K/PDT/1995 TANGGAL 9 SEPSTEMBER 1997)
A. Keberadaan Girik Dalam Hukum Tanah Nasional
Pemilikan tanah merupakan hak asasi dari setiap warga negara Indonesia yang
diatur dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28 H yang menyebutkan bahwa setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Sebelum lahirnya UUPA, girik masih diakui sebagai tanda bukti hak atas
tanah, tetapi setelah UUPA lahir dan PP No. 10 Tahun 1961 sebagaimana telah
dirubah dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hanya sertipikat
hak atas tanah yang diakui sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah. Sekalipun
demikian, selain sertipikat hak atas tanah nampaknya tanda hak lain-pun masih ada
yang berlaku yakni Girik atau kikitir.43
Girik yang sebenarnya adalah surat pajak hasil bumi/verponding, sebelum diberlakukannya UUPA memang merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, tetapi
setelah berlakunya UUPA, girik bukan lagi sebagai bukti hak atas tanah, namun
hanya berupa surat keterangan objek atas tanah, dan dengan adanya UU. No. 12
43
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikenal sebagai girik
adalah DKOP/KP.PBB 4.1.44
Apabila ditelusuri lebih jauh sebelum lahirnya UUPA, secara yuridis formal,
girik benar-benar diakui sebagai tanda bukti hak atas tanah, tetapi sekali lagi bahwa
setelah berlakunya UUPA girik tidak berlaku lagi. Hal ini juga dipertegas dengan
Putusan Mahkamah Agung RI. No. 34/K/Sip/1960, tanggal 19 Februari 1960 yang
menyatakan bahwa surat petuk/girik (bukti penerimaan PBB) bukan tanda bukti hak
atas tanah.45
Masih berkembangnya pemahaman bahwa girik merupakan bukti kepemilikan
hak atas tanah setelah UUPA, disebabkan adanya anggapan demikian yang masih
terus berkembang di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan pemerintahan,
termasuk di lingkungan peradilan. Dengan dasar bukti tersebut masyarakat sudah
merasa aman, karena merasa telah memiliki bukti kepemilikan atas hak tanahnya.
Setelah lahirnya UUPA, girik atau kikitir sudah tidak berlaku lagi sebagai
bukti kepemilikan hak atas tanah. Berdasarkan UUPA bukti kepemilikan yang sah
adalah sertipikat hak atas tanah yang didapat melalui pendaftaran hak atas tanah.
Dengan perkataan lain girik tidak lagi memiliki kekuatan hukum sebagai bukti
kepemilikan atau tidak diakui lagi sebagai tanda bukti hak atas tanah. Tetapi
permasalahannya di kalangan masyarakat secara umum, termasuk juga, instansi
pemerintah seperti instansi perpajakan, instansi penegak hukum seperti Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan serta PPAT, masih mengangggap girik sebagai bukti
kepemilikan hak atas tanah, sehingga masih banyak pula produk-produk pengadilan
berupa putusan yang menguatkan keberadaan girik sebagai alat bukti kepemilikan.
Sebagai contoh kasus tanah Meruya dan tanah disekitar Lapangan Gasibu Bandung.
Kedua kasus ini sudah ada putusan pengadilannya. Kasus tanah Meruya sudah
memiliki Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sedangkan kasus
tanah di sekitar Gasibu Bandung sudah memiliki Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara dan saat ini sedang menunggu Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik
Indonesia.46
Setelah tahun 1960, girik atau kikitir tidak mempunyai kekuatan hukum
sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah, kecuali hanya sebagai alat keterangan
objek tanah/bangunan dan sebagai bukti pajak tanah/bangunan.
Menurut AP. Parlindungan terlalu banyak masalah yang ditimbulkan dari
penilaian terhadap tanah adat seperti girik, letter c, petuk, grant sultan dan sejenis hak
yang berasal dari hak-hak adat. Pengadilan direpotkan dengan perkara-perkara tanah
yang seharusnya telah dikonversi. Tanah-tanah adat seharusnya sudah dikonversi dan
tunduk pada ketentuan UUPA, karena pemerintah tidak mungkin lagi mengeluarkan
bukti-bukti hak atas tanah yang tunduk pada sistem hukum yang lama. Sehingga
dengan demikian girik, letter c, dan tanah-tanah hak adat lainnya tidak dapat lagi
dijadikan bukti kepemilikan.
46
Pembuktian hak lama berdasarkan Pasal 24 dan 25 PP. No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa pembuktian hak lama yang berasal dari
konversi hak lama dibuktikan dengan alat bukti tertulis dan keterangan saksi dan/atau
pernyataan pemohon yang kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar oleh
Panitia Ajudikasi untuk pendaftaran sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan untuk
pendaftaran sporadis.
Penilaian tersebut didapat atas dasar pengumpulan dan penelitian data yuridis
mengenai bidang tanah bersangkutan oleh Panitia Ajudikasi dalam Pendaftaran Tanah
secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara
sporadik. Atas dasar alat bukti dan berita acara pengesahan, hak atas tanah yang data
fisik dan data yuridisnya sudah lengkap dan tidak ada sengketa, dilakukan
pembukuan dalam buku tanah dan diterbitkan sertipikat hak atas tanah.
Data Yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan
satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta
beban-beban lain yang membeban-bebaninya (Pasal 1 angka (7) Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sedangkan data Data Fisik adalah keterangan
mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar,
termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya
(Pasal 1 angka (6) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Berdasarkan penjelasan di atas, seharusnya pembuktian kepemilikan hak atas
data fisik dan data yuridis lainnya serta penguasaan fisik tanah oleh yang
bersangkutan secara berturut-turut atau terus-menerus selama 20 (dua) puluh tahun
atau lebih. Dengan catatan bahwa penguasaan tersebut dilakukan atas dasar itikad
baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta
diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya serta penguasaan tersebut tidak
dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan
ataupun pihak lainnya.
Dengan demikian pihak manapun yang mengklaim memiliki suatu hak atas
tanah harus dapat membuktikan haknya atau membuktikan adanya hubungan hukum
kepemilikan antara tanah dengan pihak yang bersangkutan, apabila belum ada
sertifikat hak atas tanah, maka girik atau apapun namanya hanya dapat digunakan
sebagai bukti permulaan adanya hubungan hukum tersebut yang kemudian diperkuat
dengan data fisik yang dapat menjelaskan atau menggambarkan letak, batas, luas
bidang dan bukti penguasaan atas tanah secara berturut-turut selama 20 (dua puluh)
tahun, apabila tidak ada terdapat data yuridis maupun data fisik atas tanah tersebut.
Cara mengetahui status hukum suatu tanah atau rumah dapat dilihat melalui
kelengkapan-kelengkapan dokumennya, atau bisa juga dengan meminta bantuan jasa
notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Lahan dengan status girik
merupakan lahan bekas hak milik adat yang belum di daftarkan pada Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Jadi girik bukanlah alat bukti kepemilikan hak, namun
hanya merupakan bukti penguasaan atas suatu lahan dan pembayaran pajak atas
sertifikat, namun girik dapat dijadikan dasar untuk membuat sertifikat tanah. Sejarah
kepemilikan lahan diperlukan jika ingin meningkatkan status hukum suatu lahan
menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atau Sertifikat Hak Milik (SHM).
Istilah Girik biasa juga dikenal dengan tanah adat, petok, ricik, ketitir dan lain-lain.47
B. Upaya Mempertahankan Hak Atas Tanah
Dalam mempertahankan hak atas tanah yang ada pada seseorang atau badan
hukum sebagai subyek yang ditunjuk oleh UUPA dapat diwujudkan dengan dua
bentuk yaitu pertama, melakukan serangkaian tindakan agar sangat sedikit
kemungkinannya dapat diambil atau dikuasai oleh orang/pihak lain, hal tersebut dapat
berwujud tindakan-tindakan pencegahan (preventif). Kedua, sebagai tindakan represif
yaitu penanggulangan dan penyelesaian terhadap akibat di luar sepengetahuan atau
kemampuan si pemilik yang berhak atas tanah itu telah diambil dan dikuasai oleh
pihak lain. Penguasaan ataupun pemilikan yang dimaksud dapat berwujud
penguasaan fisik dan non fisik.
1. Upaya Pencegahan (Preventif)
Upaya ini adalah upaya yang mengandung resiko yang paling kecil dibanding
upaya lainnya. Namun orang atau badan hukum yang berhak atas tanah tersebut
haknya itu.48 Ada beberapa hal pokok upaya yang dapat menjamin terlindunginya
47Dody Tabrani,
http://bangunrumahkpr.com/rumah-kpr/biaya-jual-beli-rumah/jenis-sertifikat-kepemilikan-rumah-atau-tanah, tanggal 30 April 2014, pukul 22:33.
48Tampil Anshari Siregar,Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan : Multi Grafik Medan,
tanah dari gangguan pihak lain, baik terhadap tanah yang sudah terdaftar
(bersertipikat) maupun yang belum, yaitu:
a. Pemilikan tanah itu atas sepengetahuan masyarakat sekitar
Perolehan tanah tersebut baik melalui mutasi atau pengalihan hak seperti
jual beli, tukar menukar, hibah maupun melalui beralihnya hak karena
pewarisan seperti kasus yang sedang di teliti harus diupayakan agar
masyarakat sekitar mengetahuinya. Jika masyarakat sekitar mengetahui, maka
mereka akan menjadi pencegah jika sekiranya ada pihak-pihak lain yang akan
mengambil dan menduduki tanah tersebut secara paksa tanpa alas hak yang
sah.
Dalam hal ini sudah memberikan fungsi yang jelas dimana masyarakat
sekitar yang menjadi saksi akan adanya sengketa tanah yang terjadi antara
para pihak sebagaimana yang terdapat didalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 2511K/PDT/1995 yang di teliti.
b. Tanahnya diberi batas yang pasti dan jelas
Penetapan batas tanah tidak bisa ditetapkan hanya secara sepihak oleh
yang mewariskan tanah itu pada waktu peralihan haknya. Tanda batas dapat
dinyatakan sudah pasti jika pemilik yang berbatasan sepakat atas tanda batas
dimaksud. Dan jika telah ada bukti-bukti tertulis maka ukuran tanah dan tanda
batas itu harus bersesuaian dengan keadaan yang sebenarnya. Tanda batas itu
semestinya jelas bagi siapa saja yang ingin menyaksikannya. Oleh karena itu
tidak mudah hapus harus diupayakan, misalnya dengan tanda batas yang
terbuat dari besi atau semen yang harus timbul diatas permukaan tanah sekitar
2-cm dan tertanam 80cm.49
c. Tanah tersebut diusahai atau digunakan
Penggunaan tanah harus sesuai dengan sifat dan peruntukan haknya akan
merupakan bukti fisik yang nyata adanya hak seseorang atasnya. Sekalipun
yang bersangkutan tidak berdiam di atas tanah tersebut tetapi dengan
diusahainya atau digunakannya secara baik dan benar akan menghambat niat
orang lain untuk mengambil atau mendudukinya. Apalagi
penguasaan/pemilikannya telah di dukung oleh bukti hak tertulis yang benar.
Dengan kata lain jika tanahnya tanah hak seseorang, penggunaannya (right to use) tidak menyimpang dari ketentuan dan telah dipergunakan secara
terus-menerus akan lebih kokohlah kepemilikannya atas tanah tersebut. Pihak lain
akan lebih tidak mungkin mengambil atau menguasainya tanpa alas hak yang
sah.
Tanah-tanah yang sudah dimiliki seseorang bahkan meskipun sudah
terdaftar atau bersertipikat jika dengan sengaja tidak dipergunakan menurut
sifat dan tujuan pemberian haknya maka akan jatuh menjadi tanah terlantar.
Adapun pengertian dari “tanah terlantar” tersebut dapat dipedomani dengan
ketentuan sebagai berikut:50
1.) Tanah diterlantarkan adalah tanah yang dengan sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan dari pada
haknya (penjelasan Pasal 27 UUPA).
2.) Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas
tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh
dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak dasar atas
tanah sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku
(Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998).
3.) Tanah milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai dapat
dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja
tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya
atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik (Pasal 3
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998).
Akibat hukum yang timbul jika tanah diterlantarkan, hak si pemilik atas
tanah tersebut akan hapus. Sebagai contoh, bahwa hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai akan hapus jika diterlantarkan
(Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA dan Pasal 55 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996).
d. Berdiam di atas tanahnya
Walaupun tanah yang dimiliki seseorang itu tidak dipergunakan secara
cegah yang tinggi. Karena setiap saat ada pantauan terhadap usaha-usaha
pihak lain yang ingin menguasai dan mendudukinya secara tidak sah.
Jika dilihat dari kacamata hukum dalam praktek, keberadaan seseorang di
atas tanahnya sekalipun tidak didukung oleh bukti hak yang benar akan lebih
beruntung daripada orang yang berhak atas tanah itu secara hukum tetapi
tanahnya tersebut dikuasai oleh orang lain. Artinya orang lain yang tidak
berhak secara hukum yang menguasai dan berdiam di atasnya akan
memperoleh keuntungan.
e. Pendaftaran Tanahnya
Dengan hak apapun suatu bidang tanah dikuasai, tanah yang bersangkutan
tersebut adalah sebagian dari tanah bersama Bangsa Indonesia. Maka
penetapan peruntukan dan penggunaannya misalnya selain berpedoman pada
kepentingan pribadi pemegang haknya, wajib juga memperhatikan
kepentingan bersama. Kepentingan bersama tersebut antara lain diwujudkan
dan dituangkan dalam Rencana Tata Ruang atau Rencana Tata Guna Tanah
Wilayah yang bersangkutan, yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.51
Dalam tataran Peraturan Perundang-undangan, objektif pendaftaran tanah
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA semakin disempurnakan
posisinya untuk memberikan jaminan yuridis dalam hal kepastian akan
haknya dan kepastian pemegang haknya, termasuk jaminan teknis dalam arti
51M.J Pello dkk, Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan, (Mahkamah
kepastian batas-batas fisik bidang tanah, kepastian luas dan kepastian letaknya
serta bangunan yang ada diatas tanah tersebut.52
Pasal 19 UUPA telah menetapkan ketentuan mengenai pendaftaran tanah
yaitu sebagai berikut:53
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah;
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi: a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria;
4. Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang berkaitan dengan pendaftaran tanah termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Implementasi dari Pasal 19 UUPA diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 yaitu pendaftaran tanah dengan sistem Rechts-Cadaster, bukan Fiscale-Cadasterjadi tujuan pokoknya adalah adanya kepastian hukum.54
Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
adalah:55
“Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis,
52Muhammad Yamin Lubis,dan Abdul Rahim Lubis,Op. Cit, hlm. 105.
53A.P. Parlindungan, Pendaftaran dan Konvensi Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA,
(Bandung: Alumni, 1985), hal. 1.
54Affan Mukti,Loc. Cit.
55Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”
Dengan diterbitkannya ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 merupakan upaya
untuk mencapai kesempurnaan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia.
Jika dikaitkan dengan tujuan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut
menurut A.P Parlindungan telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, karena:56
1. Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
2. Dengan informasi pertanahan yang tersedia di Kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan Negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya.
3. Dengan Administrasi Pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, lembaga pendaftaran tidak semata-mata
mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga
menciptakan hak kebendaan. Hak kebendaan atas suatu benda (tanah) terjadi pada
saat pendaftaran dilakukan. Tanpa sifat kebendaan hak atas tanah belum mempunyai
kaitan dengan milik. Dalam arti selama pendaftaran belum dilakukan, hak hanya
mempunyai arti terhadap para pihak pribadi, dan umum belum mengetahui perubahan
status hukum dari benda. Pengakuan masyarakat baru terjadi pada saat hak milik atas
benda tersebut didaftarkan. Dengan pendaftaran lahirlah pengakuan umum atas
hubungan hak dengan benda.57
Menurut beberapa ahli Agraria menyebutkan bahwa sistem pendaftaran tanah
yang berlaku di Indonesia adalah sistem Torrens, yang diidentifikasikan dari:58
1. Orang yang berhak atas tanah harus memohon dilakukannya pendaftaran
tanah itu agar Negara dapat memberikan bukti hak atas permohonan
pendaftaran yang diajukan.
2. Dilakukan penelitian atas alas hak dan objek bidang tanah yang diajukan
permohonan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang bersifat sporadis.
Pendaftaran tanah secara sistematis merupakan kegiatan pendaftaran tanah
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah atau bagian wilayah
suatu desa/kelurahan, dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut didasarkan pada
suatu rencana kerja dan dilaksanakan disuatu wilayah dengan inisiatif pelaksanaan
berasal dari Pemerintah.59
Pendaftaran ini pelaksanaannya didasarkan pada suatu rencana kerja dan
dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara/Kepala Badan
Pertanahan Nasional, dalam hal ini bisa dilihat pada PRONA (Program Operasi
Nasional Agraria) dan Pendaftaran Tanah melalui Proyek Ajudikasi. Pendaftaran
tanah secara sistematik akan memuat daftar isian yang mencantumkan peta bidang
57Mariam Darus Badrulzaman,Op. Cit, hal. 37.
atau bidang-bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil pengukuran, yang
diumumkan selama 30 (tiga puluh ) hari yang dilakukan di Kantor Desa atau
Kelurahan dimana tanah itu terletak, hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan
pada pihak yang berkepentingan mengajukan keberatan terhadap penerbitan sertifikat.
Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik merupakan kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali mengenai satu beberapa obyek pendaftaran tanah dalam
wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal,
dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut hanya satu bidang tanah yang dilakukan
atas permintaan pihak yang berkepentingan.60
Pendaftaran tanah secara sporadik ini pelaksanaannya dapat dilakukan atas
permintaan pemegang atau penerima hak yang bersangkutan secara individu atau
massal. Pendaftaran tanah secara sporadik diumumkan selama 60 (enam puluh) hari
dan pengumuman bisa dilakukan di Kantor Pertanahan atau Kantor Desa atau
Kelurahan dimana tanah itu terletak dan juga bisa melalui media masa. Pendaftaran
tanah secara sporadik juga akan ditingkatkan pelaksanaannya, karena dalam
kenyataannya akan bertambah banyak permintaan untuk mendaftar secara individu
dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan yang akan makin
meningkat kegiatannya.
Asas pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
adalah sebagai berikut:61
60Ibid, hal. 139.
1. Asas Aman
Yaitu untuk menunjuk bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara
teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian
hukum sesuai dengan tujuan dari pendaftaran tanah tersebut.
2. Asas Sederhana
Yaitu dimana dalam pendaftaran tanah tersebut ketentuan pokoknya maupun
prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan terutama kepada pemegang hak atas tanah.
3. Asas Terjangkau
Yaitu dimana pendaftaran tanah tersebut harus memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan golongan ekonomi lemah dengan memberikan pelayanan yang
terjangkau oleh pihak yang memerlukan.
4. Asas Mutakhir
Yaitu dimana dalam pendaftaran tanah tersebut merupakan suatu kelengkapan
memadai di dalam pelaksanaan dan kesinambungan di dalam pemeliharaan
data, untuk itu perlu diikuti dengan kewajiban mendaftarkan dan pencatatan
perubahan yang terjadi dikemudian hari.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah menyebutkan bahwa tujuan dari pendaftaran tanah yaitu:62
62
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Objek pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendafataran Tanah
sebagai berikut:
1. Objek Pendafataran Tanah meliputi:
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
b. Tanah hak pengelolaan.
c. Tanah wakaf.
d. Hak milik atas satuan rumah susun.
e. Hak tanggungan.
f. Tanah negara.
2. Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah
dilakukan dengan cara membukukan sebidang tanah yang
merupakan tanah negara dalam daftar tanah.
2. Tindakan Penanggulangan (Represif)
a. Prosedur Hukum
Bila tanah hak seseorang akan diambil pihak lain melalui prosedur hukum
maka yang bersangkutan dapat menghadapinya sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
1) Secara konvensional
Pengambilan tanah secara konvensional maksudnya dengan cara yang
biasa seperti melalui jual-beli, tukar-menukar, dan lain-lan tentu diawali
dengan pertemuan untuk tercapainya suatu kesepakatan, tanpa adanya
kesepakatan tentu tidak akan bisa terjadi pengalihan hak yang dimaksud.63
Ada ketentuan khusus untuk jenis tanah terdaftar dan belum terdaftar
yaitu jika tanahnya belum terdaftar/bersertipikat maka dapat dilakukan
sekaligus pengalihan dan pendaftaran tanahnya dalam kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali. Tentu untuk masalah biaya akan memerlukan biaya
yang besar. Sedangkan jika tanahnya sudah terdaftar/bersertipikat Cuma
memerlukan pendaftaran pengalihan/penyerahan haknya saja. Sertipikat tetap
(tidak dibuat yang baru) namun didalamnya dicatat bahwa pemegang hak
sudah beralih kepada pihak lain.
2) Melalui Lembaga Pengadaan
Pengambilan tanah melalui lembaga pengadaan tanah tentu diawali
dengan musyawarah. Dalam musyawarah tentu dengan bantuan Panitia
Pengadaan Tanah dengan beberapa hal yang harus diperhatikan untuk
disepakati secara bersama yaitu:64
a. Tata cara pelaksaan musyawarah;
b. Siapa-siapa peserta musyawarah, apakah seluruh pemilik tanah jika
jumlahnya lebih dari 1 (satu) orang atau cukup dengan perwakilan saja;
c. Besar dan bentuk ganti kerugian yang dibayarkan kepada pemilik/yang
menguasai tanah;
d. Waktu penyerahan ganti kerugian;
e. Hal-hal lain yang dianggap penting.
Atas dasar kesepakatan itulah yang dapat mengakibatkan terjadinya
pengalihan dan pelepasan hak atas tanahnya. Namun jika tidak tercapai
kesepakatan maka dapat ditempuh dengan permohonan pencabutan hak
atas tanah tersebut.
3) Melalui Lembaga Pencabutan Hak
Pengambilan tanah melalui lembaga pencabutan hak atas tanah harus
memenuhi syarat-syarat yang utama yaitu sebagai berikut:65
a. Harus dan hanya untuk kepentingan umum;
64
Ibid.
b. Harus diberi ganti kerugian yang layak;
c. Harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku (sekarang
Undang-Undang No. 20 Tahun 1961) dan peraturan pelaksanaannya.
Pencabutan hak atas tanah tersebut dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:
a. Pencabutan hak atas tanah secara biasa
Yaitu harus sudah melalui musyawarah berkali-kali antara pihak
yang memerlukan tanah dan pemilik/yang menguasai tanah tersebut
dan telah pasti bahwa tidak akan mungkin lagi diperoleh tanah
tersebut atas persetujuan si pemilik/yang menguasainya. Atas dasar
itulah oleh pihak yang memerlukan tanah mengajukan permohonan
pencabutan hak kepada Presiden. Setelah keputusan Presiden keluar
yaitu penetapan bahwa tanah tersebut dicabut haknya dan surat
keputusan tersebut sudah sampai ke tangan si pemilik tanah dan
pihak yang memohon pencabutan hak itu maka segeralah disusul
dengan pembayaran ganti kerugian si pemilik tanah, baru kemudian
tanah tersebut dapat diambil, dikuasai dan dipergunakan oleh si
pemohon pencabutan hak itu.
b. Pencabutan hak atas tanah secara mendesak
Yaitu harus dilatarbelakangi adanya hal-hal yang sangat mendesak
dan memerlukan tanah tersebut harus diambil dan digunakan segera,
seperti karena adanya bencana alam, perang, wabah penyakit dan
pada pencabutan hak secara biasa, tentu tidak perlu dan mesti
berkali-kali. Dalam hal ini jika Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah
menerima permohonan yang ditujukan kepadanya secara langsung
melalui Kakanwil BPN Provinsi (melampaui instansi dibawahnya)
telah menyetujui pengambilan tanah yang dimohon itu maka pihak
lebih dahulu menunggu terbitnya keputusan pencabutan hak oleh
Presiden dan pembayaran ganti kerugiannya kepada si pemilik.
Jauh sebelum UUPA berlaku pada tanggal 24 September 1960, sudah banyak
peraturan hukum yang dijadikan alat untuk menyelesaikan sengketa pertanahan.
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebutlah yang dipandang sebagai
perwujudan upaya mempertahankan hak-hak si pemilik tanah melalui lembaga
pengadilan dan/atau lembaga lain yang ditentukan oleh Pemerintah.
Peraturan Perundang-undangan yang pernah dilaksanakan sebelum UUPA
berlaku adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Darurat No. 8 Tahun 1954
Undang-undang ini berkaitan dengan penyelesaian soal pemakaian tanah
perkebunan oleh rakyat yang menegaskan bahwa barang siapa
melanggar/merintangi ketentuan dalam surat keputusan bersama antara
Menteri Agraria, Menteri Pertanian, Menteri Perekonomian, Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Kehakiman yaitu pemakaian tanah perkebunan dimaksud
tersebut dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500,-66
Dan menurut Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1956, jika rakyat
menyerahkan tanah yang dipakainya tanpa izin tersebut kepada orang lain
(selain kepada negara atau pengusaha yang bersangkutan) sebelum berlakunya
undang-undang darurat itu maka hapuslah haknya mendapatkan penyelesaian
soal pemakaian tanah tersebut.
Namun kedua undang-undang darurat tersebut sudah dicabut setelah
berlakunya Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1951 tentang larangan
pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya.67
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1956
Sementara undang-undang N. 28 Tahun 1956 tentang pengawasan terhadap
pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan dijelaskan bahwa telah diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1957 tentang
penjelasan undang-undang No. 28 Tahun 1956 dan undang-undang No. 29
Tahun 1956 yang menegaskan bahwa bagi pemohon yang tidak memberi
keterangan yang benar sesuai dengan persyaratan dan pemegang hak atau
pengurus tanah perkebunan yang tidak memenuhi kewajiban akan dipidana.68
3. Peperpu No. 11 Tahun 1958
66
Tampil Anshari Siregar,Op.Cit, hal. 134.
67
Lihat, Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1951tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya.
68
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peperpu) ini berkaitan
dengan larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau kuasanya
menegaskan bahwa:69
a. Barangsiapa setelah berlakunya Peperpu No. 11 Tahun 1958 tersebut
memakai tanah tanpa izin pemilik atau kuasanya yang sah sedang
sebelumnya ia tidak memakai tanah itu, dan/atau,
b. Barangsiapa mengganggu pemilik atau kuasanya yang sah di dalam
menggunakan haknya atas sebidang tanah dan/atau,
c. Barangsiapa menyuruh, mengajak atau menganjurkan dengan lisan atau
tulisan untuk melaksanakan perbuatan yang dimaksud dan/atau,
d. Barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan
perbuatan di atas dan/atau
e. Barangsiapa menyampaikan laporan yang tidak benar mengenai hal-hal
tersebut di atas, di ancam dengan hukuman pidana.
Adapun upaya hukum yang semestinya dilakukan pemilik atau yang
menguasai sebidang tanah apabila tanahnya telah diambil dan dikuasai oleh pihak lain
adalah sebagai berikut:
1. Musyawarah
Melakukan pertemuan dengan pihak yang mengambil/menguasai tanah
dimaksud dengan tujuan untuk menyadarkan pihak dimaksud bahwa tindakan
69
itu telah melanggar hukum dan harus mengembalikan/menyerahkan tanah
tersebut kepada pemiliknya kembali.
Berkaitan dengan hal tersebut jika seandainya pihak yang
mengambil/menguasai tanah yang bukan miliknya itu menuntut sejumlah
ganti kerugian dengan alasan baik yang dapat diterima akal ataupun tidak,
jangan si pemilik mendasarkan semata-mata karna faktor ketidakabsahannya
pengambilan/penguasaan tanah tersebut. Akan tetapi arif jika dihitung apakah
lebih untung atau tidak, jika dipenuhi permintaannya ketimbang dimajukan
gugatan ke pengadilan, khususnya mengenai besar kecilnya dana yang harus
dikeluarkan. Karena akan lebih menguntungkan jika pengembalian tanah
dimaksud dengan cara demikian. Prosesnya lebih singkat dan tidak memakan
waktu yang panjang.
Kenyamanan pemilikpun kemudian di dalam penguasaan dan penggunaan
tanah tersebut akan lebih baik dari pada jika diperoleh kembali melalui
keputusan pengadilan.
2. Penuntutan
Jika upaya hukum dengan musyawarah ternyata tidak memberikan hasil,
pihak yang mengambill/menguasai tanah itu tidak mau
menyerahkan/mengembalikan kepada si pemilik maka haruslah dimajukan
tuntutan ke pengadilan. Jika ditempuh dengan cara lain, seperti menggunakan
kekuasaan, kekuatan atau kekerasan dan lain-lain sudah merupakan tindakan
Untuk mengajukan tuntutan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan
sendiri atau dengan memberi kuasa kepada pihak atau lembaga yang dapat
melakukannya sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Namun sebelum mengambil keputusan demikian, pelajari kembali
persoalannya secara cermat dan jernih agar jangan sampai terjadi pihak yang
menuntut adalah pemegang ujung pisau yang akan ditusukkannya kepada
pihak yang dituntut.70
Begitu pentingnya status dan kepemilikan hak atas suatu tanah, maka dari itu
pentingnya dilakukan pendaftaran tanah agar tanah tersebut dapat dikatakan jelas dan
sesuai dengan ketetapan pemerintah.
C. Analisis Atas Kepemilikan dan Penguasaan Tanah atau Rumah dalam Sengketa Tersebut
Akibat perkembangan kehidupan manusia yang satu sama lain tidak
mempunyai nasib yang sama dalam mengembangkan hidupnya, sudah barang tentu
tanah milik bersama dalam satu kawasan atau satu keluarga pun akan menjadi sasaran
untuk dikeluarkan bahagian-bahagian tertentu kepada individu anggota masyarakat
hukum adat yang bersangkutan kepemilikan bersamanya. Proses seperti ini bahkan
semakin lama semakin menjadi kegiatan manusia secara ilmiah dan tidak terelakkan
terjadi di atas tanah-tanah adat atau tanah milik keluarga sekalipun seperti yang
diteliti ini.71
70ibid, hal. 138.
Akhirnya milik bersama yang sifatnya publiekrechtelijke pun berkembang ke semakin terindividualisasi menjadi privat (hak milik adat). Milik bersama tersebut
tidak mungkin ditahan untuk menjadi benda/barang milik individu dan untuk
kemudian dapat dialihkan dan beralih dari kepemilikan bersama tersebut.72
Hubungan hukum antara orang dengan tanah bersifat universal, berawal dari
hubungan yang bersifat kolektif (tanah sebagai hak bersama) kemudian berkembang
menjadi hubungan yang bersifat individual. Hukum tanah bersumber pada hukum
adat.
Hukum Adat, khususnya hukum tanah adat sebagai hukum yang hidup dalam
masyarakat dalam berlakunya tergantung dari basis sosial yang mendukungnya yaitu
masyarakat itu sendiri. Namun demikian dalam berlakunya mendapat pengaruh dari
berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat termasuk pengaruh dari kekuatan
politik dimana sebagian diantaranya telah diformulasikan melalui berbagai ketentuan
perundang-undangan. Dengan demikian sekalipun sebenarnya berlakunya hukum
adat khususnya hukum tanah adat dalam masyarakat tidak tergantung pada ketentuan
perundangan sebagai hukum tidak tertulis tapi dalam pelaksanaannya tidak bisa
dilepaskan dari rumusan Pasal-Pasal perundangan yang mengatur persoalan tersebut.
Penguasaan atas tanah dalam masyarakat Minangkabau diatur dalam
ketentuan adat dalam bentuk peraturan yang tidak tertulis. Peraturan ini dipelihara
dan ditaati serta dilaksanakan oleh masyarakat secara turun temurun dengan baik,
sehingga apabila timbul sengketa mengenai masalah tanah, maka mereka juga akan
menyelesaikan dengan peraturan adat yang ada dalam masyarakat yang disebut juga
dengan hukum acara perdata adat. Ketentuan-ketentuan adat ini baik dalam
penguasaan tanah maupun dalam mempertahankan ataupun menyelesaikan sengketa
yang timbul sehubungan dengan tanah akan diselesaikan secara musyawarah dan
mufakat sebagai asas dalam pergaulan bermasyarakat bagi masyarakat Minangkabau.
Dalam mufakat ini masyarakat Minangkabau akan slalu mengikutsertakan dan
berpegang kepada unsur-unsur yang ada dan berkembang dakam kehidupan
masyarakat, serta yang mengatur masyarakat. Unsur-unsur ini lebih dikenal dengan
tali tigo sapilin(tali tiga sepilin) yaitu meliputi unsur-unsur agama, adat dan
undang-undang. Diatas ketiga unsur inilah dibangun Nagari dan diatur masyarakatnya
berdasarkan asas musyawarah dan mufakat.73
Terjadinya sengketa-sengketa harta pusaka tinggi yang pada akhirnya
bermuara ke pengadilan disebabkan karena rasa ketidakpuasan para pihak yang
bersengketa atas putusan pengadilan adat atau penguasa adat. Adalah ironi sekali
dimana sengketa harta pusaka tinggi pada waktu sebelumnya dapat diselesaikan
secara baik pada tingkat penyelesaian adat nagari tempat sengketa berawal, dengan
kata lain jarang sekali sengketa tersebut sampai pada tingkat pengadilan umum
seperti dalam kasus putusan Mahkamah Agung Nomor 2511K/PDT/1995 tanggal 09
September 1997 tersebut. Dimana yang menjadi objek sengketa adalah tanah pusaka
tinggi.
73 Firman Hasan Dkk, Dinamika Masyarakat Adat dan Minangkabau, (Padang: Pusat
Pasal 1 huruf (f) Keputusan Gubernur Sumatera Barat No. 36 Tahun 2003 menyatakan “ Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah propinsi Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu, mempunyai kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan memilih pimpinannya.”
Adapun fungsi dari Nagari tersebut adalah sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat antara lain sebagai berikut:74
1. Membantu Pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pembangunan disegala bidang, terutama dibidang kemasyarakatan dan budaya.
2. Mengurus urusan hukum adat dan adat istiadat dalam Nagari.
3. Memberi kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat Nagari guna kepentingan hubungan keperdataan adat juga dalam hal adanya sengketa atau perkara perdata adat. 4. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat
Minangkabau dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Minangkabau pada khususnya.
5. Menjaga, memelihara, dan memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan masyarakat Nagari.
Seperti yang telah diketahui bahwa harta pusaka tinggi adalah merupakan
harta menurut adat Minangkabau dapat dibagi sebagai berikut:75
1. Harta pusaka tinggi adalah harta pusaka yang diterima secara turun-temurun dalam suatu kaum yang bertalian darat menurut garis keturunan ibu.
2. Harta pusaka rendah adalah harta peninggalan bukan turun-temurun tetapi diperoleh dari harta pencaharian suami istri yang dipusakai oleh anak-anaknya, tidak dipusakai oleh kemenakannya.
Dalam harta pusaka tinggi sering terjadi perselisihan atau persengketaan
dalam suatu kaum yang mana harta pusaka tinggi tersebut dijual tanpa sepengetahuan
74Amir, MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Mutiara Sumber
widya, 2001), hal. 56.
75H. Idroes Hakimy Dt. R. Penghuloe, Sako Pusako dan Sangketo Menurut Adat
kaumnya. Sebab didalam adat Minangkabau harta pusaka tinggi merupakan martabat
dan harga diri suatu kaum, maka dari itu apabila terjadi penjualan harta tinggi sama
halnya menghilangkan salah satu dari daerah suatu kaum atau suku, akhirnya
mengurangi ulayat atau Nagari.76
Sebagaimana telah dijelaskan didalam latar belakang masalah bahwa sengketa
yang diteliti ini telah sebelumnya dilakukan suatu musyawarah pada tanggal 18
Pebruari 1993 jam 14:00 wib, dimana telah disepakati secara bersama bahwa tanah
yang menjadi sengketa tersebut adalah milik Haji Basyarudin yang diperolehnya
secara turun-temurun dari Marak. Dalam musyawarah tersebut juga sudah saling
sepakat bahwa pihak Ibrahimcstidak boleh menggarap atau mendirikan rumah diatas tanah tersebut tanpa sepengetahuan pihak Haji Basyarudin cssebagaimana terlampir dalam surat pernyataan/perdamaian bermaterai
Rp.1000,-Sebagaimana diketahui kebutuhan dasar manusia dalam menjalani kehidupan
yaitu dengan ketersediaan akan pangan, papan dan sandang. Sesuai dengan Pasal 25
Deklarasi Hak Asasi Manusia, yang berarti “terpenuhinya kebutuhan pangan,
pakaian, perumahan, perawatan medis dan pelayanan sesuai yang diperlukan”.77
Menurut Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 menyatakan “bahwa hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat. Yang artinya dalam kelangsungan hidupnya harus ada ketersediaan papan/perumahan berarti adanya bangunan rumah sebagai tempat tinggal bagi setiap orang dan keluarganya sebagai warga negara yang dibebani hak dan kewajiban oleh Negara”.78
76Ibid.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman yang disempurnakan dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa “rumah
adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni,
sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset
bagi pemiliknya”.
Sebenarnya pada prinsipnya rumah adalah tempat tinggal atau tempat hunian
untuk membina keluarga.79 Maka pemilikan rumah harus didukung oleh sarana dan
prasarana yang mendukung ketertiban, keamanan dan kenyamanan, tidak hanya
keamanan fisik tetapi dikaitkan dengan keamanan dalam penguasaan dan penggunaan
tanah dan rumah berupa pemberian jaminan kepastian hukum dalam pemilikan dan
pemanfaatan rumah tersebut.80
A.P Parlindungan dalam mengomentari terbitnya UU No. 4 Tahun 1992
dengan tegas menyatakan bahwa sangat disayangkan bahwa undang-undang ini tidak
terkait dengan UUPA maupun UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, sebab
seharusnya undang-undang ini dapat mengatur pembatasan luas tanah yang boleh
dimiliki seseorang dan banyaknya persil seperti yang diatur oleh Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972, yang menyebutkan untuk kepemilikan persil
keenam harus ada izin.81
79Affan Mukti,Op. Cit, hal. 110. 80
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis,Op. Cit, hal. 34.
81
Menurut Pasal 3 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman, menyatakan bahwa tujuan dari penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman adalah untuk:
a. Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
b. Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi
pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik dikawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan.
d. Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.
e. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan budaya,
f. Menjamin terwujudnya rumah layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Bentuk rumah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dibedakan berdasarkan hubungan atau
keterikatan antar bangunan, meliputi:82
a. Rumah tunggal yakni rumah yang mempunyai kavling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kavling.
b. Rumah deret adalah beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai kavling sendiri.
c. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan, secara fungsional, baik dalam arahan horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
Terkait dengan kepastian hukum pembangunan rumah dan perumahan, Pasal
43 ayat 1 UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman menentukan
bahwa pembangunan rumah tunggal, rumah deret dan rumah susun dapat dilakukan
di atas tanah:
a. Hak milik;
b. Hak gunan bangunan, baik diatas tanah Negara mapun diatas tanah
pengelolaan; atau
c. Hak pakai di atas tanah negara.
Pemberian status Hak Milik atas pemilikan rumah tempat tinggal tersebut
ditujukan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi
pemiliknya dalam rangka penguasaan dan penggunaan tanahnya agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan tersebut,
formalitas tersebut dilakukan dengan kegiatan pendaftaran tanah.
Melihat dari unsur rumah yang terdapat dalam kasus putusan Mahkamah
Agung No. 2511K/PDT/1995 tanggal 9 September 1997 tersebut sudahlah memenuhi
unsur-unsur dari adanya rumah yang terdapat di dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, di mana rumah tersebut layak huni
dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana,
terpadu, dan berkelanjutan.
Bangunan 3 (tiga) unit rumah yang ditempati oleh ibu Sutrijon dan adik-adik
Basyarudin. Status hak kepemilikan rumah yang dilakukan oleh Sutrijon cs adalah hak kepemilikan yang tidak sah dan merupakan perbuatan yang melawan hukum. Hal
tersebut dilihat dari Pasal 43 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman yang mengatur bahwa pembangunan untuk rumah tinggal, rumah deret
dan/atau rumah susun dapat dilakukan diatas tanah: a) Hak Milik; b) Hak Guna
Bangunan baik atas tanah negara maupun diatas tanah pengelolaan; dan c) Hak Pakai
di atas tanah Negara.
Secara jelas undang-undang ini menentukan bahwa jika disebut pemilikan
rumah, maka maksudnya adalah pemilikan rumah berikut hak atas tanahnya. Dengan
demikian jelas bahwa pemberian status hak atas tanah atas pemilikan rumah secara
hukum mencakup pemilikan rumah berikut tanahnya.83
Pemilikan dan penguasaan tanah atau rumah yang dilakukan oleh Sutrijon cs
(kemenakan dari Ibrahim cs) tersebut merupakan perbuatan yang melawan hukum sehingga pemilikannya juga tidak sah, dan seharusnya pihak Sutrijon cs dapat mengembalikan/menyerahkan tanah tersebut kepada pemiliknya kembali tanpa suatu
perlawanan atau tindakan anarkis.