• Tidak ada hasil yang ditemukan

N U R S Y A M 1, A B D. B A S Y I D 2 1,2Uin Sunan Ampel Surabaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "N U R S Y A M 1, A B D. B A S Y I D 2 1,2Uin Sunan Ampel Surabaya"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

KEPEMIMPINAN KOLEKTIF KOLEGIAL FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM

MENYELESAIAN MASALAH UMAT BERAGAMA (STUDI MULTISITE PROVINSI SUMATERA UTARA, PROVINSI

JAWA BARAT DAN PROVINSI JAWA TIMUR)

N U R S Y A M1, A B D . B A S Y I D2

1,2Uin Sunan Ampel Surabaya

Abstract

This article aims to find out more in three ways. First, collegial collective leadership at the Religious Communication Forum (FKUB) of North Sumatra, West Java, and East Java Provinces.

Second, understand the pattern of problem-solving between religious communities in the three provinces. Third, understand the relevance of collegial collective leadership in solving problems between religious communities in each province. The results of this study indicate that FKUB has implemented a collegial collective leadership style. It means that every decision is always taken by deliberation and consensus. In addition, the problems that are often resolved by FKUB are related to internal conflicts between religious communities and the establishment of worship places. The resolution of these problems is carried out through inter-religious dialogue in the context of problem-solving based on local wisdom, inclusive diversity, maintaining mutual respect and equality, and being open to accepting ideas, views, ideas, and alternative solutions.

---

Artikel ini bertujuan untuk mencari tahu lebih dalam tiga hal.

Pertama, kepemimpinan kolektif kolegial pada FKUB Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur. Kedua, memahami pola dan corak penyelesaian masalah antar umat beragama di tiga provinsi tersebut, Ketiga, memahami relevansi kepemimpinan kolektif kolegial dalam penyelesaian masalah antar umat beragama di masing-masing provinsi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa FKUB telah menerapkan corak kepemimpinan kolektif kolegial. Artinya, setiap keputusan selalu diambil dengan musyawarah dan mufakat. Selain itu,

1 nursyam@uinsby.ac.id, 2 abd.basyid@uinsby.ac.id

(2)

permasalahan yang sering kali diselesaikan oleh FKUB berkaitan dengan konflik intern umat beragama dan pendirian tempat ibadah. Penyelesaian masalah tersebut dilakukan dengan dialog antar umat beragama dalam konteks penyelesaian masalah berbasis pada kearifan lokal, keberagamaan inklusif, saling menjaga kehormatan dan kesetaraan, serta terbuka dalam menerima gagasan, pandangan, ide dan alternatif solusi yang solutif.

Keywords: Collegial collective leadership; Problem Solving; Religious Communication Forum

Pendahuluan

Kerukunan umat beragama di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Di antara filsafat hidup masyarakat Indonesia adalah mengedepankan kerukunan. Oleh karena itu kerukunan hidup telah menjadi jantung kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa kerukunan adalah prasyarat kehidupan Bersama di dalam masyarakat. Jika kerukunan menjadi inti kehidupan maka sebesar masalah apa pun yang dirasakan akan bisa diselesaikan dengan mengedepankan prinsip hidup rukun tersebut. Di dalam filsafat Jawa, misalnya dikenal pernyataan: “rukun agawe santosa, congkrah agawe bubrah”. Artinya, secara umum adalah:

“kerukunan membawa kepada kesentosaan, dan konflik membawa perpecahan”.

Indonesia adalah negara yang memiliki gelar sebagai negara dengan tingkat multikultural sangat tinggi. Terbukti dengan jumlah pulau sebanyak 16.671, suku bangsa sejumlah 1.340 serta bahasa sebanyak 718. Selain itu, keragaman agama di masyarakat juga menjadi tolak ukur (Syam 2021). Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas dan multikulturalitas yang sangat tinggi. Hal ini yang mendasari keharusan untuk memanage dengan baik tentang pluralitas dan multikulturalitas dimaksud.

Masyarakat Indonesia tentu beruntung sebab memiliki para pendiri bangsa yang visioner dalam memandang Indonesia ke

(3)

depan. Jika ditelusuri dari aspek kesejarahan, maka dapat dijadikan teladan tentang bagaimana para pahlawan bangsa tersebut berjuang untuk menjadikan kebinekaan sebagai ciri khas bangsa ini. Di saat krusial untuk menentukan dasar negara pada awal kemerdekaan, maka para tokoh bangsa yang menjadi anggota dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membuat kesepakatan tentang Pancasila sebagai dasar negara, dengan cara menghilangkan 7 (tujuh) kata dalam Jakarta Charter, adalah Ketuhanan “dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya” dihapus. Jika kalimat di atas masih dipertahankan, maka disintegrasi bangsa akan terjadi (Syam 2016, 167-180).

Melalui pemahaman tentang kebhinekaan itu, maka para tokoh kemerdekaan bangsa bersepakat untuk membangun Indonesia merdeka yang visioner, dengan mengedepankan kerukunan, keharmonisan dan keselamatan bangsa. Jika Indonesia sekarang menjadi negara yang sangat menghargai kebhinekaan dan mampu memanage pluralitas dan multikulturalitas, maka sesungguhnya hal ini didasari oleh semangat para founding fathers negeri ini, yang semenjak dahulu sudah memandang pentingnya menjaga harmoni untuk menuai kedamaian.

Meskipun Indonesia itu terdiri dari suku, etnis, agama dan antar golongan yang sangat variatif akan tetapi memiliki keunikan dalam hal kebersamaan dalam agama. Bahkan terdapat di dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Syamhudi (2013, 1-11) menceritakan tentang bagaimana di dalam satu atap rumah tangga terdapat perbedaan agama. Hal ini memberikan gambaran yang unik bahwa di Indonesia memang terjadi pemahaman dan pengamalan agama yang unik tetapi nyata.

Sebagai organisasi yang terdiri dari banyak penganut agama, maka bisa digambarkan betapa sulitnya melakukan operasionalisasi FKUB. Di satu sisi seseorang menganut agamanya sendiri dan di sisi lain harus berhadapan dengan

(4)

penganut agama lain. Masing-masing meyakini agamanya yang paling benar, sehingga sekurang-kurangnya masih terdapat ganjalan dalam relasi-relasi organisasional di dalam FKUB. Para pengurus FKUB merupakan representasi umat beragama. Ada representasi umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Masing-masing tentu bisa saja mewakili kepentingannya di dalam FKUB.

Berdasarkan aspek inilah, maka penerapan kepemimpinan berbasis pada kolektif kolegial menjadi penting. Melalui konsepsi ini, maka di antara pengurus FKUB akan bisa menempatkan dirinya di dalam FKUB baik sebagai individu, pengurus FKUB maupun representasi umat beragama.

Penelitian berusaha memberikan gambaran mendalam terkait bagaimana kepemimpinan kolektif kolegial FKUB dapat dijadikan sebagai medium untuk memecahkan masalah keagamaan yang terjadi pada masyarakat Indonesia.

Penelitian ini berusaha menjawab tiga hal. Pertama, terkait dengan kepemimpinan kolektif kolegial yang diterapkan pada FKUB di tiga provinsi tersebut. Kedua, terkait dengan cara yang diterapkan oleh FKUB masing-masing provinsi dalam menyelesaikan permasalahan antar umat beragama di masing- masing wilayah. Ketiga, terkait dengan relevansi kepemimpinan kolektif kolegial dalam menyelesaikan permasalahan antar umat beragama di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dengan kepemimpinan kolektif kolegial dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Indonesia sebagai subject matter. Selain itu, desain multisitus digunakan dalam penelitian ini guna mengetahui pola umum dan khusus dalam kepemimpinan kolektif kolegial pada FKUB Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur. Teknik purposive dipilih untuk menentukan subjek penelitian dengan empat orang anggota FKUB yakni ketua dan tiga orang lain yang memiliki peran penting dalam FKUB. Teknik pengumpulan data dilakukan

(5)

dengan wawancara, dokumentasi, pengamatan, kajian literatur dan Forum Group Discussion (FGD).

Tema penelitian semacam ini sebelumnya sudah banyak dilakukan, namun terdapat banyak perbedaan baik secara teoretik maupun konseptual dari penelitian ini. Pertama, kajian tentang masalah umat beragama yang pernah dilakukan oleh Ahmad Syafi’I Mufid (2014) dengan judul “Kasus Kasus Aktual Kehidupan Keagamaan di Indonesia”; Titik Suwariyati, et al.

(2003) dengan judul “Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia”; Nuhrison M. Nuh (2014) dengan judul “Penistaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam”; Ahmad Syafi’I Mufid (2009) dengan judul “Kasus-Kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual di Indonesia.”

Kedua, kajian tentang manajemen konflik yang pernah dilakukan oleh Bahrul Hayat (2013) dengan judul “Mengelola Kemajemukan Umat Beragama”; M. Mukhsin Jamil (2007) yang berjudul “Mengelola Konflik Membangun Damai, Teori Strategi dan Implementasi”; Nur Syam (2016) dengan judul “Menjaga Harmoni Menuai Damai, Islam, Pendidikan dan Kebangsaan”; M.

Hasyim Syamhudi (2013) dengan judul “Satu Atap Beda Agama, Pendekatan Sosiologi Dakwah di Kalangan Masyarakat Muslim Tionghoa”; Volker Kuster and Robert Setio (2014) dengan judul

“Muslim Christian Relation Observed, Comparative Studies from Indonesia and the Netherlands”; E. Armada Riyanto (2010) dengan judul “Dialog Intereligius, Historisitas, Tesis, Pergumulan dan Wajah.”

Ketiga, kajian tentang konflik umat beragama yang pernah dilakukan oleh M. Ali Humaedi (2008) dengan judul “Islam dan Kristen Di Pedesaan Jawa, Kajian Konflik Sosial Keagamaan dan Ekonomi Politik di Kasimpar dan Karangkobar”; M. Yusuf Asry (2014) dengan judul “Penyiaran Agama dalam Mengawal Kerukunan di Indonesia, Respon Masyarakat dan Peran Pemerintah (SKB No.1 Tahun 1979)”; Th. Sumartana et al. (2005) dengan judul “Pluralisme, Konflik & Pendidikan Agama di Indonesia”; Abdul Jamil (2012) dengan judul “Potensi Konflik

(6)

dan Integrasi Kehidupan Keagamaan di Provinsi Gorontalo”;

Kazeem Olowasion Dauda (2020) dengan judul “Islamophobia and Religious Intolerance Threat to Global Peace and Harmonious Coexistence.”

Keempat, kajian terkait kepemimpinan kolektif dan kerukunan umat beragama yang pernah dilakukan oleh Asep Ahmad Hidayat (2012) yang berjudul “Model Penanganan Konflik Keagamaan antara Jamaah Qur’ani dan Jamaah Sunnah di Desa Cibunar Tarogong Kidul Kabupaten Garut”; Lailial Muhtifah (2012) dengan judul “Model Penanganan Konflik Bernuansa Sara di Kota Pontianak Kalimantan Barat”; Betria Zarpina dan Doli Waitro (2020) dengan judul “Islamic Moderation as a Resolution of Different Conflict of Religion”; M.

Khusna Amal (2020) dengan judul “Towards a Deliberative Conflict Resolution? A Reflection on State Inclusive Response to Sunni-Syiah Tension in Indonesia’s Democracy”; Idrus Al Hamid (2020) dengan judul “Islam, Local ‘Strongman’ and Multitrack Diplomacies in Building Religious Harmony in Papua”; Adang Kuswaya dan Muhammad Ali (2021) dengan judul “The Concept of Peace in the Qur’an: A Socio-Thematic Analysis of Muslim’s Contestation in Salatiga Indonesia”; M. Mukhsin Jamil (M. M. Jamil 2007) dengan judul “Mengelola Konflik Membangun Damai (Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik).”

Penelitian ini menggunakan konsepsi Teori Rasional dan Teori Carnegie. Di dalam konsepsi teori rasional bahwa pengambilan keputusan di dalam organisasi ditentukan oleh sejauh mana kemampuan para pimpinan di dalam mengambil keputusan yang rasional. Keputusan rasional dapat dilakukan jika tersedia informasi, ruang, waktu dan peluang untuk secara Bersama menyelesaikan problem organisasi. Sedangkan di dalam konsepsi Carnegie, keputusan yang diambil oleh para pimpinan organisasi di dalam banyak hal diidentifikasi dengan ketidakcukupan informasi, ketiadaan peluang yang besar dan juga timing dan keberhasilannya sangat ditentukan oleh faktor negosiasi, saling kompromi dan tawar menawar di antara

(7)

pimpinan dan anggota di dalam organisasi (Nurhasanah 2005, 209-240).

Teori di atas lebih dimaknai sebagai faktor internal organisasi. Jadi konsepsi Teori Rasional maupun Teori Carnegie sesungguhnya adalah bagaimana pengambilan keputusan dilakukan dalam menghadapi masalah internal organisasi, atau lebih tepat disebut motif internal untuk menyelesaikan masalah di dalam organisasi berdasarkan konsepsi Atalia Omer, R. cott Appleby (2015) bahwa untuk membangun perdamaian, maka ada beberapa komitmen yang harus dipegang oleh semua pihak, yang disebut sebagai rule engagement, yaitu: orang yang tergabung di dalam konteks pembangunan harus terlibat di dalam upaya membangun perdamaian secara luas, baik dalam perencanaan maupun dalam membantu jalan keluarnya. Lalu, harus sedapat mungkin bertindak inklusif di dalam melihat nilai, concern, insight, dan kepentingan dengan membangun kesadaran secara profesional dalam hubungannya dengan pandangan lokal dengan mengabaikan pandangan yang lebih terkesan terpusat, terutama elemen-elemen yang tidak kondusif atau cocok bagi upaya pembangunan perdamaian tersebut.

Kemudian, melokalisasi konflik berbasis nilai akomodatif, yang dilakukan oleh agen dalam atau luar, sehingga pembangunan perdamaian secara profesional tidak akan merusak situs tradisi, kebiasaan dan praktik namun lebih searah untuk mengembangkan kebersamaan untuk mencapai tujuan.

Hal yang tidak kalah penting juga membangun keterbukaan pada elit local, actor agama, dan pejabat pada setiap tahapan dalam merumuskan perencanaan dan mengimplementasikan proses pembangunan perdamaian. Penelitian ini berbeda dengan penelitian berbasis pada konsepsi teori rasional dan Carnegie, sebab yang dihadapi oleh pimpinan dan anggota organisasi bukanlah faktor internal organisasi tetapi faktor eksternal, yaitu bagaimana organisasi dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Jadi melalui penelitian didapatkan satu masukan konsepsi atau

(8)

rumusan teori yang menggambarkan tentang bagaimana pola atau model penyelesaian masalah yang dihadapi oleh organisasi yang dapat dilabeli sebagai organisasi dengan pola kepemimpinan kolektif kolegial.

Lintas Sejarah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Indonesia adalah negara multikultural yang memiliki ragam budaya, ras, bahkan agama. Perbedaan ini sering kali memunculkan gesekan yang menyebabkan ketegangan antar masyarakat, terutama disebabkan oleh perbedaan agama. Pada 30 November 1969, pemerintah menyelenggarakan Musyawarah Antar Agama di Gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Jakarta, guna merespon berbagai ketegangan yang terjadi (Firdaus 2014, 68). Pertemuan tersebut dihadiri oleh para pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.

Hasil dari pertemuan tersebut adalah Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan, Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluknya (Firdaus 2014, 68).

Terdapat tiga konsep trilogi yang ditawarkan oleh Menteri Agama saat itu yakni Alamsyah Ratu Perwiranegara. Pertama, kerukunan intern umat beragama. Kedua, kerukunan antar umat beragama. Ketiga, kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Ia membentuk Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (WMAUB) guna mendukung konsep trilogi kerukunan (Azra 1998, 341). Trilogi tersebut masih menjadi landasan utama bagi pelaksanaan kerukunan umat beragama di Indonesia.

Ketika Munawir Sjadzali menjabat sebagai Menteri Agama selanjutnya, ia membentuk LPKUB (Lembaga Pengkajian Kerukunan Antar Umat Beragama) di tiga kota yakni Ambon, Medan dan Yogyakarta. Namun, WMAUB dan LPKUB dianggap

(9)

milik kalangan elit karena model implementasinya yang bersifat top-down (Azra 1998, 421-423).

Pada tahun 2005 terjadi polemik terkait dengan SKB No 01/BER/MDN-MAG/1969 yakni beberapa kalangan meminta untuk dicabut. Hal tersebut dikarenakan aturan tersebut justru menjadi penghambat pendirian rumah ibadah. Di sisi lain, sebagian meminta untuk tetap dipertahankan. Alhasil, Presiden memerintahkan kepada Menteri Agama, untuk mengkajinya.

Hasilnya adalah SKB tersebut membutuhkan penyempurnaan (Litbang dan Kementerian Agama RI 2010, 2-3).

Pada proses penyempurnaan tersebut, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri membentuk tim khusus beranggotakan dua orang di setiap perwakilan agama. Tim tersebut melakukan sebanyak 11 kali pertemuan. Hasilnya adalah perumusan Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006, yang ditandatangani oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Maret 2006 (Litbang dan Agama RI 2010, i-iii). Di dalam PBM memuat tiga hal, pertama, Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat beragama. Kedua, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Ketiga, Pendirian Rumah Ibadat (Litbang dan Kementerian Agama RI 2010, 190).

Struktur, Fungsi dan Personal Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) merupakan sebuah organisasi sosial keagamaan semi pemerintah. Artinya, institusi ini didirikan atas terbitnya Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 9 dan 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Struktur tersebut sebagaimana data yang diperoleh bahwa struktur organisasi FKUB di Provinsi sudah

(10)

sesuai dengan regulasi, baik FKUB Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Timur. Di dalam hal ini, penetapan struktur jabatan dan nama pengurus telah dilakukan oleh masing-masing gubernur sesuai dengan regulasi yang mengaturnya.

FKUB di Sumatera Utara memiliki status yang tercantum dalam Peraturan Bersama (PBM) No.9 dan 8 Tahun 2006; Surat Sekretaris Departemen Agama 2 Mei 2006; Peraturan Gubernur (Pergub) No.24 tanggal 19 Desember 2006 Tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Provinsi dan Kabupaten/Kota; SK GUBSU Nomor Tahun 188.44/598/KPTS/2017. Anggota FKUB Sumatera Utara berjumlah 21 anggota sebagai representasi enam agama. Struktur anggotanya terdiri dari seorang ketua, dua wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan 16 anggota.

Terdapat beberapa program kerja yang telah disusun oleh FKUB Sumatera utara. Pertama, dialog antar umat beragama.

Kedua, mengadakan camp pada pemuka agama dan interfaith para pemuda lintas agama. Ketiga, membangun Literasi wasathiyah di Kalangan pemuka agama. Keempat, mengadakan pendidikan dan Latihan dalam upaya memahami agama. Kelima, kajian intern umat beragama. Keenam, sosialisasi peraturan perundang-undangan.

Pola kepemimpinan kolektif kolegial yang diterapkan pada FKUB Sumatera Utara identik dengan lima hal. Pertama, apapun dilakukan bersama, sehingga semua keputusan didasari oleh kesepakatan. Kedua, musyawarah dilakukan untuk mengambil keputusan. Ketiga, egalitarian atau persamaan status setiap anggota. Keempat, relatif lambat dalam pengambilan keputusan. Kelima, memuaskan semua pihak.

Teradapat beberapa tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh FKUB Provinsi Sumatera Utara. Beberapa di antaranya adalah ketergantungan pada gubernur, anggaran yang tidak independent, kerja sama yang kurang luas, kesibukan masing-masing pengurus serta dukungan pemerintah yang dianggap belum maksimal. Selain itu, permasalahan yang sering kali membutuhkan sentuhan tangan FKUB adalah pendirian

(11)

rumah ibadah. Misalnya, kasus Gereja HKBP yang tidak bisa dibangun di Binjai Selatan; kasus masjid yang tidak bisa dibangun di Sarulla; kasus “Budha Rupang” di Tanjung Balai dan kasus “Meliana”. Solusi yang ditawarkan oleh pihak FKUB dalam menjawab tantangan dan permasalahan di atas adalah mengundang pihak yang berkeberatan, membawa pada rapat pengurus, menentukan solusi melalui musyawarah serta jika dikaitkan dengan permasalahan internal agama, maka akan diserahkan kepada tokoh agama terkait.

FKUB Jawa Barat pada statusnya tertulis dalam Peraturan Bersama (PBM) No.9 dan 8 Tahun 2006; Pergub No. 36 tahun 2019 tentang pedoman pelaksanaan kerukunan beragama di JABAR, pendanaan FKUB JABAR oleh Pemprov; Pergub No. 220 Tahun 2019 tentang anggota FKUB JABAR, susunan pengurus 21 orang; Pergub No. 200 Tahun 2019 tentang Dewan Penasehat FKUB. Jumlah pengurus FKUB Jawa Barat adalah 21 orang dengan representasi enam agama dan Etnis Pasundan. Struktur pengurus terdiri dari ketua, dua wakil ketua, sekretaris, bendahara dan 16 anggota.

Terdapat beberapa program kerja FKUB Jawa Barat.

Pertama, sosialisasi Peraturan Perundang-undangan.

(Pemahaman yang masih minim, terutama PBM). Kedua, sosialisasi Peraturan Perundang-undangan. (Pemahaman yang masih minim, terutama PBM). Ketiga, diskusi publik/seminar/workshop mengenai isu aktual terkait kerukunan (Tahun kemarin). Keempat, dialog lintas agama disertai kreasi/inovasi menarik. Kelima, kunjungan silaturrahmi rutin antar tokoh dan lembaga agama. Keenam, menjalin kerja sama dalam proyek sosial dan kemanusiaan. Ketujuh, membangun proyek percontohan lingkungan toleransi.

Kedelapan, melakukan pembinaan pada generasi muda lintas agama. Kesembilan, menampung dan menyalurkan aspirasi majelis agama/ormas keagamaan.

Pola kepemimpinan kolektif kolegial di Jawa Barat identik dengan dua hal. Pertama, setiap pengambilan keputusan

(12)

dilakukan dengan koordinasi yang baik melalui keterlibatan seluruh pengurus. Kedua, egalitarian. Artinya, seluruh pengurus tidak ada yang merasa lebih atau mendominasi.

Terdapat beberapa tantangan dan permasalahan yang sering kali dihadapi oleh FKUB Jawa Barat. Dua di antaranya adalah tidak mendapatkan dana sejak tahun 2010 dan belum memiliki gedung pribadi. Permasalahan yang sering dihadapi FKUB Jawa Barat disebabkan beberapa hal. Pertama, model hubungan FKUB yang konsultatif. Kedua, dorongan kelompok intoleran. Ketiga, kemampuan eksekusi terkait sistem support pemerintah.

Keempat, dukungan pemerintah yang kurang maksimal. Kelima, hoaks yang masih marak. Keenam, budaya Jawa Barat yang mengalami perubahan karena perkembangan IPTEK. Solusi yang ditawarkan oleh FKUB Jawa Barat dalam menjawab tantangan tersebut di antaranya adalah menggunakan media untuk memberikan statemen, melakukan edukasi dengan pendekatan dan melakukan koordinasi serta kolaborasi dengan ormas/majelis agama yang lain.

FKUB Provinsi Jawa Timur hadir karena Peraturan Bersama Menteri (PBM) Kementerian Agama RI No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, sama halnya dengan FKUB di provinsi lainnya. Jumlah pengurus FKUB Jawa timur adalah 21 orang dengan representasi enam agama. Struktur pengurus terdiri dari ketua, dua wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan 15 anggota.

Beberapa program kerja FKUB Jawa Timur adalah melakukan dialog dengan pemuka dan tokoh agama; menyalurkan aspirasi dalam bentuk kebijakan dari kepala daerah baik ditingkat desa, kabupaten, maupun kota; sosialisasi perundang-undangan terkait kerukunan umat beragama dan Islam moderat;

membangun desa kerukunan dan melakukan kunjungan silaturahmi.

Pola kepemimpinan kolektif kolegial pada FKUB Provinsi Jawa Timur memiliki dua ciri. Pertama, All man shows bukan One man show. Artinya, egalitarian sudah menjadi karakteristik.

Kedua, menjalankan program kerja dengan memberikan

(13)

kesempatan secara bergilir, bukan hanya ketua atau badan pengurus harian lainnya.

Terdapat beberapa tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh FKUB Jawa Timur. Beberapa di antaranya adalah anggaran yang tidak independen; sinergitas kerukunan antar umat beragama masih kurang; serta pembangunan rumah ibadah yang masih menjadi sengketa. Solusi yang ditawarkan oleh FKUB Jawa Timur dalam menyelesaikan tantangan dan permasalahan tersebut adalah membangun desa kerukunan;

memaksimalkan peran fasilitator dan mediator; melakukan mediasi; mensosialisasikan peraturan perundang-undangan dan melakukan kunjungan silaturahmi pada majelis agama.

Kepemimpinan Kolektif Kolegial Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

FKUB sebagaimana regulasi yaitu PBM No. 9 dan No. 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, dinyatakan merupakan representasi para wakil pemimpin agama-agama. Sesuai dengan regulasi, maka jumlahnya sebanyak 21 orang yang terdiri dari perwakilan agama-agama. Sesuai dengan UU PNPS No 1 Tahun 1961 bahwa agama yang disebut di dalamnya adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu (Confucius). Artinya, representasi agama di dalam FKUB tentu sesuai dengan regulasi dimaksud.

Secara realitas, bahwa ketua FKUB diambilkan dari agama mayoritas di dalam suatu wilayah. Misalnya di Jawa Barat adalah tokoh Islam, di Sumatera Utara juga wakil dari Tokoh Islam, dan juga di Jawa Timur FKUB dipimpin oleh tokoh Islam. Lain halnya untuk Bali, Sulawesi Utara, NTT, dan Papua dan Papua Barat.

Pada daerah-daerah ini, maka ketua FKUB diberikan kepada mayoritas agama yang dipeluk oleh masyarakatnya. Sedangkan untuk wakil ketua diambil sesuai dengan representasi agama- agama lainnya. Kepemimpinan di FKUB ternyata ditentukan

(14)

berdasarkan representasi umat yang diwakili oleh masing- masing agama. Demikian pula untuk kepemimpinan di dalam departemen-departemen FKUB lainnya.

Meskipun kepemimpinan FKUB ditentukan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur pada masing-masing wilayah, ternyata terlebih dahulu dilakukan sounding dengan para pemimpin agama-agama sehingga di saat sudah dipastikan Surat Keputusan Gubernur tidak terjadi gejolak terkait dengan siapa mewakili apa di dalam agamanya. Sebagai contoh di FKUB Jawa Barat, karena terdapat dua perwakilan umat Katolik, maka dua- duanya diadaptasi di dalam kepemimpinan FKUB daerah setempat. Bahkan yang lebih moderat lagi, perwakilan dari agama lokal juga disertakan di dalam kepemimpinan FKUB.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa di dalam penentuan pimpinan FKUB sudah dilakukan berdasarkan kesepakatan internal dan eksternal pimpinan agama-agama. Misalnya apakah yang akan memimpin itu dari organisasi NU atau Muhammadiyah, yang menjadi wakil ketua I dari Kristen atau Katolik sudah dibicarakan di dalam musyawarah yang dilakukan di antara mereka. Inilah yang menyebabkan jarang terjadi polemik di dalam kepemimpinan FKUB sejauh yang diketahui.

Kepemimpinan kolektif kolegial memang menjadi pilihan terbaik bagi FKUB. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa di dalam FKUB terdapat berbagai individu dengan keyakinan agama yang berbeda. Mereka yang menjadi pengurus FKUB adalah menjadi representasi umat beragama di masing-masing wilayah. Oleh karena itu, pilihan menggunakan pola kepemimpinan kolektif kolegial merupakan keharusan berbasis kepentingan dan situasinya. Meskipun kepemimpinan situasional itu rawan dalam konteks lingkungan sosialnya, dan memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang drastis, namun pola inilah yang relevan dengan organisasi sosial keagamaan di dalam FKUB. Artinya, ada Tindakan rasional bertujuan atau in order to motif (Syam 2010), bahwa seseorang akan melakukan tindakan sesuai dengan dimensi internal di

(15)

dalam dirinya. Ada faktor internal di dalam dirinya untuk melakukan tindakan terkait atau yang ditujukan kepada orang lain.

Kepemimpinan tentu erat kaitannya dengan pengambilan keputusan. Artinya bahwa di dalam menjalankan roda kepemimpinan di dalam suatu organisasi maka keputusan pasti diambil sejauh keputusan tersebut rasional. Secara teoretis, Carnegie (Nurhasanah 2005) menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam organisasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan rasional dengan mengedepankan sisi ketercukupan informasi, kekuatan negosiasi, kompromi dan tawar menawar, waktu yang tepat dan keterbukaan untuk menerima pandangan dan rasionalitas lainnya. Keputusan akan berhasil manakala di dalamnya terdapat sikap saling menerima dan memberi sesuai dengan kapasitas persoalan yang dihadapi bersama.

Berbasis data bahwa di dalam pengambilan keputusan dilakukan dalam berbagai tahapan. Pertama, mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, dan setelah itu dilakukan dialog di dalam FKUB untuk memperoleh gambaran pandangan, sikap dan tindakan seperti apa yang seharusnya dilakukan. Baik di FKUB Provinsi Sumatera Utara, FKUB Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur, maka selalu menggunakan forum rapat dan dialog untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi terkait dengan kehidupan umat beragama. Ada yang menggunakan pertemuan sekali dalam sepekan untuk membicarakan masalah-masalah aktual yang dihadapi dan ada juga yang bersifat temporer, tetapi yang jelas bahwa forum pertemuan dan dialog menjadi ciri utama di dalam kepemimpinan kolektif kolegial.

Negosiasi merupakan kata penting di dalam kepemimpinan kolektif kolegial sebagaimana yang dilakukan oleh FKUB. Kata inilah yang semula ini digunakan oleh FKUB untuk menjalankan kepemimpinan yang bercorak latar belakang bervariasi dari anggotanya. Bayangkan jika pemimpin FKUB tidak melakukan negosiasi dalam menyelesaikan persoalan kecil atau besar. Yang

(16)

tergolong masalah kecil misalnya yang terjadi di Jawa Barat dan Sumatera Utara dan Jawa Timur tentang pendirian tempat ibadah sampai yang besar misalnya terjadinya pembakaran rumah atau tempat ibadah seperti di Jawa Barat kasus Ahmadiyah di Cikesik, lalu di Jawa Timur terkait dengan Pembakaran rumah milik warga Syiah di Sampang dan Sumatera Utara terkait dengan demonstrasi bangunan Ibadah di Tanjung Balai.

Penyelesaian masalah melalui negosiasi memang membutuhkan waktu Panjang, sebab di dalamnya tentu terdapat pembicaraan dan bahkan perdebatan yang terkait dengan kompromi dan tawar menawar, sehingga tentu membutuhkan kesadaran, sikap dan tindakan yang tidak mengedepankan egonya masing-masing tetapi saling menerima dan menyetujui jika sudah ada ketepatan keputusan dimaksud. Ada sikap like in dislike. Bisa saja di antara pimpinan dan anggota FKUB ada yang belum sepenuhnya menerima keputusan, akan tetapi jika keputusan tersebut adalah yang terbaik bagi semuanya tentu diterima dalam posisi saling menjaga marwah dan martabat organisasi. Makanya, harus terdapat banyak alternatif dan juga dasar-dasar rasional yang menjadi basis pemikiran, sikap dan tindakan. Kemudian di antara sekian banyak alternatif yang didiskusikan, maka akan dipilih mana yang lebih efektif dan efisien. Di dalam konsep Islam disebut sebagai akhaffu dzararain atau memilih yang resikonya paling sedikit.

Satu hal yang sangat penting di dalam kepemimpinan kolektif kolegial adalah mengenai keterbukaan untuk menerima dan memberikan pandangan atau respon dari masing-masing eksponen dalam organisasi. Sesungguhnya FKUB berada di dalam konteks yang rumit, sebab bukan organisasi yang bervisi keduniawian seperti perusahaan, akan tetapi ada dimensi teologis dan ritual yang sangat berbeda dan berada di dalam nuansa paradoksal, artinya masing-masing memegangi dimensi teologis dan ritual yang berbeda. Jarak keyakinan dan ritual yang berakibat pada dimensi konsekuensial inilah yang menjadi

(17)

tantangan, kendala dan hambatan dalam merajut negosiasi berbasis pada tawar menawar dan kompromi. Di dalam setiap ada konsepsi bahwa hanya agamanya yang benar atau religion’s way of knowing (Rachman 2004). Pemikiran Arthur J. Adamo ini berporos pada kenyataan empiris bahwa para penganut agama selalu memegangi pemahaman bahwa hanya agamanya saja yang benar dan yang lain salah. Islam di dalam konteks ini dan diyakini oleh pemeluknya bahwa “sesungguhnya hanya Islam yang berada di sisi Allah”. Konsepsi seperti ini terdapat pada seluruh ajaran agama-agama di dunia ini. Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan bahwa agamanya bukan satu-satunya yang benar. Sumber konflik sosial bernuansa agama sebenarnya berasal dari pandangan yang secara fanatik atau eksklusif bahwa agamanya yang paling benar dan yang lain salah dan harus dinihilkan.

Di sinilah letak krusialnya organisasi FKUB tersebut. Namun demikian berdasarkan realita empiris bisa diketahui bahwa meskipun memiliki keyakinan dan ritual yang sangat berbeda, tetapi eksponen FKUB bisa menempatkan diri dalam organisasi.

Artinya bahwa kepentingan umum yang berupa membangun kerukunan umat beragama lebih utama dibandingkan dengan mempertahankan egoism yang tidak bisa dikompromikan.

Sesuai dengan pernyataan yang berkali-kali disampaikan oleh Dr. KH. Hasyim Muzadi, bahwa di dalam membangun relasi antar dan intern umat beragama maka yang sangat mendasar adalah dengan membangun pemahaman: “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan” (Syam 2018b). Di dalam setiap agama terdapat dimensi teologis dan ritual yang berbeda dan tidak mungkin untuk disamakan. Makanya harus diperlakukan apa adanya jangan diotak-atik untuk diupayakan kesamaan.

Inilah ciri agama-agama yang unik dan menarik.

Ribuan tahun manusia telah mengamalkan agama atau keyakinan dengan dan sesuai dengan yang diyakininya. Di dalam bukunya, Karen Amstrong (2001) dinyatakan bahwa sudah selama 4000 tahun manusia mencari Tuhan. Agama Yahudi,

(18)

Kristen dan Islam telah melakukan pelacakan tentang Tuhan dan hasilnya adalah upacara-upacara keagamaan dimaksud.

Makanya di dalam agama terdapat ungkapan sosiologis “The Mysterium Tremendum et Fascinosum”, artinya bahwa Tuhan di dalam ajaran agama-agama itu mengandung misteri yang mengagumkan, menarik tetapi juga menyebalkan. Agama adalah misteri yang sulit dicari, namun justru itulah kekuatan agama, sehingga manusia tidak henti-henti dalam kurun waktu ribuan tahun untuk mencarinya. Dan agama tidak menjadi agama tanpa ada misteri di dalamnya (O’Dea 1996).

Di dalam konteks negosiasi itulah terdapat prinsip agree in disagreement dan juga like in dislike. Tidak ada keputusan yang benar-benar utuh benar dan juga tidak keputusan yang benar salah secara utuh. Makanya setiap keputusan yang dihasilkan di dalam FKUB selalu mengandung dimensi plus minus dan like in dislike. Artinya bahwa keputusan tersebut harus diterima sebagai produk negosiasi yang dilakukan secara terbuka. Secara empiris, bahwa FKUB melakukan pengambilan keputusan secara terbuka, jika ada yang harus ditunda keputusannya maka akan ditunda untuk disepakati dan jika harus diputuskan berjalan maka juga harus dijalankan. Inilah sebabnya pengambilan keputusan di dalam kepemimpinan kolektif kolegial membutuhkan waktu yang panjang dalam pengambilan keputusan. Memerlukan keterbukaan, negosiasi, perundingan dan kompromi yang sedapat-dapatnya tidak terjadi dissenting opinion.

Pola Penyelesaian Masalah dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Menurut Hayat (2013, 180), terdapat pola pendekatan multilayers. Pertama, pembangunan social capital, dengan cara membangun kesepakatan sosial berbasis pada norma sosial, norma dan tata nilai budaya sebagai kearifan sosial, norma ajaran agama sebagai sumber nilai sosial dan norma hukum yakni membangun aturan hukum yang berbasis pada

(19)

kesepakatan elemen agama-agama. Kedua, membangun wawasan kebangsaan berbasis pada multikulturalitas. Hal ini dilakukan untuk membangun to accept atau menerima orang lain, to respect yaitu sikap menghormati orang lain meskipun berbeda keyakinan beragamanya, dan to share atau saling berbagi kehidupan di dalam ranah NKRI. Ketiga, adalah membangun sosial ekonomi, dan politik yang berkeadilan. Pada resolusi konflik, jika ada dua pihak yang berkonflik tidak menemukan kata sepakat maka dibutuhkan negosiator. Di dalam hal ini, FKUB merupakan negosiator bagi para pihak yang berkonflik. Jelas bahwa model penyelesaian konflik dalam FKUB condong pada konsep dalam resolusi konflik.

Berdasarkan konsep ini dapat diketahui bahwa upaya membangun kerukunan umat beragama dengan basis FKUB masih relatif jauh tercapai. Hal ini terkait dengan kapasitas dan kewenangan FKUB yang sangat terbatas. Jika menggunakan konsepsi ini, maka yang sudah dilakukan oleh FKUB adalah pada level pertama, yaitu membangun kesepahaman antar dan intern umat beragama. Yang dilakukan sejauh ini adalah dengan melakukan pengembangan sosial kapital berbasis pada nilai ajaran agama yang memiliki corak universal. Memang terdapat nilai ajaran agama yang bercorak partikular (ajaran teologis dan ritual), akan tetapi juga terdapat ajaran yang bercorak universal yang berupa pesan-pesan perdamaian, pesan keadilan, kejujuran dan pesan moralitas dalam kehidupan. Dalam level ini, maka dapat dinyatakan bahwa upaya yang dilakukan oleh FKUB relatif memadai terutama sebagai wadah untuk menyamakan persepsi, respon dan pemahaman atas perbedaan yang harus dirajut di dalam kebersamaan. Termasuk di dalamnya adalah upaya pemerintah untuk membangun regulasi yang memadai, meskipun di sana-sini masih terdapat kekurangan. Melalui SKB No. 9 dan 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, maka sekurang-

(20)

kurangnya telah terdapat upaya untuk membangun kerukunan terutama terhadap masalah yang paling sering terjadi yaitu pembangunan tempat ibadah. Memang masih dirasakan adanya keluhan-keluhan terkait dengan regulasi ini, misalnya di lapangan masih sering ditafsirkan yang berbeda, sebagai contoh jika terdapat satu orang saja yang tidak setuju, meskipun persyaratan 90 orang dan 60 orang telah terpenuhi maka FKUB tidak bisa memberikan rekomendasinya. Hal ini dinilai oleh beberapa kalangan sebagai upaya untuk “penjegalan” terhadap upaya untuk membangun tempat ibadah. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh penganut agama minoritas. Semua agama mengalaminya. Islam yang berada di wilayah tertentu dan menjadi minoritas atau agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha juga merasakan hal yang sama. Jadi masih terdapat egoism dari penganut atau umat beragama di dalam memahami konteks hukum terkait dengan pendirian tempat ibadah. Di dalam kasus seperti ini, maka FKUB tidak berani untuk melakukan tindakan yang lebih tegas disebabkan oleh teks regulasi memang masih membutuhkan penjelasan. Di sini maka umat beragama bisa membuat tafsirnya sendiri, sehingga dapat menghambat terhadap upaya untuk membangun kerukunan umat beragama. Di dalam pemberian izin mendirikan tempat ibadah, maka pemerintah daerah atau kementerian agama harus memperoleh kepastian kebolehan dari FKUB. Hal yang tidak kalah menarik juga terkait dengan Izin Mendirikan bangunan (IMB).

Jika mengamati kewenangan FKUB, maka sejauh yang bisa dilakukan adalah membangun kerukunan umat beragama dalam coraknya yang elementer sebab memang sebagai organisasi semi pemerintah, FKUB tidak memiliki kewenangan pada layer ketiga atau membangun kehidupan sosial ekonomi dan politik yang berkeadilan. Peran seperti ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintah secara menyeluruh. Sementara itu, pemerintah belum secara optimal dalam kerangka untuk melakukan pembangunan yang berkeadilan. Di dalam

(21)

kenyataannya masih terdapat kesenjangan ekonomi yang relatif tinggi, masih terdapat ketidakadilan hukum, dan masalah- masalah lain yang dapat menjadi penyebab terjadinya konflik horizontal. Artinya, pendekatan multilayers tidak bisa digunakan sepenuhnya untuk menjelaskan peran FKUB di dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah di dalam kehidupan beragama. Sejauh yang bisa dilakukan adalah bagaimana membangun kesepahaman di antara para tokoh agama agar para tokoh agama tersebut dapat menjadi agen di dalam upaya membangun kerukunan umat beragama.

Pada tataran pemahaman beragama berbasis pada dialog ternyata juga hanya sampai pada level elit agama atau kaum agamawan, tetapi mestinya harus sampai kepada masyarakat luas. Dialog agama pada level grass-rote. Di dalam Nur Syam (2018, 125), dinyatakan bahwa “Dialog Agama Bukan Sekadar Duduk Bersama”, yaitu dialog agama yang bercorak artifisial dan hanya pada wajah permukaannya. Dialog seharusnya menghasilkan kesepahaman untuk membangun pro-eksistensi dan bukan co-eksistensi. Dialog agama seharusnya menghasilkan kesepahaman untuk saling memahami dan bukan hanya saling mengerti. Memahami bahwa ada perbedaan yang harus dihormati dan persamaan yang harus dikerjasamakan. Di dalam konsepsi yang lebih luas disebut sebagai “boutique multiculturalism” atau multikulturalisme butik, yaitu dialog agama yang sebagaimana pajangan pakaian di dalam etalase, yang dipajang yang bagus tanpa cacat padahal di dalamnya ada hal-hal yang masih belum kelar (Syam 2008, 89-94). Jika sebuah dialog dirajut dalam humanitas, maka dipastikan tidak terdapat dialog yang coraknya hanya bagus di depan tetapi bopeng di dalam.

Relevansi Penyelesaian Masalah Keagamaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

FKUB sebagai organisasi yang memiliki peran untuk membangun kerukunan umat beragama, memang menjadi

(22)

organisasi yang secara struktural diisi oleh representasi umat beragama yang secara eksisten terdapat di dalam UU No 1 Tahun 1966. FKUB Provinsi Jawa Timur dan Sumatera utara menerapkan secara tekstual tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, sedangkan untuk FKUB Provinsi Jawa Barat menggunakan konteks atas PBM No. 9 dan No.8 Tahun 2006. Artinya, bahwa ada Gubernur yang menerjemahkan secara tekstual terhadap konteks regulasi dan sementara juga ada Gubernur yang menerjemahkan secara kontekstual atas regulasi tentang FKUB.

Dengan demikian, sebenarnya terdapat peluang untuk menerjemahkan regulasi sesuai dengan kepentingan daerahnya di dalam membangun kerukunan umat beragama.

Memang tidak ada pilihan bahwa di antara Gerakan yang bisa dilakukan oleh FKUB adalah pada dimensi membangun kesepahaman di antara elit agama melalui wadah FKUB dengan strategi dialog. Sejauh yang bisa dilakukan adalah melalui dialog.

FKUB belum bisa bergerak lebih kuat misalnya mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah dalam merumuskan strategi pembangunan yang berkeadilan. Konsepsi strategi multilayers dalam membangun kerukunan belum bisa dilaksanakan (Hayat 2013). Sejauh-jauhnya baru sampai tahapan membangun kesadaran atas para pimpinan agama. Bahkan dialog berkesetaraan untuk para jamaah atau anggota masyarakat beragama pun belum bisa dilakukan. Jika itu dilakukan sebatas di dalam lingkaran jamaah, misalnya jamaah gereja, masjid, vihara, dan sebagainya.

Sebagai organisasi yang mengusung perwakilan antar pemeluk agama, maka sebenarnya FKUB merupakan organisasi yang sangat strategis. Setiap perwakilan agama di FKUB dapat memberikan masukan secara berkeseimbangan atau berkesetaraan di dalam forum pertemuan atau rapat untuk membahas masalah-masalah keagamaan masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu sesungguhnya pemerintah daerah memberikan

“kewenangan” yang lebih optimal bagi FKUB untuk berkiprah secara lebih maksimal. Misalnya memberikan peran secara lebih

(23)

otoritatif di dalam keterlibatan dan kontribusi bagi FKUB di dalam penyelesaian masalah keagamaan. Yang tentang hal ini, memang belum secara maksimal pemerintah daerah memberikannya. Bahkan di dalam banyak hal FKUB dianggap sebagai organisasi untuk memadamkan api. Jika ada masalah keagamaan barulah FKUB diminta untuk terlibat di dalam penyelesaian masalah. Padahal seharusnya FKUB harus mengambil inisiatif di dalam mendeteksi atau tindakan preventif di dalam membangun kerukunan umat beragama. Untuk memahami bagaimana pemerintah daerah tidak sedemikian kuat perhatiannya dalam memberikan fungsi otoritatif kepada FKUB adalah mengenai penganggaran yang sangat terbatas.

Selama ini anggaran FKUB ditempelkan pada Bakesbang Provinsi, sehingga sangat tergantung kepada bagaimana pemerintah daerah merencanakan anggarannya. Ada yang bisa diberikan setiap tahun dan ada yang tidak. Artinya, bahwa persoalan penganggaran sebagai ruh pergerakan organisasi masih belum menjadi prioritas pemerintah daerah.

Seperti dipahami bahwa sebuah organisasi tentu mengharuskan di dalam dirinya terdapat penganggaran yang jelas berbasis pada rencana kinerja yang akan dilakukan. Hanya sayangnya bahwa FKUB seperti “hanya mendapatkan belas kasihan” dari Pemerintah Daerah. Jika pemerintah daerahnya bertepatan memiliki visi kerukunan umat beragama sebagai fondasi pembangunan, maka FKUB akan memperoleh peluang untuk menganggarkan secara lebih baik dan sebaliknya.

Memang harus diakui bahwa di dalam anggaran berbasis kinerja, maka unit atau organisasi yang harus proaktif untuk mengajukan program yang feasible dan workable. Jika para pemimpin organisasi tidak bisa melakukannya, maka dipastikan bahwa anggaran yang diajukan akan dipotong karena ketiadaan data pendukung yang kuat. Program kerja harus tepat anggaran, tepat sasaran, tepat pelaksanaan dan tepat evaluasinya (Syam 2018).

(24)

Kesimpulan

Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa dialog keberagamaan melalui FKUB sudah menjadi bagian tidak terpisahkan di dalam kerja-kerja FKUB. Dialog merupakan kata kunci baik di dalam kegiatan preventif jika diketahui terdapat potensi konflik di antara umat beragama. Selain itu juga menjadi instrumen penting di dalam menyelesaikan masalah keberagamaan. Dari ketiga teori yang dijadikan sebagai perspektif di dalam penelitian ini, maka dialog merupakan layer pertama. Dialog dilakukan di kala semua informasi yang terkait dengan masalah sudah mencukupi untuk dijadikan sebagai materi atau konten dialog. Ketercukupan informasi tentu akan sangat membantu di dalam proses identifikasi faktor-faktor penyebab sebagai basis bagi pengambilan alternatif penyelesaian masalah.

Teori Carnegie tentang rational choice dalam membangun kerukunan umat beragama memang cocok untuk melihat kiprah para pimpinan dan anggota FKUB dalam penyelesaian masalah.

Hanya saja teori tersebut sangat general sehingga tidak terkait khusus dengan penyelesaian masalah-masalah keagamaan. Oleh karena itu, di antara yang menjadi temuan konseptual di dalam penelitian ini adalah dialog antar umat beragama dalam konteks penyelesaian masalah berbasis pada kearifan lokal, keberagamaan inklusif dan saling menjaga kehormatan, kesetaraan dan keterbukaan dalam menerima gagasan, pandangan, ide dan alternatif solusi yang solutif.

Sementara itu, konsepsi Bahrul Hayat dan Scott Appleby yang lebih terfokus pada rekonsiliasi hanya dapat dilakukan pada tahapan pertama dan belum menyentuh pada dimensi resolusi konflik yang mendasar. Dialog untuk saling memahami sudah dilakukan berbasis pada keterbukaan, kesetaraan dan kerja sama aktor, akan tetapi tindak lanjut untuk membangun perdamaian dengan konsep resolusi memang belum optimal dilakukan.

(25)

Referensi

Agama, Badan Litbang dan Diklat Kementerian. 2010. Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama Dalam Pelaksanaan Pasal 8, 9, Dan 10 Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Dan 8 Tahun 2006. Jakarta:

Maloho Jaya Abadi.

Ali, Adang Kuswaya & Muhammad. 2021. “The Concept of Peace in the Qur’an: A Socio-Thematic Analysis of Muslims’

Contestation in Salatiga, Indonesia.” Qudus Inyernational Journal of Islamic Studies 9, No. 1: 73–102.

Amal, M. Khusna. 2020. “Toward a Deliberative Conflict Resolution? A Reflectuon on State Inclusive Denocracy.”

Qudus Internasional Jourbal of Islamic Studies 8, No. 2: 226–

56.

Amstrong, Karen. 2001. A History of God: 4.000-Year Quest of Judaism, Cristianity. Edited by Zaimul Am. Bandung: Mizan.

Asry, M. Yusuf. 2014. Penyiaran Agama Dalam Mengawal Kerukunan Di Indonesia, Respon Masyarakat Dan Peran Pemerintah (SKB No.1 Tahun 1979). Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Atalia Omer, R. cott Appleby, David Little. 2015. The Oxford Handbook of Religion, Conflict, and Peacebuilding,. Oxford:

Oxford University Press.

Azra, Azyumardi. 1998. Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik. Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI.

Dauda, Kazeem Olowasion. 2020. “Islamphobia and Religious Intolerance Threat to Global Peace and Harmonious Co Existence.” Qudus Internasional Journal of Islamic Studies 8, no. 2.

Firdaus, Muhammad Anang. 2014. “EKSISTENSI FKUB DALAM MEMELIHARA KERUKUNAN UMAT Kontekstualita, Vol. 29, No.1, 2014 63 Eksistensi FKUB Dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia.” KKonstektualita 29, no. 1: 63–84.

Hamid, Idrus A. 2020. “Islam, Local ‘Strongman’ , and Multi Track Diplomacies in Building Religious Harmony in Papua.”

(26)

Journal of Indonesian Islam 14, No. 1: 113–38.

Hayat, Bahrul. 2013. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama.

Jakarta: Center for Religious Harmony Minstery of Religious Affairs Republic of Indonesia.

Hidayat, Asep Ahmad. 2012. “Model Penanganan Konflik Keagamaan Antara Jama’ah Qur’ani Dan Jama’ah Sunnah Di Desa Cibunar Tarogong Kidul Kabupaten Garu.” Harmoni 11, No. 3: 89–100.

Humaedi, M. Ali. 2008. Islam Dan Kristen Di Pedesaan Jawa, Kajian Konflik Sosial Keagamaan Dan Ekonomi Politik Di Kasimpar Dan Karangkobar. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat.

Jamil, Abdul. 2012. “Potensi Konflik Dan Integrasi Kehidapan Keagamaan Di Provinsi Gorontalo.” Jurnal Multikultural &

Multireligius 11, No. 3: 116–27.

Jamil, M. Mukhsin. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai, Teori Strategi Dan Implementasi. Semarang: Walisongo Mediation Centre.

Mufid, Ahmad Syafi’i. 2014. Kasus-Kasus Aktual Kehidupan Keagamaan Di Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Muhtifah, Lailial. 2012. “Model Penanganan Konflik Bernuansa Sara Di Kota Pontianak Kalimantan Barat.” Jurnal Multikultural & Multireligius 11, No. 3: 128.

Nuh, Buhrison M. 2014. Penistaan Agama Dalam Perspektif Pemuka Agama Islam. Jakarta: Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan.

Nurhasanah, Dicky Wisnu UR & Siti. 2005. Teori Organisasi, Struktur Dan Desain. Malang: UMM Press.

O’Dea, Thomas F. 1996. Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal.

Cetakan VI. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Rachman, Budhy Munawar. 2004. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Depok: Srigunting.

RI, Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama. 2010. Buku Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor. 9 Tahun 2006 Dan Nomor. 8 Tahun 2006.

Jakarta: Maloho Jaya Abadi.

Riyanto, E. Armada. 2010. Dialog Interreligious, Historisitas,

(27)

Tesis, Pergumulan Dan Wajah. Yogyakarta: Kanisius.

Sumartana, Th. 2005. Pluralisme, Konflik & Pendidikan Agama Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suwariyati, Titik. 2003. Konflik Sosial Bernuansa Agama Di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitabng Kehidupan Beragama.

Syafi’i, Ahmad. 2009. Kasus-Kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual Di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehiduoan Kegamaan.

Syam, Nur. 2008. Tantangan Multikulturalisme Indonesia : Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius.

———. 2010. Model Analisis Teori Sosial. Surabaya: ITS Press.

———. 2016. Menjaga Harmoni, Menuai Damai, Islam, Pendidikan Dan Kebangsaan. Jakarta: Prenada Media.

———. 2018a. Friendly Leadership: Kepemimpinan Sebagai Ruh Manajemen. Yogyakarta: LKiS.

———. 2018b. Islam Nusantara Berkemajuan: Tantangan Dan Upaya Moderasi Agama. Semarang: Fatawa Publishing.

———. 2021. “Agen Moderasi Beragama Di Era Pertarungan Ideologi (Bagian Dua).” Nur Syam Centre. 2021. Agen Moderasi Beragama di Era Pertarungan Ideologi (Bagian Dua).

Syamhudi, M. Hasyim. 2013. Satu Atap Beda Agama, Pendekatan Sosiologi Dakwah Di Kalangan Masyarakat Muslim Tionghoa. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.

Volker Kuster, Robert Setio. 2014. Muslim Christian Relation Observed, Comparative Studies Form Indonesia and the Netherlands. Jerman: Evangelische Verlagsanstal GmbH.

Waitro, Betria Zarpina Yanti & Doli. 2020. “Islamic Moderation as a Resolution of Different Conflict of Religion.” Andragogi 8, No. 1: 446–57.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah siswa/i SDS Muhammadiyah 03 Kota Medan selesai mengerjakan tugas, orang tua siswa/i diminta untuk mengirimkan tugas lewat WhatsApp atau grup online yang

Sedangkan menurut Maier dalam S u p a r n o ( 2 0 1 3 ) m e n y e b u t k a n b a h w a kemampuan spasial merupakan konsep abstrak yang didalamnya

Di Indonesia dikenal tumbuhan melinjo (Gnetum gnemon) yang merupakan anggota dari kelompok ini. Daunnya tunggal, duduknya berhadapan. Batangnya berkayu tanpa saluran

 Penggunaan tanah yang paling luas adalah untuk sektor Penggunaan tanah yang paling luas adalah untuk sektor pertanian yang meliputi penggunaan untuk pertanian pertanian

Melalui pembelajaran daring dengan membaca dan mengamati modul dan powerpoint wacana tentang perubahan wujud benda mencair, siswa dapat mengidentifikasi informasi

Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah pembelajaran antara tenaga Pendidik dan Peserta Didik yang dilakukan secara jarak jauh dalam berbagai bentuk, modus, dan

LKjIP Bappeda Kota Pekalongan 2019 I-12 RPJMD, RKPD urusan pertanian, pangan, perindustrian, perdagangan, koperasi dan UMKM, penanaman modal, kelautan dan perikanan dan

Perbedaan antara magnet permanen atau magnet keras dan magnet lunak dapat dilakukan dengan menggunakan loop histerisis yang telah dikenal seperti pada gambar