• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FILM HELEN KELLER TERHADAP OPTIMISME ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK TUNANETRA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH FILM HELEN KELLER TERHADAP OPTIMISME ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK TUNANETRA."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP OPTIMISME ORANGTUA

YANG MEMILIKI ANAK TUNANETRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Khusus

Oleh:

I Putu Adi Sembara Jaya

0806909

PENDIDIKAN KHUSUS

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

0806909

PENGARUH FILM HELEN KELLER TERHADAP OPTIMISME

ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK TUNANETRA

Disetujui dan disahkan oleh :

Pembimbing I

Juang Sunanto, M.A,Ph.D

NIP. 196105151987031002

Pembimbing II

Drs. Ahmad Nawawi, M.Pd.

NIP. 195412071981121002

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Khusus

Drs. Sunaryo, M.Pd

(3)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertandatangan di bawah, dengan ini menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Film Helen Keller Terhadap Optimisme Orangtua yang Memiliki Anak Tunanetra” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sanksi yang dijatuhkan pada saya apabila kemudain ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, 9 Februari 2014

(4)

ABSTRAK

Orangtua merupakan lingkungan terdekat dari seorang anak, begitu pula bagi anak tunanetra. Perlakuan dan pola asuh pada masa kanak-kanak akan menjadi faktor pembentuk kecenderungan pola pikir , sikap dan performa anak tunanetra. Hal tersebut oleh Martin Seligman disebut sebagai Explanatory Style Ibu, yaitu Explanatory Style seseorang yang ia peroleh dari ibunya, baik itu sifatnya positif maupun negatif. Intervensi dini pada anak tunanetra memang sangat penting, sebab akan membantu anak tunanetra memperoleh pelayanan dan pendidikan yang tepat. Namun yang sering dilupakan justru intervensi pada orangtua yang memiliki anak tunanetra, khususnya ibu. Sikap dan perlakuan orangtua pada anaknya yang tunanetra sangat ditentukan oleh pemahaman dan penerimaan ibu atas kondisi anaknya. Penerimaan ibu diperoleh dari pemahaman, dan pemahaman itu sendiri memerlukan informasi yang tepat dan kuat, serta mampu menggambarkan kondisi aktual orangtua menghadapi permasalahan yang dianggap dampak dari ketunanetraan anaknya. Untuk itu penelitian ini

mengangkat judul “Pengaruh Film Helen Keller Terhadap Optimisme Orangtua yang Memiliki Anak Tunanetra”. penulis berharap dengan orangtua menonton

film Helen Keller, mereka dapat memperoleh role model cara mengasuh dan mendidik anak tunanetra dengan baik dan tepat. Cerita film Helen Keller menurut hasil penelitian ini ternyata dapat menjadi sumber informasi yang teapat dan inspiratif bagi orangtua, terutama ibu. Hal ini dibuktikan dengan hasil tes sebelum dan sesudah pemberian intervensi yaitu menonton film Helen Keller bersama-sama, menunjukkan peningkatan optimisme orangtua. Dengan kata lain, intervensi pada orangtua yang memiliki anak tunanetra melalui media film Helen keller telah mampu meningkatkan optimisme orangtua, khususnya ibu.

(5)

A. Latar Belakang

Kelahiran anak dalam keluarga ibarat cahaya dalam gelap, laksana embun di musim kemarau. Bahkan ketika dalam kandungan sekalipun, anak mampu memberi kebahagian bagi orangtua, karena anaklah yang menjadi harapan masa depan orangtua. Untaian impian turut menghiasi penantian orangtua akan kelahiran anaknya. Kelahiran anak yang sehat, pertumbuhan

serta perkembangan anak yang normal, tentu menjadi impian setiap orangtua.

Impian-impian indah selama masa penantian itu juga dapat menjadi

mimpi buruk apabila anak yang lahir kurang sehat dan tumbuh kembangnya tidak normal atau membawa impairment saat lahir. “Impairment” (kerusakan atau kelainan fungsi dan atau kerusakan alat indra) pada anak dapat membuat anak menjadi berkebutuhan khusus atau banyak orang masih menyebut mereka sebagai anak penyandang cacat, atau anak dengan disabilitas, ada juga menyebut anak difable. Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus untuk mengembangkan segenap potensi yang mereka miliki (Hallahan & Kauffman, 2006: 8).

ABK secara umum dikelompokan dalam 5 kategori, yaitu : tunanetra (gangguan fungsi atau ketidak berfungsian indera penglihatan), tunarungu (gangguan fungsi atau kehilangan pendengaran), tunagrahita (retardasi mental/keterbelakangan mental), tunadaksa (gangguan fungsi gerak motorik)dan tunalaras (gangguan emosi dan perilaku sosial). Dalam Peraturan Menteri No. 70 Tahun 2009, menyebutkan klasifikasi ABK lebih rinci lagi, yaitu terdiri atas: a. Tunanetra; b. Tunarungu; c. Tunawicara; d. Tunagrahita; e. Tunadaksa; f. Tunalaras; g. Berkesulitan belajar; h. Lamban belajar; i.

(6)

narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif; l. Memiliki kelainan lainnya; m. Tunaganda.

ABK bisa lahir dimana saja, dan dalam keluarga siapa saja, namun demikian tidak semua keluarga, khususnya orangtua dapat menerima dengan sepenuh hati kondisi anaknya yang berkebutuhan khusus. Kalau pun ada, hal tersebut memerlukan proses yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cenderung lama. Teori Batshaw, Perret dan Trachtenberg, mengatakan bahwa orangtua yang melahirkan atau memiliki anak berkebutuhan khusus akan memiliki pola respon yang terbagi dalam lima fase, yaitu denial (penolakan), depression (depresi/bingung), anger & guilty (marah & rasa bersalah), bargaining (mempertimbangkan), dan acceptance (penerimaan). Orangtua yang memiliki anak tunanetra misalnya. Setiap orangtua yang anaknya tunanetra akan menghadapi masa-masa depresi , serta memerlukan waktu yang tidak sama dalam melewati setiap fase tersebut. Ada orangtua yang relatif cepat dapat menerima kondisi anaknya yang tunanetra, ada pula yang relatif lama.

Seorang anak tunanetra sesungguhnya tidak menghendaki lahir tunanetra

atau menjadi tunanetra sebaliknya tidak ada orangtua yang berharap anaknya lahir dalam keadaan tunanetra. Maka dari itu, orangtua dan anak tunanetra tidak dapat menolak kenyataan tersebut. Orangtua harus melalui serangkaian fase sebelum akhirnya mereka mampu menerima kondisi anaknya, salah satunya adalah fase bargaining (menimbang-nimbang). Fase bargaining ini merupakan satu fase sebelum orangtua masuk dalam fase acceptance (penerimaan).

(7)

akibat dari ketidaksiapan orangtua. Beban mental ini sifatnya personal dan berhubungan dengan kejiwaan sehingga kadang dirasa lebih berat dibandingkan beban ekonomi atau beban lain yangsifatnya konkret. Mungkin orangtua masih sanggup menanggung beban ekonomi dalam menjamin kehidupan anaknya yang tunanetra secara layak dan memenuhi kebutuhan khusus anaknya dengan menyediakan sarana dan teknologi khusus tunanetra. Akan tetapi hal itu jauh lebih mudah dibandingkan orangtua harus menghadapi beban mental yang memerlukan pengendalian emosi (perasaan), seperti rasa kecewa, penolakan atau denial, rasa malu, serta rasa bersalah dan saling menyalahkan. Apalagi ketika orangtua berada dalam fase depresi. orangtua perlu memperoleh dukungan dan penguatan dari luar diri (lingkungan) agar motivasi dari dalam dirinya bangkit untuk keluar dari depresi dan menjadi lebih optimis.

Penyebab beban mental tidak hanya muncul dari dalam diri orangtua, Akan tetapi penyebabnya juga dapat bersumber dari luar, terutama disebabkan oleh kemampuan ekonomi yang terbatas, perceraian dan harus menjadi single

parent, belum lagi tekanan di masyarakat yang berpandangan kurang tepat mengenai anak berkebutuhan khusus. menghadapi kondisi demikian orangtua perlu memiliki sikap optimis, tangguh, tabah, semangat, kreatif, bertanggung jawab dan penuh harapan. Oleh karena itu orangtua perlu membangun harapan dan optimisme bahwa setiap masalah atau tantangan yang muncul sebagai dampak dari ketunanetraan anaknya mampu mereka atasi. orang tua yang merasa tidak sanggup menghadapi sendiri masalahnya, mereka akan bingung dan kemudian menjadi putus asa. Namun tidak demikian dengan orangtua yang semangat bertanggung jawab dan berpengharapan tinggi, mreka justru mencari informasi yang dibutuhkan pada sumber-sumber yang terkait dengan ketunanetraan buah hatinya. Sumber tersebut dapat berupa sekolah luar biasa berupa lembaga-lembaga yang melayani pendidikan serta tumbuh kembang anak tunanetra, atau forum-forum orangtua yang anaknya tunanetra.

(8)

tunanetra karena satu sama lain dapat berbagi informasi yang dibutuhkan dalam praktik mengasuh anak tunanetra, misalnya mengenai cara melatih anak tunanetra berjalan, atau cara memberi makan dan minum pada balita tunanetra ataupun informasi lain yang berguna untuk menguatkan harapan dan menambah optimisme orangtua. Setiap orangtua memiliki sikap yang beragam terhadap ketunanetraan anaknya, baik yang terjadi semenjak lahir atau yang terjadi saat anak berada di usia tertentu. Proses penerimaannya pun satu dengan yang lain tidak sama, ada yang relatif singkat dan sebaliknya ada yang relatif lama. Bahkan beberapa kasus orangtua belum dapat menerima kondisi anaknya yang tunanetra meskipun anak sudah duduk di bangku sekolah dasar padahal ketunanetraan itu pun dibawa anak sejak lahir. Sikap orangtua seperti itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari latar belakang pendidikan orangtua, status sosialorangtua dalam masyarakat, pekerjaan, dan yang terpenting adalah berapa banyak informasi yang diperoleh orangtua terkait dengan kondisi ketunanetraan anaknya. Informasi yang dimaksud misalnya buku-buku biografi atau cerita orang tunanetra yang sukses di dunia,

film-film atau video yang mengisahkan perjalanan hidup seorang tunanetra sukses seperti film “Helen Keller”, dan cerita pengalaman orangtua selama mengasuh anaknya yang tunanetra juga bisa dijadikan informasi. Apalagi informasi tersebut dapat mengilustrasikan kondisi aktual yang dirasakan orangtua, hal tersebut dapat menyentuh hati orangtua dan memberi kesan pada orangtua agar lebih optimis dan semangat melayani anaknya.

(9)

mengatakan bahwa “sikap optimis itu dapat dimunculkan dimana saja, bahkan dalam penderitaan sekalipun”. Dengan demikian, bagaimanapun kondisi anak, orangtua seyogyanya tetap memiliki harapan dan optmisme pada kemampuan anak dan kemampuan dirinya. Optimisme dapat memberi energi positif bagi orangtua, misalnya tidak mudah putus asa dan menjaga daya tahan tubuh yang lebih baik dari penyakit, mdan mampu meminimalisir tingkat stress.

Optimisme merupakan sikap yang muncul dari dalam diri tentang sesuatu yang dihadapi. Menurut Seligman (2008: 374) menyatakan bahwa “Optimisme adalah alat untuk membantu individu mencapai tujuan yang ditetapkannya pada dirinya sendiri”. Optimisme dapat juga diartikan berpikir positif. Seorang yang berpikiran positif atau optimis tidak menganggap kegagalan/masalah itu bersifat permanen. Hal ini bukan berarti bahwa ia enggan menerima kenyataan. Sebaliknya, ia menerima dan memeriksa masalahnya Lalu, sejauh keadaan memungkinkan, ia bertindak untuk mengubah atau memperbaiki situasi. Dengan optimisme, orangtua diharapkan dapat memperoleh paradigma yang benar tentang ketunanetraan anaknya dan

mampu membangun motivasi dari dalam diri dalam rangka mengasuh dan mendidik anaknya. Motivasi dari dalam diri relatif lebih kuat dibandingkan motivasi dari luar, seperti nasehat atau ceramah dan teori.

(10)

dan potensi anaknya. Karena jika hanya mengandalkan kegiatan terapi di PPTLV waktunya sangat terbatas.

Pendekatan kognitif melalui diskusi dan motivasi telah Ibu Desi lakukan namun hasilnya masih jauh dari apa yang diharapkan. Orangtua tidak cmenunjukkan sikap yang menandakan meningkatnya pemahaman dalam cara mengasuh dan melayani anaknya yang tunanetra. Perkembangan anak tunanetra selama mengikuti terapi dapat dijadikan indikator sejauh mana pemahaman dan keaktifan oorangtua dalam kegiatan terapi dan latihan untuk anak di rumah. Atas usul dari seorang rekan sesama pemerhati anak tunanetra, Ibu Desi melakukan pendekatan dengan memberi setiap orangtua yang anaknya diterapi di PPTLV sebuah film yang berjudul “Miracle Worker” dalam bentuk VCD. Tujuannya adalah menyampaikan informasi pada orangtua mengenai ketunanetraan di masa kanak-kanak, sehingga muncul persepsi yang sama antara orangtua dengan INSTRUKTUR dalam kasus ini yaitu Ibu Desi. Dengan persepsi yang relatif sama, diharapkan Ibu Desi bisa lebih mudah meningkatkan pemahaman orangtua tentang cara asuh dan sikap

yang dibutuhkan dalam melayani anak tunanetra. Media film tersebut menceritakan tentang kehidupan seorang anak tunanetra bernama Helen Keller. Helen Keller tidak hanya tunanetra, dia juga tidak bisa mendengar. Kondisi Helen Keller yang tunanetra dan tunarungu membuat lingkungannya sulit berkomunikasi dengannya, terutama keluarganya. Dalam film juga menggambarkan bagaimana orangtua Helen Keller mengasuh dengan penuh kasih sayang dan kelembutan terutama sang ibu karena tidak tega bertindak tegas pada anaknya. namun justru sikap yang berbeda ditunjukkan oleh pengasuh Helen Keller. Pengasuh itu bernama Annie Sullivan. Dia tidak hanya mengasuh, tapi juga mendidik, melatih, dan membimbing Helen Keller dengan “keras” dan disiplin hingga akhirnya Helen Keller yang tunanetra dan tunarungu bisa berkomunikasi dengan keluarganya.

(11)

menurut cerita Ibu Desi, metode pendekatan dengan media film menujukkan hasil positif, orangtua menjadi lebih kooperatif, terbuka akan masukan dan pro-aktif dalam kegiatan terapi anak mereka. Ibu Desi dalam tugasnya melayani anak pun menjadi sangat terbantu, karena setelah menonton film Helen Keller persepsi orangtua dan dirinya mengenai anak tunanetra serta kebutuhan khusus dalam pengasuhannya MENJADI relatif sama. Ia dapat lebih mudah membimbing serta mengarahkan dan orangtua pun dapat lebih cepat memahami maksud yang disampaikan Ibu Desi.Hal ini sangat mengekfektifkan kerja Ibu Desi mengingat jumlah anak tunanetra yang terapi di PPTLV tidak sedikit. Dari data yang tercatat, jumlah balita tunanetra yang pernah datang ke PPTLV kurang lebih 143 anak, dan yang rutin datang untuk terapi ada 71 orang. Terkait dengan perubahan sikap orangtua setelah menonton film yang menginspirasi tentang kehidupan Helen Keller sebagai anak tunanetra yang sukses, penulis tertarik meneliti secara ilmiah mengenai fenomena tersebut dengan judul penelitian “Pengaruh Film Helen Keller

Terhadap Optimisme Orangtua yang Memiliki Anak Tunanetra”.

Beberapa alasan sederhana yang mendasari penulis meneliti hal ini ialah

1. Penelitian terhadap orangtua yang memiliki anak tunanetra dalam disiplin ilmu Pendidikan Khusus (Special Education) masih tergolong jarang.

2. Penelitian dilakukan terhadap orangtua sebab peneliti menganggap orangtua adalah lingkungan pertama dan terdekat bagi anak yang berperan mengembangkan potensi dan membentuk kepribadian anak tunanetra, namun di sisi lain orantua juga harus menghadapi masalah terutama dari dalam dirinya sendiri.

(12)

4. Fenomena yang diceritakan Ibu Desi perlu dibuktikan secara ilmiah. Selain itu diperoleh juga fenomena bahwa beberapa orangtua yang anaknya lahir dan menjadi tunanetra mengaku belum pernah menonton film Helen Keller, sekalipun anaknya sudah bersekolah.

5. Orangtua sulit memahami informasi dan materi secara Teoretis melalui ceramah atau nasehat karena sifatnya abstrak.

B. Identifikasi Masalah

Masalah-masalah yang mungkin muncul dan teridentifikasi berdasarkan latar belakang yang terurai di atas, yaitu:

1. Film Helen Keller relatif jarang digunakan sebagai media untuk menyampaikan informasi kepada orangtua yang mempunyai anak tunanetra.

2. Pengetahuan orangtua yang masih minim mengenai cara mengasuh dan melayani anak yang tunanetra dengan tepat.

3. Sarana yang dimiliki orangtua untuk melayani anaknya yang tunanetra

secara proporsional masih terbatas.

4. Orangtua kurang menyadari dampak yang bisa ditimbulkan dari pemahaman yang kurang tepat mengenai kondisi anak tunanetra.

5. Instruktur memerlukan metode yang lebih efektif selain metode ceramah untuk menyapaikan informasi yang tepat tentang ketunanetraan seorang anak pada setiap orangtua .

(13)

C. Batasan Masalah

Masalah-masalah yang teridentifikasi muncul dalam berbagai aspek, maka guna memperkecil pembiasan topik pada penelitan ini, penulis memberi batasan masalah, sebagai berikut:

1. Pengunaan film Helen Keller sebagai media untuk menyampaikan informasi.

2. Optimisme orangtua yang memiliki anak tunanetra usia 0 tahun sampai dengan usia sekolah dasar.

D. Rumusan Masalah

Masalah-masalah yang telah terurai dapat disederhanakan dalam rumusan masalah, yaitu “Apakah cerita film Helen Keller berpengaruh terhadap optimisme orangtua yang memiliki anak tunanetra?”.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan

Setiap tindakan tentu memiliki tujuan, begitu pula dengan penelitian ini. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media film Helen Keller terhadap optimisme Orangtua yang memiliki anak tunanetra. Optimisme orangtua itu senderi akan menentukan mengenai bagaimana Orangtua menyikapi kondisi dan kebutuhan khusus anaknya sesuai dengan potensi yang dimiliki pada anak

dan sumber daya orangtua.

Secara khusus penelitian ini bertujuan menumbuhkan optimisme orangtua khususnya ibu, terkait dengan kondisi anaknya yang tunanetra, agar memahami kondisi ketunanetraan anaknya.

2. Kegunaan

(14)

a. Kegunaan Teoretis.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran ilmiah serta bahan kajian bagi para pembaca khususnya yang concern dan bergerak di bidang ilmu pendidikan khusus. Penelitian ini juga diharapkan untuk mengetahui dan mengukur reaksi atau respon orangtua yang pertama kali memiliki anak tunanetra, dan seperti apa pengaruh film Helen Keller terhadap optimisme tersebut.

b. Kegunaan Praktis.

1) Penelitian ini diharapkan berguna untuk instruktur dan guru yang sedang menghadapi orangtua dari anak tunanetra yang kurang kooperatif dan kurang terbuka dalam proses terapi anaknya. Guru atau insruktur dapat menggunakan media film Helen Keller untuk menyamakan persepsi dengan orangtua mengenai cara mengasuh anak tunanetra. Sehingga setelah itu diharapkan orangtua lebih kooperatif.

2) Bagi lembaga atau instansi atau pemerhati masalah orangtua

dengan anak tunanetra, penelitian ini dapat dijadikan salah satu strategi dalam metode penyuluhan kepada orangtua, untuk pemerhati anak tunanetra atau ABK lainnya dan untuk para guru di sekolah yang memiliki siswa tunanetra.

3) Bagi Peneliti, agar dapat mengetahui secara ilmiah dampak menonton film Helen Keller terhadap optimisme orangtua yang memiliki anak tunanetra.

(15)

F. Variabel Penelitian

Pada penelitian ini, terdapat dua variabel yaitu satu variabel bebas dan satu variabel lain adalah variabel terikat. Menurut Arikunto (2006: 91), variabel penelitian adalah objek penelitian atau apa yang menjadi perhatian suatu penelitian. Variabel penelitian dapat berupa kondisi-kondisi atau karakteristik-karakteristik yang oleh pengeksperimen dimanipulasikan, dikontrol atau diobservasi.

1. Variabel Bebas

Sugiyono (2010 :61) menyatakan bahwa “variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variable terikat”. Dengan demikian variabel bebas dapat diartikan sebagai fokus penelitian yang menyebabkan perubahan atau pengaruh pada variabel terikat.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah film Helen Keller, yaitu salah satu bentuk media/sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi dalam bentuk kombinasi audio-visual dan gerak yang menunjukkan rangkaian kehidupan masa kecil Helen Keller. Film tersebut mengandung inspirasi untuk ibu sehingga dapat menggugah dan mempengaruhi cara pandang serta sikap orangtua supaya menjadi lebih positif terhadap kondisi anaknya.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variable bebas (Sugiyono,2010:61). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah optimisme orangtua yaitu ibu dari anak tunanetra. Optimisme sendiri Secara

konseptual adalah sikap atau cara pandang individu dalam menghadapi keadaan, baik keadaan yang baik (good situation)

(16)

berhubungan dengan hambatan atau ketidakberfungsian indera penglihatan anaknya sendiri.

G. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan pengaruh dari suatu intervensi berupa film Helen Keler terhadap optimisme orangtua yang memiliki anak tunanetra. Rancangan penelitian ini adalah menggunakan pendekatdan Pre-Experimental Design. Menurut Sugiyono (2010: 109) Dikatakan pre-experimental design, karena desain ini belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh. Mengapa? Karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen.” Pada desain ini tidak terdapat variabel /kelompok kontrol, sampel juga tidak dipilih dengan cara acak penuh tetapi menggunakan acak sederhana dengan undian.

Model Pre-experimental design yang dipilih dalam penelitian ini adalah One Group Design Pretest-Postest.Yaitu suatu desain penelitian yang menggunakan pretest-posttest dimana kelompok eksperimen (populasi) tidak dipilih secara random atau acak (ditentukan).

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner mengenai optimisme yang dimana alat ukur optimisme ini merupakan modifikasi dari Attributional Style Questionaire (ASQ) yang dibuat oleh Seligman (1990: 32-39). Intervensi yang diberikan berupa media film

tentang kehidupan seorang anak tunanetra dan sampel penelitian ini adalah ibu dari anak tunanetra berjumlah delapan orang.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 8

(17)

3. Alat Ukur

Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner mengenai optimisme yang dimana alat ukur optimisme ini

merupakan modifikasi dari Attributional Style Questionaire (ASQ) yang dibuat oleh Seligman. Dalam bukunya Learned Optimism, Seligman menyusun kuesioner ASQ dalam 48 item pertanyaan dengan pilihan jawaban “A” dan “B”, kedua pilihan jawaban itu mewakili dua kondisi baik dan kondisi buruk sesuai indikator yanghendak diuk.

4. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena salah satu tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang telah dimodifikasi dari ASQ (attributional Style Questoonaire) yang diberikan pada ibu-ibu yang memiliki anak tunanetra di PPTLV dan di SLBN A Kota Bandung. Data yang telah terkumpul dari hasil penilaian kuesioner kemudian dijadikan sebagai data awal atau pretes mengenai kondisi optimisme orangtua yang memiliki anak tunanetra sebelum menonton film Helen Keller. Selang beberapa hari dari pretes tersebut, orangtua yang memiliki anak tunanetra diberi perlakuan (intervensi) berupa pemutaran film Helen Keller dan menonton secara bersama-sama di dalam suatu ruangan. Dua hingga tiga hari usai menonton film Helen Keller, kedelapan subjek kembali diberikan tes dengan kuesioner yang serupa sebagai data postes. Skor dari alat ukur Attributional Style

(18)
(19)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel Penelitian

Pada penelitian ini, terdapat dua variabel yaitu satu variabel bebas dan satu variabel lain adalah variabel terikat. Menurut Arikunto (2010: 91), variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Objek penelitian inilah yang menjadi fokus penelitian. Objek penelitian dapat berupa benda mati atau benda hidup. Objek penelitian yang berupa makhluk hidup disebut subjek penelitian.

1. Variabel Bebas

Sugiyono (2010: 61) menyatakan bahwa “variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya

atau timbulnya variable terikat”. Dengan demikian variabel bebas dapat

diartikan sebagai fokus penelitian yang menyebabkan perubahan atau pengaruh pada variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah film Helen Keller, yaitu salah satu bentuk media/sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi dalam bentuk kombinasi audio-visual dan gerak yang menunjukkan rangkaian kehidupan masa kecil Helen Keller, dan film tersebut mengandung inspirasi untuk menggugah sehingga dapat mempengaruhi cara pandang ibu dan menumbuhkan sikap optimis terhadap kondisi anaknya yang tunanetra.

2. Variabel Terikat

(20)

optimisme di atas, maka definisi optimisme orangtua yang memiliki anak tunanetra dapat diartikan sebagaicara pandang orangtua mengenai berbagai hal yang baik dan tidak baik berhubungan dengan hambatan atau ketidakberfungsian indera penglihatan anaknya sendiri.

3. Definisi Operasional Variabel

Optimisme orangtua yang memiliki anak tunanetra merupakan sikap atau cara pandang orangtua yang memiliki anak tunanetra, khususnya ibu dalam menghadapi suatu kondisi yang baik (good situation) atau kondisi yang buruk (bad situation) terkait hambatan-hambatan dan kebutuhan khusus yang muncul dari kondisi ketunanetaan anaknya, sikap tersebut ditunjukkan dalam kebiasaan ibu yang memiliki anak tunanetra memandang suatu kondisi tertentu (good situation/bad situation), yang mencakup dalam tiga dimensi, yaitu:

a. Permanence.

Dimensi permanence merupakan cara pandang ibu terhadap kondisi baik (good situation) atau kondisi buruk (bad situation) yang terjadi pada anaknya yang tunanetra, apakah hal itu berlangsung selamanya (permanence) atau sementara (temporary).

b. Pervassiveness.

Dimensi yang kedua ini merupakan cara pandang ibu dalam melihat

kondisi yang baik (good situation) atau kondisi buruk (bad situation) yang terjadi pada anaknya yang tunanetra, apakah meliputi seluruh aspek kehidupannya (universal) atau sebagian kecil dari kehidupannya (spesifik).

c. Personalization.

Dimensi yang terakhir adalah personalization, yaitu cara pandang ibu terhadap kondisi baik (good situation) atau kondisi buruk (bad situation) yang dialami anaknya, apakah disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) atau faktor di luar dirinya (external)

(21)

seluruh kejadian–kejadian atau aspek–aspek kehidupannya dan disebabkan oleh dirinya sendiri. Sedangkan keadaan yang buruk (bad situation) yang terjadi pada anaknya yang tunanetra dipandang sebagai sesuatu yang bersifat sementara, hanya terjadi pada keadaan–keadaan atau aspek–aspek tertentu saja, dan penyebabnya adalah lingkungan di luar dirinya, seperti orang lain atau keadaan yang tidak menguntungkan. Sebaliknya orangtua dari anak tunanetra yang pesimis memiliki kebiasaan untuk memandang keadaan yang baik (good situation) yang terjadi pada anaknya yang tunanetra sebagai sesuatu yang bersifat sementara, hanya terjadi pada kejadian–kejadian atau aspek–aspek tertentu saja dan disebabkan oleh lingkungan di luar dirinya. Sedangkan keadaan yang buruk (bad situation) yang terjadi pada anaknya yang tunanetra dipandang sebagai suatu keadaan yang bersifat menetap, terjadi pada setiap keadaan yang terjadi di dalam kehidupannya dan disebabkan oleh dirinya sendiri.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan pengaruh dari suatu intervensi yang berupa film Helen Keller terhadap optimisme orangtua yang memiliki anak tunanetra. Rancangan penelitian ini adalah menggunakan pendekatan Pre-Experimental Design dengan model one group pretest-postest. Menurut Sugiyono (2010: 109) “Dikatakan pre-experimental design, karena desain ini belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh. Mengapa? Karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap

terbentuknya variabel dependen.” Desain one group design pretest-postest

yaitu suatu desain penelitian yang menggunakan pretest-posttest dimana hanya terdapat satu kelompok eksperimen dan tidak memiliki kelompok kontrol. Seluruh subjek dalam penelitian ini menjadi sampel serta dipilih secara acak sederhana (simple random sampling).

(22)

yang diberikan berupa media film tentang kehidupan seorang anak tunanetra dan sampel penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak tunanetra yang bersekolah di SLBN A Kota Bandung dan ada pula dari orangtua yang anaknya mengikuti terapi di PPTLV.

C. Alat Ukur

1. Alat Ukur

Optimisme orangtua yang mempunyai anak tunanetra merupakan variabel terikat yang akan diukur oleh peneliti. peneliti menggunakan alat ukur yang diterjemahkan dan dimodifikasi dari alat ukur yang dibuat oleh Martin E.P Seligman. Alat ukur tersebut adalah Attributional Style Questionaire (ASQ (seligman, 1990: 32-39) . ASQ yang telah peneliti modifikasi sesuai kebutuhan di lapangan kemudian diberikan judgment experts oleh tiga orang experts. ASQ ini merupakan alat ukur optimisme yang dibuat berdasarkan keadaan yang baik (good situation) dan keadaan yang buruk (bad situation) serta dikaitkan dengan tiga dimensi optimisme, yaitu permanence, pervasiveness dan personalization.

Tes ini terdiri dari 48 item yang masing–masing terdiri dari dua pernyataan, dimana untuk setiap nomornya subjek diminta untuk memilih salah satu jawaban. Karena itu berdasarkan metode menjawabnya, kuesioner ini tergolong kedalam tipe “forced-choiced” dan jawabannya bersifat tertutup. Ke–48 item tersebut dibuat berdasarkan 2 (dua) karakter

situasi yaitu situasi yang baik (good situation) dan situasi yang buruk (bad situation). Masing-masing situasi tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) dimensi optimisme, yaitu permanence, pervasiveness dan personalization. Sehingga didapatkan 6 (enam) aspek yang kemudian diturunkan ke dalam pernyataan–pernyataan atau item–item. Keenam aspek tersebut adalah sebagai berikut:

(23)

2. Permanence Good (PmG) yang menyatakan bahwa keadaan yang baik (good situation) akan menetap atau sementara. Aspek ini diukur oleh item–item No: 2, 10, 14, 15, 24, 26, 38 dan 40.

3. Pervasive Bad (PvB) yang menyatakan bahwa keadaan yang buruk (bad situation) hanya terjadi pada kejadian–kejadian tertentu saja atau pada semua hal. Aspek ini diukur oleh item–item No: 8, 16, 17, 18, 22, 32, 44 dan 48.

4. Pervasive Good (PvG) yang menyatakan bahwa keadaan yang baik (good situation) hanya terjadi pada kejadian–kejadian tertentu saja atau pada semua hal. Aspek ini diukur oleh item–item No: 6, 7, 28, 31, 34, 35, 37 dan 43.

5. Personalization Bad (PsB) yang menyatakan bahwa keadaan yang buruk (bad situation) disebabkan oleh diri sendiri atau oleh hal–hal di luar diri sendiri. Aspek ini diwakili oleh item–item No: 3, 9, 19, 25, 30, 39, 41 dan 47.

6. Personalization Good (PsG) yang menyatakan bahwa keadaan yang

baik (good situation) disebabkan oleh diri sendiri atau oleh hal–hal di luar diri sendiri. Aspek ini diwakili oleh item–item No: 1, 4, 11, 12, 23, 27, 36 dan 45.

(24)

Tabel 3.1 Bentuk ItemItem

Sistem penilaian kuesioner ini adalah jawaban dari setiap responden dinilai sesuai dengan skor setiap pilihan jawaban untuk setiap item,

sehingga diperoleh jumlah skor total. Pernyataan A untuk item yang menunjang aspek PmB, PvB dan PsB akan mendapat nilai 1, tapi jika

(25)

PmB, PvB, dan PsB, tiap aspek dinilai optimis jika skornya lebih kecil dari atau sama dengan 4, dan dinilai pesimis apabila skornya lebih besar dari 4. Kriteria tersebut digambarkan melalui kriteria di bawah ini:

PmG = PvG = PsG

Penelitian ini menggunakan objek peneilitian berupa makhluk hidup, oleh karena itu objek penelitian ini kita sebut sebagai “subjek penelitian”. Subjek penelitian merupakan fokus utama dari suatu penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak tunanetra yang bersekolah di SLBN A Kota Bandung. Adapun kriteria yang harus dipenuhi subjek penelitian adalah sebagai berikut:

1. Memiliki anak tunanetra dengan usia 0 tahun sampai dengan usia sekolah dasar

2. Memiliki anak tunanetra yang mengikuti terapi di PPTLV dan atau bersekolah di SLBN A Kota Bandung pada tingkat dasar

3. Dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tulisan

4. Bersedia mengisi/menjawab kuesioner sebelum dan sesudah intervensi 5. Mengikuti sesi intervensi, yaitu menonton film Helen Keller

bersama-sama (ibu-ibu)

6. Mengisi kuesioner untuk data pretest dan postest

E. Populasi dan Teknik Pemilihan Sampel

1. Populasi

(26)

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010: 117). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi ialah ibu-ibu yang memiliki anak tunanetra dan anaknya bersekolah di SLBN A Kota Bandung dan sebagian lagi adalah orangtua yang anaknya mengikuti layanan terapi di PPTLV. Ibu-ibu yang menjadi populasi adalah orangtua yang pertama kali menghadapi atau memiliki anak tunanetra. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 21 orang.

2. Teknik Pemilihan Sampel

Teknik pemilihan sampel yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah probability sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel dari suatu populasi yang setiap anggota populasi tersebut memiiliki peluang yang sama untuk dipilih menjadi kelompok sampel. Menurut Sugiyono (2010: 120) “Probability sampling adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.” Jenis probability sampling yang peneliti gunakan

dalam penelitian ini ialah simple random sampling, yakni memilih anggota sampel dengan cara acak sederhana. Dianggap sederhana karena peneliti

menganggap bahwa anggota populasi relatif homogen (sama). Dan dengan mempertimbangkan jumlah populasi terbatas hanya 21orang, maka jumlah sampel yang dianggap representatif mewakili populasi berjumlah delapan orang. Kedelapan orang sampel tersebut dijabarkan sebagai berikut :

1. Nama :HC

Usia : 35 tahun Pend. Terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Anak tunanetra sejak : lahir

2. Nama :IM

Usia : 33 tahun Pend. Terakhir : Lain-lain

(27)

3. Nama : IL Usia : 50 tahun Pend. Terakhir : Lain-lain

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Anak tunanetra sejak : bayi

4. Nama : My

Usia : 32 tahun Pend. Terakhir : SMP

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Anak tunanetra sejak : lahir

5. Nama : SA

Usia : 24 tahun Pend. Terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Anak tunanetra sejak : lahir

6. Nama : S

Usia : 28 tahun Pend. Terakhir : -

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Anak tunanetra sejak : lahir

7. Nama :TS

Usia : 31 tahun Pend. Terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Anak tunanetra sejak : lahir

8. Nama :Y

Usia : 39 tahun Pend. Terakhir : Akademi

(28)

F. Teknik Pengolahan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dalam penelitian dikumpulkan melalui metode angket yang didalamnya terdapat kuesioner. Metode ini dipilih karena dianggap paling sesuai dengan rancangan penelitian yang dibuat yaitu pretest-postest one group design. Dalam rancangan penelitian terdapat istilah pretest-postest yang menunjukkan data diperoleh melalui tes (kuesioner) sebelum dan sesudah diberikan perlakuan (intervensi). Kuesioner yang digunakan untuk memperoleh data Pretestt dan postest adalah sama, bernama Attributional Style Questionaire (ASQ).. Penelitian ini menggunakan ASQ yang telah dimodifikasi sesuai kebutuhan dan telahdiberikan judgment experts.

Setelah sampel mengisi kuesioner sebagai pretest, seminggu kemudian sampel diberi perlakuan (intervensi) berupa menonton bersama film Helen Keller. Intervensi ini mengambil tempat di aula YPWG di kompleks PSBN Wyata Guna. Kemudian postest dilakukan dengan pengisian kuesioner kembali olehsubjek penelitian. Peneliti tidak memberikan intervensi lain selain pemutaran film Helen Keller.

2. Tes Wilcoxon

Data hasil pretest-postest ASQ diukur dengan cara membandingkan skor ASQ sebelum diberi perlakuan dan sesudah diberi perlakuan. Teknik pengukuran dilakukan dengan uji statistika non-parametrik, yaitu Wilcoxon Test. Tes Wilcoxon bertujuan untuk melihat

apakah terjadi peningkatan atau tidak pada optimisme orangtua yaitu ibu dari anak tunanetra setelah diberi perlakuan berupa media film Helen

Keller.

(29)

digunakan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut: Pertama, jika jumlah sampel kecil dan distribusinya tidak mengikuti sebaran normal dan tidak menggambarkan distribusi populasi dari mana sampelnya diambil. Kedua, apabila menggunakan rank data atau ordinal dan data nominal. Ketiga, yakni apabila data berjenis nominal dan ordinal tidak menyebar secara normal dan dilihat dari segi data, pada dasarnya data ini berjumlah kecil yaitu kurang dari 30 data.

Keunggulan dari statistika non-parametrik dibandingkan statistika parametrik adalah asumsi-asumsi uji statistika non-parametrik lebih tinggi untuk jumlah sampel yang sedikit (kurang dari 30) dan dapat diterapkan apabila peneliti menghadapi keterbatasan data yang tersedia. Sedangkan kekurangan dari statistika non-parametrik dibandingkan statistika parametrik adalah apabila asumsi-asumsi uji statistika parametrik terpenuhi, maka penggunaan uji statistika non-parametrik meskipun lebih cepat dan sederhana akan tetapi menyebabkan pemborosan informasi, statistika non-parametrik cenderung kurang kuat

dalam menolak H0 dibandingkan dengan statistika parametrik dan apabila jumlah sampel besar maka tingkat efisiensi metode non-parametrik ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan metode parametrik.

Tes Wilcoxon merupakan tes yang paling berguna bagi ilmuwan sosial, sebab dengan data tingkah laku maka peneliti dapat mengatakan

bahwa anggota manakah dalam suatu pasangan “yang lebih besar dari”

yaitu mengatakan tanda selisih observasi dalam setiap pasangan dan membuat ranghking selisih itu dalam urutan harga absolutnya. Artinya adalah Tes Wilcoxon ini dapat membuat penilaian mengenai “lebih besar dari” di antara dua performance dalam masing-masing pasangan dan dapat pula membuat penilaian antara dua skor yang berbeda yang muncul dari setiap pasangan.

Langkah-langkah yang dilalui dalam penggunaan tes Wilcoxon adalah sebagai berikut:

(30)

b. Mentabulasikan skor Pretest dan postest

c. Membuat tabel perhitungan skor Pretestt dan postest d. Menghitung selisih skor Pretestt dan postest

e. Menyusun rangking/peringkat

f. Membubuhkan pada setiap rangking tanda positif (+) atau negatif (-) ke dalam tabel

g. Menjumlahkan semua rangking bertanda positif (+) dan negatif (-) h. Untuk jumlah rangking yang didapat, maka diambil jumlah yang

paling kecil dari kedua kelompok rangking untuk menetapkan tanda (T)

i. Membandingkan nilai T yang diperoleh dengan T dari tabel nilai-nilai kritis T untuk uji Wilcoxon.

j. Menguji hipotesis dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:

H0 : ditolak jika Thitung lebih kecil atau sama Ttabel H0 : diterima jika Thitung lebih besar dari Ttabel

Adapun bentuk hipotesis statistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : Tidak terdapat peningkatan optimisme orangtua yang memiliki anak tunanetra setelah menonton media film Helen Keller.

H1 : Terdapat peningkatan optimisme orangtua dari anak tunanetra setelah menonton media film Helen Keller

G. Lokasi Penelitian

(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penerimaan seorang ibu (orangtua) terhadap kondisi anaknya yang tunanetra bukanlah merupakan hal yang mudah. Seorang ibu dengan anaknya yang tunanetra tidak hanya berjuang untuk memenuhi kebutuhan anaknya, namun mereka juga harus berjuang untuk menguatkan dirinya agar dapat benar-benar menerima kondisi anaknya. Meskipun bukan hal mudah, namun dengan cinta kasih dan niat ibadah untuk ikhlas mengasuh anak pasti akan ada petunjuk dan jalan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Pemutaran film Helen Keller untuk Ibu-ibu yang memiliki anak tunanetra telah memberi kesan positif pada cara pandang orangtua terhadap ketunanetraan anaknya. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa informasi mengenai ketunanetraan sangat penting bagi orangtua dalam melewati fase-fase penerimaan orangtua terhadap ABK

(32)

B. Saran

Pengalaman dan pembelajaran yang diperoleh dalam setiap penelitian tentu sangat banyak, namun tidak semuanya dapat disampaikan karena terbatasnya kemampuan ruang, waktu, dan tenaga. Walau demikian, bukan berarti penelitian ini terbatas sampai di sini. Masih banyak hal yang dapat digali baik dari data yang diperoleh maupun langsung dari lapangan/lokasi penelitian itu sendiri. Berikut ini beberapa hal yang dapat peneliti sampaikan sebagai saran bagi penelitian selanjutnya :

1. Tingkatkan kualitas kuesioner dengan meningkatkan redaksi (pemilihan kata) pada tiap item dan tingkatkan keakuratan pilhan jawaban, konsultasikan hasil modifikasi ASQ pada lebih banyak ahli.

2. Bagi Anda yang tunanetra, low vision, atau memiliki gangguan penglihatan tertentu, bila menggunakan teknik pengumpulan data sejenis, sebaiknya pengujian data dilakukan secara kualitatif, karena akan lebih mudah Anda melakukan analisis, namun tidak mengurangi makna dari data yang diperoleh.

3. Media film yang digunakan tidak hanya satu, tetapi film atau video tersebut mengandung informasi yang berhubungan dengan kebutuhan dan kondisi subjek penelitian.

4. Lakukan penelitian Anda dengan niat ibadah dan menjadi manfaat bagi sesama. Persembahkan semua proses dan hasil penelitian kepada Tuhan. 5. Bagi instansi atau pihak yang ingin memberikan penyuluhan/motivasi

(33)

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Hosni, I. (2003). Pembelajaran Adaptif untuk SLB. Jakarta: Direktorat PLB.

Ikhtiari, T. (2006) Aku Terlahir 500 Gram dan Buta. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Intan, P. S. (2010). Penerimaan Orangtua Terhadap Kondisi Anak Mereka yang Autis. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (Skripsi).

Nawawi A. (2012) Penggunaan Media Audio “Kotak Orientasi” Sebagai Alat Bantu Latihan Orientasi pada Tunanetra . Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (tesis).

Satriadi S. (2012). Peranan Support Family Psychoeducation Program (SFPP) for Patient Stroke Terhadap Tingkat Optimisme pada Keluarga dan Pasien Stroke Pasca Pensiun. Bandung : Universitas Kristen Maranatha (Tesis) Seligman, Martin E. P. (1990). Learned Optimism. New York : Pocket Books.

Seligman, Martin E. P. (2008). Mengistall Optimisme. Bandung: Momentum.

Smith, M.B., Ittenbach, R.F.,Patton, J.R (2002). Mental Retardation Sixth Edition. New Jersey. Merrill Prentice Hall.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kuaitatif dan R&D. Jakarta: Alfabeta.

Sudjana, N. (2001). Metode Statistika. Bandung: Tarsito

Susilana R & Riyana C, (2008). Media Pembelajaran, Bandung : jurusan Kurikulum dan teknologi Pendidikan, FIP, UPI.

Syaripudin T., Kurniasih (2009) Pedagogik Teoretis dan Sistematis. Bandung : Percikan Ilmu.

Tarsidi D. (2009). Kompilasi Bahan Kuliah Pendidikan Tunanetra I . Bandung.

Gambar

Tabel 3.1    Bentuk Item–Item

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pelaksanaan pendidikan khusus ini khususnya pada Sekolah Luar Biasa Negeri di Kota Medan, sikap dari pelaksana dalam hal ini adalah organisasi sekolah

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian deskriptif cross-sectional yang dilakukan dengan menggunakan data dari siswa-siswi Sekolah Luar Biasa Negeri A Bandung tahun

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa

IBU DARI ANAK PENYANDANG AUTIS DI LINGKUNGAN KELUARGA (Studi Pada Ibu yang Memiliki Anak Autis yang Bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) Autisme River

Sekolah Luar Biasa negeri ini memiliki keadaan ruang kelas pada sekolah tersebut terbilang mirip dengan kelas pada sekolah regular, membuat kurangnya efisiensi belajar

Penelitian mengenai masalah bimbingan keagamaan Islam bagi penyandang autisme di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Semarang, telah dibahas oleh beberapa

Proses Pembelajaran tari Puspanjali lewat rangsang tari kinestetik bagi anak berkebutuhan khusus (tunarungu) di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Bangli dengan

1 Metode yang digunakan dalam penerapan menghafal Alquran pada anak tunanetra di sekolah luar biasa SLB-A taman pendidikan dan asuhan TPA Jember tahun pelajaran 2017/2018 a