12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka
1. Pengauditan
Auditing berasal dari bahasa latin, yaitu audire yang berarti mendengar atau memperhatikan. Mendengar dalam hal ini adalah memperhatikan dan mengamati pertanggungjawaban keuangan yang disampaikan penanggung jawab keuangan, dalam hal ini manajemen perusahaan. Pada perkembangan terakhir, sesuai dengan perkembangan dunia usaha, pendengar tersebut dikenal dengan auditor atau pemeriksa, sedangkan tugas yang diemban oleh auditor tersebut disebut dengan auditing.
Untuk dapat memahami lebih lanjut pengertian auditing, maka perlu dikemukakan pendapat Arens, Alvin A & Loebbecke dan James K. (2000) sebagai berikut:
“Auditing adalah pengumpulan serta pengevaluasian bukti-bukti atas informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian informasi tersebut dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen.”
Moenaf Regar (2006) juga memberikan pengertian auditing sebagai: ”Serangkaian pemeriksaan kegiatan yang bebas dilakukan oleh akuntan untuk meneliti daftar keuangan dari suatu perusahaan yang dilaksanakan menurut norma pemeriksaan akuntan untuk dapat memberikan (atau menolak memberikan) pendapat mengenai kewajaran dari daftar keuangan yang diperiksa.”
Pendapat-pendapat di atas mengandung pengertian bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan (auditor) terhadap daftar keuangan perusahaan
harus dilaksanakan secara bebas, tanpa adanya tekanan dari pihak manapun dan juga dilaksanakan menurut norma pemeriksaan yang telah ditetapkan oleh yang berwenang. Kata bebas yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu sikap yang tidak berpihak dalam melaksanakan pemeriksaan untuk sampai kepada pemberian pendapat, baik dalam kenyataan maupun dalam penglihatan. Sedangkan norma pemeriksaan adalah suatu ukuran untuk mengetahui mutu pelaksanaan pemeriksaan.
2. Risiko Audit
Sedangkan pengertian Risiko Audit menurut SA Seksi 312 Risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit, “Risiko Audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material”. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, akan semakin rendah pula risiko audit yang auditor bersedia menanggungnya. Begitu juga sebaliknya.
Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas dasar bukti yang diperoleh dari verifikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun secara individual atau golongan transaksi. Tujiannya adalah untuk membatasi Risiko Audit dalam menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada tingkat yang rendah.
Risiko Audit mempengaruhi penerapan standar auditing, khususnya standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Risiko Audit bersama
perlu dipertimbangkan dalam menentukan sifat dan luas prosedur audit serta dalam mengevaluasi hasil prosedur tersebut.
Auditor harus merencanakan auditnya sedemikian rupa sehingga Risiko Audit dapat dibatasi pada tingkat yang rendah, yang menurut pertimbangan profesionalnya, memadai untuk menyatakan pendapat terhadap laporan keuangan. (Sukrisno Agoes, 1999: 107). Risiko Audit dapat ditentukan dalam ukuran kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam merencanakan auditnya, auditor harus menggunakan pertimbangannya dalam menentukan tingkat risiko yang cukup rendah dari pertimbangan awal mengenai tingkat materialitas dengan suatu cara yang diharapkan, dalam keterbatasan yang melekat pada proses audit, dapat memberikan bukti audit yang cukup untuk mencapai keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material (Sukrisno Agoes, 1999: 107).
a. Unsur Risiko Audit
Risiko Audit terbagi dalam tiga unsur, yaitu risiko bawaan, risiko pengendalian, dan risiko deteksi (Mulyadi, 2001).
1) Risiko Bawaan
Menurut Mulyadi, Risiko Bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan prosedur pengendalian intern yang terkait. Risiko salah saji tersebut lebih besar pada akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan yang lain. Akun yang
terdiri dari jumlah yang berasal dari estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko salah saji yang lebih besar dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data berupa fakta.
2) Risiko Pengendalian
Risiko Pengendalian adalah risiko terjadinya salah saji material dalam suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini ditentukan oleh efektifitas kebijakan dan prosedur pengendalian intern untuk mencapai tujuan umum pengendalian intern yang relevan dengan audit atas laoporan keuangan entitas. Risiko pengendalian tertentu akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian intern. 3) Risiko Deteksi
Risiko Deteksi adalah risiko sebagai akibat auditor tidak dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko ditentukan oleh efektifitas prosedur audit dan penerapannya oleh auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastianlain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut diperiksa 100%. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Auditor dalam Menentukan Risiko
Audit
Pada hakikatnya pemeriksaan dimaksudkan untuk menilai kewajaran laporan keuangan yang didasarkan pada ketaatannya terhadap prinsip
akuntansi berlaku umum (PABU). Artinya laporan keuangan yang disajikan bebas dari kemungkinan kesalahan material. Namun akuntan diwajibkan untuk melakukan usaha-usaha pemeriksaan untuk memastikan bahwa laporan keuangan tidak mengandung kesalahan material
Menurut Sofyan Syafri (1994), umumnya dikenal dua tipe kesalahan: a. Error
Kesalahan yang timbul akibat ketidaksengajaan yang mengakibatkan kesalahan teknis perhitungan pemindahbukuan, penerapan prinsip akuntansi berlaku umum yang tidak sengaja dilakukan.
b. Irregularities
Kesalahan yang sengaja dilakukan oleh manajemen atau pegawainya yang mengakibatkan kesalahan material terhadap penyajian kesalahan. Fraud merupakan salah satu bentuk irregularities. Contohnya tidak melakukan pencatatan, mencatat biaya lebih besar dari sebenarnya, mencatat biaya lebih kecil dari yang sebenarnya, dan sebagainya.
Error dan irregularities harus diwaspadai dan auditor harus mencari prosedur yang dapat menemukan kedua tipe kesalahan ini. Kesalahan ini biasanya dapat ditemukan dengan mengamati kelemahan sistem pengawasan intern, menilai tingkat kejujuran manajemen, melihat transaksi yang tidak biasa, dan sebagainya.
Menurut Sofyan Syafri (1994), indikator yang dapat dijadikan petunjuk kemungkinan adanya kesalahan ini adalah:
a. Perusahaan mengalami kesulitan modal kerja.
b. Ketergantungan perusahaan terhadap produk, langganan dan pasar tertentu.
c. Transaksi mayoritas terjadi antara perusahaan dengan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa.
d. Kapasitas produksi yang berlebih.
e. Banyaknya persediaan yang tak laku dijual
f. Perusahaan tidak mampu memperbaiki kelemahan sistem pengawasan intern yang ada.
g. Konflik intern Perusahaan
h. Perubahan yang tiba-tiba atas akuntan publik yang menerima laporan keuangan.
Seandainya kesalahan ini tak dapat terungkap dari hasil audit maka Risiko Audit cukup besar. Indikator yang dapat dijadikan pertimbangan auditor dalam menentukan Risiko Audit menurut Sofyan Syafri (1994) yaitu:
Tabel 1. Indikator Pertimbangan Auditor Dalam Menentukan Risiko Audit
No. Faktor Indikator
Lebih Rendah Lebih Tinggi 1 Gaya Manajemen Didominasi pengawasan oleh kelompok Didominasi oleh satu orang 2 Sikap manajemen terhadap laporan
keuangan Konservatif Agresif
3 Tingkat perputaran pegawai staf akuntansi Normal Tinggi 4 Tekanan terhadap pencapaian anggaran Sedikit Sangat sedikit
5 Reputasi dalam dunia usaha Jujur Dikhawatirkan
No. Faktor Indikator
konsisten dan berfluktuatif 7 Tingkat sensitivitas terhadap perubahan
tingkat bunga, inflasi dan keadaan ekonomi
Relatif dan
sensitif Sangat sensitif
8 Tingkat perubahan usaha Stabil Cepat
9 Keadaan usaha Sehat Tertekan
10 Sistem organisasi Sentralisasi Desentralisasi
11 Masalah kelangsungan hidup (going concern)
Tak ada yang secara serius mempengaruhi
kelangsungan hidup
Ada beberapa hal yang secara
serius mempengaruhi
kelangsungan hidup 12 Isu tentang akuntansi yang rumit Tidak ada Banyak 13 Kesulitan dalam pemeriksaan transaksi dan
saldo perkiraan Sedikit Banyak
14 Kesalahan yang ditemukan dalam permulaan audit
Sedikit dan tidak
material Banyak
15 Hubungan dengan klien Langganan lama Baru pertama kali Sumber: Sofyan Safri, 1994 : 63
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 7, laporan keuangan harus mengungkapkan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Yang termasuk dalam pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah transaksi yang dilakukan dengan:
a. Perusahaan yang memiliki hubungan kepemilikan
b. Perorangan sebagai pemilik atau karyawan yang mempunyai pengaruh signifikan.
c. Anggota keluarga terdekat dari perorangan tersebut, dan
d. Perusahaan yang dimiliki secara substansial oleh perorangan tersebut.
Dalam penjelasan PSAK No. 7 juga menjabarkan bahwa Pihak– pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah pihak-pihak yang
dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional. Transaksi antara Pihak – pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah suatu pengalihan sumber daya atau kewajiban antara pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa, tanpa menghiraukan apakah suatu harga diperhitungkan Pengendalian adalah kepemilikan langsung melalui anak perusahaan dengan lebih dari setengah hak suara dari suatu perusahaan, atau suatu kepentingan substansial dalam hak suara dan kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan keuangan dan operasi manajemen perusahaan berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian.
Berdasarkan penjabaran tersebut, peneliti menetapkan hubungan dengan klien sebagai salah satu indikator dalam variabel Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
Juniarti (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Profesi Akuntan Merespon Dampak Memburuknya Kondisi Ekonomi” menyimpulkan bahwa kestabilan ekonomi yang dilanda suatu negara membawa dampak yang cukup signifikan terhadap kelangsungan hidup perusahaan sehingga mempengaruhi tingkat risiko bagi profesi akuntan. Jika tidak hati-hati menjalankan profesinya, profesi akuntan, dalam hal ini auditor akan terancam kelangsungan profesinya. Tingkat ketidakpastian yang tinggi dimasa depan sebagai dampak memburuknya kondisi ekonomi makin menambah berat tanggung jawab auditor. Jenis penugasan yang
makin beragam yang pada kondisi ekonomi normal tidak ditemui, membawa risiko tersendiri bagi auditor.
Risiko audit diawali sejak proses menerima penugasan dari klien, pelaksanaan penugasan sampai dengan penyelesain penugasan. Auditor harus memiliki prosedur yang sesuai dan merancang kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terlibat.
Berdasarkan penelitian Juniarti (2010) tersebut, peneliti menetapkan tingkat sensitivitas terhadap perubahan tingkat bunga, inflasi dan keadaan ekonomi sebagai salah satu indikator dalam variabel Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 2010) menyebutkan bahwa, untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap akuntan harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin, karena. Ketika auditor akan memulai suatu rangkaian audit, penilaian integritas klien seharusnya menjadi pertimbangan utama karena integritas merupakan elemen utama dalam pengendalian intern.
Demikian juga Muatz dan Sharaf (1961) dalam bukunya yang berjudul “The philosophy of auditing” menyebutkan bahwa penilaian perilaku klien akan mempengaruhi pertimbangan strategi audit, walaupun rendahnya integritas klien tidak selalu menimbulkan masalah penipuan.
Integritas klien terkait dengan penilaian resiko auditor. Ketika auditor berencana untuk menerima klien baru, yang penting mendapat perhatian adalah integritas klien, karena integritas akan mempengaruhi
kemungkinan resiko yang dihadapi yaitu risiko penipuan dan kredibilitas sumber. Penilaian integritas yang negatif secara tidak langsung terkait dengan penilaian bukti audit dan rekomendasi biaya.
Berdasarkan penelitian Juniarti (2010) tersebut, peneliti menetapkan Reputasi dalam dunia usaha sebagai salah satu indikator dalam variabel Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
4. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan atau Intelligence memiliki pengertian yang sangat luas. Para ahli psikologi mengartikan Kecerdasan sebagai keseluruhan kemampuan individu untuk memperoleh pengetahuan, menguasainya dan mempraktikannya dalam pemecahan suatu masalah. Menurut Hadi Susanto (2005:68) kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melihat suatu masalah lalu menyelesaikannya atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.
Menurut Thomas Armstrong (2002:2) kecerdasan adalah kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Binet seorang psikolog Prancis, mengatakan bahwa “Kecerdasan adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri”. Gardner seorang psikolog Amerika mengatakan bahwa “Kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan situasi yang nyata”. (Paul
Suparno,2008:17). Kamus besar Bahasa Indonesia (1999), mengartikan kecerdasan sebagai perihal cerdas (sebagai kata benda), atau kesempurnaan perkembangan akal budi (seperti kepandaian dan ketajaman fikiran).
Dengan demikian dari beberapa pengertian di atas kecerdasan dapat diartikan sebagai kesempurnaan akal budi seseorang yang diwujudkan dalam suatu kemampuan yang terdiri dari berbagai komponen, untuk memperoleh kecakapan-kecakapan tertentu dan untuk memecahkan suatu persoalan atau masalah dalam kehidupan nyata secara tepat, sedangkan kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : desire (hasrat), hate (benci), sorrow (sedih/duka), wonder (heran), love (cinta) dan joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), rage (kemarahan) dan love (cinta).
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam The Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
Dalam pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang merupakan keterampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang akademis. Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak hanya itu saja. Pandangan baru yang berkembang mengatakan bahwa ada kecerdasan lain di luar kecerdasan intelektual (IQ), seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dan lain-lain yang harus juga dikembangkan.
Menurut Wibowo (2002) Kecerdasan Emosional adalah kecerdasan untuk menggunakan emosi sesuai dengan keinginan, kemampuan untuk mengendalikan emosi sehingga memberikan dampak yang positif. Kecerdasan Emosional dapat membantu membangun hubungan dalam menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Cooper dan Sawaf (1998) memaparkan bahwa Kecerdasan Emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosisebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.
Salovey dan Mayer, Pencipta istilah “Kecerdasan Emosional”, mendefinisikan Kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Menurut Goleman, Kecerdasan Emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Daniel Goleman menjelaskan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut Goleman mengemukakan bahwa Kecerdasan Emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan Kecerdasan Emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Daniel Goleman (Emotional Intelligence) menyebutkan bahwa Kecerdasan Emosi jauh lebih berperan ketimbang IQ atau keahlian dalam menentukan siapa yang akan jadi bintang dalam suatu pekerjaan.
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa Kecerdasan Emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.
1. Komponen Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2003) terdapat lima dimensi atau komponen Kecerdasan Emosional (EQ) yaitu:
a. Pengenalan diri (self awareness), b. Pengendalian diri (self regulation), c. Motivasi (motivation),
d. Empati (empathy),
e. Keterampilan sosial (social skills).
a. Pengenalan Diri
Menurut Conny Semiawan (1987), mengenal diri sendiri berarti memperoleh pengetahuan tentang totalitas diri yang tepat, yaitu menyadari kelebihan/keunggulan yang dimiliki maupun kekurangan/ kelemahan yang ada pada diri sendiri. Dengan mengenal diri sendiri secara tepat akan diketahui konsep diri yang tepat pula, dengan berupaya mengembangkan yang positif dan mengatasi/ menghilangkan yang negatif.
Menurut John Robert Powers (1977), pengenalan Diri atau konsep diri adalah kesadaran dan pemahaman terhadap dirinya sendiri yang
meliputi ; siapa aku, apa kemampuanku, apa kekuranganku, apa kelebihanku, apa perananku, dan apa keinginanku. Konsep diri menjadi dasar perilaku hidup sehari-hari yang disadari. Kesadaran dan pemahaman akan dirinya semakin mencerminkan prinsip hidup dan kehidupannya.
Setiap orang perlu mengetahui dan memahami dirinya serta mampu menumbuhkan dan mengembangkan kemampuannya. Setelah seseorang mengetahui dirinya, maka terbentuklah sikap dan perilaku dalam menentukan arah dan prinsip hidup yang diinginkan. Seseorang yang mempunyai pengenalan diri, dapat menilai dirinya dalam menjalankan peranan hidup berkeluarga atau dalam masyarakat tanpa merasa lebih atau kurang terhadap kemampuan dan bersikap kepada orang lain. Perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat merupakan faktor yang menentukan, dengan demikian ‘pengenalan diri’ seseorang bukan suatu yang langsung jadi, melainkan diperoleh dan dibentuk melalui pendidikan, pengalaman serta pengaruh lingkungan.
Seperti telah diuraikan di atas, pengenalan diri merupakan informasi tentang diri seseorang, dan lebih bersifat subyektif. Dalam pengenalan diri memuat perkiraan mengenai apa yang akan terjadi dimasa mendatang, dan berusaha untuk bisa mewujudkannya. Perkiraan tersebut sebenarnya bisa negatif atau kurang tepat, dan seseorang dapat mengubahnya sehingga menghasilkan pengenalan diri yang baru dan menyenangkan.
Menurut Goleman (2009:62) Pengenalan Diri yaitu kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Pengenalan Diri merupakan dasar dari kecerdasan emosional untuk mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri. Selain itu, Pengenalan Diri juga berarti menerapkan tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Pengenalan Diri digunakan untuk mengukur tentang totalitas diri yang tepat, yaitu menyadari kelebihan dan keunggulan yang dimiliki maupun kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri sendiri.
Berdasarkan pendapat Goleman di atas, Pengenalan Diri dalam penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Penerimaan diri sendiri. 2) Kemampuan diri sendiri.
3) Kekhawatiran terhadap diri sendiri.
b. Pengendalian Diri
Menurut Goleman (2000) pengendalian diri merupakan sikap hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan kebijakan yang terkendali, dan tujuannya adalah untuk keseimbangan emosi, bukan menekan emosi, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna.
Pengendalian diri merupakan pengelolaan emosi yang berarti menangani perasaan dengan tepat. Hal ini merupakan kemampuan yang sangat bergantung pada kesadaran diri masing-masing. Emosi dikatakan
berhasil dikelola apabila mampu menahan rasa amarah yang timbul dan menjadikan amarah tersebut menjadi suatu kebaikan. Pengendalian diri ini harus dimiliki oleh auditor agar ia mempu menyeimbangkan ambisi, semangat, dan kemampuan keras mereka dengan kendali diri sehingga mampu menyeimbangkan kebutuhan pribadi dalam meraih prestasi.
Pengenalan diri auditor akan mempengaruhi kemampuan untuk mengendalikan dirinya. Auditor yang memiliki Pengenalan diri yang kuat maka akan cenderung lebih mampu mengendalikan dirinya dalam menghadapi permasalahan yang terjadi dibandingkan dengan auditor yang memiliki Pengendalian diri lemah.
Pengendalian diri atau Penguasaan diri merupakan satu aspek penting dalam kecerdasan emosi. Aspek ini penting sekali dalam kehidupan manusia sebab musuh terbesar manusia bukan berada di luar dirinya, namun justru berada di dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, kemana pun seseorang pergi, maka orang tersebut selalu diikuti oleh musuhnya, yaitu dirinya sendiri.
Menurut Goleman (2009:77) Pengendalain Diri yaitu kemampuan seseorang dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri seseorang. Pengendalian Diri dengan menangani emosi seseorang sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya sesuatu dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi. Dalam mengendalikan diri dibutuhkan sikap kesabaran,
kehati-hatian dan kecerdasan dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan kebijakan yang terkendali, sehingga tercapai suatu tujuan, yaitu keseimbangan emosi.
Berdasarkan pendapat Goleman, Pengendalian Diri dalam penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Kesabaran dalam menghadapi sesuatu. 2) Kejenuhan dalam melakukan sesuatu 3) Pulih dari kekecewaan dan keterpurukan
c. Motivasi
Secara etimologis, Winardi (2002:1) menjelaskan istilah motivasi (motivation) berasal dari perkataan bahasa Latin, yakni movere yang berarti menggerakkan (to move). Diserap dalam bahasa Inggris menjadi motivation berarti pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Selanjutnya Winardi (2002:33) mengemukakan, motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motifnya. Berdasarkan hal tersebut diskusi mengenai motivasi tidak bisa lepas dari konsep motif. Pada intinya dapat dikatakan bahwa motif merupakan penyebab terjadinya tindakan. Steiner sebagaimana dikutip Hasibuan (2003:95) mengemukakan motif adalah “suatu pendorong dari dalam untuk beraktivitas atau bergerak dan secara langsung atau mengarah kepada sasaran akhir”. Ali sebagaimana dikutip Arep dan Tanjung (2004:12) mendefinisikan motif sebagai “sebab-sebab yang menjadi dorongan tindakan seseorang”. Berendoom
dan Stainer dalam Sedarmayanti (2000:45), mendefinisikan motivasi sebagai kondisi mental yang mendorong aktivitas dan memberi energi yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.
Winardi (2002:33) menjelaskan, motif kadang-kadang dinyatakan orang sebagai kebutuhan, keinginan, dorongan yang muncul dalam diri seseorang. Motif diarahkan ke arah tujuan-tujuan yang dapat muncul dalam kondisi sadar atau dalam kondisi di bawah sadar. Motif-motif merupakan “mengapa” dari perilaku. Mereka muncul dan mempertahankan aktivitas, dan mendeterminasi arah umum perilaku seorang individu.
Motivasi adalah sebuah kemampuan kita untuk memotivasi diri kita tanpa memerlukan bantuan orang lain. Kita memiliki kemampuan untuk mendapatkan alasan atau dorongan untuk bertindak. Proses mendapatkan dorongan bertindak ini pada dasarnya sebuah proses penyadaran akan keinginan diri sendiri yang biasanya terkubur. Setiap orang memiliki keinginan yang merupakan dorongan untuk bertindak, namun seringkali dorongan tersebut melemah karena faktor luar. Melemahnya dorongan ini bisa dilihat dari hilangnya harapan dan ketidak berdayaan.
Memotivasi diri adalah proses menghilangkan faktor yang melemahkan dorongan kita. Rasa tidak tidak berdaya dihilangkan menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Sementara harapan dimunculkan kembali dengan membangun keyakinan bahwa apa yang
diinginkan bisa kita capai. Dengan demikian jika sebuah sumbat motivasi (dalam hal ini ketidak berdayaan dan tanpa harapan) dihilangkan, maka aliran energi dalam tubuh kita bisa mengalir kembali.
Membangun impian merupakan salah satu cara memotivasi diri sendiri. Namun, membangun impian bisa tidak berguna jika hambatan-hambatan pada diri sendiri masih ada. Inilah mengapa banyak orang yang tidak mau bermimpi, sebab ada sebuah faktor yang masih belum diselesaikan, yaitu faktor keberdayaan. Jadi, sebaiknya sebelum kita membangun mimpi, kita harus membangin rasa percaya diri terlebih dahulu. Jika tidak, membangun impian bisa percuma. Buat apa mimpi besar jika kita tidak percaya diri untuk mencapainya?
Impian yang besar tanpa kepercayaan diri seperti mimpi di siang bolong, angan-angan, atau khayalan belaka. Mereka mengatakan ingin, tapi tidak ada tindakan yang terjadi. Hanya ada dua penyebab, harapan meraih mimpi yang tidak ada atau mereka merasa tidak mampu meraih impian tersebut.
Motivasi, menurut Goleman (2009:110) merupakan kumpulan perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri dalam mencapai prestasi. Motivasi merupakan hasrat seseorang yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun seseorang menuju sasaran, membantu seseorang mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Motivasi yang paling ampuh berasal dari dalam diri seseorang. Kekuatan tersebut bekerja
terhadap diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku atau segala sikap yang menjadi pendorong timbulnya suatu perilaku.
Berdasarkan pendapat Goleman, Motivasi dalam penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Mencoba suatu tantangan baru.
2) ketertarikan pada pekerjaan yang menuntut untuk memberikan gagasan baru.
3) Tidak mudah menyerah saat melakukan sesuatu.
d. Empati
Empati berasal dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti “ketertarikan fisik”, sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Eileen R. dan Sylvina S (Kompas, 18 Nov 2006) menjelaskan bahwa empati adalah kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain.
Empati adalah ciri utama dari orang yang memiliki kecerdasan emosional. Empati sangat penting untuk kesuksesan hubungan antar manusia. Tanpa empati hubungan kita akan gagal, karena berarti kita
tidak mampu memahami perasaan orang lain. Akibatnya akan sering terjadi salah persepsi, miskomunikasi dan konflik dengan orang lain. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia empati berarti kemampuan menghadapi pikiran dan perasaan orang lain
Empati harus dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka kita pada emosi sendiri, maka semakin terbuka pada emosi orang lain. Semakin kita memahami emosi dan perasaan diri kita, maka akan semakin bisa kita memahami emosi orang lain.
Kemampuan untuk bersikap empati ini sangat bermanfaat bagi kita, karena dengan ini kita mampu membaca perasaan orang lain dari isyarat non verbal karena 60 % bahasa komunikasi adalah non verbal, lebih pandai menyesuaikan diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah bergaul, dan lebih peka terhadap orang lain
Berdasarkan penelitian yang diungkapkan oleh Daniel Goleman dalam Emotional Intelligence, bahwa anak-anak yang mampu membaca emosi orang lain tergolong anak paling popular di sekolah Menurut Goleman juga, Empati adalah berusaha setala (seide, sepikiran, seperasaan atau satu frekeuensi) dengan orang lain.
Empati, menurut Goleman (2009:381) adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, mampu memahami perspektif seseorang, menumbuhkan hubungan saling percaya, dan menyelaraskan diri dengan berbagai macam orang. Empati berarti
perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.
Berdasarkan pendapat Goleman, Empati dalam penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Menyelaraskan diri dengan bermacam orang. 2) Menumbuhkan hubungan saling percaya. 3) Mengetahui dan memahami perasaan orang lain
e. Keterampilan Sosial
Banyak pengertian keterampilan sosial yang dikemukakan para ahli. Merrel (2008) memberikan pengertian keterampilan sosial (Social Skill) sebagai perilaku spesifik, inisiatif, mengarahkan pada hasil sosial yang diharapkan sebagai bentuk perilaku seseorang. Cooper Cary dan Makin Peter (1995) memberikan pengertian keterampilan sosial adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara sosial maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain. Hargie (1998) memberikan pengertian keterampilan sosial sebagai kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain. Libet dan Lewinsohn memberikan pengertian
keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan. Kelly (Gimpel dan Merrel, 1998) memberikan keterampilan sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Matson (Gimpel dan Merrel, 1998) mengatakan bahwa keterampilan sosial, baik secara langsung maupun tidak membantu seseorang a untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya.
Keterampilan Sosial, menurut Goleman (2009:158), memungkinkan seseorang membentuk hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan mempengaruhi, dan membuat orang lain nyaman. Keterampilan Sosial bisa diperoleh dengan banyak berlatih. Salah satu kunci Keterampilan Sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaan sendiri. Keterampilan Sosial berarti juga kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam konteks sosial
dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara sosial maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain.
Berdasarkan pendapat Goleman, Keterampilan Sosial dalam penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Mudah berinteraksi dengan orang lain. 2) Keterbukaan terhadap kritik dan saran. 3) Kemampuan berkomunikasi
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pakar-pakar sebelumnya sangat penting untuk diungkapkan karena dapat dipakai sebagai sumber informasi dan referensi yang berguna bagi penulis.
Arum Kusumawati (2008) telah melakukan penelitian tentang Pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan Risiko Audit dalam Proses Audit Laporan Keuangan. Penelitian tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran sekaligus menunjukkan pengaruh profesionalisme auditor terhadap pertimbangan tingkat materialitas dan risiko audit dalam proses audit atas laporan keuangan. Arum Kusumawati menggunakan desain penelitian kausal dalam penelitian ini. Metode pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Jenis data yang digunakan adalah data primer, diperoleh dari persepsi auditor-auditor independen yang dituangkan dalam bentuk kuesioner penelitian terhadap 36 auditor independen. Pengolahan data dilakukan dengan alat bantu program statistik. Pengujian asumsi klasik yang digunakan adalah uji normalitas dan uji
heteroskedastisitas, sedangkan model analisis yang digunakan adalah regresi linier sederhana yang terdiri dari dua persamaan regresi untuk variabel dependen pertama dan kedua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profesionalisme (yang diukur melalui tiga instrumen ukur yaitu: pendidikan dan pengalaman, independensi, serta penggunaan kemahiran profesional) memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap pertimbangan tingkat materialitas sebagai variabel dependen pertama dan berpengaruh positif dalam tingkat yang signifikan terhadap pertimbangan risiko dalam mengaudit laporan keuangan sebagai variabel dependen yang kedua. Penelitian yang dilakukan oleh Arum memiliki kesamaan dalam variabel terikat yaitu Pertimbangan Risiko Audit. Perbedaannya adalah jika dalam penelitian yang dilakukan oleh Arum memakai variabel independen Profesionalisme Auditor maka dalam penelitian ini penulis memakai variabel independen Kecerdasan Emosional. Selain itu obyek yang diteliti oleh Arum adalah para auditor, maka penulis mengambil obyek penelitian para mahasiswa Program Pendidikan Profesi Akuntan sebagai calon auditor.
Villa Mandala Putra (2010), telah melakukan penelitian tentang Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Auditor pada Kantor Akuntan Publik yang Berada di Yogyakarta dengan menggunakan alat analisis regresi linier berganda. Jenis data yang digunakan adalah data primer, Hasil pengujian Villa Mandala Putra (2010) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja Auditor. Penelitian yang dilakukan oleh Villa Mandala Putra dengan peneliti yaitu bahwa keduanya sama-sama
menggunakan Kecerdasan Emosional sebagai Variabel Independen yang dijabarkan dengan Pengenalan diri (Self awareness), Pengendalian diri (self regulation), Motivasi (motivation), Empati (empathy), dan Keterampilan sosial (Social skills). Akan tetapi apabila Villa Mandala Putra menggunakan Kinerja Auditor pada Kantor Akuntan Publik di Yogyakarta sebagai Variabel Dependen, maka peneliti menggunakan variabel yang lebih khusus, yaitu Pertimbangan Penentuan Risiko Audit. Selain itu peneliti menggunakan mahasiswa Program Pendidikan Profesi Akuntan sebagai sampel penelitian.
Suryaningrum dan Trisnawati (2003), telah melakukan penelitian tentang Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi dengan sampel mahasiswa akhir akuntansi yang telah menempuh 120 SKS pada beberapa universitas di Yogyakarta dengan menggunakan alat analisis regresi linier berganda. Hasil pengujian Suryaningrum dan Trisnawati (2003) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Penelitian yang dilakukan oleh Suryaningrum dan Trisnawati dengan peneliti yaitu bahwa keduanya sama-sama menggunakan Kecerdasan Emosional sebagai Variabel Independen yang dijabarkan dengan Pengenalan diri, Pengendalian diri, Motivasi, Empati, dan Keterampilan sosial. Selain itu juga keduanya menggunakan alat analisis regresi linier berganda. Dibandingkan dengan penelitian tersebut, peneliti meneliti Pertimbangan Penentuan Risiko Audit sebagai Variabel Dependen. Peneliti lebih mengkhususkan tema yang diteliti. Jika Suryaningrum dan Trisnawati meneliti tentang Tingkat Pemahaman Akuntansi maka peneliti
mengambil hal yang lebih khusus yaitu mengenai Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
C. Kerangka Berpikir
Pada penelitian ini akan menguji pengaruh kecerdasan emosional terhadap Pertimbangan Penetapan Risiko Audit. Variabel dependen yang digunakan pada penelitian ini yaitu Pertimbangan Penetapan Risiko Audit. Variabel independen pada penelitian ini adalah pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial. Namun terlebih dahulu peneliti akan menjelaskan bahwa dalam penelitian ini peneliti menggunakan istilah surregation. Surregation adalah menganggap bahwa mahasiswa Program Pendidikan Profesi Akuntan adalah seorang akuntan. Oleh karena itu, peneliti menganggap semua populasi dalam penelitian ini, adalah seorang akuntan.
1. Pengaruh Pengenalan Diri terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit
Mu’tadin (2002) mendefinisikan kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan suatu masalah.
Gea (2002), mengenal diri berarti memahami kekhasan fisiknya, kepribadian, watak dan temperamennya, mengenal bakat-bakat alamiah yang dimilikinya serta punya gambaran atau konsep yang jelas tentang diri sendiri dengan segala kesulitan dan kelemahannya. Ada beberapa cara untuk mengembangkan kekuatan dan kelemahan dalam Pengenalan Diri yaitu introspeksi diri, mengendalikan diri, membangun kepercayaan diri, mengenal dan mengambil inspirasi dari tokoh-tokoh teladan, dan berpikir positif dan optimis tentang diri sendiri. Dalam kaitannya dengan Pertimbangan Penetapan Risiko Audit, Pengenalan Diri memiliki peranan penting. Seorang mahasiswa, yang juga sebagai calon auditor harus bisa mengenal kemampuan diri sendiri dengan baik untuk dapat melaksanakan audit dengan baik dan benar. Risiko Audit yang ditaksir, juga harus benar-benar tepat sehingga dapat memberi pendapat dengan sesuai.
Auditor yang memiliki Pengenalan Diri yang baik, akan memiliki keyakinan yang baik pula sehingga dapat membuat keputusan walaupun dalam keadaan tak pasti dan tertekan. Menurut Ahmad Alwani (2007: 16) seorang auditor mempunyai kesadaran diri yang baik dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan dalam diri dan menjalankan tugas sesuai dengan peraturan.
2. Pengaruh Pengendalian diri terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit
Goleman (2000) mendefinisikan Pengendalian diri merupakan sikap hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan
kebijakan yang terkendali, dan tujuannya adalah untuk keseimbangan emosi, bukan menekan emosi, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna.
Dalam menaksir besarnya Risiko Audit, auditor patut untuk menerapkan sikap kehati-hatian, cermat, dan cerdas agar benar-benar didapat besaran Risiko yang ideal. Emosi diri benar-benar dipakai untuk menimbang Risiko yang dipilih. Menurut Ahmad Alwani (2007: 16) Pengendalian Diri dapat menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali. Pengendalian Diri dalam auditor akan memenuhi komitmen tetap teguh, tetap positif, tidak goyah, serta dapat berpikir jernih dan tetap fokus meskipun dalam tekanan. 3. Pengaruh Motivasi terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit
Motivasi didefinisikan sebagai suatu konsep yang digunakan jika menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku atau segala sikap yang menjadi pendorong timbulnya suatu perilaku (Goleman, 2000). Motivator yang paling berdaya guna adalah motivator dari dalam, bukan dari luar. Keinginan untuk maju dari dalam diri mahasiswa akan menimbulkan semangat dalam meningkatkan kualitas mereka. Para auditor yang memiliki upaya untuk meningkatkan diri akan menunjukkan semangat juang yang tinggi ke arah penyempurnaan diri yang merupakan inti dari motivasi untuk meraih prestasi.
Motivasi yang besar dari seorang mahasiswa akan membuat dirinya menunjukkan kemampuan diri untuk meraih prestasi. Seorang auditor akan
berusaha membuktikan bahwa Risiko yang ditetapkan benar-benar tepat sehingga akan membantu dalam proses audit yang dilakukan setelahnya. 4. Pengaruh Empati terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit
Menurut Goleman (2000) Empati adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Orang yang memiliki Empati yang tinggi akan lebih mampu membaca perasaan dirinya dan orang lain yang akan berakibat pada peningkatan kualitas belajar sehingga akan tercipta suatu pemahaman yang baik tentang akuntansi.
Kerjasama dalam tim adalah suatu hal yang penting dalam audit. Maka dari itu dibutuhkan kekompakkan dalam tim tersebut. Di dalam tim yang kompak terdapat rasa empati yang kuat dalam setiap anggota tim. Auditor dituntut untuk belajar bekerja sama dalam tim untuk melakukan pekerjaan, termasuk menetapkan Risiko Audit. Selain itu Empati yang baik akan mampu memahami kebutuhan-kebutuhan pelanggan sehingga pelanggan benar-benar merasa puas dengan apa yang dibutuhkan.
5. Pengaruh Keterampilan Sosial terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit
Menurut Jones (1996), kemampuan membina hubungan dengan orang lain adalah serangkaian pilihan yang dapat membuat anda mampu
berkomunikasi secara efektif dengan orang yang berhubungan dengan anda atau orang lain yang ingin anda hubungi.
Keterampilan Sosial dapat dilihat dari sinkronisasi antar auditor yang menunjukkan seberapa jauh hubungan yang mereka rasakan. Studi-studi empiris membuktikan bahwa semakin erat koordinasi antar anggota dalam kelompok, semakin besar pula perasaan bersahabat, bahagia, antusias, dan keterbukaan ketika melakukan interaksi. Perasaan bersahabat antar anggota dalam kelompok akan menciptakan sebuah interaksi yang efektif dalam membina hubungan.
Dalam menetapkan Risiko Audit, tentunya auditor akan saling berkoordinasi dengan sesama anggota tim. Hubungan antar sesama anggota tim yang baik akan membuat koordinasi untuk menentukan besaran Risiko Audit menjadi semakin baik pula.
D. Paradigma Penelitian
Gambar 1. Paradigma Penelitian Keterangan:
H1 = Hipotesis 1 Y = Pertimbangan Penentuan Risiko Audit H2 = Hipotesis 2 X1 = Pengenalan Diri
H3 = Hipotesis 3 X2 = Pengendalian Diri H4 = Hipotesis 4 X3 = Motivasi
H5 = Hipotesis 5 X4 = Empati
H6 = Hipotesis 6 X5 = Keterampilan Sosial H6 H1 H2 H4 H3
X
1X
2X
3X
4Y
X
5 H5= Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen secara Parsial
= Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen secara bersama-sama.
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dapat penulis susun yaitu:
1. Pengenalan Diri memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
2. Pengendalian Diri memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
3. Motivasi memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
4. Empati memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
5. Keterampilan Sosial memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
6. Pengenalan diri, Pengendalian Diri, Motivasi, Empati dan Keterampilan Sosial secara simultan memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.