TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Magister
PROGRAM STUDI
MAGISTER MANAJEMEN
Diajukan oleh:
BAGUS PRIAMBODO
NPM : 0861020072
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
SURABAYA
Diajukan Oleh
Bagus Priambodo NPM: 0861020072
Telah disetujui oleh:
Pembimbing Utama
Prof. Dr. Soeparlan Pranoto. SE, Ak, MM Tanggal: ………. Pembimbing Pendamping
Dr. Sumarto, SE, MS Tanggal: ………
Surabaya, ………. UPN “Veteran” Jawa Timur
Program Pascasarjana KAPROGDI MM
Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Peran Gaya Kepemimpinan, Motivasi, Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Sales Forces (Studi Pada PT. Asta Kencana Cemerlang di Surabaya)” dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi satu syarat penyelesaian Gelar Magister, Program Studi Magister Manajemen,
Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Peneliti menyadari bahwa penyusunan tesis ini tidak akan selesai
dengan baik tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu peneliti menghaturkan rasa terima kasih yang mendalam kepada:
1. Prof. Dr. H. Djohan Mashudi, SE, MS, selaku Direktur Pascasarjana
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur beserta
Staf yang telah setia mendukung kegiatan perkuliahan sampai dengan
proses penyusunan tesis ini.
2. Prof. Dr. Soeparlan Pranoto. SE, Ak, MM, selaku pembimbing utama, dan Dr. Sumarto, SE, MS, selaku pembimbing pendamping, yang telah
tesis ini sehingga siap diujikan.
4. Dr. Muhadjir Anwar, SE, MM dan Dr. Ir. Sudiyarto, MM yang selalu memberikan motivasi, semangat dan dorongan hingga peneliti dapat
menyelesaikan tesis ini tepat waktu.
5. Ibu Ide Suwiharti selaku pimpinan PT. Asta Kencana Cemerlang yang
telah mengijinkan perusahaannya menjadi objek penelitian.
6. Ibu, Bapak, Didin serta keluarga besar, Elfa, Adi, Odi dan seluruh teman, yang telah mendukung baik secara materi maupun non materi
dalam proses menyelesaikan studi S2.
7. Rekan-rekan kuliah Program Studi Magister Manajemen angkatan 17
yang telah menjadi teman diskusi, “semangat terus !”.
Semoga Allah SWT melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu peneliti sehingga dapat
menyelesaikan tesis ini. Peneliti menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat peneliti harapkan. Akhir kata peneliti berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surabaya, September 2010
DAFTAR ISI
2.1.1. Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan Kepuasan Kerja……… 13
2.1.2. Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan Kinerja Sales Forces……… 30
2.1.3 Hubungan Motivasi Dengan Kepuasan Kerja………. 31
2.1.4. Hubungan Motivasi Dengan Kinerja Sales Forces … ... 51
3.5. Prosedur Pengumpulan Data ... 66
3.5.1. Jenis Data ... 66
3.5.2. Teknik Pengumpulan Data ... 66
3.6. Populasi dan Sampel ... 67
3.7. Analisis Data ... 69
3.7.1. Model Struktural dan Pengukuran ... 69
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 78
4.1. Deskripsi Obyek Penelitian ... 78
4.2. Hasil Penelitian ... 81
4.2.1. Deskripsi Karakteristik Responden ... 81
4.2.2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 83
4.3. Analisa Data... 92
4.3.1. Evaluasi Outlier ... 92
4.3.2. Evaluasi Reliabilitas ... 94
4.3.3. Evaluasi Validitas ... 95
4.3.4. Evaluasi Construct Reliability dan Variance Extracted ... 96
4.3.5. Evaluasi Normalitas ... 98
4.3.6. Analisis Model SEM ... 99
4.3.7. Uji Kausalitas ... 103
4.3.8. Analisis Unidimensi First Order ... 105
4.4. Pembahasan ... 105
4.4.1. Pembentuk Variabel Laten ... 105
4.4.2. Hubungan Antar Variabel Laten ... 111
4.4.2.1. Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan Kepuasan Kerja ... 112
4.4.2.2. Hubungan Motivasi Dengan Kepuasan Kerja ... 113
4.4.2.4. Hubungan Gaya Kepemimpinan
Dengan Kinerja Sales Forces ... 116
4.4.2.5. Hubungan Motivasi Dengan Kinerja Sales Forces ... 117
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 119
5.1 Kesimpulan ... 119
5.2 Saran ... 120
DAFTAR PUSTAKA……… 121
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Data Omzet PT. Asta Kencana CemerlangPeriode
Januari – April 2010 ... 7
Tabel 2.1 : Karakteristik Pemimpin Transaksional dan Transformasional ... 27
Tabel 2.2 : Teori Motivasi-Higiene ... 39
Tabel 3.1 : Goodness of – Fit Indices ... 75
Tabel 4.1 : Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 81
Tabel 4.2 : Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 82
Tabel 4.3 : Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkatan Jenjang Karier ... 82
Tabel 4.4 : Frekuensi Hasil Jawaban Responden Mengenai Gaya Kepemimpinan ... 83
Tabel 4.5 : Frekuensi Hasil Jawaban Responden Mengenai Motivasi ... 85
Tabel 4.6 : Frekuensi Hasil Jawaban Responden Mengenai Kepuasan Kerja ... 87 One Step Approach-Base Model ... 100
Tabel 4.15 : Evaluasi Kriteria Goodness of Fit Indices Model
One Step Approach-Eliminasi-Modifikasi ... 102
Tabel 4.16 : Hasil Uji Kausalitas ... 103
Tabel 4.17 : . Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis ... 104
Tabel 4.18 : Unidimensi First Order ... 105
Tabel 4.19 : Frekuensi dan Faktor Loading Gaya Kepemimpinan ... 106
Tabel 4.20 : Frekuensi dan Faktor Loading Motivasi ... 107
Tabel 4.21 : Frekuensi dan Faktor Loading Kepuasan Kerja ... 108
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 : Data Omzet PT. Asta Kencana Cemerlang Periode
Januari – April 2010 ... 7
Gambar 2.1 : Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota ... 23
Gambar 2.2 : Teori Jalur-Tujuan ... 24
Gambar 2.3 : Motivasi Sebagai Pembangkit Dorongan ... 33
Gambar 2.4 : Jenjang Kebutuhan Maslow ... 35
Gambar 2.5 : Pengaruh Lingkungan Internal dan Eksternal Terhadap Perilaku Kerja Pegawai atau Karyawan ... 59
Gambar 2.6 : Model Konseptual Penelitian ... 61
Gambar 3.1 : Stratifikasi Populasi………. 67
Gambar 3.2 : Model Konseptual dan Indikator ... 70
Gambar 4.1 : Tingkatan Jenjang Karier Sales Forces Tupperware ... 78
Gambar 4.2 : Model One Step Approach – Base Model ... 100
Gambar 4.3 : Model One Step Approach – Eliminasi ... 101
Kepemimpinan, Motivasi, Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Sales Forces (Studi Pada PT. Asta Kencana Cemerlang di Surabaya).
PT. Asta Kencana Cemerlang merupakan distributor Tupperware Indonesia yang berada di Surabaya. Pada periode Januari-April 2010, omzet yang diperoleh cenderung menurun dan berfluktuasi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh: gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja, motivasi terhadap kepuasan kerja, kepuasan kerja terhadap kinerja sales forces, gaya kepemimpinan terhadap kinerja sales forces , dan motivasi terhadap kinerja sales forces.
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam: (1) variabel eksogen yaitu gaya kepemimpinan, motivasi; (2) variabel intervening yaitu kepuasan kerja; (3) variabel endogen yaitu kinerja sales forces. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala likert dengan rentang 1 sampai 5. Sampel dalam penelitian ini adalah sales forces PT. Asta Kencana Cemerlang, metode pengambilan sampel adalah stratified sampling, dengan sampel sebesar 160 responden. Penelitian ini menggunakan Structural Equation Modeling sebagai alat analisa data untuk membuktikan hipotesis yang diajukan.
Hasil penelitian ini menunjukkan gaya kepemimpinan tidak memberikan kontribusi terhadap kepuasan kerja, motivasi tidak memberikan kontribusi terhadap kepuasan kerja, kepuasan kerja memberikan kontribusi terhadap kinerja sales forces, gaya kepemimpinan tidak memberikan kontribusi terhadap kinerja sales forces , dan motivasi memberikan kontribusi terhadap kinerja sales forces.
Bagus Priambodo
Program Pascasarjana Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur,
Abstract
PT. Asta Kencana Cemerlang is a distributor of Tupperware Indonesia in Surabaya. In the period from January to April 2010, turnover obtained tend to decline and fluctuate. The purpose of this study is to analyze the influence: leadership style on job satisfaction, motivation, job satisfaction, job satisfaction on the performance of sales forces, leadership style on the performance of sales forces, and motivation on the performance of sales forces.
The variables used in this study are grouped into: (1) exogenous variables of leadership style, motivation, (2) intervening variables namely job satisfaction, (3) endogenous variable is the performance of sales forces. Measurement scales used are Likert scale ranging from 1 to 5. The sample in this study is the sales forces of PT. Asta Kencana Cemerlang, the sampling method is stratified sampling, with a sample of 160 respondents. This study used Structural Equation Modeling as a tool of data analysis to prove the hypothesis. The results of this study demonstrate leadership style did not contribute to job satisfaction, motivation does not contribute to job satisfaction, job satisfaction contributed to the performance of sales forces, leadership style did not contribute to the performance of sales forces, and motivation to contribute to the performance of sales forces.
1.1. Latar Belakang Masalah
Istilah direct selling bagi masyarakat Indonesia saat ini sudah bukan lagi menjadi istilah yang asing. Direct selling dalam
bentuknya sekarang, sebenarnya telah muncul untuk pertama kali sejak beroperasinya The California Perfume Company di New York
tahun 1886 yang didirikan oleh Dave McConnel. McConnell inilah yang memiliki ide mempekerjakan Mrs. Albee sebagai California Perfume Lady yang pertama menjual dengan cara langsung
kepada konsumen dari rumah ke rumah (www.apli.or.id).
Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi Avon pada
tahun 1939, sementara Mrs. Albee sendiri dianggap sebagai pioneer metode penjualan direct selling, dalam perkembangan berikutnya tahun 1934, muncul perusahaan Nutrilite di California
dengan metode penjualan baru, yaitu memberi komisi tambahan pada distributor independen yang berhasil merekrut, melatih, dan
Metode baru ini memungkinkan seorang distributor terus merekrut anggota baru dengan kedalaman dan keluasan yang tidak
terbatas. Berikutnya tahun 1956, berdiri Shaklee dan tahun 1959 berdiri Amway dengan metode penjualan yang sama, yang kemudian lebih dikenal dengan metode penjualan multi level
marketing (www.apli.or.id).
Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) mendefinisikan direct selling (Penjualan Langsung) adalah metode
penjualan barang dan/atau jasa tertentu kepada konsumen dengan cara tatap muka di luar lokasi eceran tetap oleh jaringan
pemasaran yang dikembangkan oleh Mitra Usaha dan bekerja berdasarkan komisi penjualan, bonus penjualan dan iuran
keanggotaan yang wajar (www.apli.or.id). Yang termasuk direct selling adalah single level marketing (pemasaran satu tingkat) dan
multi level marketing (pemasaran multi tingkat).
Single level marketing (pemasaran satu tingkat) maksudnya
adalah metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem
penjualan langsung melalui program pemasaran berbentuk satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang
Multi level marketing (pemasaran multi tingkat), adalah
metode pemasaran barang dan/atau jasa dari sistem penjualan
langsung melalui program pemasaran berbentuk lebih dari satu tingkat, dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang
dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam kelompoknya
(www.apli.or.id).
Kendati Indonesia memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (setelah Cina, India dan Amerika Serikat) dengan pola kehidupan masyarakat yang konsumtif, namun direct selling
baru berkembang dan bermunculan di negara ini pada tahun 1992, dan yang menaungi perusahaan penjualan langsung (Direct
Selling/DS), termasuk perusahaan yang menjalankan penjualan
dengan sistem berjenjang (Multi Level Marketing/MLM) di Indonesia
adalah APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia).
Jumlah anggota APLI saat ini sudah mencapai 61 perusahaan, namun sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional, bisnis penjualan langsung atau direct selling di Indonesia
pun mengalami pasang-surut. Persaingan yang kian ketat membuat para pelaku harus lebih kreatif menggarap pasar. Salah satu
Tupperware, adalah salah satu perusahaan direct selling terbesar di dunia dan sudah lebih dari 70 tahun berkecimpung
dalam pembuatan produk plastik bermutu yang menawarkan wadah plastik dengan kualitas terbaik untuk makanan dan minuman. Tupperware yang berkantor pusat di Orlando Amerika
Serikat ini ditemukan tahun 1937 di Amerika dan dikembangkan tahun 1946 oleh Earl Tupper. Tupperware memiliki cara penjualan
yang unik, informatif dan menghibur. Produk Tupperware hanya dijual melalui home party Tupperware yang dikenal sebagai Tupperware party dan dilakukan oleh para sales forces yang terdiri
dari dealer, team captain dan manager, sebagai suatu cara yang pertama kali diperkenalkan oleh Brownie Wise
(www.tupperware.co.id).
Kejeliannya memanfaatkan teknologi, membuat Tupperware
tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat, diperkirakan hampir setiap 2,3 detik, Tupperware party diselenggarakan di salah satu sudut dunia. Tupperware selalu
melahirkan produk baru berkualitas inovatif, berdesain unik dengan warna warni yang khas, trendy dan menarik. Produk Tupperware
terbuat dari bahan plastik berkualitas terbaik, tidak mengandung zat kimia beracun dan memenuhi standard dari beberapa badan dunia seperti FDA (Food and Drug Administration) Amerika, European
(Jepang), sehingga selain aman digunakan berkali-kali untuk makanan dan minuman (Food Grade) juga ramah lingkungan,
karena produk Tupperware yang rusak bisa di daur ulang menjadi produk lain seperti bangku plastik, pot tanaman, tempat sampah, dan lain-lain. Sesuai dengan komitmennya dalam memberi
kepuasan maksimal kepada semua pencinta dan penggunanya, Tupperware tak ragu untuk memberikan garansi seumur hidup
selama sesuai dengan pemakaian normal (www.tupperware.co.id).
Selain memiliki produk yang berkualitas, Tupperware juga menawarkan peluang karier yang penuh kesenangan dengan
memberikan penghasilan yang tak terduga. Karyawan dapat menentukan sendiri waktu bekerja dan target pendapatan yang
diinginkan, merupakan bentuk-bentuk kesenangan yang ditawarkan Tupperware.
Tupperware telah beroperasi di lebih dari 120 negara
dengan lebih dari 2,2 juta penjual langsung (sales forces) di seluruh dunia, dan salah satunya adalah Indonesia
(www.tupperware.co.id).
Tupperware Indonesia berdiri sejak tahun 1991, berkantor
tenaga penjual yang tangguh. Tupperware Indonesia juga bergabung dalam APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia),
selain mencari profit Tupperware Indonesia juga memiliki program-program CSR salah satu contohnya adalah program-program Tupperware children fund. Visi Tupperware Indonesia adalah menjadi Company
of Choice dan Brand of Choice. Sedangkan misinya adalah
merubah hidup lebih banyak orang menjadi lebih baik lagi
(www.tupperware.co.id).
PT. Asta Kencana Cemerlang merupakan salah satu distributor Tupperware, yang berlokasi di Jl. Jakarta, Surabaya,
Jawa Timur. Perusahaan ini didirikan tahun 1999 oleh Ibu Ide Suwiharti dengan dibantu oleh 6 karyawan. 2 bagian administrasi, 1
karyawan bagian keuangan, kemudian 1 karyawan bagian gudang dan 2 lainnya adalah supir. PT. Asta Kencana Cemerlang memiliki 587 sales forces aktif. Wilayah kerja atau pemasarannya meliputi
Surabaya, Tuban, Bangil dan Pasuruan, Madura. Target penjualan yang harus dicapai PT. Asta Kencana Cemerlang mencapai
1,2 miliar per bulan dan angka itu selalu dapat dicapai.
Fenomena yang terjadi saat ini terutama pada beberapa bulan terakhir (Januari – April 2010) perolehan omzet PT. Asta
Kencana Cemerlang cenderung menurun dan berfluktuasi sehingga berdampak pada tidak tercapainya target, hal tersebut dapat dilihat
Gambar 1.1: Data Omzet 2010 PT. Asta Kencana Cemerlang
Sumber: data diolah
Data di atas dapat dilihat bahwa pada bulan Februari PT. Asta Kencana Cemerlang mengalami penurunan omzet yang
signifikan dari Rp. 928.537.650 pada bulan Januari menjadi Rp. 584.356.610 pada bulan Februari, meskipun pada bulan Maret
dan April mengalami kenaikan.
Data Omzet PT. Asta Kencana Cemerlang
Periode Januari-April 2010
Target
Omzet Perusahaan
Omzet Sales Forces Tabel 1.1: Data Omzet PT. Asta Kencana Cemerlang Periode Januari-April 2010
Target Omzet Perusahaan Omzet Sales Forces
Januari Rp 1.200.000.000 Rp 928.537.650 Rp 742.148.250 Februari Rp 1.200.000.000 Rp 584.356.610 Rp 607.690.110 Maret Rp 1.200.000.000 Rp 819.859.900 Rp 772.906.750 April Rp 1.200.000.000 Rp 828.810.450 Rp 643.026.750
Penurunan omzet PT. Asta Kencana Cemerlang tersebut merupakan fenomena di perusahaan yang mengindikasikan
adanya masalah sumber daya manusia khususnya kinerja sales forces. Kinerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Prabu, 2002:67), hal ini tentunya berkaitan dengan gaya kepemimpinan,
motivasi, dan kepuasan kerja.
Sebagaimana hasil penelitian terdahulu yang dilakukan beberapa peneliti. Pertama, Koesmono (2005) yang menunjukkan
bahwa, motivasi berpengaruh terhadap kinerja secara positif dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja secara positif.
Kedua, Tampubolon (2007) yang hasil penelitiannya menunjukkan faktor gaya kepemimpinan memberikan kontribusi yang relatif besar
dan sangat signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai.
Sumber daya manusia merupakan satu-satunya sumber daya yang memiliki akal, perasaan, keinginan, kemampuan,
keterampilan, pengetahuan, dorongan, daya dan karya. Satu-satunya sumber daya yang memiliki rasio, rasa dan karsa. Semua potensi sumber daya manusia tersebut sangat berpengaruh
terhadap upaya organisasi dalam pencapaian tujuannya. Betapa pun majunya teknologi, berkembangya informasi, tersedianya
manusia maka akan sulit bagi organisasi untuk mencapai tujuannya (Gomes, 2003:2).
Tren seperti globalisasi dan meningkatnya persaingan telah menempatkan sumber daya manusia pada barisan depan dan posisi kunci dalam kebanyakan usaha perencanaan strategis
(Dessler, 2008:14).
Yukl (1994) dalam Sukarno (2004) pun menyatakan bahwa
kesuksesan perusahaan di kompetisi global ditentukan oleh kecepatan perusahaan untuk berubah sesuai dengan lingkungan bisnisnya. Perubahan yang terjadi dengan cepat tersebut
membutuhkan sales force yang kompeten dibidangnya.
Menurut Hasibuan (2009:135), sumber daya manusia
khusunya karyawan tidak dapat diperlakukan seenaknya seperti menggunakan faktor-faktor produksi lainnya (mesin, modal atau
bahan baku). Karyawan juga harus selalu diikut sertakan dalam setiap kegiatan serta memberikan peran aktif untuk menggunakan alat-alat yang ada. Karena tanpa peran aktif karyawan, alat-alat
canggih yang dimiliki tidak ada artinya bagi perusahaan untuk mencapai tujuannya. Tujuan perusahaan hanya dapat dicapai jika
berprestasi maka sulit bagi organisasi perusahaan dapat memperoleh hasil yang baik, hal ini mengharuskan pemimpin
menggunakan kewenangannya untuk mengubah sikap dan perilaku karyawan supaya mau bekerja giat serta berkeinginan mencapai
hasil yang optimal.
Sumber daya manusia di perusahaan perlu dikelolah secara profesional agar terwujud keseimbangan antara kebutuhan
pegawai dengan tuntutan dan kemampuan organisasi perusahaan. Keseimbangan tersebut merupakan kunci utama perusahaan agar dapat berkembang secara produktif dan wajar, oleh karena itu tidak
dapat disangkal lagi bahwa faktor manusia merupakan modal utama yang perlu diperhatikan oleh pengusaha dan pemimpin
perusahaan (Prabu, 2002:1).
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini akan meneliti peran gaya kepemimpinan, motivasi dan kepuasan
kerja terhadap kinerja sales forces PT. Asta Kencana Cemerlang.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang disampaikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kepuasan
2. Apakah motivasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja di PT. Asta Kencana Cemerlang?
3. Apakah kepuasan kerja berpengaruh terhadap kinerja sales forces di PT. Asta Kencana Cemerlang?
4. Apakah gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja
sales forces di PT. Asta Kencana Cemerlang?
5. Apakah motivasi berpengaruh terhadap kinerja sales forces di
PT. Asta Kencana Cemerlang?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan
kerja di PT. Asta Kencana Cemerlang.
2. Menganalisis pengaruh motivasi terhadap kepuasan kerja di
PT. Asta Kencana Cemerlang.
3. Menganalisis pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja sales forces di PT. Asta Kencana Cemerlang.
4. Menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja sales forces di PT. Asta Kencana Cemerlang.
5. Menganalisis pengaruh motivasi terhadap kinerja sales forces di
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis
Manfaat akademis yang dapat diberikan oleh studi ini adalah penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih
komprehensif, khususnya menyajikan bukti empirik tentang:
1. Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja. 2. Pengaruh motivasi terhadap kepuasan kerja.
3. Pengaruh kepuasan kerja terhadap kinerja sales forces.
4. Pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja sales forces. 5. Pengaruh motivasi terhadap kinerja sales forces.
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil analisis pada studi penelitian ini diharapkan dapat
digunakan oleh PT. Asta Kencana Cemerlang untuk meningkatkan kinerja sales forces nya, sehingga omzet yang diperoleh dapat
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan Kepuasan Kerja
Kepemimpinan yang efektif merupakan salah satu faktor
penentu maju mundurnya organisasi, dinamis statisnya organisasi, tumbuh kembangnya organisasi, mati hidupnya organisasi, senang
tidaknya seseorang bekerja dalam suatu organisasi, serta tercapai tidaknya tujuan organisasi. Oleh karena itu, bisa dikatakan kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dan
menentukan. Bagaimana cara seorang pemimpin organisasi memimpin anggota, karyawan atau sfaff untuk memperoleh
keberhasilan yang maksimal atau dapat mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan merupakan sebuah fenomena
yang menarik.
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas seseorang dan sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam
(leadership) adalah kemampuan mempengaruhi orang yang mengarah kepada pencapaian tujuan organisasi.
Robbins (2002:3), mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah
tercapainya tujuan.
Danim (2004:55) mendefinisikan kepemimpinan adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk
mengkoordinasi dan member arah kepada individu atau kelompok lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Yukl (2005:8) mendefinisikan kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju
dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya
individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama.
Hasibuan (2009:170), mendefinisikan kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan, agar
mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, kepemimpinan
pemimpin atau atasan kepada bawahan atau karyawannya agar bekerjasama dan termotivasi dalam melaksanakan tugas-tugas
yang berhubungan dengan upaya untuk mencapai tujuan organisasi.
Setiap pemimpin pada dasarnya memiliki perilaku yang
berbeda dalam memimpin orang lain atau bawahannya. Perilaku para pemimpin ini secara singkat disebut sebagai gaya
kepemimpinan (leadership style).
Usaha seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain agar mengikuti apa yang diperintahkan akan sangat tergantung
pada gaya kepemimpinannya. Fiedler dalam Robbins (2002:10) pun menyatakan bahwa faktor utama dalam sukses kepemimpinan
adalah gaya kepemimpinan dasar individu itu.
Gaya kepemimpinan seseorang adalah pola perilaku yang
diperlihatkan orang itu pada saat mempengaruhi aktivitas orang lain seperti yang dipersepsikan orang lain (Harsey dan Blanchard, 1992:114). Senada dengan pernyataan tersebut, Davis dan
Newstrom (1996:162) juga mendefinisikan gaya kepemimpinan adalah pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang
Luthans (2006:702), mendefinisikan gaya kepemimpinan adalah cara para pemimpin atau manajer mempengaruhi pengikut
atau karyawannya.
Menurut Hasibuan (2009:179), gaya kepemimpinan ada tiga,
yaitu:
a. Kepemimpinan otoriter
Adalah kepemimpinan dimana kekuasaan atau wewenang,
sebagian besar mutlak tetap berada pada pimpinan atau kalau pimpinan itu menganut sisitem sentralisasi wewenang.
b. Kepemimpinan partisipatif
Adalah kepemimpinan yang dilakukkan dengan cara persuasif, menciptakan kerja sama yang serasi, menumbuhkan loyalitas
dan partisipasi bawahan. c. Kepemimpinan delegatif
Adalah kondisi dimana seorang pemimpin mendelegasikan
wewenang kepada bawahan dengan agak lengkap. Dengan demikian, bawahan dapat mengambil keputusan dan
kebijaksanaan dengan bebas atau leluasa dalam melaksanakan pekerjaannya.
a. Teori karakter
Teori karakter adalah teori-teori yang mencari karakter
kepribadian, sosial, fisik, atau intelektual yang memperbedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Pendekatan karakter belum terbukti lebih sukses dalam menjelaskan kepemimpinan, ada
empat alasan mendasari, yaitu:
1) Pendekatan itu mengabaikan kebutuhan dari pengikut
2) Umumnya pendekatan itu gagal dalam memperjelas kepentingan relatif diberbagai karakter
3) Pendekatan itu tidak memisahkan sebab dari akibat (misalnya, apakah pemimpin percaya diri ataukah sukses sebagai seorang pemimpin membina suatu rasa percaya
diri)
4) Mengabaikan faktor-faktor situasional
b. Teori perilaku
Teori perilaku adalah teori-teori yang mengemukakan bahwa perilaku spesifik membedakan pemimpin dari bukan pemimpin.
Terdapat empat teori pendekatan perilaku kepemimpinan, yaitu:
1) Telaah Universitas Negeri Ohio
Dalam pendekatan ini terdapat dua dimensi yang secara
a) Struktur prakarsa (initiating)
Sejauh mana pemimpin berkemungkinan mendefinisikan
dan menstruktur peran mereka dan peran bawahan dalam upaya mencapai tujuan.
b) Pertimbangan (consideration)
Sejauh mana seorang pemimpin berkemungkinan memiliki hubungan perkerjaan yang ditandai saling
percaya menghargai gagasan bawahan dan memperhatikan perasaan mereka.
2) Telaah Universitas Michigan
Dalam pendekatan ini terdapat dua dimensi perilaku kepemimpinan, yaitu:
a) Berorientasi karyawan
Pemimpin yang menekankan hubungan antar pribadi. b) Berorientasi produksi
Pemimpin yang menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan.
3) Kisi Manajerial
Kisi manajerial berdasarkan pada gaya “kepedulian akan
orang” dan “kepedulian akan produksi”, yang pada
berorientasi produksi dari Michigan. Kisi manajerial mempunyai Sembilan posisi yang mungkin sepanjang tiap
sumbu, menciptakan 81 posisi berbeda yang di dalamnya pemimpin bisa ditempatkan. Kisi itu tidak menunjukkan hasil yang diproduksikan melainkan, faktor-faktor dominan dalam
pemikiran seorang pemimpin dalam rangka memperoleh
hasil.
4) Telaah Skandinavia
Pendekatan ini menemukan dimensi baru yang terpisah dan independen yaitu pemimpin yang berorientasi
pengembangan dimana pemimpin menghargai eksperimental, mengusahakan gagasan baru dan
menimbulkan serta melaksanakan perubahan.
c. Teori kemungkinan
Tidak sedikit telaah yang mencoba memilahkan faktor penting
situasional yang mempengaruhi keefektifan kepemimpinan. Misalnya, variabel pelunak (moderating variabel) yang populer,
variabel ini digunakan dalam mengembangkan teori kemungkinan yang mencakup tingkat struktur dalam tugas yang akan dikerjakan, kualitas hubungan pemimpin-anggota,
keputusan pemimpin dan kematangan bawahan. Ada lima pendekatan teori kemungkinan (Robbins, 2002:10-31), yaitu:
1) Model Kemungkinan Fiedler
Model kemungkinan menyeluruh yang pertama untuk kepemimpinan dikembangkan oleh Fred Fiedler. Model
kemungkinan Fiedler mengemukakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada padanan yang tepat
antara gaya interaksi dari pemimpin dengan bawahannya serta sampai tingkat mana situasi memberikan kendali dan
pengaruh kepada pemimpin.
Fiedler telah mengidentifikasi tiga dimensi kemungkinan, dimana dimensi tersebut mendefinisikan faktor situasional
utama (kunci) yang menentukan keefektifan kepemimpinan, yaitu:
a) Hubungan pemimpin-anggota: Tingkat keyakinan, kepercayaan dan respek bawahan terhadap pemimpin mereka.
b) Struktur tugas: Tingkat dimana penugasan pekerjaan diprosedurkan (yakni terstruktur atau tidak terstruktur).
seperti mempekerjakan, memecat, mendisiplinkan, mempromosikan dan menaikkan gaji.
2) Teori Situasional Hersey dan Blanchard
Teori kepemimpinan situasional yaitu suatu teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada kesiapan
para pengikut. Teori ini mengemukakan bahwa, terdapat empat perilaku pemimpin yang spesifik (Robbins, 2002:13),
yaitu:
a) Memberitahukan (orientasi tugas tinggi-hubungan rendah). Pemimpin itu mendefinisikan peran dan
memberitahukan kepada orang-orangnya apa, bagaimana, kapan dan dimana berbagai tugas harus
dilakukan. Perilaku ini menekankan pada perilaku penaruh (direktif)
b) Menjual (orientasi tugas rendah-hubungan tinggi).
Pemimpin memberikan baik perilaku pengarah maupun perilaku pendukung.
c) Berperan-serta (orientasi tugas rendah-hubungan tinggi). Pemimpin dan pengikut bersama-sama mengambil keputusan, dengan peran utama dari pemimpin adalah
d) Mendelegasikan (orientasi tugas rendah-hubungan rendah). Pemimpin memberikan sedikit pengarahan dan
dukungan.
3) Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota (LMX, Leader-Member Exchange)
Teori ini berpendapat bahwa karena tekanan waktu, para pemimpin membangun suatu hubungan yang istimewa
dengan suatu kelompok kecil bawahan mereka. Individu-individu ini menyusun kelompok dalam mereka memperoleh kepercayaan, mendapat sejumlah perhatian yang tidak
proporsional dari pemimpin dan memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mendapat hak istimewa. Bawahan yang
lain berada dalam kelompok luar. Mereka memperoleh lebih sedikit waktu pemimpin, lebih sedikit imbalan yang disukai
Kompabilitas pribadi
Gambar 2.1: Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota Sumber: Robbins (2002:16)
4) Teori Jalur Tujuan (Teori Path-Goal Evans House)
Menurut teori jalur tujuan, perilaku seorang pemimpin dapat
diterima baik oleh para bawahan sejauh itu mereka pandang sebagai suatu sumber kepuasan yang segera atau sebagai suatu sarana bagi kepuasan masa depan. Dalam teori jalur
tujuan (Sentot, 2010:284) dikemukakan, bahwa terdapat empat gaya kepemimpinan, yaitu:
a) Kepemimpinan direktif, mengarahkan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya menjadwalkan pekerjaan, mempertahankan standar kinerja,
memperjelas peranan pemimpin dalam kelompok.
b) Kepemimpinan suportif, melakukan berbagai usaha agar
anggota dengan adil, bersahabat dan mudah bergaul, memperhatikan kesejahteraan bawahannya.
c) Kepemimpinannya yang beroreintasi pada prestasi, menentukan tujuan-tujuan yang menantang, mengharap kinerja yang tinggi, menekankan pentingnya kinerja yang
berkelanjutan, optimistik dan memenuhi standar-standar yang tinggi.
d) Kepemimpinan partisipatif, melibatkan bawahan, meminta saran bawahan dan menggunakannya dalam
proses pengambilan keputusan.
5) Model Partisipasi Pemimpin
Victor Vroom dan Phillip Yetton mengembangkan suatu
ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi yang berlainan.
Saat ini ada empat pendekatan lebih baru terhadap kepemimpinan (Robbins, 2002:24-31), yaitu:
a. Teori Atribusi Kepemimpinan
Teori atribusi kepemimpinan adalah persepsi bahwa pemimpin yang efektif umumnya dianggap konsisten dan tidak goyah
dalam keputusan mereka
b. Teori Kepemimpinan Karismatik
Teori kepemimpinan karismatik merupakan suatu
pengembangan dari teori atribusi. Teori ini mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribusi dari kemampuan
kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Pemimpin karismatik
memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu:
1) Percaya-diri. Mereka benar-benar percaya akan penilaian dan kemampuan mereka.
2) Suatu visi. Ini merupakan tujuan ideal yang mengajukan suatu masa depan yang lebih baik daripada status quo. Makin besar disparitas (simpangan) antara tujuan ideal ini
dan status quo, makin besar kemungkinan bahwa pengikut akan menghubungkan visi yang luar biasa itu pada
3) Kemampuan untuk mengungkapkan visi dengan gamblang. Mereka mampu memperjelas dan menyatakan visi dalam
kata-kata yang dapat dipahami orang lain. Artikulasi ini menunjukkan suatu pemahaman akan kebutuhan para pengikut dan karenanya bertindak sebagai suatu tindakan
motivasi.
4) Keyakinan kuat mengenai visi itu. Pemimpin karismatik
sebagai berkomitmen kuat dan bersedia mengambil risiko pribadi yang tinggi, mengeluarkan biaya tinggi, dan
melibatkan diri dalam pengorbanan untuk mencapai visi itu. 5) Perilaku yang di luar aturan. Mereka dengan karisma ikut
serta dalam perilaku yang dipahami sebagai baru, tidak
konvensional, dan berlawanan dengan norma-norm. bila berhasil, perilaku ini menimbulkan kejutan dan kekaguman
para pengikut.
6) Dipahami sebagai seorang agen perubahan. Pemimpin karismatik dipahami sebagai agen perubahan yang radikal
bukannya sebagai pengasuh status quo.
7) Kepekaan lingkungan. Pemimpin ini mampu membuat
c. Kepemimpinan Transaksional versus Transformasional 1) Pemimpin transaksional
Pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikut mereka ke arah tujuan-tujuan yang ditetapkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.
2) Pemimpin transformasional
Pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan
intelektual yang diindividualkan, dan yang memiliki karisma.
Tabel 2.1: Karakteristik Pemimpin Transaksional dan Transformasional
Pemimpin Transaksional Pemimpin Transformasional Imbalan kondisional:
Mengontrakkan pertukaran imbalan atas upaya, menjajikan imbalan untuk kinerja yang baik, mengakui prestasi.
Manajemen dengan pengecualian (aktif): Menjaga dan mencari penyimpangan dari aturan dan standar, mengambil tindakan koreksi.
Manajemen dengan pengecualian (pasif): Hanya ikut campur jika standar tidak dipenuhi.
Laissez-Faire: Melepaskan
tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.
Karisma: Memberikan visi dan rasa misi, menanamkan kebanggan, memperoleh respek dan kepercayaan.
Inspirasi: Mengkomunikasikan harapan yang tinggi, meng-gunakan lambang-lambang untuk memfokuskan upaya, meng- ungkapkan maksud-maksud penting dalam cara yang sederhana.
Rangsangan intelektual:
Menggalakkan kecerdasan, rasionalitas, dan pemecahan masalah yang teliti.
Pertimbangan pribadi:
Memberikan perhatian pribadi, memperlakukan tiap karyawan secara individual, melatih, menasehati.
d. Kepemimpinan Visioner
Kepemimpinan visioner merupakan kemampuan untuk
menciptakan dan mengartikulasikan suatu visi yang atraktif, terpercaya, realistik tentang masa depan suatu organisasi atau unit organisasi yang terus bertumbuh dan membaik sampai saat
ini.
Penjelasan gaya kepemimpinan di atas dapat disimpulkan
bahwa pemimpin memiliki fungsi memengaruhi, mendorong atau memaksa orang untuk mengambil langkah-langkah atau tindakan yang efektif untuk mencapai sasaran organisasi. Sesungguhnya,
peranan seorang pemimpin ialah mengambil keputusan, baik yang akan dilaksanakan sendiri maupun untuk menyebabkan
orang-orang mengambil langkah-langkah lanjutan sebagai konsekuensi dari keputusan yang telah diambil.
Pelaksanaan fungsi dan peranan pemimpin, tidak terlepas
dari gaya kepemimpinan yang dimiliki, dimana hal tersebut menjadi salah satu faktor yang sangat penting bagi keberhasilan sebuah
organisasi atau perusahaan. Gaya kepemimpinan yang efektif akan mampu mendorong kinerja organisasi atau perusahaan.
karyawan dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor, antara lain: balas jasa yang adil dan layak, penempatan yang tepat sesuai
dengan keahlian, berat ringannya pekerjaan, suasana dan lingkungan pekerjaan, peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan, sikap pimpinan dalam kepemimpinannya, sifat
pekerjaan monoton atau tidak.
Studi Ohio state, dalam Sentot (2010:276), menemukan
bukti bahwa tingkat perputaran karyawan terendah dan kepuasan karyawan berada pada tingkat tertinggi di bawah pimpinan yang tingkat consideration-nya tinggi (menggambarkan hubungan yang
hangat antara atasan dan bawahan, adanya saling percaya, kekeluargaan dan penghargaan terhadap ide bawahan). Dari
temuan tersebut bisa disimpulkan bahwa gaya kempemimpinan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya perputaran karyawan dan
kepuasan karyawan.
Kepemimpinan adalah proses untuk mendorong serta membantu orang lain untuk bekerja secara antusias dalam
mencapai tujuan. Kepemimpinan yang utama ditentukan oleh perilaku peran seseorang, bukan oleh ciri pribadinya. Peran pemimpin mengkombinasikan keterampilan teknis, manusiawi dan
konseptual, yang mereka terapkan sesuai dengan tuntutan situasi, oleh sebab itu gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi
karyawan merasa lebih memiliki motivasi kerja tinggi terhadap perusahaan (Podsakoff, et. al, dalam Sukarno, 2004).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Sukarno (2004), menyatakan bahwa faktor gaya kepemimpinan berpengaruh positif terhadap faktor kepuasan kerja, dapat diterima.
Ruvendi (2005) dalam penelitiannya pun menyatakan hal serupa yaitu terdapat hubungan dan pengaruh signifikan antara variabel
gaya kepemimpinan dengan kepuasan kerja.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja.
2.1.2. Hubungan Gaya Kepemimpinan Dengan Kinerja Sales Forces
Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya
tidak terlepas dari peranan seorang pemimpin dengan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan yang digunakan oleh
seorang pemimpin disebuah organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong gairah kerja atau kinerja karyawan untuk mencapai sasaran atau tujuan organisasi secara
optimal.
Menurut Wirawan (2009:7), makin tinggi faktor internal pegawai, yang terdiri dari faktor bawaan dari lahir (bakat, sifat
ketika ia berkembang (etos kerja, displin kerja, motivasi kerja, semangat kerja, sikap kerja, stres kerja, keterlibatan kerja,
kepemimpinan, kepuasan kerja dan keloyalan), maka makin tinggi pula kinerja pegawai, sebaliknya makin rendah faktor-faktor
tersebut makin rendah pula kinerjanya.
Pendekatan model kepemimpinan sistem yang diajukan oleh Bass (Sutarto, 2006:134), terdiri dari input, hubungan, perilaku pemimpin, dan output, yang termasuk output adalah prestasi atau
kinerja dan kepuasan yang meliputi pekerjaan dan pengawas.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan
Tampubolon (2007) berjudul “Analisis Faktor Gaya Kepemimpinan dan Faktor Etos Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Organisasi
Yang Telah Menerapkan SNI 19-9001-2001”, faktor gaya kepemimpinan memberikan kontribusi yang relatif besar dan sangat
signifikan terhadap peningkatan kinerja pegawai.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan.
2.1.3. Hubungan Motivasi Dengan Kepuasan Kerja
Motivasi sangat dibutuhkan seorang karyawan untuk meningkatkan suatu aktivitas kerjanya. Keberhasilan suatu
manusia khususnya karyawan yang dimiliki, dengan motivasi yang tinggi, seorang karyawan akan selalu berusaha dengan seluruh
kemampuannya agar hasil yang terbaik dapat dicapai.
Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan atau menggerakkan. Motivasi (motivation) dalam
manajemen hanya ditujukan pada sumber daya manusia umumnya dan bawahan khususnya. Motivasi mempersoalkan bagaimana
caranya mengarahkan daya dan potensi bawahan, agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan
tujuan yang telah ditentukan (Hasibuan, 2009:141).
Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh
kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual (Robbins, 2001:166).
Stanford (1969) dalam Prabu (2002:93) mendefinisikan motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia
kearah suatu tujuan tertentu.
Menurut Hasibuan (2009:146), motivasi memiliki beberapa tujuan, antara lain:
a. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan
c. Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan d. Meningkatkan kedisiplinan karyawan
e. Mengefektifkan pengadaan karyawan
f. Menciptakan seuasana dan hubungan kerja yang baik g. Meningkatkan loyalitas, kreatifitas dan partisipasi karyawan
h. Meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan
i. Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap
tugas-tugasnya
j. Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan
baku
Menurut Baron, et. al., (1980) dalam Prabu (2002:93-94), Motivasi dapat pula dikatakan sebagai energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal).
Keterangan: Bilamana suatu kebutuhan tidak terpuaskan maka timbul
drive dan aktivitas individu untuk merespon perangsang (incentive)
dalam tujuan yang diinginkan. Pencapaian tujuan akan menjadikan individu merasa puas.
Drive
Unsatisfied Need
Satisfied Need Goal Incentive
Gambar 2.3: Motivasi Sebagai Pembangkit DoronganBaron et. al.
Motivasi merupakan hal penting, karena dengan motivasi seseorang akan terdorong untuk melakukan sesuatu lebih
bersemangat terutama dalam hal ini menyangkut motivasi kerja yang berperan dalam kinerja yang bisa bersangkutan. Bagaimanapun juga karyawan atau bawahan sebagai individu tidak
bisa terlepas dari kebutuhannya dan untuk itu perlu adanya motivasi yang melatar belakangi karyawan atau bawahan sebagai
individu untuk tetap bekerja. Motivasi merupakan kegiatan yang mendorong, meningkatkan gairah dan mengajak karyawan atau
bawahan untuk bekerja lebih efektif dan bersemangat.
Sampai saat ini banyak teori motivasi yang telah dikemukakan oleh para ahli. Robbins (2001:167-187) menjelaskan
teori-teori motivasi berdasarkan dua klasifikasi, yaitu:
a. Teori Dini Motivasi, yang terdiri dari:
1) Teori Hierarki Kebutuhan
Maslow (1943) dalam Hasibuan (2009:153) mengemukakan teori motivasi yang dinamakan Maslow’s Need Hierarchy Theory/A
Theory of Human Motivation atau Teori Hierarki Kebutuhan dari
Maslow. Hierarki kebutuhan dari Maslow ini diilhami oleh Human
Hierarki kebutuhan mengikuti teori jamak yakni seseorang berperilaku/bekerja, karena adanya dorongan untuk memenuhi
bermacam-macam kebutuhan. Maslow berpendapat, kebutuhan yang diinginkan seseorang itu berjenjang. Artinya, jika kebutuhan yang pertama telah terpenuhi, kebutuhan tingkat kedua akan
muncul menjadi yang utama. Selanjutnya jika kebutuhan tingkat kedua telah terpenuhi, muncul kebutuhan tingkat ketiga dan
seterusnya sampai tingkat kebutuhan kelima.
Kebutuhan Fisiologis (Phisiological Needs) Teoritis : Makan, minum, perumahan, seks, istirahat
Terapan : Ruang istirahat, istirahat makan siang, udara bersih untuk bernafas, air untuk minum, liburan, cuti, balas jasa dan jaminan sosial, periode istirahat on the job
Kebutuhan Keamanan dan Rasa Aman (Safety and Security Needs) Teoritis : Perlindungan dan stabilitas
Terapan : Pengembangan karyawan, kondisi kerja yang aman, rencana senioritas, serikat kerja, tabungan, uang pesangon, jaminan pensiun, asuransi, system penanganan keluhan
Kebutuhan Aktualisasi Diri & Pemenuhan Diri (Self-Actualization Needs)
Teoritis : Penggunaan potensi diri, pertumbuhan dan pengembangan diri
Terapan : Menyelesaikan penugasan yang bersifat menantang, melakukan pekerjaan kreatif, pengembangan keterampilan
Kebutuhan Harga DIri (Esteem Needs)
Teoritis : Status atau kedudukan, kepercayaan diri, pengakuan, reputasi, apresiasi, kehormatan diri dan penghargaan
Terapan : Kekuasaan, ego, promosi, hadiah, status symbol, pengakuan, jabatan, penghargaan
Kebutuhan Sosial (Social Needs)
Teoritis : Cinta, persahabatan, perasaan memiliki dan diterima dlm kelompok, kekeluargaan, asosiasi
Terapan : Kelompok kerja formal dan informal, kegiatan yang disponsori perusahaan, acara-acara peringatan
Gambar 2.4: Jenjang Kebutuhan Maslow
Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu sebagai order tinggi dan order rendah. Kebutuhan faali/fisiologis dan kebutuhan
keamanan digambarkan sebagai kebutuhan order rendah dan kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan order tinggi. Pembedaan antara kedua order itu
berdasarkan alasan bahwa kebutuhan order tinggi dipenuhi secara internal (di dalam diri orang itu), sedangkan kebutuhan order
rendah terutama dipenuhi secara eksternal (misalnya: upah, kontrak serikat buruh dan masa kerja).
2) Teori X dan Teori Y
Douglas Mc Gregor mengemukakan dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia: pada dasarnya satu negatif,
yang ditandai sebagai Teori X dan yang lain positif, yang ditandai dengan Teori Y. Setelah memandang cara para manajer
menangani karyawan Mc Gregor menyimpulkan bahwa pandangan seorang manajer mengenai kodrat manusia didasarkan pada suatu pengelompokkan pengandaian-pengandaian tertentu dan bahwa
manajer cenderung mencetak perilakunya terhadap bawahannya menurut pengandaian-pengandaian ini.
a) Karyawan secara inheren (tertanam dalam dirinya) tidak menyukai kerja dan bilamana dimungkinkan, akan mencoba
menghindarinya.
b) Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan.
c) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bilamana dimungkinkan.
d) Kebanyakan karyawan menaruh keamanan di atas semua faktor lain yang dikaitkan dengan kerja dan akan menunjukkan
sedikit saja ambisi.
Kontras dengan pandangan negatif ini mengenai kodrat manusia, Mc Gregor mendaftar empat pengandaian positif yang
disebutnya Teori Y:
a) Karyawan dapat memandang kerja sama dengan sewajarnya seperti istirahat atau bermain.
b) Orang-orang akan menjalankan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka komit pada sasaran.
c) Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan, tanggung jawab.
d) Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif (pembaruan)
3) Teori Motivasi-Higiene
Teori motivasi-higiene dikemukakan oleh psikolog Frederick
Herzberg, dalam keyakinannya bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaannya merupakan suatu hubungan dasar dan bahwa sikapnya terhadap kerja dapat sangat menentukan sukses
atau kegagalan individu itu.
Menurut Herzberg (Hasibuan, 2009:157), orang
menginginkan dua macam faktor kebutuhan, yaitu:
a) Kebutuhan akan kesehatan atau kebutuhan akan pemeliharaan atau maintenance factors. Maintenance factors (faktor
pemeliharaan) berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman dan kesehatan badaniah.
Faktor-faktor pemeliharaan meliputi: balas jasa, kondisi kerja fisik, kepastian pekerjaan, supervisi yang menyenangkan, mobil
dinas, rumah dinas dan macam-macam tunjangan lain.
b) Faktor pemeliharaan menyangkut kebutuhan psikologis seseorang. Kebutuhan ini meliputi serangkaian kondisi intrinsik,
kepuasan pekerjaan (job content) yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat, yang
dapat menghasilkan prestasi pekerjaan yang baik
Herzberg alam Robbins (2001:169-170), mengklasifikasi- kan motivasi ke dalam dual hal, yaitu: faktor intrinsik/motivator dan
Tabel 2.2: Teori Motivasi-Higiene
Faktor Intrinsik/Motivator Faktor Ekstrinsik/Higiene Prestasi
Kebijakan dan administrasi perusahaan
Penyeliaan
Hubungan antar-pribadi
Kondisi kerja
Gaji
Sumber: data diolah dari Robbin (2001:169-170)
b. Teori Kontemporer tentang motivasi, yang terdiri dari:
1) Teori ERG
Clayton Alderfer dari Universitas Yale telah mengerjakan
ulang hirarki kebutuhan Maslow untuk menggandeng lebih karib dengan riset empiris. Hirarki kebutuhan revisinya disebut teori
ERG.
Clayton Alderfer berargumen bahwa ada tiga kelompok
kebutuhan inti, yaitu:
a) Kelompok eksistensi (existence), mempedulikan pemberian persyaratan eksistensi materiil dasar, mencakup butir-butir yang
oleh Maslow dianggap sebagai kebutuhan faali dan keamanan. b) Kelompok hubungan (relatedness), hasrat yang dimiliki manusia
untuk memelihara hubungan antar-pribadi yang penting. Hasrat sosial dan status menuntut interaksi dengan orang lain agar dipuaskan dan hasrat ini segaris dengan kebutuhan sosial
c) Kelompok pertumbuhan (growth), suatu hasrat intrinsik untuk perkembangan pribadi, mencakup komponen intrinsik dari
penghargaan Maslow dan karakteristik-karakteristik yang tercakup pada aktualisasi diri.
2) Teori Kebutuhan McClelland
Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan kawan-kawan. Teori ini memfokuskan pada tiga
kebutuhan, yaitu:
a) Kebutuhan akan prestasi
Dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan
seperangkat standar, bergulat sukses. b) Kebutuhan akan kekuasaan
Kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara yang orang-orang itu (tanpa dipaksa) tidak akan
berperilaku demikian. c) Kebutuhan akan afiliasi
Hasrat untuk hubungan antar-pribadi yang ramah dan akrab
3) Teori Evaluasi Kognitif
Teori evaluasi kognitif membagi ganjaran-ganjaran ekstrinsik, seperti upah, untuk upaya kerja yang sebelumnya
secara instrinsik telah memberi ganjaran karena adanya kesenangan yang dikaitkan dengan isi kerja itu sendiri, akan
Secara historis, ahli teori motivasi umumnya mengasumsi-kan bahwa motivasi intrinsik seperti misalnya prestasi, tanggung
jawab dan kompetensi tidak bergantung pada motivator ekstrinsik seperti upah tinggi, promosi, hubungan penyelia yang baik dan
kondisi kerja yang menyenangkan.
Artinya rangsangan satu tidak akan mempengaruhi yang lain, tetapi teori evaluasi kognitif menyarankan sebaliknya. Teori ini
berargumen bahwa bila ganjaran-ganjaran ekstrinsik digunakan oleh organisasi sebagai hadiah untuk kinerja yang unggul, ganjaran intrinsik, yang diturunkan dari individu-individu yang melakukan apa
yang mereka sukai, akan dikurangi, dengan kata lain bila ganjaran ekstrinsik diberikan kepada seseorang untuk menjalankan suatu
tugas yang menarik, pengganjaran itu menyebabkan minat intrinsik terhadap tugas sendiri merosot (Robbins, 2001:175-176).
4) Teori Penetapan Tujuan
Edwin Locke (Robbin, 2001:177), mengemukakan bahwa maksud-maksud untuk bekerja ke arah suatu tujuan merupakan
sumber utama dari motivasi kerja. Artinya, tujuan memberitahu karyawan apa yang perlu dikerjakan dan betapa banyak upaya
akan dihabiskan.
a) Komitmen tujuan b) Keefektifan diri
c) Budaya nasional/ikatan budaya
Kesimpulannya adalah bahwa intensi –yang diucapkan dengan istilah tujuan yang sukar dan spesifik- merupakan suatu
kekuatan motivasi yang ampuh. Pada kondisi yang tepat, intensi ini dapat menghantar ke kinerja yang lebih tinggi, tetapi, tidak ada
bukti yang mendukung gagasan bahwa tujuan semacam itu berkaitan dengan peningkatan kepuasan kerja.
5) Teori Penguatan (Reinforcement Theory)
Teori ini didasarkan atas hubungan sebab dan akibat dari perilaku dengan pemberian kompensasi. Misalnya, promosi
tergantung dari prestasi yang selalu dapat dipertahankan. Bonus kelompok tergantung pada tingkat produksi kelompok. Sifat ketergantungan tersebut bertautan dengan hubungan antara
perilaku dan kejadian yang mengikuti perilaku itu.
Teori penguatan/pengukuhan (Reinforcement Theory) terdiri
dari dua jenis (Hasibuan, 2009:167), yaitu sebagai berikut:
a) Pengukuhan positif (positive reinforcement) yaitu bertambahnya
b) Pengukuhan negatif (negative reinforcement) yaitu bertambahnya frekuensi perilaku, terjadi apabila pengukuh
negatif dihilangkan secara bersyarat.
Teori penguatan mempunyai suatu pendekatan perilaku (behavioristic), yang berargumen bahwa penguatanlah yang
mengkondisikan perilaku. Teori penguatan mengabaikan keadaan internal dari individu dan memusatkan semata-mata hanya pada
apa yang terjadi pada seseorang bila ia mengambil suatu tindakan. Teori ini tidak memperdulikan apa yang mengawali perilaku, dalam arti seksama, teori ini bukanlah teori motivasi, tetapi teori ini
memang memberikan suatu cara analisis yang ampuh terhadap apa yang mengendalikan perilaku dan untuk alasan inilah teori ini
lazim dipertimbangkan dalam pembahasan motivasi (Robbins, 2001:179).
6) Teori Keadilan (Equity Theory)
Individu atau karyawan membandingkan masukan dan keluaran pekerjaan mereka dengan masukan atau keluaran orang
lain kemudian berespons untuk menghapuskan setiap ketidakadilan
Acuan yang dipilih oleh seorang karyawan menambah
empat pembandingan acuan yang dapat digunakan oleh seorang karyawan (Robbins, 2001:181):
a) Di dalam diri sendiri: Pengalaman seorang karyawan dalam posisi yang berbeda di dalam organisasinya dewasa ini.
b) Di luar diri sendiri: Pengalaman seorang karyawan dalam situasi
atau posisi di luar organisasinya dewasa ini.
c) Di dalam diri orang lain: Individu atau kelompok individu lain di
dalam organisasi karyawan itu.
d) Di luar diri orang lain: Individu atau kelompok individu di luar
organisasi karyawan itu.
Berdasarkan teori keadilan, bila karyawan mempersepsikan suatu ketidakadilan mereka dapat meramalkan untuk mengambil
salah satu dari enam pilihan berikut (Robbins, 2001:181):
a) Mengubah masukan mereka (misalnya, tidak mengeluarkan banyak upaya)
b) Mengubah keluaran mereka (misalnya, individu yang dibayar atas dasar banyaknya potongan yang diselesaikan dapat
menaikkan upah mereka dengan menghasilkan kuantitas yang lebih tinggi dari unit yang kualitas lebih rendah)
c) Mendistorsikan persepsi mengenai dirinya (misalnya, “Saya
biasa berpikir saya bekerja pada kecepatan sedang, tapi sekarang saya menyadari bahwa saya bekerja terlalu keras
d) Mendistorsi persepsi mengenai orang lain (misalnya, pekerjaan Mike tidaklah begitu diinginkan seperti saya kira sebelumnya)
e) Memilih acuan yang berlainan (misalnya, “Mungkin gaji saya tidak sebanyak gaji ipar saya, tetapi saya melakukan jauh lebih baik daripada Ayah ketika ia seusia saya”)
f) Meninggalkan medan (misalnya, berhenti dari pekerjaan)
Secara khusus teori keadilan menegakkan empat dalil yang
berkaitan dengan upah yang tidak adil (Robbins, 2001:181):
a) Pembayaran menurut waktu, karyawan yang diganjar terlalu tinggi menghasilkan lebih daripada karyawan yang dibayar
dengan adil. Karyawan yang dibayar berdasarkan jam dan digaji menghasilkan produksi dengan kuantitas atau kualitas yang
tinggi agar meningkatkan sisi masukan dari rasio itu dan memberikan keadilan.
b) Adanya pembayaran menurut kuantitas produksi, karyawan
yang diganjar lebih tinggi menghasilkan lebih sedikit satuan, tetapi dengan kualitas lebih tinggi, daripada karyawan yang
dibayar dengan adil. Individu-individu yang dibayar atas dasar banyaknya potongan yang dihasilkan meningkatkan upayanya untuk mencapai keadilan, yang mengakibatkan kualitas atau
kuantitas yang lebih besar. Kenaikan kuantitas hanya akan meningkatkan ketidakadilan, karena semua satuan yang
jauh, oleh karena itu upaya diarahkan ke peningkatan kualitas bukannya peningkatan kuantitas.
c) Adanya penggajian menurut waktu, karyawan yang kurang diganjar menghasilkan keluaran dengan kualitas yang kurang atau lebih buruk. Upaya dikurangi, yang menimbulkan
produktivitas yang lebih rendah atau keluaran kualitas yang lebih buruk daripada karyawan yang diupah dengan adil.
d) Adanya penggajian menurut kuantitas produksi, karyawan yang kurang diberi ganjaran menghasilkan sejumlah besar satuan
dengan kualitas rendah dibandingkan dengan karyawan yang diupah dengan adil. Karyawan dengan rencana upah berdasarkan banyaknya potongan yang dihasilkan, dapat
menimbulkan ekuitas karena mengorbankan kualitas keluaran demi kuantitas untuk meningkatkan ganjaran tanpa
meningkatkan kontribusi atau dengan kontribusi kecil saja.
Secara historis, teori keadilan memfokuskan pada dua hal (Robbins, 2001:181), yaitu:
a) Keadilan distributif
Keadilan yang dipahami berdasarkan jumlah dan alokasi
imbalan diantara para individu. b) Keadilan prosedural
Keadilan yang dipahami berdasarkan proses yang digunakan
Sebagai kesimpulan, teori keadilan memperlihatkan bahwa, untuk kebanyakan karyawan, motivasi sangat dipengaruhi oleh
ganjaran relatif maupun ganjaran mutlak.
7) Teori Harapan
Teori harapan ini dikemukan oleh Victor Vroom. Vroom
mendasarkan teorinya pada tiga konsep penting (Hasibuan, 2009:166), yaitu:
a) Harapan (expectancy)
Adalah suatu kesempatan yang diberikan terjadi karena perilaku.
b) Nilai (valence)
Adalah akibat dari perilaku tertentu mempunyai nilai atau
martabat tertentu (daya atau nilai memotivasi) bagi setiap individu tertentu.
c) Pertautan (instrumentality)
Adalah persepsi dari individu bahwa hasil tingkat pertama akan dihubungkan dengan hasil tingkat kedua.
Prinsip teori harapan (Hasibuan, 2009:167): a) P = f (M x A)
b) M = f (V1 x E)
Keterangan: P = Performance M = Motivation A = Ability V = Valence E = Expectancy I = Instrumentality
Menurut Robbins (2001:185), teori harapan adalah kuatnya kecenderungan untuk bertindak dalam suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan suatu pengharapan bahwa tindakan itu
akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu itu
Penjelasan beberapa teori motivasi yang dikemukakan beberapa tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu kondisi atau keadaan individu yang menjadi sumber
yang mempengaruhi, mendorong, menentukan tingkat usaha untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Manusia dalam hal ini karyawan atau pegawai adalah mahluk sosial yang menjadi kekayaan utama bagi setiap
organisasi. mereka menjadi perencana, pelaksana dan pengendali yang selalu berperan aktif dalam mewujudkan tujuan organisasi. Karyawan atau pegawai menjadi pelaku yang menunjang
maka hal-hal yang dapat mempengaruhi sikap-sikap negatif hendaknya diminimalkan.
Pengembangan sikap-sikap positif tersebut dapat dilakukan dengan cara memotivasi para karyawan atau pegawai agar kepuasan kerja karyawan atau pegawai menjadi tinggi, mengingat
kepuasan kerja merupakan bagian dari kepuasan hidup yang bergantung pada tindakan mana individu menemukan
saluran-saluran yang memadai untuk mewujudkan kemampuan, minat, ciri pribadi nilai-nilainya.
Hasibuan (2009:146), mengemukakan tujuan motivasi,
antara lain: meningkatkan moral dan kepuasan kerja karyawan, meningkatkan produktivitas kerja karyawan, mempertahankan
kestabilan karyawan perusahaan, meningkatkan kedisipilinan karyawan, mengefektifkan pengadaan karyawan, menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik, meningkatkan loyalitas,
kreatifitas dan partisipasi karyawan, meningkatkan tingkat kesejahteraan karyawan, mempertinggi rasa tanggung jawab
karyawan terhadap tugas-tugasnya, serta meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku.
Menurut Baron, et.al. (1980), bilamana suatu kebutuhan
Pencapaian tujuan akan menjadikan individu merasa puas, dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan energi untuk
membangkitkan dorongan dalam diri (Prabu, 2002:93).
Kehidupan sehari-hari seseorang sebelum memiliki motivasi akan didahului oleh motif yang ada pada dirinya. Pemenuhan
terhadap kebutuhan motivasi tidak terelakkan bagi semua karyawan sebab apabila motivasi terpenuhi dengan baik akan
muncul kepuasan kerja dan pada giliran berikutnya akan berdampak pada ketenangan kerjanya. Motivasi dapat berupa keuangan dan non keuangan yang akan berdampak pada
kepuasan kerja (Grund dan Sliwka, 2001 dalam Koesmono, 2005).
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Koesmono
(2005), motivasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja secara positif. Brahmasari dan Suprayetno (2008) pun menyatakan motivasi kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan kerja karyawan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa