• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan Citra di Ranah Frekuensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengolahan Citra di Ranah Frekuensi"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

Pengolahan Citra di Ranah Frekuensi

Iwan Setyawan

Dept. Electronic Engineering, Satya Wacana Christian University

(2)

Pendahuluan

• Sama seperti pada ranah spatial, pengolahan citra pada ranah

frekuensi juga dapat digunakan untuk tujuan enhancement atau restorasi.

• Pada bagian ini akan dibahas bagaimana merepresentasikan

serta mengolah citra dalam ranah frekuensi.

• Alat utama yang akan digunakan pada bagian ini adalah

transformasi Fourier.

• Pembahasan transformasi Fourier pada bagian ini dibatasi pada

(3)

Transformasi Fourier: Intro

• Secara umum, transformasi Fourier digunakan untuk

menguraikan (decompose) sebuah sinyal menjadi komponen-komponen berupa gelombang sinusoida.

• Dalam konteks PCD, output transformasi Fourier adalah

representasi citra dalam ranah frekuensi.

• Dalam ranah frekuensi (ranah Fourier), setiap titik

(4)

Transformasi Fourier: Why?

• Transformasi Fourier memungkinkan dilakukannya beberapa hal

yang tidak dapat dilakukan pada ranah spatial.

• Banyak operasi dapat dilakukan dengan lebih cepat dalam ranah

Fourier dibandingkan dalam ranah spatial.

• Filtering dalam ranah Fourier jauh lebih efisien dibanding filtering

dalam ranah spatial, terutama untuk filter-filter besar.

• Dengan transformasi Fourier, kita dapat memproses

frekuensi-frekuensi spesifik. Dengan demikian, proses low- dan high-pass filtering dapat dilakukan dengan lebih presisi.

(5)

Transformasi Fourier: Basic Ideas (1)

• Sebuah fungsi periodik (atau fungsi non-periodik yang luasan

dibawah kurva fungsinya berhingga) dapat direpresentasikan sebagai jumlahan fungsi sinus dan cosinus dengan berbagai amplitudo dan frekuensi.

• Ada fungsi-fungsi yang tersusun oleh jumlah komponen yang

berhingga, ada fungsi-fungsi yang tersusun oleh jumlah komponen yang tidak berhingga.

(6)
(7)

Transformasi Fourier: Basic Ideas (3)

(8)

Transformasi Fourier: Kontinu (1)

Transformasi Fourier dari sebuah fungsi kontinu 1-D f(x)

didefinisikan sebagai berikut:

F(u) =

f(x)e

−j2πuxdx (1)

• Inverse transformasi Fourier didefinisikan sebagai berikut:

f(x) =

F(u)e

(9)

Transformasi Fourier: Kontinu (2)

• Dalam dua dimensi, pasangan persamaan tadi dapat ditulis

sebagai berikut: F(u, v) = ∫ ∞ ∫ f(x, y)e −j2π(ux+vy) dxdy (3) f(x, y) = ∫ ∞ ∫ F(u, v)e j2π(ux+vy)dudv (4)

(10)

Transformasi Fourier: DFT 1-D (1)

Discrete Fourier Transform (DFT) sebuah fungsi diskret 1-D, f(x), x =1, 2, . . . , M−1 adalah F(u) = M1 M−1

x=0 f(x)e−j2πux/M untuk u=0, 1, 2, . . . , M−1 (5)

• IDFT didefinisikan sebagai berikut:

f(x) = M−1

u=0 F(u)e−j2πux/M

(11)

Transformasi Fourier: DFT 1-D (2)

• Faktor M1 kadang-kadang dituliskan bukan pada persamaan

transformasi Fourier tapi pada persamaan inverse-nya.

• Kadang-kadang, kedua persamaan dikalikan dengan faktor 1

M.

• Penghitungan DFT dilakukan sebagai berikut:

1 Set u=0

2 Lakukan summing untuk semua nilai x

3 Jika u<M, set u=u+1 dan kembali ke step 2. Jika u=M, proses

selesai.

Proses ini membutuhkan kira-kira M2buah penjumlahan &

(12)

Transformasi Fourier: DFT 1-D (3)

• Proses penghitungan IDFT mirip dengan prosedur diatas.

• Salah satu sifat paling penting DFT dalam PCD adalah bahwa

semua citra memiliki DFT dan IDFT.

• Sifat diatas dikarenakan pasangan DFT dan IDFT pasti ada asal

f(x)memiliki nilai berhingga. Semua citra digital dapat

(13)

Transformasi Fourier: DFT 1-D (4)

• Konsep ranah frekuensi diperoleh dari rumus Euler sebagai

berikut:

ejθ =cosθ+j sinθ (7)

• Dengan mensubstitusikan persamaan ini ke Persamaan (5) (dan

karena cos(−θ) =cosθ), diperoleh

F(u) = M1

M−1

x=0

f(x)[cos 2πux/M−j sin 2πux/M] (8)

Ranah F(u)disebut dengan ranah frekuensi dan masing-masing

(14)

Transformasi Fourier: DFT 1-D (5)

Karena F(u)adalah bilangan kompleks, maka sering dituliskan:

F(u) =|F(u)|ejϕ(u) (9) dengan magnitude (spektrum) transformasi Fourier didefinisikan sebagai:

|F(u)| = [ℜ2(u) +2(u)]1/2 (10) dan sudut fase transformasi didefinisikan sebagai:

ϕ(u) =tan1 [ ℑ(u) ℜ(u) ] (11)

(15)

Transformasi Fourier: DFT 1-D (6)

• Besaran lain yang banyak digunakan adalah power spectrum,

yang didefinisikan sebagai berikut:

P(u) =|F(u)|2 (12)

(16)
(17)

Transformasi Fourier: DFT 2-D (1)

DFT dari sebuah citra f(x, y)dengan ukuran M×N adalah

F(u, v) = 1 MN M−1

x=0 N−1

y=0 f(x, y)e−j2π(ux/M+vy/N) (13)

• IDFT 2-D didefinisikan sebagai berikut

f(x, y) = M−1

u=0 N−1

v=0 F(u, v)ej2π(ux/M+vy/N) (14)

(18)

Transformasi Fourier: DFT 2-D (2)

• Definisi magnitude, fase dan power spectrum DFT 2-D adalah

|F(u, v)| = [ℜ2(u, v) +2(u, v)]1/2 (15) ϕ(u, v) =tan1 [ ℑ(u, v) ℜ(u, v) ] (16) P(u, v) =|F(u, v)|2 =2(u, v) +2(u, v) (17)

(19)

Transformasi Fourier: DFT 2-D (3)

• Biasanya, citra yang akan ditransformasikan dikalikan lebih

dahulu dengan(1)x+y, karena

F[f(x, y)(1)x+y] =F(u−M/2, v−N/2) (18)

• Persamaan ini menunjukkan bahwa titik awal transformasi

Fourier (yaitu, F(0, 0)) berada pada titik u= M/2 dan v= N/2.

Agar koordinat hasil shifting ini tetap integer, M dan N harus

(20)

Transformasi Fourier: DFT 2-D (4)

• Nilai transformasi Fourier pada titik(u, v) = (0, 0)adalah

F(0, 0) = 1 MN M−1

x=0 N−1

y=0 f(x, y) (19)

Dengan kata lain, jika f(x, y)adalah sebuah citra, nilai F(0, 0)

adalah nilai rata-rata nilai gray-level citra. Komponen ini disebut komponen DC.

Jika f(x, y)real, maka F(u, v)conjugate symmetric, atau

F(u, v) =F∗(−u,−v) (20) Dari sini diperoleh bahwa

(21)

Transformasi Fourier: DFT 2-D (5)

(22)

Transformasi Fourier: DFT 2-D (6)

(23)

Transformasi Fourier: DFT 2-D (7)

(24)

Transformasi Fourier: DFT 2-D (9)

(25)

Konsep Frekuensi pada Citra Digital (1)

Konsep “frekuensi” pada citra digital berkaitan dengan banyaknya

perubahan nilai pixel per derajat sudut pandang.

Konsep “magnitude” pada citra digital berkaitan dengan besarnya

perubahan tersebut.

• Pada citra, besarnya frekuensi bergantung pada banyak hal, salah

satunya pada jarak antara sensor/mata dengan citra tersebut: Suatu daerah yang dianggap “high-frequency” pada jarak jauh bisa menjadi “low-frequency” pada jarak dekat.

(26)

Konsep Frekuensi pada Citra Digital (2)

• Daerah low-frequency kadang disebut daerah dengan energi

rendah dan daerah high-frequency disebut daerah dengan energi tinggi (misalnya pada bidang kompresi citra).

• Human Visual System (HVS) memiliki kepekaan yang lebih tinggi

terhadap daerah low-frequency dibandingkan terhadap daerah high-fequency (yaitu, manusia lebih peka terhadap

perubahan/gangguan yang terjadi pada daerah low-frequency dibanding high-frequency).

(27)
(28)

Filtering dalam ranah frekuensi: Intro (1)

• Pada umumnya, tidak mudah membuat hubungan bagian-bagian

tertentu dari suatu citra dengan hasil transformasinya.

• Meskipun demikian, dapat ditarik beberapa hubungan umum

antara komponen frekuensi dengan karakteristik spatial citra.

• Contohnya, kita dapat menghubungkan frekuensi dalam ranah

Fourier dengan pola perubahan perubahan luminance pada citra:

• Titik tengah spektrum menunjukkan nilai rata-rata luminance citra.

• Titik-titik yang jauh dari titik tengah spektrum menunjukkan daerah-daerah dengan perubahan level luminance yang besar, seperti edge, noise, dll.

(29)

Filtering dalam ranah frekuensi: Intro (2)

(30)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (1)

Secara umum, proses filtering dalam ranah frekuensi adalah sebagai berikut: 1 Hitung f′(x, y) = f(x, y)(1)x+y 2 Hitung F(u, v) =F[f′(x, y)] 3 Hitung G(u, v) =F(u, v)H(u, v). 4 Hitung ˆg(x, y) =F−1[G(u, v)] 5 Hitung g′(x, y) =ℜ[ˆg(x, y)] 6 Hitung g(x, y) =g′(x, y)(1)x+y

(31)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (2)

Pada langkah ke-3, H(u, v)disebut filter karena berfungsi

menekan frekuensi-frekuensi tertentu dan meloloskan sisanya.

• Perkalian pada langkah ke-3 dilakukan per elemen

(masing-masing elemen F(u, v)dikalikan dengan masing-masing

elemen H(u, v)).

Pada umumnya F(u, v)adalah besaran kompleks sedangkan

H(u, v)adalah besaran real. Dalam hal ini nilai H(u, v)dikalikan dengan bagian real dan imajiner F(u, v).

Filter seperti diatas disebut dengan filter zero-phase-shift, karena

(32)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (3)

• Hasil operasi IDFT pada umumnya kompleks. Tetapi dalam kasus

ini jika f(x, y)real, seharusnya ˆg(x, y)juga real (yaitu, semua komponen imajinernya 0).

Pada prakteknya, ˆg(x, y)biasanya masih memiliki komponen

imajiner yang dihasilkan akibat error komputasi (round-off, dll). Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah ke-5.

• Perkalian dengan(1)x+ydilakukan untuk menghilangkan

(33)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (4)

(34)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (5)

• Misalkan kita hendak mem-filter suatu citra sedemikian sehingga

nilai rata-rata gray-level citra tersebut 0.

Karena dalam ranah frekuensi F(0, 0)merupakan nilai rata-rata

gray-level citra, dengan membuat F(0, 0) =0 kita dapat membuat

sebuah citra yang nilai rata-rata gray-levelnya 0.

• Filter yang dapat digunakan untuk melakukan hal ini adalah

H(u, v) =

{

0 jika(u, v) = (M/2, N/2)

1 otherwise (22)

(35)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (6)

(36)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (7)

• Filter-filter spatial yang telah dibahas pada bab sebelumnya dapat

dikaitkan langsung dengan filter sejenis pada ranah frekuensi.

• Kaitan utama antara ranah spatial dan frekuensi diberikan oleh

teorema konvolusi.

• Proses konvolusi sudah dijelaskan pada pembahasan filter ranah

(37)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (8)

• Hasil paling penting teorema konvolusi dalam hal ini adalah

hubungan:

h(x, y) H(u, v) (23)

Persamaan diatas menyatakan bahwa filter spatial h(x, y)dan

filter ranah frekuensi H(u, v)adalah pasangan transformasi

Fourier.

• Dengan kata lain, jika kita memiliki sebuah filter dalam ranah

frekuensi, kita dapat memperoleh filter ranah spatial dengan cara mencari inverse transformasi Fourier-nya.

(38)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (9)

Pembuatan filter spatial secara langsung dari H(u, v)tidak efisien

karena masalah ukuran.

• Pada prakteknya hasil inverse transformasi Fourier digunakan

sebagai guideline (“prototipe”) pembuatan filter spatial dengan ukuran yang lebih kecil tapi dengan sifat yang hampir sama.

• Karena transformasi Fourier adalah sebuah proses linear,

(39)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (10)

• Sebagai contoh, misalkan sebuah filter Gaussian (1-D) pada ranah

frekuensi, yaitu

H(u) =Ae−u2/2σ2 (24)

• Inverse transformasi Persamaan (24) (dengan kata lain, filter

spatial yang ekuivalen) adalah sebagai berikut

h(x) =2πσAe−2π2σ2x2 (25)

(40)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (11)

(41)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (12)

Beberapa hal yang dapat diamati dari Gambar 12 adalah:

Filter H(u)adalah sebuah low-pass filter.

Bentuk filter h(x)dapat digunakan sebagai dasar pembuatan

kernel filter spatial yang lebih kecil.

• Kedua filter memiliki koefisien yang semuanya positif. Jadi dalam

ranah spatial kita dapat membuat kernel LPF dengan koefisien yang semuanya positif.

(42)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (13)

• Contoh lain filter pada ranah frekuensi adalah sebuah high-pass

filter sebagai berikut

H(u) =Ae−u2/2σ12Be−u2/2σ22 (26)

Dalam persamaan ini A ≥B danσ1 2.

• Filter spatial yang ekuivalen dengan filter ini adalah

h(x) =2πσ1Ae−2π

2σ2

1x2−√2πσ2Be−2π2σ22x2 (27)

(43)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (14)

(44)

Filtering dalam ranah frekuensi: Basics (15)

• Pada Gambar 13 dapat diamati bahwa bentuk filter spatial yang

dihasilkan dariF−1[H(u)]mirip dengan filter spatial yang sudah

dibicarakan pada bab yang lalu.

• Dari kedua contoh ini dapat dilihat bahwa pengembangan filter

dapat dilakukan dalam ranah frekuensi karena lebih “intuitif”.

• Setelah filter dalam ranah frekuensi diperoleh, penerapan

filtering dapat dilakukan dalam ranah spatial seperti pada bab sebelumnya.

(45)

Smoothing Frequency Domain Filters: Intro

• Seperti sudah dibahas sebelumnya, perubahan gray-level yang

tajam (misalnya pada edge atau noise) memberi kontribusi pada komponen frekuensi tinggi spektrum Fourier suatu citra.

• Jadi efek smoothing atau blurring dapat diperoleh dengan

menekan komponen frekuensi tinggi (dalam range tertentu) transformasi Fourier suatu citra.

• Dalam bagian ini akan dibahas 3 jenis filter smoothing yaitu filter

(46)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (1)

• LPF paling sederhana adalah filter yang membuang semua

komponen frekuensi tinggi yang jaraknya dari titik pusat

transformasi lebih dari suatu jarak tertentu, D0.

• Filter ini disebut LPF ideal (ILPF) 2-D, yang diberikan oleh

persamaan H(u, v) = { 1 jika D(u, v) D0 0 jika D(u, v) >D0 (28)

• Dengan asumsi bahwa transformasi Fourier “centered”, untuk

sebuah citra berukuran M×N kita peroleh hubungan

(47)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (2)

(48)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (3)

• Filter ini merupakan filter ideal karena semua frekuensi dalam

lingkaran dengan radius D0diloloskan sementara semua

frekuensi diluar lingkaran tersebut dihilangkan.

Pada sebuah LPF ideal, titik perubahan antara H(u, v) =1 dan

H(u, v) =0 disebut dengan frekuensi cutoff.

• Transisi yang sedemikian tajam tidak dapat direalisasikan dengan

komponen elektronik, tetapi dapat diterapkan menggunakan komputer.

(49)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (4)

Semakin kecil radius D0, semakin sedikit frekuensi yang

diloloskan sehingga citra output akan semakin blur.

• Salah satu cara menentukan frekuensi cutoff adalah dengan

menghitung seberapa besar energi citra yang akan dipertahankan.

• Jumlah total energi suatu citra dihitung dengan menjumlahkan

nilai semua komponen power spectrum untuk tiap titik(u, v),

yaitu PT = M−1

u=0 N−1

v=0 P(u, v) (30)

(50)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (5)

Sebuah lingkaran dengan radius r dari titik pusat spektrum

transformasi Fourier akan mengandungα persen energi citra,

atau α=100 [

u

v P(u, v)/PT ] (31)

• Sebagai contoh, gambar berikut menunjukkan spektrum sebuah

citra berukuran 500×500 pixel.

• Masing-masing lingkaran memiliki radius 5, 15, 30, 80 dan 230.

• Masing-masing lingkaran tersebut mencakup 92%, 94.6%, 96.4%,

(51)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (6)

(52)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (7)

(53)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (8)

(54)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (9)

(55)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (10)

Hasil filtering dengan D0=5 bisa dikatakan tidak banyak

berguna. Dari sini dapat dilihat bahwa informasi detail citra terdapat dalam 8% energi citra yang dihilangkan.

Citra yang difilter dengan D0=15, 30 dan 80 memiliki ciri khas

berupa “ringing”. Hal ini adalah konsekuensi penggunaan filter ideal. Fenomena ini makin berkurang jika semakin banyak energi citra yang dilalukan.

Citra yang difilter dengan D0=230 hampir identik dengan citra

asli. Hal ini menunjukkan bahwa 0.5% energi yang dibuang tidak banyak mengandung informasi edge.

(56)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (11)

Fenomena blurring dan ringing dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Dalam ranah frekuensi dan spatial, hubungan antara citra input

dan output masing-masing adalah:

G(u, v) =H(u, v)F(u, v) (32)

g(x, y) =h(x, y)∗f(x, y) (33)

(57)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (12)

(58)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (13)

Dari gambar terlihat bahwa filter h(x, y)memiliki ciri khas berupa

komponen utama pada titik pusat dan lingkaran-lingkaran konsentris disekeliling komponen utama.

• Komponen utama menyebabkan efek blurring, sedangkan

lingkaran-lingkaran konsentris mengakibatkan efek ringing.

Dapat dilihat pula bahwa filter h(x, y)memiliki komponen negatif,

(59)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (14)

• Hasil yang lebih ekstrim ditunjukkan pada contoh berikut.

Misalkan citra input, f(x, y)adalah citra yang berisi 5 buah “impulse”.

• Hasil filtering citra ini menunjukkan dengan jelas efek blurring

serta efek ringing yang terjadi.

• Hasil dalam contoh ini dapat digunakan untuk menjelaskan efek

ringing dan blurring pada citra yang lebih kompleks, yaitu dengan menganggap masing-masing pixel sebagai impulse-impulse.

(60)

Smoothing Frequency Domain Filters: ILPF (15)

Figure 20: Citra asli (kiri), hasil filtering (tengah), cross-section hasil filtering (kanan)

(61)

Smoothing Frequency Domain Filters: BLPF (1)

Sebuah BLPF orde n dengan frekuensi cutoff pada jarak D0dari

titik asal didefinisikan sebagai berikut:

H(u, v) = 1

1+ [D(u, v)/D0]2n

(34)

• Berbeda dengan ILPF, BPLF tidak memiliki transisi yang tajam

pada frekuensi cutoff.

• Dalam kasus seperti ini, biasanya frekuensi cutoff didefinisikan

sebagai titik tempat nilai H(u, v)turun sampai level tertentu dibandingkan nilai maksimumnya.

(62)

Smoothing Frequency Domain Filters: BLPF (2)

(63)

Smoothing Frequency Domain Filters: BLPF (3)

• Contoh hasil filtering menggunakan BLPF dapat dilihat pada

gambar berikut.

• Perhatikan bahwa dalam gambar berikut tidak teramati adanya

efek ringing.

• Hal ini disebabkan karena transisi yang tidak tajam pada

(64)

Smoothing Frequency Domain Filters: BLPF (4)

(65)

Smoothing Frequency Domain Filters: BLPF (5)

(66)

Smoothing Frequency Domain Filters: BLPF (6)

(67)

Smoothing Frequency Domain Filters: BLPF (7)

• BLPF orde 1 tidak memiliki efek ringing. BLPF orde 2 sudah

memiliki efek ringing, tetapi pada umumnya tidak teramati.

• Fenomena ringing semakin parah jika orde BLPF semakin tinggi.

• BLPF dengan orde 20 sudah memiliki efek ringing yang mirip

dengan ILPF.

• Pada umumnya, digunakan BLPF orde 2 sebagai kompromi

antara efektifitas filter dan fenomena ringing.

• Plot BLPF dengan berbagai orde ditunjukkan pada gambar

(68)
(69)
(70)

Smoothing Frequency Domain Filters: GLPF (1)

• Sebuah GLPF 2-D diberikan oleh hubungan

H(u, v) =e−D2(u,v)/2σ2 (35)

• Dalam Persamaan (35),σ adalah ukuran “spread” kurva Gaussian.

Jika kita definisikanσ =D0maka dapat dituliskan

H(u, v) =e−D2(u,v)/2D20 (36)

Dalam persamaan (36), D0adalah frekuensi cutoff. Jika

D(u, v) =D0, magnitude filter memiliki nilai 0.607 kali nilai

(71)

Smoothing Frequency Domain Filters: GLPF (2)

• Seperti telah disebutkan di depan, filter spatial

h(x, y) =F−1H(u, v)dalam kasus ini juga berupa kurva Gaussian.

• Dari sini dapat disimpulkan bahwa implementasi GLPF tidak akan

menimbulkan fenomena ringing.

(72)

Smoothing Frequency Domain Filters: GLPF (3)

(73)

Smoothing Frequency Domain Filters: GLPF (4)

• Gambar-gambar berikut menunjukkan contoh output GLPF.

• Dari gambar-gambar ini terlihat bahwa efek smoothing GLPF

tidak sebaik BLPF untuk nilai frekuensi cutoff yang sama. (Dengan kata lain, GLPF tidak terlalu “selektif”).

• Meskipun demikian, GLPF memiliki keunggulan karena terdapat

jaminan tidak munculnya ringing. Hal ini sangat penting pada aplikasi-aplikasi yang tidak mengijinkan adanya artifact dalam bentuk apapun.

(74)

Smoothing Frequency Domain Filters: GLPF (5)

(75)

Smoothing Frequency Domain Filters: GLPF (6)

(76)

Smoothing Frequency Domain Filters: GLPF (7)

(77)

Sharpening Frequency Domain Filters: Intro (1)

• Operasi sharpening dalam ranah frekuensi merupakan kebalikan

operasi smoothing/blurring.

• Operasi sharpening dilakukan dengan menekan

komponen-komponen frekuensi rendah dan meloloskan komponen frekuensi tinggi.

• Jadi secara umum sebuah HPF dapat diperoleh dengan

menggunakan hubungan

Hhp(u, v) =1−Hl p(u, v) (37)

• Pada bagian ini akan dibahas HPF ideal (IHPF), Butterworth

(78)

Sharpening Frequency Domain Filters: Intro (2)

(79)

Sharpening Frequency Domain Filters: Intro (3)

(80)

Sharpening Frequency Domain Filters: Intro (4)

(81)

Sharpening Frequency Domain Filters: Intro (5)

• Sama seperti pada LPF ranah frekuensi, representasi spatial HPF

diatas dapat diperoleh dengan menghitungF−1[H(u, v)].

• Bentuk representasi masing-masing filter dalam ranah spatial

(82)
(83)

Sharpening Frequency Domain Filters: IHPF (1)

• HPF ideal 2-D didefinisikan sebagai berikut:

H(u, v) =

{

0 jika D(u, v) D0

1 jika D(u, v) >D0

(38)

• Sama seperti ILPF, IHPF juga tidak dapat direalisasikan secara

fisik.

• Kinerja IHPF ditunjukkan pada gambar berikut. Sama seperti ILPF,

IHPF juga menunjukkan fenomena ringing yang parah untuk nilai

(84)

Sharpening Frequency Domain Filters: IHPF (2)

(85)

Sharpening Frequency Domain Filters: BHPF (1)

Fungsi alih sebuah BHPF dengan orde n dan freqkuensi cutoff D0

adalah

H(u, v) = 1

1+ [D0/D(u, v)]2n

(39)

• Kinerja BHPF orde 2 ditunjukkan pada gambar berikut. Terlihat

(86)

Sharpening Frequency Domain Filters: BHPF (2)

(87)

Sharpening Frequency Domain Filters: GHPF (1)

Fungsi alih GHPF dengan frekuensi cutoff D0adalah

H(u, v) =1−e−D2(u,v)/2D02 (40)

• Kinerja GHPF ditunjukkan pada gambar berikut. Dari gambar

terlihat bahwa hasil filtering GHPF lebih halus dibandingkan kedua filter sebelumnya.

• GHPF dapat juga dibuat berdasarkan selisih 2 buah GLPF.

Pendekatan ini memungkinkan pengaturan yang lebih baik terhadap bentuk filter.

• Akan tetapi, biasanya GHPF diterapkan menggunakan Persamaan

(88)

Sharpening Frequency Domain Filters: GHPF (2)

(89)

Laplacian in the Frequency Domain (1)

• Dapat dibuktikan bahwa

F [ dnf(x) dxn ] = (ju)nF(u) (41)

• Oleh karena itu, dapat diturunkan

F [ 2f(x, y) ∂x2 + 2f(x, y) ∂y2 ] = (ju)2F(u, v) + (jv)2F(u, v) =−(u2+v2)F(u, v) (42)

(90)

Laplacian in the Frequency Domain (2)

• Atau dengan kata lain

F[∇2f(x, y)] =−(u2+v2)F(u, v) (43)

• Persamaan (43) menyatakan bahwa Laplacian dapat

diimplementasikan dalam ranah frekuensi menggunakan filter

H(u, v) =−(u2+v2) (44)

• Jika transformasi Fourier “centered”, maka Persamaan (44)

menjadi

(91)

Laplacian in the Frequency Domain (3)

• Output filter Laplacian, dalam ranah spatial, diperoleh dengan

menghitung

2f(x, y) =F1{−[(uM/2)2+ (vN/2)2]F(u, v)} (46)

• Sama seperti dalam ranah spatial, citra yang sudah dipertajam

menggunakan filter Laplacian dapat diperoleh dengan menghitung

(92)

Laplacian in the Frequency Domain (4)

• Operasi diatas dapat juga dilakukan dengan kernel tunggal

sebagai berikut

(93)

Unsharp Masking & High-boost Filtering (1)

• Sama seperti dalam ranah spatial, filter unsharp masking dan

high-boost diperoleh masing-masing dengan menghitung

fus(x, y) = f(x, y) fl p(x, y) (49) fhb(x, y) =A f(x, y) fl p(x, y) (50)

• Dalam ranah frekuensi, operasi unsharp masking dapat dilakukan

menggunakan filter komposit sebagai berikut

Hus(u, v) =1−Hl p(u, v) (51)

(94)

Unsharp Masking & High-boost Filtering (2)

• Sedangkan operasi high-boost filtering dapat dilakukan dengan

filter komposit sebagai berikut

Hhb(u, b) = (A−1) +Hhp(u, v) (52)

dengan Hhp(u, v)merepresentasikan sebuah filter high-pass.

• Secara umum, kinerja filter unsharp masking dan high-boost

pada ranah frekuensi setara dengan filter-filter pada ranah spatial.

(95)

High-Frequency Emphasis Filter

Filter ini akan menonjolkan (accentuate) kontribusi komponen

frekuensi tinggi pada image enhancement.

• Hal ini dapat dicapai menggunakan filter sebagai berikut

Hh f e(u, v) =a+bHhp(u, v) (53)

dengan a≥0 dan b>a.

Nilai-nilai a dan b yang sering digunakan masing-masing masing

antara 0.25 sampai 0.5 dan antara 1.5 sampai 2.0.

• Dapat dilihat bahwa filter ini sama dengan filter high-boost jika

(96)

Frequency Domain Denoising Filters: Intro

• Proses denoising dapat juga dilakukan di ranah frekuensi.

• Noise yang cocok ditangani di ranah frekuensi adalah noise yang

bersifat periodik.

• Dalam bab ini akan dibahas filter-filter ranah frekuensi yang

dapat digunakan untuk menghilangkan noise periodik, yaitu filter band-reject (BRF), band-pass (BPF) dan notch.

(97)

Frequency Domain Denoising Filters: BRF (1)

• Filter band-reject menghilangkan atau menekan satu pita

frekuensi disekeliling titik pusat transformasi Fourier.

• Sebuah filter band-reject ideal didefinisikan sebagai berikut:

H(u, v) =      1 jika D(u, v) <D0−W2 0 jika D0 W2 D(u, v) D0+W2 1 jika D(u, v) >D0+W2 (54)

(98)

Frequency Domain Denoising Filters: BRF (2)

Sebuah filter band-reject Butterworth orde-n didefinisikan

sebagai berikut: H(u, v) = 1 1+ [ D(u,v)W D2(u,v)D2 0 ]2n (55)

• Sebuah filter band-reject Gaussian didefinisikan sebagai berikut:

H(u, v) =1−e− 1 2 [ D2(u,v)−D20 D(u,v)W ]2 (56)

(99)

Frequency Domain Denoising Filters: BRF (3)

Figure 38: Plot BRF ideal (kiri), Butterworth orde 1 (tengah) dan Gaussian (kanan)

(100)

Frequency Domain Denoising Filters: BRF (4)

• BRF tepat digunakan untuk menghilangkan noise jika letak

komponen noise dalam ranah Fourier kurang lebih diketahui.

• Dalam contoh berikut, sebuah citra mengalami degradasi karena

noise sinusoidal. Komponen noise ini tampak jelas dalam spektrum Fourier.

• Untuk menghilangkan noise tersebut, dirancang sebuah filter

band-reject Butterworth orde 4 dengan pilihan radius dan lebar pita sedemikian sehingga semua titik spektrum noise tersebut dapat terlingkupi.

(101)

Frequency Domain Denoising Filters: BRF (5)

(102)

Frequency Domain Denoising Filters: BRF (6)

(103)

Frequency Domain Denoising Filters: BPF (1)

• Sebuah filter band-pass melakukan operasi yang berlawanan

dengan filter band-reject.

Filter band-pass Hbp(u, v)dapat dibuat berdasarkan sebuah filter

band-reject Hbr(u, v)dengan hubungan

Hbp =1−Hbr(u, v) (57)

• Penggunaan BPF secara langsung terhadap suatu citra tidak

lazim karena hal ini pada umumnya akan menyebabkan hilangnya terlalu banyak detail citra.

• Biasanya, BPF digunakan untuk mengisolasi sinyal derau agar

(104)

Frequency Domain Denoising Filters: BPF (2)

Figure 41: Hasil filtering citra dengan noise sinusodal, menunjukkan bentuk sinyal noise tanpa “gangguan” isi citra.

(105)

Frequency Domain Denoising Filters: Notch (1)

• Sebuah filter notch menekan (atau melalukan) frekuensi yang

berada pada suatu lingkup tertentu disekeliling sebuah frekuensi tengah.

• Karena sifat simetri transformasi Fourier, filter notch harus

muncul sebagai pasangan yang simetris terhadap titik pusat transformasi (jumlah pasangan sembarang).

• Perkecualian dari aturan diatas adalah jika frekuensi tengah ada

pada titik pusat transformasi.

• Plot filter notch ideal, Butterworth dan Gaussian ditunjukkan

(106)

Frequency Domain Denoising Filters: Notch (2)

(107)

Frequency Domain Denoising Filters: Notch (3)

Fungsi alih sebuah filter notch-reject dengan radius D0dan

frekuensi tengah pada(u0, v0)dan(−u0,−v0)adalah

H(u, v) = { 0 jika D1(u, v)≤D0atau D2 D0 1 lainnya (58) dengan D1(u, v) = [ (u−M/2−u0)2+ (v−N/2−v0)2 ]1/2 (59) dan [ 2 2]1/2

(108)

Frequency Domain Denoising Filters: Notch (4)

Fungsi alih suatu filter notch-reject Butterworth orde n adalah

sebagai berikut: H(u, v) = 1 1+ [ D2 0 D1(u,v)D2(u,v) ]2 (61)

• Fungsi alih sebuah filter notch-reject Gaussian adalah sebagai

berikut: H(u, v) =1−e− 1 2 [ D1(u,v)D2(u,v) D20 ] (62)

(109)

Frequency Domain Denoising Filters: Notch (5)

• Sama seperti pada pembahasan yang lalu, sebuah filter notch

untuk melalukan (pass) frekuensi tertentu dapat dibuat dengan berdasarkan filter notch-reject menggunakan hubungan

Hnp(u, v) =1−Hnr(u, v) (63)

Jika u0 =v0 =0 sebuah filter notch-pass menjadi HPF.

• Contoh penggunaan filter notch ditunjukkan pada

(110)

Frequency Domain Denoising Filters: Notch (6)

(111)

Frequency Domain Denoising Filters: Notch (7)

Figure 44: Spektrum citra (kiri); spektrum sebuah notch-pass filter yang ditumpangkan pada spektrum citra (kanan)

(112)

Frequency Domain Denoising Filters: Notch (8)

Figure 45: Derau yang telah dipisahkan dari citra (kiri); hasil notch-reject filtering (kanan)

(113)

Gambar

Figure 9: Citra asli (kiri) dan spektrum Fourier-nya
Figure 12: Filter ranah frekuensi (kiri) dan filter ranah spatial
Figure 13: Filter ranah frekuensi (kiri) dan filter ranah spatial
Figure 16: Citra asli (kiri) dan hasil filtering dengan D 0 = 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian dari mereka menebangi hutan alam di kawasan yang memiliki izin konsesi dari Bupati ataupun izin penebangan tahunan dari Dinas Kehutanan Riau berdasarkan dugaan praktek

Judul ini merupakan sebuah penelitian yang akan diteliti selanjutnya dan memiliki grounded theory (teori dasar) sebagai dasar pengembangan dari sebuah ilmu.

Selanjutnya hasil tersebut memiliki hasil yang tidak sama dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu Pramudyo (2010) pada dosen negeri kopertis wilayah

Perancangan iklan televisi dengan metode animasi motion graphic, yaitu metode yang memadukan beberapa unsur multimedia yaitu gambar, video dan audio serta

Guru memberikan soal pre test tentang materi system pengapian sepeda motor, Siswa menjawab pertanyaan berdasarkan pengetahuan mereka sendiri tentang system

Kerusakan pada nervus medianus lesi rendah di pergelangan tangan menyebabkan deformitas yang disebut dengan “Ape Hand Deformity” dikarenakan ibu jari tidak