• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. sekitarnya. Dalam keadaan ini, enzim-enzim polimorfonuklear secara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. sekitarnya. Dalam keadaan ini, enzim-enzim polimorfonuklear secara"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Nanah

Infeksi bakteri sering menyebabkan konsentrasi polimorfonuklear yang sangat tinggi yang tertimbun di dalam jaringan, dan banyak sel-sel ini mati serta membebaskan enzim-enzim hidrolitiknya yang kuat ke sekitarnya. Dalam keadaan ini, enzim-enzim polimorfonuklear secara harafiah mencerna jaringan di bawahnya dan mencairkannya. Kombinasi agregasi neutrofil dan pencairan jaringan-jaringan di bawahnya ini disebut supurasi, dan dengan demikian eksudat yang terbentuk disebut eksudat supuratif, atau lebih sering disebut nanah atau pus.

Jika terjadi supurasi lokal di dalam jaringan padat, lesi yang diakibatkan disebut abses. Abses adalah sebuah lubang berisi nanah yang terdapat di dalam jaringan yang terkena. Abses merupakan lesi yang sulit diatasi oleh tubuh karena kecenderungannya untuk membesar dengan pencairan jaringan yang lebih luas, membentuk lubang dan resistensi terhadap penyembuhan. Penanganan abses oleh tubuh sangat dibantu oleh proses pengaliran keluar abses secara pembedahan, sehingga memungkinkan ruangan tertutup yang sebelumnya terisi nanah akan mengecil dan sembuh.

Jika abses pecah pada permukaan dan menimbulkan saluran keluar yang berakhir begitu saja dalam ruang abses maka saluran buntu ini

(2)

disebut sinus. Sebaliknya, jika abses meluas ke dua permukaan yang terpisah, maka dapat menimbulkan saluran abnormal yang menghubungkan dua organ atau menghubungkan lumen organ berongga dan permukaan tubuh disebut fistula (Price dan Wilson, 2006).

a. Spesimen nanah

Salah satu hal yang umum diobservasi pada proses penyakit infeksi yaitu produksi dari nanah yang merupakan hasil dari invasi bakteri pada kavitas, jaringan atau organ tubuh. Dikarenakan posisi anatomis produksi nanah bervariasi, sehingga organisme yang berperan dalam terjadinya infeksi pun bervariasi. Semua bakteri yang merupakan flora normal memiliki peran dalam pembentukan nanah. Beberapa jamur, terutama jamur yang dapat bermultiplikasi pada jaringan tubuh, juga berperan dalam pembentukan nanah. Tetapi, produksi nanah jarang ditemukan pada infeksi virus (WHO, 2003). 1) Etiologi spesimen

a) Luka bedah

Spesimen yang didapat ketika dilakukan tindakan operasi dapat didapat dengan mengaspirasi abses lokal atau dengan prosedur operatif lain. Operator sebaiknya mendapatkan sampel dari jaringan yang representatif dan apabila ada eksudat yang purulen. Apabila memungkinkan, jangan menggunakan kapas steril. Spesimen diambil menggunakan spuit dan jarum. Apabila

(3)

kapas steril diperlukan, ambil sebanyak mungkin nanah yang ada dan disimpan pada kontainer steril.

b) Luka tusuk

Lesi yang disebabkan oleh tusukan yang merusak kulit mengandung berbagai mikroorganisme yang mana merupakan bagian dari flora normal kulit atau flora normal dari tanah dan air. Luka tusuk yang merusak sampai pada usus akan menyebabkan kerusakan yang lebih fatal karena flora usus dapat berkontribusi terjadinya infeksi pada luka dan kavitas peritoneal. c) Luka infeksi nosokomial

Infeksi terkait rumah sakit diketahui lebih sering terjadi di bagian bedah. Angka kejadian infeksi luka pascaoperasi bervariasi dari satu rumah sakit dengan rumah sakit lain, dan kejadian tertinggi merupakan pasien dengan operasi bagian perut, dada atau ortopedi. Infeksi luka bedah dapat terjadi setelah pembedahan atau beberapa hari setelahnya.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri terbanyak yang

ditemukan pada infeksi ini, diikuti oleh Eschericia coli (WHO, 2003).

2) Pengumpulan spesimen

a) Prinsip pengumpulan spesimen

Untuk mendapatkan sampel yang tepat maka diperlukan prinsip dasar dari pengumpulan spesimen mikrobiologis, yaitu:

(4)

(1) Apabila memungkinkan, spesimen diambil saat fase akut dari infeksi dan sebelum diberi antibiotik

(2) Pilih tempat pengambilan sampel yang tepat sesuai dengan spesimen yang diambil

(3) Kumpulkan spesimen menggunakan teknik yang tepat dan seminimal mungkin hindari kontaminasi dari flora normal (4) Kumpulkan jumlah spesimen yang dibutuhkan dengan

tepat

(5) Simpan spesimen pada kontainer yang didesain untuk menjaga viabilitas dari organisme dan menghindarkan dari kebocoran yang akan merusak spesimen

(6) Beri label pada spesimen dengan tepat sesuai dengan tempat diambilnya sampel dan identitas pasien

(7) Kirim spesimen ke laboratorium sesegera mungkin atau simpan spesimen pada lingkungan yang tidak akan mempengaruhi keberadaan spesimen

b) Prosedur pengambilan sampel

Spesimen untuk kultur mikrobiologi sebaiknya dikumpulkan pada kontainer yang steril, kecuali spesimen feces, yang dapat dikumpulkan pada kontainer yang bersih dan antibocor. Penggunaan lidi steril tidak direkomendasikan untuk pengumpulan spesimen dikarenakan tidak dapat mengumpulkan jumlah kuantitas yang cukup, mudah terkontaminasi, mudah

(5)

untuk mengering dan menyebabkan berkurangnya organisme. Lidi steril lebih tepat untuk spesimen yang berasal dari saluran pernapasan atas, bagian luar telinga, mata dan traktus genital. Ujung dari lidi steril mengandung kapas, dacron atau kalsium alginat. Ujung lidi yang mengandung kapas memiliki asam lemak berlebihan, yang bersifat toksik pada beberapa bakteri. Lidi dengan ujung dacron dan polyester memiliki penggunaan yang luas. Pengumpulan spesimen menggunakan lidi steril lebih tepat pada spesimen yang butuh media transpor dan melindungi spesimen mengering.

Adanya lesi, luka dan abses menjadi permasalahan pada laboratorium mikrobiologi. Istilah luka tidak diperbolehkan pada label spesimen, tetapi harus ditulis posisi anatomis tempat pengambilan spesimen. Spesimen yang diambil dari lesi seharusnya diambil dengan menggunakan aspirasi jarum daripada menggunakan lidi steril. Sebelum spesimen diambil, bersihkan terlebih dahulu untuk menghilangkan flora komensal (Mahon et al., 2011).

(1) Abses

Teknik untuk mengumpulkan nanah dan bagian-bagian dari dinding abses yaitu menggunakan prosedur operatif. Spuit dan jarum dibutuhkan untuk mengaspirasi sebanyak mungkin nanah, yang kemudian secara aseptik diletakkan

(6)

pada kontainer spesimen steril. Apabila kontainer steril tidak ada, spesimen tersebut harus disimpan di dalam spuit dengan jarum yang tertutup, dan spuit tersebut sebagai kontainer untuk dibawa ke laboratorium. Spesimen harus segera diproses di laboratorium.

Lidi steril dapat juga digunakan untuk mengumpulkan jumlah yang kecil dari nanah, atau nanah yang berasal dari bagian tubuh khusus, seperti mata. Ketika bagian dari jaringan dibutuhkan dari dinding abses, maka laborat seharusnya memipis jaringan tersebut, menggunakan sejumlah kecil dari kaldu steril sebagai pelarut, atau melunakkan jaringan menjadi bagian-bagian kecil menggunakan gunting steril.

(2) Laserasi, luka tusuk, luka pascaoperasi, luka bakar dan ulkus dekubitus

Setelah laborat membersihkan daerah yang akan diambil untuk spesimen, operator harus melihat ke dalam permukaan pada nanah yang telah terkumpul, jaringan yang rusak, krepitasi atau tanda-tanda abnormal yang lain. Bagian dari jaringan yang berperan dalam tanda-tanda tersebut sebaiknya tidak digunakan dalam kultur dan diletakkan pada tempat yang steril untuk diproses. Nanah atau eksudat lain sebaiknya dikumpulkan dan disimpan

(7)

pada tabung steril secara hati-hati. Apusan bisa digunakan apabila penting.

(3) Sinus atau drainase limfonodi

Ketika sebuah sinus atau drainase limfonodi menunjukkan tanda-tanda drainase spontan, materi drainase harus dikumpulkan dengan hati-hati menggunakan pipet Pasteur dan disimpan pada tabung steril. Apabila discharge tidak ada, operator sebaiknya mengambil material yang purulen dengan spuit steril dan jarum. Sekali lagi, lidi steril hanya digunakan apabila pipet Pasteur tidak ada.

(4) Eksudat

Akumulasi cairan yang abnormal di dalam kavitas tubuh seperti pleura, sendi atau lapisan peritoneal membutuhkan prosedur operatif untuk mengaspirasi spesimen ke dalam kontainer steril untuk dibawa ke laboratorium mikrobiologi atau sitologi (WHO, 2003). b. Pengawetan, penyimpanan dan transpor spesimen

Transpor spesimen merupakan komponen penting dari proses preanalisis uji mikrobiologi. Tujuan utama dari transpor spesimen ke laboratorium adalah untuk mengatur keadaan spesimen tersebut seperti keadaan asli. Idealnya spesimen dikirim ke laboratorium dalam 30 menit setelah pengambilan spesimen, maksimal 2 jam. Apabila

(8)

transpor spesimen ke laboratorium tertunda, atau apabila spesimen tidak diproses segera setelah diterima laboratorium, maka spesimen dapat diatur dengan penyimpanan secara spesifik dengan penggunaan bahan pengawet, antikoagulan, media transpor dan media kultur. Beberapa spesimen yang tidak segera dikirim atau diproses dapat diatur dengan disimpan di kondisi lingkungan yang spesifik. Beberapa spesimen seperti urin, feces, sputum, apusan (bukan anaerob), alat medis seperti kateter, dan spesimen virus dapat diatur pada temperatur lemari pendingin (4 ̊ C) dalam 24 jam. Patogen yang sensitif pada dingin harus disimpan pada temperatur ruang. Cairan serebrospinal dapat disimpan pada inkubator dengan suhu 35 ̊ C dalam waktu 6 jam (Mahon et al., 2011).

2. Staphylococcus aureus a. Morfologi dan identifikasi

1) Ciri-ciri organisme

S. aureus adalah bakteri berbentuk bulat, bersifat gram positif, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak beraturan seperti buah anggur. Beberapa diantaranya tergolong flora normal pada kulit dan selaput mukosa manusia, menyebabkan penanahan, abses, berbagai infeksi piogen dan bahkan septikemia yang fatal. S.

aureus mengandung polisakarida dan protein yang berfungsi

(9)

dinding sel, tidak membentuk spora dan tidak membentuk flagel (Brooks et al., 2013).

2) Epidemiologi

Habitat utama dari S. aureus adalah pada hidung. Selain di hidung, kolonisasi S. aureus ditemukan di aksila, vagina, faring dan permukaan kulit (Mahon et al., 2011). Diperkirakan 10-40% pada manusia sehat terdapat koloni S. aureus di dalam hidung (Freeman-Cook dan Freeman (Freeman-Cook, 2005).

3) Sifat kultur

S. aureus tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologik dibawah suasana aerobik atau mikroaerofilik. Tumbuh dengan cepat pada temperatur 37 ̊ C namun pembentukan pigmen yang terbaik adalah pada temperatur kamar (20 ̊ - 35 ̊ C). Koloni pada media yang padat akan berbentuk bulat, halus, menonjol dan berkilau-kilau membentuk berbagai pigmen berwarna kuning keemasan (Brooks et al., 2013).

4) Sifat-sifat pertumbuhan

S. aureus menghasilkan katalase, yang membedakannya dengan kelompok bakteri streptokokus. Bakteri ini meragikan banyak karbohidrat dengan lambat, menghasilkan asam laktat tetapi tidak menghasilkan gas. Bakteri ini relatif resisten terhadap pengeringan dan panas (Brooks et al., 2013). Apabila kondisi untuk tumbuh tidak mendukung, S. aureus dapat bertahan selama

(10)

beberapa tahun dalam masa dorman, yaitu menjadi tidak aktif dan menunggu waktu yang tepat untuk tumbuh. Kemudian, bakteri ini dapat tumbuh kembali ketika kondisi sudah mendukung (Freeman-Cook dan Freeman-(Freeman-Cook, 2005).

b. Faktor virulensi

Patogenisitas dari S. aureus meliputi berbagai faktor virulensi yaitu enterotoksin, toksin sitolitik dan komponen seluler seperti protein A. Beberapa toksin sitolitik dan toksin eksfoliatif telah teridentifikasi. Namun, faktor virulensi tersebut membuat S. aureus bersifat resisten dan menjadi mikroorganisme patogen.

1) Enterotoksin

Enterotoksin pada stafilokokus merupakan enterotoksin yang stabil terhadap panas yang menyebabkan berbagai gejala seperti diare dan mual muntah. Secara serologis enterotoksin dibedakan menjadi enterotoksin grup A sampai E dan G sampai J. Toksin-toksin ini memproduksi 30%-50% dari isolat S. aureus. Karena enterotoksin stabil terhadap suhu 100 ̊ C dalam 30 menit, makanan yang terkontaminasi S. aureus apabila dipanaskan tidak akan mencegah penularan.

Keracunan makanan karena S. aureus pada umumnya disebabkan oleh enterotoksin A, B dan D. Enterotoksin B dan C dan terkadang G dan I berhubungan dengan sindrom syok toksik. Enterotoksin B juga berhubungan dengan pseudomembran

(11)

enterokolitis stafilokokus. Toksin-toksin ini, bersama dengan toxic

shock syndrome toxin-1 (TSST-1), yang merupakan superantigen

yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan sel T, mengaktifkan respon imun (Mahon et al., 2011).

2) Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1)

Toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) menyebabkan hampir

semua kasus yang berhubungan dengan sindrom syok toksik. TSST-1 merupakan superantigen yang menstimulasi proliferasi dari sel T dan produksi yang berlebihan oleh sitokin yang menyebabkan munculnya gejala. Pada konsentrasi yang rendah, TSST-1 menyebabkan kebocoran sel endotel dan pada konsentrasi yang tinggi, toksin ini bersifat sitotoksik pada sel.

3) Toksin eksfoliatif

Toksin eksfoliatif diproduksi oleh fage grup II, toksin ini juga disebut toksin epidermolitik. Toksin ini menyebabkan lapisan epidermis kulit mengelupas dan dikenal sebagai penyebab sindrom kulit lepuh stafilokokus, terkadang disebut penyakit Ritter. Toksin ini juga menyebabkan impetigo bulosa.

4) Toksin sitolitik

S. aureus memproduksi protein ekstraseluler lain yang mempengaruhi sel darah merah dan leukosit. Hemolisin dan leukosidin merupakan toksin sitolitik dari S. aureus. S. aureus memproduksi empat tipe hemolisin: alfa, beta, gamma dan delta.

(12)

Hemolisin α, yang akan melisiskan eritrosit, mampu merusak trombosit dan makrofag dan menyebabkan kerusakan jaringan. Hemolisin β berperan pada spingomielin di membran plasma eritrosit. Aktivitas hemolisin β terjadi pada fase inkubasi pada temperatur 37 ̊ C dan pada temperatur 4 ̊ C. Hemolisin δ merupakan toksin sitolitik dengan konsentrasi tertinggi pada S. aureus dan kelompok stafilokokus koagulase negatif, dikatakan kurang toksik pada struktur sel dibandingkan dengan hemolisin α dan hemolisin β. Hemolisin γ terkadang hanya ditemukan pada Panton-Valentine

leukocidin (PVL).

Leukosidin stafilokokus, PVL, merupakan eksotoksin yang

mematikan terhadap leukosit polimorfonuklear. Toksin ini berhubungan dengan sifat invasif dari mikroorganisme dengan menekan fagositosis dan berhubungan dengan infeksi kulit dan pneumonia.

5) Enzim

Stafilokoagulase hanya diproduksi oleh S. aureus. Walaupun peran dari koagulase pada patogenisitas kurang jelas, tetapi dikatakan sifat ini merupakan tanda virulensi. Banyak strain dari S.

aureus menghasilkan hialuronidase. Enzim ini menghidrolisis asam

hialuronat yang ada pada substansi intraseluler pada jaringan ikat, menyebarkan infeksi bakteri. Lipase diproduksi baik pada stafilokokus koagulase positif dan negatif. Lipase berperan pada

(13)

lemak yang ada pada permukaan kulit, lebih khusus lagi pada kelenjar minyak. Protease, lipase dan hialuronidase mampu menghancurkan jaringan dan berperan dalam penyebaran infeksi pada jaringan.

Protein A merupakan salah satu dari komponen seluler yang telah diidentifikasi terdapat pada dinding sel S. aureus. Kemungkinan peran penting dari protein A terhadap terjadinya infeksi disebabkan karena S. aureus dan kemampuan dari protein A untuk berikatan dengan porsi Fc pada imunoglobulin G (IgG). Ikatan ini menetralkan IgG dan dapat menahan terjadinya fagositosis (Mahon et al., 2011).

c. Infeksi Staphylococcus aureus

Infeksi S. aureus dipengaruhi oleh virulensi dari strain bakteri, ukuran inokulum dan sistem imun inang. Infeksi terjadi dimulai dari rusaknya kulit atau pelindung mukosa yang menyebabkan jalan masuk untuk bakteri ke jaringan lemak atau aliran darah. Individu dengan mekanisme pertahanan tubuh yang normal akan lebih mudah untuk melawan infeksi ini dibandingkan dengan yang mengalami defisiensi imun. Ketika mikroorganisme telah memasuki sistem pertahanan tubuh, hal ini akan mengaktifkan respon inflamasi dari inang, yang menyebabkan proliferasi dan aktivasi dari sel polimorfonuklear.

(14)

1) Infeksi kulit dan luka

Infeksi yang disebabkan oleh S. aureus bersifat supuratif. Abses terisi oleh nanah dan dikelilingi oleh jaringan nekrotik dan leukosit yang mengalami kerusakan. Beberapa dari infeksi kulit yang disebabkan S. aureus seperti folikulitis, furunkel, karbunkel dan impetigo bulosa. Infeksi ini biasa terjadi karena hasil dari perlukaan kulit yang sudah terjadi sebelumnya, seperti luka bakar, luka gores dan luka bedah. Folikulitis merupakan inflamasi folikel rambut atau kelenjar minyak yang ringan, daerah yang terinfeksi membengkak dan berwarna merah. Furunkel, yang mana infeksi lanjut dari folikulitis berukuran lebih besar, bengkak, dan berbentuk abses. Karbunkel merupakan infeksi lanjut dari furunkel dan mengenai jaringan yang lebih dalam. Tidak seperti furunkel, pasien karbunkel terkadang mengalami demam, indikasi bahwa bakteri telah menyerang secara sistemik. Impetigo bulosa yang disebabkan oleh S. aureus berbeda dengan impetigo nonbulosa streptokokus. Pada infeksi S. aureus, pustula lebih besar dan dikelilingi oleh daerah kecil eritem. Impetigo bulosa sangat mudah menular melalui kontak langsung maupun inokulasi.

2) Sindrom kulit lepuh

Sindrom kulit lepuh atau penyakit Ritter, merupakan dermatitis eksfoliatif yang terjadi pada bayi baru lahir dan anak-anak. Sindrom ini disebabkan oleh toksin eksfoliatif yang diproduksi oleh

(15)

faga S. aureus grup II. Penyakit ini juga terjadi pada orang dewasa. Kasus sindrom kulit lepuh pada orang dewasa sering terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronis dan pasien immunocompromised. Tingkat mortalitas pada anak-anak sebesar 0%-7%, sementara pada orang dewasa sebesar 50%.

Tingkat keparahan dari penyakit ini bervariasi mulai dari lesi kulit lokal dalam bentuk impetigo bulosa sampai pada kondisi yang lebih parah. Manifestasi impetigo bulosa sebagai lesi lokal mengandung materi yang purulen. Lesi ini dapat menjadi lebih parah, yang mana bercirikan eritem diikuti oleh pengelupasan dari lapisan epidermis.

3) Sindrom syok toksik

Sindrom syok toksik secara umum menghasilkan infeksi lokal, hanya toksin TSST-1 yang menyebabkan infeksi sistemik. Manifestasi klinis awal dari sindrom syok toksik meliputi panas tinggi, ruam, tanda-tanda dehidrasi, diare dan muntah selama beberapa hari. Pada kasus yang ekstrim, pasien mungkin terjadi hipotensi dan syok. Ruam biasa ditemukan pada badan tetapi dapat menyebar ke seluruh tubuh. Hasil laboratorium darah rutin menghasilkan peningkatan angka leukosit. Jumlah dari trombosit menurun, dan walaupun tidak ada bukti terjadinya perdarahan, koagulasi pembuluh darah bisa terjadi.

(16)

4) Nekrolisis epidermal toksik

Nekrolisis epidermal toksik merupakan manifestasi klinis dari banyak kasus, terutama karena obat, tetapi pada beberapa kasus dihubungkan dengan infeksi dan vaksin. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi gejala yang muncul disebabkan karena reaksi hipersensitivitas.

5) Keracunan makanan

Enterotoksin S. aureus, telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan gangguan gastrointestinal. Sumber dari kontaminasi biasanya pada makanan yang terinfeksi. Penyakit ini terjadi ketika makanan terkontaminasi enterotoksin yang diproduksi oleh strain S.

aureus yang disebabkan karena tidak disimpan secara benar, yang

kemudian menyebabkan pertumbuhan bakteri yang menghasilkan produksi toksin. Gejala dari keracunan karena S. aureus muncul dengan cepat, perkiraan 2-8 jam setelah makan, dan akan kembali seperti semula setelah 24-48 jam. Walaupun tidak ada tanda-tanda demam, mual, muntah, nyeri pada daerah perut merupakan beberapa manifestasi klinis dari keracunan ini. Diare dan nyeri kepala juga mungkin terjadi.

6) Infeksi lain

Bakterimia merupakan infeksi sekunder dari pneumonia dan endokarditis. Mikroorganisme memasuki aliran darah melalui jarum yang telah terkontaminasi atau melalui lesi fokal yang ada

(17)

pada kulit atau pada organ respirasi atau organ genital. Osteomielitis karena S. aureus terjadi sebagai manifestasi sekunder dari bakterimia. Infeksi ini berkembang ketika mikroorganisme ada pada luka atau fokus infeksi dan memasuki aliran darah. Gejala meliputi demam, bengkak dan nyeri di sekitar daerah inflamasi (Mahon et al., 2011).

3. Staphylococcus haemolyticus a. Morfologi dan idenfitikasi

1) Ciri-ciri organisme

S. haemolyticus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat, bergerombol, tidak menghasilkan spora dan tidak motil. S.

haemolyticus memiliki dinding sel yang tebal (60-80 nm). Sama

seperti bakteri kokus gram positif lain, dinding selnya mengandung peptidoglikan, asam teikoik dan protein (Daniel et al, 2014).

2) Epidemiologi

S. haemolyticus merupakan flora normal dari kulit dan membran mukosa. Bakteri ini menyebar secara luas dalam jumlah yang tidak terlalu banyak pada seluruh permukaan tubuh manusia (Forbes et al., 2007).

3) Sifat kultur

Kultur S. haemolyticus pada media agar darah 5% menunjukkan koloni berukuran sedang, halus dan berwarna kusam.

(18)

S. haemolyticus termasuk pada bakteri β-hemolitik (Forbes et al.,

2007).

4) Sifat-sifat pertumbuhan

S. haemolyticus memproduksi katalase, yang membedakan dengan kelompok bakteri streptokokus. Bakteri ini menunjukkan hasil negatif pada uji koagulase, DNase, ornithin dekarboksilase, fosfatase, urease dan oksidase (Vos P et al., 2009).

b. Faktor virulensi

Mekanisme patogenesis dari infeksi S. haemolyticus masih belum diketahui secara pasti. Genom S. haemolyticus yang diambil dari isolat klinis mengandung gen yang mengatur faktor virulensi meliputi hemolisin, adhesin, eksonuklease dan protease (Krzyminska et al., 2012). Sel epitel merupakan lini pertama pertahanan tubuh untuk melawan agen penyebab infeksi. Kemampuan bakteri untuk melekat pada sel epitel merupakan langkah krusial bakteri patogen untuk memulai kolonisasi atau infeksi pada inang. Kemampuan S.

haemolyticus untuk melakukan perlekatan pada sel epitel cukup

tinggi, terutama pada spesimen darah dan infeksi luka (Krzyminska et

al., 2015).

Kemampuan bakteri patogen untuk menginvasi sel inang dan jaringannya dianggap sebagai salah satu faktor patogenisitas terjadinya infeksi yang tahan lama. Invasi ke sel inang menyebabkan patogen untuk bersembunyi, dan bertahan pada jaringan inang dan

(19)

menghindar dari respon imun (Hoff-mann et al., 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Krzyminska et al. (2015) menemukan bahwa strain S. haemolyticus diinternalisasi oleh fagosit yang tidak profesional. 19 dari 30 strain (63%) terbukti invasif, dengan index invasi lebih tinggi daripada kontrol nonpatogen.

27% dari strain S. haemolyticus menunjukkan aktivitas lipolitik, 43% memproduksi lesitin dan 20% memiliki aktivitas protease. Strain yang memproduksi lipase, listin dan proteinase atau lipase dan proteinase memiliki sitotoksik dan index invasif tertinggi. Beberapa strain patogen memproduksi enzim ekstraseluler yang berperan dalam pemecahan jaringan inang dan perkembangan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Protease mampu memecah faktor komplemen dari inang, musin dan merusak persimpangan antar sel epitel, menyebabkan penyebaran bakteri (Krzyminska et al., 2015).

S. haemolyticus mampu membentuk biofilm yang merupakan salah satu faktor patogen dari bakteri ini. Pembentukan biofilm dari S.

haemolyticus terdiri dari dua proses yang bermula pada perlekatan

awal yang diatur oleh protein pada permukaan sel dan enzim pelisis utamanya autolisin. Protein permukaan sel berperan dalam perlekatan dan berikatan dengan fibrinogen dan vitronektin dari inang. Perlekatan pada inang dan perlekatan intraseluler dikarenakan aktivitas protein Bhp (Daniel et al., 2014).

(20)

Biofilm berperan dalam terjadinya resistensi antibiotik dan infeksi yang tahan lama dari S. haemolyticus. Biofilm S. haemolyticus tidak bergantung pada faktor polisakarida adesi independen dan mengandung sedikit gen yang mengatur produksi polisakarida ini. Pembentukan biofilm inilah yang membedakan S. haemolyticus dengan spesies stafilokokus koagulase negatif yang lain (Daniel et al., 2014).

Autolisin termasuk dalam faktor yang berpengaruh dalam perlekatan bakteri pada permukaan abiotik dan pembentukan biofilm. Perlekatan bakteri dengan matriks protein inang diperankan oleh protein pengikat matriks ekstraseluler yang berperan vital dalam membentuk ikatan dengan fibronektin dan kolagen. Protein terkait akumulasi memproduksi eksopolisakarida yang menyebabkan perlekatan antar sel, hemoaglutinasi dan akumulasi saat terjadi infeksi.

S. haemolyticus juga mensekresi eksoenzim seperti lipase dan protease

sistein. Enzim-enzim ini membantu dalam pertahanan patogen pada sekresi lemak dan kerusakan jaringan ketika proses infeksi (Daniel et

al., 2014).

Keseluruhan proses faktor virulensi dikontrol oleh gen regulator aksesoris stafilokokus (Sar). S. haemolyticus juga banyak memproduksi siderofor untuk pengambilan besi oleh stafiloferin A dan B. Komponen dinding sel seperti peptidoglikan dan asam lipoteikoik menstimulasi proses inflamasi (Daniel et al., 2014).

(21)

Bakteri patogen memiliki mekanisme spesifik untuk melawan respon imun antimikroba sel yang bertujuan untuk menghindar dari pertahanan imun inang. S. haemolyticus menstimulasi apoptosis dari makrofag pada proses patogenesis dan menyebabkan perubahan pada strukturnya. S. haemolyticus memproduksi banya sitotoksin yang membunuh makrofag. Hal ini menjadi mekanisme penting terhadap berhasilnya proses infeksi. Sitotoksik juga menyebabkan disfungsi mitokondria dalam proses fagosit dengan meregulasi kematian sel apoptosis. Hal ini terjadi melalui permeabilitas membran luar yang diproduksi oleh potensi transmembran mitokondria (Daniel et al., 2014).

c. Infeksi Staphylococcus haemolyticus

Infeksi yang disebabkan oleh stafilokokus koagulase negatif umumnya dihubungkan dengan penggunaan alat medis. Kemampuan bakteri ini untuk membentuk biofilm mendukung perkembangan infeksi menjadi infeksi yang berlangsung lama. S. haemolyticus dikatakan sebagai penyebab yang signifikan dari bakterimia yang berhubungan dengan penggunaan kateter intravaskular. S. haemolyticus dapat berkolonisasi pada kateter vena sentral. Infeksi

yang umum antara lain endokarditis katup jantung, septikemia, peritonitis dan infeksi saluran kemih. Komplikasi yang lain meliputi infeksi kronis luka bedah dan osteomielitis, sementara pada infeksi pasien immunocompromised infeksi jaringan lunak lebih terlihat.

(22)

S. haemolyticus mampu berkolonisasi pada alat medis seperti prostesa katup, prostesa ortopedi, kateter intravaskular dan kateter urin ketika dilakukan intervensi pembedahan. Keseluruhan mortalitas infeksi karena stafilokokus koagulase negatif adalah 9% pada neonatus. Isolasi dari S. haemolyticus menjadi penting untuk pasien dengan tanda klinis sepsis khususnya ketika pasien memiliki faktor resiko klinis yang telah disebutkan di atas.

Infeksi yang berhubungan dengan kateter intravaskular cukup diperhatikan pada pasien yang dirawat pada unit perawatan intensif, terutama yang sudah cukup lama dirawat inap di rumah sakit dengan kateter sebagai faktor resiko terjadinya komplikasi. Bakteri ini dapat dengan mudah berpindah ke kulit, melalui permukaan luar dari alat medis ini. Keparahan dari infeksi ini bergantung pada kateter, frekuensi penggunaan dan faktor virulensi bakteri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa pemberhentian penggunaan alat medis seperti kateter dapat menurunkan resiko infeksi (Daniel et al., 2014).

(23)

Bakteri oportunistik Bakteri patogen Uji Laboratorium: pengambilan spesimen

nanah

Pasien terpapar bakteri

Kultur Bakteri

Staphylococcus aureus Staphylococcus

haemolyticus

Manifestasi klinis Manifestasi klinis B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran Keterangan:

: terdiri dari : berhubungan

Gambar

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran  Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

Siswa melakukan praktik teknik pengelasan pelat dengan pelat pada sambungan tumpul posisi mendatar dengan las gas tungsten (TIG).. Guru mengevaluasi hasil praktik siswa

Visual Analogue Scale (VAS) adalah instrumen pengukuran nyeri yang digunakan pada pasien dewasa dan anak-anak yang tidak dapat menjelaskan intensitas nyeri yang dirasakan,

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan keterampilan mengajar guru dalam menerapkan model Group Investigation berbantuan media bongkar pasang, (2)

Encoding adalah kegiatan yang berkaitan dengan pemilihan lambang-lambang yang akan digunakan dalam kegiatan komunikasi oleh komunikator (oleh guru dalam kegiatan

Alokasi anggaran pada sebuah perpustakaan tidaklah seragam karena tergantung pada sifat, besar dan kecilnya serta jenis masing-masing perpustakaan. Anggaran untuk

Pada penelitian ini dilakukan penerapan metode usulan berupa pengembangan metode Neural Network menggunakan metode Exponential Smoothing untuk transformasi data yang kemudian

 Peran dan Tanggung Jawab Anak dalam Keluarga Kristen yang Menjadi Berkat dengan ditanggapi aktif oleh peserta didik dari kelompok lainnya sehingga diperoleh sebuah pengetahuan

PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN GANDUM (Triticum aestivum L.) VARIETAS DEWATA DALAM POLYBAG PADA BERBAGAI POPULASI DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM. THE GROWTH AND YIELD OF DEWATA