• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kapita atau rata-rata tingkat pendidikan masyarakatnya saja. Indikator lainnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kapita atau rata-rata tingkat pendidikan masyarakatnya saja. Indikator lainnya"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kemajuan suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingkat pendapatan per kapita atau rata-rata tingkat pendidikan masyarakatnya saja. Indikator lainnya yang paling penting adalah kesehatan. Ketika tingkat kesehatan masyarakat suatu negara sudah maksimal maka kesejahteraan suatu bangsa pun akan terjamin. Seperti sebuah pepatah yang berkata, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat maka di dalam jiwa-jiwa yang kuat akan muncul bangsa yang kuat.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia saat ini sedang fokus dalam peningkatan masalah kesehatan dan perbaikan kesehatan di segala bidang. Perbaikan informasi dan pelayanan kesehatan serta pengembangan struktur dan infrastruktur terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Penyuluhan-penyuluhan serta beragam kampanye tentang kesehatan pun sudah dan sedang digalakkan. Sayangnya, peningkatan ini terlihat hanya fokus pada kesehatan fisik saja padahal ada jenis kesehatan lain yang sangat perlu sekali dibenahi yaitu kesehatan mental.

Kesehatan mental tentu saja akan sangat berpengaruh pada kesejahteraan suatu negara. Negara yang memiliki warga yang banyak mengalami gangguan kesehatan mental akan sangat rentan untuk menjadi negara yang terpuruk. Masyarakat yang menjadi aset bagi bangsanya tentu saja akan mengalami disfungsi sosial. Mereka tidak akan mampu menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal sehingga gerak suatu bangsa akan menjadi minimal. Kesehatan mental merupakan salah satu fondasi kemajuan suatu bangsa.

(2)

Seiring berkembangnya zaman, manusia dituntut untuk selalu bersifat produktif di segala bidang. Pekerjaan membuat manusia lupa waktu. Masalah dan masalah mereka geluti setiap hari dengan harapan mendapatkan hasil yang maksimal. Terkadang manusia melakukan segala cara untuk mencapai suatu tujuan tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkan. Mereka hanya mementingkan pemenuhan kebutuhan jasmani saja sehingga kebutuhan rohani terabaikan. Itulah yang membuat seseorang sangat rawan terserang gangguan kesehatan mental seperti stres dan depresi.

Depresi inilah yang sangat berbahaya karena orang yang menderita depresi akan sulit berfungsi secara sosial dan berisiko tinggi untuk mengakhiri hidupnya atau bunuh diri. Menurut Hervita Diatri, psikiater komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, 80% faktor penyebab bunuh diri di Indonesia bahkan di dunia adalah depresi (Julianto dalam Kompas Health, 2012).

Bila dicermati, dalam tiga tahun terakhir ada hal yang cukup membuat miris, menyangkut jumlah orang yang melakukan tindakan mengakhiri hidup atau bunuh diri. Ketika mencari data dari pemberitaan sebuah koran selama tahun 2012, ada 80 berita tentang bunuh diri di Indonesia, dengan 83 korban. Isinya beragam. Ada polisi mencabut nyawanya sendiri pasca menembak temannya, ada yang terjun bebas dari ketinggian, ada yang meracuni dirinya sendiri, menabrakan dirinya sendiri di jalan tol hingga kasus dosen menggantung dirinya sendiri.

Itu baru dari satu koran. Sebuah laporan menyebutkan di Indonesia ada 112 kasus bunuh diri pada tahun 2003 dan Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menyebutkan pada tahun yang sama ada satu juta

(3)

orang melakukan bunuh diri, atau 1 orang setiap 40 detik. Bunuh diri juga merupakan salah satu penyebab utama kematian pada usia 14-34 tahun, di luar kecelakaan (Adi dalam Klinik Psikis, 2008).

Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, pernah menyatakan bahwa kematian satu-dua orang boleh jadi adalah tragedi, tetapi ratusan, ribuan, apalagi jutaan orang akan menjadi statistik belaka. Tetapi bagaimana jika diprediksi setiap hari ada 150 orang bunuh diri karena depresi di Indonesia? Pun diprediksi dalam setahun jumlah orang bunuh diri di Indonesia mencapai 50.000 orang (Julianto dalam Kompas Health, 2012). Hal ini seakan menyiratkan kegentingan bagi kesehatan jiwa di Indonesia.

Tahun 2005, Benedetto Saraceno, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO, menyatakan, kematian rata-rata karena bunuh diri di Indonesia adalah 24 kematian per 100.000 penduduk. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, diperoleh angka 50.000 kasus kematian akibat bunuh diri. Data ini pernah diungkapkan A Prajitno, Guru Besar Emeritus Psikiatri Universitas Trisakti, dalam Simposium Nasional Bunuh Diri, di Surabaya, April 2009. Data itu, menurutnya, terlalu tinggi untuk Indonesia. Angkanya begitu tinggi karena ada depresi massal di Aceh pasca tsunami pada akhir tahun 2004.

Data pun berkembang. Laporan WHO di tahun 2010 menyebutkan, angka bunuh diri di Indonesia sudah mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa (Kementerian Komunikasi dan Informasi, 2010). Walaupun angka ini masih lebih sedikit dari negara Jepang yang mencapai 24,4 per 100.000 jiwa namun angka ini tetap mengkhawatirkan. Pemerintahan Indonesia diminta melakukan investasi pada sektor SDM dan finansial untuk melakukan upaya pencegahan aksi bunuh

(4)

diri. Badan itu juga memperkirakan pada 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa dibandingkan 1,8 per 100.000 jiwa pada 1998 (Priscillia dalam Jaring News, 2012).

Hampir 90 % individu yang yang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh diri mempunyai kemungkinan mengalami gangguan mental (Jamison., NIMH., dalam Hoeksema, 2001). Gangguan mental yang paling sering dialami oleh orang yang melakukan bunuh diri adalah depresi (Wulsin, Valliant & Wells, dalam Hoeksema, 2011). Paling kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (Mental Health Net, 2012). Banyak teori yang menjelaskan tentang depresi, dan semua sepakat keadaan depresi merupakan indikasi terjadinya bunuh diri (Keliat, 2005:18).

Sering kali diagnosis psikiatri baru muncul setelah seorang individu melakukan bunuh diri. Analisis tingkah laku, suasana hati, dan pikiran individu yang melakukan bunuh diri didasarkan atas laporan dari keluarga dan teman-teman inidividu tersebut serta tulisan atau catatan-catatan individual. Dari data yang ada, 40 individu yang melakukan percobaan bunuh diri, 53 persen diantaranya didiagnosa mengalami gangguan depresi (Petronis., dkk, dalam Hoeksema, 2001).

Studi yang dilakukan kepada anak-anak dan remaja menunjukkan jika depresi meningkatkan risiko untuk bunuh diri. Goodwin dan Jamison (dalam Hoeksema, 2001) mengatakan jika setengah dari individu dengan gangguan bipolar melakukan percobaan bunuh diri, dan kemungkinan satu dari lima sukses melakukan bunuh diri. Gangguan psikologis yang lain yang meningkatkan risiko untuk bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah alkoholik dan penyalahgunaan

(5)

narkoba (Statham, dalam Hoeksema, 2001). Semua bentuk gangguan psikologis atau gangguan mental berpotensi menjadi faktor risiko perilaku bunuh diri.

Data terakhir dari Kementerian Kesehatan RI untuk wilayah Jakarta saja, angka kematian akibat bunuh diri karena depresi mencapai 160 orang per tahun. (Veronica dalam Nirmala Magazine, 2011). Meskipun banyak faktor penyebab depresi ditengarai sebagai penyebabnya, seperti kesulitan ekonomi, masalah keluarga, juga rasa putus asa, penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago, menemukan bahwa 9 dari 17 remaja yang meninggal akibat bunuh diri memiliki sejarah gangguan mental. Salah satu gangguan mental yang bisa membawa seseorang menuju pada keputusan bunuh diri adalah Bipolar Disorder (Veronica dalam Nirmala Magazine, 2011). Itulah salah satu bentuk gangguan kesehatan mental berjenis gangguan afektif yang sekarang sedang mengancam dunia termasuk Indonesia namun belum dikenali secara umum.

Di Kota Medan, angka upaya bunuh diri karena masalah gangguan mental bisa dibilang cukup tinggi. Salah satunya seperti data yang didapat di RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan. Selama tahun 2006 hingga 2011 tercatat 116 kasus percobaan bunuh diri dengan metode penggunaan racun yang cukup mendominasi (intensional self poisoning).

Adapun rincian kasus percobaan bunuh dirinya per tahun adalah sebanyak 37 kasus pada tahun 2006, 16 kasus pada tahun 2007, 23 kasus pada tahun 2008, 20 kasus pada tahun 2009, 10 kasus pada tahun 2010, dan 10 kasus pada tahun 2011 (Pardede, 2012:3).

Menurut hasil penelitian Pardede pada tahun 2012 didapati bahwa 69% kasus percobaan bunuh diri dilakukan oleh golongan usia produktif yaitu 15-29

(6)

tahun dengan jumlah 80 kasus. Dapat disimpulkan bahwa kelompok usia dewasa muda sangat rentan akan depresi. Didapati pula bahwa proporsi tertinggi pelaku percobaan bunuh diri sebesar 62,9% adalah orang-orang yang memiliki gangguan psikosa atau didiagnosa memiliki gangguan kesehatan mental seperti depresi berat, gangguan kecemasan dan yang paling mendominasi hampir keseluruhannya adalah gangguan bipolar atau bipolar disorder (Pardede, 2012:8).

Bipolar disorder adalah jenis penyakit psikologi, ditandai dengan perubahan mood (alam perasaan) yang sangat ekstrim, yaitu berupa depresi dan mania. Pengambilan istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati penderitanya yang dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang ekstrim (Sipayung, 2010:55).

Setiap orang pada umumnya pernah mengalami suasana hati yang baik (mood high) dan suasana hati yang buruk (mood low). Akan tetapi, seseorang yang menderita bipolar disorder memiliki mood swings yang ekstrim yaitu pola perasaan yang mudah berubah secara drastis. Suatu ketika, seorang pengidap bipolar disorder bisa merasa sangat antusias dan bersemangat (mania). Namun, ketika mood-nya berubah buruk, ia bisa sangat depresi, pesimis, putus asa, bahkan sampai mempunyai keinginan untuk bunuh diri (Cheney, 2009:12).

Gangguan jiwa bipolar saat ini sudah menjangkiti sekitar 10 hingga 12 persen remaja di luar negeri. Di beberapa kota di Indonesia juga mulai dilaporkan penderita berusia remaja. Risiko kematian terus membayangi penderita bipolar dan itu lebih karena mereka mengambil jalan pintas. Hampir semua penderita bipolar disorder mempunyai pikiran tentang bunuh diri dan 30% diantaranya

(7)

berusaha untuk merealisasikan niat tersebut dengan berbagai cara (Sipayung, 2010:51).

Penderita penyakit ini cenderung mengalami faktor pemicu munculnya penyakit yang melibatkan hubungan antar perseorangan atau peristiwa-peristiwa pencapaian tujuan (reward) dalam hidup. Contoh dari hubungan perseorangan antara lain jatuh cinta, putus cinta, dan kematian sahabat. Sedangkan peristiwa pencapaian tujuan antara lain kegagalan untuk lulus sekolah dan dipecat dari pekerjaan. Selain itu, seorang penderita bipolar disorder yang gejalanya mulai muncul saat masa ramaja kemungkinan besar mempunyai riwayat masa kecil yang kurang menyenangkan seperti mengalami banyak kegelisahan atau depresi. Selain penyebab diatas, alkohol, obat-obatan, dan penyakit lain yang diderita juga dapat memicu munculnya bipolar disorder (Institut Nasional Kesehatan Mental Amerika Serikat, 2012).

Bipolar disorder bukanlah penyakit depresi biasa. Komplikasi penyakit gangguan kesehatan mental ini cukup kompleks dan sangat menggangu keberfungsian sosial seseorang seperti, masalah kecanduan alkohol atau ketergantungan narkoba, masalah hukum, masalah keuangan, permasalahan hubungan sosial, tindakan solasi dan hidup menyendiri, kualitas inerja buruk di sekolah atau di tempat kerja, sering bolos kerja atau sekolah hingga yang paling fatal adalah tindakan bunuh diri (WHO, 2013).

Penyakit ini diperkirakan telah mempengaruhi lebih dari lima juta orang di Amerika. 3-5 orang dari setiap 100 orang dewasa dipastikan mengidap bipolar disorder. Hal ini sama-sama terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan tingkat risiko yang sama. Pada umumnya, gangguan afektif ini ditemukan di seluruh

(8)

budaya dan kelompok ras, tetapi ras Amerika dan Afrikalah yang paling dominan mengidap bipolar disorder dibandingkan ras-ras lain di dunia (Mental Health Atlas WHO, 2011).

Bipolar disorder mulai terlihat pada masa remaja dan terus berlangsung sepanjang hidup. Pada awalnya, penyakit ini sering tidak diakui oleh para penderitanya karena hanya dianggap sebagai depresi biasa. Oleh karena itu, diagnosis sejak dini sangatlah penting agar penyakit ini bisa ditindaklanjuti dengan tepat dan tidak membahayakan si penderita maupun orang-orang di sekitarnya. Bipolar disorder dapat mempengaruhi kehidupan seseorang, seperti kemampuan di berbagai bidang, gangguan besar bagi kesehatan, hubungan sosial, dan gaya hidup seseorang. Oleh sebab itu, penyakit ini memerlukan penanganan secara serius agar penderitanya dapat menjalani hidup dengan normal (Total Kesehatan Anda, 2013).

Berdasarkan Institut Nasional Kesehatan Mental Amerika Serikat (USA Government's National Institute of Mental Health) atau NIMH, bipolar disorder tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal saja, melainkan dari banyak faktor yang secara bersama-sama memicu terbentuknya penyakit ini. Oleh karena banyaknya faktor yang terlibat, bipolar disorder juga disebut dengan penyakit multifaktor. Di antaranya adalah faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan termasuk lingkungan sosial inilah yang juga memiliki pengaruh cukup besar.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di Amerika Serikat, jumlah anak-anak dan remaja yang menderita penyakit ini meningkat sebesar 40 % dari tahun 1994-2003 dan diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya. Data

(9)

menunjukkan bahwa para dokter telah lebih tegas menetapkan diagnosis untuk anak-anak. Penelitian ini juga menghitung jumlah orang yang mengunjungi psikiater meningkat dari 20.000 pasien per tahun pada tahun 1994 menjadi 800.000 pasien per tahun pada tahun 2003. Peningkatan angka ini setara dengan 1% populasi penduduk dibawah 20 tahun (Lieberman, 2009:45).

Peningkatan anak-anak dan remaja yang menderita bipolar disorder menimbulkan banyak perdebatan oleh berbagai pihak mengenai perlu tidaknya anak-anak dan remaja mendapatkan perawatan. Hal ini dikarenakan obat-obatan yang digunakan dalam perawatan bipolar disorder mengandung banyak efek samping yang membahayakan hidup penderita seperti penyakit jantung, diabetes, lever, gagal ginjal, dan kematian.

Salah satu bentuk penyembuhan utama pada penderita bipolar disorder adalah dengan terapi obat-obatan atau farmakoterapi. Obat yang digunakan adalah obat-obatan antidepresan serta obat-obatan penstabil mood. Namun banyak kasus yang menyatakan bahwa pengaruh obat-obatan tersebut bila tidak dikontrol dan teratur dikonsumsi justru akan menyebabkan efek samping seperti semakin parahnya tingkat depresi ataupun mania. Bahkan pengkonsumsian berlebihan dapat mengakibatkan ketergantungan obat-obatan tersebut yang justru akan menimbulkan masalah baru bagi si penderita (Mental Health WHO, 2012).

Para peneliti merasa bahwa farmakoterapi saja tidak cukup. Dibutuhkan terapi lain yang lebih dekat dan intim dengan penderita gangguan kesehatan mental bipolar disorder. Terapi itu adalah terapi pendampingan psikososial. Gangguan bipolar disorder ini sangat bermain ada alam perasaan manusia. Perasaan sangat bahagia atau perasaan sangat bersedih. Efektifnya, alam perasaan

(10)

akan lebih mudah dimasuki dengan alam perasaan. Bantuan dengan dukungan dan perhatian dari orang-orang sekitar korban dirasa akan lebih efektif untuk meningkatkan keberfungsian sosial dan menurunkan risiko bagi penderita bunuh diri .

Robert Firestone dalam buku Suicide and the Inner Voice menulis bahwa mereka yang mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri, banyak yang lingkungan terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarga yang menolak, tidak hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Atas dasar itulah penderita membutuhkan isi untuk kekosongannya seperti rasa aman, penerimaan, kehangatan, agar tidak terjadi kebingungan.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti dan melakukan "Identifikasi Peningkatan Keberfungsian Sosial dan Penurunan Risiko Bunuh Diri bagi Penderita Gangguan Kesehatan Mental Bipolar Disorder di Kota Medan Melalui Terapi Pendampingan Psikososial".

1.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada peran orang-orang terdekat di sekitar penderita gangguan kesehatan mental bipolar disorder seperti orang tua, keluarga, sahabat, guru, dosen atau bahkan pekerja sosial untuk melakukan terapi pendampingan psikososial sebagai bagian dari terapi.

(11)

Fokus penelitian ini juga untuk mengidentifikasi terapi pendampingan psikososial yang dapat meningkatkan keberfungsian sosial penderita dan menurunkan risiko bunuh diri penderita.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka dapat dirumuskan masalah, "Bagaimanakah bentuk-bentuk atau model-model yang efektif dan solutif dalam terapi pendampingan psikososial yang dapat meningkatkan keberfungsian sosial dan menurunkan risiko bunuh diri bagi penderita gangguan kesehatan mental bipolar disorder?"

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui, mengidentifikasi, dan mendeskripsikan bentuk-bentuk atau model-model yang efektif dan solutif dalam terapi pendampingan psikososial yang dapat meningkatkan keberfungsian sosial dan menurunkan risiko bunuh diri bagi penderita gangguan kesehatan mental bipolar disorder.

(12)

1.4.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai berikut :

a. Secara teoritis, dapat menambah wawasan, pengalaman dan pemahaman mengenai terapi pendampingan psikososial terhadap penderita bipolar disorder.

b. Secara praktis, dapat menjadi bahan masukan dalam pengembangan konsep-konsep, teori, dan model terapi psikososial dalam pendampingan terhadap penderita bipolar disorder oleh orang-orang terdekat penderita seperti orang tua, keluarga, sahabat, guru, dosen atau bahkan pekerja sosial.

c. Secara akademis, dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam menambah referensi dan bahan kajian serta studi komparasi bagi para peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap penelitian yang berkaitan dengan masalah ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, fokus masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

(13)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini, kerangka pemikiran, penelitian terdahulu yang relevan, definisi konsep, definisi operasional, dan pertanyaan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, pendekatan penelitian dan kedudukan peneliti, objek penelitian atau sumber informasi, lokasi penelitian, prosedur atau teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan hasil-hasil berupa data deskriptif hasil analisis data serta pembahasan hasil penelitian.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

dioptimalkan untuk perangkat keras Raspberry Pi B+ , yang dirilis pada bulan

Sistem Monitoring Kesehatan Berbasis Internet of Things (Iot) (Silvia Ratna) sehingga dokter dapat melihat hasil denyut jantung pasien secara langsung di smartphone.Dengan

Jika Penawar yang Berjaya ingkar dalam mematuhi mana-mana syarat di atas atau membayar apa-apa wang yang harus dibayar, maka Pihak Pemegang Serahhak/Pemberi Pinjaman boleh (tanpa

Dalam penelitian yang bertujuan untuk menentukan kontribusi dari penggunaan lampu LED biru dan merah ini dilakukan tahapan yaitu tahap analisis awal, tahap

Penelitian ini merancang dan membangun sistem informasi puskesmas yang meliputi rawat jalan dan rawat inap, data obat (obat masuk, obat keluar, dan stok obat), data laboratorium

Dapat disimpulkan bahwa aplikasi praktek higienitas yang diasosiasikan dengan rutinitas pemerahan seperti : pencucian tangan pemerah dengan sabun sebelum proses pemerahan,

Namun demikian, konteks dalam penelitian ini lebih kepada aspek-aspek yang mengalami perubahan dan bentuk adaptasi diri dari masyarakat desa khususnya petani yang

Adapun hasil pemetaan distribusi suhu maksimum tengah meat, suhu kelongsong, suhu outlet pendingin, DNBR minimum dan fluks panas maksimum untuk masing-masing rod di