PANCASILA
SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI
1. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi dalam Hukum
Oleh: Mochtar Pabottingi
JAKARTA, KOMPAS - Kapan pun dan di negara mana pun kondisi penyelenggaraan hukum berada pada tingkat ideal manakala ia dipandu oleh atau sejalan dengan arah dan dialektika politik juga pada tingkat idealnya.
Harus diakui bahwa ada perkiblatan prinsipiil-universal dari hukum pada politik, terutama pada konstitusi. Konstitusi tak lain dari himpunan prinsip politik menyangkut sumber, tujuan, kegunaan, dan pembatasan kekuasaan. Konstitusi merupakan hasil deliberasi atas keputusan makropolitik para pemimpin suatu bangsa untuk mendirikan negara. Elan vital tiap konstitusi demokratis dalam negara-bangsa adalah politik pada esensi dan jabaran agenda makropolitiknya yang tercerahkan. Lantaran esensi dan jabaran demikian itulah, ia dijadikan induk hukum.
Titik kolektivitas politik maupun kolektivitas hukum ideal tercapai dalam simbiosis bangsa (nasion) dan demokrasi. Bangsa dan demokrasi bisa dirumuskan sebagai kolektivitas dan sistem politik yang bersifat egaliter-otosentris.
Sifat otosentris mengacu pada keadaan ketika segenap warga negara saling menopang dan saling memuliakan sebagai suatu himpunan dalam prinsip kesetaraan bernegara-bangsa yang non-diskriminatif. Kata "otosentris" (autocentric) di sini berarti pemihakan dan pemuliaan bagi himpunan bangsa sendiri di dalam prinsip- prinsip kebajikan politik universal di tengah koeksistensi kompetitif lintas bangsa, yang hingga kini masih ditandai oleh banyak ketidakadilan sistemik yang berakar dalam.
Konstitusi, agenda makropolitik
Sejak Ethica Nicomachea, Magna Carta, hingga Declaration of Independence—dan bagi kita sejak Pancasila dan/atau Mukadimah UUD 1945 (termasuk mutiara-mutiara kearifan dari khazanah lintas suku pada bangsa kita)—hukum dan politik tak pernah bisa dan memang tak semestinya dipisahkan. (Pancasila tentu harus dipahami bukan sebagai semata seperangkat ideal muluk, melainkan sebagai hasil kristalisasi dan sublimasi politik yang jujur tulus dari para Bapak Bangsa kita vis-à-vis berabad perjuangan protonasion dan terutama Pergerakan Nasional serta Revolusi Kemerdekaan di Tanah Air.) Konstitusi seperti dalam pemahaman Aristoteles tiada hentinya menegaskan ketakterpisahan antara hukum dan politik itu. Begitulah maka dia menyimpulkan dalam Ethica Nicomachea bahwa "hukum adalah 'hasil kerja' politik".
Bukti bahwa konstitusi adalah suatu agenda makropolitik terbaca jelas misalnya dari kalimat pembuka Konstitusi Amerika: "Kami rakyat Negara-Negara Serikat, demi membangun suatu kesatuan yang lebih sempurna (a more perfect Union) ... dengan ini memaklumkan dan menetapkan Konstitusi Amerika Serikat". Ini juga tampak jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Negara kita didirikan untuk membentuk suatu pemerintahan "yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia ... dan keadilan sosial".
Pada tahun 2002, saat amandemen konstitusi masih berlangsung riuh, saya menekankan niscayanya penegasan bahwa pada tiap negara demokrasi, hukum merupakan bagian inheren di dalam rasionalitas politik demokrasi, bukan sebaliknya. Rasionalitas politik itulah yang meniscayakan adanya Konstitusi dan kemudian Mahkamah Konstitusi. Hukum tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan lepas dari rasionalitas politik demokrasi.
Singkatnya, negara hukum kita akan menjadi bangkrut atau mengerdil jika ia tidak dipandu oleh politik dalam paradigma nasion/demokrasi dan menurut persenyawaannya dengan ideal-ideal Pancasila.
Dalam kerangka pemahaman inilah, kita harus menghadapi kemelut politik yang timbul sekitar sebulan terakhir menyangkut kontroversi kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) dan/atau perseteruan antara KPK dan Polri bersama Plt Sekjen PDI-P (selanjutnya disebut Polri Plus). Kemelut politik ini bersumber pada kontroversi hukum yang membesar dan melar nyaris tak terkendali bukan terutama karena posisi-posisi hukum yang di dalamnya bertentangan secara diametral, melainkan karena lenyapnya kesadaran mengenai keniscayaan perindukan hukum pada politik (baca: konstitusi) atau pada arah, evolusi, dan dialektika politik kita.
Argumen-argumen konstitusional memang ramai juga dilontarkan, tetapi itu banyak dilakukan secara kerdil dengan tekanan hanya pada sisi prosedural-legalitasnya, bukan pada sisi tujuan-tujuan substantifnya—apalagi pada kegentingan status atau kondisi dialektis mutakhir bangsa kita (the current state of our nation).
Untuk menyikapi kontroversi KPK dan Polri Plus secara arif dan adil, kita pertama sekali harus melihat letak permasalahan dalam konteks arah dan dialektika negara- bangsa kita, khususnya dalam pergulatannya yang sungguh berat melawan wabah korupsi yang kian lama kian parah dan yang secara langsung kian mengancam sendi-sendi kenegaraan dan pemerintahan kita.
Kemelut politik ini tak bisa direduksi sebagai masalah-masalah pribadi atau hak-hak konstitusional individu. Dari rezim ke rezim, terutama di bawah Orde Baru dan pada tahun-tahun pertama Reformasi (terlepas dari kekuatan tekad dan ketetapan-ketetapan politiknya untuk memberantas KKN), negara-bangsa kita telah kalah melawan wabah korupsi itu yang kian lama kian menjadi monster.
Setiap warga negara kita yang arif dan jujur pasti mengakui bahwa sudah bertahun-tahun kita berada dalam "kondisi darurat korupsi". Dan dalam kehidupan bernegara-bangsa kita, tak ada yang tak dirusak dan dibusukkan oleh kondisi demikian.
Baru sedari 2002, dengan dibentuk dan diundangkannya KPK, kita memperoleh momentum untuk benar-benar menggebrak wabah korupsi yang telah memonster itu. Dengan tepat laku korupsi telah dicanangkan sebagai "kejahatan luar biasa" (an extraordinary crime). Terlepas dari rangkaian tuduhan miring terhadapnya, KPK sejak berdirinya telah membuktikan diri sebagai cukup ampuh dalam mencegah serta membongkar kasus-kasus korupsi kakap. Melihat hasil-hasil itu, dukungan masyarakat bangsa bagi KPK juga makin lama makin kuat.
Pengeruhan hukum
Setiap warga negara dituntut untuk menyadari bahwa terlepas dari kekurangan-kekurangan (baik yang nyata maupun yang direkayasa) yang menandai KPK, perjuangan untuk mempertahankannya bersifat eksistensial. Perjuangan itu tak hanya bisa menentukan maju-mundurnya negara-bangsa kita, tetapi juga sehat-sakit, hidup-mati, dan mulia-hinanya. Jauh hari Sokrates sudah mengingatkan kita: "Kehinaan bekerja lebih cepat daripada kematian". Ya, karena bagi setiap manusia atau bangsa terhormat, kehinaan memang jauh lebih buruk daripada kematian. Ia sudah membunuh reputasi kita sebelum ajal. Kematian hanyalah instansi tamatnya hidup, tetapi kehinaan terekam abadi sebagai jejak hidup—bau busuk yang akan terus berkisar ke mana-mana sepanjang masa.
Dalam kemelut KPK-Polri Plus, pertama-tama harus ditekankan bahwa hampir semua pihak melakukan atau bisa dituduh melakukan kesalahan. Memang tak ada manusia dewa. Justru lantaran ketiadaannya itulah, kita harus bisa memilah-milah aneka jenis dan gradasi rangkaian kesalahan, rangkaian motif, penghalalan cara, dan kriminalisasi yang terjadi. Kita perlu mengakui bahwa dalam kasus ini ada kesalahan prosedural dan kesalahan substansial juga dalam jenis dan gradasi yang berbeda-beda.
Di tengah kompleksitas kemelut masalah, keadilan terpuji hanya bisa ditegakkan dengan menyimak secara teliti rangkaian jenis dan gradasi dari kesalahan-kesalahan yang terjadi.
Misalnya, satu pertanyaan bisa diangkat, satu saja: apakah motif "balas dendam" Abraham Samad, jika betul ada, dalam penetapan BG sebagai tersangka lebih berbobot nista daripada motif keberangan pihak-pihak tertentu, juga jika betul ada, karena terganjalnya plot mereka untuk melenyapkan peluang bagi terbongkarnya rangkaian megakorupsi para penyelenggara negara beserta rangkaian laku korupsi destruktif dalam tubuh lembaga-lembaga penegakan hukum selama belasan tahun terakhir?
Menghadapi masifnya pengeruhan di ranah hukum selama sebulan terakhir, kita sama sekali tak boleh melepaskan darispotlight agenda utama bangsa kita untuk menegakkan pemerintahan yang bersih. Untuk itulah KPK dibentuk. Ia bertugas menyelamatkan republik kita dari kanker KKN—dari kondisi "darurat korupsi"— yang disebarkan begitu dalam dan parah oleh maupun lewat kompleksitas para penyelenggara negara terutama di sepanjang Orde Baru dan pada tahun-tahun awal Reformasi yang sarat distorsi, kerancuan, dan keserakahan.
Kenyataan "darurat korupsi" atau "kejahatan luar biasa" ini masih berlaku dengan daya destruktif yang sungguh masih penuh. "Kriminalisasi" total dan sewenang-wenang terhadap pimpinan KPK haruslah dibaca dalam kerangka hukum Archimedes di ranah politik tadi: makin kuat tekanan untuk membongkar kehinaan dalam laku dan kehidupan bernegara, makin kuat pulalah reaksi balik dari para pemangku kepentingan yang menghendaki agar rangkaian kehinaan tak terbongkar dan terus merajalela.
highest order) dan dari status itu juga menjadi hukum dalam acuan tertinggi (law in the highest order). Ke situlah hukum kita mesti berkiblat.
Selama kondisi "darurat korupsi" masih berlaku, selama itu pula KPK mengemban hukum dalam perkiblatan politik tertinggi itu. Begitulah, maka seluruh penyelenggara negara yang bajik, terutama di dalam lembaga-lembaga penegak hukum, mestilah membulatkan hati dalam menggalang upaya bersama himpunan rakyat yang juga bajik demi memastikan bahwa politik dan hukum dalam acuan tertinggi itulah yang berlaku.
Insya Allah, energi dan akal budi bangsa kita tak akan pernah kurang untuk menjabarkan kiat-kiat yang adil dan terpuji demi mewujudkan suatu kehidupan bernegara-bangsa secara indah dan benar. Memang hanya dengan jalan itu kita bisa menyelamatkan bangsa dan demokrasi kita sekaligus—dan dengan itu pula menyelamatkan "tri-amanah" kita: Amanah Tanah Air, Amanah Kemerdekaan, dan Amanah Republik.
Mochtar Pabottingi Profesor Riset LIPI
Sumber :
http://nasional.kompas.com/read/2015/02/12/15000051/Kiblat.Hukum.Kita
Kesimpulan :
Jadi dari artikel di atas yang berjudul “KIBLAT HUKUM KITA” dapat kita
simpulkan, yaitu setiap warga negara dituntut untuk menyadari bahwa terlepas
dari kekurangan-kekurangan yang menandai KPK, perjuangan untuk
mempertahankannya bersifat eksistensial. Perjuangan itu tak hanya bisa
menentukan maju-mundurnya negara-bangsa kita, tetapi juga sehat-sakit,
hidup-mati, dan mulia-hinanya.
Rakyat Indonesia saat ini hanya bisa mengawasi dan menunggu, niscaya energi
dan akal budi bangsa kita tak akan pernah kurang untuk menjabarkan kiat-kiat
yang adil dan terpuji demi mewujudkan suatu kehidupan bernegara-bangsa secara
indah dan benar yang berdasarkan pada Pancasila. Memang hanya dengan jalan
itu kita bisa menyelamatkan bangsa dan demokrasi kita sekaligus, dan dengan itu
pula menyelamatkan "tri-amanah" kita: Amanah Tanah Air, Amanah
Kemerdekaan, dan Amanah Republik serta tetap berpedoman hidup pada
Pancasila.
2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi dalam Politik
Mahyudin: MPR Ingin Hidupkan Kembali GBHN
Mahyudin menuturkan acara ini sangat penting untuk keberlangsungan bangsa dan negara. "Ini merupakan tugas MPR yang diamanatkan dalam UU MD3," ujarnya. Beberapa waktu lalu nama sosialiasi 4 Pilar adalah Sosialisasi 4 Pilar berbangsa dan bernegara.
Di Universitas Wiralodra dikatakan sering dilakukan sosialisasi dengan nama 4 Pilar Berbangsa. Perubahan ini karena ada yang keberatan dengan kata pilar yang disematkan pada Pancasila.
Menurut Mahyudin sebenarnya tak ada masalah. Sosialiasi 4 Pilar hanya penjudulan untuk memudahkan sosialisasi. Diungkapkan MPR pernah bertemu Presiden Jokowi dan mengatakan masalah ideologi adalah soal penting karena saat ini banyak pengaruh global seperti tawuran, begal motor. narkoba, pornografi. "Di manakah nilai-nilai Pancasila?" tanya Mahyudin.
Disampaikan Mahyudin kalau 4 Pilar hanya disosialisaikan MPR hasilnya tak maksimal. Dirinya mengharap pemerintah harus turun tangan untuk ikut mensosialisasikan. Diakui saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah dan mengeluarkan aturan adanya pelajaran yang mengandung nilai-nilai Pancasila. Dikatakan lagi bahkan pemerintah saja ini merancang program kader bela negara.
Menyikapi hal demikian Mahyudin menyambut baik. Pendidikan bela negara dikatakan untuk menanamkan rasa cinta tanah air. "Kita menyambut baik apa yang dilakukan pemerintah," ujarnya.
Problem kebangsaan inilah yang membuat MPR melakukan sosialisasi dengan beragam metode. Disampaikan pula oleh Mahyudin bahwa MPR sekarang mengkaji sistem ketatanegaraan dengan membentuk Lembaga Pengkajian dengan anggota berjumlah 60 orang yang mempunyai latar sebagai pakar.
Lembaga ini akan mengkaji apakah sistem ketatanegaraan sudah sesuai dengan kebutuhan apa belum. Diungkapkan oleh Mahyudin kadang kadang orang Indonesia berpikir bahwa demokrasi adalah tujan padahal tujuan kita adalah sesuai dengan Pembuakaan UUD Alinea IV. "Demokrasi bukan tujuan tapi sarana," tegasnya.
Mahyudin dalam kesempatan itu mengungkapkan bahwa dirinya selepas berkunjung ke salah satu pimred koran terbesar. Dirinya dalam pertemuan itu mengatakan MPR mempunyai keinginan untuk melahirkan GBHN kembali. Selepas reformasi bangsa ini arah pembangunan tak jelas ke mana arahnya.
Ia mencontohkan Uni Soviet, Majapahit, Sriwijaya, dan kerajaan-kerajaan besar Islam bubar di tengah jalan. Meski demikian dirinya menegaskan dirinya akan mempersiapkan Indonesia tetap ada. Ditegaskan bahwa Indonesia memiliki kesamaan ideologi, Pancasila. Dengan menghayati, menanamkan dalam diri, dan melaksanakan, Indonesia akan tetap bersatu dan utuh.
Reporter: Ervan Bayu
Editor: Nur Hidayat
Sumber :
http://www.gatra.com/politik/politik/171236-mahyudin-mpr-ingin-hidupkan-kembali-gbhn
Kesimpulan :
Jadi dari artikel di atas yang berjudul “Mahyudin: MPR Ingin Hidupkan
Kembali GBHN” dapat kita simpulkan, yaitu selepas reformasi bangsa ini arah
pembangunan tak jelas ke mana arahnya, nilai-nilai Pancasila sudah memudar
dengan banyaknya pengaruh global. Maka dari itu MPR berencana melahirkan
GBHN kembali, demi keberlangsungan bangsa dan negara.
Di saat yang bersamaan, dikeluarkannya aturan adanya pelajaran yang
mengandung nilai-nilai Pancasila oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
merupakan suatu tindakan yang tepat. Sebab pendidikan bela negara berguna
untuk menanamkan rasa cinta terhadap tanah air.
Dapat kita lihat saat ini mayoritas masyarakat berpikir bahwa demokrasi
adalah tujan, padahal tujuan kita adalah sesuai dengan Pembuakaan UUD Alinea
IV yaitu demokrasi merupakan sarana. Sarana untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, yang
tentunya berasaskan pada Pancasila. .
sebab Indonesia memiliki kesamaan ideologi, yaitu Pancasila. Dengan
menghayati, menanamkan dalam diri, dan melaksanakan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, Indonesia akan tetap bersatu dan utuh.
3. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi dalam Sosial Budaya
Pengamat: Pancasila Merosot Sejak Era Reformasi
Jakarta- Sosiolog Sigit Rochadi mengatakan, secara umum penghayatan atau pemaknaan terhadap Pancasila mulai merosot tajam sejak era Reformasi. Hal yang sama juga terjadi pada makna
Bhineka Tunggal Ika yang semakin pudar dan yang terjadi muncul budaya baru dari negara lain sehingga masing-masing kelompok bangkit dan mencari ruang.
Dosen Universitas Nasional (Unas) ini menyebutkan, kelompok tersebut mencari ruang dalam rangka merebut
sumber daya yang lebih besar. Maka yang terlihat, kebangkitan kelompok agama yang melahirkan konflik antara pemeluk agama di mana-mana. Kebangkitan kelompok etnis, terlihat perkelahian antarsuku, desa, dan komunitas.
“Kita bisa melihat bagaimana perusakan tempat- tempat ibadah oleh pemeluk agama lain. Ini yang dinamankan merosotnya penghayatan dari Pancasila,” jelas Sigit kepada SP di Jakarta, Jumat, (2/10).
Dia mengatakan, jika melihat sila ketiga tentang Persatuan kondisinya masih sama. Keterbukaan dan liberarisasi dan demokrasi dimaknai sebagai kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan menyatakan sikap tanpa memperhatikan kebebasan kelompok lain. pemahaman terhadap demokrasi terdapat pada kebebasan belum diikuti dengan pemahaman akan penegakan hukum.
Sigit menjelaskan, pada kenyataan sebenarnya, demokrasi tidak dapat berjalan tanpa penegakan hukum. Ketika ingin melaksanakan nilai-nilai demokrasi tetapi yang muncul anarkisme atau suatu bentuk kekerasan perilaku menghalalkan secara cara.
ketimpangan sangat mencolok sehingga keadilan sosial yang diharapakan masih belum tercapai karena masih ada masalah ekonomi yang membelit serta masalah sosial yang ada pada kelompok-kelompok tertentu.
Sigit mengatakan, untuk menghindari dan menjaga rasa nasionalisme dan Pancasila, maka harus disediakan ruang publik untuk anak-anak. Sebab saat ini ruang publik untuk bermain, bercengkrama, dan berinteraksi untuk bersosialisasi tidak ada. Anak-anak kehilangan ruang publik. Karena itu, untuk menamamkan nilai kebersamaan, nasionalisme, patriotisme perlu diberikan sarana prasarana publik. Misalnya adanya arena olaraga, bermain, bersosialisasi, dan adanya taman.
Untuk mewujudkan ruang publik, Sigit mengharapkan adanya kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah. Kekerasan dan anarkis yang terjadi selama ini karena bentuk luapan kreasi anak-anak yang tidak memiliki ruang publik yang berdampak negatif. Namun, tujuannya sesunggunya untuk menyalurkan segala kreativitas di ruang publik.
"Kita bisa lihat Bandung, Yogyakarta, dan Bali yang memiliki ruang, banyak terlahir anak-anak yang memiliki kreasi yang tinggi. Sedangkan daerah yang tidak memiliki ruang publik, yang muncul perbuatan- perbuatan negatif sebagai bentuk ekspresi diri," ujarnya.
Maria Fatima Bona/PCN