BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Merokok
2.1.1. Definisi Merokok
Merokok adalah menghirup asap dari pembakaran tembakau, baik yang menggunakan rokok, pipa, maupun yang menggunakan cerutu (Bristol Public Health, 2010). Asap rokok yang dihirup dapat berupa dua komponen, yaitu: komponen yang lekas menguap berbentuk gas dan komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat. Dengan demikian, asap rokok yang
diisap berupa 85% gas dan sisanya berupa partikel. Asap rokok yang diisap melalui mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang terbakar dan yang dihembuskan ke udara oleh perokok disebut sidestream smoke (Sitepoe, 2000).
2.1.2. Epidemiologi Konsumsi Rokok
Konsumsi tembakau telah mencapai proporsi epidemik global. Hampir 800 juta laki-laki dewasa di seluruh dunia mengkonsumsi rokok, 20% dari mereka berada di negara maju dan 80% berada di negara berkembang. Pada tahun 2009, jumlah batang rokok yang dikonsumsi oleh perokok tercatat sebanyak 5,9 triliun batang, yang menunjukkan peningkatan sebesar 13% dalam sepuluh tahun terakhir (Tobacco Atlas, 2012).
Indonesia merupakan salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia dan menempati urutan ke empat sebagai negara pengkonsumsi rokok terbanyak, setelah Cina, Rusia dan Amerika Serikat (Tobacco Atlas, 2012). Diperkirakan, konsumsi rokok Indonesia setiap tahunnya mencapai 199 miliar batang rokok. Akibatnya adalah kematian sebanyak 5 juta orang pertahunnya. Bila hal ini tidak dapat dicegah, maka jumlah kematian akan meningkat dua kali lipat menjadi 10 juta orang pertahun pada tahun 2020 (Gondodiputro, 2007).
Perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas masih belum terjadi
menjadi 36,3% tahun 2013. 64,9% laki-laki dan 2,1% perempuan masih mengisap rokok tahun 2013. Ditemukan 1,4 persen perokok umur 10-14 tahun. Sedangkan rerata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sekitar 12,3 batang, bervariasi dari yang terendah 10 batang di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung yaitu 18,3 batang (RISKESDAS, 2013).
2.1.3. Bahan Kimia yang Terkandung Dalam Rokok
Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 zat kimia, 40 diantaranya bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan kanker pada organ tubuh manusia. Beberapa bahan kimia yang terkandung di dalam rokok diantaranya:
a. Nikotin
Nikotin yang terkandung dalam rokok adalah sebesar 0,5-3 nanogram, dan semuanya diserap sehingga di dalam darah ada sekitar 40-50 nanogram nikotin setiap 1 ml. Nikotin tidak termasuk dalam komponen karsinogenik, tetapi hasil pembusukan panas nikotin seperti dibensakridin, dibensokarbol, dan nitrosamine yang bersifat karsinogenik. Efek pada paru yang dihasilkan nikotin adalah menghambat aktivitas silia. Selain itu, nikotin juga memiliki efek adiktif dan psikoaktif yang membuat perokok merasakan kenikmatan, kecemasan berkurang, toleransi, dan ketertarikan fisik. Hal ini yang menyebabkan ketergantungan jika sudah mulai sekali merokok (Gondodiputro, 2007).
b. Karbon Monoksida (CO)
Gas CO yang dihasilkan sebatang tembakau dapat mencapai 3%-6%, dan gas ini dapat diisap oleh siapa saja. Gas CO mempunyai kemampuan yang lebih kuat dibandingkan oksigen dalam mengikat hemoglobin yang terdapat di dalam sel darah merah. Setiap ada asap tembakau, disamping kadar oksigen udara yang sudah berkurang, sel darah merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang diangkut adalah CO dan bukan oksigen. Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan spasme, yaitu menciutkan pembuluh
mudah rusak dengan terjadinya proses aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah akan terjadi dimana-mana (Gondodiputro, 2007).
c. Tar
Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Kadar tar dalam tembakau antara 0,5-35 mg/batang. Tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada jalan nafas dan paru-paru.
d. Kadmium
Kadmium adalah zat yang dapat meracuni jaringan tubuh terutama ginjal.
e. Ammonia
Ammonia merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari nitrogen dan hidrogen. Zat ini tajam baunya dan sangat merangsang. Begitu kerasnya racun yang ada pada ammonia sehingga jika masuk sedikit pun ke dalam peredaran darah bisa mengakibatkan seseorang pingsan atau koma.
f. HCN/ Asam Sianida
HCN merupakan sejenis gas yang tidak berwarna. Tidak berbau, dan tidak memiliki rasa. Zat ini merupakan zat yang paling ringan, mudah terbakar, dan sangat efisien untuk menghalangi pernafasan dan merusak saluran nafas.
g. Nitrous Oxide (NO)
NO merupakan sejenis gas yang tidak berwarna, dan bila terisap dapat menyebabkan hilangnya rasa sakit.
h. Formaldehyde
Formaldehyde adalah sejenis gas dengan bau tajam. Gas ini tergolong sebagai
i. Phenol
Phenol adalah campuran dari kristal yang dihasilkan dari distilasi beberapa zat organik seperti kayu dan arang, serta diperoleh dari tar arang. Zat ini beracun dan membahayakan karena zat ini terikat ke protein sehingga menghalangi aktivitas enzim.
j. Acetol
Acetol adalah hasil pemanasan aldehid dan mudah menguap dengan alkohol.
k. Asam sulfida
Asam sulfida adalah sejenis gas yang beracun yang mudah terbakar dengan bau yang keras. Zat ini menghalangi oksidasi enzim.
l. Piridin
Piridin adalah sejenis cairan tidak berwarna dengan bau tajam. Zat ini dapat digunakan untuk mengubah sifat alkohol sebagai pelarut dan pembunuh hama.
m. Metil klorida
Metil klorida adalah campuran dari zat-zat bervalensi satu dengan hidrokarbon sebagai unsure utama. Zat ini adalah senyawa organik yang beracun (Gondodiputro, 2007).
2.2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan dapat dibagi menjadi sistem pernapasan bagian atas dan sistem pernapasan bagian atas dan bagian bawah. Sistem pernapasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan faring. Sistem pernapasan bawah terdiri dari laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus paru. Paru itu sendiri terdiri dari paru kanan dan paru kiri, dan dibungkus oleh selaput tipis yang disebut pleura. Pleura terbagi menjadi pleura viseralis, yang langsung membungkus paru,dan pleura parietal yang menempel pada rongga dada (Guyton
Gambar 2.1. Komponen sistem pernapasan (Martini et al, 2012).
Secara fungsional, saluran pernapasan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Gambar 2.2. Zona konduksi dan zona respirasi (Costanzo, 2010)
Saluran napas yang termasuk zona konduksi dilapisi oleh silia-silia dan ada
sekresi mukus yang berfungsi untuk menghalangi partikel asing masuk ke dalam paru. Dinding dari zona konduksi juga memiliki otot polos yang diinervasi oleh saraf simpatis dan parasimpatis (Costanzo, 2010). Bila saraf parasimpatis diaktivasi, maka saraf ini akan menyekresikan asetilkolin yang mempunyai efek kontriksi ringan sampai sedang pada bronkiolus. Sebagian besar aktivasi dari saraf parasimpatis diawali oleh iritasi pada membran epitel dari jalan napas itu sendiri, yang dicetuskan oleh gas-gas beracun, debu, asap rokok, atau infeksi bronkial (Guyton & Hall 2007).
tubuh. Pernapasan internal yaitu proses penggunaan O2 dan pembentukan CO2 di intrasel serta pertukaran gas di antara sel tubuh dan media cair di sekitarnya (Ganong, 2008). Terdapat tiga langkah terintegrasi dalam respirasi eksternal, yaitu:
1. Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir dan alveoli paru.
2. Difusi gas, melewati membran respirasi antara celah udara alveolus dan kapiler alveolus, dan melewati dinding kapiler antara darah dan jaringan lain. 3. Pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke
dan dari sel jaringan tubuh (Guyton & Hall 2007).
Kontinum saluran napas penghantar mulai dari hidung sampai bronkiolus terminal hingga alveolus harus tetap terbuka agar aliran udara dapat masuk dan keluar. Trakea dan bronkus merupakan tabung yang cukup kaku dan dikelilingi oleh serangkaian cincin tulang rawan yang mencegah saluran ini menyempit. Berbeda halnya dengan bronkiolus, saluran ini berukuran lebih kecil dan tidak mempunyai tulang rawan untuk menjaganya tetap terbuka. Dinding saluran ini mengandung otot polos yang disarafi oleh sistem saraf otonom dan peka terhadap hormon dan bahan kimiawi lokal tertentu. Faktor-faktor ini mengatur jumlah udara yang mengalir dari atmosfer ke setiap alveolus, dengan mengubah derajat kontraksi otot polos bronkiolus sehingga mengubah kaliber saluran napas terminal (Sherwood, 2011).
Jika kita membicarakan domain sifat sistem pernapasan, kita akan menjumpai istilah respiratory mechanics atau pulmonary mechanics. Respiratory mechanics adalah bidang yang mempelajari mengapa udara dapat mengalir ke
dalam paru dan apa saja yang menghalangi pengalirannya. Secara umum, udara mengalir karena ada perbedaan tekanan. Udara mengalir dari tekanan yang lebih tinggi ke tempat yang bertekanan lebih rendah. Perbedaan tekanan udara di paru terjadi akibat adanya daya kekuatan yang bekerja pada sistem pernapasan, sehingga dapat mengatasi ketiga kekuatan yang melawan gerak udara ketika
paru adalah: (1) kelentingan paru dan dinding dada, (2) tahanan akibat gesekan dengan jalan napas, (3) sifat kelembaman keseluruhan sistem (Djojodibroto, 2009).
2.3. Hubungan Kebiasaan Merokok dengan Faal Paru
Paru dalam keadaan normal terlindung dari kerusakan akibat pelepasan
berlebihan enzim tripsin oleh α1-antitripsin, suatu protein penghambat tripsin (Sherwood, 2011). Berbagai kandungan dalam rokok dapat menurunkan efisiensi pada paru. Nikotin menyempitkan bronkiolus terminal, yang menurunkan aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru. Karbon monoksida dalam asap mengikat
hemoglobin dan mengurangi kapasitas pembawa oksigen. Iritan dalam asap rokok menyebabkan peningkatan sekresi lendir oleh mukosa dari pohon bronkial dan pembengkakan pada lapisan mukosa , baik dari yang menghambat aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru . Iritan dalam asap juga menghambat pergerakan silia dan menghancurkan silia pada lapisan sistem pernapasan. Seiring berjalannya waktu, merokok menyebabkan kerusakan serat elastis dalam paru-paru (Tortora, 2009). Merokok mempunyai beberapa efek langsung pada saluran pernapasan. Iritan dalam rokok menyebabkan hiperplasia sel goblet, yang menyebabkan peningkatan produksi mukus. Hiperplasia sel juga menurunkan diameter saluran pernapasan (Lewis, 2014)
Asap rokok menimbulkan peningkatan jumlah makrofag alveolus paru, dan makrofag akan melepaskan zat kimia yang menarik leukosit ke dalam paru. Leukosit selanjutnya akan melepaskan protease, termasuk elastase, yang menyerang jaringan elastik di paru. Pada saat yang bersamaa, α1-antitripsin diinaktifkan oleh radikal oksigen yang dilepaskan oleh leukosit. Sebagai hasil akhir, terjadi ketidakseimbangan antara protease-antiprotease disertai peningkatan kerusakan jaringan paru (Ganong, 2008).
Beban oksidan bertambah dalam paru akibat pelepasan Reactive Oxygen Species (ROS) dari makrofag dan neutrofil. Di satu sisi, peningkatan sekuestrasi
neutrofil pada sirkulasi mikro paru akibat paparan asap rokok dapat
antioksidan di plasma berkaitan dengan penurunan protein sulfhydryl di plasma atau glutathione (GSH). Penurunan GSH ini menyebabkan peningkatan lipid peroksidase dan transkripsi gen sitokin proinflamasi yang berperan pada obstruksi paru (Rodgman, 2000).
2.4. Uji Fungsi Paru
Uji fungsi paru atau pulmonary function test merupakan prosedur rutin yang dilakukan untuk mengevaluasi, memonitor, dan menangani pasien penderita penyakit paru (Nawaleh et al, 2012). Terdapat beberapa metode untuk menguji faal paru, salah satunya dengan mengukur arus puncak ekspirasi menggunakan
Peak Flow Meter.
Peak Flow Meter, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mengukur arus puncak ekspirasi dengan satuan liter per menit. Pemeriksaan ini untuk mengetahui sedini mungkin adanya penurunan fungsi paru dan penyempitan ataupun sumbatan saluran respiratorik. Sampai saat ini, alat baku yang dipakai untuk mengukur APE adalah wright peak flow meter. Cara kerja alat ini berdasarkan asas mekanika. Deras arus udara diukur dengan gerakan piston yang terdorong oleh arus udara yang ditiupkan melalui pipa peniup. Piston akan mendorong jarum penunjuk (marker). Karena piston dikaitkan dengan sebuah pegas, maka setelah arus berhenti, oleh gaya tarik balik (recoil) piston tertarik ke kedudukan semula dan jarum penunjuk tertinggal pada titik tunjuk jarum penunjuk (Yanti, 2010).
Gambar 2.3. Nilai prediksi arus puncak ekspirasi berdasarkan usia, tinggi badan, dan jenis kelamin (Clement Clarke International, 2004)
BAB III