• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Semiotika Visual Kekacauan Bata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Semiotika Visual Kekacauan Bata"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

KEKACAUAN BATAS (CHAOS OF BOUNDARY) DALAM ENAM KARYA SENI RUPA AGUS SUWAGE:

SEBUAH ANALISIS SEMIOTIKA VISUAL

[penulis hanya mengunggah bab pembahasan,

untuk bab pendahuluan dan penutup dapat menghubungi via surel]

UJIAN AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Sejarah Kesenian Indonesia Pengajar: Muhammad Wasith Albar, S.S., M.Hum.

MUTYA WIDYALESTARI NPM. 1106005162

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM SUDI ILMU SEJARAH

(2)

1) Manusia = Binatang

Karya Pertama: Double Happiness

Judul:Double Happiness Dimensi: 150 cm X 200 cm

Media: cat minyak, kanvas, cat akrilik

Tahun pembuatan: 2003

Sudah sejak lama Suwage tertarik kepada binatang, terutama anjing dan babi. Baginya, mereka adalah hewan-hewan yang pintar dan lucu. Tak heran ia sering memasukkannya sebagai komponen dalam karya lukis maupun isntalasi. Sebut saja lukisan Double Happiness

(3)

Judul:The Kiss Dimensi: 145 cm X 140 cm

Media: Cat minyak, kanvas, cat akrilik

Tahun pembuatan: 2004

Dalam The Kiss, kita mendapat kesan bahwa terjalin hubungan yang baik sebab terdapat dua orang yang memakai topeng babi sedang berciuman. Dalam Double Happiness, karya itu diperbesar dan menampilkan komponen lain yang hampir luput dari mata: dua orang tersebut sama-sama sedang menggenggam pisau di balik punggung. Double Happiness sendiri, secara etimologis, dapat diartikan sebagai “kebahagiaan ganda”. Kebahagiaan yang pertama barangkali ciuman yang dilakukan, sementara yang kedua adalah diam-diam menutupi niat untuk membunuh satu sama lain.

Adapun topeng babi yang berciuman melambangkan keharmonisan. Bahwa babi sebagai hewan yang kerap dimusuhi di negara mayoritas umat Islam ini justru lebih tahu tentang kasih sayang ketimbang makhluk yang memusuhinya. Ciuman sendiri adalah sebuah aktivitas untuk menunjukkan afeksi, melambangkan saling pengertian dan luapan rasa cinta, atau rasa saling percaya1. Bayangkan, apabila tidak memakai topeng babi, mungkinkah dua orang tersebut dapat mempertemukan bibirnya masing-masing? Tentu tidak. Kita bisa mengira-ngira bahwa ada jarak di antara wajah keduanya apabila topeng babi itu dilepas.

(4)

Yang menarik adalah komposisi warna. Pemilihan babi sebagai desain untuk topeng sangat pintar, sebab babi adalah satu dari beberapa hewan yang diketahui berwarna merah muda. Merah muda adalah warna yang lembut, warna yang melambangkan rasa cinta. Sementara itu, selain topeng babi, kita perhatikan bahwa warna-warna lainnya, entah itu latar belakang atau baju kedua manusia cenderung monokrom, bernuansa gelap dan tanpa gairah.

Selain itu, simak baik-baik bahwa yang berciuman adalah babi. Binatang. Yang katanya tidak punya akal pikiran. Sementara yang memegang pisau dan siap membunuh adalah tangan manusia. Betapa di sini terdapat kekontrasan makna dan komparasi yang bermuatan kritik. Bahwa binatang adalah hewan yang penuh kebaikan sementara manusia selalu dirundung oleh niat untuk berbuat jahat.

(5)

2) Pain = Pleasure

Karya Kedua: Freestyle

Judul:Lifestyle Dimensi: 118 cm X 155 cm

Media: tinta, grafit di atas kertas

Tahun pembuatan: 2013

Bisa dibilang, ini adalah salah satu karya Suwage yang sedikit “nakal” dan “nyeleneh”. Secara sintaksis, gambar tersebut memperlihatkan dua kerangka manusia (kelamin tidak diketahui) yang sedang bersenggama. Tidak seperti kerangka manusia pada umumnya, mereka berdua memiliki tulang ekor yang panjang seperti anjing. Selain babi, Suwage yang mengaku sebagai pecinta hewan ini sebetulnya juga pecinta anjing. Dalam Lifestyle, kemungkinan besar ia turut memasukkan unsur tersebut, yakni lewat “doggy style sex” atau bersetubuh dengan gaya seperti anjing sedang bercumbu, yakni satu kerangka berlutut dengan empat tungkai di atas tanah, sementara kerangka satunya ‘menusuk’ dia sambil berdiri.

(6)

Tulisan yang menyertai foto, dipastikan akan membentuk bagaimana persepsi pengguna tanda dan memengaruhi pemikirannya. Apabila tidak terdapat “caption” dalam karya Suwage di atas, dapat dipastikan pengguna hanya menangkap kerangka yang sedang melakukan seks. Suwage saya akui secara cerdik telah menggunakan ornamen kesukaannya (kerangka) dalam lukisan ini ketimbang manusia sungguhan atau potret diri yang biasa ia lakukan, sehingga tidak memancing seruan-seruan negatif berbau pornografi atau tidak etis.

Di samping itu, keterangan tambahan dalam balon teks sebetulnya bersifat sebagai elemen penting yang membantu pengguna memahami pesan yang ingin disampaikan sang seniman. Hadirnya kalimat “makin sakit makin baik” menandakan suatu denaturalisasi. Lazimnya, sakit seharusnya menimbulkan rasa putus asa, bukannya nikmat.

Akan tetapi, secara semantik denotasi, kalimat tersebut bisa diartikan sebagai seruan seorang masokis. Masokis (nomina) menyukai baik penyiksaan verbal (kata-kata pedas, sarkatis, sindiran, hinaan) maupun fisik (pukulan, ikatan). Ia menganggap rasa sakit (pain), baik di hati maupun luka di badannya, adalah sebuah kenikmatan (pleasure) yang tak bisa dipisahkan. Diperkiraan ada sejenis endorphin (hormon kebahagiaan) yang berfungsi si sini2. Seks atau hubungan intim pada mamalia, pada dasarnya hadir untuk melestarikan makhluk hidup agar tidak punah. Hubungan ini pada perkembangannya lebih banyak dilandasi oleh rasa untuk ‘bersatu’ dengan orang yang dicintai, terlepas dari sesama jenis atau bukan. Namun, tidak sembarang melepaskan, karena seperti orang-orang bilang, apalah artinya seks jika hanya ‘melepaskan’? Apalah artinya hubungan badan tanpa cinta? Itu sama seperti kenikmatan sekresi, yakni perasaan lega karena sudah ‘membuang’ sesuatu (Mangunhardjana, 1997: 208—109).

Jangan lupakan mengenai penambahan tulang ekor di kedua kerangka. Jadi, apakah berarti manusia di sini telah disamakan dengan binatang? Bisa jadi.

Sekitar dua tahun yang lalu, Suwage pernah menuangkan ide yang sama dalam karya instalasi tiga dimensinya, membuat pesan yang ingin ia sampaikan menjadi semakin terkesan “real”.

2 Secara biokimia, endorphin merupakan penghilang rasa sakit alami yang dimiliki otak

(7)

Judul:Happiness is a Warm Gun Dimensi: 134 cm X 120 cm X 160 cm

Media: Seng, akrilik, besi, dan kotak lampu LED

Tahun pembuatan: 2011

Instalasi tersebut dipajang dalam pameran pertama Suwage di Amerika Serikat, tepatnya di Galeri New York sejak tanggal 3 Maret hingga 23 April 2011, yang bertajuk “The End is Just the Beginning is the End”. Hampir seluruh karya seni yang dipajang ketika itu mengadung unsur kerangka dalam berbagai bentuk dan makna. Warna-warna yang dipakai bernuansa sendu, kelabu, namun terkesan teduh dan sedikit membawa kesan kesepian, kebimbangan, atau pengembaraan.

Sebagaimana dilansir oleh trfineart.com, karyanya ini memang bertemakan sebuah meditasi tentang kelahiran, kehidupan, kematian, dan alam semesta, pencarian transeden tentang dogma dan ideologi. Mereka bahkan menambahkan bahwa "these works give us an insight into the artist;s own inner world of dreams that hover bertween past and future, life and death."3

Suwage tak hanya menunjukkan gejala pain = pleasure tersebut pada kerangka, ia juga menggambarkan hal serupa pada sebuah vespa.

3http://www.trfneart.com/exhibitions/agus-suwage-the-end-is-just-beginning-is-the-end.

(8)

Judul:Teruskan!! Makin Sakit Makin Baik Dimensi: 200 cm X 250 cm

Media: Minyak di atas linen

Tahun pembuatan: 2009

Tak hanya itu, Suwage bahkan memanifestasikan “quote” andalannya itu ke dalam potret dirinya sendiri.

Judul:Teruskan Semakin Sakit Semakin Baik Dimensi: 150 cm X 145 cm

Media: cat minyak di atas kanvas

(9)

3) Hitam = Putih

Karya Ketiga: Yin Yang

Too much yin becomes yang. Too much yang becomes yin.

—Yin Yang Theory

Judul:Yin Yang

Dimensi: 24 cm X 30 cm X 10 cm

Media: foto, papan seng, motor

Tahun pembuatan: 2003

Secara sintaksis, instalasi Yin Yang memperlihatkan sebuah kepala berwana kuning yang diperebutkan oleh dua tubuh tanpa kepala yang masing-masing berwarna putih dan hitam dari atas sampai bawah. Ekspresi si kepala tampak kesakitan dan kesulitan. Ia tampak bingung. Berpikir-pikir akan lebih baik jika ‘mendarat’ di tubuh yang mana. Di belakang aksi perebutan itu, tampak sebuah katrol yang digerakkan motor. Sekarang terlihat bahwa si kepala kuning sebetulnya tidak bisa pindah ke tubuh manapun karena ia terjebak dalam kaitan katrol yang terus berputar-putar.

(10)

menyebabkan ia berniat buruk atau jahat konon digerakkan pula oleh fungsi otak, sebelum nantinya membuat hormon dan tubuh beraksi sesuai perintah. Jadi, adalah hal yang ajaib melihat tubuh-tubuh itu dapat memperebutkan sesuatu tanpa kepala yang memandonya.

Yin Yang (阴 阳), yang menjadi judul instalasi ini, menurut mitologi Cina adalah sebuah terminologi yang melambangkan hitam dan putih, positif dan negatif, terang dan gelap, lelaki dan perempuan, segala sesuatu yang selalu berlawanan dan tidak akan pernah bersatu tapi sesungguhnya saling melengkapi.

Kata saling melengkapi di sini patut digarisbawahi. Yin tidak akan berarti tanpa Yang, begitupula Yang tidak akan eksis tanpa Yin. Ini bisa dianalogikan seperti pembela kebenaran dan pelaku kejahatan. Di antara keduanya berlaku hukum setara yang meski berbeda tapi sebetulnya saling melengkapi dan secara tidak sadar saling membutuhkan. Secara alami, di mana ada Yin, di situ pasti ada Yang, begitupula sebaliknya. Mereka selalu hadir bersamaan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan di bawah ini.

(11)

sebab ia pun dalam posisi tidak bisa memilih. Manusia selalu akan terjebak di tengah-tengah. Kebenaran dan kesalahan selamanya relatif. Memilih yang satu berarti mengabaikan yang lain.

Perhatikan baik-baik kepala Suwage. Warna yang dipihnya bukan abu-abu (gabungan hitam dan putih) melainkan kuning. Mengapa? Dalam kultus Indonesia, warna kuning melambangkan kematian, sebagaimana selalu diwakilkan oleh bendera warna serupa yang ditampilkan ketika ada seseorang yang ‘berpulang’. Kepala itu sendiri sebetulnya bisa saja sudah mati. Sebagaimana tubuh tidak bisa berfungsi tanpa kepala, kepala pun tidak bisa melaksanakan niatannya tanpa tubuh. Jadi, Suwage sedang menggambarkan dirinya atau manusia lain yang sedang dilema, mereka tidak bisa memilih, sebab kepala hanya ada satu dan badan yang memperebutkannya ada dua.

Patut diketahui pula bahwa Yin Yang melambangkan keharmonisan dan keseimbangan. Sebagai seorang peranakan Cina, mustahil Suwage tidak mengetahui hal itu ketika membuat instalasi ini. Kalau sudah begitu, yang bisa ia lakukan untuk membuat segalanya tetap seimbang hanyalah dengan tidak memilih, dan terus merasakan sakit karena diperebutkan oleh dua eksistensi yang tak akan pernah kalah ataupun mengaku kalah.

(12)

Karya Keempat: Cleaning the Mirror #2

Judul:Cleaning the Mirror #2 Dimensi: 119 cm X 91,5 cm

Media: cat minyak dan aspal di atas seng

Tahun pembuatan: 2010

Dilihat dari judulnya, Cleaning the Mirror dapat diartikan sebagai “membersihkan cermin”. Cermin, menurut KBBI adalah (1) kaca bening yang salah satu mukanya dicat dengan air raksa dsb. sehingga dapat memperlihatkan bayangan benda yang ditaruh di depannya, biasanya untuk melihat wajah ketika bersolek dsb; (2) kiasan: sesuatu yang menjadi teladan atau pelajaran; (3) kiasan: sesuatu yang membayangkan perasaan (isi hati, keadaan batin, dsb).

Jadi, cermin secara denotatif adalah kaca bening yang memantulkan bayangan seseorang, sementara ia juga memiliki dua arti kiasan/konotatif yakni sebagai (1) teladan dan (2) refleksi isi hati.

Jika diartikan secara gamblang, manusia dalam lukisan tersebut sedang bercermin dan melihat dirinya dalam bentuk kerangka. Jadi, manusia itu adalah kerangka dan kerangka adalah manusia itu.

(13)

takut dengannya, mereka berusaha melupakan dan menganggapnya tidak ada, atau hanya sekadar kotoran yang mesti dihapuskan eksistensinya.

Tapi mari kita lihat pose si kerangka. Tidak seperti si manusia yang berdiri tegap, kerangka ini menekuk sebelah kakinya, tampak santai seperti sedang berolah raga. Ia bahkan tidak peduli jika dirinya dihapus.

Kelakuan kerangka ini dapat ditafsirkan sebagai sebuah olok-olok, bahwasanya, meski dihapus dari cermin, ia akan selalu ada di sana, kematian akan selalu menunggu saatnya tiba. Seberapa kuat manusia melupakan, ia adalah kepastian yang akan tiba.

Akan tetapi, kalau dilihat baik-baik, apakah di sana betul-betul ada benda yang bisa disebut cermin? Manusia itu tidak menggosok benda datar, ia justru menggosok—membersihkan—si kerangka! Ia bahkan memegang tulung rusuknya agar kerangka itu tidak jatuh berkelotakan ketika sedang dibersihkan. Jadi, manusia itu “secara sadar” ingin menghapuskan jadi dirinya yang satu lagi, yakni sebagai kerangka, atau dengan kata lain, sebagai orang gempal yang suatu hari nanti akan jadi kerangka kurus kering tanpa daging, yang dengan kata lain: mati. Apabila kita melihat komposisi warnanya, baju manusia itu berwarna abu-abu, menyaru dengan warna latar belakang, sementara kerangka tersebut dipulas dengan warna terang sehingga terlihat jelas oleh mata. Bisa ditafsirkan, keberadaan manusia hampir pudar sementara si kerangka, semakin dibersihkan ia semakin terang. Jadi, kematian itu nyata, justru kehidupanlah yang tidak pasti. Hal ini pula yang dijadikan Suwage terhadap judul karyanya yang lain yakni: Death is Certain, Life is Not.

(14)

Karya Kelima: Paradiso-Inferno PP

Judul:Paradiso-Inferno PP Dimensi: 200 cm X 100 cm

Media: Print digital di atas kanvas

Tahun pembuatan: 2003

Pradiso-Inferno PP merupakan sebuah lukisan yang terdiri atas dua panel simetris yang masing-masing memiliki ukuran (2 X 1) meter. Ia berasal dari potret Suwage sendiri yang sedang menggunakan topeng babi, hampir bugil, sedang menghadap belakang, dan mempertontonkan gerakan sedang membuka celana dalam kepada kamera. Gestur menojolkan belahan bokong dapat dipahami sejak dulu sebagai bentuk ejekan atau hinaan kepada seseorang. Nilainya hampir sama seperti orang yang memeletkan lidah atau memberikan jempol terbalik.

Keduanya hampir identik, kecuali bahwa warna terang dalam panel Paradiso diubah jadi warna gelap di panel Inferno, begitu pula sebaliknya. Satu-satunya perbedaan, selain pada

caption ‘paradiso/inferno’ adalah letak kobaran api dalam celana dalam Inferno dan lingkaran halo yang mengambang di atas kepala Paradiso.

(15)

Sementara itu, PP adalah singkatan yang umum diketahui publik Indonesia sebagai “pulang-pergi”. Misalnya jika ada orang yang berkata “saya butuh tiket ke Semarang PP” berarti dia butuh tiket ganda, yakni untuk pergi ke Semarang dari lokasi dia berada sekarang, dan tiket kedua dari Semarang ke lokasi awalnya. Oleh karena itu, Paradiso-Inferno PP dapat dimaknai sebagai orang yang pulang pergi, dari neraka menuju surga, dan kembali lagi, dari surga menuju neraka. Begitu terus. Tak ada habisnya. Seolah-olah orang bisa bebas bolak-balik neraka-surga. Ini bertentangan dengan doktrin agama secara umum bahwa surga dan neraka tidak bisa dimasuki atau ditinggalkan semudah itu.

Suwage, dalam lukisan ini bukan ingin membandingkan perbedaan surga dan neraka. Ia justru ingin menyamakan keduanya. Bahwa tidak ada beda antara surga dan neraka. Hanya gelap dan terang. Hanya beda persepsi. Hanya dua sisi mata uang. Hanya seperti cermin. Ini dibuktikan dengan postur Suwage di kedua foto yang persis sama.

Postur dua orang Suwage yang melambangkan surga dan neraka, jika dilihat baik-baik, tampak seperti orang yang saling mengejek satu sama lain. Seperti dua orang yang saling memusuhi. Jadi, bokong itu bukan diarahkan pada pengguna tanda, tetapi pada masing-masing ‘alter-ego’nya. Mereka, kedua orang itu tidak sadar bahwa sebenarnya mereka serupa, sejenis, tetapi mereka tidak melihatnya karena mereka saling membelakangi dan terlalu sibuk untuk saling membenci satu sama lain.

(16)

Bahwasanya, surga dan neraka sama seperti tangan kanan dan tangan kiri, yang meski keduanya tidak bertemu tapi berasal dari ‘tubuh’ yang sama.

Selain tatoo, Suwage juga memproduksi ide tersebut dalam model yang lebih ‘elegan’. Dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Judul:Pradiso-Inferno #5 Dimensi: 136 cm X 89 cm X 3,5 cm

Media: Cat minyak, daun perak dan bitumen/aspal di atas seng, serta aluminium

(17)

6) Pelindung = Penganiaya

Karya Keenam: Monumen yang Menjaga Hankamnas

Judul:Monumen yang Menjaga Hankamnas Dimensi: 320 cm X 260 cm X 260 cm

Media: grafit pada resin, kuningan berlapis emas, kain, baja, botol-botol bir, lampu-lampu LED, kotak akrilik, dan lampu-lampu flourescent

Tahun pembuatan: 2012

Secara felt-axis4, mula-mula kita hanya akan menyadari tumpukan botol bir dengan warna

hijau yang terang benderang, yang dibentuk seperti kerucut atau piramida, dan makin ke atas makin kecil. Namun, tepat di puncak gunungan botol, kita akan mendongak dan melihat, di sana terdapat satu sosok kerangka bersayap yang berdiri gagah sambil membawa sebilah pedang.

4 Saat melihat sesuatu, secara tidak sadar, kita membuat referensi garis vertikal dan

(18)

Warna dominan hijau menyimbolkan seragam tentara yang juga identik dengan warna hijau. Selain itu, hijau terang adalah warna paling umum yang biasa terdapat pada desain botol bir. Meski terdapat pula warna-warna lainnya yang beredar, hijau menyala tetap memiliki strereotip paling kuat sebagai warna botol untuk menunjukkan bir. Bir di sini hanya berperan sebagai makna denotasi, sementara secara konotasi, ia melambangkan sifat mabuk-mabukan. Dan orang mabuk adalah orang yang limbung, pening, dan tergopoh-gopoh dalam berjalan, mengemudi, atau aktifitas lainnya. Adapun aktivitas yang dimaksud di sini adalah aktifitas dalam menjaga hankamnas.

Tetapi, apakah HANKAMNAS itu sendiri? Melihat tahun pembuatannya, pada 2012, di Indonesia, terdapat banyak aksi menolak RUU Hankamnas (Rancangan Undang-undang Pertahanan dan Keamanan Nasional) baik dari masyarakat sipil, buruh, mahasiswa, Komnas HAM, maupun bermacam-macam LSM karena isinya yang tidak berpihak pada rakyat. Kembali ke padanan mabuk yang limbung dan bimbang, beberapa pasal dalam RUU dinilai masih bias dan multitafsir, sehingga tidak sepatutnya disahkan menjadi UU tanpa melalui kajian dan diskusi yang lebih mendalam terhadap pihak terkait. Sebut saja pasal 54E yang mengatur kuasa khusus yang dimiliki unsur Kamnas yaitu berupa hak menyadap, menangkap, memeriksa, dan memaksa. Hal-hal itu jelas merupakan pelanggaran kemanusiaan. Tidak heran alasan penolakan yang dikemukakan demonstran kebanyakan tentang pelanggaran HAM, terbelenggunya demokrasi, serta pengebirian hak rakyat untuk bebeas berpendapat, sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 35. Mayjen (Purn) TB Hasanuddin yang juga merupakan mantan Sekretaris Militer Presiden, dalam suatu wawancara bahkan menagatakan bahwa "banyak pasal karet lainnya yang dapat diselewengkan oleh penguasa demi kepentingan politiknya"6.

Dari bahan baku penyusun piramida dan esensinya yang disebut “monumen”, kita bergeser pada komponen instalasi lainnya, yakni malaikat itu sendiri. Pada lain kesempatan, dalam salah satu pameran di Nadi Gallery, Suwage merubah pose malaikat tersebut menjadi “gaya preman” yakni duduk dengan satu kaki terangkat dan pedang terhunus, seperti yang bisa dilihat di bawah ini.

5 Bunyinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.”

6 Senin, 01 Oktober 2012. Laporan Aldi Gultom dalam

(19)

Untuk mengamati si malaikat lebih dekat, kita bisa melihat figur yang persis sama dengan lukisan Suwage yang berjudul: Malaikat yang menjaga Hankamnas—yang dibuat pula pada tahun yang sama.

Judul:Malaikat yang Menjaga Hankamnas #3 Ukuran: 117 cm X 87 cm X 3,5 cm

Media: Cat minyak dan daun emas di atas seng dan aluminium

Tahun pembuatan: 2012

(20)

rongga mata yang dibiarkan terbuka. Di tangannya tergenggang pedang ramping berwarna emas pula.

Secara umum, gambaran tentang malaikat semestinya figur yang rupawan dengan halo di atas kepala, bersayap dan berbaju putih. Tetapi apa yang ditampilkan Suwage justru kebalikannya. Sebagai kerangka saja, ia sudah tampil mengerikan. Apalagi, tulang manusia semestinya berwarna putih atau kuning gading, bukan warna asap (abu-abu kehitaman). Lilitan kain di mukanya semakin menambah gahar karena ekpresinya tidak terbaca. Selain itu, ia juga menggenggam pedang. Pedang di sini dapat diartikan sebagai ancaman atau kesiapan untuk melawan siapapun yang menghadang.

Jadi, di sini Suwage seolah ingin mengatakan, mengkritik, menyetujui aksi protes, bahwa bagaimana mungkin RUU Kamnas disahkan jadi UU, sementara baik isi maupun orang-orangnya masih mabuk dan labil? Kekerasan yang dilakukan oleh POLRI dan TNI di beberapa daerah Indonesia, katakanlah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Kuningan, atau Madura, atau tindak kekerasan yang mereka lakukan terhadap demo buruh, apa itu yang disebut menjaga keamanan? Itu semua terjadi, padahal sudah ada UU TNI-POLRI. Bagi Suwage, mereka cuma berdalih sebagai orang-orang suci (malaikat) yang mempertahankan negara, padahal sebetulnya hanya penganiya (kerangka pembawa pedang) yang berlagak punya kuasa (sayap emas) dan sedang mabuk dalam menara konyol buatannya sendiri (botol bir) tanpa tahu bahwa apa yang dilakukannya justru sebaliknya. RUU Kamnas bukan hadir untung memperkuat pertahanan negara, tapi justru pertahanan hagemoni dan supremasi egois aparat negeri ini. Seniman adalah satu dari banyak pihak yang pada masa Orde Baru paling merasakan susahnya “bebas” di bawah legalitas dwi-fungsi ABRI. Lewat instalasinya yang ‘nyentrik’ ini, Suwage terkesan ingin mengejek mereka dengan idiom Barat yang sedang ngetren saat itu, yakni: “Go home (Indonesian politics), you are drunk.”7

7 Terjemahan bebas: "Pulanglah (subjek), Anda sedang mabuk". Padanan lainnya dalam

Referensi

Dokumen terkait

1. Kegiatan yang bertujuan memperoleh goodwill, kepercayaan, saling adanya pengertian dan citra yang baik dari publik atau masyarakat pada umumnya. Memiliki sasaran untuk

Oleh karena itu, akan dirancang cetakan komponen tersebut dengan memodifikasi cetakan yang tidak terpakai (reused mold) tapi masih memiliki spesifikasi material

Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan mempunyai tugas melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang Pertanian tanaman pangan dan hortikultura,

Tegasnya, Syaykh Abd Aziz bin Abd Salam telah memberi suatu sumbangan yang besar terhadap metodologi pentafsiran kepada pengajian tafsir di Malaysia.. Sumbangan

PPKA Bodogol atau yang dikenal dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol adalah sebuah lembaga konservasi alam di daerah Lido Sukabumi dan masih merupakan bagian dari

Kinerja lebih terperinci seperti apa yang dikenal dengan pendapatan, efisiensi, pertumbuhan (termasuk perluasan pasar), kesempatan kerja, prestasi, profesionalisme,

Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan antara lain; (1) guru menjadi teladan bagi peserta didik; (2) membantu peserta didik merumuskan missi

Pelaksanaan kegiatan, setelah bahan dan peralatan disiapkan, maka tahap selanjutnya adalah tahap pelaksanaan kegiatan yaitu dilakukan kegiatan berupa pengoperasian/