Penelitian dilaksanakan di Daerah Irigasi Jatiluhur yang merupakan wilayah kerja dari Perum Jasa Tirta II, khususnya wilayah yang dilayani oleh Saluran Tarum Barat atau wilayah antara Bendung Curug sampai dengan Bendung Bekasi. Lokasi penelitian ini dipilih dengan sengaja (purposive), berdasarkan kompetisi antar sektor pemakai air, dimana wilayah yang dilayani Saluran Induk Tarum Barat lebih kompetitif dibandingkan dengan wilayah Tarum Utara dan Tarum Barat.
Wilayah penelitian ini terdiri dari wilayah Curug, wilayah Cibeet (A dan B), Cikarang (A dan B) serta Bekasi (A,B dan C). Penentuan sub wilayah A, B dan C berdasarkan saluran dari masing-masing bendung.
Wilayah Curug merupakan wilayah yang dilayani dari saluran induk Tarum Barat antara Bangunan Tarum Barat (BTB) 1 sampai dengan BTB 22. Selanjutnya sub wilayah Cibeet A merupakan wilayah yang dilayani oleh Bendung Cibeet yang bersumber dari Kali Cibeet atau sebelah selatan saluran induk Tarum Barat. Sub wilayah Cibeet B merupakan wilayah antara pertemuan kali Cibeet dengan dengan saluran induk Tarum Barat dan Bendung Cikarang.
Sub wilayah Cikarang A merupakan wilayah yang dilayani oleh saluran Cikarang A atau kali Cikarang sedangkan sub wilayah Cikarang B dilayani oleh saluran induk Tarum Barat, yang terletak antara Bendung Cikarang dan Bendung Bekasi.
Wilayah Bekasi terdiri dari sub wilayah Bekasi A merupakan wilayah yang dilayani oleh saluran Bekasi A atau biasa dikenal dengan tempat pengambilan air irigasi (intake irigasi). Sub wilayah Bekasi B merupakan wilayah yang dilayani oleh saluran Bekasi B dalam hal ini saluran khusus untuk PAM DKI (Kali
Malang), sedangkan wilayah Bekasi C merupakan wilayah dari saluran Bekasi C atau saluran limpasan dari Bendung Bekasi yang menuju ke laut.
Bendung yang diambil sebagai sampel semuanya bendung gerak, yang fungsinya hanya menaikkan tinggi muka air dan mengatur volume air yang keluar, bukan sebagai penyimpan air.
Sektor yang diambil adalah sektor pertanian, sektor domestik (PDAM) dan sektor industri, semua sektor ini letaknya sebelah utara dari saluran induk Tarum Barat. Sedangkan sektor-sektor yang mengambil air di hulu atau sebelah selatan bendung tidak diambil kecuali sub wilayah Cibeet A.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Mei 2004, yang diawali dengan penyusunan proposal, pengumpulan data, pengolahan data dan penyusunan disertasi.
6.2. Pengambilan Data
Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara kelompok tani yang ada di setiap wilayah layanan bendung. Data yang dikumpulkan terdiri produktivitas, total biaya usahatani per musim tanam, dan biaya air irigasi. Responden petani dipilih secara sengaja menurut wilayah layanan bendung dan golongan sawah. Sedangkan data sekunder dengan mengumpulkan dari Perum Jasa Tirta II, PDAM Kota dan Kabupaten Bekasi, PAM DKI serta BPS.
6.3. Sistem Pengairan di Daerah Irigasi Jatiluhur
Sebelum melakukan penghitungan benefit optimal, perlu dicermati alur pengaliran mulai dari Waduk Juanda sampai ke hilir. Adapaun alur aliran airnya adalah sebagai berikut
1. Air keluar dari Waduk Juanda melalui turbin atau holojet ke Bendung Curug. 2. Dari Bendung Curug dialirkan ke tiga saluran induk, yakni Saluran Induk (SI)
Tarum Barat, Tarum Utara dan Tarum Timur.
3. Di Tarum Barat dialirkan ke hilir sepanjang aliran antara Curug sampai dengan pertemuan dengan SI Beet, air disalurkan ke sektor pemakai yakni pertanian, industri dan PDAM.
4. Bendung Cibeet menerima air dari Kali Cibeet disalurkan ke sektor pemakai air wilayah Cibeet dan sisanya merupakan tambahan bagi sisa air Curug,dialirkan ke pemakai air antara Cibeet dan Cikarang, dan sisanya masuk ke Bendung Cikarang.
L A U T J A W A
S . C I T A R U M K . C I B E E T K . C I K A R A N G K . B E K A S I B .B E K AS I B .C IIK A R AN G B .C IB EE T W .JU AN D A B .C U R U G B .C BL B E K AS I A B E K A S I C C BL TA R U M TIM U R TA R U M U TAR A TA R U M B A R A T C IK AR AN G B C IK AR AN G A C IB E E T A C IB E E T B B E K AS I B WADUK PERTANIAN INDUSTRI BENDUNG PDAM KETERANGAN5. Bendung Cikarang menerima air dari Kali Cikarang, dan sisa air pada poin 4, disalurkan ke saluran kali Cikarang (saluran Cikarang A/CKA) dan SI Tarum Barat (saluran Cikarang B/CKB) yang menghubungkan Bendung Cikarang dan Bekasi, untuk memenuhi permintaan sektor pemakai air baik di Saluran CKA maupun CKB. Saluran CKA selain untuk memenuhi kebutuhan di wilayah hilir kali Cikarang juga untuk membuang kelebihan air dari bendung Cikarang ke saluran CBL (Cikarang Bekasi Laut).
6. Bendung Bekasi menerima air dari Kali Bekasi dan sisa air di CKB, air tersebut dialirkan ke Saluran Bekasi A (intake irigasi) untuk memenuhi permintaan sektor pertanian, PDAM dan industri kota Bekasi; Bekasi B untuk memenuhi permintaan PAM DKI dan Bekasi C untuk menyalurkan limpasan ke CBL, secara skematis dapat dilihat pada Gambar 5.
6.4. Perhitungan Volume Air
Selain alur aliran air, dalam perhitungan besarnya air yang disalurkan dari bendung maupun tambahan dari bendung Curug, melalui beberapa langkah yakni
1. Air yang dibutuhkan masing-masing sektor yakni (Xijk). Pada sektor pertanian
(X1jkmn) merupakan air yang ada di petak sawah, di petak sawah ini
diasumsikan terjadi kehilangan air baik karena perkolasi, perembesan dan penguapan yang disebut kehilangan air di petak tersier dan disimbolkan dengan lpt besarnya adalah 20 persen dari total air yang disalurkan.
2. Air yang dibutuhkan masing-masing sektor tersebut akan disalurkan dari bendung, pada saat penyaluran diasumsikan air mengalami penguapan dan perembesan akibat kerusakan jaringan yang disebut kehilangan air di saluran sekunder yang disimbolkan dengan lss, sebesar 10 persen.
disalurkan dari Bendung Curug dan dalam perjalanannya mengalami penguapan dan perembesan di sepanjang saluran induk Tarum Barat yang disimbolkan dengan lsi, sebesar 5 persen. Air yang disalurkan dari Bendung Curug ke masing-masing bendung dilambangkan WIR1k , WIR2k , WDOk dan
WINk. X11 WIR01 X12 X13 X14 X15 WIR03 WIR02 WIR04 WIR05 WDOK WDOS WDOB X26 X27 X28 X39 X310 X311 WINK WINS WINB WIN LSS LSS LSS LSS LSS LSS LSS LSS LSI LSI LSI LSI LSI LSI LSI LSI LSI LSI LSI LPT LPT LPT ND3 ND2 ND1 LSS LSS LSS L 1 L 5 LPT L 4 LPT L 3 L2 NI1 NI2 NI3 WDO WIR BENDUNG
Gambar 10. Skema Penghitungan Volume Air
6.5. Metode Analisis
Pemecahan problem optimasi dinamik telah didasarkan pada kerangka model (Gambar 7) maupun dalam bentuk rumusan metematis pada sub bab 5.4.
Decision variable adalah aktivitas alokasi air menurut sektor, golongan, wilayah,
dan untuk sektor pertanian ditambah menurut tahap pertumbuhan dan musim tanam.
Alokasi sektor pertanian yang memiliki keunikan, dimana penjadwalan awal musim tanam ditentukan oleh golongan sawah, dimana setiap golongan sawah berbeda satu periode (tengah bulan). Golongan sawah I awal musim
tanam I pada periode awal penelitian, t=1 yakni Oktober I-II, sedangkan golongan sawah II mulai pada t=2 (Oktober III-IV) dan seterusnya. Air yang dibutuhkan pada setiap tahapan pertumbuhan tidak sama sehingga dalam satu periode, alokasi untuk air untuk sektor pertanian bervariasi menurut golongan dan musim tanam. Jadwal ini berlanjut sampai pada musim tanam II, sehingga akhir musim tanam II pada setiap wilayah disesuaikan dengan golongan yang ada (Tabel 16). Sektor domestik dan industri alokasi sumberdaya airnya dibatasi dalam suatu selang tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang tersedia pada masing-masing sektor.
Tabel 16. Alokasi Sumberdaya Air ke Sektor Pertanian Berdasarkan Golongan dan Tahap Pertumbuhan di DI Jatiluhur Tahun 2003-2004
OT1 OT2 TN TH1 TH2 TH3 BG1 BG2 MG1 MG2 1 Okt-I √ 2 Okt-II √ √ 3 Nov-I √ √ √ 4 Nov-II √ √ √ √ 5 Des-I √ √ √ √ √ 6 Des-II √ √ √ √ √ 7 Jan-I √ √ √ √ √ 8 Jan-II √ √ √ √ √ 9 Feb-I √ √ √ √ √ 10 Feb-II √ √ √ √ √ 11 Mar-I √ √ √ √ √ 12 Mar-II √ √ √ √ √ 13 Apr-I √ √ √ √ √ 14 Apr-II √ √ √ √ √ 15 Mei-I √ √ √ √ √ ⎯ 16 Mei-II √ √ √ √ ⎯ √ 17 Jun-I √ √ √ ⎯ √ √ 18 Jun-II √ √ ⎯ √ √ √ √ 19 Jul-I √ ⎯ √ √ √ √ 20 Jul-II √ √ √ √ 21 Ags-I √ √ √ 22 Ags-II √ √ 23 Sep-I √ 24 Sep-II
OT: olah tanah 1,2; TN: transplanting; TH: pertumbuhan vegetatif 1-3; Keterangan :
PERIODE
BG : pembungaan 1,2; MG: pematangan 1,2
Alokasi Air ke Petak Sawah per Tahap Pertumbuhan per hektar
√ aktivitas - tidak ada aktivitas
Periode keputusan tengah bulanan dengan mempertimbangkan tahapan pertumbuhan tanaman padi, horison waktunya satu tahun. Dalam musim tanam I
terdapat 10 tahapan pertumbuhan yang berarti 10 periode keputusan untuk setiap golongan sedangkan musim tanam II terdapat 9 tahapan pertumbuhan.
State variable dalam penelitian ini adalah stok Waduk Juanda. Fungsi
tujuannya memaksimumkan net benefit dari sektor pemakai air dengan kendala kapasitas waduk, total luas lahan, kapasitas saluran sehingga diperoleh alokasi air optimum untuk semua sektor. Stage returnnya tengah bulanan untuk sektor domestik dan industri sedangkan untuk sektor pertanian setiap musim tanam.
Sektor pemakai air yang diamati adalah pertanian, industri dan PDAM. Sektor industri dan PDAM hanya yang terdaftar dan dilayani oleh PJT II. Sektor pertanian terdiri dari 5 kelompok lahan yakni golongan sawah I sampai dengan V, dimana penggolongan ini mengikuti penggolongan yang dilakukan oleh PJT II, berdasarkan jarak lahan dengan saluran sekunder. Sektor domestik adalah PDAM yang dikelompokkan dalam 3 kelompok yakni kelompok PDAM kecil (<100.00 ribu m3 per tengah bulanan), kelompok sedang (150.00 ribu m3- 500.00 ribu m3 per tengah bulanan), besar (> 500.00 ribu m3 per tengah bulanan). Begitu juga dengan sektor industri dikelompokkan dalam 3 kelompok yakni industri kelompok kecil (<10.00 ribu m3 per tengah bulanan), sedang (10.00 ribu m3 – 100,00 ribu m3 per tengah bulanan) dan besar (>100.00 ribu m3 per tengah bulanan).
Dalam seluruh sub sistem pengairan Tarum Barat terdapat 55 variabel keputusan alokasi air, untuk sektor pertanian dengan 2 musim tanam 34 variabel keputusan, atau menjadi 340 variabel untuk seluruh tahap pertumbuhan, sektor domestik 9 variabel dan sektor industri 12 variabel (Tabel 15).
Prosedur analisis dibagi dalam beberapa langkah, yang pertama menaksir kebutuhan air bagi ketiga sektor pemakai air yakni pertanian, PDAM dan industri. Selanjutnya, menentukan produktivitas lahan setiap wilayah dengan menggunakan fungsi respons hasil, produktivitas aktual yang diperoleh
mencerminkan berapa besar kontribusi air irigasi yang diberikan terhadap produktivitas (persamaan 2 pada bab V).
Selain produktivitas, luas lahan yang diairi juga dihasilkan dari model net
benefit pertanian ini. Nilai air untuk sektor pertanian diperoleh dengan
mengalikan luas lahan dengan harga gabah di tingkat petani kemudian dikurangi dengan biaya input lain dan biaya air irigasi (persamaan 3 pada bab V).
Kemudian menghitung net benefit sektor domestik (PDAM), fungsi produksi PDAM diadopsi dari Syaukat (2000), dengan memodifikasikannya sesuai dengan data dan kondisi masing-masing PDAM, sehingga diperoleh koefisien dan konstanta biaya pengolahan dan distribusi. Net benefit sektor ini diperoleh dengan menghitung selisih antara total revenue yang diperoleh dengan
total cost yang dikeluarkan (persamaan 4 – persamaan 6 pada bab V).
Sedangkan perhitungan nilai air yang dialokasikan ke sektor industri, sektor industri yang ada beragam outputnya maka nilai air yang digunakan sektor tersebut didekati dengan konsep surplus konsumen. Diawali dengan menghitung koefisien permintaan air industri terhadap harga, menggunakan analisis regresi sederhana (persamaan 7 pada bab V). Selanjutnya dengan koefisien permintaan yang telah diperoleh, dapat ditentukan kurva permintaan sektor tersebut dan dapat diketahui luasnya area dibawah kurva permintaan air baku (persamaan 8 pada bab V ) .
Selain menghitung net benefit pemakai air, net benefit pengelola dalam hal ini Perum Jasa Tirta II juga dihitung. Net benefit pengelola (persamaan 11 pada bab V) diperoleh dengan mengurangkan antara penerimaan akibat penyaluran air ke sektor pemakai air (persamaan 9 pada bab V) dengan biaya yang dikeluarkan selama penyaluran tersebut, dimana biaya yang dikeluarkan terdiri dari biaya tetap dan biaya distribusi (persamaan 10 pada bab V).
meter kubik, disesuaikan dengan harga air irigasi yang dipakai oleh IFPRI dalam Model DAS Brantas. Net benefit sosial merupakan net benefit kumulatif dari ketiga sektor pengguna air baku dan PJT II sebagai pengelola sekaligus sebagi produsen dan pemilik sumberdaya air (persamaan 12 pada bab V).
Optimasi benefit sosial ini dilakukan dengan serentak karena dianggap pengguna dan pengelola mempunyai kepentingan yang sama terhadap air yang disalurkan (persamaan 13 pada bab V).
6.6. Kendala Model Daerah Irigasi Jatiluhur
Kondisi yang dibutuhkan dalam mengoptimalkan fungsi tujuan yakni keseimbangan pada masing-masing bendung dimana keseimbangan ini saling berkaitan satu dengan lainnya, sehingga keseimbangannya merupakan keseimbangan keseluruhan sistem pengairan. Keseimbangan menggambarkan ketersediaan air pada masing-masing node (bendung) dan kebutuhannya dan secara serentak akan dipenuhi dengan penyaluran air dari Bendung Curug (persamaan 14 – 23 pada bab V ). Jika air yang tersedia pada masing-masing wilayah telah mencukupi maka tidak diperlukan tambahan dari Bendung Curug.
Banyaknya air yang dapat diberikan dari Waduk Juanda sangat bergantung pada sarana yang ada di Tarum Barat, baik bendung sebagai pengatur tinggi muka air maupun saluran-saluran yang ada. Air yang disalurkan dari Bendung Curug tidak akan melebihi kapasitas saluran dan bendung tersebut, kapasitas bendung dan saluran telah dirancang untuk menyalurkan air sesuai kebutuhan wilayah tersebut (persamaan 24 –28 pada bab V).
Setiap bendung berfungsi sebagai pengaturan tinggi muka air agar pada tinggi muka air normal, dilengkapi dengan saluran yang dapat digunakan sebagai limpasan. Kelebihan air dari hulu diantisipasi dengan menyalurkannya pada saluran tersebut. Di bendung Cikarang, saluran Cikarang A (Sungai Cikarang),
langsung terhubung dengan bendung CBL (Cikarang Bekasi Laut), sehingga air yang melewati saluran Cikarang A sesuai dengan kebutuhan pada wilayah tersebut, sedangkan sisanya disalurkan ke CBL. Begitu juga dengan Bendung Bekasi, pada saluran Bekasi C (Sungai Bekasi), sebagai saluran pembuangan dan bermuara pada saluran CBL.Saluran-saluran pembuang tersebut dalam analisis akan diatur sehingga selalu menyalurkan kelebihan air dari saluran induk.
Selain kendala teknis sistem pengairan, ada juga kendala total luas lahan yang tersedia, sehingga luas lahan optimal yang diperoleh dari hasil optimasi tidak melebihi luas lahan yang tersedia pada masing-masing wilayah (persamaan 30 pada bab V ).
Kendala transisi atau stok air di Waduk Juanda merupakan kondisi yang selalu berubah akibat aktivitas yang dilakukan, stok waduk ini dapat dilihat pada persamaan (29 pada bab V).
6.7. Model Perumusan Optimasi Dinamik
Memaksimalkan present value (PV) manfaat bersih (persamaan 26 pada
bab V) melalui aktivitas alokasi sumberdaya air (Xijk) pada setiap tengah bulanan. Kendala pertama adalah persamaan transisi yang menggambarkan kondisi state
variable yang terkait dengan variabel waktu volume air di Waduk Juanda.
Berikutnya adalah kendala persamaan kondisi keseimbangan di Waduk Juanda (persamaan 29 pada bab V), ketidaksamaan kondisi ketersediaan lahan (persamaan 30 pada bab V), kondisi awal ketersediaan air di Waduk Juanda, kapasitas bendung dan saluran, serta batas bawah dan atas outflow dari Waduk Juanda ke Bendung Curug (persamaan 28 pada bab V), dan dari Bendung Curug ke Saluran Induk Tarum Barat.
6.7.1. Fungsi Lagrange
Pemecahan alokasi optimal dari rumusan fungsi tujuan dan kendala transisi didasarkan pada persamaan (29) dan (30) pada bab V, didasarkan pada persamaan PV Langrange sebagai berikut :
(
)
(
)
(
)
(
)
1 0 1 , T t , TJt TJt ijkt TJt TJt t t t ijkt TJ t S R S L X S NSB S Y Y X S r r l + = + ì é ùü ï + - ï ï ê úï ï ï = å í + ê úý ï ê + úï ï ë ûï ï ï î þ (1)dimana ρ adalah tingkat faktor diskonto (discount factor); NSB(.) adalah manfaat bersih tengah bulanan.
6.7.2. Kondisi Optimal
Untuk mendapatkan nilai optimal dari ekstraksi Y(Xijkt), stok (STJt) dan
shadow price, maka dicarilah turunan pertama parsial dari fungsi Lagrangian
respek terhadap Xijkt, STJt dan r lt+1,
( )
1 0 t t t t NSB L Yρ
Yρλ
+ ⎧∂ ⎫ ∂ = − = ⎨ ⎬ ∂ ⎩ ∂ ⎭ (2)( )
( )
1 1 0 t t t t TJ t TJ t NSB L R Sρ
Sρλ
+ρ λ
⎧∂ ⎫ ∂ = + ⎡ + ′ ⎤ − = ⎨ ⎣ ⎦⎬ ∂ ⎩ ∂ ⎭ (3)( )
{
(
)
1}
0 t TJ t TJ t t TJ t t L S R S Y Sρ
ρλ
+ ∂ = + − − = ∂ (4) maka ( ) 1 t NSB Y r lt ¶ ¶ = + g (5)dimana pada kondisi optimal marginal net benefit ( )
t NSB Y ¶ ¶ g sama dengan
( )
( )
{
TJ t 11}
NSB t S t R l = ¶ g¶ - r l + éë+ ¢gùû (6)Persamaan (3) menunjukkan sumberdaya dikelola secara optimal ketika nilai setiap pertambahan unit sumberdaya pada periode t. ,lt sama dengan marjinal
benefit pada periode t , ( )
t NSB STJ ¶ ¶ g
ditambah dengan marjinal benefit jika tidak
melakukan ekstraksi pada periode berikutnyar lt+1éë1+ R
( )
gùû.Operasional optimasi MODEL–DIJ dianalisis dengan perangkat lunak (software) GAMS versi DOS Release 2.25 MINOS 5. Formulasi pernyataan bahasa GAMS dikembangkan dari pola dasar perumusan program GAMS pada
The Model of Integrated Surface and Ground Water Management in Jakarta Region yang disusun oleh Syaukat (2000), dapat dilihat pada Lampiran 27.
Deskripsi keputusan alokasi air optimal didasarkan pada besaran yang terdapat dalam kolom “LEVEL” dari variabel keputusan yang terdapat pada hasil analisis pemecahan dengan program GAMS (output GAMS). User cost air yang tersimpan, dalam kolom “MARGINAL” output GAMS dari persamaan (equation) dari kendala stok waduk.
6.8. Penentuan Besaran Variabel dan Koefisien
6.8.1. Koefisien Fungsi Respons dan Permintaan Air Baku
Batas volume air yang dialokasikan ke petak sawah sama dengan yang dilakukan oleh PJT II berdasarkan hasil penelitian BALITPA, yakni total minimum 40.00 ribu meter kubik dalam satu musim tanam per hektar sedangkan total maksimumnya 44.00 ribu meter kubik. Total alokasi air ke petak sawah tidak boleh kurang atau lebih karena akan mengganggu produktivitas atau menyalahi syarat agronomis.
Besarnya variabel alokasi sumberdaya air dilihat pada tingkat LEVEL hasil analisis GAMS, begitu juga dengan luas lahan optimal dan outflow dari masing-masing bendung.
Parameter atau koefisien b pada fungsi respons diperoleh dari data sekunder berdasarkan ketetapan dari FAO dan dipalai oleh PJT II, yakni sebesar 1.15 pada pada masa pertumbuhan vegetatif sampai dengan pembungaan dan lebih besar 0.80 pada masa pematangan.
Koefisien dan intersep pada permintaan air baku domestik dan industri diperoleh melalui analisis regresi sederhana dengan menggunakan data runtut waktu tahun 1994 sampai dengan tahun 2004.
6.8.2. Harga Air untuk Irigasi, Air Baku PDAM dan Industri
Harga air irigasi diambil dari hasil penelitian Model Simulasi dan Optimasi DAS Brantas yang dilakukan Ringler et.al. (2002) yakni sebesar Rp. 5.00 per meter kubik.
Harga air baku PDAM kabupaten dan kota Bekasi sebesar Rp. 45.00 per meter kubik, sesuai Kepmen Dep. Kimpraswil No. 201/KPTS/M/2004Tanggal 19 Maret 2004 (Untuk PDAM Kabupaten/Kota). Sedangkan harga air baku PDAM sebesar Rp.100.00 berdasarkan Kepmen Dep. Kimpraswil No. 304/KPTS/M/2003 Tanggal 28 Oktober 2003 dan Kepmen Dep. Kimpraswil No. 306/KPTS/M/2003 Tanggal 4 Agustus 2004.
Harga air baku industri sebesar Rp. 50.00 berdasarkan Kepmen Dep. Kimpraswil No. 202/KPTS/M/2003 Tanggal 19 Maret 2004.
6.9. Simulasi Teknis dan Ekonomi
Untuk melihat sampai sejauh mana alokasi optimum akan berubah akibat berbagai perubahan teknis dan ekonomi ke dalam model. Berdasarkan data historis sejak tahun 1994 sampai dengan 2004, permintaan air baku sektor
domestik dari tahun ke tahun terus meningkat walaupun peningkatan tidak dalam jangka pendek biasanya pada tahun berikutnya. Peningkatan air baku sejak tahun 2000 meningkat sebesar 10 persen, karenanya besarnya peningkatan ini pula yang dipakai sebagai dasar skenario 1.
Begitu juga dengan sektor industri walaupun peningkatannya lebih lambat dan nilai perubahannya lebih kecil dibandingkan dengan sektor domestik, hanya berkisar 3 persen. Peningkatan air industri ditentukan sebesar 5 persen lebih besar dari kondisi aktual dengan asumsi bahwa perkembangan industri akan berkembang lebih cepat sehingga kebutuhan air baku industri juga meningkat, ini pula yang dijadikan pertimbangan untuk penentuan skenario 2.
Skenario 3 merupakan kombinasi antara skenario 1 dan 2. Sedangkan skenario 4 dari sisi pengelola yakni peningkatan harga air baku PAM DKI sebesar 10 persen, merupakan usulan dari Perum Jasa Tirta II, agar bisa menutupi biaya operasional. Selanjutnya, dari sisi petani, dimana petani sangat bergantung pada harga gabah yang dihasilkan, sebagai dasar pertimbangan adalah peningkatan harga gabah sebesar 25 persen sebagai skenario 5, berdasarkan wawancara langsung pada kelompok tani bahwa jika harga gabah meningkat maka petani dapat memperoleh keuntungan lebih tinggi per musim tanamnya.
Skenario 6 dan 7 merupakan skenario kombinasi, yakni skenario 6 merupakan kombinasi skenario 2 dan 3, skenario 7 merupakan kombinasi skenario 2 dan 5.