• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi botani kelapa sawit adalah sebagai berikut: : Dura, Psifera, Tenera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi botani kelapa sawit adalah sebagai berikut: : Dura, Psifera, Tenera"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit

Klasifikasi botani kelapa sawit adalah sebagai berikut: Divisio : Tracheophyta Subdivisio : Pteropsida Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotiledonae Ordo : Cocoidae Familia : Palmae Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guinensis Varietas : Dura, Psifera, Tenera

Kelapa sawit merupakan tanaman tropis penghasil minyak nabati yang hingga saat ini diakui paling produktif dan ekonomis dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Jika dibandingkan dengan minyak nabati lain, minyak kelapa sawit memiliki keistimewaan terendiri, yakni rendahnya kandungan kolestrol dan dapat diolah lebih lanjut menjadi suatu produk yang tidak hanya dikonsumsi untuk kebutuhan pangan, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan nonpangan (Hadi, 2004).

Pelepah dan daun kelapa sawit memiliki kandungan nutrisi bahan kering (% BK) setara dengan rumput alam yang tumbuh di padang penggembalaan. Kandungan zat-zat nutrisi pelepah dan daun kelapa sawit adalah bahan kering 48.78%, protein kasar 5.3%, hemiselulosa 21.1%, selulosa 27.9%, serat kasar 31.09%, abu 4.48%, BETN 51.78%, lignin 16.9%, dan silica 0.6% (Imsya, 2007).

(2)

Limbah Perkebunan Kelapa Sawit

Menurut Sa’id (1996), berdasarkan lokasi pembentukannya, limbah hasil perkebunan kelapa sawit dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu :

1. Limbah lapangan

Limbah lapangan merupakan sisa tanaman yang ditinggalkan waktu panen, peremajaan, atau pembukaan areal perkebunan baru. Contoh limbah lapangan adalah kayu, ranting, pelepah, dan gulma hasil penyiangan kebun. Setiap pembukaan perkebunan baru dihasilkan kayu tebangan hutan antara 40 – 50 m3/tahun. Satu hektar tanaman kelapa sawit akan menghasilkan limbah pelepah daun sebanyak 10,40 ton bobot kering dalam setahun.

2. Limbah pengolahan

Limbah pengolahan merupakan hasil ikutan yang terbawa pada waktu panen hasil utama, dan kemudian dipisahkan dari produk utama waktu proses pengolahan. Menurut penggunaannya, limbah pengolahan terdiri dari tiga kategori sebagai berikut.

a. Limbah yang diolah menjadi produk lain karena memiliki arti ekonomi yang besar seperti inti sawit.

b. Limbah yang didaur ulang untuk menghasilkan energi dalam pengolahan dan pupuk, misalnya tandan kosong, cangkang, dan serat (sabut) buah sawit.

c. Limbah yang dibuang sebagai sampah pengolahan.

Limbah pelepah sawit hanya dimanfaatkan menjadi pakan ternak dan pupuk kompos. Analisa kimia terhadap pelepah sawit menunjukkan bahwa terdapat komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang memperlihatkan

(3)

bahwa pelepah sawit berpeluang untuk diolah lebih lanjut menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis (Badan Pusat Statistik Riau, 2011).

Kompos

Kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik lainnya. Kompos mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan antara lain:

1) memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan 2) memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai 3) menambah daya ikat air pada tanah

4) memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah 5) mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara

6) mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit 7) membantu proses pelapukan bahan mineral

8) memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba 9) menurunkan aktivitas mikroorganime yang merugikan (Indriani, 2001).

Menumpuknya limbah organik memerlukan penanganan agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti bau tidak sedap atau menjadi sarang lalat. Jalan pintas yang sering dijumpai adalah dengan membakar. Pembakaran limbah organik tersebut selain tidak memberikan manfaat, juga dapat menimbulkan polusi udara. Kandungan rata- rata kompos dapat dilihat pada tabel:

(4)

Tabel 1. Kandungan rata-rata hara kompos Komponen Kandungan (%) Kadar air 41,00 – 43,00 C-Organik 4,83 – 8,00 N 0,10 – 0,51 P2O5 0,35 – 1,12 K2O 0,32 – 0,80 Ca 1,00 – 2,09 Mg 0,10 – 0,19 Fe 0,50 – 0,64 Al 0,50 – 0,92 Mn 0,02 – 0,04

Sumber : Dari beberapa pupuk organik yang beredar di pasaran s/d 2002 (Musnamar, 2003).

Secara garis besar, membuat kompos berarti merangsang perkembangan bakteri (jasad-jasad renik) untuk menghancurkan atau menguraikan bahan-bahan yang dikomposkan hingga terurai menjadi senyawa lain. Penguraian bahan-bahan tersebut dibantu oleh suhu 60° C. Proses penguraian tersebut mengubah unsur hara yang terikat dalam senyawa organik sukar larut menjadi senyawa organik larut sehingga berguna bagi tanaman. Pengomposan bertujuan untuk menurunkan rasio C/N. Tergantung jenis tanamannya, rasio C/N sisa tanaman yang masih segar umumnya tinggi sehingga mendekati rasio C/N tanah. Bila bahan organik yang memiliki rasio C/N tinggi tidak dikomposkan terlebih dahulu (langsung

diberikan ke tanah) maka proses penguraiannya akan terjadi di tanah (Lingga dan Marsono, 2001).

Prinsip Pengomposan

Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N ratio bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (<20). Dengan semakin tingginya C/N bahan maka proses pengomposan akan semakin lama karena C/N harus diturunkan. Waktu yang diperlukan untuk menurunkan C/N tersebut bermacam-macam dari 3 bulan hingga

(5)

tahunan. Hal ini terlihat dari pembuatan humus di alam, dari bahan organik untuk menjadi humus diperlukan waktu bertahun-tahun (humus merupakan hasil proses lebih lanjut dari pengomposan) (Indriani, 2001).

Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan mikrobia agar mampu mempercepat proses dokomposisi bahan organik. Mikrobia tersebut adalah bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Bahan organik untuk bahan baku kompos ialah jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran hewan/ternak, dan sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan adalah kelembaban timbunan bahan kompos, aerasi timbunan, temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (60°C), suasana, netralisasi keasaman, dan kualitas kompos (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Pengomposan Aerob

Sistem pengomposan aerobik adalah proses dekomposisi bahan organik dengan oksigen bebas dan sebagai hasil akhir diperoleh air, CO2, unsur-unsur

hara, dan energi. Energi yang dihasilkan pada pengomposan sistem aerobik adalah 484 – 674 kkal/mol glukosa. Energi tersebut dihasilkan dari perombakan bahan karbon menjadi karbondioksida. . Reaksi keseluruhannya,

BO, m.o CO2 + H2O + Unsur hara + Humus + Energi

(Sa’id, 1996).

Dalam sistem ini, kurang lebih 2/3 unsur karbon (C) menguap (menjadi CO2) dan sisanya 1/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup. Selama

proses pengomposan aerob tidak timbul bau busuk. Selama proses pengomposan berlangsung akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan temperatur dalam timbunan bahan organik

(6)

menghasilkan temperatur yang menguntungkan mikroorganisme termofilik. Akan tetapi, apabila temperatur melampui 65°C – 70°C, kegiatan mikroorganisme akan menurun karena kematian organisme akibat panas yang tinggi (Sutanto, 2002).

Pengomposan secara aerobik akan terjadi kenaikan temperatur yang cukup kuat selama 3 – 5 hari pertama dan temperatur kompos dapat mencapai 55 – 70°C. Kisaran temperatur tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme. Pada kisaran temperatur ini, mikroorganisme dapat tumbuh tiga kali lipat dibandingkan dengan temperatur yang kurang dari 55°C. Selain itu, pada temperatur tersebut enzim yang dihasilkan juga paling efektif menguraikan bahan organik. Penurunan rasio C/N juga dapat berjalan dengan sempurna. Dilihat dari fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada temperatur rendah (10 – 45°C) berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Sementara itu, bakteri termofilik yang hidup pada temperatur tinggi (45 – 65°C) yang tumbuh dalam waktu terbatas berfungsi untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat terdegradasi dengan cepat (Djuarnani, dkk., 2008).

Cara Macdonald

Bahan – bahan mentah (batang-batang kecil dan daun-daunan, serasah atau sampah tanaman, sampah sayuran di dapur) dimasukkan ke dalam wadah. Tumpukan bahan-bahan mentah itu usahakan agar mencapai tinggi sekitar 1 meter, dengan ketentuan setiap 20 cm tinggi tumpukan diberi aktifator misalnya pupuk kandang atau buah-buahan dan sayur-sayuran yang telah busuk yang diperlukan untuk pengembangan bakteri. Dalam keadaan kering segera siramkan cairan pupuk kandang secukupnya dan kemudian penutupnya ditutup kembali.

(7)

Setelah 2 atau 3 bulan tumpukan benar-benar telah melapuk dan kompos dapat segera digunakan (Sutejo, 2002).

Perubahan pada Pembuatan Kompos

Tumpukan bahan-bahan mentah (serasah, sisa-sisa tanaman, sampah dapur, dll.) menjadi kompos dikarenakan telah terjadi pelapukan, penguraian atau dengan lain perkataan telah terjadi perubahan-perubahan dari sifat fisik semula menjadi sifat fisik baru (kompos). Perubahan ini sebagian besar adalah karena kegiatan-kegiatan jasad renik sehubungan pula dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Perubahan-perubahan itu adalah karena terjadinya penguraian-penguraian, pengikatan dan pembebasan berbagai zat atau unsur hara selama berlangsung proses pembentukan kompos, sebagai berikut:

a. Hidrat arang (selulosa, hemiselulosa, dll.) diurai menjadi CO2 dan air atau CH4

dan H2.

b. Zat putih telur diurai melalui amida-amida, asam-asam amino, menjadi amoniak, CO2 dan air

c. Berjenis-jenis unsur hara, terutama N di samping P dan K dan lain-lain, sebagai hasil uraian, akan terikat dalam tubuh jasad renik dan sebagian yang tidak terikat menjadi tersedia di dalam tanah. Apa yang terikat ini kelak akan dikembalikan ke dalam tanah setelah jasad-jasad renik mati.

d. Ternyata pula unsur-unsur hara dari senyawa-senyawa organik akan terbebas menjadi senyawa-senyawa anorganik sehingga tersedia di dalam tanah bagi keperluan pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

(8)

Selama berlangsungnya perubahan-perubahan tersebut akan terjadi pula perubahan-perubahan pada berat dan isi bahan-bahannya atau dengan perkataan lain akan berlangsung pengurangan-pengurangan, misalnya karena terjadi penguapan dan pencucian. Dalam penguapan biasanya sebagian besar senyawa-senyawa zat arang hilang ke udara (Sutejo, 2002).

Pengaruh Pupuk terhadap Sifat Fisika Tanah

Pengaruh pupuk terhadap sifat fisika tanah tergantung kepada sifat dan jumlah koloid liat yang ada di dalam tanah. Pada dasarnya pupuk yang ditambahkan ke dalam tanah tidak akan dapat menambah jumlah koloid tanah (kecuali pupuk-pupuk organik), tetapi dapat mempengaruhi sifat kimia dari koloid tanah. Umumnya pupuk organik lebih diutamakan untuk memperbaiki sifat-sifat fisik tanah daripada untuk menambah kandungan unsur hara yang dapat diserap oleh akar tanaman. Pemupukan dengan pupuk organik dapat meningkatkan kemantapan agregat, ruang pori, kerapatan lindak dan kisaran air tersedia.

Pengaruh Pupuk terhadap Sifat Kimiawi Tanah

Pemberian pupuk organik bukanlah bertujuan untuk menambah unsur hara, karena kandungan haranya rendah, tapi bila ditinjau dari pengaruhnya terhadap sifat kimiawi tanah, pupuk organik mempunyai peranan yang penting seperti peningkatan kadar humus di dalam tanah akan meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), meningkatkan ketersediaan fosfat di dalam tanah dan dapat mencegah keracunan besi dan aluminium pada tanah-tanah yang bereaksi masam.

(9)

Pengaruh Pupuk terhadap Sifat Biologi Tanah

Bahan organik merupakan sumber energi dari jasad-jasad mikro tanah. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah semakin besar aktivitas dan perkembangan mikroorganisme di dalam tanah. Aktivitas mikroorganisme ini sangat penting dalam hal perombakan bahan organis, pelapukan protein menjadi asam-asam amino, proses nitrifikasi yang pada akhirnya membebaskan unsur hara seperti N, P dan S serta unsur-unsur mikro (Damanik, dkk., 2010).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan

Pembuatan kompos dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1. Nilai C/N bahan

Semakin besar nilai C/N bahan maka proses penguraian oleh bakteri akan semakin lama. Proses pembuatan kompos akan menurunkan C/N rasio sehingga menjadi 12 – 20.

2. Ukuran bahan

Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya karena semakin luas bahan yang tersentuh dengan bakteri. Pencacahan bahan yang tidak keras sebaiknya tidak terlalu kecil karena bahan yang terlalu hancur (banyak air) kurang baik (kelembabannya menjadi tinggi). 3. Komposisi bahan

Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat. Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain dari bahan organik, mikroorganisme juga mendapatkan bahan tersebut dari luar.

(10)

4. Jumlah mikroorganisme

Biasanya dalam proses ini bekerja bakteri, fungi, actinomycetes, dan protozoa. Sering ditambahkan pula mikroorganisme ke dalam bahan yang akan dikomposkan. Dengan bertambahnya jumlah mikroorganisme, diharapkan proses pengomposan akan lebih cepat.

5. Kelembapan

Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembapan sekitar 40 – 60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Kelembapan yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati.

6. Temperatur

Temperatur optimal sekitar 30 – 50o C (hangat). Bila temperatur terlalu tinggi mikroorganisme akan mati. Bila temperatur relatif rendah mikroorganisme belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme dalam proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga temperatur tetap optimal sering dilakukan pembalikan.

7. Keasaman

Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5 – 7,5 (netral). Jika bahan yang dikomposkan terlalu asam, pH dapat dinaikkan dengan cara menambahkan kapur. Sebaliknya, jika pH tinggi (basa) bisa diturunkan dengan menambahkan bahan yang bereaksi asam (mengandung nitrogen) seperti urea atau kotoran hewan

(11)

Perbandingan C/N

Perbandingan C/N bahan organik (bahan baku kompos) merupakan faktor terpenting dalam laju pengomposan. Proses pengomposan akan berjalan dengan baik jika perbandingan C/N bahan organik yang dikomposkan sekitar 25 – 35 (Simamora dan Salundik, 2006).

Rasio C/N adalah perbandingan kadar karbon (C) dan kadar nitrogen (N) dalam satuan bahan. Semua makhluk hidup tersebut dari sejumlah besar bahan karbon (C) serta nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Bahan organik yang mempunyai C/N yang tinggi berarti masih mentah. Kompos yang belum matang (C/N tinggi) dianggap merugikan bila langsung diberikan ke dalam tanah. Umumnya masalah utama pengomposan adalah kadar rasio C/N yang tinggi. Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan perlakuan khusus, misalnya menambahkan mikroorganisme selulotik atau dengan menambahkan kotoran hewan karena hewan mengandung banyak senyawa nitrogen (Yuwono, 2005).

C/N berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah. Penambahan bahan organik yang nisbah C/N tinggi mengakibatkan tanah mengalami perubahan imbangan C/N dengan cepat, karena mikroorganisme tanah menyerang sisa pertanaman. C/N juga berfungsi menyeimbangkan ketersediaan nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Apabila bahan organik yang diberikan ke tanah mempunyai nisbah C/N yang tinggi, maka mikroorganisme tanah dan tanaman akan berkompetisi memanfaatkan nitrogen dan tanaman selalu kalah (Sutanto, 2002).

(12)

Keasaman (pH)

Kisaran pH kompos yang optimal adalah 6,0 – 8,0 derajat keasaman bahan pada permulaan pengomposan pada umumnya asam sampai netral (pH 6,0 – 7,0). Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik. Pada proses selanjutnya, mikroorganisme dari jenis yang lain akan mengkonversi asam organik yang telah terbentuk

sehingga derajat keasaman yang tinggi dan mendekati netral (Djuarnani, dkk., 2005).

Menurut Sa’id (1996), pengomposan pada suasana aerobik akan bersifat basa. Keasaman yang terlalu rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen yang mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. Agar proses penguraian bahan-bahan kompos berlangsung cepat, maka pH tumpukan kompos tidak boleh terlalu rendah. Dengan demikian perlu diberikan kapur atau abu dapur. Namun pemberian tersebut harus disesuaikan dengan bahan yang dikomposkan.

Pada prinsipnya bahan organik dengan nilai pH antara 3 dan 11 dapat dikomposkan, pH optimum berkisar 5,5 dan 8,0. Bakteri lebih senang pada pH netral, fungi berkembang cukup baik pada kondisi pH agak asam. Kondisi yang alkali kuat menyebabkan kehilangan nitrogen, hal ini kemungkinan terjadi apabila ditambahkan kapur padasaat pengomposan berlangsung. Kondisi sangat asam pada awal proses dekomposisi menunjukkan proses dekomposisi berlangsung tanpa terjadi peningkatan suhu. Biasanya pH agak turun pada awal proses pengomposan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Dengan munculnya mikroorganisme lain dari bahan yang didekomposisi maka pH bahan

(13)

kembali naik setelah berapahari dan pH berada pada kondisi netral. Variasi pH yang cukup ekstirm menunjukkan adanya masalah dalam proses dekomposisi (Sutanto, 2002).

Rendemen

Rendemen adalah perbandingan berat kering terhadap berat basah dan dinyatakan dalam persen. Rendemen dapat ditentukan dengan cara bahan ditimbang sebelum diolah yang dinyatakan sebagai berat basah, kemudian setelah selesai diolah bahan ditimbang kembali dan dinyatakan sebagai berat kering. Rendemen dihitung dengan rumus:

Rendemen = berat akhir

berat awal x 100% ... (1)

(Taib, dkk.,1989).

Penghalusan

Penghalusan bahan meningkatkan permukaan spesifik bahan kompos dengan demikian mempunyai pengaruh yang positif terhadap proses dekomposisi. Penghalusan bahan juga menghasilkan ukuran partikel yang lebih seragam dan membuat bahan lebih homogen pada saat dilakukan pencampuran. Partikel berukuran 5 – 10 cm sesuai untuk pengomposan ditinjau dari aspek sirkulasi udara yang kemungkinan terjadi. Partikel yang berukuran sangat kecil mendorong kemungkinan terjadinya pemadatan bahan. Ukuran partikel yang lebih kecil hanya sesuai apabila dilakukan sirkulasi udara secara buatan (Sutanto, 2002).

(14)

Mutu Pupuk Kompos

Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI 19-7030-2004 dan peraturan menteri pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006. Di dalam standar ini termuat batas-batas maksimum atau minimum sifat-sifat fisik atau kimiawi kompos, termasuk di dalamnya batas maksimum kandungan logam berat. Untuk memastikan apakah seluruh krietria kualitas kompos ini terpenuhi maka diperlukan analisis laboratorium.

Tabel 2. Standar Kualitas Kompos

No Parameter Satuan Min Maks No Parameter Satuan Min Maks 1 Kadar air % - 50 16 Cadmium (Cd) mg/kg * 3 2 Temperatur °C Suhu air

tanah 17 Cobal (Co) mg/kg * 34 3 Warna Kehita man 18 Chromium mg/kg * 210 4 Bau Berbau tanah 19 Tembaga mg/kg * 100 5 Ukuran partikel mm 0,55 25 20 Mercuri (Hg) mg/kg * 0,80 6 Kemampuan

ikat air

% 58 - 21 Nikel (Ni) mg/kg * 62

7 pH 6,80 7,49 22 Timbal (Pb) mg/kg * 150

8 Bahan asing % * 1,5 23 Selenium (Se) mg/kg * 2

Unsur Makro 24 Seng (Zn) mg/kg * 500

9 Bahan organik % 27 58 Unsur Lain

10 Nitrogen % 0,40 - 25 Calsium (Ca) % * 25,50

11 Karbon % 9,80 32 26 Magnesium(Mg) % * 0,60

12 Phospor(P2O5) % 0,10 - 27 Besi (Fe) % * 2,0

13 C/N Rasio 10 20 28 Aluminium (Al) % * 2,20

14 Kaliaun (K2O3) % 0,20 * 29 Mangan * 0,10

Unsur Mikro Bakteri

15 Arsen mg/kg * 13 30 Fecal Coli MPN/gr 1000 31 Salmonella sp. MPN/gr 3 Keterangan : *Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari minimum

SNI : 19-7030-2004 dalam Badan Standarisasi Nasional (2011)

Kadar hara kompos sangat ditentukan oleh bahan yang dikomposkan, cara pengomposan dan cara penyimpanannya. Kompos yang baik merupakan kompos yang penguraiannya sudah berhenti. Biasanya penguraian akan berhenti setelah 2,5 bulan. Kompos yang baik biasanya memiliki butiran halus berwarna cokelat sedikit kehitaman (Lingga dan Marsono, 2001).

(15)

Kualitas kompos sangat ditentukan oleh besarnya perbandingan antara jumlah karbon dan nitrogen (C/N rasio). Jika C/N rasio tinggi, berarti bahan penyusun kompos belum terurai secara sempurna. Bahan kompos dengan C/N rasio tinggi akan terurai atau membusuk lebih lama dibandingkan dengan bahan ber-C/N rasio rendah. Kualitas kompos dianggap baik jika memiliki C/N rasio antara 12 – 15 (Novizan, 2005).

Mikroorganisme Lokal (MOL)

MOL adalah cairan yang berbahan dari berbagai sumber daya alam yang tersedia setempat. MOL mengandung unsur hara makro dan mikro dan juga mengandung mikroba yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan dan sebagai agen pengendali hama penyakit tanaman. Berdasarkan kandungan yang terdapat dalam MOL tersebut, maka MOL dapat digunakan sebagai pendekomposer, pupuk hayati, dan sebagai pestisida organik terutama sebagai fungsida (Sari, dkk., 2012).

Peran MOL dalam kompos, selain sebagai penyuplai nutrisi juga berperan sebagai komponen bioreaktor yang bertugas menjaga proses tumbuh tanaman secara optimal. Fungsi bioreaktor antara lain penyuplai nutrisi melalui mekanisme eksudat, kontrol mikroba sesuai kebutuhan tanaman, menjaga stabilitas kondisi tanah menuju kondisi yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dan kontrol terhadap penyakit yang menyerang tanaman (Kurnia, 2009).

MOL tapai dibuat dengan mencampurkan tapai singkong dengan air dan gula. Campuran tersebut disimpan di dalam botol dan didiamkan sampai 5 hari. Setelah lima hari, MOL sudah dapat digunakan. 2,5 liter mol dapat digunakan untuk membuat 1 ton kompos (Setiawan dan Tim ETOSA, 2010).

(16)

Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 2 – 3 bulan bahkan 6 – 12 bulan. Pengomposan dapat berlangsung dengan fermentasi yang lebih cepat dengan bantuan mikroorganisme. Mikroorganisme lokal (MOL) merupakan salah satu aktivator yang dapat membantu mempercepat proses pengomposan dan bermanfaat meningkatkan unsur hara kompos (Subandriyo, 2013).

Menurut penelitian Waksman (dalam Sutejo, 2010), pupuk organik di dalam tanah dapat memperbesar populasi jasad renik, seperti di bawah ini:

Tabel 3. Populasi jasad renik pada pupuk organik di dalam tanah Perlakuan terhadap Tanah dalam Beberapa Tahun Ph Tanah Kadar Zat N (%) Bakteri dalam (Juta) Actinomycetes (Juta) Cendawan (Juta) 1. Tidak dipupuk 4,6 0,07 3 1,15 0,059 2. Dipupuk mineral dan organik 5,4 0,11 8,8 2,92 0,072 3. Dikapur tanpa mineral 6,4 0,08 5,21 2,41 0,022 4. Pupuk mineral dan ZA 4,1 0,09 2,69 0,37 0,111

Perbandingan Efektivitas MOL dengan EM4

Sekitar tahun 1980, Prof Dr. Teruo Higa dari Jepang mengembangkan teknologi Mikroorganisme Efektif (ME) sebagai alternatif dalam mewujudkan konsep pertanian alami. Mikroorganisme efektif adalah suatu larutan yang terdiri dari kultur pertanian alami dan merupakan kultur campuran berbagai mikroba yang bermanfaat bagi tanaman dan berfungsi sebagai bio-inokulan. Setiap spesies mikroba mempunyai fungsi dan peranan masing-masing yang bersifat saling menunjang dan bekerja secara sinergis. Larutan ME di pasaran umum diperdagangkan dengan merek EM4 (Higa dan Wididana, 1994).

(17)

Mikroorganisme yang terdapat dalam EM4 terdiri dari bakteri fotosintesis (Rhodopseudomonas sp), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), ragi (Saccharomices sp), actinomycetes sp, dan asprgillus sp. Effective Microorganism (EM4) dapat meningkatkan fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk tanaman, serta meningkatkan aktivitas serangga, hama dan mikroorganisme patogen (Djuarnani, dkk., 2005).

Menurut Husen dan Irawan (2010), penggunaan MOL tergolong sangat mudah, kemudian EM-4, M-Dec, Orgadec, dan Pukan Sapi. Sedangkan penggunaan Probion, menurut petani, tergolong sulit yang diduga terkait dengan aplikasi bahan tambahan (urea). Namun demikian, dari segi kualitas kompos yang dihasilkan berdasarkan pengamatan petani tergolong cukup baik (MOL, M-Dec, Pukan Sapi, dan Probion), baik (Orgadec), dan baik sekali (EM-4). Laju penurunan rasio C/N kompos tercepat ditunjukkan oleh perlakuan M-Dec, EM-4, dan MOL-pepaya.

Jeruk

Komposisi buah jeruk manis terdiri dari bermacam – macam, di antaranya air 70 – 92 %, gula, asam organik, asam amino, vitamin, zat warna, mineral, dan lain – lain. Buah jeruk yang semakin tua, kandungan gulanya semakin bertambah, tetapi kandungan asamnya semakin berkurang (Pracaya, 2003).

Mangga

Mangga merupakan tanaman hutan yang tingginya mencapai 30 m. Bunga umumnya terdapat dalam tandan atau rangkaian. Setiap tandan dapat mempunyai lebih dari 1000 kuntum bunga. Bunga pada pangkal tandannya umumnya jantan, jumlahnya mencapai lebih dari 92% dari jumlah bunga per tandan, sedangkan

(18)

bunga pada ujung tandan adalah sempurna (hermaprodit) yang jumlahnya kurang dari 8% (Sunarjono, 2000).

Nenas

Tanaman nanas merupakan rumput yang batangnya pendek sekali. Daunnya berurat sejajar dan pada tepinya tumbuh duri yang menghadap ke atas (ke arah ujung daun). Buah yang matang terasa gatal di tenggorokan karena kandungan asam oksalat yang tinggi. Di dalam buah terdapat zat bromelin yang bersifat sebagai pemecah protein (pelunak daging), tetapi daya protoelitiknya lebih rendah daripada papain (Sunarjono, 2000).

Pepaya

Buah pepaya memiliki manfaat bagi kesehatan manusia. Kandungan vitamin C pepaya lebih tinggi daripada jeruk. Berkat kandungan flavonoid, vitamin C, E, dan betakriptoxantin (bagian dari karotenoid vitamin A), pepaya memiliki sifat antioksidan yang kuat. Juga mengandung serat, asam folat, kalium dan papain. Lebih dari 50 asam amino terkandung dalam buah pepaya, antara lain asam aspartat, treonin, serin, asam glutamat, prolin, glisin, alanin, valine, isoleusin, leusin, tirosin, fenilalanin, histidin, lysin, arginin, tritophan, dan sistein (Hidayatullah, 2012).

Referensi

Dokumen terkait

Penting untuk diingat bahwa mingguan Alkitab sebagai sebuah unit waktu yang ditetapkan di dalam kitab Kejadian pasal 1, hanya terdiri dari tujuh hari: enam hari kerja diikuti

keuangan dan akibat dari kebijakan pemerintah Belanda yang melarang terbitnya majalah Pembela Islam. 6 Walaupun majalah Pembela Islam dilarang terbit kembali, namun

Hal senada juga dinyatakan oleh (Ilma, R., 2010), sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar

Observasi adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan secara teliti serta pencatatan secara sistematis. Observasi yang dilakukan dalam

1) Melakukan triangulasi waktu. Triangulasi waktu merupakan teknik pengecekan keabsahan data dengan menggunakan metode yang sama pada subjek tetapi pada waktu yang

Maka dari itu akan dijelaskan beberapa pengambilan sudut pandang yang akan sering digunakan dalam proses produksi film dokumenter Kesenian Reog Bulkio. Close

Berdasarkan hasil perhitungan dalam perencanaan sistem penerangan dan instalasi listrik di ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Depati Hamzah Pangkal Pinang, maka didapat jumlah

Stratigrafi regional daerah X tersusun oleh seri sedimen Tersier berumur Miosen Awal hingga Kuarter dengan susunan batuan yang terdapat pada formasi batuan disekitar