• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Identitas: Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Primordialisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Politik Identitas: Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Primordialisme"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas – Wacana yang melingkupi etnisitas di daerah pedalaman di Indonesia banyak diwarnai dengan marginalisasi dan diskriminasi. Tak bisa dipungkiri, lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menjadi dasar hukum dan landasan Otonomi Daerah, menjadi “peletup” untuk mewujudkan demokratisasi di daerah, termasuk Kalimantan Barat. Dalam perspektif politik, Undang-undang tersebut secara eksplisit menunjukkan adanya perubahan paradigma manajemen politik dan pemerintahan, dari yang semula sentralistis menjadi desentralistis.

Identifikasi etnis dalam riset politik dalam bidang studi politik Indonesia modern, boleh dikatakan diprakarsai oleh ilmuwan Amerika, George Kahin (1952), yang menulis disertasi tentang nasionalisme dan revolusi di Indonesia. Studi serupa (tentang politik identitas etnis) kemudian dilanjutkan oleh beberapa ilmuwan lain seperti, John Smail (1970), William Liddle (1970), Ruth Mc Vey (1972), Barbara Harvey (1981) dan Burhan Magenda (1991).

Barulah pada sepuluh tahun terakhir, tradisi penelitian tentang politik identitas etnis mulai marak dilakukan oleh beberapa sarjana dari berbagai universitas di Indonesia, diantaranya Achyar Asmu’ie (2006): tentang Kalimantan Barat, Jayadi Nas (2007): tentang Sulawesi Selatan dan Yekti Maunati (2004): tentang Kalimantan Timur.

Buku “Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas” ini menyajikan telaah ilmiah terhadap politik identitas etnis Dayak, termasuk persoalan marginalisasi dan diskriminasi sebelum era otonomi daerah. Konsep marginalisasi yang dialami sebuah etnis dalam kurun waktu yang sangat lama membuat ikatan emosional etnis semakin erat dan kuat. Hal ini memungkinkan terjadi karena adanya

common cause, common goal dan common interest yang pada gilirannya

memunculkan politik identitas yang merupakan aliran politik dengan melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik, seperti agama, etnis dan budaya.

Buku dengan analisis komprehensif ini mengerucut pada upaya dan pemikiran penulis untuk menemukan jawaban apa saja yang menjadi faktor-faktor penyebab munculnya politik identitas etnis Dayak dalam masyarakat multikultur di Kalimantan Barat yang tercermin pada proses pemilihan kepala daerah Gubernur Kalimantan Barat, pada 2007 silam.

Sebagaimana banyak dijelaskan dalam buku ini, secara teoritis politik identitas merupakan sesuatu yang bersifat hidup atau ada dalam setiap etnis, dimana keberadaannya bersifat laten dan potensial, dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara empiris pun,

(2)

politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus di dalam kebudayaan masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial (hal: 19).

Judul: Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas Penulis: Sri Astuti Buchari; Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Cetakan: April 2014; Tebal: xxi + 230 hlm; 15 x 23 cm; ISBN: 978-979-461-821-9;

Ilustrasi Politik Identitas

Politik Identitas: Demokrasi Lokal dan Bayang-bayang Primordialisme

Menurut Castells, politik identitas merupakan partisipasi individual pada kehidupan sosial yang lebih ditentukan oleh budaya dan kondisi psikologis seseorang. Identitas merupakan proses konstruksi dasar dari budaya dan psikokultural dari seorang individu yang memberikan arti dan tujuan hidup individu tersebut. Identitas terbentuk dari proses dialog internal dan interaksi sosial (Castells, 2010: 6-7). Adapun Jonathan D Hill dan Thomas M Wilson (2003), menyebutkan bahwa politik identitas mengacu pada praktik dan nilai politik yang berdasarkan berbagai identitas politik dan sosial.

Lebih dari itu, politik identitas merupakan sebuah alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yang kemunculannya lebih banyak disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang dianggap oleh suatu etnis sebagai sebuah tekanan berupa ketidakadilan politik yang dirasakan oleh mereka. Berdasarkan perasaan senasib tersebut, maka mereka bangkit untuk menunjukkan identitas atau jati diri etnisnya dalam sebuah perjuangan politik untuk merebut kekuasaan dengan memanipulasi kesamaan identitas atau karakteristik keetnisan yang tumbuh dalam kehidupan sosial budayanya.

Kristianus (2009: 255) menuturkan bahwa politik identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan politik berdasarkan identitas etnis maupun agama.

(3)

Perjuangan politik identitas pada dasarnya merupakan perjuangan kelompok atau orang-orang pinggiran (periferi), baik yang terpinggirkan secara politik, sosial, ekonomi maupun budaya. Mengutip Lukmantoro, Kristianus mengatakan bahwa politik identitas merupakan tindakan politik untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena adanya kesamaan identitas atau karakteristik, baik yang berbasiskan ras, etnisitas, jender atau keagamaan. (Kristianus, 2000: 255)

Selain itu, perbedaan juga merupakan salah satu unsur penting dalam konteks memahami keberadaan (kemunculan) suatu politik identitas. Pernyataan ini relevan dengan pendapat Latif (dalam Setyanto dan Pulungan, 2009:40), bahwa politik identitas adalah “politic of difference yang didasarkan pada pencarian

perbedaan”. Lebih jauh, Latif menekankan bahwa di seluruh dunia, politik

identitas yang mengukuhkan perbedaan etnis, agama dan bahasa telah menjadi fenomena yang marak.

Kemunculan Politik Identitas

Sejatinya, politik identitas berbeda dengan nasionalisme. Dalam lingkup bangsa (nation), kehadiran politik identitas menciptakan tekanan-tekanan dari kaum reduksionis yang berpotensi melemahkan identifikasi individu sebagai anggota dari suatu bangsa. Seorang yang merasa dirinya sebagai anggota kelompok dari minat yang sama terlebih dahulu, dan kemudian baru memperhatikan kehadiran negara dan masyarakat yang lebih luas.

Sebagaimana makna yang terkandung dalam istilah politik, maka politik identitas sejatinya adalah upaya untuk mencapai kekuasaan tertentu dalam kehidupan dan panggung politik, dimana pengakuan dan keberadaan wakil-wakil dari kelompok etnis merupakan bagian penting dari perjuangan politik yang dilakukan demi kepentingan kelompok etnisnya.

Dalam konteks ini, Brown (Subianto, 2009: 335) mengatakan bahwa identitas suatu kelompok menunjang konstruksi sosial untuk mempromosikan keterwakilan kelompoknya. Perilaku sosial politik menjadi hal yang berkaitan erat dengan identitas suatu kelompok, agar pada satu momen tertentu bisa dibangkitkan demi kepentingan kelompok itu sendiri.

Berbeda dengan nasionalisme, identitas atau jati diri muncul dan hadir dalam interaksi sosial. Seseorang dianggap memiliki jati diri tertentu karena diakui keberadaannya oleh orang lain dalam suatu hubungan yang berlaku. Karenanya, seseorang atau sekelompok orang cenderung membutuhkan jati

(4)

diri untuk digunakan dalam proses interaksi sosial.

Selanjutnya, berdasarkan posisi tersebut, pelaku akan menjalankan perannya sesuai dengan corak atau struktur interaksi yang berlangsung. Dalam kenyataan sehari-hari, setiap orang akan memiliki lebih dari satu jati diri. Artinya, semakin banyak peran yang dijalankan dalam interaksi sosial seseorang, maka semakin banyak pula jati diri yang dimilikinya.

Dalam kaitan ini, Nonini dan Ong (1997) menegaskan bahwa identitas dapat pula dilihat sebagai sebuah proses pembentukan atau konstruksi sosial yang tidak stabil, yang berlaku dalam suatu jaringan kekuasaan. Sedangkan Huntington (2004) mengatakan bahwa identitas merupakan kesadaran diri seorang individu atau suatu kumpulan. Dengan kata lain, identitas merupakan tanggapan orang terhadap diri mereka sendiri namun tanggapan tersebut dipengaruhi oleh tanggapan orang lain terhadap diri mereka.

Seseorang dikatakan memiliki jati diri tertentu karena diakui keberadaannya oleh orang lain dalam suatu hubungan atau interaksi sosial yang berlaku. Penekanan pada pengakuan orang-orang lain dalam hal keberadaan dan kelestarian sebuah jati diri yang dimiliki orang teresbut, menjadi penting untuk diperhatikan, karena dalam kesendiriannya yang absolute, orang tersebut tidak mempunyai jati diri (hal: 22).

Relevan dengan pemahaman tersebut, Suparlan (2004: 25) menyebutkan identitas atau jati diri merupakan pengenalan atau pengakuan seseorang dalam suatu golongan yang dilakukan berdasarkan atas ciri-cirinya dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan menyeluruh, yang menandainya sebagai bagian dalam golongan tersebut. Namun sekali lagi, identitas atau jati diri tersebut muncul dan hadir dalam suatu interaksi sosial.

Tantangan Politik Identitas

Sebagaimana yang dikatakan beberapa ahli bahwa persoalan politik identitas adalah berbasis pada pencarian perbedaan. Yang menjadi tantangan ke depan dan perlu diwaspadai bukanlah dialektika yang terhindarkan antara “identitas” dan “perbedaan”, namun munculnya kecenderungan untuk hanya mengakui satu identitas dan menghabisi identitas lain.

Tantangn lain datang dari persenyawaan antara pengekspresian politik identitas yang bersifat transnasional dengan sentiment kedaerahan. Hal ini menunjukkan, bahwa eksistensi dan dinamika politik identitas dalam suatu negara-bangsa, sebenarnya merupakan hal yang normal terjadi, terlebih dalam

(5)

suatu tatanan atau konstruksi sosial masyarakat yang pluralistik.

Dengan kata lain, demografi suatu negara-bangsa yang plural tentunya akan memperlihatkan aneka ragam etnis sebagai suatu variebel yang nyata, di mana antara etnis yang satu dengan lainnya memiliki variasi, baik dari segi jumlah, karakteristik, nilai-nilai hidup yang dianut dan sistem nilai kehidupan lainnya yang mereka miliki sebagai kebudayaannya. Kehadiran politik identitas yang bersifat given dan disnamis dalam kemajemukan suatu negara-bangsa harus didupayakan agar terus bergulir dalam kerangka penciptaan kesatuan dan keragaman demi kokoh-kuatnya suatu negara kesatuan.

Yang jadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana seseorang atau sekelompok orang mengonstruksikan pembangunan identitas? Siapa yang berperan menentukan arah pembangunan identitas tersebut? Serta apa kegunaannya?Sebagai karya yang lahir dari sebuah disertasi, buku ini juga “merekam” jejak-jejak bentuk marginalisasi dan diskriminasi etnis Dayak di Kalimantan Barat yang terjadi selama empat puluh tiga tahun. Buku ini juga menawarkan referensi tidak hanya bagi pemerintah sebagai penentu kebijakan terutama di daerah pedalaman yang selama ini “terpinggirkan” oleh corak developmentalism, namun juga bagi para akademisi, peneliti hingga pemangku kepentingan di bidang politik.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis penelitian ini, Komunikasi politik yang dilaksanakan oleh DPC PDI-Perjuangan di Kabupaten Dairi belum dilaksanakan secara maksimal, hal ini

Dari hasil penelitian dan analisis dapat disimpulkan bahwa PDI Perjuangan Kabupaten Sragen menjalankan marketing politik untuk membangun citra positif partai

Dari hasil penelitian dan analisis dapat disimpulkan bahwa PDI Perjuangan Kabupaten Sragen menjalankan marketing politik untuk membangun citra positif partai

Pada akhirnya, berbagai gejolak yang terjadi dapat menjelaskan kepaduan fungsi antara identitas etnis dengan dinamika dan perilaku politik masyarakat dalam merespon

Persoalan putra daerah yang diatasnamakan pembedaan identitas antara penduduk pribumi dan penduduk pendatang rentan untuk memunculkan hegemoni sosial dan juga

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap beberapa media daring nasional, dite- mukan bahwa reproduksi politik identitas yang mempengaruhi kecenderungan afiliasi

Tidak terkecuali suku Akit di Karimun, mereka turut memainkan politik identitas dengan melakukan legitimasi historis dan kultural, membuat lembaga adat suku asli sebagai usaha

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan anggaran bantuan keuangan partai politik DPD PDI Perjuangan Provinsi Sumatera Selatan dalam pelaksanaannya, anggaran yang