• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement - Pengaruh Work-Family Conflict Terhadap Work Engagement Pada Pegawai Negeri Sipil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement - Pengaruh Work-Family Conflict Terhadap Work Engagement Pada Pegawai Negeri Sipil"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Work Engagement

Konsep engagement pertama kali dikemukakan oleh Kahn pada tahun 1990 yang berawal dari asumsi bahwa individu dapat melibatkan berbagai tingkat

energi fisik, kognitif dan emosi mereka pada performa peran yang melibatkan

pekerjaan dan pengalaman. Semakin sering individu melibatkan diri dalam peran,

maka akan semakin tinggi performa kerjanya. Beberapa tahun kemudian,

tepatnya pada tahun 2004 konsep engagement secara komersil didukung oleh Organisasi Gallup yang menyatakan bahwa work engagement dapat memprediksi peningkatan kinerja karyawan, keuntungan, mempertahankan karyawan,

kepuasan konsumen, serta keberhasilan organisasi (Kular, Gatenby, Ress, Soane,

& Truss, 2008).

1. Definisi Work Engagement

Kata “engaged” memiliki berbagai makna dan banyak peneliti yang memiliki pengertian berbeda mengenai engagement ini (Albrecht, 2010). Telah banyak studi yang dilakukan mengenai engagement, tetapi sampai saat ini belum ada definisi yang konsisten dan universal mengenai definisi dari engagement,

termasuk juga dalam hal pengoperasionalisasian dan pengukurannya yang masih

(2)

Oleh karena itu penggunaan istilah engagement yang dikemukakan oleh berbagai peneliti masih berbeda-beda, ada yang menyebut dengan istilah employee engagement seperti Saks (2006) dan istilah work engagement, seperti Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, & Bakker (2002).

Murnianita (2012) menyatakan bahwa istilah employee engagement

dengan work engagement seringkali digunakan bergantian, tetapi work engagement dianggap lebih spesifik. Work engagement mengacu pada hubungan antara karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan employee engagement terkait hubungan antara karyawan dengan organisasi (Schaufeli & Bakker, 2010).

Ketika individu sangat peduli dengan apa yang ia lakukan dan

berkomitmen untuk melakukan hal itu sebaik mungkin, ia akan merasa terdorong

untuk berbuat daripada hanya diam, inilah bagian dari engagement (Kahn,1990). Menurut Khan (1990) work engagement dalam pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan peran kerjanya, bekerja dan

mengekspresikan dirinya secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerja.

Pendapat lain mengenai work engagement adalah sikap positif yang dimiliki

oleh karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai yang berada di dalamnya.

Karyawan yang engaged menyadari konteks bisnis dan bekerja dengan rekan-rekan

sesama karyawan untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk kepentingan

organisasi (Robinson, Perryman & Hayday, 2004).

Lockwood (2007) memberi pengertian mengenai work engagement sebagai

keadaan dimana seseorang mampu berkomitmen dengan organisasi baik secara

(3)

work engagement sebagai penyataan dari individu secara emosional dan intelektual untuk komit terhadap organisasi, yang diukur melalui tiga perilaku

utama: 1) berbicara positif mengenai organisasi kepada rekan kerja dan pekerja

yang berpotensi serta kepada pelanggan, 2) memiliki gairah yang intens untuk

menjadi anggota organisasi, meski sebenarnya mendapat peluang kerja di tempat

lain, 3) menunjukkan usaha ekstra dan perilaku yang memiliki kontribusi

terhadap kesuksesan organisasi.

Schaufeli, Salanova, Gonzalez, dan Bakker (2002) mendefinisikan work engagement merupakan hal positif, yang terkait dengan keadaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorbsi atau penyerapan (Schaufeli et al., 2002). Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya

dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja dan

kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau

kegagalan. Dedikasi mengacu pada identifikasi yang kuat dengan pekerjaan

seseorang dan mencakup perasaanantusiasme, inspirasi, kebanggaan, dantantangan.

Dimensi terakhir dari work engagement adalah penyerapan atau absorbsi. Absorpsi

ditandai dimana seseorang menjadibenar-benar tenggelam dalam pekerjaan, dengan

waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas,

dapat ditarik kesimpulan bahwa work engagement merupakan hal positif yang terkait dengan bentuk ekspresi fisik, kognitif, dan emosi karyawan terhadap

pekerjaan dan organisasi yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan absorpsi

(4)

2. Perbedaan Work Engagement dengan Konsep Lain

Banyak definisi berbeda mengenai work engagement dan konsep dari

work engagement tersebut seringkali tumpang tindih dengan definisi konstruk lain. Oleh karena banyak riset yang memberikan istilah work engagement sebagai “old wine in new bottles” atau “same lady in new dress” (Macey & Schneider, 2008; Newman & Harrison, 2008; Albrecht, 2010). Oleh karena itu, konsep ini

perlu dibedakan dengan konstruk-konstruk lain yang berhubungan dengan

masalah organisasi.

Work engagement dapat dikatakan berkaitan dengan konstruk lainnya dalam perilaku organisasi seperti konstruk komitment organisasi (organizational commitment) dan keterlibatan kerja (job involvement). Robinson, Perryman, dan Hayday (2004) menjelaskan bahwa engagement terdiri dari banyak elemen didalamnya termasuk elemen komitmen organisasi serta organizational citizenship behavior (OCB), tetapi ketiganya tetap berbeda, sebab tidak ada satupun elemen dari organizational citizenship behavior dan komitmen organisasi yang dapat menjelaskan aspek engagement yang ada (Robinson, Perryman, & Hayday, 2004).

Work engagement berbeda dengan komitmen organisasi. Komitmen organisasi berkaitan dengan sikap seseorang dan kesekatan dengan organisasi

(5)

menjalankan peran mereka dilingkungan pekerjaan. Organizational citizenship behavior berkaitan dengan perilaku informal dan sukarela yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan fokus dari engagement adalah peran keterlibatan karyawan (job involvement) (Robinson, Perryman, & Hayday 2004).

Menurut May (2004) engagement dihubungkan dengan job involvement.

Job involvement didefinisikan sebagai suatu situasi pekerjaan yang menjadi pusat identitas dari karyawan dan keadaan psikologis yang terdiri dari kognitif atau

belief. Hal ini berbeda dengan engagement yang lebih fokus pada bagaimana individu bekerja dan lebih aktif menggunakan emosi. Kesimpulannya

engagement adalah faktor penyebab dari job involvement.

3. Dimensi Work Engagement

Dimensi atau aspek-aspek dari work engagement terdiri dari tiga (Schaufeli, et al., 2002), yaitu:

a. Vigor

Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja,

keberanian untuk berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu

pekerjaan, dan tekun dalam menghadapi kesulitan kerja. Juga

kemauan untuk menginvestasikan segala upaya dalam suatu

pekerjaan, dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan. Vigor

(6)

dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat

bekerja, dan kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi

tugas kesulitan atau kegagalan.

b. Dedication

Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa

kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi, dan tantangan.

Dedikasi mengacu pada identifikasi yang kuat dengan pekerjaan

seseorang dan mencakup perasaan antusiasme, inspirasi, kebanggaan,

dan tantangan.

c. Absorption

Dikarakteristikan denga konsentrasi penuh, minat yang mendalam

terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit

melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi

pada absorption biasanya merasa tertarik dengan pekerjaanya, tenggelam dalam pekerjaannya, dan sulit untuk melepaskan diri dari

pekerjaannya. Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu

begitu cepat. Sedangkan individu dengan skor rendah pada absorption

tidak tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak

punya kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa

akan sekeliling danwaktu (Schaufeli & Bakker, 2003). Absorpsi

ditandai dimana seseorang menjadi benar-benar tenggelam dalam

pekerjaan dengan waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk

(7)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Work Engagement

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement yang akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan organisasi. secara umum McBain (2007)

menjelaskan bahwa ada tiga kluster utama yang menjadi penggerak work engagement, yaitu:

a. Organisasi

Faktor organisasi yang dapat menjadi penggerak work engagement

adalah budaya organisasi, visi dan nilai yang dianut, brand organisasi. b. Manajemen dan kepemimpinan

Engagement dibangun melalui proses, butuh waktu yang panjang serta komitmen yang tinggi dari pemimpin, untuk itu dibutuhkan

kekonsistenan pemimpin dalam memonitoring karyawan. Dalam

menciptakan work engagement, pimpinan organisasi diharapkan memiliki beberapa keterampilan. Beberapa diantaranya adalah teknik

berkomunikasi, teknik memberikan feedback, dan teknik penilaian kinerja.

c. Kondisi lingkungan pekerjaan

Kenyamanan kondisi lingkungan kerja menjadi pemicu terciptanya

work engagement.

Selain itu Vazirani (2007) juga mengemukakan beberapa hal yang

berhubungan dengan work engagement yaitu:

(8)

tingkat keterlibatan karyawan akan tinggi jika bos mereka

memberikan kesempatan yang sama bagi pertumbuhan dan kemajuan

bagi semua karyawan

b. Performance appraisal

Evaluasi yang adil dari seorang karyawan adalah kriteria penting

untuk menentukan tingkat engagement pegawai. Organisasi yang mengikuti teknik penilaian kinerja yang sesuai akan memiliki tingkat

engagement yang tinggi. c. Pay and Benefits

Organisasi harus memiliki sistem pembayaran yang tepat sehingga

pegawai termotivasi untuk bekerja dalam organisasi. Untuk

meningkatkan level engagement pegawai, organisasi juga harus memberikan dengan manfaat dan kompensasi tertentu.

d. Health and Safety

Penelitian menunjukkan bahwa tingkat engagement rendah jika karyawan tidak merasa aman saat bekerja. Untuk itu setiap organisasi

harus mengadopsi metode dan sistem yang tepat untuk kesehatan dan

keselamatan pegawai mereka.

e. Job Satisfaction

Hanya pegawai yang puas yang bisa menjadi karyawan yang engaged. Oleh karena itu sangat penting bagi suatu organisasi untuk

(9)

dengan tujuan karirnya yang akan membuat dia menikmati pekerjaan

dan pada akhirnya akan puas dengan pekerjaannya

f. Communication

Organisasi harus mengikuti kebijakan pintu terbuka. Komunikasi

dengan menggunakan saluran komunikasi telah sesuai dalam

organisasi baik komunikasi keatas dan komunikasi kebawah. Jika

pegawai diberikan hak suara dalam pengambilan keputusan dan

memiliki hak untuk didengar oleh atasannya, maka level engagement

akan cenderung tinggi.

g. Family Friendliness

Kehidupan keluarga mempengaruhi kehidupan pekerjaannya. Ketika

seorang pegawai menyadari bahwa organisasi sedang

mempertimbangkan manfaat keluarganya, ia akan memiliki

keterikatan emosional dengan organisasi yang mengarah kepada

engagement

h. Co-operation

Jika seluruh organisasi bekerja sama dengan saling membantu; semua

pegawai serta pengawas, mengkoordinasikannya dengan baik, maka

pegawai akan memiliki engagement.

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi work engagement di atas,

family friendliness adalah salah satu faktor yang berkaitan dengan keluarga. Kehidupan keluarga akan mempengaruhi kehidupan pekerjaan, jadi apabila

(10)

yang mengindikasikan bahwa work family conflict merupakan faktor yang mempengaruhi work engagement.

B. Work- Family Conflict

1. Definisi Work-Family Conflict

Work-family conflict (WFC) adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran di dalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang

panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya

work-family conflict, dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan

untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2000; Greenhaus & Beutell,

1985).

Frone (1992) mengatakan kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan

menyebabkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain (keluarga),

harapan orang lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat

menimbulkan konflik. Konflik terjadi apabila harapan peran mengakibatkan

seseorang sulit membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran

karena hadirnya peran yang lain.

(11)

dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasanya terjadi pada saat

seseorang berusaha memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut

dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutan

keluarganya, atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga

dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan

pekerjaannya. Tuntutan pekerjaan berhubungan dengan tekanan yang berasal dari

beban kerja yang berlebihan dan waktu, seperti; pekerjaan yang harus

diselesaikan terburu-buru dan deadline. Sedangkan tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang dibutuhkan untuk menangani tugas-tugas rumah

tangga dan anak. Tuntutan keluarga ini ditentukan oleh besarnya keluarga,

komposisi keluarga dan jumlah anggota keluarga yang memiliki ketergantungan

terhadap anggota yang lain (Yang, Chen, Choi, & Zou, 2000).

Frone, Russell & Cooper (1992) mendefinisikan work-family conflict

sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana disatu sisi ia harus

melakukan pekerjaan di kantor dan disisi lain harus memperhatikan keluarga

secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga

dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya

sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan

sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya keluarga

mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan

(12)

tanggung jawabnya di tempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu,

menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur.

Selanjutnya Greenhaus & Parasuraman (1986) mengemukakan bahwa

work-family conflict terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun yang

berasal dari pekerjaannya.

Greenhauss dan Beutell (1985) mendefinisikan work-family conflict

sebagai suatu bentuk konflik peran dalam diri seseorang yang muncul karena

adanya tekanan peran dari pekerjaan yang bertentangan dengan tekanan peran

dari keluarga. Work-family conflict bisa terjadi akibat lamanya jam kerja dari individu, sehingga waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Individu harus

menjalankan dua peran pada saat yang bersamaan, yakni dalam pekerjaan dan

dalam keluarga, sehingga faktor emosi dalam satu wilayah menganggu wilayah

lainnya (Greenhaus & Beutell, 1985).

Definisi lain juga diungkapkan Simon dan Hansselhorn (2004)

menyatakan bahwa work-family conflict muncul karena adanya beberapa faktor yaitu, adanya tuntutan dari pekerjaan dan keluarga, kesulitan membagi waktu

antara pekerjaan dan keluarga, dan adanya tekanan dari pekerjaan yang membuat

seseorang sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan kewajiban pekerjaan

yang seringkali merubah rencana bersama keluarga.

(13)

tuntutan dari pekerjaan bertentangan atau tidak sesuai dengan tuntutan dari

keluarga.

Dari definisi yang diungkapkan diatas dapat disimpulkan bahwa work family conflict adalah konflik yang terjadi karena ketidakmampuan menyeimbangkan tuntutan keluarga dan pekerjaan.

2. Dimensi Work-family Conflict

Work-family conflict (WFC) terdiri dari dua aspek yaitu work interfering with family (WIF) dan family interfering with work (FIW) (Frone & Cooper, 1992; Greenhaus & Beutell, 1985). Adapun asumsi dari work interfering with family lebih dikarenakan akibat tuntutan waktu yang terlalu berlebihan atau time-based conflict dalam satu hal (contoh: saat bekerja) akan mencegah pelaksanaan kegiatan dalam hal lain (contoh: di rumah), yang terjadi pada akhirnya adalah

ketegangan dan tekanan atau strain-based conflict pada satu hal ditumpahkan pada hal lain, seperti: pulang kerumah dengan suasana hati yang buruk (bad mood) setelah bekerja. Sementara family interfering with work lebih kepada pola perilaku yang berhubungan dengan kedua peran atau bagian (pekerjaan atau

keluarga) behavior-based conflict (Frone & Cooper, 1992). Work interfering with family dan family interfering with work dapat dilihat dari tiga hal yaitu, tanggung jawab dan harapan, tuntutan psikologis, serta kebijakan dan kegiatan organisasi

(14)

Greenhaus dan Beutell (1985) mengidentifikasikan tiga dimensi dari

work-family conflict yaitu:

a. Time-based conflict

Time-based conflict terjadi ketika waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas pada suatu peran tidak dapat dicurahkan juga untuk

melakukan aktivitas pada suatu peran yang lain. Konflik yang disebabkan

waktu ini dapat terdiri dari dua bentuk yaitu: (1) tuntutan waktu yang

diasosiasikan dengan keanggotaan individu pada suatu peran sehingga

tidak mungkin secara fisik memenuhi tuntutan yang muncul dari peran

lain; (2) tuntutan juga menimbulkan keterkungkungan dalam suatu peran,

meskipun individu telah berusaha untuk memenuhi tuntutan dari peran

yang lain.

b. Strain- based conflict

Strain-based conflict ini muncul ketika ketegangan yang timbul dari suatu peran mengganggu individu dalam memenuhi perannya yang lain. Hal

yang senada diungkapkan oleh Schabracq, Winnubst, dan Cooper (2003)

bahwa strain-based conflict ini merujuk pada ketegangan (misalnya

tension, kecemasan, kelelahan, depresi, mudah marah) yang timbul dari partisipasi individu dalam satu peran menyebabkan individu sulit

memenuhi tuntutan dari perannya yang lain. Misalnya kelelahan yang

muncul dari pekerjaan membuat seseorang tidak dapat lagi melakukan

aktivitas bersama anggota keluarga di rumah karena sudah kehabisan

(15)

yang berasal dari pekerjaan dapat memunculkan gejala-gejala ketegangan

yang menyebabkan individu sulit memenuhi tugas-tugas dalam keluarga

secara optimal yang kemudian akan menyebabkan interaksi individu

dengan anggota keluarga lainnya menjadi buruk akibat individu

mengalami emosi yang negatif.

c. Behavior-based conflict

Behavior-based conflict ini berkenaan dengan pola tingkah laku spesifik dalam suatu peran yang bertentangan dengan harapan akan tingkah laku

pada peran lain. Misalnya saja, seorang manajer laki-laki diharapkan

menekankan kestabilan emosi, percaya diri, keagresifan, dan obyektivitas.

Dilain pihak, keluarga mengharapkannya sebagai seorang yang hangat,

emosional, dan mengasuh dalam berinteraksi di keluarga. Dapat dikatakan

bahwa individu mengalami konflik ini ketika ia kesulitan memenuhi

harapan-harapan yang ada dalam tiap peran yang dijalaninya.

C. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Definisi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1999

tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia No.8 tahun 1974

tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ; Bab 1, Pasal 1, Pegawai Negeri adalah

setipa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat yang ditentukan,

(16)

negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Bab II, pasal 2, dinyatakan bahwa:

1. Pegawai negeri terdiri dari:

a. Pegawai negeri sipil;

b. Anggota tentara Nasional Indonesia;

c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a

terdiri dari: a. Pegawai Negeri Sipil Pusat; dan b. Pegawai Negeri Sipil

Daerah.

Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang

bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional,

jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan,

dan pembangunan (Bab II, Pasal 3).

Berdasarkan uraian diatas, Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga

negara Republik indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,

diangkat oleh pejabat yang berwewenang dan diserahi tugas dalam suatu

jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, digaji berdasarkan

peraturan perundang-ungana yang berlaku, bukan mrupakan Anggota Tentara

Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, baik

yang memiliki jabatan struktural/ fungsional maupun yang tidak, yang

(17)

D. Pengaruh Work Family Conflict terhadap Work Engagement pada Pegawai Negeri Sipil

Organisasi yang modern membutuhkan karyawan yang proaktif, berinisiatif

tinggi, bertanggung jawab pada pengembangan dirinya dan berkomitmen pada

standar pekerjaan yang berkualitas baik. Selain itu, organisasi juga membutuhkan

karyawan yang selalu semangat dan berdedikasi tinggi, atau disebut sebagai

karyawan yang engaged dengan pekerjaannya (Bakker & Bal, 2010).

Work engagement memiliki berbagai dampak positif terhadap produktivitas kerja (Castellano, 2008) dan berpengaruh terhadap keuntungan organisasi,

kepuasan dan kesetiaan pelanggan, retensi atau turnover karyawan serta keamanan (Vance, 2006). Work engagement juga berkorelasi positif dengan komitmen terhadap organisasi dan organizational citizenship behavior (Saks, 2006). Mereka yang memiliki engagement yang tinggi akan bersedia bekerja keras untuk mencapai kesuksesan. Sebagai contoh, pegawai yang rela lembur

karena menganggap pekerjaannya sangat menantang, rela membawa pekerjaan ke

rumah karena merasa pekerjaannya sudah menjadi bagian dari hidupnya, atau

sekedar membantu rekan kerjanya yang membutuhkan tenaganya karena dengan

membantu rekan kerja tersebut maka akan berkontribusi pada keberhasilan

organisasi yang dibanggakannya (Castellano, 2008).

(18)

organisasi yang maksimal. Peningkatan tersebut dapat ditinjau dari faktor-faktor

yang mendorong tingkat work engagement (Saks, 2006).

Persaingan yang semakin ketat, menuntut organisasi untuk selalu mengetahui

komitmen dan loyalitas pegawainya. Tidak terkecuali hal ini terjadi dibidang

pemerintahan. Pegawai yang terlibat secara psikologis di dalam perannya sebagai

pekerja dan memiliki tingkat engagement yang tinggi, nantinya akan dapat memberikan kontribusi pada kesuksesan dan keberhasilan pada instansi

pemerintahan tempat ia bernaung (Budiyanto, 2001). Oleh karena itu, pemerintah

dituntut untuk lebih jeli melihat hal apa saja yang dibutuhkan oleh pegawainya,

sehingga dapat menjadi masukan dalam program pengelolaan Sumber Daya

Manusia yang pada akhirnya dapat meningkatkan engagement pada pegawai.

Banyak faktor yang mendorong terjadinya work engagement salah satunya adalah family friendliness (Vazirani, 2007). Vazirani (2007) mengungkapkan bahwa kehidupan keluarga dapat mempengaruhi pekerjaannya.

Ketika seorang pegawai menyadari bahwa organisasi memberikan manfaat bagi

keluarganya, pegawai akan terikat secara emosi yang nantinya akan mengarah

kepada engagement pegawai (Vazirani, 2007).

Selain itu penelitian yang dilakukan Razak, Yunus, Nasurdin (2011)

menemukan bahwa beban kerja yang terlalu berat juga berhubungan positif

dengan work-family conflict. Job demands dapat menjadi pemicu stres dalam situasi yang membutuhkan upaya yang tinggi untuk mempertahankan tingkat

(19)

kelelahan. Individu yang memiliki tuntutan pekerjaan yang melebihi batas

kemampuannya, seperti lembur, akan memunculkan kelelahan, ketegangan dan

emosi negatif (Ahmad, 2008). Individu yang menghabiskan waktunya sepanjang

hari untuk bekerja akan kehilangan motivasi untuk memenuhi tuntutan keluarga

(Aslam, Shumaila, Azhar & Sadaqat, 2011). Hal ini yang kemudian membuat

pemenuhan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga menjadi tidak seimbang.

Ketidakseimbangan tersebut memunculkan work-family conflict (Greenhaus & Beutell, 1985; Jimenez, Mayo, Vergel, Geurts, Munoz & Garrosa, 2008).

Greenhaus dan Beutell (1985) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi

work family conflict, yang pertama yaitu time-based conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang tersedia untuk memenuhi peran di pekerjaan

(keluarga) tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran di keluarga (pekerjaan)

dengan kata lain pada waktu yang sama seorang yang mengalami work family conflict tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Misalnya jam kerja yang panjang, waktu kerja yang tidak fleksibel dan lembur membuat

individu kekurangan waktu dalam memenuhi tuntutan keluarga secara maksimal

(Byron, 2005). Begitu juga sebaliknya, banyaknya waktu yang dihabiskan

individu untuk memenuhi tanggungjawab dalam keluarganya akan

mengakibatkan individu kekurangan waktu dalam memenuhi tuntutan

pekerjaannya secara maksimal. Hal ini tentu saja akan mengganggu level

engagement individu terhadap pekerjaannya, sehingga individu tidak dapat mengerahkan energinya untuk mengerjakan pekerjaan, tidak mampu berusaha

(20)

(Schaufeli et,.al, 2002). Sehingga time based conflict yang terjadi pada individu akan mempengaruhi level engagement terutama berkaitan dengan dimensi vigor.

Dimensi yang kedua yaitu, strain based conflict, merupakan ketegangan yang disebabkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi

tuntutan perannya yang lain. Misalnya, individu yang seharian bekerja akan

merasakan kelelahan dan menyebabkannya kesulitan dalam melakukan pekerjaan

di rumah. Begitu juga sebaliknya, individu yang disibukkan dengan urusan

keluarga akan merasakan kelelahan yang nantinya akan menyebabkan kesulitan

dalam melakukan kewajiban dalam pekerjaan. Strain based conflict ini bisa memicu tekanan darah meningkat, kecemasan, kelelahan, cepat marah dan

depresi yang menyebabkan individu sulit memenuhi tugas-tugas dalam

pekerjaannya secara optimal yang nantinya menyebabkan interaksi individu

dengan rekan kerja akan menjadi buruk dikarenakan individu mengalami emosi

negatif (Thomas & Ganster, 1995). Hal ini tentu saja akan mengganggu level

engagement pegawai terhadap pekerjaannya. Individu yang mengalami kelelahan akan sulit berkosentrasi terhadap pekerjaannya, tidak tertarik dan mudah untuk

melepaskan diri dari pekerjaanya (Schaufeli & Bakker, 2003). Sehingga strain based conflict yang terjadi pada individu akan menurunkan level engagement terutama yang berkaitan dengan dimensi absorbtion.

Dimensi work family conflict lainnya yaitu behavior-based conflict,

merupakan konflik yang muncul ketika pola dari suatu perilaku pada peran yang

(21)

Sebagai contoh seorang manajer pria saat bekerja diharapkan memiliki

kepercayaan diri, emosi yang stabil, agresif, dan objektif, sedangkan ketika

berada di rumah mungkin diharapkan menjadi orang yang hangat, melindungi,

dan emosional. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap level engagement

individu. Ketika individu dituntut sebagai seorang yang memiliki kepercayaan

diri, emosi yang stabil, agresif, dan objektif dalam pekerjaannya bertolak

belakang dengan apa yang diharapkan ketika ia berada di rumah tentu saja akan

menyebabkan ketidakseimbangan peran yang nantinya akan mempengaruhi

engagement individu tersebut. Hal ini dapat diartikan ketika individu tidak dapat menyeimbangkan perannya, individu sulit untuk terlibat dalam pekerjaannya.

Sehingga behaviour based conflict yang terjadi pada individu akan menurunkan level engagement terutama yang berkaitan dengan dimensi dedication.

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa work-family conflict

berpengaruh terhadap work engagement, oleh karena itu peneliti tertarik untuk membuktikan secara empiris mengenai pengaruh work-family conflict terhadap

work engagement.

5. HIPOTESIS

1. Hipotesis Mayor :

(22)

2. Hipotesis Minor

a. Ada pengaruh negatif dimensi time based conflict terhadap work engagement

b. Ada pengaruh negatif dimensi behaviour based conflict terhadap work engagement

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul: “PENGARUH KONFLIK PERAN GANDA (WORK FAMILY CONFLICT & FAMILY WORK CONFLICT) DAN STRES KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA (Studi Pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor pekerjaan, keluarga, dan individu terhadap timbulnya work-family conflict (WFC) dan family-work conflict (FWC) di

Salah satu penyebabnya adalah ketika tekanan peran yang ada dalam kerangka stressor (konflik peran, ambiguitas peran, kelebihan peran dan tuntutan waktu) dihadapi, tenaga

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa work family conflict pada single mother yang bercerai berawal dari tuntutan menjadi single mother, dampak negative pekerjaan pada keluarga

Konflik peran antara tuntutan pekerjaan dan tuntutan rumah tangga sering dihadapi oleh wanita bekerja. Adanya work-family conflict yang dihadapi oleh wanita bekerja mempunyai

Karena work family conflict merupakan situasi dimana tuntutan dari pekerjaan dapat mengurangi sumberdaya (misalnya waktu dan energy) yang dibutuhkan untuk

Seseorang yang merasakan work-family conflict terlalu tinggi, cenderung akan merasakan adanya konflik antara mereka harus mengutamakan pekerjaan mereka atau keluarga mereka, terutama

Definisi dari work family conflict adalah salah satu dari bentuk konflik peran yaitu konflik yang terjadi karena adanya sebuah tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran sebagai