• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDETEKSIAN HOTSPOT KASUS PERNIKAHAN DINI WANITA DI JAWA BARAT MENGGUNAKAN STATISTIK PEMINDAIAN SPASIAL (SPATIAL SCAN STATISTIC) PEBRIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDETEKSIAN HOTSPOT KASUS PERNIKAHAN DINI WANITA DI JAWA BARAT MENGGUNAKAN STATISTIK PEMINDAIAN SPASIAL (SPATIAL SCAN STATISTIC) PEBRIAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

PENDETEKSIAN HOTSPOT KASUS PERNIKAHAN DINI

WANITA DI JAWA BARAT MENGGUNAKAN

STATISTIK PEMINDAIAN SPASIAL

(SPATIAL SCAN STATISTIC)

PEBRIAN

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendeteksian Hotspot Kasus Pernikahan Dini Wanita di Jawa Barat Menggunakan Statistik Pemindaian Spasial (Spatial Scan Statistic) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015 Pebrian NIM G14110089

(4)

ABSTRAK

PEBRIAN. Pendeteksian Hotspot Kasus Pernikahan Dini Wanita di Jawa Barat Menggunakan Statistik Pemindaian Spasial (Spatial Scan Statistic). Dibimbing oleh HARI WIJAYANTO dan INDAHWATI.

Pernikahan dini yang marak terjadi pada wanita Indonesia memiliki beberapa dampak negatif, seperti tingginya risiko kematian ibu, masalah kesehatan reproduksi, meningkatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan meningkatkan angka putus sekolah (BKKBN 2010). Peran pemerintah diperlukan dalam upaya pengendalian dan pengawasan terhadap kasus tersebut melalui perencanaan kebijakan yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan memetakan hotspot kasus pernikahan dini wanita di Jawa Barat menggunakan metode statistik pemindaian spasial dengan model peluang Bernoulli dan model peluang Poisson. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data usia perkawinan pertama wanita di 26 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012, bersumber dari BPS. Selain itu, data koordinat bujur dan lintang seluruh kabupaten/kota digunakan sebagai data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan ada satu hotspot utama dan enam hotspot sekunder yang signifikan, baik dengan model peluang Bernoulli maupun model peluang Poisson. Hotspot utama berpusat pada titik koordinat 6.81 lintang selatan dan 107.12 bujur timur dengan radius 19.09 km, mencakup Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Kata kunci: hotspot, pernikahan dini, statistik pemindaian spasial

ABSTRACT

PEBRIAN. Detecting Women Early Marriage Hotspots in West Java Using Spatial Scan Statistic. Supervised by HARI WIJAYANTO and INDAHWATI.

Early marriages that are rife in the Indonesian women have some negative effects, such as high risk of maternal mortality, reproductive health problems, the increasing cases of domestic violence, and the increasing number of dropouts (BKKBN 2010). The role of government is needed in efforts to control and supervise this case through appropriate policy planning. This study aims to detect and map the hotspots of women early marriage cases in West Java Province using spatial scan statistic under Poisson and Bernoulli probability models. The data used are secondary data, the age of first marriage of women in 26 municipalities/cities in West Java Province in 2012, sourced from BPS. In addition, the data longitude and latitude coordinates are used as supporting data. The results, a main hotspot and six secondary hotspots were detected. The main hotspot centered at the coordinates 6.81 south latitude and 107.12 east longitude with 19.09 km radius, including Cianjur Municipality and Sukabumi Municipality.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Statistika

pada

Departemen Statistika

PENDETEKSIAN HOTSPOT KASUS PERNIKAHAN DINI

WANITA DI JAWA BARAT MENGGUNAKAN

STATISTIK PEMINDAIAN SPASIAL

(SPATIAL SCAN STATISTIC)

PEBRIAN

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pendeteksian Hotspot Kasus Pernikahan Dini Wanita di Jawa Barat Menggunakan Statistik Pemindaian Spasial (Spatial Scan Statistic) Nama : Pebrian

NIM : G14110089

Disetujui oleh

Dr Ir Hari Wijayanto, MSi Pembimbing I

Dr Ir Indahwati, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Anang Kurnia, MSi Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah pernikahan dini di kalangan wanita, dengan judul Pendeteksian Hotspot Kasus Pernikahan Dini Wanita di Jawa Barat Menggunakan Statistik Pemindaian Spasial (Spatial Scan Statistic).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Hari Wijayanto, MSi dan Ibu Dr Ir Indahwati, MSi selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015 Pebrian

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Pernikahan Dini dan Penelitian Terdahulu 2

Statistik Pemindaian Spasial 3

Model Bernoulli 5

Model Poisson 6

Uji Hipotesis Monte Carlo 7

METODOLOGI 7

Sumber Data 7

Metode 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Kasus Pernikahan Dini Wanita di Jawa Barat 8

Hotspot Terdeteksi 10

Karakteristik Hotspot Terdeteksi 13

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 18

(10)

DAFTAR TABEL

1 2 3 4 5 6

Contoh array jarak antar kabupaten/kota

Kabupaten/kota dengan kasus pernikahan dini wanita tertinggi Hotspot kasus pernikahan dini di Jawa Barat dengan model Bernoulli Kabupaten/kota yang tercakup dalam hotspot yang terdeteksi dengan model Bernoulli

Hotspot kasus pernikahan dini di Jawa Barat dengan model Poisson Kabupaten/kota yang tercakup dalam hotspot yang terdeteksi dengan model Poisson 4 10 11 11 11 12

DAFTAR GAMBAR

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Wilayah penelitian

Ilustrasi jarak antara suatu kabupaten/kota dan kabupaten/kota lainnya Pembentukan zona pada kabupaten/kota 1

Proporsi wanita 10 tahun ke atas berdasarkan kelompok usia pernikahan pertama

Distribusi pernikahan dini dan perbandingannya dengan kelompok usia lain di Jawa Barat

Perbandingan proporsi kasus pernikahan dini wanita antara perkotaan dan pedesaan

Peta hotspot kasus pernikahan dini di Jawa Barat

Persentase penduduk miskin perkotaan, pedesaan, dan total berdasarkan kabupaten yang tercakup dalam hotspot

Kabupaten dengan APK tingkat SMP/MTs dan SMA/ SMK/MA terendah

Perbandingan Angka Putus Sekolah SMP/MTs pada sepuluh kabupaten yang tercakup hotspot

3 4 5 8 9 9 12 13 14 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 2 3 4 5

Jumlah dan persentase kasus pernikahan dini per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2012

Jumlah dan persentase penduduk miskin per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat berdasarkan sensus penduduk tahun 2010

APK tingkat SMP dan MTs per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat APK tingkat SMA, SMK, dan MA per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

Angka Putus Sekolah SMP/MTs per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat 18 19 20 21 22

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pernikahan dini, disebut juga pernikahan di bawah umur, adalah salah satu fenomena sosial budaya dan ekonomi yang umum terjadi pada wanita Indonesia, khususnya di daerah pedesaan. Menurut Undang Undang (UU) Pernikahan No. 1/1974, Pasal 7, ayat 1, sebuah pernikahan akan diakui secara hukum jika seorang wanita telah berusia 16 tahun, sedangkan seorang pria telah berusia 19 tahun. Hal ini mengartikan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh seorang wanita atau pria yang tidak memenuhi ketentuan batas usia minimum yang disebutkan UU tersebut disebut pernikahan dini.

Pernikahan dini yang marak terjadi didorong oleh beberapa faktor, seperti pendidikan rendah, kondisi ekonomi, budaya, perjodohan, dan pernikahan secara tidak sengaja (marriage by accident). Penikahan dini pun memiliki dampak negatif baik secara fisik maupun psikologis. Akibat yang ditimbulkan pernikahan dini antara lain resiko kematian ibu tinggi karena kehamilan dini, masalah kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, dan putus sekolah (BKKBN 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2005) menemukan fakta bahwa Indonesia termasuk ke dalam daftar negara-negara dengan persentase kasus pernikahan dini tinggi di dunia, yaitu peringkat ke-37, dan tertinggi ke-2 di ASEAN setelah Kamboja. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 158 negara dengan definisi pernikahan dini adalah yang dilakukan oleh wanita atau pria yang berusia di bawah 18 tahun. Pada tahun 2010, dari total kasus pernikahan dini pada wanita yang terjadi di Indonesia, sebanyak 59% berada di Pulau Jawa (Marshan et al 2013).

Provinsi Jawa Barat dengan populasi penduduk terbesar di Jawa dan Indonesia memiliki karakteristik kependudukan yang unik, salah satunya adalah usia kawin pertama yang relatif lebih muda dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa. Pada tahun 2000, perempuan yang menikah pada rentang usia 10 sampai dengan 16 tahun mencapai 34.80%. Nilai tersebut mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi 22.60% (Risya 2011). Namun pada tahun 2012 nilai tersebut meningkat menjadi 25.90% (BPS 2013). Nilai tersebut tergolong tinggi mengingat dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.

Peran pemerintah, baik pusat maupun daerah, diperlukan untuk mengendalikan kasus pernikahan dini di Provinsi Jawa Barat melalui perencanaan kebijakan dan program-program yang tepat, seperti pemberdayaan pendidikan keluarga, advokasi, pendidikan dan penelitian tentang pernikahan dini, serta kampanye untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi para wanita muda. Salah satu aspek penting dalam perencanaan tersebut adalah aspek spasial. Provinsi Jawa Barat terdiri dari 26 kabupaten/kota dan hal tersebut dapat menjadi hambatan bagi pemerintah dalam merencanakan dan mengimplementasikan kebijakannya, sehingga akan lebih mudah dan berguna jika pemerintah mengetahui daerah mana yang memiliki tingkat risiko tinggi terhadap kasus tersebut, disebut hotspot. Metode statistik pemindaian spasial memiliki kemampuan untuk mendeteksi hotspot kasus pernikahan dini wanita di Provinsi Jawa Barat dan mengevaluasinya secara statistik. Jika hotspot tersebut diketahui, maka pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakannya dengan mudah untuk mengendalikan kasus pernikahan dini.

(12)

2

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi hotspot yang signifikan secara statistik pada kasus pernikahan dini wanita di Provinsi Jawa Barat dan memetakan hotspot tersebut sehingga dapat membantu pemerintah dalam melakukan pengendalian dan dan pengawasan terhadap kasus ini.

TINJAUAN PUSTAKA

Pernikahan Dini dan Penelitian Terdahulu

Pernikahan adalah ikatan antara seorang pria dan wanita untuk hidup sebagai pasangan suami isteri yang diakui secara hukum. Undang Undang (UU) Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1 menyebutkan bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan fisik dan spiritual antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, dalam Pasal 7, ayat 1 disebutkan bahwa pernikahan hanya diizinkan jika seorang wanita sudah berumur 16 tahun dan pria berumur 19 tahun. Sejalan dengan definisi tersebut, jika seorang wanita atau pria melaksanakan pernikahan sedangkan usianya belum memenuhi ketentuan hukum di atas maka pernikahan tersebut dikategorikan sebagai pernikahan dini.

Pernikahan dini lebih banyak terjadi di daerah pedesaan. Penelitian yang dilakukan oleh Imawati (2011) menunjukkan bahwa sebanyak 82% kasus pernikahan dini di Jawa Timur terjadi di daerah pedesaan. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kecenderungan seorang wanita yang tinggal di perkotaan 0.65 kali lebih kecil dibandingkan dengan wanita yang tinggal di pedesaan. Selain itu, usia dan pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, serta kondisi ekonomi keluarga pun turut mempengaruhi keputusan untuk menikah dini. Wanita yang memiliki kepala rumah tangga yang berusia 34 tahun ke bawah cenderung akan melakukan pernikahan dini dibandingkan dengan wanita dengan kepala rumah tangga berusia 35 tahun atau lebih. Sedangkan kepala rumah tangga yang berijazah setara SMP atau dibawahnya memiliki kecenderungan lebih besar anak wanitanya melakukan pernikahan dini. Wanita yang berasal dari keluarga miskin yang diidentifikasi sebagai penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) cenderung menikah muda 0.83 lebih besar dibandingkan keluarga yang tidak menerima BLT. Laporan Nasional Riskesdas yang dipublikasikan oleh Kemenkes (2010) menunjukkan bahwa sebanyak 41.9% wanita di Indonesia melakukan perkawinan pertama pada kelompok usia 15-19 tahun. Sedangkan persentase wanita yang melakukan perkawinan pertama pada kelompok usia 10-14 tahun adalah sebesar 4.8%. Sementara itu BKKBN (2010) mengungkapkan bahwa Jawa Barat menduduki peringkat pertama di Jawa dan ke-2 di Indonesia sebagai provinsi dengan persentase pernikahan dini tertinggi pada dua kategori usia, yaitu sebesar 7.5% pada kategori usia pernikahan dini 10-14 tahun setelah Provinsi Kalimantan Selatan (9%) dan sebesar 50.2% pada kategori usia pernikahan dini 15-19 tahun setelah Provinsi Kalimantan Tengah (52.1%).

BKKBN (2010) mengungkapkan bahwa masalah utama yang dihadapi seluruh provinsi dalam mengatasi pernikahan dini adalah modernisasi yang

(13)

3 mempengaruhi pola perilaku masyarakat dan rendahnya tingkat pendidikan. Modernisasi mendorong generasi muda hidup dengan pola konsumtif yang menimbulkan tekanan ekonomi yang lebih besar. Selain itu, dimensi budaya pun tak luput menjadi penyebab. Temuan penting lainnya adalah lemahnya peran pemerintah dalam hal koordinasi dan perencanaan kebijakan dalam mengendalikan pernikahan dini.

Statistik Pemindaian Spasial

Statistik pemindaian spasial (spatial scan statistic) adalah suatu metode statistika yang digunakan untuk mendeteksi hotspot dalam suatu wilayah yang signifikan secara statistik terhadap risiko kasus tertentu. Sementara itu, hotspot didefinisikan sebagai sesuatu yang tak biasa, aneh, dan pengelompokan suatu kasus pada area kritis yang memiliki tingkat risiko yang tinggi (Patil dan Taillie dalam Sodik 2008). Metode ini diterapkan pada berbagai disiplin ilmu, seperti kesehatan dan sosial ekonomi. Tujuan dari statistik pemindaian spasial adalah:

1. Mendeteksi suatu zona yang memiliki tingkat risiko lebih tinggi terhadap kasus tertentu dibandingkan zona lain di sekelilingnya pada suatu daerah yang diteliti, disebut hotspot.

2. Mengetahui lokasi hotspot tersebut. 3. Mengevaluasinya secara statistik.

Zona adalah suatu area yang potensial untuk menjadi hotspot. Gambar 1 menunjukkan hal-hal yang perlu diperhatikan saat membentuk zona.

Gambar 1 Wilayah penelitian Keterangan :

= Batas wilayah penelitian (G) = Daerah kejadian (A)

= Batas kabupaten/kota

= Titik koordinat pusat kabupaten/kota (1, 2, 3, …, 26) Berikut ini adalah algoritme pembentukan zona:

1. Pilih satu kabupaten/kota secara sembarang yang diwakili oleh titik koordinat pusat kabupaten/kota tersebut. Kemudian hitung jarak Euclidean (d) antara titik koordinat pusat kabupaten/kota terpilih dengan titik koordinat pusat kabupaten/kota lainnya, dengan cara :

(14)

4

dij=√(xi-xj)2+(yi-yj)2

Keterangan:

dij : jarak Euclidean antara kabupaten/kota ke-i dan kabupaten/kota ke-j; i≠j xi : koordinat x untuk kabupaten/kota ke-i

xj : koordinat x untuk kabupaten/kota ke-j yi : koordinat y untuk kabupaten/kota ke-i yj : koordinat y untuk kabupaten/kota ke-j

Misalnya kabupaten 1 terpilih maka ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Ilustrasi jarak antara suatu kabupaten/kota dan kabupaten/kota lainnya 2. Urutkan jarak tersebut dari yang terdekat sampai dengan yang terjauh.

Tabel 1. Contoh array jarak antar kabupaten/kota Kabupaten/kota Jarak (Km) 1-17 1-23 ... 1-26 10 15 ... 300 3. Ulangi langkah 1 dan 2 untuk seluruh kabupaten/kota.

4. Tentukan satu kabupatenkota secara sembarang yang diwakili oleh titik koordinat pusatnya. Misalkan kabupaten/kota 1.

5. Buatlah suatu lingkaran dengan pusatnya titik koordinat pusat kabupaten/kota tersebut dan perbesar secara kontinu radius atau diameter lingkaran tersebut sesuai dengan urutan dalam array. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 3.

(15)

5

Gambar 3 Pembentukan zona pada kabupaten/kota 1

6. Ulangi langkah 4 dan 5 untuk seluruh kabupaten/kota. Kemudian, hitung risiko relatif dan rasio kemungkinan pada setiap kemungkinan zona yang terbentuk.

Risiko relatif (RR) adalah sebuah nilai yang merepresentasikan seberapa besar risiko suatu zona terhadap kasus yang sedang dikaji. Jika nilai RR lebih besar dari 1 maka zona tersebut memiliki risiko yang tinggi dan dipilih sebagai kandidat hotspot, sedangkan RR kurang dari 1 menunjukkan tingkat risiko yang rendah terhadap kasus yang dihadapi (Kulldorff 2014). Risiko relatif dihitung dengan cara:

RR= nZ E(Z)

dengan nZ adalah banyaknya kasus dalam suatu zona dan E(Z) adalah nilai harapan

banyaknya kasus dalam suatu zona yang didefinisikan sebagai berikut: E(Z)=𝑁𝑍(nG

𝑁𝐺)

dengan 𝑁𝑍 adalah banyaknya wanita menikah dalam zona terkait, sedangkan nG

dan 𝑁𝐺 adalah total kasus dan total wanita menikah di seluruh wilayah penelitian.

Model Bernoulli

Statistik pemindaian spasial menggunakan model peluang yang berbeda berdasarkan kondisi data. Model peluang Bernoulli digunakan jika di lapangan ditemukan variabel dikotomi. Kategori dalam variabel tersebut dapat berupa kasus dan bukan kasus, sedangkan model peluang Poisson digunakan untuk jumlah kasus dibandingkan dengan jumlah popuasi yang ada di suatu daerah (Kusumastuti 2007). Berdasarkan Kulldorff (1997) hipotesis dalam model peluang Bernoulli pada metode statistik pemindaian spasial yaitu:

H0: pZ=pG H1: pZ>pG

dengan pZ adalah peluang individu sebagai kasus di dalam zona dan pG adalah peluang individu sebagai kasus di luar zona. Jika H0 benar, maka

(16)

6

nA~Binomial(NA, pZ) ∀ A, sedangkan jika H1 benar, maka nA~Binomial(NA, pZ)

untuk A Z dan nA~Binomial(NA, pG) untuk A Zc.

Fungsi kemungkinan untuk model peluang Bernoulli pada suatu zona, yaitu L(Z), Z∈Z. L(Z) = { [pZ] nZ [1-pZ]NZ-nZ[p G] nG-nZ[1-p G] (NG-NZ)-(nG-nZ) ; jika p Z>pG [nG NG] nG [NG-nG NG ] NG-nG ; lainnya }

Fungsi tersebut mencapai maksimum ketika pZ=nZ

NZ dan pG= nG-nZ

NG-NZ. Rasio

kemungkinan (λ) untuk model peluang Bernoulli adalah:

λ=supZZ, pZ>pGL(Z) supp Z=pGL(Z) =L(Z) L0 Model Poisson

Hipotesis dalam model Poisson pada metode statistik pemindaian spasial adalah:

H0: pZ=pG H1: pZ>pG

dengan pZ adalah peluang individu sebagai kasus di dalam zona dan pG adalah peluang individu sebagai kasus di luar zona. Jika H0 benar, maka nZ~Poisson(pZNZ)

∀ Z (Kulldorff 1997).

Pada model peluang Poisson, fungsi kemungkinan adalah sebagai berikut:

L(Z)= { e-nG nG! [pZ] nZ [1-pZ]NZ-nZ[p G] nG-nZ ∏ Nxi xi ; jika pZ>pG e-nG nG! [ nG NG] nG ∏ Nxi xi ; lainnya } Fungsi tersebut mencapai maksimum ketika pZ=nZ

NZ dan pG=

nG-nZ

NG-NZ. Statistik uji λ untuk model peluang Poisson adalah:

λ=supZZ, pZ>pGL(Z) supp

Z=pGL(Z)

=L(Z) L0

(17)

7 Uji Hipotesis Monte Carlo

Pengujian hipotesis pada metode spatial scan statistic menggunakan metode Monte Carlo. P-value diperoleh dari:

P-value =banyaknya(t(x)≥λ0 ) m+1

Dalam statistik pemindaian spasial, λ0 menyatakan nilai rasio kemungkinan

yang dimiliki oleh suatu zona berdasarkan data asli, sedangkan t adalah nilai rasio kemungkinan dari data data acak yang dibangkitkan berdasarkan kondisi H0, dan m

adalah banyaknya pengulangan dalam simulasi.

Berikut ini adalah tahapan pengujian hipotesis dengan simulasi Monte Carlo dengan 999 kali pengulangan untuk statistik pemindaian spasial (Kulldorff 1997): 1. Hitung nilai rasio kemungkinan λ0 berdasarkan statistik uji untuk data asli.

2. Bangkitkan data acak dengan ukuran yang sama dengan data asli dan berdasarkan kondisi H0 benar.

3. Lakukan proses pembentukan zona dari data acak tersebut.

4. Hitung nilai rasio kemungkinan untuk setiap zona yang terbentuk.

5. Ulangi langkah 2 sampai dengan 4 sebanyak 999 kali, sehingga diperoleh sebanyak 999 nilai rasio kemungkinan hasil simulasi.

6. Urutkan nilai seluruh nilai rasio kemungkinan hasil simulasi dan dari data asli. 7. Hitung p-value.

METODOLOGI

Sumber Data

Peneleitian ini dilakukan dengan memanfaatkan data sekunder berupa data usia pernikahan pertama wanita di atas usia 10 tahun pada masing-masing kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahun 2012, yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu, dalam penelitian ini juga digunakan data koordinat lintang dan bujur seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang diperoleh dari Google Digital Map. Data pendukung berupa data jumlah dan persentase penduduk miskin per kabupaten/kota diperoleh dari BPS, dan Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Putus Sekolah diperoleh dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.

Metode Tahapan analisis data yang dilakukan adalah:

1. Membentuk zona dengan mempertimbangkan jarak Euclidean dan tidak saling tumpang tindih (non-overlapping) dengan maximum spatial cluster sebesar 50%. 2. Menghitung nilai risiko relatif (RR) pada masing-masing zona.

3. Membuat model pengujian hipotesis dengan model peluang Bernoulli dan model peluang Poisson.

4. Menduga nilai statistik uji, yaitu rasio kemungkinan (λ) untuk masing-masing model peluang.

(18)

8

5. Melakukan simulasi Monte Carlo dengan 999 kali pengulangan. 6. Melakukan evaluasi hotspot pada taraf nyata 5%.

7. Menyajikan peta tematik dari hotspot yang signifikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kasus Pernikahan Dini Wanita di Jawa Barat

Pada tahun 2012 Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota. Provinsi ini memiliki jumlah penduduk tertinggi dan kepadatan penduduk tertinggi kedua di Pulau Jawa dan Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, kepadatan penduduk provinsi ini adalah 1 010 penduduk per km2, hanya lebih rendah dari Provinsi DKI Jakarta dengan kepadatan penduduk sebesar 12 592 penduduk per km2.

Karakteristik kependudukan lain yang menarik dari provinsi ini adalah tingginya jumlah kasus pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa. UU No. 1/1974 tentang Pernikahan, Pasal 1, ayat 7 menyatakan bahwa batas usia minimal seorang wanita untuk diizinkan menikah adalah 16 tahun. Mengacu pada UU tersebut, maka ada sebanyak 16% dari total wanita menikah di Jawa Barat yang dikategorikan ke dalam menikah dini pada tahun 2012. Gambar 4 menunjukkan proporsi wanita di atas usia 10 tahun berdasarkan kategori usia pernikahan pertama.

Gambar 4 Proporsi wanita 10 tahun ke atas berdasarkan kelompok usia pernikahan pertama

Pernikahan dini wanita di Provinsi Jawa Barat lebih banyak terjadi di daerah pedesaan. Dari total kasus pernikahan dini wanita di provinsi ini, sebanyak 90.68% terjadi di pedesaan, sedangkan sisanya sebanyak 9.32% terjadi di perkotaan. Gambar 5 menyajikan distribusi pernikahan dini wanita di Provinsi Jawa Barat dan perbandingannya dengan kelompok usia pernikahan pertama lainnya.

16% 10% 26% 38% 10% ≤15 tahun 16 tahun 17-18 tahun 19-24 tahun ≥25 tahun

(19)

9

Gambar 5 Distribusi pernikahan dini dan perbandingannya dengan kelompok usia lain di Jawa Barat

Berdasarkan Gambar 5, pada setiap kelompok usia pernikahan pertama yang semakin tinggi, proporsi pernikahan wanita di perkotaan semakin meningkat. Sebaliknya, proporsi pernikahan perempuan di pedesaan semakin turun pada setiap peningkatan kelompok usia pernikahan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa praktik pernikahan dini wanita lebih mudah dijumpai di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Dari total wanita menikah di pedesaan ada sebanyak 18.01% di antaranya yang tergolong menikah dini. Persentase tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan persentase di perkotaan, yaitu 7.02% dari total wanita menikah. Perbandingan tersebut disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Perbandingan proporsi kasus pernikahan dini wanita antara perkotaan dan pedesaan

Daftar sepuluh daerah dengan persentase kasus pernikahan dini wanita tertinggi didominasi oleh kabupaten. Daftar tersebut memuat 9 kabupaten dan 1 kota. Kabupaten dengan persentase pernikahan dini tertinggi adalah Kabupaten Sukabumi, yaitu sebesar 28.27%, diikuti oleh Kabupaten Cianjur di peringkat kedua dengan persentase 27.72%. Tabel 2 menyajikan daftar sepuluh kabupaten/kota dengan persentase kasus pernikahan dini wanita tertinggi di Jawa Barat.

9.32% 9.72% 13.34% 27.44% 45.57% 90.68% 90.28% 86.57% 72.56% 54.43% 0% 20% 40% 60% 80% 100% ≤15 tahun 16 tahun 17-18 tahun 19-24 tahun ≥25 tahun Perkotaan Pedesaan 7.02% 18.01% 92.98% 81.99% Perkotaan Pedesaan < 16 tahun ≥16 tahun

(20)

10

Tabel 2 Kabupaten/kota dengan kasus pernikahan dini wanita tertinggi Peringkat Kabupaten/kota Total kasus Persentase (%)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Majalengka Kab. Tasikmalaya Kab. Purwakarta Kab. Indramayu Kab. Karawang Kab. Garut Kab. Bogor Kota Sukabumi 193 883 176 690 84 507 114 800 49 787 96 296 119 762 129 274 251 091 15 322 28.27 27.72 22.63 21.48 19.58 19.20 18.93 18.68 18.50 17.63

Dalam memutuskan suatu zona sebagai hotspot, tidak hanya persentase kasus saja yang diperhatikan, tetapi ada hal-hal lain yang juga dipertimbangkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan tersebut antara lain nilai risiko relatif, nilai log rasio kemungkinan, dan p-value, sehingga walaupun sepuluh kabupaten/kota pada Tabel 2 memiliki persentase tertinggi tidak menjadi jaminan kabupaten/kota tersebut tercakup dalam hotspot.

Hotspot Terdeteksi

Hotspot yang terdeteksi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hotspot utama (main hotspot) dan hotspot sekunder (secondary hotspot). Hotspot utama adalah suatu zona yang memiliki RR lebih besar dari 1 dan log rasio kemungkinan (LLR) paling besar, sedangkan hotspot sekunder adalah zona dengan nilai RR lebih besar dari 1 namun LLR yang dimiliki lebih kecil dibandingkan dengan LLR pada hotspot utama. Analisis dengan model peluang Bernoulli menghasilkan hotspot utama yang berpusat pada titik koordinat 6.81 lintang selatan dan 107.12 bujur timur dengan radius 19.09 km. Hotspot tersebut mencakup Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi dan terdeteksi dengan nilai RR sebesar 1.96 dengan total kasus sebanyak 370 573 kasus dibandingkan dengan nilai harapan kasus sebesar 207 953.91 kasus. Nilai LLR yang diperoleh adalah 72 886.46. Melalui simulasi Monte Carlo dengan 999 kali pengulangan, p-value yang diperoleh adalah 0.000, maka dengan menggunakan taraf nyata 5% hotspot tersebut signifikan secara statistik.

Selain hotspot utama, terdeteksi juga 6 hotspot sekunder, yaitu Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka (hotspot sekunder 1), Kabupaten Tasikmalaya (hotspot sekunder 2), Kabupaten Bogor (hotspot sekunder 3), Kabupaten Karawang (hotspot sekunder 4), Kabupaten Garut (hotspot sekunder 5), dan Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta (hotspot sekunder 6). Keenam hotspot tersebut telah dievaluasi dengan melakukan uji hipotesis Monte Carlo dengan 999 kali pengulangan. P-value seluruh hotspot sekunder adalah 0.000. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata 5%, sehingga seluruh hotspot sekunder signifikan secara statistik. Ringkasan statistik seluruh hotspot yang terdeteksi dengan model peluang Bernoulli, baik hotspot utama maupun hotspot sekunder, dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan daftar kabupaten/kota yang tercakup dalam masing-masing hotspot dapat dilihat pada Tabel 4.

(21)

11 Tabel 3 Hotspot kasus pernikahan dini di Jawa Barat dengan model Bernoulli

Hotspot nZ E(Z) RR LLR P-value

Utama Sekunder 1 Sekunder 2 Sekunder 3 Sekunder 4 Sekunder 5 Sekunder 6 370 573 180 803 114 800 251 091 119 762 129 274 131 390 207 953.91 137 538.60 84 010.67 213 361.13 99 429.08 108 759.78 114 372.40 1.96 1.35 1.39 1.20 1.22 1.20 1.16 72 886.46 8 077.34 6 426.98 4 257.10 2 471.71 2 320.19 1 536.72 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Tabel 4 Kabupaten/kota yang tercakup dalam hotspot yang

terdeteksi dengan model Bernoulli Hotspot Kabupaten/kota Utama Sekunder 1 Sekunder 2 Sekunder 3 Sekunder 4 Sekunder 5 Sekunder 6 Kab. Cianjur Kab. Sukabumi Kab. Indramayu Kab. Majalengka Kab. Tasikmalaya Kab. Bogor Kab. Karawang Kab. Garut Kab. Subang Kab. Purwakarta

Hotspot, baik utama dan sekunder, yang terdeteksi dengan menggunakan model peluang Poisson sama dengan yang terdeteksi dengan menggunakan model peluang Bernoulli, yaitu terdapat 1 hotspot utama dan 6 hotspot sekunder yang terdeteksi. Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi tercakup dalam hotspot utama. Perbedaan terletak pada nilai LLR. Hotspot utama memiliki nilai LLR sebesar 59 046.73. Baik hotspot utama maupun hotspot sekunder signifikan secara statistik dilihat dari p-value yang lebih kecil dari taraf nyata 5%. Ringkasan statistik seluruh hotspot yang terdeteksi dengan model peluang Poisson, baik hotspot utama maupun hotspot sekunder, dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan daftar kabupaten/kota yang tercakup dalam masing-masing hotspot dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5 Hotspot kasus pernikahan dini di Jawa Barat dengan model Poisson

Hotspot nZ E(Z) RR LLR P-value

Utama Sekunder 1 Sekunder 2 Sekunder 3 Sekunder 4 Sekunder 5 Sekunder 6 370 573 180 803 114 800 251 091 119 762 129 274 131 390 207 953.91 137 538.60 84 010.67 213 361.13 99 429.08 108 759.78 114 372.40 1.96 1.35 1.39 1.20 1.22 1.20 1.16 59 046.73 6 689.84 5 304.26 3 554.29 2 058.85 1 934.50 1 284.19 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

(22)

12

Tabel 6 Kabupaten/kota yang tercakup dalam hotspot yang terdeteksi dengan model Poisson

Hotspot Kabupaten/kota Utama Sekunder 1 Sekunder 2 Sekunder 3 Sekunder 4 Sekunder 5 Sekunder 6 Kab. Cianjur Kab. Sukabumi Kab. Indramayu Kab. Majalengka Kab. Tasikmalaya Kab. Bogor Kab. Karawang Kab. Garut Kab. Subang Kab. Purwakarta

Kedua hasil analisis terhadap kasus pernikahan dini wanita di Jawa Barat yang dibangun dengan model peluang yang berbeda mampu mendeteksi hotspot yang sama, baik hotspot utama maupun hotspot sekunder, sehingga untuk selanjutnya dapat digunakan salah satu model peluang saja untuk tujuan dan kasus yang sama. Setelah memperoleh hotspot kasus pernikahan dini wanita di Jawa Barat, maka hotspot-hotspot tersebut dipetakan untuk mudah memahaminya. Peta tersebut mencakup hotspot utama dan hotspot sekunder. Gambar 7 menyajikan peta hotspot yang dimaksud.

Gambar 7 Peta hotspot kasus pernikahan dini di Jawa Barat

Daerah yang tercakup dalam seluruh hotspot merupakan kabupaten. Kabupaten-kabupaten tersebut, kecuali Kabupaten Subang, termasuk ke dalam kabupaten/kota yang memiliki persentase kasus pernikahan dini wanita tertinggi berdasarkan Tabel 2. Kabupaten Subang memiliki persentase kasus pernikahan dini wanita sebesar 17.23%, tertinggi ke-11 tepat setelah Kota Sukabumi dan persentase tersebut lebih tinggi dari persentase kasus pernikahan dini wanita secara provinsi, sehingga tidak mengherankan jika kabupaten ini tercakup dalam hotspot.

Hotspot Utama Hotspot Sekunder

(23)

13 Karakteristik Hotspot Terdeteksi

Hasil yang diperoleh sejalan dengan hasil kajian Kemenag (2013) yang menelusuri kasus pernikahan di bawah umur dan tidak tercatat di beberapa wilayah di Indonesia. Kajian tersebut menyatakan bahwa wilayah Jawa Barat bagian selatan yang meliputi Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tasikmalaya, dan pantai utara Jawa yang meliputi Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Karawang di Jawa Barat, memiliki jumlah kasus pernikahan di bawah umur yang tinggi.

Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang mendorong seorang wanita untuk menikah dini (BKKBN 2012). Kondisi ekonomi yang buruk menimbulkan dorongan dalam keluarga untuk segera menikahkan anak wanitanya sehingga beban keluarga berkurang. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, ada sebanyak 10.93% penduduk Jawa Barat yang terkategorikan sebagai penduduk miskin. Tujuh dari sepuluh kabupaten yang tercakup dalam hotspot memiliki persentase penduduk miskin lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk miskin secara provinsi. Tiga kabupaten yang memiliki persentase total penduduk miskin tertinggi adalah Kabupaten Majalengka (15.52%), Kabupaten Cianjur (14.32%), dan Kabupaten Garut (13.94%). Sementara itu, tiga kabupaten yang tercakup dalam hotspot, yaitu Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Bogor, memiliki persentase total penduduk miskin yang lebih rendah dibandingkan dengan persentase penduduk miskin secara provinsi. Persentase total penduduk miskin masing-masing kabupaten tersebut secara berurutan adalah 10.65%, 10.57%, dan 9.97%. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Persentase penduduk miskin perkotaan, pedesaan, dan total berdasarkan kabupaten yang tercakup dalam hotspot

Walaupun Kabupaten Sukabumi memiliki persentase total penduduk miskin yang lebih rendah dibandingkan dengan persentase penduduk miskin secara provinsi, namun persentasenya di wilayah pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk miskin secara provinsi. Dua kabupaten yang memiliki persentase penduduk miskin di bawah persentase penduduk miskin provinsi di pedesaan adalah Kabupaten Bogor (10.64%) dan Kabupaten Purwakarta (10.61%).

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00

25,00 Perkotaan Pedesaan Total

25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00

(24)

14

Persentase penduduk miskin di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan di pedesaan pada seluruh kabupaten yang tercakup dalam hotspot. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa pernikahan dini wanita di Jawa Barat lebih banyak ditemukan di wilayah pedesaan. Walaupun demikian, tingkat kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor pendorong praktik pernikahan dini.

Selain kemiskinan, faktor lain yang juga dapat mendorong seorang wanita untuk menikah dini adalah pendidikan. Salah satu nilai yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan di suatu daerah adalah Angka Partisipasi Kasar (APK). APK merupakan perbandingan antara jumlah siswa dengan jumlah penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai pada jenjang tertentu, dinyatakan dalam persentase. Menurut Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2014), pada jenjang SMP dan MTs, APK Kabupaten Sukabumi adalah 70.75%. Nilai tersebut merupakan yang terendah kedua di Jawa Barat, sedangkan Kabupaten Cianjur berada di peringkat ketiga terendah dengan persentase sebesar 84.29%. Kabupaten dengan APK tingkat SMP dan MTs terendah adalah Kabupaten Tasikmalaya, yaitu 64.16%. Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi merupakan dua daerah yang memiliki APK terendah pada jenjang SMA, SMK, dan MA. APK masing-masing kabupaten adalah 49.10% dan 53.10%. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kabupaten dengan APK tingkat SMP/MTs dan SMA/ SMK/MA terendah

Pada masyarakat Kabupaten Cianjur, ada anggapan bahwa pendidikan bagi wanita tidak penting sehingga walaupun ada sekolah di dekat rumah mereka tetap tidak disekolahkan, apalagi jika jarak ke sekolah jauh dan biayanya mahal (Kemenag 2013). Nilai lain yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan adalah Angka Putus Sekolah. Nilai tersebut merupakan perbandingan antara jumlah siswa putus sekolah dengan jumlah siswa tahun ajaran sebelumnya pada jenjang tertentu dan dinyatakan dalam persentase. Pada jenjang SMP/MTs, umumnya siswa berusia 13-15 tahun, Angka Putus Sekolah Provinsi Jawa Barat adalah 1.20%. Tiga dari sepuluh kabupaten yang tercakup dalam hotspot memiliki persentase lebih besar dari nilai tersebut. Kabupaten Bogor memiliki Angka Putus Sekolah tertinggi diantara tiga kabupaten tersebut dengan persentase sebesar 1.43%, diikuti oleh Kabupaten Purwakarta (1.24%) dan Kabupaten Karawang (1.22%). Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.

0 50 100 Kab. Bogor Kab. Garut Kab. Indramayu Kab. Cianjur Kab. Sukabumi Kab. Tasikmalaya APK SMP/MTs (%) APK SMA/SMK/MA (%)

(25)

15

Gambar 10 Perbandingan Angka Putus Sekolah SMP/MTs pada sepuluh kabupaten yang tercakup hotspot

Selain dua faktor di atas, Kemenag (2013) mengungkapkan bahwa maraknya praktik pernikahan dini di wilayah selatan dan pantai utara Jawa Barat dipengaruhi oleh kebudayaan yang bersumber dari agama dan tradisi turun temurun. Bentuk-bentuk kebudayaan tersebut antara lain:

1) Keyakinan bahwa perkawinan Rasulallah Saw dengan Siti Aisyah yang ketika itu berusia 9 tahun adalah teladan bagi umatnya.

2) Keyakinan bahwa kerelaan atau izin calon mempelai wanita tidak menjadi syarat sahnya perkawinan sehingga perkawinan dianggap sah walaupun anak perempuan tersebut tidak menyadari perkawinan tersebut atau bahkan menolaknya.

3) Keharusan menaati orang tua, termasuk ketika orang tua mengwinkannya. 4) Keyakinan bahwa ajaran agama lebih diutamakan jika bertentangan dengan

aturan negara, dan pembatasan usia minimal calon mempelai yang menjadi aturan negara dianggap tidak ada dalam agama.

5) Praktik pernikahan dini yang dilakukan oleh orang tua.

Aspek hukum juga turut melestarikan praktik pernikahan dini, yaitu tidak adanya sanksi pada pelaku pernikahan dini. UU Perkawinan Pasal 7, ayat 1 tidak berlaku mutlak karena dalam Pasal 7, ayat 2 dinyatakan bahwa dalam hal penyimpangan pada ayat 1 ini dapat meminta dispensasi pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Hal tersebut bertentangan dengan hak anak untuk dilindungi dari pernikahan dini yang tercantum dalam UU No. 23/2002 Pasal 26, ayat 1 butir c tentang Perlindungan Anak. UU tersebut menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. Sejalan dengan UU tersebut, UU HAM No. 39/1999 Bagian Kesepuluh tentang Hak Anak, Pasal 52-66 menyebutkan bahwa terjadinya perkawinan di bawah umur adalah pelanggaran terhadap hak anak meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk berpikir dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang dengan bergaul bersama teman-teman sebayanya, bermain, berekspresi, dan berkreasi, dan hak untuk mendapatkan perlindungan. Namun, peraturan tersebut tidak dikuatkan dengan memuat sanksi yang tegas, sehingga praktik pernikahan dini marak terjadi.

0 0,5 1 1,5 2 Kab. Bogor Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Sumedang Kab. Tasikmalaya Kab. Subang Kab. Cianjur Kab. Sukabumi Kab. Indramayu Kab. Majalengka APS SMP/MTs (%) 0 0.5 1 1.5 2

Aangka Putus Sekolah SMP/MTs (%) Aangka Putus Sekolah SMP/MTs Jawa Barat (1.20%)

(26)

16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Provinsi Jawa Barat memiliki tujuh hotspot kasus pernikahan dini wanita yang signifikan pada taraf nyata 5%, baik pada analisis yang dibangun dengan model peluang Bernoulli maupun pada analisis yang dibangun dengan model peluang Poisson. Hotspot utama mencakup dua kabupaten, yaitu Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, sedangkan enam hotspot sekunder mencakup delapan kabupaten, yaitu Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka (hotspot sekunder 1), Kabupaten Tasikmalaya (hotspot sekunder 2), Kabupaten Bogor (hotspot sekunder 3), Kabupaten Karawang (hotspot sekunder 4), Kabupaten Garut (hotspot sekunder 5), dan Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta (hotspot sekunder 6). Pengendalian dan pengawasan terhadap kasus pernikahan dini wanita pada ketujuh hospot ini harus diprioritaskan, baik oleh pemerintah maupun institusi terkait lainnya.

Saran

Penelitian ini dapat dikaji lebih lanjut dengan menggunakan metode lain untuk mendeteksi hotspot kasus pernikahan dini wanita, seperti temporal scan statistic dan space time scan statistic. Hasilnya akan sangat berguna bagi masyarakat, pemerintah, dan institusi terkait untuk mengetahui di mana dan kapan hotspot terjadi. Penelitian akan menarik juga jika menggunakan model sebaran peluang atau struktur data lain, seperti ordinal, multinomial, dan lain-lain. Kajian lebih lanjut untuk mengevaluasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kasus pernikahan dini wanita dapat dilakukan dengan regresi spasial.

DAFTAR PUSTAKA

[BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2012. Kajian Pernikahan Dini pada Beberapa Provinsi di Indonesia: Dampak Overpopulation, Akar Masalah, dan Peran Kelembagaan di Daerah. Jakarta (ID): Ditdamduk BKKBN.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jawa Barat Dalam Angka 2012. Jakarta (ID): BPS.

Imawati A. 2011. Analisis Regresi Logistik Biner pada Faktor-faktor yang Mempengaruhi Menikah Muda di Provinsi Jawa Timur [skripsi]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh November.

[Kemenag] Kementerian Agama RI. 2013. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur Perkawinan Tidak Tercatat. Jakarta (ID): Kemenag.

[Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2010. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Jakarta (ID): Balitbang Kemenkes.

Kulldorff M. 1997. A spatial scan statistic. Journal of Communication Statistics: Theory and Method. 26(6): 1481-1496.

(27)

17 Kulldorff M. 2014. SaTScanTM User Guide for version 9.3. http://www.satscan.org/

[7 Oktober 2014].

Kusumastuti N. 2007. Spatial Scan Statistic untuk Data Ordinal [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Marshan JN et al. 2013. Prevalence of Child Marriage and Its Determinants among Young Women in Indonesia. Conference on Child Poverty and Social Protection; 2013 September 10-11; Jakarta. Jakarta (ID): The SMERU Research Institute.

Risya DP. 2011. Usia Perkawinan Pertama Wanita Berdasarkan Struktur Wilayah Kabupaten Bogor[skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Sodik HJ. 2009. Spatial scan statistic for AIDS hotspots detection at regencies and municipalities in java. Journal of the First International Seminar on Science and Technology. January 24, 2009: 129-135.

[UNICEF] The United Nations Children’s Fund. 2005. Early Marriage: A Harmful Traditional Practice. New York (US): Division of Policy and Planning of UNICEF.

(28)

18

Lampiran 1 Jumlah dan persentase kasus pernikahan dini per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2012

Kabupaten/kota Jumlah Kasus Persentase (%) Kab. Sukabumi Kab. Cianjur Kab. Majalengka Kab. Tasikmalaya Kab. Purwakarta Kab. Indramayu Kab. Karawang Kab. Garut Kab. Bogor Kota Sukabumi Kab. Subang Kab. Ciamis Kota Banjar Kab. Sumedang Kab. Cirebon Kab. Bandung Barat Kab. Kuningan Kab Bekasi Kab. Bandung Kota Tasikmalaya Kota Bogor Kota Cirebon Kota Depok Kota Bandung Kota Bekasi Kota Cimahi 193 883 176 690 84 507 114 800 49 787 96 296 119 762 129 274 251 091 15 322 81 603 82 423 8 812 54 851 80 443 58 588 40 293 100 538 106 913 20 670 21 878 5 798 29 894 39 723 37 307 7 823 28.27 27.72 22.63 21.48 19.58 19.20 18.93 18.68 18.50 17.63 17.23 15.99 15.55 15.41 13.79 12.94 12.49 12.45 11.41 11.25 8.39 7.13 5.90 5.90 5.66 4.98 Sumber: BPS

(29)

19 Lampiran 2 Jumlah dan persentase penduduk miskin per kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Barat berdasarkan sensus penduduk tahun 2010

Kabupaten/kota Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)

Penduduk Miskin (%) Perkotaan (%) Pedesaan (%) Kab. Bogor 477.10 9.97 9.69 10.64 Kab. Sukabumi 249.50 10.65 8.24 11.82 Kab. Cianjur 310.90 14.32 7.94 15.94 Kab. Bandung 296.20 9.30 7.25 15.65 Kab. Garut 335.60 13.94 9.11 16.77 Kab. Tasikmalaya 214.50 12.79 9.10 13.82 Kab. Ciamis 158.40 10.34 8.61 10.82 Kab. Kuningan 152.40 14.68 7.90 18.03 Kab. Cirebon 333.30 16.12 14.78 19.87 Kab. Majalengka 181.10 15.52 8.97 19.21 Kab. Sumedang 141.40 12.94 7.92 14.84 Kab. Indramayu 276.00 16.58 8.24 21.05 Kab. Subang 198.30 13.54 8.89 14.77 Kab. Purwakarta 90.30 10.57 10.56 10.61 Kab. Karawang 260.20 12.21 8.59 14.73 Kab Bekasi 161.70 6.11 5.26 7.19

Kab. Bandung Barat 222.90 14.68 10.94 18.44

Kota Bogor 90.20 9.47 9.47 0.00 Kota Sukabumi 27.70 9.24 9.24 0.00 Kota Bandung 118.60 4.95 4.95 0.00 Kota Cirebon 35.50 12.00 12.00 0.00 Kota Bekasi 148.00 6.30 6.30 0.00 Kota Depok 49.60 2.84 2.84 0.00 Kota Cimahi 40.10 7.40 7.40 0.00 Kota Tasikmalaya 131.50 20.71 20.33 23.47 Kota Banjar 14.80 8.47 6.03 11.07 Jawa Barat 4 716.00 10.93 - - Sumber: BPS

(30)

20

Lampiran 3 APK tingkat SMP dan MTs per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

Kabupaten/kota SMP/MTs

Jumlah Siswa Jumlah Usia Sekolah APK (%)

Kab. Tasikmalaya 88 034 137 215 64.16* Kab. Sukabumi 124 601 176 125 70.75* Kab. Cianjur 118 376 140 433 84.29* Kab. Indramayu 83 853 99 000 84.70* Kab. Garut 143 108 168 863 84.75* Kab. Bogor 247 482 288 350 85.83*

Kab. Bandung Barat 73 096 84 653 86.35*

Kab. Cirebon 110 752 126 991 87.21* Kab. Karawang 109 822 122 918 89.35* Kab. Bekasi 132 443 148 013 89.48 Kab. Ciamis 76 196 84 522 90.15 Kab. Majalengka 58 513 64 375 90.89 Kab. Kuningan 55 297 60 804 90.94 Kab. Bandung 171 666 187 185 91.71 Kab. Sumedang 51 929 56 395 92.08 Kab. Purwakarta 45 482 47 836 95.08 Kota Bekasi 104 472 103 462 100.98 Kab. Subang 72 274 71 284 101.39 Kota Tasikmalaya 33 671 32 853 102.49 Kota Cirebon 21 644 20 035 108.03 Kota Depok 69 420 62 977 110.23 Kota Sukabumi 17 420 15 750 110.60 Kota Bogor 54 025 48 043 112.45 Kota Bandung 117 187 100 741 116.33 Kota Banjar 9 925 8 456 117.37 Kota Cimahi 28 182 23 732 118.75

Provinsi Jawa Barat 2 218 870 2 481 011 89.43

Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2014), *Lebih rendah dari APK tingkat provinsi

(31)

21 Lampiran 4 APK tingkat SMA, SMK, dan MA per kabupaten/kota di Provinsi

Jawa Barat

Kabupaten/kota SMA/SMK/MA

Jumlah Siswa Jumlah Usia Sekolah APK (%)

Kab. Cianjur 53 296 108 535 49.10*

Kab. Sukabumi 61 579 115 898 53.13*

Kab. Bandung 85 499 158 993 53.78*

Kab. Bogor 142 029 258 260 54.99*

Kab. Bandung Barat 41 638 74 362 55.99*

Kab. Tasikmalaya 44 642 76 010 58.73* Kab. Garut 73 810 125 108 59.00* Kab. Ciamis 40 064 67 658 59.22* Kab. Cirebon 68 454 113 983 60.06* Kab. Purwakarta 27 608 43 988 62.76* Kab. Majalengka 32 907 51 171 64.31* Kab. Karawang 70 874 104 423 67.87* Kab. Sumedang 35 660 52 155 68.37 Kab. Bekasi 87 434 122 268 71.51 Kab. Indramayu 59 474 82 917 71.73 Kab. Subang 48 231 66 583 72.44 Kab. Kuningan 38 228 48 446 78.91 Kota Depok 52 955 66 904 79.15 Kota Bekasi 94 521 109 670 86.19 Kota Banjar 10 438 11 997 87.01 Kota Cimahi 26 764 29 009 92.26 Kota Tasikmalaya 33 370 34 071 97.94 Kota Bandung 127 583 123 471 103.33 Kota Sukabumi 19 851 18 046 110.00 Kota Cirebon 24 896 22 397 111.16 Kota Bogor 62 087 55 672 111.52

Provinsi Jawa Barat 1 463 892 2 141 995 68.34

Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2014), *Lebih rendah dari APK tingkat provinsi

(32)

22

Lampiran 5 Angka Putus Sekolah SMP/MTs per kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat

Kabupaten/kota Siswa Putus Sekolah

Jumlah Siswa Tahun Ajaran Sebelumnya Angka Putus Sekolah (%) Kab. Bekasi 1 269 100 672 1.60* Kab. Bogor 2 381 166 101 1.43* Kota Cimahi 309 22 304 1.38* Kota Sukabumi 183 14 251 1.29* Kota Bekasi 1 159 79 488 1.27* Kab. Purwakarta 453 36 454 1.24* Kota Bandung 1 387 112 735 1.23* Kota Cirebon 239 19 552 1.22* Kab. Karawang 1 225 36 514 1.22* Kab. Bandung 1 615 133 694 1.21*

Kab. Bandung Barat 727 60 164 1.21*

Kota Bogor 600 30 336 1.19 Kab. Sumedang 549 46 763 1.17 Kab. Cirebon 1 075 91 595 1.17 Kota Depok 714 62 798 1.14 Kab. Tasikmalaya 770 67 366 1.14 Kab. Subang 764 68 454 1.12 Kota Tasikmalaya 319 29 375 1.09 Kab. Cianjur 1 163 107 374 1.08 Kab. Sukabumi 1 110 108 862 1.02 Kab. Kuningan 534 52 642 1.01 Kab. Indramayu 826 84 030 0.98 Kab. Majalengka 540 55 515 0.97 Kab. Garut 1 323 161 673 0.82 Kab. Ciamis 687 85 712 0.8 Kota Banjar 96 17 008 0.57

Provinsi Jawa Barat 22 017 1 851 432 1.20

Sumber: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2014), *Lebih tinggi dari Angka Putus Sekolah tingkat provinsi

(33)

23

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Lebak pada tanggal 21 Pebruari 1993 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Dinar dan Jawati. Penulis menempuh pendidikan di SDN Malingping Utara 1 (1999-2005), SMPN 1 Malingping (2005-2008), dan SMAN 1 Malingping (2008-2011). Pada tahun 2011, penulis diterima di IPB melalui jalur Prestasi Internasional dan Nasional (PIN) dengan mayor Statistika. Ekonomi dan Studi Pembangunan menjadi minor pilihan penulis untuk menunjang keahliannya.

Selama menempuh pendidikan di Statistika IPB, penulis pernah menjadi Ketua Lembaga Struktural Beta Club, Gamma Sigma Beta (GSB) yang fokus pada peningkatan minat dan bakat dalam berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Penulis juga aktif dalam organisasi kepemudaan yang berfokus pada isu-isu lingkungan, yaitu Sobat Bumi (SOBI) dan South East Asia Youth Environment Network (SEAYEN). Pada tahun 2013, penulis menjadi delegasi Indonesia pada Young Leader Forum for Asia Pasific Regions dan berpartisipasi pada National Future Leader Summit. Pada tahun 2014, penulis menjadi delegasi Indonesia pada 7th Regional Meeting SEAYEN TUNZA UNEP dan menjadi delegasi SEAYEN pada Young Water Leader Summit, Singapore International Water Week (SIWW). Pada tahun 2015, penulis terpilih menjadi mahasiswa berprestasi Departemen Statistika.

Penulis juga pernah mendapat kesempatan menjadi asisten responsi matakuliah Ekonomi Umum pada tahun ajaran 2012/2013 dan 2013/2014, dan asisten responsi matakuliah Metode Statistika pada tahun ajaran 2013/2014. Selama Juli sampai dengan Agustus 2014, penulis melaksanakan praktik lapang di lembaga penelitian kehutanan Center for International Forestry Research (CIFOR). Setelah menyelesikan praktik lapangnya, penulis menjadi asisten peneliti paruh waktu (part-time) selama September 2014 sampai dengan Maret 2015 di lembaga yang sama.

Gambar

Gambar 1 Wilayah penelitian  Keterangan :
Gambar 2 Ilustrasi jarak antara suatu kabupaten/kota dan kabupaten/kota lainnya  2.  Urutkan jarak tersebut dari yang terdekat sampai dengan yang terjauh
Gambar 3 Pembentukan zona pada kabupaten/kota 1
Gambar 5 Distribusi pernikahan dini dan perbandingannya dengan kelompok usia  lain di Jawa Barat
+4

Referensi

Dokumen terkait

Supervisi ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan, proses pelaksanaan, dan evaluasi supervisi akademik dalam meningkatkan mutu pembelajaran pendidikan pada matakuliah

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Ruang lingkup kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap akta jual beli hak atas tanah yang dibuatnya adalah guna memenuhi

Pada tahapan global design peneliti melakukan perancangan sistem dengan menggunakan acuan yaitu dokumentasi dari user requirements dan fitur- fitur yang sudah dirancang

Seluruh dosen program studi Diploma III Teknik Informatika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan Ilmu pengertahuan

Backup adalah kegiatan membuat duplikat program aplikasi dan database dari production Environtment ke dalam media lain seperti tape dan CD, sedangkan recovery

Dalam menghadapi era globalisasi yang penuh dengan kompetisi, yang harus dilakukan adalah penyediaan sumber daya manusia yang memiliki kesiapan mental sekaligus kesiapan skill

Dari sisi lain, sampel yang berpendidikan rendah sebesar 70,84 persen (SD dan SLTP) pada umumnya adalah masyarakat tempatan (penduduk asli), sedangkan sampel yang berpendidikan

Jika suatu permintaan ekstradisi dibuat atas dasar pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1), dan jika Negara Pihak yang diminta menolak atau