• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental di Lingkungan Sekolah Luar Biasa "X" Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Psychological Well-Being pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental di Lingkungan Sekolah Luar Biasa "X" Kota Bandung."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” Kota Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penarikan sampel menggunakan teknik purposive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 33 orang.

Alat ukur yang digunakan merupakan Scale of Psychological Well-Being dari Carol Ryff (1989) yang terdiri atas 54 item. Untuk mengukur validitas menggunakan content validity yang diuji menggunakkan panel expert. Reliabilitas alat ukur diukur menggunakan alpha cronbach dan diperoleh reliabilitas yaitu 0.980.

(2)

v Abstract

This research was conducted to obtain an overview of the Psychological Well-Being in mothers of children with mental retardation in s achool environment exceptional “X” Bandung. The method used in this research is descriptive method. Sampling using purposive sampling technique, with a sample size of 33 people.

Measuring instruments used is the scale of psychological well-being of Carol Ryff (1988) which consisted of 54 items. To measure the validity of using content validity of using content validity were tasted using expert panel. The reability of measuring using Cronbach Alpha reliability is 0.980.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

COVER ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR ORISINILITAS ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Identifikasi Masalah ... 11

1.3Maksud dan Tujuan ... 11

1.3.1 Maksud ... 11

1.3.2 Tujuan ... 12

1.4Kegunaan Penelitian ... 12

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 12

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 12

(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Psychological Well-Being ... 29

2.1.1 Definisi Psychological Well-Being ... 29

2.1.2 Dimensi-Dimensi Psychological Well-Being... 33

2.1.2.1 Self-Aceeptance ... 33

2.1.2.2 Positive Relation With Others ... 34

2.1.2.3 Autonomy ... 35

2.1.2.4 Enviromental Mastery ... 35

2.1.2.5 Purpose In Life ... 36

2.1.2.6 Personal Growth... 37

2.1.3 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being .. 39

2.1.3.1 Faktor Sosiodemografi ... 39

2.1.3.2 Dukungan Sosial ... 40

2.1.3.3 Big-Five Trait Taxonomy ... 42

2.2 Perkembangan Psikologi Manusia ... 49

2.2.1 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perkembangan ... 51

2.2.2 Aspek-Aspek Perkembangan Manusia ... 52

2.2.2.1 Perkembangan Kognitif ... 52

2.2.2.2 Teori Penalaran Moral Kohlberg... 54

2.2.2.3 Teori Psikososial ... 55

2.2.2.4 Perkembangan Psikoseksual ... 58

2.3 Retardasi Mental ... 59

(5)

2.3.2 Epidemiologi ... 61

2.3.3 Etiologi ... 61

2.3.4 Diagnosis ... 63

2.3.5 Ciri-Ciri Tingkatan Retardasi Mental ... 64

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1Rancangan Penelitian ... 68

3.2Bagan Rancangan Penelitian ... 68

3.3Variabel Penelitian, Definisi Konseptual & Definisi Operasional ... 69

3.3.1 Variabel Penelitian ... 69

3.3.2 Definisi Konseptual ... 69

3.3.3 Definisi Operasional ... 69

3.4Alat Ukur... 71

3.4.1 Prosedur Pengisian Kuesioner ... 72

3.4.2 Data Penunjang & Data Personal ... 73

3.5 Validitas Alat Ukur ... 73

3.6 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 73

3.6.1 Populasi Sasaran ... 73

3.6.2 Karakteristik Populasi ... 74

3.6.3 Karakteristik Penarikan Sampel ... 74

(6)

4.1 Gambaran Responden ... 75

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 75

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Status Perkawinan... 76

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Pendidikan ... 76

4.1.4 Gambaran Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 77

4.2 Hasil Penelitian ... 78

4.2.1 Gambaran Psychological Well-Being (PWB) Responden ... 78

4.2.2 Gambaran Tabulasi Silang PWB dengan Self-Acceptance ... 79

4.2.3 Tabulasi Silang PWB dengan Positive Relation with Others ... 80

4.2.4 Tabulasi Silang PWB dengan Autonomy ... 81

4.2.5 Tabulasi Silang PWB dengan Enviromental Mastery... 82

4.2.6 Tabulasi Silang PWB dengan Purpose In Life... 83

4.2.7 Tabulasi Silang PWB dengan Personal Growth ... 83

4.3 Pembahasan Hasil ... 84

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 101

5.2 Saran Teoritis ... 102

(7)

DAFTAR PUSTAKA ... 104

DAFTAR RUJUKAN ... 106

(8)

Tabel 3.1 Tabel Skor Pilihan Jawaban ... 71

Tabel 4.1 Tabel Klasifikasi Responden Berdasarkan Usia ... 75

Tabel 4.2 Tabel Klasifikasi Responden Berdasarkan Status Perkawinan ... 76

Tabel 4.3 Tabel Klasifikasi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 76

Tabel 4.4 Tabel Klasifikasi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 77

Tabel 4.5 Tabel Distribusi Frekuensi PWB ... 78

Tabel 4.6 Tabel Tabulasi Silang PWB dengan Self-Acceptance... 79

Tabel 4.7 Tabel Tabulasi Silang PWB dengan Positive Relation With Others 80 Tabel 4.8 Tabel Tabulasi Silang PWB dengan Dimensi Autonomy ... 81

Tabel 4.9 Tabel Tabulasi Silang PWB dengan Enviromental Mastery ... 82

Tabel 4.10 Tabel Tabulasi Silang PWB dengan Purpose in Life ... 83

(9)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.5.1 Skema Kerangka Pikir ... 27

(10)

Lampiran 1. Kisi-kisi alat ukur Psychological Well-Being

Lampiran 2. Kuesioner Psychological Well-Being

Lampiran 3. Profil Sekolah

Lampiran 4. Skor Total PWB dan Derajat Dimensi PWB

Lampiran 5. Hasil Perhitungan Tabulasi Silang

Lampiran 6. Data Mentah Trait

Lampiran 7. Data Mentah Kuesioner PWB

Lampiran 8. Surat Keterangan Pengambilan Data

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kelahiran seorang anak merupakan sebuah anugerah terindah bagi setiap

orangtua. Banyak orang berpendapat bahwa kehadiran anak dalam sebuah keluarga

merupakan hal yang sangat penting, karena bukan saja dapat menambah

keharmonisan pasangan suami istri, melainkan juga anak dapat menjadi penerus

generasi dalam keluarga. Oleh karena itu adalah hal yang sangat wajar jika orangtua

berharap agar anak yang mereka miliki sehat secara fisik maupun psikis ( F.

Mangunsong, 1998).

Saat-saat menegangkan dan menggembirakan dapat berubah menjadi kesedihan

juga kekecewaan, ketika orangtua melihat anaknya terlahir tidak sempurna layaknya

anak-anak pada umumnya (F. Mangunsong, 1998). Berbagai reaksi akan

dimunculkan oleh orangtua. Rasa tidak percaya, terkejut, bersedih, menangis, marah

bahkan hingga tidak menerima kenyataan, perasaan yang ingin menyangkal dan tidak

ingin mengakui kehadiran anaknya karena merasa malu.

Reaksi emosional yang dikatakan sangat wajar dirasakan oleh mereka para

orangtua yang mengalami kejadian tersebut, terutama ibu sebagai yang melahirkan,

(12)

(Semiawan dan Mangunsong, 2010). Namun tidak selalu reaksi emosional berakhir

pada hal yang buruk, banyak juga orangtua yang kemudian tetap berjuang untuk

menghidupi, mengasuh, dan membesarkan anaknya dengan segala keterbatasan yang

dimiliki anaknya.

Terdapat banyak anak yang lahir dengan “keistimewaan” atau cacat, salah

satunya adalah anak retardasi mental. Menurut AAMR (American Association on

Mental Retardation), yang dimaksud dengan anak retardasi mental adalah anak yang

menunjukkan adanya keterbatasan dalam fungsi, yang diantaranya mencakup fungsi

intelektual bawah rata-rata, berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari

keterampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial,

kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, dan waktu luang. Keadaan ini akan

tampak sebelum usia 18 tahun (W.F. Maramis,1995).

Pada data pokok Sekolah Luar Biasa di seluruh Indonesia (2013), dilihat dari

kelompok usia anak-anak, jumlah penduduk Indonesia yang menyandang retardasi

mental adalah 62.011 orang, 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan. Sebanyak

2,5% dari jumlah tersebut adalah anak yang menderita retardasi mental sangat berat /

profound ( IQ < 20 ), yang berarti secara praktis anak sangat terbatas kemampuannya

dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi. Umumnya anak sangat

terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal

yang sangat elementer. Sebanyak 2,8% anak dengan retardasi mental berat / severe (

(13)

3

mental sedang dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan

yang terkait. Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat ini biasanya

mengalami kerusakan motor yang bermakna atau adanya defisit neurologis (Sari

Pediatri, Vol. 2, No. 3, Desember 2000).

Sebanyak 2,6% anak dengan retardasi mental sedang / moderate / embisil ( IQ 36

51 ), kelompok ini dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih (trainable).

Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman dan

penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan

mengurus diri sendiri dan ketrampilan motor juga mengalami keterlambatan, dan

beberapa diantaranya membutuhkan pengawasan sepanjang hidupnya. Kemajuan di

sekolah terbatas, sebagian masih bisa belajar dasar-dasar membaca, menulis dan

berhitung (Sari Pediatri, Vol. 2, No. 3, Desember 2000).

Sebanyak 3,5% anak dengan retardasi mental ringan / moron / mild / debil ( IQ 52

67 ), kelompok ini dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dididik (educable).

Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu menguasainya untuk

keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik. Umumnya mereka juga

mampu mengurus diri sendiri secara independen (makan, mencuci, memakai baju,

mengontrol saluran cerna dan kandung kemih), meskipun tingkat perkembangannya

sedikit lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan utama biasanya terlihat pada

pekerjaan akademik sekolah, dan banyak yang bermasalah dalam membaca dan

(14)

akademik, mereka tidak ada masalah (Sari Pediatri, Vol. 2, No. 3, Desember 2000).

Lainnya adalah sebanyak 88,6% disebut dengan anak dungu ( IQ 68 – 85 ), pada

kelompok ini, umumnya mereka memiliki ciri beberapa kali tak naik kelas di SD

(Teguh.S,2013).

Menerima kehadiran anak tentunya memiliki dampak yang sangat signifikan pada

dinamika sebuah keluarga. Khususnya keluarga yang dikaruniai anak retardasi

mental, sudah tentu bukan merupakan hal yang mudah. Tidak dapat dipungkiri bahwa

keluarga tersebut akan mengalami perubahan yang lebih kompleks dan lebih berat

dalam merawat dan membesarkan anaknya. Setiap anak selalu membutuhkan ibu

sebagai pengasuh yang senantiasa membimbing dan mengarahkan anaknya, yaitu

karena anak akan terus belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan seluruh

proses belajar tersebut tidak dapat dilakukannya sendiri (Bowlby,1970). Sikap

menerima anak oleh orangtua terutama ibu akan membantu anak untuk dapat melihat

kelebihan dan potensi dibalik kekurangan yang dimilikinya, sehingga anak dapat

tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosialnya dapat diterima oleh lingkungan

sosialnya walaupun keadaan yang dihadapi berbeda dengan anak-anak pada

umumnya.

Sebagai yang melahirkan, seorang ibu tentunya memiliki hubungan yang lebih

dekat atau dikatakan sebagai sebuah ikatan batin yang kuat dengan sang anak.

Sebagai figur terdekat yang pada umumnya lebih banyak berinteraksi secara langsung

dengan anak meskipun dalam keterbatasannya, sehingga seorang ibu harus berusaha

(15)

5

Diperlukan penyesuaian lebih agar dapat menerima keadaan yang kemudian dapat

diterima di masyarakat.

Banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan seorang ibu yang memiliki anak

berkebutuhan khusus, khususnya ibu yang memiliki anak retardasi mental di sekolah

SLB “X” Bandung. Dengan kondisi juga latar belakang yang hampir sama, terdapat

banyak perbedaan akan perubahan dari penghayatan mereka dalam mengasuh

anaknya. Baik atau buruk perubahan yang terjadi semua itu tidak terlepas dari

pandangan juga penerimaan ibu terhadap keadaannya memiliki seorang anak

retardasi mental.

Pada kenyataannya, reaksi dan perlakuan ibu terhadap anaknya akan berbeda satu

dengan yang lainnya. Tergantung pada pandangan masing-masing ibu terhadap

kehadiran anaknya, ada yang memandang bahwa segala tekanan karena memiliki

anak retardasi mental masih bisa untuk diatasi, namun ada juga yang merasa bahwa

memiliki anak retardasi mental adalah sebuah beban bagi dirinya. Bahkan ada pula

orangtua yang merasa harga dirinya turun disebabkan oleh anak yang dimilikinya

mengalami retardasi mental dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan ( F.

Mangunsong, 1998).

Dalam kondisi anak yang tidak sempurna akan membuat anak semakin memiliki

ketergantungan dengan ibunya karena ketidakmampuannya dalam melakukan

aktivitasnya sendirian, hal ini merupakan hal yang tidak mudah untuk dijalani oleh

(16)

mendampingi juga membantu anaknya melakukan segala sesuatu dalam segala

aktivitas kesehariannya. Ibu adalah tempat dimana anak dapat memperoleh

perlindungan, rasa aman, kasih sayang, juga tumpuan masa depan anak

(http://www.kompasiana.com/atonimeto/kebutuhan-dasar-anak).

Cara yang sangat tepat untuk dilakukan seorang ibu adalah dengan tetap optimis,

ikhlas menerima keadaan sang anak, secara bertanggungjawab mengurus, mendidik,

merawat dengan penuh cinta dan kasih sayang dan mendampingi sang anak dengan

memberikan dukungan penuh dengan cara menyekolahkan anak demi masa

depannya. Tidak semua ibu bersikap demikian terhadap anaknya, masih banyak ibu

yang ternyata tidak mampu menerima anaknya dengan keikhlasan.

Salah satu Sekolah Luar Biasa yang berada di Kota Bandung sebut saja SLB “X”,

adalah suatu lembaga pendidikan yang melayani, mendidik dan membimbing anak

retardasi mental untuk dapat memelihara dirinya, membekali anak retardasi mental

dengan berbagai keterampilan sederhana. Tujuan SLB “X” Bandung adalah

membina, mendidik, dan memandirikan anak retardasi mental sehingga mampu

mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai pribadi maupun

sebagai anggota masyarakat, dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan

lingkungan sosial budaya dan alam sekitar, serta memiliki moral yang baik.

Menurut nara sumber yaitu kepala sekolah SLB “X” Bandung, sejak tahun 2001,

SLB “X” Kota Bandung menganut sistem pelayanan ruang sumber yaitu dimana

(17)

7

sumber belajar atau ruang mata pelajaran. Pelayanan model ruang sumber ini

menuntut lebih banyak guru mata pelajaran dan ruangan kelas sesuai dengan jumlah

mata pelajaran yang diajarkan. Dampak dari pelayanan model ini selain

meningkatkan profesional guru-guru mata pelajaran, bagi peserta didik / siswa

dengan berpindah-pindah ruang kelas secara tidak langsung merupakan terapi, dan

meningkatkan sosialisasinya.

Dalam kesehariannya, banyak interaksi yang dilakukan di sekolah SLB “X”

Bandung ini. Tidak hanya interaksi antara guru dengan siswa saja melainkan interaksi

antar guru dengan orangtua siswa dan interaksi antar sesama orangtua. Saling sharing

dan berbagi pengalaman satu sama lain dalam memahami anak. Banyak orangtua

yang mendampingi dan menunggui anaknya di sekolah sampai kegiatan belajar

mengajar selesai. Di SLB “X” Bandung ini juga tidak jarang mengadakan kegiatan

khusus antara guru bersama dengan orangtua yang bertujuan untuk mengevaluasi

kegiatan di sekolah juga kemajuan anak dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah

karena tidak dapat dipungkiri pentingnya peran orangtua dalam kegiatan belajar di

sekolah yang menyangkut dengan anak. Banyak anak yang karena kondisinya tidak

dapat melakukan segala kegiatannya sendiri, hal itulah yang membuat ibu harus

selalu sedia membantu dan mendampingi anaknya dimanapun anaknya berada.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang ibu yang menyekolahkan anaknya

di SLB “X” Kota Bandung. Sebanyak 46 % ibu pada awalnya merasa terkejut, sedih,

(18)

akhirnya seiring dengan berjalannya waktu, ibu dapat menerima dan menyesuaikan

dirinya dengan keadaan. Mereka tetap berusaha untuk mencari pengobatan bagi

anaknya, sehingga mereka dapat mengerti akan kebutuhan anaknya, berusaha

memahami maksud dari anak.

Sebanyak 45% ibu banyak mengeluhkan merasa kesulitan karena adanya

keterbatasan waktu untuk membawa anaknya terapi dan berobat sementara harus

mengurus anggota keluarga lainnya, sehingga mereka terkadang memilih untuk

meminta bantuan pada anggota keluarga lain untuk membantu mengurus anaknya,

kesulitan dalam merawat dan membesarkan anaknya karena adanya keterbatasan

biaya terhimpit perekonomian, merasa kecewa karena keadaan yang belum siap

menerima kenyataan. Ibu berhenti dari pekerjaannya karena tuntutan yang harus

selalu mendampingi anaknya sehingga tidak dapat membantu suaminya dalam

mencari biaya untuk kelangsungan hidupnya, sehingga ada ibu yang merasakan

bahwa segala hal yang dilakukan bagi anaknya merupakan sebuah keterpaksaan dan

memandangnya sebagai cobaan hidup hingga memandang anaknya sebagai aib bagi

keluarganya, bersikap acuh tak acuh dengan anaknya, ketika anak menangis hanya

dibiarkan tanpa ingin bertanya untuk mengetahui apa yang diinginkan oleh anaknya,

ibu tidak responsive terhadap anaknya.

Selain itu sisanya yaitu 9 % ibu dapat menerima dengan ikhlas ketika dirinya

mengetahui bahwa anak yang akan dilahirkannya tidak akan sempurna, merasa

(19)

9

merasakan perubahan yang terjadi dalam hidupnya bahwa kegiatan yang

dilakukannya akan sangat terbatas, tidak akan banyak kegiatan yang mampu

dilakukannya lagi sama seperti sebelum dirinya memiliki anak retardasi mental.

Segala hal yang telah dialami oleh ibu yang mempunyai anak berkebutuhan

khusus akan perubahan dalam hidup setelah memiliki anak berkebutuhan khusus,

kesulitan-kesulitan yang dialami oleh ibu akan mempengaruhi pada Psychological

Well-Being dalam dirinya. Psychological Well-Being sangat penting bagi ibu,

terutama bagi ibu yang memiliki anak retardasi mental karena dengan adanya

Psychological Well-Being ibu mampu merealisasikan diri untuk tetap bertumbuh

dengan mampu mengatasi setiap tantangan hidupnya dan mengoptimalkan

kehidupannya dalam memenuhi setiap kebutuhannya (Ryff & Singer, 2008).

Psychological Well-Being yang disingkat menjadi PWB (Ryff,1989), merupakan

kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat menerima diri apa adanya

(self-acceptance), menjalin hubungan hangat dengan orang lain (positive relation with

others), mandiri (autonomy), mampu mengontrol lingkungan eksternal

(environmental mastery), memiliki tujuan hidup (purpose in life), serta mampu

merealisasikan potensi dirinya secara continue (personal growth).

Ibu yang tidak menyalahkan dirinya sendiri atas keadaan, tidak merasa malu

memiliki anak “istimewa”, merasa bahwa dirinya menjadi orangtua pilihan yang

diberikan kesempatan merawat anak “istimewa” atau cacat, tetap mengasuh,

(20)

mendampingi anak termasuk dalam salah satu dimensi dalam PWB yaitu Self

acceptance. Kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa banyak ibu yang

memutuskan untuk memberikan pendidikan formal kepada anaknya dengan

menyekolahkan anaknya di salah satu Sekolah Luar Biasa menunjuk pada salah satu

dimensi PWB yaitu Purpose in life.

Kondisi ibu yang tidak lanjut berlarut terpuruk dalam keadaaan, yang kemudian

bangkit dengan menerima keadaan anaknya, berusaha untuk menjadi pribadi yang

lebih baik dari hari ke hari, menjadi sosok ibu yang mampu beralih dari kebiasaan

dan terbuka akan hal-hal baru menunjuk pada dimensi PWB yaitu Personal growth.

Keadaan ibu yang mampu melakukan interaksi dengan anak dan ibu-ibu lain yang

juga memiliki anak “istimewa” saling bertukar cerita dan informasi mengenai

keadaan anak menunjuk pada dimensi PWB yaitu positive relationship with others.

Pada keadaan ibu yang tidak pantang menyerah menjalani kehidupan setelah

memiliki anak retardasi mental, tidak mudah putus asa dalam merawat dan

membesarkan anaknya merupakan salah satu bentuk dari dimensi PWB yaitu

Environmental mastery. Keputusan yang diambil para ibu untuk menerima, mendidik, merawat dan juga dengan menyekolahkan anaknya di sekolah SLB “X” Bandung

merupakan salah satu bentuk dari dimensi PWB yaitu autonomy.

Bagaimana seorang ibu dapat ikhlas menerima anak dengan segala

keterbatasannya adalah tergantung dari PWB-nya. Ibu yang memiliki PWB tinggi

(21)

11

bahwa kehidupannya bermakna, sebaliknya ibu yang memiliki PWB rendah akan

memandang bahwa segala yang dialami dan dijalani dalam kehidupannya merupakan

beban sehingga ibu tidak mampu menemukan makna dalam kehidupannya.

Berdasarkan hasil survey terlihat bahwa derajat PWB pada ibu yang memiliki anak

retardasi mental berbeda-beda satu dengan yang lain, yang ditampilkan dalam

perilaku yang berbeda pula. Sehingga hal ini mendorong peneliti untuk meneliti lebih

lanjut mengenai PWB pada masing-masing ibu yang memiliki anak retardasi mental

di lingkungan SLB “X” Kota Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Ingin mengetahui PWB pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di

lingkungan SLB “X” Kota Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka penelitian ini bermaksud

untuk memperoleh gambaran umum mengenai PWB pada ibu yang memiliki anak

(22)

1.3.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

mengenai PWB pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di lingkungan SLB “X”

Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Adapun kegunaan teoritis penelitian ini adalah untuk:

1. Memperkaya penelitian Psikologi dan menambah khasanah wacana

Ilmu dan Pengetahuan baru dalam bidang Psikologi, terutama Positif

Psikologi yang dikaitkan dengan PWB.

2. Memberikan acuan bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut

mengenai PWB untuk dikaitkan dengan variabel lain.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Adapun kegunaan praktis penelitian ini adalah untuk:

1. Memberikan informasi kepada para ibu yang memiliki anak

retardasi mental untuk dapat mampu memaknai penghayatan

perannya sebagai seorang ibu dari anak retardasi mental

sehingga ibu dapat mampu menyesuaikan diri dengan kondisinya

(23)

13

2. Memberikan informasi kepada para ibu yang memiliki anak

retardasi mental untuk dapat terbuka terhadap hal-hal baru,

pengalaman baru, cara pandang baru dan dapat menjadi pedoman

para ibu yang memiliki anak retardasi mental dalam mendidik,

(24)

1.5 Kerangka Pikir

Anak retardasi mental merupakan anak yang dilahirkan dengan memiliki

keterbatasan, yang membutuhkan orang lain untuk mempertahankan kehidupan dan

mengembangkan dirinya. Pertolongan seorang ibu akan sangat diperlukan untuk

pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara psikis maupun fisik, karena

seorang ibu merupakan tempat dimana anak berkembang pada awal kelahirannya

sampai anak tumbuh dewasa. Maka tidak heran jika ibu merupakan orang yang

memiliki posisi paling baik dan memungkinkan untuk menjadi pengasuh utama

dalam kehidupan anaknya ( Schaffer, 1977, dalam Irene,2008).

Karakteristik seorang ibu dalam perkembangan usia dewasa sangat berkaitan

dengan fase dalam rentang kehidupannya setelah masa remaja. Dalam mencapai atau

menuntaskan tugas-tugas perkembangan usia dewasa, tidak sedikit yang mengalami

kegagalan, seperti tidak ada bimbingan untuk memahami dan menguasai tugas-tugas

perkembangan, tidak ada motivasi untuk berkembang kearah kedewasaan, mengalami

kesehatan yang buruk, cacat tubuh, dan tingkat kecerdasannya rendah.

Salah satu contoh dampak dari usia dewasa ini adalah karena banyaknya masalah

yang dihadapi dan tidak mampu mengatasinya, salah satunya adalah kesulitan yang

dialami setelah menikah. Unsur yang paling penting adalah mampu menuntaskan

tugas-tugas perkembangannya seperti pemantapan wawasan, sikap dan pengamalan

(25)

15

Psychological Well-Being (PWB) yang merupakan integrasi dari teori-teori

perkembangan manusia, teori psikologi klinis, dan konsep mengenai kesehatan

mental (Ryff 1989). Psychological well-being yang selanjutnya disingkat dengan

PWB menjelaskan istilah PWB sebagai keadaan di mana individu melihat dan

mengevaluasi kualitas diri dan hidupnya (Ryff, 1989). Untuk dapat mencapai PWB,

individu mengevaluasi keenam dimensi dari PWB yakni penerimaan diri

(self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positif relation with others),

otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup

(purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Dimensi self-acceptance mempunyai pengertian menerima diri apa adanya, maka

ibu yang memiliki anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X”

dimungkinkan untuk bersikap positif terhadap diri sendiri. Sikap positif selanjutnya

akan meningkatkan toleransi ibu akan frustasi dan berbagai kondisi yang tidak

menyenangkan termasuk keterbatasan diri tanpa merasa menyesal atau marah yang

mendalam. Ibu yang memiliki dimensi self-acceptance yang tinggi akan lebih mampu

menerima anak dengan segala kondisinya tanpa ada penyesalan dalam dirinya, ibu

akan lebih mampu merawat anaknya dengan ketulusan dan keikhlasan hati sehingga

anak dapat merasa nyaman bersama ibunya. Sebaliknya ibu yang memiliki dimensi

self-acceptance yang rendah cenderung akan sering mengeluh, menyalahkan orang

(26)

anaknya, juga cenderung berprilaku buruk terhadap anaknya seperti bertindak kasar

terhadap anak dan sebagainya.

Dimensi positif relation with others mempunyai pengertian ibu yang memiliki

anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” memiliki kemampuan

untuk membina hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya, saling

mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai ,

berempati, memiliki afeksi terhadap orang lain, serta mampu menjalin persahabatan

yang mendalam (Ryff, 1989). Ibu yang memiliki dimensi positif relation with others

yang tinggi akan mengikuti berbagai aktivitas diluar dirinya, peduli akan

kesejahteraan orang lain, senang mengikuti kegiatan sosial maupun pengembangan

hobi dalam kelompok. Sebaliknya ibu yang memiliki dimensi positif relation with

others yang rendah cenderung lebih bersikap diam, mengurung diri di rumah,

menutup diri dari lingkungan, tidak ingin melakukan kegiatan social, dan sebagainya.

Dimensi autonomy mempunyai arti kemandirian ibu yang memiliki anak retardasi

mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” dalam memutuskan dan mengatur

perilakunya sendiri yang bebas dari tekanan pihak manapun. Ibu yang memiliki

dimensi autonomy yang tinggi mampu mandiri dan dapat membuat keputusan sendiri,

dapat menolak tekanan dari lingkungan untuk berpikir dan bertingkah laku dengan

cara tertentu, mengatur perilakunya dari lingkungan untuk berpikir dan bertingkah

laku dengan cara tertentu, mengatur perilakunya dari dalam diri, mengevaluasi diri

(27)

17

terhadap dirinya. Sebaliknya, ibu yang memiliki dimensi autonomy yang rendah tidak

mampu memutuskan pilihan yang terbaik bagi dirinya sendiri, membutuhkan

pendapat orang lain dan bantuan dari orang lain.

Dimensi environmental mastery mempunyai arti ibu yang memiliki anak retardasi

mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” mampu memilih atau menciptakan

lingkungan yang sesuai dengan kondisinya, berpartisipasi dalam lingkungan diluar

dirinya, mengkontrol dan memanipulasi lingkungan yang kompleks, serta

kemampuan untuk mengambil keuntungan dan kesempatan dilingkungan. Ibu yang

memiliki dimensi environmental mastery yang tinggi mampu menghadapi berbagai

kejadian di luar dirinya dan mengaturnya sesuai dengan keadaan dirinya sendiri,

memiliki penguasaan dan kompetensi dalam mengatur lingkungannya, dapat

mengendalikan situasi eksternal yang kompleks, dapat menggunakan kesempatan di

lingkungan secara efektif, serta mampu memilih atau menciptakan lingkungan yang

sesuai dengan kebutuhan dan nilai dirinya. Sebaliknya ibu yang memiliki dimensi

environmental mastery yang rendah akan cenderung mengalami kesulitan dalam

mengatur urusan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau

meningkatkan lingkungannya, serta kurang memiliki kendali terhadap dunia

eksternalnya.

Dimensi purpose in life mempunyai pengertian ibu yang memiliki anak retardasi

mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” yang memiliki tujuan dan arah dalam

(28)

serta memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup. Ibu yang memiliki

dimensi purpose in life yang tinggi akan bersikap terbuka terhadap

pengalaman-pengalamannya, akan merasa hidup lebih bermakna. Perasaan seperti itu akan

membuat hidup lebih terarah dan tidak terjerat pada pengalaman masa lampau.

Sebaliknya, ibu yang memiliki dimensi purpose in life yang rendah akan cenderung

bersikap menutup diri, tidak memiliki tujuan dalam hidupnya, merasa hidupnya

sia-sia, terjebak dalam keadaannya.

Dimensi personal growth memiliki arti adanya keinginan ibu yang memiliki anak

retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” untuk sesuatu yang terus

bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki

keinginan untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri

dan perilakunya dari waktu ke waktu. Ibu yang memiliki dimensi personal growth

yang tinggi akan keterbukaan pada pengalaman. Ibu yang terbuka terhadap

pengalaman akan lebih sadar terhadap dunia sekelilingnya dan tidak berhenti pada

pertimbangan-pertimbangan sebelumnya yang mungkin kurang benar. Pribadi yang

berfungsi sepenuhnya selalu berkembang dan tidak puas hanya pada kondisi tetap,

dimana semua masalah sudah selesai dipecahkan. Sebaliknya ibu dengan dimensi

personal growth yang rendah akan merasa bahwa dirinya mengalami stagnasi, kurang

merasa berkembang dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan

kehidupan, serta merasa tidak mampu untuk membentuk sikap atau perilaku yang

(29)

19

Ryff mengemukakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PWB seseorang,

sehingga tidak semua orang memiliki tingkat PWB yang sama. Melalui berbagai

penelitian yang dilakukan, Ryff (1989) mengemukakan faktor-faktor yang

mempengaruhi PWB seseorang yaitu: faktor sosiodemografis (usia, status sosial

ekonomi), dukungan sosial, religiusitas, budaya, dan trait.

Faktor usia mempengaruhi PWB, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat PWB pada orang dari berbagai

kelompok usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui

kondisi yang terbaik bagi dirinya. Individu pada usia dewasa akhir memiliki skor

well-being lebih rendah pada tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu dalam usia dewasa

madya memiliki skor well-being yang lebih tinggi dalam penguasaan lingkungan; individu

yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam otonomi dan

penguasaan lingkungan dan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan

pribadi.

Ryff dkk, (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa faktor status sosial

ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan

lingkungan dan pertumbuhan diri. Status sosial ekonomi mempengaruhi

kesejahteraaan psikologis seseorang. Seperti besarnya pendapatan keluarga, tingkat

pendidikan, keberhasilan pekerjaan,kepemilikan materi dan status sosial di

masyarakat. Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, dan mempunyai dukungan

sosial tinggi akan memiliki PWB yang lebih tinggi. Bagi ibu yang memiliki anak

(30)

permasalahan dengan perekonomian menyatakan bahwa anak akan membawa rejeki

mengalir dengan sendirinya, sehingga segala kebutuhan anak untuk berobat juga

kebutuhan lainnya akan terpenuhi, sedangkan untuk mereka yang memiliki kendala

dalam perekonomian terkadang merasa sedih harus berusaha dengan lebih keras

untuk mencukupkan kebutuhan anaknya dengan biaya pengobatan yang relative tidak

sedikit, lebih pintar dalam membagi keuangan juga mengatur kebutuhan yang

didahulukan.

Faktor dukungan sosial juga sangat berperan penting bagi PWB ibu yang

memiliki anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” dimana

dengan adanya dukungan dari keluarga, sanak saudara, dan lingkungan sekitar

memberikan semangat bagi mereka untuk tetap berjuang dalam merawat, mendidik,

dan membesarkan anaknya. Sehingga mereka tidak larut terpuruk dalam kesedihan

memiliki anak yang tidak sempurna, melainkan dapat bangkit dan berusaha untuk

lebih keras menjalani kehidupannya dalam usaha pencapaian apa yang menjadi tujuan

dalam hidupnya dan mampu mencapai PWB dalam hidupnya. Terlihat pada ibu yang

memiliki anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” dalam

menghayati perasaan yang hampir bersamaan, perasaan sedih, kecewa, khawatir akan

kehidupan dirinya dan masa depan anaknya, namun dukungan, semangat dari

keluarga, saudara, bahkan kerabat mampu membangkitkan mereka sehingga mereka

(31)

21

Faktor budaya juga mempengaruhi PWB ibu yang memiliki anak retardasi

mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X”. Ryff (1995) mengatakan bahwa

sistem nilai individualisme kolektivisme memberi dampak terhadap PWB yang

dimiliki suatu masyarakat. Pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di

lingkungan sekolah “X” yang menganut system nilai individualistik akan tinggi

dalam dimensi self-acceptance dan autonomy, sedangkan pada ibu yang menganut

system kolektivistik akan tinggi dalam dimensi positive relation with others. Hal ini

jelas terlihat pada para ibu yang memiliki anak retardasi mental di lingkungan

Sekolah Luar Biasa “X” yang memiliki kemampuan lebih dalam hal bersosialisasi

dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Hal ini juga mempengaruhi pencapaian

ibu tersebut pada aspek positive relations with others dalam PWB.

Faktor religiusitas berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup

kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi akan lebih mampu

memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya dapat menjadi lebih

bermakna (Bastaman, 2000). Ketika ibu yang memiliki anak retardasi mental di

lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” memiliki kehidupan yang dekat dengan

Tuhannya, maka dirinya mampu melihat segala keadaan yang terjadi dengan hati

yang ikhlas, dan sebaliknya jika ibu tidak memiliki hubungan yang dekat dengan

Tuhannya, ibu akan sulit menerima keadaan. Hal ini dapat mempengaruhi rendahnya

(32)

Ditinjau dari kepribadiannya, ibu yang memiliki anak retardasi mental di

lingkungan sekolah “X” memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti

penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan

sehingga dapat meningkatkan skor PWB. Ada beberapa perspektif untuk memahami

kepribadian, salah satunya teori traits. Menurut teori traits, traits individu

menunjukan pola yang konsisten dalam cara individu berpikir, merasa, dan

bertingkah laku. Teori traits yang akan digunakan bersumber pada five factor of

personality, diantaranya adalah: extraversion merujuk pada kuantitas dan intensitas

relasi personal, tingkat aktivitas, kebutuhan akan stimulasi, kapasitas untuk mendapat

kesenangan. Kedua, agreeableness merujuk pada kualitas orientasi interpersonal

seseorang dimulai dari perasaan peduli sampai dengan perasaan permusuhan dalm

pikiran, perasaan, dan tindakan. Ketiga, conscientiousness yaitu derajat keteraturan

individu, tekun, dan motivasi yang berorientasi pada tujuan. Keempat, neuroticism

merujuk pada emotional stability, yaitu mengidentifikasikan kecenderungan individu

untuk mengalami distress psikis, ide-ide yang tidak realistik, dan respon yang

maladaptive. Kelima, adalah openness to experiences yaitu proaktif mencari dan

menghargai pengalaman karena keinginannya sendiri, toleran, dan melakukan

eksplorasi terhadap sesuatu yang belum dikenal.

Exstraversion merupakan dimensi yang dapat memprediksi banyak tingkah

laku sosial. Ibu yang memiliki faktor extraversion yang tinggi memiliki PWB yang

(33)

(self-23

acceptance). Ibu akan mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain

karena mereka seorang yang hangat dan senang bergabung dalam berbagai

perkumpulan (positive relation with others). Ibu dengan skor extraversion yang tinggi

mampu mengambil keputusan sendiri karena mereka cenderung memegang kontrol

dalam berinteraksi (autonomy), ibu juga mampu menguasai lingkungan dengan cara

yang mudah beradaptasi dengan lingkungan dimanapun mereka berada

(environmental mastery). Mereka orang yang bersemangat sehingga mampu

menetapkan tujuan dengan energy yang dimilikinya, untuk memperoleh makna dari

pengalaman hidupnya (purpose in life). Lewat interaksi yang luas, mereka cenderung

terbuka pada pengalaman baru sehingga mampu mengarahkan diri menuju

pertumbuhan pribadi (personal growth).

Agreeableness dapat disebut juga social adaptability atau likability. Ibu yang

memiliki skor agreeableness yang tinggi memiliki PWB yang tinggi. Mereka

memiliki hubungan yang positif dengan orang lain karena ramah, senang menolong

orang lain dan kooperatif (positive relation with others). Dalam penguasaan

lingkungannya, mereka tidak menyalahkan orang lain atas keadaan fisik yang

menurun karena pada dasarnya mereka mudah memaafkan orang lain (environmental

mastery), dengan demikian ibu juga dapat menerima segala keadaan yang dialaminya.

Dalam hal ini, ibu mampu mengatasi tekanan social ketika berpikir dan bertindak

(autonomy). Ibu yang memiliki skor tinggi dalam agreeableness mampu memperoleh

(34)

(purpose in life), mereka juga mampu menyadari potensi yang dimiliki dengan cara

melihat hal terbaik dari orang lain (personal growth).

Conscientiousness menggambarkan perbedaan keteraturan dan kedisiplinan

diri seseorang. Ibu yang memiliki derajat conscientiousness tinggi memiliki PWB

yang tinggi. Mereka mampu menerima keadaan yang dialaminya (self acceptance).

Mereka memiliki hubungan yang positif dengan orang lain karena terencana,

mengikuti peraturan dan norma sehingga sering dipercaya orang lain (positive

relation with others). Dalam mengambil keputusan, mereka mampu mengambil

keputusan sendiri dengan cara berpikir sebelum bertindak menggunakkan

pertimbangan-pertimbangan rasional (autonomy). Dalam kesehariannya, mereka

mampu memanipulasi lingkungannya yang kompleks karena terbiasa mengontrol

lingkungan sosialnya (environmental mastery), mereka juga memiliki tujuan hidup

yang terencana karena mereka ambisius (purpose in life). Dalam pertumbuhan

pribadinya, lansia mampu melihat perkembangan diri karena terdorong oleh

kebiasaannya yang ingin memberikan yang terbaik dan senang bekerja keras

(personal growth).

Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi

negative seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Ibu yang memiliki tingkat

neuroticism yang tinggi memiliki PWB yang rendah. Mereka cenderung mengalami

kesulitan untuk menerima keadaan yang terjadi dalam dirinya (self-acceptance).

(35)

25

kesulitan menjalin komitmen (positive relation with others). Ketika dihadapkan pada

situasi yang menuntut pengambilan keputusan, mereka bergantung pada orang lain

karena merasa cemas dalam menghadapi situasi tersebut (autonomy), dengan

demikian mereka juga kurang mampu menunjukkan penguasaan lingkungan karena

tidak mampu mengubah atau mengatasi situasi sulit di sekelilingnya (environmental

mastery). Ibu dengan tingkat neuroticism yang tinggi kesulitan menetapkan tujuan

hidup bersama karena secara emosional mereka labil, hidup mereka teralihkan untuk

menangani perasaan cemas sehingga mereka juga tidak memperoleh makna dari

setiap pengalaman masa lalunya (purpose in life). Mereka mudah merasa jenuh dan

merasa hidupnya tidak berarti sehingga tidak mampu mengembangkan diri (personal

growth).

Openness mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan

penyesuaian pada suatu idea tau situasi yang baru. Ibu dengan openness yang tinggi

memiliki PWB yang tinggi. Mereka penuh dengan rasa ingin tahu dan terbuka pada

pengalaman yang baru sehingga mengarahkan mereka untuk mampu

mengembangkan diri (personal growth). Mereka memiliki relasi yang positif dengan

orang lain karena keterbukaannya membuat mereka lebih mudah bertoleransi

terhadap orang lain (positive relation with others), hal ini juga berlaku dalam

menerima semua keadaan yang dialami dirinya (self-acceptance). Mereka adalah

orang yang kreatif sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukannya ketika bosan

(36)

yang tinggi berkapasitas untuk menyerap informasi sehingga membantu mereka

(37)

27

Dimensi-Dimesi Psychology Well-Being (Ryff 1989):

1. Self Acceptance

2. Personal Growth

3. Purpose in Life

4. Autonomy

5. Positive Relationship with Others

6. Enviromental Mastery

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema kerangka pemikiran berikut:

1.5.1 Skema Kerangka Pikir

Bagan 1.5.1 Kerangka Pikir Psychology Well-Being

Faktor-faktor yang mempengaruhi:

 Faktor Sosiodemografi (Usia, Status Sosial Ekonomi, Budaya)

 Faktor Dukungan Sosial (Dukungan Emosional, Dukungan Penghargaan, Dukungan Instrumental, Dukungan Informasional)

 Trait

Tinggi

Rendah

IBU YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH LUAR BIASA “X”, BANDUNG

(38)

1.6 Asumsi Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, dapat diasumsikan bahwa:

1. Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” terdiri dari enam dimensi yaitu Self

Acceptance, Personal Growth, Purpose in Life, Autonomy, Positive

Relationship with Others, Enviromental Mastery.

2. Selain terdiri dari keenam dimensi, Psychological Well-Being pada ibu yang

memiliki anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” juga

dipengaruhi oleh faktor demografis, dukungan sosial, religiusitas, dan traits.

3. Tinggi atau rendahnya Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki

anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” dipengaruhi oleh

(39)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan simpulan dari analisis yang telah

dilakukan pada bab sebelumnya, beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil

penelitian.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological Well-Being

pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X”

Kota Bandung, diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Ibu di lingkungan Sekolah Luar Biasa “X” Kota Bandung lebih dari

separuhnya menunjukkan Psychological Well-Being yang tinggi.

2. Psychological Well-Being pada dimensi self-acceptance, autonomy,

environmental mastery, personal growth termasuk dalam kategori tinggi.

Adapun pada dimensi positive relation with others dan purpose in life

kategori rendah.

3. Adanya kecenderungan keterkaitan antara faktor sosiodemografis khususnya

faktor usia, faktor dukungan informasional, status perkawinan, dan jenis

(40)

4. Pada Faktor trait menunjukkan adanya kecenderungan keterkaitan dengan

PWB.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai

Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak retardasi mental,

dapat melakukan penelitian dengan membandingkan Psychological

Well-Being pada ibu yang memiliki anak retardasi mental di lingkungan sekolah

luar biasa yang berbeda.

2. Bagi peneliti yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai

Psychological Well-Being pada ibu yang memiliki anak retardasi mental,

perlu memerhitungkan pengaruh faktor trait. Hal ini dapat memberikan

gambaran yang komprehensif terhadap temuan penelitian Psychological

Well-Being.

5.2.2 Saran Praktis

1. Pihak sekolah hendaknya dapat memberikan seminar khusus bagi para ibu

siswa-siswinya guna memberikan banyak informasi-informasi penting yang

berkaitan dengan berbagai cara penanganan anak retardasi mental, atau segala

(41)

103

2. Pihak sekolah hendaknya dapat mengadakan pertemuan bagi para ibu untuk

dapat saling sharing dan berbagi pengalaman satu sama lain mengenai PWB

mereka masing-masing.

3. Diharapkan pihak sekolah dapat memberikan informasi

tentang……….(harus konkrit kasihnya) ibu dapat lebih mencari

informasi-informasi berkaitan dengan kebutuhan anak retardasi mental dengan banyak

membaca buku, diskusi dengan ibu-ibu lainnya yang sama sama memiliki

anak retardasi mental, atau mengikuti seminar-seminar mengenai anak-anak

berkebutuhan khusus yang diharapkan semakin membantu ibu dalam

menangani anaknya, sehingga dengan pemahaman yang lebih lengkap ibu

dapat lebih memahami dan diharapkan dapat mendukung pencapaian

(42)

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Sidang Sarjana Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha

Disusun Oleh :

Verena Yoana. M

1033005

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BANDUNG

(43)

KATA PENGANTAR

Segala ucapan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang

senantiasa menyertai saya dalam menyelesaikan tugas akhir dalam mata kuliah

ini. Terima kasih Tuhan Yesus atas segala penyertaan-Mu, berkat serta kasih-Mu

yang tidak pernah terputus. Tangan-Mu yang selalu turut bekerja dalam

pengerjaan tugas akhir ini, sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik dan

tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini, tak lupa saya ingin mengucapkan terima kasih

kepada berbagai pihak yang telah senantiasa memberikan bantuan, bimbingan,

semangat dan juga dorongan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan:

 Dr. Yuspendi, M.Psi., M.Pd. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Kristen Maranatha.

 Drs. Paulus H. Prasetya, M.Si., psikolog selaku dosen mata kuliah Usulan

Penelitian Lanjutan yang telah memberikan materi perkuliahan dengan

sangat detil dan jelas serta memberikan banyak arahan, motivasi, dan

inspirasi kepada saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

 Dr.Irene P.Edwina,M.Si.,Psik selaku dosen pembimbing pertama dan Kak

Cakrangadinata,M.Psi.,Psik yang dengan kasih dan kesabarannya selama

proses penyusunan telah membimbing, telah banyak memberikan waktu,

masukan, dan senantiasa memberikan semangat, dorongan pada saya

(44)

 Staf Tata Usaha Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha yang

telah membantu dalam membuat surat menyurat dan administrasi yang

diperlukan untuk keperluan seminar dan sidang skripsi.

 Ira Terahadi, Ceni Harliman, Muhammad Irvan terimakasih banyak buat

kalian yang sudah banyak membantu Vern. Memberikan motivasi,

dorongan, semangat tak henti, dan selalu menemani dalam situasi sulit

Vern, selalu siap sedia membantu dalam proses Vern mengerjakan Usulan

Penelitian ini. Bersyukur memiliki teman baik seperti kalian, Tuhan

Yesus selalu memberkati kalian 

 Kepala Sekolah Luar Biasa “X” yang telah memberikan izin pada saya

untuk melakukan penelitian serta memperoleh banyak informasi berguna

dalam menyelesaikan penyusunan Usulan Penelitian ini.

 Papi, mami, dan dhe2 tersayang terimakasih untuk kalian yang selalu

mendoakan, kalian yang terus memberikan semangat, kasih sayang dan

sangat mendukung Vern dalam perkuliahan, Vern sangat mencintai

kalian

Bandung, 20 November 2016

(45)

104

DAFTAR PUSTAKA

Ryff,C.D. (1989). Happiness is Everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081.

Keyes, C.Ryff, C., & Shmotkin, D.2002. Optimizing Well Being: The Empirical Encounter of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82, 1007-1022.

Ryff, C. D. 1994. Psychological Well-Being in Adult Life. “Current Directions in Psychological Science”.

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. 1995. The Structure of Psychological Well-Being

Revisited. “Journal of Personality and Social Psychology”, 69, 719-727.

McCrae, Robert R.dan Paul T.Costa JR.2003. Personality in Adulthood, A Five-Factor Theory Perspective. 2ᶯᵈ ed. New York : The Guilford Press.

Mangunsong, Frieda, dkk, 1998. Psikologi & Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran & Psikologi Universitas Indonesia.

Scaffer, Rudolf. 1977. Mothering: The Developing Child Series. Massachusetts : Harvard University Press;Cambridge.

Sadock BJ, Sadock VA. Mental Retardation in Kaplan & Sadock’s Synopsis of

Psychiatry, Lippincott & William, London. p:1161-79

Bowbly, John.1970. Attachment and Loss. Vol.1 Attachment. London: The Hogart Press.

Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Jilid kesatu. Depok:LPSP 3 Fakultas Psikologi UI.

(46)

DAFTAR RUJUKAN

Wells, Inggrid E.. 2010. Psychological Well-being. New York: Nova Science Publishers,Inc.

http://fatahilla.blogspot.com/2008/09/pernikahan-vs-perceraian_17.html

http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126719-306.872%20RAH%20p%20-%20Psychological%20Well-Being%20-%20Literatur.pdf

http://allabout-psikologi.blogspot.com/2009/11/dewasa-madya.html

http://lib.uin-malang.ac.id/files/thesis/fullchapter/05410060.pdf

http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/2-3-8.pdf (Diakses pada tanggal 16 Juli 2014)

http:// www.dharmais.or.id/baca.php?id=54 (Diakses pada tanggal 06 Agustus 2015)

Mental Retardation. Available at: http://www.ncbdd.cdc.com. (Diakses pada tanggal 29 September 2015)

Friskawati. 2003. Suatu penelitian mengenai sikap orang tua terhadap kemandirian anak retardasi mental (IMBISIL) di SPLB-C “X” kota Bandung. Bandung: Fakultas Universitas Kristen Maranatha.

Pedoman penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Februari 2009. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Referensi

Dokumen terkait

Drum adalah salah satu instrumen membranophone (alat musik yang sumber.. bunyinya berasal dari

Agar menarik, bentuk bangunan Showroom Sepeda Motor Yamaha harus mengekspresikan dunia otomotif yang identik dengan perkembangan teknologi dan mesin, mencerminkan kemajuan

Rumusan Permasalahan pada proyek ini adalah “Bagaimana wujud rancangan music center sebagai wadah kegiatan pembelajaran seni musik dan pusat pertunjukan musik di Yogyakarta

Persyaratan akustik sebuah ruang panggung yang ideal adalah:  Sumber bunyi diatas panggung harus dinaikkan sehingga dapat. didengan oleh penonton

[r]

Kemudian fasilitas ini didesain sesuai dengan konsep yang telah ditetapkan, yaitu ekspresi musisi indie yang dikemas dalam suasana alam Green Canyon. Selain itu, ruangan

Pengerjaan skripsi ini bertujuan untuk merancang sebuah beban elektronik yang dapat. digunakan untuk menguji kestabilan sebuah instrumen seperti

Dengan adanya hasil dari analisa yang didapat nantinya, diharapkan perusahaan dapat mampu mengetahui kekurangan dan kelebihan dari sistem yang sudah dimiliki dan dapat