• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Work Family Conflict Pada Karyawan Dengan Pasangan Yang Bekerja

N/A
N/A
Fennie Cantik

Academic year: 2024

Membagikan "Gambaran Work Family Conflict Pada Karyawan Dengan Pasangan Yang Bekerja "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Wacana Psikokultural: Jurnal Ilmiah Psikologi

Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Volume 1 Nomor 1 2023

1

Gambaran Work Family Conflict Pada Karyawan Dengan Pasangan Yang Bekerja

Andi Cahyadi1

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya1

A R T I C L E I N F O

Article history:

Received: 15 September 2023 Revised: 10 Oktober 2023 Accepted: 14 November 2023

Key words:

Employee; work family conflict; time- based conflict; strain-based conflict;

behavior-based conflict DOI:

A B S T R A C T

The purpose of this study is to find out the description of work family conflict experienced by employees with working partners. To achieve the objectives of this study, the researcher uses a descriptive quantitative research method, namely by providing an overview of work family conflict among employees and working partners in terms of the general work family conflict aspect, an overview of each aspect, and also a description of the work family. conflict in terms of gender. The data collection tool used is using a scale taken from the Work Family Conflict aspect proposed by Greenhaus & Beutell (1985), namely time-based conflict, strain-based conflict, & behavior-based conflict. Based on the results of statistical analysis, it was found that. overall, work family conflict that occurs in working couples is in the low category, namely as much as 54.8%. Meanwhile, in terms of gender, it shows that women have a greater tendency to experience work family conflict than men, namely 54.6%: 37.5%. Meanwhile, the categorization based on each aspect was found in the time-based aspect in the moderate category at 46.1%, the strain-based aspect in the medium category, and the behavior- based aspect in the low category at 53. 8%.

A B S T R A K

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang work family conflict yang dialami oleh karyawan dengan pasangan yang bekerja. Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini, maka peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif deskriptif, yaitu dengan memberikan gambaran mengenai work family conflict pada karyawan dengan pasangan yang bekerja dilihat dari aspek work family conflict secara umum, gambaran pada masing-masing aspek, dan juga gambaran work family conflict ditinjau dari jenis kelamin. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan skala yang diambil dari aspek Work Family Conflict yang dikemukakan oleh Greenhaus & Beutell (1985), yaitu time-based conflict, strain-based conflict, & behavior-based conflict. Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa. secara keseluruhan, work family conflict yang terjadi pada pasangan yang bekerja adalah dalam kategori rendah, yaitu sebanyak 54,8%. Sedangkan ditinjau dari jenis kelamin, menunjukkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan lebih besar mengalami work family conflict dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 54,6%: 37,5%. Sedangkan kategorisasi berdasarkan masing-masing aspek didapatkan pada aspek time-based paling banyak pada kategori sedang sebesar 46,1%, pada aspek strain- based paling banyak pada kategori sedang, dan pada aspek behavior-based paling banyak adalah pada kategori rendah sebesar 53,8%.

1Corresponding author: andi.cahyadi@ukwms.ac.id

(2)

PENDAHULUAN

Sesuai dengan teori psikologi perkembangan, bahwa memulai bekerja adalah salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh individu yang memasuki tahap dewasa (Hurlock, 2000). Dengan perkembangan jaman saat ini, bekerja bukan hanya sebuah kebutuhan bagi laki-laki saja, namun saat ini perempuan yang bekerja dan menjadi wanita karir sudah menjadi hal yang wajar. Berdasarkan data yang diperoleh melalui Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan di Indonesia yang tinggal di perkotaan terdapat 48,67%, sedangkan sebesar 54,13% untuk yang tinggal di pedesaan (BPS-RI, 2012).

Bekerja pada dasarnya dilakukan oleh setiap orang bukan hanya karena untuk mendapatkan imbalan gaji saja. Namun lebih dari itu, alasan orang bekerja juga memiliki tujuan untuk bisa lebih mengaktualisasikan diri dan juga dapat mengembangkan diri agar bisa menjadi pribadi yang mandiri dan juga mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Hapsari, 2015). Alasan lain yang lebih umum adalah orang bekerja untuk mengubah kehidupan yang lebih layak. Dalam arti lain ada perubahan yang positif pada status sosial dan ekonomi.

Dalam memenuhi setiap tugas perkembangan pada tahap dewasa tersebut tentu saja setiap orang akan mengalami suatu permasalahan. Misalnya saat seorang individu mulai bekerja, Ia akan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan pekerjaan seperti hal nya tekanan dari atasan, konflik dengan rekan kerja, iklim kerja yang membuat tidak nyaman, beban dan tuntutan kerja yang dianggap berat. Namun meskipun dihadapkan pada beban dan tuntutan kerja yang besar, seorang individu harus mampu mengatasinya agar tetap bisa survive dalam bekerja.

Tugas perkembangan lain ketika seseorang memasuki tahap dewasa adalah mulai membina keluarga melalui perkawinan (Hurlock, 2000). Menurut (Oktarina, L.P.; Wijaya, M.; Demartoto, 2015), terdapat dua alasan mengapa orang menikah. Pertama adalah orang menikah karena terbentur tuntutan atau aturan sosial masyarakat. Dimana orang menganggap jika sudah dewasa dan sudah mencapai usia tertentu, maka seseorang harus menikah. Kedua adalah dilihat dari sudut pandang rasional, dimana seseorang menikah didasarkan pada otoritas seseorang untuk menentukan pilihan dengan pertimbangan tertentu. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa orang yang sudah menikah menyatakan bahwa Ia butuh partner yang satu frekuensi dalam interaksi yang sehat, membutuhkan teman untuk berbagi segala hal dalam kehidupan, dan pemenuhan kebutuhan untuk mencintai dan dicintai.

Dalam memulai membina keluarga pun juga demikian, seorang individu yang sudah menikah juga pasti mengalami suatu permasalahan-permasalahan rumah tangga.

Permasalahan akan menjadi lebih kompleks ketika seorang individu dibenturkan pada peran yang harus dipenuhi di tempat kerja dan juga peran yang harus dipenuhi di dalam rumah tangga. Bagaimanapun juga seorang individu yang bekerja dan sudah menikah memiliki dua peran dan dua tanggung jawab yang harus dipenuhi secara berimbang, yang satu peran dan tanggung jawab sebagai seorang karyawan, dan yang satunya adalah peran dan tanggung jawab sebagai anggota keluarga, entah itu sebagai suami atau sebagai istri. Seperti yang diutarakan Wijayanti dan Indrawati, bahwa konflik peran yang terjadi pada seorang ibu yang bekerja dapat menyebabkan pemenuhan tuntutan dalam pekerjaan akan terhambat oleh adanya tuntutan di dalam keluarga yang bersamaan, dan sebaliknya juga begitu, pemenuhan tuntutan peran di dalam keluarga juga akan terhambat oleh adanya tuntutan pekerjaan yang harus segera dituntaskan (Wijayanti, A.T.; Indrawati, 2016). Tjahjono didalam penelitiannya mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan konflik peran yang terjadi baik pria maupun wanita (Tjahjono, 2016). Menurut Tjahjono pada dasarnya seorang pria sebagai kepala

(3)

3

keluarga selain harus bekerja untuk memberikan nafkah pada keluarga, juga memiliki peran dalam memelihara seluruh anggota keluarga. Sehingga jika berat di salah satu peran, tidak menutup kemungkinan konflik peran pun juga akan terjadi pada pria.

Work family conflict. Konflik yang terjadi akibat adanya peran sebagai karyawan dan juga sebagai anggota keluarga disebut juga work family conflict. Definisi dari work family conflict adalah salah satu dari bentuk konflik peran yaitu konflik yang terjadi karena adanya sebuah tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran sebagai karyawan di tempat kerja dengan peran sebagai anggota keluarga di dalam rumah tangga (Greenhaus, J.H.; Beutell, 1985). Definisi lain menyatakan bahwa work family conflict menjelaskan adanya suatu benturan yang terjadi antara tanggung jawab pekerjaan dengan kehidupan rumah tangga (Frone, M.R.; Russell, M; and Cooper, 1992).

Pada hakikatnya work family conflict ini bisa terjadi pada siapa saja baik pria maupun wanita. Konflik ini memungkinkan terjadi ketika peran di dalam pekerjaannya dan juga peran di dalam keluarga merupakan sama-sama hal yang penting untuk segera dipenuhi (Hapsari, 2015). Akan tetapi, di beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita memiliki intensitas yang lebih besar mengalami work family conflict dibandingkan dengan pria (Apperson, M.;

Schmidt, H.; Moore, S.; and Grunberg, 2002).

Secara teori Work family conflict (WFC) memiliki tiga aspek (Greenhaus, J.H.;

Beutell, 1985) yaitu: 1) Time-based conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga); 2) Strain-based conflict. Terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran yang lainnya; dan 3) Behavior- based conflict. Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan atau keluarga).

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya work family conflict (Darmawati, 2019), diantaranya adalah: 1) Faktor Pekerjaan. Faktor ini memperlihatkan dimana suatu pekerjaan memberikan peran kepada seseorang sebagai karyawan. Faktor ini meliputi adanya komitmen waktu kerja dan juga fleksibelitas kerja; 2) Faktor Keluarga.

Faktor ini terjadi ketika kedua orangtua yang sudah bekerja memiliki anak, sehingga tuntutan waktu dengan keluarga juga meningkat. Faktor ini meliputi jumlah anak dan juga keterlibatan keluarga; dan 3) Faktor Individu. Faktor ini melibatkan locus of control, sehingga mereka yang memiliki locus of control internal yang tinggi, ada kecenderungan seseorang akan lebih bisa mengatasi konflik peran tersebut.

Berdasarkan sebuah hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara work family conflict dengan kepuasan kerja pada karyawan (Judge, T. A., &

Colquitt, 2004). Ketika seorang karyawan memiliki konflik peran antara keluarga dan pekerjaannya, hal tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan pada diri karyawan baik dalam pekerjaan maupun dalam rumah tangga. Di dalam penelitian lain menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat significant antara work family conflict dengan kepuasan pernikahan pada seorang wanita yang bekerja (Trifani, W.; Hermaleni, 2019).

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan gambaran work family conflict pada karyawan dengan pasangan yang bekerja dilihat dari aspek work family conflict secara general, gambaran pada masing- masing aspek, dan juga gambaran work family conflict berdasarkan jenis kelamin. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a) Mengetahui gambaran work family conflict pada karyawan dengan pasangan yang bekerja; b) Mengetahui gambaran work family conflict pada karyawan dengan pasangan yang bekerja berdasarkan aspeknya; dan c) Mengetahui gambaran work family conflict pada karyawan dengan pasangan yang bekerja berdasarkan jenis kelamin.

(4)

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan kuantitatif deskriptif. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran secara komprehensif dari suatu fenomena yang ada. Di dalam penelitian ini tidak dilakukan uji hubungan, uji pengaruh maupun uji beda antar variabel yang ada, namun pendekatan ini hanya mendeskripsikan suatu fenomena yang ada.

Populasi yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah pekerja baik pria maupun wanita yang sudah menikah, pasangannya juga bekerja, dan sudah memiliki anak.

Karena populasi dalam penelitian ini tidak diketahui jumlahnya, maka teknik pengambilan sampel yang digunakan di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan non-probability sampling, dengan jenis yang akan digunakan adalah quota sampling. Jumlah sampling yang ditetapkan adalah sebesar 100 orang.

Alat ukur yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan skala work family conflict yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada aspek yang diungkapkan oleh (Greenhaus, J.H.; Beutell, 1985), yaitu time-based conflict, strain-based conflict, & behavior- based conflict. Untuk memenuhi validitas alat ukur, maka akan dilakukan expert judgement dan juga melihat corrected item-total correlation. Dimana akan dikatakan valid jika memiliki koefisien korelasi aitem total ≥ 0,30. Sehingga jika ditemukan ditemukan ≤0,30 maka dianggap aitem tersebut gugur (Azwar, 2012).

Dalam penelitian ini, data akan dianalisis menggunakan metode statistik deskriptif, yaitu menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku umum atau generalisasi. Analisis ini hanya berupa akumulasi data dasar dalam bentuk deskripsi semata dalam arti tidak mencari atau menerangkan saling hubungan, menguji hipotesis, membuat ramalan, atau melakukan penarikan kesimpulan. Penelitian ini dianalisis menggunakan analisis deskriptif statistik menggunakan bantuan program microsoft excel.

Data tersebut dikelompokkan berdasarkan persentase pengkategorian. Adapun cara pengelompokkan data hasil GRAT Short Form dilakukan dengan rumus:

• Mean Ideal (M) =

• SD Ideal (SD) = Keterangan

JAV : jumlah item yang valid NT : nilai item yang tertinggi NR : nilai item yang terendah

Berdasarkan rumus tersebut, maka kategorisasi skor Work Family Conflict adalah:

Tabel 1. Rumus Kategorisasi Skor Work Family Conflict

Kategorisasi Rumus

Rendah X < (M-1SD) Sedang (M-1SD) < X ≤ (M+1SD)

Tinggi (M+1SD) ≤ X

(5)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Data di dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode statistik deskriptif, yaitu data yang ada diolah dan dianalisis dengan cara mendeskripsikannya kemudian diambil kesimpulan yang sifatnya umum atau generalisasi. Dalam penelitian ini, analisis tidak dilakukan dengan cara mencari hubungan, uji hipotesis, meramalkan, atau melakukan penarikan kesimpulan, namun di dalam penelitian ini hanya mengakumulasikan data dasar dalam bentuk deskripsi saja.

Setelah melakukan penghitungan menggunakan rumus di atas, maka diperoleh skor rata-rata work family conflict sebesar M= 35 dan SD= 7. Skor tersebut didapatkan dari 104 responden yang kemudian dikategorikan menjadi tiga, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Hasil sebaran kategorisasi dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2. Kategorisasi Skor Work Family Conflict

Kategorisasi Rentang Nilai Jumlah Persentasse

Rendah X < 28 57 54.8 %

Sedang 28 ≤ X < 42 42 40.4 %

Tinggi 42 ≤ X 5 4.8 %

Jumlah 104 100 %

Jika kita lihat pada tabel 2 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa subyek yang memiliki work family conflict dengan kategori rendah adalah sebesar 54,8% atau sejumlah 57 orang, sedangkan yang tergolong kategori sedang adalah sebesar 40,4% atau sejumlah 42 orang, dan untuk kategori tinggi adalah sebesar 4,8% atau 5 orang. Maka dari hasil analisis statistik diperoleh kesimpulan bahwa sebagian besar responden memiliki work family conflict yang tergolong ke dalam kategori rendah.

Berdasarkan kategori diatas, maka peneliti membagi kriteria berdasarkan jenis kelamin subyek. Dimana laki-laki di dalam penelitian ini berjumlah 32 orang, sedangkan perempuan berjumlah 72 orang. Untuk subyek penelitian yang berjenis kelamin laki-laki dibagi menjadi dua, yaitu 62,5% atau sejumlah 20 orang tergolong ke dalam kategori rendah, dan 37,5% atau sejumlah 12 orang tergolong ke dalam kategori sedang, sedangkan kategori tinggi dinyatakan tidak ada. Untuk subyek penelitian yang berjenis kelamin perempuan dibagi menjadi 51,4% atau sejumlah 37 orang tergolong ke dalam kategori rendah, sedangkan 41,7% atau sejumlah 30 orang tergolong ke dalam kategori sedang, dan 6,9% atau sejumlah 5 orang tergolong ke dalam kategori tinggi.

(6)

Gambar 1. Diagram perbandingan kategorisasi WFC berdasarkan jenis kelamin

Selain melihat gambaran work family conflict secara umum, peneliti juga melihat gambaran work family conflict dilihat dari masing-masing aspek. Ditinjau dari aspek pertama, yaitu terkait dengan time-based conflict atau konflik peran yang muncul karena penggunaan waktu yang tidak berimbang antara di tempat kerja dan di rumah dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Kategorisasi Skor Time-Based Conflict

Kategorisasi Rentang Nilai Jumlah Persentasse

Rendah X < 10 42 40.4 %

Sedang 10 ≤ X < 15 48 46.1 %

Tinggi 15 ≤ X 14 13.5 %

Jumlah 104 100 %

Sedangkan ketika ditinjau dari aspek kedua, yaitu terkait dengan strain-based conflict atau konflik peran yang terjadi karena adanya tekanan pada satu bagian dan dapan mempengaruhi bagian lain dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Kategorisasi Skor Strain-Based Conflict

Kategorisasi Rentang Nilai Jumlah Persentasse

Rendah X < 8 74 71.2 %

Sedang 8 ≤ X < 12 23 22.1 %

Tinggi 12 ≤ X 7 6.7 %

Jumlah 104 100 %

Dan ketika ditinjau dari aspek yang ketiga yaitu terkait dengan Behaviour-based conflict atau konflik peran yang terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara pola perilaku yang diinginkan oleh kedua bagian (Pekerjaan dan keluarga) dapat dilihat pada tabel 5.

(7)

7

Tabel 5. Kategorisasi Skor Behavior-Based Conflict

Kategorisasi Rentang Nilai Jumlah Persentasse

Rendah X < 10 56 53.8 %

Sedang 10 ≤ X < 15 40 38.5 %

Tinggi 15 ≤ X 8 7.7 %

Jumlah 104 100

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran work family conflict pada karyawan yang memiliki pasangan juga bekerja. Penelitian ini mengambil sampel responden yang bekerja di sekitar Madiun. Berdasarkan hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa responden yang memiliki work family conflict rendah adalah sebesar 54,8% atau sejumlah 57 orang. Artinya mereka yang masuk ke dalam kategori ini tidak mengalami kesulitan dalam mengatur peran, sehingga tidak mengalami konflik peran sebagai anggota keluarga dan juga sebagai karyawan. Sedangkan sebesar 40,4% atau sejumlah 42 orang termasuk kedalam kategori sedang. Artinya mereka yang masuk ke dalam kategori ini kadang-kadang mengalami kesulitan dalam mengatur perannya di rumah maupun di kantor sehingga memungkinkan timbul konflik. Dan sebesar 4,8% atau sejumlah 5 orang termasuk kedalam kategori tinggi. Artinya mereka yang masuk ke dalam kategori ini mengalami kesulitan dalam mengatur perannya sebagai seorang karyawan di kantor dengan perannya di rumah sehingga peluang terjadi konflik sangat besar.

Work family conflict adalah sesuatu hal yang penting dan perlu mendapatkan perhatian, karena jika tidak segera diatasi maka akan membawa dampak pada kehidupan di pekerjaan maupun di keluarga (Yanti, N; Hermalani, 2019). Di dalam penelitian yang lain juga menyatakan bahwa work family conflict dapat memberikan efek yang negatif terhadap kehidupan pekerjaan maupun keluarga pada Ibu yang bekerja. Mereka merasakan bahwa tingkat kepuasan perkawinan yang tergolong rendah, kurang harmonisnya hubungan antara anggota keluarga, munculnya ketegangan, stress kerja, dan juga berdampak pada pengunduran diri dari tempat kerja (Erdamar, G.; Demirel, 2014).

Work family conflict terjadi karena sering kerja lembur atau jam kerja yang panjang sehingga hal tersebut dapat berpotensi membuat kelelahan dan pada akhirnya peran di rumah menjadi terganggu, selain itu banyaknya jumlah anggota keluarga dan juga usia anak dapat mempengaruhi munculnya konflik (Greenhaus, J.H.; Beutell, 1985). Salah satu penyebab munculnya work family conflict adalah karena tuntutan pekerjaan yang besar, stress karena pekerjaan dan perasaan negatif yang diperoleh di tempat kerja masuk ke dalam lingkup keluarga (Minnotte et al., 2015). Hal tersebut dapat membuat lingkup keluarga maupun pekerjaan menjadi terganggu (Trifani, W.; Hermaleni, 2019).

Seperti yang kita ketahui, di dalam penelitian ini sebagian besar responden memiliki work family conflict dalam kategori sedang. Artinya terkadang mereka masih mampu mengatur peran mereka di kantor maupun di rumah dengan baik, namun suatu ketika mereka juga mengalami kesulitan dalam mengatur peran mereka. Di dalam penelitian lain menyatakan bahwa prajurit wanita TNI-AL di Surabaya memiliki work family conflict yang tergolong kategori sedang (Masita et al., 2019). Artinya adalah kondisi antara pekerjaan dan keluarga yang dirasakan para prajurit wanita TNI-AL ini masih tidak terlalu menekan. Di dalam penelitian ini disebutkan bahwa work family conflict cenderung kategori sedang karena mereka mampu membagi peran mereka antara di kantor dengan di rumah.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menghadapi work family conflict dibandingkan dengan laki-laki. Pada kategori rendah, laki- laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Artinya laki-laki lebih banyak tidak mengalami kesulitan dalam mengatur peran di rumah maupun di kantor, sehingga laki-laki lebih banyak

(8)

yang mengalami permasalahan konflik peran dibandingkan perempuan. Hal tersebut bisa saja mereka mampu mengatur perannya sedemikian rupa di kantor maupun di rumah meskipun pasangannya juga bekerja. Sedangkan pada kategori sedang dan tinggi, perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Artinya perempuan memiliki peuang lebih besar mengalami kesulitan mengatur peran antara di rumah maupun di kantor dibandingkan laki-laki, sehingga perempuan lebih besar memiliki kemungkinan mengalami konflik peran. Perempuan yang bekerja lebih banyak mengalami konflik peran karena selain mereka harus menuntaskan tanggung jawabnya sebagai karyawan, perempuan juga harus memenuhi tanggung jawabnya untuk mengurus rumah, termasuk mengurus anak dan suami (Hapsari, 2015).

Ditinjau dari sisi dimensi, work family conflict dibagi menjadi tiga, yaitu berdasarkan time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict. Berdasarkan dimensi pertama yaitu time-based conflict, konflik muncul karena tidak bisa mengatur waktu antara peran di pekerjaan dengan peran di rumah, sehingga harus mengorbankan salah satunya.

Konflik ini bisanya terjadi karena jumlah jam kerja yang banyak lembur dan juga ketidakteraturan shift. Berdasarkan hasil analisis statistik, terdapat 42 orang atau sebesar 40,4% memiliki time-based conflict pada kategori rendah. Artinya mereka tergolong dapat mengatur waktu antara peran di kantor dengan peran di rumah, sehingga tidak terjadi konflik.

Sedangkan 48 orang atau sebesar 46,1% memiliki time-based conflict pada kategori sedang.

Artinya terkadang suatu waktu mereka dapat mengatur waktu dengan baik, namun suatu waktu mereka kurang dapat mengatur waktu dengan baik, sehingga akan muncul konflik saat mereka tidak dapat mengatur waktu. Dan sebanyak 14 orang atau sebanyak 13,5% memiliki time-based conflict pada kategori tinggi. Artinya mereka kurang dapat mengatur waktu antara peran pekerjaan dengan peran di rumah, sehingga dapat menimbulkan konflik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Amaliya, 2015) menyatakan bahwa wanita yang bekerja dan banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja akan cenderung mengalami tekanan dari peran yang dijalankannya.

Ditinjau dari dimensi kedua yaitu strain-based conflict, konflik akan muncul ketika salah satu peran memiliki tekanan atau ketegangan yang lebih besar dibandingkan peran yang lain. Konflik ini biasanya muncul karena adanya beban pekerjaan yang meningkat karena kenaikan jabatan dan juga kelahiran anak, sehingga hal tersebut menimbukan ketegangan di satu sisi, dan diperkirakan akan berdampak pada sisi yang lainnya. Berdasarkan hasil analisis statistik, terdapat 74 orang atau sebesar 71,2% memiliki strain-based conflict pada kategori yang rendah. Artinya mereka cukup mampu mengelola ketegangan sehingga tidak menimbulkan konflik pada sisi yang lainnya. Sedangkan sebanyak 23 orang atau sebesar 22,1% memiliki strain-based conflict pada kategori yang sedang. Artinya suatu waktu mereka dapat mengelola tegangan, namun di suatu waktu yang lain kurang dapat mengelola ketegangan sehingga dapat menyebabkan konflik. Dan sebanyak 7 orang atau sebesar 6,7%

memiliki strain-based conflict pada kategori yang tinggi. Artinya mereka tidak mampu mengelola ketegangan yang yang muncul baik di rumah maupun di kantor, sehingga peluang terjadi konflik sangat besar. Seseorang yang mengalami stress akibat pekerjaannya dapat memunculkan gejala ketegangan seperti hal nya munculnya perasaan cemas, mudah lelah, depresi, sering mengalami kelesuan, dan cenderung mudah marah (Amaliya, 2015).

Menurutnya, ketegangan yang muncul akibat tuntutan dalam salah satu peran akan dapat berpengaruh pada pemenuhan peran di peran yang lain.

Ditinjau dari dimensi yang ketiga yaitu behavior-based conflict, konflik muncul ketika terdapat ketidaksesuaian antara perilaku saat di tempat kerja dengan perilaku yang diharapkan saat di rumah. Konflik muncul saat peran di kantor mengharuskan tegas, namun harapan dirumah menuntut sikap yang hangat. Berdasarkan hasil analisis statistik, terdapat 56 orang atau sebesar 53,8% memiliki behavior-based conflict pada kategori rendah. Artinya mereka mampu menyeimbangkan perilaku saat di rumah maupun saat di kantor. Sedangkan

(9)

9

sebanyak 40 orang atau sebesar 38,5% memiliki behavior-based conflict pada kategori sedang. Artinya suatu waktu mereka mampu menyeimbangkan antara perilaku di rumah maupun di kantor, namun suatu waktu perilaku di kantor terbawa ke rumah atau sebaliknya, sehingga dapat menimbulkan konflik. Dan sebanyak 8 orang atau sebesar 7,7% memiliki behavior-based conflict pada kategori tinggi. Artinya mereka kurang mampu menempatkan diri, sehingga perilaku di kantor terbawa di rumah dan sebaliknya perilaku di rumah terbawa di kantor, sehingga dapat menyebabkan konflik. Orang yang tidak bisa menempatkan diri akan membawa peran di tempat kerja untuk diterapkan di rumah, begitu pula sebaliknya seseorang bisa saja membawa peran di rumah untuk di terapkan di kantor sehingga akan berpeluang besar timbul konflik (Amaliya, 2015).

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah terkait dengan proses pengambilan data yang dilakukan secara berantai dari responden satu ke responden yang lainnya, maka yang mengisi skala banyak yang tidak memenuhi kriteria. Keterbatasan lainnya adalah karena pengambilan sampelnya menggunakan teknik random sampling, membuat hasil penelitian tidak terkategorikan sesuai dengan demografi. Selain itu, dalam penelitian ini hanya menggunakan satu variabel, sehingga pembahasan menjadi kurang kaya. Sehingga saran bagi peneliti selanjutnya adalah untuk lebih memperhatikan teknis dalam pengambilan sampel, dan mempertimbangkan menggunakan variabel lebih dari satu untuk dilakukan uji hubungan maupun uji pengaruh sehingga akan mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara keseluruhan, work family conflict yang terjadi pada pasangan yang bekerja adalah dalam kategori rendah, yaitu sebanyak 54,8%. Sedangkan ditinjau dari jenis kelamin, menunjukkan bahwa perempuan memiliki kecenderungan lebih besar mengalami work family conflict dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 54,6% : 37,5%.

Sedangkan kategorisasi berdasarkan masing-masing aspek didapatkan pada aspek time-based paling banyak pada kategori sedang sebesar 46,1%, pada aspek strain-based paling banyak pada kategori sedang, dan pada aspek behavior-based paling banyak adalah pada kategori rendah sebesar 53,8%.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Amaliya, R. (2015). A Literature Review Work Family Conflict And Subjective Wll Being In Working Woman Factors Related To Both Variable. Seminar Psikologi &

Kemanusiaan, 311–314.

Apperson, M.; Schmidt, H.; Moore, S.; and Grunberg, L. (2002). Women Managers and the Experience of Work-Family Conflict. American Journal of Undergraduate Research, 1(3). https://doi.org/10.33697/ajur.2002.020

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Pustaka Pelajar.

BPS-RI. (2012). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia.

Darmawati. (2019). Work Family Conflict. Konflik Peran Pekerjaan dan Keluarga. IAIN Parepare Nusantara Press.

Erdamar, G.; Demirel, H. (2014). Investigation of work family, family work conflict of the teachers. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 116, 4919–4924.

https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.01.1050

Frone, M.R.; Russell, M; and Cooper, M. L. (1992). Prevalence of Work-Family Conflict:

Are Work and Family Boundaries Asymmetrically Permeable? Journal of Organizational Behavior, 13(7), 723–729. https://www.jstor.org/stable/2488392

Greenhaus, J.H.; Beutell, N. J. (1985). Sources of Conflict between Work and Family Roles.

Journal of The Academy of Management Review, 10(1), 76–78.

https://doi.org/https://doi.org/10.2307/258214

Hapsari, R. M. (2015). Kontribusi Work-family Conflict dan Motivasi Kerja terhadap

Kepuasan Kerja. Jurnal Psikologi, 8(2).

https://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/1644

Hurlock, E. B. (2000). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (kelima). Airlangga.

Judge, T. A., & Colquitt, J. A. (2004). Organizational justice and stress: The mediating role of work-family conflict. Ournal of Applied Psychology, 89(3), 395–404.

https://doi.org/https://doi.org/10.1037/0021-9010.89.3.395

Masita, T. S., Delyara, D. A., Fernando, M. L., Himmawan, G., & Claudianty, G. S. (2019).

Work-family conflict dan work-life balance pada prajurit wanita TNI AL di Surabaya.

Jurnal Fenomena, 28(1), 39–44. https://doi.org/https://doi.org/10.30996/fn.v28i1.2454 Minnotte, K., Minnotte, M., & Bonstrom, J. (2015). Work–Family Conflicts and Marital

Satisfaction Among US Workers: Does Stress Amplification Matter? Journal of Family and Economic Issues, 36(1), 21–33. https://doi.org/10.1007/s10834-014-9420-5

Oktarina, L.P.; Wijaya, M.; Demartoto, A. (2015). Pemaknaan Perkawinan: Studi Kasus Pada Perempuan Lajang Yang Bekerjadi Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri. Jurnal Analisa Sosiologi, 4(1), 75–90. https://doi.org/https://doi.org/10.20961/jas.v4i1.17412 Tjahjono, A. B. (2016). Pengaruh Konflik Peran Ganda Terhadap Fear Of Success Dengan

Jenis Kelamin Sebagai Variabel Moderasi [Universitas Kristen Satya Wacana].

https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/21221/2/T1_212012133_Full text.pdf Trifani, W.; Hermaleni, T. (2019). Hubungan Work Family Conflict Dengan Kepuasan

Pernikahan Pada Wanita Yang Bekerja. Jurnal Riset Psikologi, 3.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.24036/jrp.v2019i3.6890

(11)

11

Wijayanti, A.T.; Indrawati, E. S. (2016). Hubungan antara Konflik Peran Ganda dengan Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Bekerja sebagai Penyuluh di Kabupaten

Purbalingga. Jurnal Empati, 5(2), 282–286.

https://doi.org/https://doi.org/10.14710/empati.2016.15202

Yanti, N; Hermalani, T. (2019). Kontribusi Dukungan Sosial Pasangan Terhadap Work Family Conflict Pada Karyawati Bank. Jurnal Riset Psikologi, 3. https://doi.org/DOI:

http://dx.doi.org/10.24036/jrp.v2019i3.6880

Referensi

Dokumen terkait

Strain-based conflict adalah konflik yang terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran (sebagai perawat wanita rawat inap I rumah sakit “X” atau. sebagai

Work-family conflict (WFC) merupakan jenis konflik antar-peran di mana tuntutan peran yang berasal dari satu domain (pekerjaan atau keluarga) bertentangan dengan tuntutan

Greenhaus dan Beutell (1985) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi work family conflict, yaitu (1) Time-based conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika

Ketiga aspek pengembangan karir (peran karyawan, peran manajer, dan peran perusahaan) juga berkorelasi negatif secara signifikan dengan work family

Pada penelitian ini terdapat tujuh variabel, anteseden work-family conflict yang diamati adalah Konflik Peran dan Ambiguitas Peran, kemudian konsekuensi dari work-

Salah satu penyebabnya adalah ketika tekanan peran yang ada dalam kerangka stressor (konflik peran, ambiguitas peran, kelebihan peran dan tuntutan waktu) dihadapi, tenaga

Hasil penelitian ini menghasilkan hubungan antara konflik peran ganda (work family koefisien korelasi Pearson sebesar -0,274 yang conflict) dengan kepuasan kerja pada

WORK FAMILY CONFLICT - KONFLIK PERAN GANDA PADA PRAMUDI BIS WANITA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..