PENGARUH PERILAKU BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP STRES KULIAH MAHASISWA AKUNTANSI
(Studi Kasus : Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur)
SKRIPSI
Disusun oleh: Widi Indra Setiaji 0613010183 / FE / EA
Kepada
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR
SKRIPSI
PENGARUH PERILAKU BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP STRES KULIAH MAHASISWA AKUNTANSI
(Studi kasus Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur)
Yang diajukan Widi Indra Setiaji 0613010183 / FE / EA
disetujui untuk Ujian Lisan oleh
Pembimbing Utama
Drs. Ec. Eko Riyadi, M. Aks Tanggal :... NIP. 030 222 237
Mengetahui Ketua Progdi Akuntansi
SKRIPSI
PENGARUH PERILAKU BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP STRES KULIAH
(Studi Kasus: Mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur)
Disusun Oleh: Widi Indra Setiaji 0613010183/FE/EA telah dipertahankan di hadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 27 Mei 2011
Tim Penguji:
Pembimbing Utama Ketua
Drs. Ec. Eko Riyadi, M. Aks Drs. Ec. Tamadoy Thamrin, MM
Sekretaris
Drs. Ec. Eko Riyadi, M. Aks
Anggota
Dra. Diah Hari S., MSi, Ak. Mengetahui
Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
karunia serta bimbingannya, sehingga penulisan skripsi yang saya buat sebagai
salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana ekonomi, jurusan
Akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur dengan judul: “Pengaruh Perilaku Belajar dan Kecerdasan
Emosional terhadap Stres Kuliah Mahasiswa Akuntansi ( Studi Kasus Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur)”.
Tentunya dalam proses penulisan ini tidak terlepas dari bimbingan,
bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam hal ini secara
khusus peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang
tinggi kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, M.P selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, MM selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Rahman Amrulloh Suwaidi, MS selaku Wakil Dekan 1 Fakultas
4. Ibu Dr. Sri Trisnaningsih, SE, MSi selaku Ketua Progdi Akuntansi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
5. Bapak Drs. Ec. Eko Riyadi, M. Aks selaku Dosen Pembimbing Utama yang
telah sabar memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan
mengarahkan penulis demi sempurnanya penyusunan penelitian ini.
6. Seluruh staf pengajar dan karyawan di lingkungan Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, khususnya
segenap Dosen Jurusan Akuntansi yang telah membekali peneliti
pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna dan berharga.
7. Secara khusus dengan rasa hormat menyampaikan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada Ayah, Ibu dan kakak tercinta yang telah memberikan
banyak dorongan, semangat serta doa restu, baik secara moril maupun
materiil.
8. Teman-teman mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur angkatan 2007 yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner, sebagai instrumen yang
digunakan penulis dalam penelitian.
9. Sahabat-sahabat penulis mahasiswa jurusan akuntansi angkatan tahun 2006
yang telah memberikan dukungan sepenuhnya kepada penulis.
10. Serta semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung hingga
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa usulan penelitian ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
guna kesempurnaan usulan penelitian ini.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak demi
kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi khususnya. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Surabaya, Mei 2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
ABSTRAKSI... xii
BAB I : PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Masalah... 1
1.2. Rumusan Masalah... 9
1.3. Tujuan Penelitian... 9
1.4. Manfaat Penelitian... 10
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA... 11
2.1. Penelitian Terdahulu... 11
2.2. Landasan Teori... 17
2.2.1. Akuntansi Perilaku... 17
2.2.1.1. Pengertian Akuntansi Keperilakuan... 18
2.2.1.2. Dimensi Akuntansi Keperilakuan... 19
2.2.1.3. Hubungan Akuntansi Keperilakuan dengan Stres Kuliah... 21
2.2.2. Perilaku Belajar... 22
2.2.2.2. Kebiasaan Belajar... 23
2.2.2.3. Aspek Belajar... 24
2.2.3. Kecerdasan Emosional... 30
2.2.3.1. Pengertian Kecerdasan Emosional... 30
2.2.3.2. Komponen Kecerdasan Emosional... 32
2.2.4. Stres Kuliah... 34
2.2.4.1. Pengertian Stres... 34
2.2.4.2. Penyebab Stres... 36
2.2.4.3. Dampak Stres... 38
2.2.4.4. Mengelola Stres... 40
2.2.5. Pengaruh Perilaku Belajar terhadap Stres Kuliah Mahasiswa Akuntansi... 43
2.2.6. Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Stres Kuliah Mahasiswa Akuntansi... 47
2.2.7.Pengaruh Perilaku Belajar dan Kecerdasan Emosional tehadap Stres Kuliah Mahasiswa Akuntansi... 47
2.3. Kerangka Pikir... 49
2.4. Pengembangan Hipotesis... 49
BAB III : METODE PENELITIAN... 50
3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 50
3.1.1. Definisi Operasional……… 50
3.1.2. Pengukuran Variabel………... 51
3.2.1. Populasi... 53
3.2.2. Sampel... 53
3.3. Pengumpulan Data... 55
3.3.1. Jenis Data... 55
3.3.2. Sumber Data... 55
3.3.3. Teknik Pengumpulan Data... 55
3.4. Teknik Analisis... 56
3.5. Uji Validitas, Uji Reliabilitas, dan Uji Normalitas... 57
3.5.1. Uji Validitas... 57
3.5.2. Uji Reliabilitas... 58
3.5.3. Uji Normalitas... 58
3.6. Uji Asumsi Klasik………... 59
3.6.1. Multikolinieritas………... 59
3.6.2. Heterokedastisitas... 60
3.7. Uji Hipotesis………... 61
3.7.1. Uji F………... 61
3.7.2. Uji t………... 62
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 63
4.1. Deskripsi Obyek Penelitian... 63
4.1.1. Sejarah Singkat Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur... 63
4.1.2. Falsafah, Visi, Misi, dan Tujuan... 66
4.1.2.2. Visi Yayasan... 66
4.1.2.3. Visi Universitas... 66
4.1.2.4. Misi... 66
4.1.2.5. Tujuan... 67
4.1.3. Struktur Organisasi... 67
4.1.4. Profil Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur... 68
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian... 71
4.2.1. Rekapitulasi Jawaban Variabel Perilaku Belajar (X1) 71 4.2.2. Rekapitulasi Jawaban Variabel Kecerdasan Emosional (X2)... 73
4.3.3. Rekapitulasi Jawaban Variabel Stres Kuliah (Y)... 75
4.3. Uji Kualitas Data... 77
4.3.1 Uji Validitas... 77
4.3.2. Uji Reliabilitas... 81
4.3.3. Uji Normalitas... 81
4.4. Uji Asumsi Klasik... 82
4.4.1. Multikolinieritas... 82
4.4.2. Heterokedastisitas... 83
4.5. Analisis Regresi Linier Berganda... 84
4.5.1.Persamaan Regresi... 84
4.5.2.Koefisien Determinasi... 86
4.5.3.1.Uji F... 87
4.5.3.2.Uji t... 88
4.6 Pembahasan Hasil Penelitian... 89
4.7. Konfirmasi Hasil Penelitian dengan Tujuan dan Manfaat Penelitian... 91
4.8. Perbedaan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu... 92
4.9. Keterbatasan Penelitian... 94
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 95
5.1. Kesimpulan... 96
5.2. Saran... 97
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. : Proses Belajar Mengajar... 25
Gambar 2.2. : Hubungan Proses Belajar dan Nilai... 27
Gambar 2.3. : Kerangka Pikir... 49
Gambar 4.1. : Struktur Organisasi Universitas Pembangunan Nasional
Tabel 4.15.: Rangkuman Penelitian Terdahulu...95
DAFTAR TABEL Tabel 4.1. : Rekapitulasi Jawaban Variabel Perilaku Belajar... 71
Tabel 4.2. : Rekapitulasi Jawaban Variabel Kecerdasan Emosional... 73
Tabel 4.3. : Rekapitulasi Jawaban Variabel Stres Kuliah... 76
Tabel 4.4. : Hasil Pengujian Validitas Kuesioner untuk Variabel Perilaku Belajar (X1)... 77
Tabel 4.5. : Hasil Pengujian Validitas Kuesioner untuk Kecerdasan Emosional (X2)... ... 78 Tabel 4.6. : Hasil Pengujian Validitas Kuesioner untuk Variabel Stres Kuliah (Y)... 80
Tabel 4.7. : Hasil Uji Reliabilitas... 81
Tabel 4.8. : Hasil Uji Normalitas... 82
Tabel 4.9. : Hasil Uji Multikolinieritas... 83
Tabel 4.10.: Hasil Uji Heterokedastisitas... 83
Tabel 4.11.: Persamaan Regresi... 84
Tabel 4.12.: Pengaruh Variabel... 86
Tabel 4.13.: Hasil Uji F Variabl Bebas dengan Variabel Terikat... 87
DAFTAR L MPIRAN
Lampiran 3 : itulasi Jawaban Responden Variabel Kecerdasan Emosional
Lampiran 6 : aliditas dan Uji Reliabilitas Variabel Kecerdasan Emosional
Uji Reliabilitas Variabel Stres Kuliah (Y)
dastisitas
ampiran 10 : Uji Analisis Regresi Linier Berganda
A
Lampiran 1 : Kuesioner
Lampiran 2 : Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Perilaku Belajar (X1)
Rekap
(X2)
Lampiran 4 : Rekapitulasi Jawaban Responden Variabel Stres Kuliah (Y)
Lampiran 5 : Uji Validitas dan Uji Reliabilitas Variabel Perilaku Belajar (X1)
Uji V
(X2)
Lampiran 7 : Uji Validitas dan
Lampiran 8 : Uji Normalitas
Lampiran 9 : Uji Multikolinieritas dan Uji Heteroke
PENGARUH PERILAKU BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP STRES KULIAH MAHASISWA AKUNTANSI
(Studi Kasus: Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur)
Oleh
Widi Indra Setiaji
Abstraksi
Perilaku belajar didefinisikan sebagai kebiasaan belajar. Kebiasaan belajar yang jelek disebabkan oleh kurangnya kesadaran mahasiswa mengenai makna belajar di perguruan tinggi, sehingga mahasiswa tersebut merasa frustasi dalam menjalankan proses belajar. Proses belajar mengajar berkaitan dengan kecerdasan emosional mahasiswa. Kecerdasan emosional ini mampu melatih kemampuan mahasiswa tersebut, yaitu kemampuan untuk mengelola perasaannya, memotivasi dirinya, tegar dalam menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan dan menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif, serta mampu berempati dan bekerja sama dengan orang lain. Kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman.
Penelitian ini dilakukan pada 115 mahasiswa akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur angkatan tahun 2007 dengan data primer berupa kuesioner. Alat analisis yang digunakan adalah regresi. Hasil analisis kemudian di analisis dengan uji asumsi klasik serta uji F dan uji t statistik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku belajar memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap stres kuliah responden, sedangkan kecerdasan emosional memberikan pengaruh signifikan dan negatif terhadap stres kuliah responden. Variabel perilaku belajar mempunyai pengaruh positif terhadap stres kuliah. Pengaruh positif ini menunjukkan pengaruh yang searah (sama), artinya jika perilaku belajar meningkat mengakibatkan stres kuliah juga ikut meningkat, begitu pula sebaliknya. Variabel kecerdasan emosional mempunyai pengaruh negatif terhadap stres kuliah. Pengaruh negatif ini menunjukkan pengaruh yang terbalik, artinya jika kecerdasan emosional meningkat mengakibatkan stres kuliah menurun, begitu pula sebaliknya.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Survey Lembaga Independen tentang peringkat kualitas perguruan
tinggi di dunia menunjukkan bahwa hanya terdapat lima universitas di
Indonesia yang berada di peringkat 500 dunia yaitu UI, UGM, ITB, ITS,
dan UNDIP. Hal ini sangat memperihatinkan karena dibanding Malaysia
misalnya, di mana jumlah universitas Malaysia yang masuk 500 top
university jauh lebih banyak dibanding Indonesia. Fenomena di atas
menunjukkan bahwa kinerja universitas di Indonesia yang merupakan salah
satu lembaga yang berperan penting dalam mencetak sumber daya manusia
sangat tertinggal jauh dibanding negara Malaysia misalnya (Ilyas, 2007: 2).
Meskipun kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, tetapi
pertumbuhan perguruan tinggi cukup pesat. Hal ini terbukti dengan banyak
berdirinya perguruan tinggi di 12 kopertis seluruh Indonesia yang sampai
tahun 2005 telah tercatat kurang lebih 1775 perguruan tinggi menurut
Japarianto (2006: 44) yang meliputi:
1. Seratus dua belas perguruan tinggi negeri yang mencakup Institut Negeri,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Politeknik Negeri, Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN), Sekolah Tinggi Negeri (STN),
2. Seribu enam ratus enam puluh tiga perguruan tinggi swasta yang
mencakup Akademik, Sekolah Tinggi, Politeknik, Institut, dan
Universitas.
Berdasarkan data tersebut dapat dirinci lebih lanjut bahwa jumlah
perguruan tinggi di Jawa Timur telah tercatat kurang lebih sebanyak 278
perguruan tinggi, yang terdiri dari 16 perguruan tinggi negeri 262 perguruan
tinggi swasta. Sedangkan untuk kota Surabaya tercatat ada 278 perguruan
tinggi, enam adalah perguruan tinggi negeri dan 49 perguruan tinggi swasta
(Japarianto, 2006: 44).
Perguruan tinggi merupakan jenjang terakhir pengelolaan manusia
dalam pendidikan formal. Dalam proses, terutama setelah pengolahan ini,
individu diharapkan harus sudah memiliki keterampilan dan pengetahuan
memadai sebagai bekal hidup dalam masyarakat, memiliki sikap positif bagi
pengembangan diri lebih lanjut dan sikap menghargai kepentingan
masyarakat dan kepentingan negaranya. Tujuan perguruan tinggi yang
mengandung unsur-unsur tersebut di atas, merupakan tugas yang cukup
berat bagi individu yang belajar di dalamnya. Hal lain yang lebih kompleks
adalah struktur dan sistem perguruan tinggi serta pendekatan dan metode
belajar mengajar yang kompleks dan berbeda dibanding pendidikan
sebelumnya (Mudjijanti, 2006: 80).
Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses
belajar mengajar di perguruan tinggi, yang pertama adalah tujuan lembaga
belajar, sedangkan yang kedua adalah tujuan individual mereka yang belajar
(mahasiswa) (El-Qudsy, 2008: 1).
Belajar merupakan hak setiap orang, akan tetapi kegiatan belajar di
suatu perguruan tinggi merupakan suatu hak istimewa karena hanya orang
yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di perguruan tinggi tersebut.
Dengan pengakuan tersebut, harapan adalah bahwa seseorang yang
mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan,
pengetahuan, keterampilan, kepribadian, dan perilaku tertentu sesuai dengan
apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan (El-Qudsy, 2008: 1).
Kebiasaan belajar mahasiswa erat kaitannya dengan penggunaan
waktu, baik untuk belajar maupun untuk kegiatan lain yang menunjang
belajar. Belajar yang efisien dapat dicapai apabila menggunakan strategi
yang tepat, yaitu dengan mengatur waktu antara saat mengikuti kuliah,
belajar di rumah, belajar bersama, dan untuk mengikuti ujian. Dorongan
untuk membiasakan belajar dengan baik perlu diberikan karena akan
mengarah pada suatu pembentukan sikap dalam bertindak (Afifah, 2004: 3).
Akuntansi keperilakuan dalam hal ini sangat berperan penting
dalam hal dorongan untuk membiasakan belajar dengan baik khususnya bagi
mahasiswa akuntansi. Selain itu, akuntansi keperilakuan juga dapat
merancang sistem informasi untuk mempengaruhi motivasi, moral, dan
produktivitas mahasiswa akuntansi. Perilaku belajar mahasiswa akuntansi
memantapkan pelajaran, kebiasaan membaca buku teks, kunjungan ke
perpustakaan, serta kebiasaan menghadapi ujian (Afifah, 2004: 3).
Banyak contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang
memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak memiliki gelar yang tinggi
belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali yang
berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang lebih berhasil.
Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ)
saja, padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana
mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme,
kemampuan beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Saat
ini begitu banyak orang berpendidikan dan tampak begitu menjanjikan,
namun karirnya terhambat atau lebih buruk lagi, tersingkir, akibat
rendahnya kecerdasan emosional mereka (Melandy dan Aziza, 2006: 2).
Hasil survei yang dilakukan di Amerika Serikat tentang kecerdasan
emosional menjelaskan bahwa apa yang diinginkan oleh pemberi kerja tidak
hanya keterampilan teknik saja melainkan dibutuhkan kemampuan dasar
untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan. Di antaranya adalah
kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi lisan, adaptasi, kreatifitas,
ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerjasama
tim, dan keinginan memberi kontribusi terhadap perusahaan. Seseorang
yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mampu
mengendalikan emosinya sehingga dapat menghasilkan optimalisasi pada
Proses yang dijalani selama menuntut ilmu di perguruan tinggi
secara langsung ataupun tidak langsung akan melatih kecerdasan emosional.
Proses belajar mengajar dalam berbagai aspeknya bisa jadi meningkatkan
kecerdasan emosional mahasiswa. Kecerdasan emosional ini mampu
melatih kemampuan mahasiswa tersebut, yaitu kemampuan untuk
mengelola perasaannya, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri,
kesanggupan untuk tegar dalam menghadapi frustasi, kesanggupan
mengendalikan dorongan dan menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana
hati yang reaktif, serta mampu berempati dan bekerja sama dengan orang
lain. Kemampuan-kemampuan ini mendukung seorang mahasiswa dalam
mencapai tujuan dan cita-citanya (Melandy dan Aziza, 2006: 3).
Sebagai mahasiswa, individu diharapkan mempunyai semangat
hidup tinggi, rasa optimis yang besar, dan motif berprestasi yang tinggi.
Dengan adanya motif berprestasi yang tinggi yang mempunyai sifat-sifat,
seperti selalu berusaha mencapai prestasi optimal, selalu memandang masa
depannya dengan rasa optimis, diharapkan mahasiswa dapat sukses dalam
menjalani kehidupan di perguruan tinggi, dan mempunyai prestasi yang
optimal. Namun demikian, kenyataan yang dihadapi mahasiswa tidak
seperti yang diharapkan. Berbagai masalah dialami mahasiswa dan tidak
sedikit mahasiswa yang mengalami gangguan mental. Cobaan yang
bertubi-tubi seperti ada satu mata kuliah yang telah diulang beberapa kali tetapi
masih juga belum lulus dapat menyebabkan mahasiswa pesimis terhadap
mempengaruhi motif berprestasinya, sehingga dapat menyebabkan stres
kuliah (Prabandari, 1989: 19).
Selama menuntut ilmu di perguruan tinggi, mahasiswa terkadang
merasa bosan dan tertekan dengan kuliahnya. Hal ini disebabkan karena
kurangnya kesadaran mahasiswa mengenai makna belajar di perguruan
tinggi yang akan sangat menentukan sikap dan pandangan belajar di
perguruan tinggi. Keadaan mahasiswa yang merasa bosan dan tertekan ini
dapat menyebabkan mahasiswa mengalami stres (Marita, dkk., 2008: 1).
Stres merupakan respon terhadap tekanan yang dirasakan
seseorang dalam berbagai situasi sehingga dapat menyebabkan gangguan
psikologis pada diri seseorang. Gangguan psikologis dapat disebabkan oleh
tekanan-tekanan atau beban yang berlebihan dapat pula terjadi dalam
lingkungan perkuliahan di suatu perguruan tinggi (Marita, dkk., 2008).
Belum lama ini terdengar berita mengenai kasus bunuh diri yang
dilakukan oleh beberapa mahasiswa Indonesia pada waktu dan lokasi yang
berlainan. Bahkan salah satunya adalah mahasiswa yang menempuh
pendidikan di luar negeri. Penyebab dari kasus-kasus bunuh diri tersebut
adalah bahwa mahasiswa yang bersangkutan mengalami stres kuliah.
Menurut data yang dihimpun oleh detik.com, pada tanggal 15
Desember 2008, seorang mahasiswa bernama Hendrawan Winata,
mahasiswa UPI YAI Salemba nekat mengakhiri hidupnya dengan meloncat
dari lantai 13 Fakultas Ekonomi, Universitas Atmajaya, Jakarta. Diduga
kuliahnya tidak kunjung selesai, padahal Hendrawan sudah menempuh
kuliah selama delapan tahun (www.detiknews.com).
Di bulan yang sama, yaitu tanggal 17 Desember 2008, seorang
mahasiswi Psikologi Universitas Indonesia bernama Nova Mirawati diduga
bunuh diri dengan cara melompat dari lantai tujuh Pusat Grosir Cililitan
(PGC) Jakarta Timur. Menurut hasil pemeriksaan, belakangan ini Nova
memang tampak stres karena nilai-nilai mata kuliahnya merosot
(www.detiknews.com).
Kasus serupa juga dialami oleh David Hartanto Wijaya, mahasiswa
tingkat akhir asal Indonesia yang kuliah di Fakultas Teknik Elektro dan
Elektronika Universitas Teknologi Nanyang (NTU) itu bunuh diri setelah
menikam dosen pembimbingnya, Profesor Chan Kap Lup (45), pada tanggal
2 Maret 2009. David mengalami stres karena beasiswa yang diterimanya
telah dicabut akhir bulan lalu. Padahal, skripsi yang dikerjakannya cukup
sulit dan butuh waktu lama untuk menyelasaikannya (www.detiknews.com).
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa
Strata Satu (S1) program studi akuntansi Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur Angkatan Tahun 2007 sebanyak 161 orang.
Peneliti memilih obyek penelitian di Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur karena peneliti ingin mengetahui tingkat stres kuliah
yang dirasakan mahasiswa akuntansi yang kuliah di Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Peneliti memilih subyek
penelitian yaitu mahasiswa akuntansi angkatan tahun 2007 karena peneliti
pembelajaran yang lama dan sedang mengerjakan tugas akhir, sehingga
beban yang dirasakan semakin berat dibandingkan dengan mahasiswa yang
baru mengikuti perkuliahan.
Setelah dilakukan survey pendahuluan terhadap beberapa
mahasiswa akuntansi di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
sendiri, hanya sedikit sekali mahasiswa akuntansi yang mengalami stres
kuliah, di antaranya adalah seorang mahasiswa yang ke mana-mana selalu
diantar orang tuanya, seorang mahasiswa yang sudah menempuh skripsi,
namun oleh dosen pembimbingnya, topik yang diangkat oleh mahasiswa
tersebut kurang sesuai, sehingga membuat mahasiswa tersebut harus
berulang kali merevisi, seorang mahasiswa yang bekerja dituntut oleh
perusahaannya untuk bekerja dengan sangat maksimal hingga lembur,
sehingga kuliah yang ditempuhnya menjadi tak kunjung usai, dan lain
sebagainya.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa tingkat akhir cenderung mengalami stres kuliah, bahkan sampai
bunuh diri. Beberapa penelitian terdahulu banyak mengangkat masalah
mengenai stres kerja, oleh karena itu pada penelitian saat ini, peneliti
mencoba mengangkat mengenai masalah stres kuliah yang dialami oleh
mahasiswa. Peneliti berasumsi bahwa kecerdasan emosional akan
meningkat sesuai dengan kematangan umur seseorang, sehingga hasilnya
penelitian kecerdasan emosional dengan karyawan belum tentu sama dengan
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang di atas, maka peneliti
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Perilaku
Belajar dan Kecerdasan Emosional Terhadap Stres Kuliah Mahasiswa Akuntansi (Studi Kasus: Mahasiswa Akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur)”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah perilaku belajar dan kecerdasan emosional mahasiswa akuntansi
berpengaruh terhadap stres kuliah?
2. Apakah perilaku belajar mahasiswa akuntansi berpengaruh terhadap stres
kuliah?
3. Apakah kecerdasan emosional mahasiswa akuntansi berpengaruh
terhadap stres kuliah?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menguji secara empiris
apakah ada pengaruh antara perilaku belajar dan kecerdasan emosional
mahasiswa akuntansi, khususnya mahasiswa (S1) program studi akuntansi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur angkatan tahun
10
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, antara lain:
1. Bagi Akademisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan yang bermanfaat
dalam mengenali mahasiswanya sesuai kematangan mereka untuk
menciptakan suasana kelas yang tidak menimbulkan stres kuliah.
2. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mempelajari manfaat
kecerdasan emosional dan perilaku belajar mahasiswa sehingga secara
tidak langsung mahasiswa akan belajar untuk mengelola kecerdasan
emosional dengan baik dan menggunakan perilaku belajar yang baik
dalam menghadapi stres kuliah.
3. Bagi Pihak Lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan yang lebih luas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian yang memiliki hubungan dengan
penelitian sekarang adalah sebagai berikut:
1. Mulyati (2009)
a. Judul
“Pengaruh Konflik Peran Dan Stres Kerja Terhadap Komitmen
Organisasi.”
b. Rumusan Masalah
i. Apakah konflik peran berpengaruh terhadap komitmen organisasi
akuntan publik?
ii. Apakah stres kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi
akuntan publik?
iii. Apakah konflik peran dan stres kerja berpengaruh terhadap
komitmen organisasi akuntan publik?
c. Hipotesis
i. Konflik peran berpengaruh terhadap komitmen organisasi akuntan
publik.
ii. Stres kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi akuntan
iii. Konflik peran dan stres kerja berpengaruh terhadap komitmen
organisasi akuntan publik.
d. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh
konflik peran dan stres kerja yang dialami akuntan publik terhadap
komitmen organisasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada
responden akuntan publik khususnya pada auditor junior didapatkan
bahwa konflik peran dan stres kerja tidak berpengaruh terhadap
komitmen organisasi. Dari hasil analisis tersebut juga didapat bahwa
konflik peran mempunyai hubungan yang positif terhadap komitmen
organisasi dimana tingkat korelasinya sebesar 0,218 yang berarti
terjadi hubungan yang lemah dan searah. Selain itu dilihat dari analisis
korelasi didapat bahwa stres kerja mempunyai hubungan yang negatif
dengan komitmen organisasi yaitu sebesar -0,113. berarti terjadi
hubungan yang lemah tetapi tidak searah.
2. Amilin dan Dewi (2008)
a. Judul
“Pengaruh Komitmen Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Akuntan
Publik Dengan Role Stress Sebagai Variabel Moderating.”
b. Rumusan Masalah
i. Apakah interaksi antara komitmen organisasional dengan konflik
ii. Apakah interaksi antara komitmen organisasional dengan
ketidakjelasan peran berpengaruh signifikan terhadap kepuasan
kerja auditor?
c. Hipotesis
i. Dengan konflik peran yang rendah, maka komitmen organisasi
akan berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja
auditor.
ii. Dengan ketidakjelasan peran yang rendah, maka komitmen
organisasi akan berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan
kerja auditor.
d. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa variabel
ketidakjelasan peran bukanlah variabel yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja. Hanya variabel komitmen organisasi yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja.
3. Arbadiati dan Kurniati (2007)
a. Judul
“Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Kecenderungan
Problem Focused Coping Pada Sales”.
b. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan
c. Hipotesis
Ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan kecenderungan
problem focused coping pada sales.
d. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan dengan arah positif antara kecerdasan emosi dengan
kecenderungan problem focused coping pada sales. Semakin tinggi
kecerdasan emosi, semakin tinggi pula kecenderungan problem
focused coping pada sales.
4. Marita, dkk. (2008)
a. Judul
“Kajian Empiris atas Perilaku Belajar dan Kecerdasan Emosional
dalam Mempengaruhi Stres Kuliah Mahasiswa Akuntansi”
b. Rumusan Masalah
i. Apakah kecerdasan emosional dan perilaku belajar mahasiswa
akuntansi berpengaruh secara signifikan terhadap stres kuliah?
ii. Apakah kecerdasan emosional berpengaruh secara signifikan
terhadap stres kuliah?
iii. Apakah perilaku belajar mahasiswa akuntansi berpengaruh secara
signifikan terhadap stres kuliah?
c. Hipotesis
i. Kecerdasan emosional dan perilaku belajar berpengaruh terhadap
ii. Kecerdasan emosional (kemampuan pengenalan diri, pengendalian
diri, motivasi diri, empati dan kemampuan sosial) berpengaruh
terhadap stres kuliah.
iii. Perilaku belajar mahasiswa akuntansi (kebiasaan mengikuti
pelajaran, kebiasaan membaca buku, kunjungan ke perpustakaan
dan kebiasaan menghadapi ujian) berpengaruh terhadap stres kuliah
d. Kesimpulan
Persamaan regresi linier berganda menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional dan perilaku belajar mahasiswa jurusan
akuntasi, keduanya memberikan pengaruh negatif dan signifikan
terhadap stres kuliah responden. Hasil uji F variabel kecerdasan
emosional dan perilaku belajar, menunjukkan variabel kecerdasan
emosional dan perilaku belajar secara bersama-sama berpengaruh
positif terhadap stres kuliah. Hasil uji t variabel kecerdasan emosional
dan perilaku belajar, menunjukkan kecerdasan emosional dan perilaku
belajar mahasiswa jurusan akuntansi secara parsial berpengaruh
negatif terhadap stres kuliah
5. Sudjianto (2010)
a. Judul
“Pengaruh Perilaku Belajar Dan Kecerdasan Emosional Terhadap
b. Rumusan Masalah
Apakah perilaku belajar dan kecerdasan emosional mahasiswa
akuntansi STIESIA berpengaruh secara signifiak terhadap stres
kuliah?
c. Hipotesis
Perilaku belajar dan kecerdasan emosional mahasiswa akuntansi
STIESIA mempunyai pengaruh signifikan terhadap stres kuliah.
d. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh antara
perilaku belajar dan kecerdasan emosional terhadap stres kuliah
mahasiswa S1 program studi akuntansi STIESIA Surabaya.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peneliti dapat
mengambil simpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan pengujian uji F pada analisis regresi linier berganda,
disimpulkan bahwa variabel perilaku belajar dan kecerdasan
emosional secara simultan mempengaruhi stres kuliah mahasiswa
S1 Program studi akuntansi STIESIA Surabaya.
2. Berdasarkan pengujian uji t pada analisis regresi linier berganda,
disimpulkan bahwa perilaku belajar secara parsial tidak
mempengaruhi stres kuliah mahasiswa S1 program studi
akuntansi STIESIA Surabaya, sedangkan kecerdasan emosional
Adapun persamaan pada penelitian yang dilakukan sekarang ini
dengan penelitian terdahulu adalah dari segi variabel yaitu perilaku belajar,
kecerdasan emosional dan stres kuliah, sedangkan perbedaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya adalah subyek dan obyek penelitian yang
berbeda yaitu pada penelitian terdahulu meneliti mahasiwa Strata saru (S1)
progdi akuntansi STIESIA Angkatan tahun 2006, sedangkan pada penelitian
yang dilakukan sekarang meneliti mahasiwa Strata satu (S1) progdi
akuntansi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran “ Jawa Timur
Angkatan tahun 2007. Oleh karena itu penelitian sekarang bukan merupakan
replikasi dari penelitian terdahulu.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Akuntansi Keperilakuan
Awal perkembangan akuntansi keperilakuan menekankan pada aspek akuntansi manajemen, khususnya pada pembuatan anggaran. Tetapi
domain dalam hal ini terus berkembang dan bergeser ke arah akuntansi
keuangan, sistem informasi akuntansi, dan audit. Perkembangan yang pesat
dari akuntansi keperilakuan lebih disebabkan karena akuntansi secara
simultan dihadapkan pada ilmu-ilmu sosial menyeluruh mengenai
bagaimana perilaku manusia mempengaruhi data akuntansi dan keputusan
bisnis, serta bagaimana akuntansi mempengaruhi keputusan bisnis dan
2.2.1.1. Pengertian Akuntansi Keperilakuan
Akuntansi merupakan suatu sistem untuk menghasilkan informasi keuangan yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan
keputusan bisnis. Tujuan informasi tersebut adalah memberikan petunjuk
dalam memilih tindakan yang paling baik untuk mengalokasikan sumber
daya yang langka pada aktivitas bisnis dan ekonomi. Namun pemilihan dan
penetapan suatu keputusan bisnis juga melibatkan aspek-aspek keperilakuan
dari para pengambil keputusan. Dengan demikian, akuntansi tidak dapat
dilepaskan dari aspek perilaku manusia serta kebutuhan organisasi akan
informasi yang dapat dihasilkan oleh akuntansi (Iksan dan Ishak, 2005: 1).
Menurut Siegel dan Marconi (1989), ilmu keperilakuan mencakup
bidang riset manapun yang mempelajari, baik melalui metode
eksperimentasi maupun observasi, perilaku dari manusia dalam lingkungan
fisik maupun sosial. Tujuan dari ilmu keperilakuan adalah untuk
memahami, menjelaskan, dan memprediksikan perilaku manusia sampai
pada generalisasi yang ditetapkan mengenai perilaku manusia yang
didukung oleh bukti empiris yang dikumpulkan secara impersonal melalui
prosedur yang terbuka untuk peninjauan maupun replikasi dan dapat
diverifikasi oleh ilmuwan lainnya yang tertarik (Iksan dan Ishak, 2005: 25).
Ilmu keperilakuan mempunyai kaitan dengan penjelasan dan
prediksi keperilakuan manusia. Akuntansi keperilakuan menghubungkan
antara keperilakuan manusia dengan akuntansi. Akuntansi keperilakuan
menjelaskan dan memprediksikan perilaku manusia (Iksan dan Ishak,
2005: 27).
Riset akuntansi keperilakuan menurut Iksan dan Ishak (2005: 9)
merupakan bidang baru yang secara luas berhubungan dengan perilaku
individu, kelompok, dan organisasi bisnis, terutama yang berhubungan
dengan proses informasi akuntansi dan audit. Riset akuntansi keperilakuan
meliputi masalah yang berhubungan dengan:
1. Pembuatan keputusan dan pertimbangan oleh akuntan dan auditor.
2. Pengaruh dari fungsi akuntansi, seperti partisipasi dalam penyusunan
anggaran, karakteristik sistem informasi, dan fungsi audit terhadap
perilaku, baik karyawan, manajer, investor, maupun wajib pajak.
3. Pengaruh hasil dari fungsi tersebut, seperti informasi akuntansi dan
penggunaan pertimbangan dalam pembuatan keputusan.
2.2.1.2. Dimensi Akuntansi Keperilakuan
Dimensi akuntansi keperilakuan berkaitan dengan perilaku manusia
dan juga dengan desain, konstruksi, serta penggunaan suatu sistem
informasi akuntansi yang efisien. Akuntansi keperilakuan, dengan
mempertimbangkan hubungan antara perilaku manusia dan sistem
akuntansi, mencerminkan dimensi sosial dan budaya manusia dalan suatu
organisasi (Iksan dan Ishak, 2005: 23).
Ruang lingkup akuntansi keperilakuan menurut Iksan dan Ishak
1. Aplikasi dari konsep ilmu keperilakuan terhadap desain dan konstruksi
sistem akuntansi.
2. Studi reaksi manusia terhadap format dan isi laporan akuntansi.
3. Cara dengan mana informasi diproses untuk membantu dalam
pengambilan keputusan.
4. Pengembangan teknik pelaporan yang dapat mengkomunikasikan
perilaku para pemakai data.
5. Pengembangan strategi untuk memotivasi dan mempengaruhi perilaku,
cita-cita, serta tujuan dari orang-orang yang menjalani organisasi.
Secara umum, lingkup dari akuntansi keperilakuan menurut Iksan
dan Ishak (2005: 24) dapat dibagi menjadi tiga bidang besar, yaitu:
1. Pengaruh perilaku manusia berdasarkan desain, konstruksi, dan
penggunaan sistem akuntansi. Bidang dari akuntansi keperilakuan ini
mempunyai kaitan dengan sikap dan filosofi manajemen yang
mempengaruhi sifat dasar pengendalian akuntansi yang berfungsi dalam
organisasi.
2. Pengaruh sistem akuntansi terhadap perilaku manusia. Bidang dari
akuntansi keperilakuan ini berkenaan dengan bagaimana sistem akuntansi
mempengaruhi motivasi, produktivitas, pengambilan keputusan,
kepuasan kerja, serta kerja sama.
3. Metode untuk memprediksi dan strategi untuk mengubah perilaku
hubungan dengan cara sistem akuntansi digunakan sehingga
mempengaruhi perilaku
2.2.1.3. Hubungan Akuntansi Keperilakuan dengan Stres Kuliah
Akuntansi keperilakuan menghubungkan antara keperilakuan
manusia dan akuntansi (Iksan dan Ishak, 2005: 40). Ada banyak faktor
kompleks yang terkait dengan perilaku manusia. Faktor-faktor tersebut
mencakup kebutuhan individu dan motivasi, tekanan kelompok, tuntutan
organisasi, sejarah pribadi dan latar belakang individu yang unik, konflik
pesan dari dalam dan luar organisasi, tuntutan waktu, sosial, serta tanggung
jawab pribadi (Iksan dan Ishak, 2005: 29).
Perilaku belajar yang dilakukan oleh mahasiswa akuntansi
merupakan bagian dari perilaku manusia. Seperti yang dikatakan oleh Iksan
dan Ishak (2005: 40) akuntansi keperilakuan menggunakan metodologi ilmu
pengetahuan perilaku untuk melengkapi gambaran informasi dengan
mengukur dan melaporkan faktor manusia yang mempengaruhi keputusan
bisnis dan hasil mereka (Iksan dan Ishak, 2005: 4).
Perilaku seorang pria yang kecerdasan emosionalnya tinggi adalah
secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka, tidak mudah takut atau
gelisah. Mereka berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan
orang-orang atau permasalahan, untuk memikul tanggung jawab, dan
mempunyai pandangan moral, simpatik dan hangat dalam
secara emosional cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan
mereka secara langsung, dan memandang dirinya sendiri secara positif,
mudah bergaul dan ramah, mampu mengungkapkan perasaan dengan
takaran yang wajar, dan mampu menyesuaikan diri dengan beban stres
(Goleman, 2007: 60).
2.2.2. Perilaku Belajar
Suwarjono (2004: 11) menyatakan bahwa belajar di perguruan tinggi merupakan suatu pilihan srategik dalam mencapai tujuan individual
seseorang. Semangat, cara belajar, dan sikap mahasiswa terhadap belajar
sangat dipengaruhi oleh kesadaran akan adanya tujuan individual dan tujuan
lembaga pendidikan yang jelas. Keselarasan tujuan akan menjadikan belajar
di perguruan tinggi merupakan kegiatan yang menyenangkan tanpa
meninggalkan scientific vigor perguruan tinggi.
2.2.2.1. Pengertian Perilaku Belajar
Iksan dan Ishak (2005: 29) mengatakan bahwa perilaku menekankan pada interaksi antara orang-orang dan bukan pada rangsangan
fisik serta diterangkan dalam hubungannya dengan ilmu sosial, pengaruh
sosial, dan ilmu dinamika sosial.
Belajar merupakan kegiatan individual, kegiatan yang sengaja
dipilih secara sadar karena seseorang mempunyai tujuan individual tertentu
Sedangkan perilaku belajar menurut Rampengan (1997) dalam
Afifah (2004: 15) sering disebut juga kebiasaan belajar yang merupakan
dimensi belajar yang dilakukan individu secara berulang-ulang sehingga
menjadi otomatis dan spontan.
2.2.2.2. Kebiasaan Belajar
Menurut Giyono (1993) kebiasaan belajar dapat berlangsung
melalui tiga cara, yaitu memperoleh reinforcement, classical conditioning,
belajar moderen. Apabila model ini mendapat reinforcement terhadap
tindakannya, maka akan menjadi kebiasaan (Marita, dkk., 2008: 4).
Surachmad (2001) dalam Marita, dkk., (2008: 8) mengemukakan
hal-hal yang berhubungan dengan perilaku belajar yang baik, yaitu:
1. Kebiasaan mengikuti dan memantapkan pelajaran
2. Kebiasaan membaca buku
3. Kebiasaan kunjungan ke perpustakaan
4. Kebiasaan menghadapi ujian
Dampak kebiasaan belajar yang jelek bertambah berat ketika
kebiasaan itu membiarkan mahasiswa dapat lolos tanpa gagal (Calhoun dan
Acocella, 1995). Gagne (1988) menjelaskan bahwa hasil belajar dapat
dihubungan dengan terjadinya suatu perubahan, kecakapan atau kepandaian
seseorang dalam proses pertumbuhan tahap demi tahap (Marita, dkk.,
2.2.2.3. Aspek Belajar
Apapun tujuan yang ingin dicapai melalui belajar di perguruan
tinggi, akhirnya tujuan tersebut harus dicapai dalam bentuk unit kegiatan
belajar mengajar yang disebut kuliah. Kuliah merupakan bentuk interaksi
antara dosen, mahasiswa, dan pengetahuan/keterampilan. Pemahaman dan
persepsi mengenai hubungan ketiga faktor tersebut sangat menentukan
keberhasilan proses belajar (Suwardjono, 2004: 1)
Beberapa aspek yang berkaitan dengan kegiatan konkret belajar
menurut Suwardjono (2004: 2), antara lain:
1. Makna Kuliah
Arti kuliah pada umumnya diperoleh mahasiswa bukan karena
kesadarannya tentang arti kuliah yang sebenarnya tetapi karena
pengalaman mahasiswa dalam mengikuti kuliah. Kesan yang keliru akan
mengakibatkan adanya kesenjangan persepsi tujuan antara lembaga
pendidikan, dosen dan mahasiswa sehingga proses belajar-mengajar yang
efektif menjadi terhambat. Pada Gambar 2.1 (a) menunjukkan kuliah dan
dosen dianggap merupakan sumber pengetahuan utama sehingga catatan
kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan dewa
pengetahuan. Lingkungan belajar seperti ini menempatkan dosen menjadi
seperti tukang sulap yang kelihatan pintar tetapi hanya karena
mengetahui muslihat-muslihat yang sengaja disembunyikan dan
kemudian menjual pengetahuan tersebut melalui loket kuliah. Mahasiswa
membeli kue diwarung. Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata
kesalahan mahasiswa karena persepsi tersebut dapat timbul justru dari
sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi demikian.
Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya
datang, duduk, dengar dan catat (D3C). Karena pendekatan pengendalian
proses belajar mengajar di kelas yang kurang mendukung maka
mahasiswa tidak usah datang kuliah tetapi memfotocopy saja catatan
[image:40.595.165.479.292.651.2]mahasiswa lain.
Gambar 2.1. Proses Belajar Mengajar
(a)
Pengetahuan / Keterampilan
Dosen
Mahasiswa
(b)
Mahasiswa Dosen
Sumber : Suwardjono (2004: 3)
Pengetahuan / Keterampilan
Kalau tujuan individual akan dicapai secara efektif, arti kuliah
harus diredefinisi dan arti kuliah yang telah diredefinisi harus
konsep ini, pengetahuan dan keterampilan merupakan barang bebas.
Mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses
terhadap pengetahuan. Dosen berbeda dengan mahasiswa karena
wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang dimilikinya yang
berkaitan dengan pengetahuan tersebut karena mereka telah mengalami
proses belajar dan karena pergaulannya dengan para praktisi atau karena
riset atau penelitian yang dilaksanakannya. Dengan demikian, kuliah
harus diartikan senagai forum diskusi antara dosen dengan mahasiswa
untuk mengkonfirmasi pemahaman mahasiswa terhadap pengetahuan
bebas yang dimiliki dosen tersebut.
2. Fungsi Temu Kelas
Proses belajar merupakan kegiatan yang terencana dan kuliah
merupakan kegiatan untuk memperkuat pemahaman mahasiswa terhadap
materi pengetahuan sebelum hasil kegiatan belajar mandiri. Bila pada
awal temu kelas mahasiswa telah menyiapkan diri sebelumnya maka
mahasiswa telah mempunyai pengetahuan awal yang cukup memadai.
Kesepakatan antara dosen dan mahasiswa dalam bentuk rencana/program
belajar dan silabus merupakan keharusan dalam penyelenggaraan
pendidikan. Sehingga, kuliah atau temu kelas akan diartikan sebagai
ajang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman antara dosen dan
mahasiswa.
Nilai yang diperoleh peserta didik mempunyai fungsi ganda,
yaitu sebagai ukuran keberhasilan peserta didik dalam mempelajari mata
kuliah dan sekaligus sebagai alat evaluasi keberhasilan mata kuliah itu
sendiri. Dalam hal tertentu, nilai yang diperoleh mahasiswa memang
merupakan indikator kesuksesan mahasiswa dalam menempuh kuliah,
tetapi mungkin bukan merupakan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan
atau sasaran pengajaran mata kuliah dalam mengubah pengetahuan,
perilaku, atau kepribadian mahasiswa termasuk penalarannya. Bagi
mahasiswa yang mempunyai tujuan individual yang jelas, nilai bukan
merupakan tujuan tetapi lebih merupakan konsekuensi logis dari apa
yang dilakukannya selama mengikuti proses belajar. Bila
penyelenggaraan kuliah memungkinkan seorang mahasiswa dapat
memperoleh nilai tinggi tanpa mahasiswa tersebut mengalami proses
belajar yang semestinya maka mata kuliah dan proses belajarnya
sebenarnya belum mengajarkan apapun kepada mahasiswa. Hubungan
[image:42.595.160.467.611.689.2]antara nilai dan proses belajar dapat ditunjukkan dalam gambar 2.2.
Gambar 2.2.
Hubungan Proses Belajar dan Nilai
Alat evaluasi Proses Belajar
Ujian Nilai
Tanpa proses belajar
Gambar 2.2. menunjukkan bahwa apabila penyelenggaraan
kuliah memungkinkan seorang mahasiswa dapat memperoleh nilai tinggi
tanpa mahasiswa tersebut mengalami atau menjalani proses belajar yang
semestinya, maka mata kuliah dan proses belajarnya sebenarnya belum
mengajarkan apa-apa kepada mahasiswa. Apabila proses belajar
dianggap hal yang penting dari sekedar nilai ujian, maka pengendalian
proses belajar harus menjadi perhatian utama. Persepsi mahasiswa yang
keliru mengenai hal ini akan menyebabkan mahasiswa merasa frustasi
menjalankan proses belajar
4. Konsepsi tentang Dosen
Dalam proses belajar-mengajar yang efektif, dosen semestinya
harus dipandang sebagai seorang manajer kelas. Sumber pengetahuan
utama adalah buku, perpustakaan, artikel dalam majalah, hasil penelitian,
dan media cetak atau audio visual lainnya. Dalam teknologi pendidikan,
dikatakan bahwa dosen bertindak sebagai director, facilitator, motivator,
dan evaluator proses belajar.
5. Kemandirian dalam Belajar
Kemandirian belajar adalah hasil suatu proses dan pengalaman
belajar itu sendiri. Kemandirian belajar harus dimulai sejak pertama kali
mahasiswa memasuki perguruan tinggi. Hal ini dimungkinkan jika
bersama antara dosen dan mahasiswa. Agar kemandirian dapat terbentuk,
tugas dosen adalah mengarahkan, memotivasi, memperlancar, dan
mengevaluasi proses belajar mandiri mahasiswa, sehingga temu kelas
akan diisi dengan hal-hal yang bersifat konseptual dan temu kelas akan
merupakan ajang konfirmasi pemahaman mahasiswa terhadap materi dan
tugas yang harus dikerjakan di luar jam temu kelas.
6. Konsep Memiliki Buku
Buku merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
belajar. Buku adalah sumber pengetahuan yang harus dibaca, ditulisi,
dicoret-coret, ditempeli artikel, dan “diajak berdialog”, sehingga buku
tersebut akan menjadi bagian dari pribadi seseorang. Jika buku yang
dibeli tetap bersih dan tidak pernah diajak berdialog, maka seseorang
sebenarnya hanya memiliki kertas bergambar garis dan huruf dan
seandainya buku tersebut hilang, maka tidak ada rasa lain kehilangan
apapun karena buku yang sama dapat segera dibeli di toko buku. Lain
halnya jika buku tersebut telah dibaca dan dipahami serta diberi
tanda-tanda khusus pada bagian-bagian yang dianggap penting dan menarik,
maka apabila buku tersebut hilang, seseorang akan merasa seperti
kehilangan kekasih. Sementara itu ada juga yang membeli buku
kemudian memberinya sampul dan membuka serta membacanya secara
digunakan untuk memempuh suatu kuliah, buku tersebut dapat dijual
kembali.
7. Kemampuan Berbahasa
Kemampuan berbahasa dan menggunakan bahasa sebagai alat
ekspresi buah pikiran bukan merupakan sesuatu yang gifted, tetapi
merupakan keterampilan yang harus dipelajari dengan penuh kesadaran.
Namun banyak mahasiswa yang merasa dapat berbahasa (bahasa
Indonesia khususnya) bukan karena mempelajarinya secara sadar akan
tetapi memperolehnya secara ilmiah. Jika seseorang ingin mencapai dan
menikmati pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan ilmiah, maka bahasa
yang dikuasai secara alamiah harus ditingkatkan menjadi bahasa ilmiah.
2.2.3. Kecerdasan Emosional
2.2.3.1. Pengertian Kecerdasan emosional
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi
kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang merupakan
keterampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal dan
sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang
akademis. Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak hanya ini saja. Pandangan
baru yang berkembang mengatakan bahwa ada kecerdasan lain di luar
kecerdasan intelektual (IQ), seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial,
hubungan sosial, kematangan emosional, dan lain-lain yang harus juga
Temuan Wechsler (1958) dalam Trisniwati dan Suryaningsum
(2003) mendefinisikan kecerdasan sebagai keseluruhan kemampuan
seseorang untuk bertindak bertujuan, untuk berpikir rasional, dan untuk
berhubungan dengan lingkungannya secara efektif. Temuan Wechsler ini
mengidentifikasikan, selain aspek kognisi, aspek non-kognisi juga
berpengaruh dalam mencapai keberhasilan hidup. Kematangan dan
kedewasaan menunjukkan kecerdasan dalam hal emosi. Mayer, dalam
Goleman (2000), menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi berkembang
sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanak-kanak hingga dewasa, lebih
penting lagi bahwa kecerdasan emosional dapat dipelajari (Suryaningsum,
dkk : 2004: 353).
Menurut Wibowo (2002) kecerdasan emosional adalah untuk
menggunakan emosi sesuai dengan keinginan, kemampuan untuk
mengendalikan emosi, sehingga memberikan dampak yang positif (Melandy
dan Aziza, 2006: 5).
Goleman (2007) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda
kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional
tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat,
memilih kepuasan dan mengatur suasana hati. Sementara Cooper dan Sawaf
(1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan
emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi (Suryaningsum,
dkk., 2004: 353)
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosional merupakan kemampuan-kemampuan untuk
mengendalikan diri, mengelola emosi diri, kemampuan untuk mengatasi
masalah, dan kemampuan untuk memotivasi diri. Menurut Mu’tadin (2002)
terdapat tiga unsur penting kecerdasan emosional yang terdiri dari :
kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial (menangani
suatu hubungan) dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah tanggapan
yang dikehendaki pada orang lain) (Melandy dan Aziza, 2006: 5).
2.2.3.2. Komponen Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi menurut Cooper dan Sawaf adalah merupakan
faktor penentu perusahaan dalam karier dan organisasi, termasuk dalam
pembuatan keputusan, kepemimpinan, melakukan terobosan teknis dan
stategis, komunikasi yang terbuka dan jujur, kerja sama dan hubungan
saling mempercayai, serta mengembangkan kreativitas dan daya inovasi
(Suryaningsum, dkk., 2004: 353).
Ciri-ciri kecerdasan emosional meliputi kemampuan, seperti
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Goleman,
2007: 45).
Komponen kecerdasan emosional menurut Goleman (2007: 58)
dibagi menjadi lima wilayah utama, yaitu:
1. Pengenalan Diri (Kesadaran Diri)
Kesadaran diri adalah mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan
hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Orang yang
memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang
andal bagi kehidupan mereka karena mempunyai kepekaan lebih tinggi
akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan
keputusan-keputusan masalah pribadi.
2. Pengendalian Diri (Penguasaan Diri)
Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah
kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang-orang yang
buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus-menerus
bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar
dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan
kejatuhan dalam kehidupan.
3. Memotivasi Diri Sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri
emosional adalah menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan
dorongan hati. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung
jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
4. Mengenali Emosi Orang Lain (Empati)
Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri
emosional merupakan keterampilan dalam dasar pergaulan. Orang yang
empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi
yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki oleh
orang lain.
5. Membina Hubungan (Kemampuan Sosial)
Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan
mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang
menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam
bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang
lain.
2.2.4. Stres Kuliah
2.2.4.1. Pengertian Stres
Terjadinya proses stres didahului oleh adanya sumber stres
(stresor) yaitu setiap keadaan yang dirasakan orang mengancam dan
membahayakan dirinya. Istilah stres atau ketegangan memiliki konotasi
psikhis yang telah mengalami berbagai tekanan yang melampaui batas
ketahanannya. Sementara orang lain mengatakan stres bersifat subyektif
hanya berhubungan dengan kondsi-kondisi psikologis dan emosi seseorang.
Ada pula yang menganggap stres dan ketegangan merupakan faktor sebab
akibat. Namun banyak orang cenderung mengangap stres sebagai tanggapan
patologos (proses penyimpangan kondisi biologis yang sehat) terhadap
tekanan-tekanan psikologis dan sosial yang berhubungan pekerjaan dan
lingkungannya (Marita, dkk., 2008: 6).
Menurut Zimbardo dalam bukunya yang berjudul “Psychology and
life” yang dimaksud dengan stres adalah respons atau reaksi dari individu
(seseorang) secara fisiologik dan psikologik yang bersifat non spesifik
terhadap tuntutan atau tantangan lingkungan terhadap integritas individu
tersebut (Suhartin, 1999:34).
Sedangkan menurut Hall dalam bukunya yang berjudul Psychology
Today, stres adalah suatu istilah yang tidak mempunyai arti yang tepat,
terkadang didefinisikan sebagai suatu rangsang yang memberikan
ketegangan untuk mana seseorang harus menyesuaikannya secara fisiologik
atau psikologik, terkadang didefinisikan sebagai respons interval (dalam)
2.2.4.2. Penyebab Stres
Menurut Hall dalam Suhartin (1999:37), penyebab stres antara lain: 1. Keadaan atau rangsang yang menekan, seperti misalnya kematian orang
yang yang dicintai, tugas yang berat, keadaan jalan macet, kemarahan
boss, ditekan waktu dalam bekerja, problem yang sulit dipecahkan,
tujuan yang sulit dicapai, dan sebagainya.
2. Golongan kedua adalah timbulnya konflik. Yang dimaksud dengan
konflik dalam naskah ini adalah dua pilihan atau lebih, pilihan mana sulit
dilaksanakan karena pilihan yang merupakan pilihan yang dilematis. Jadi
konflik tersebut merupakan konflik dalam diri sendiri.
3. Sebab yang ketiga adalah apa yang disebut frustasi yaitu keadaan tegang
akibat dari tidak tercapainya suatu tujuan. Sebagai contoh, ingin lulus
ujian, tetapi tidak lulus, ingin naik pangkat atau jabatan, tetapi tidak
dapat naik, melamar gadis, ditolak oleh gadis, dan sebagainya. Situasi
semacam ini dapat menimbulkan apa yang disebut frustasi, sebagai
gilirannya mengakibatkan stres.
Menurut Andraeni (2003) penyebab terjadinya stres kerja adalah
dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian
karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi
pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat
mempengaruhi daya tahan stres seseorang (Amilin dan Dewi, 2008:15).
Davis dan Newstrom dalam Amilin dan Dewi (2008:15)
1. Adanya tugas yang terlalu banyak.
2. Supervisor yang kurang pandai.
3. Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan.
4. Kurang mendapat tanggung jawab yang memadai.
5. Ambiguitas/ketidakjelasam peran adalah kurangnya pemahaman atas
hak-hak, hak-hak istimewa dan kewajiban yang dimiliki seseorang untuk
melakukan pekerjaaa.
6. Perbedaan nilai perusahaan.
7. Frustasi.
8. Perubahan tipe pekerjaan.
9. Konflik peran adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan
yang berkaitan dengan suatu peran.
Menurut Rahim (1996) dalam Mulyati (2009) menyebutkan bahwa
karakteristik pekerjaan yang menyebabkan sumber stres kerja secara
konseptual terdiri dari lima dimensi, yaitu sebagai berikut :
1. Physical Environment
Lingkungan tempat bekerja yang tidak mendukung terselenggaranya
proses bekerja yang baik.
2. Role conflict
Mengindikasikan suatu tingkatan dimana individu mengalami
ketidaksesuaian antara permintaan dan komitmen dari suatu peran.
Mengindikasikan suatu tingkatan dimana kriteria prioritas, harapan
(expectations), dan evaluasi tidak disampaikan secara jelas kepada
pegawai.
4. Role Overload
Mengindikasikan suatu tingkatan dimana permintaan kerja melebihi
kemampuan pegawai dan sumber daya lainnya, serta suatu keadaan
dimana pegawai tidak mampu menyelesaikan beban kerja yang
direncanakan.
5. Role Insufficiency
Mengindikasikan suatu kondisi dimana pendidikan, training,
keterampilan, dan pengalaman pegawai tidak sesuai dengan job
requirements.
2.2.4.3. Dampak Stres
Menurut para ahli psikologi pada dasarnya akibat atau pengaruh
terhadap seseorang yang mengalaminya bersifat subyektif atau relatif.
Maksudnya stres yang secara obyektif rendah, dapat dirasakan oleh
seseorang sebagai stres yang tinggi, misalnya tidal lulus ujian
komprehensif(mempertahankan tugas riset, memnuat skripsi atau thesis),
sampai yang bersangkutan mengalami depresi. Padahal peristiwa tersebut
bagi orang lain tidak sampai menimbulkan depresi (rasa tertekan yang
hilang dan segera belajar lagi untuk ujian ulangan yang akan datang
(Suhartin, 1999:35).
Sesuai pendapat Selye, yang bertahun-tahun menyelidiki masalah
stres, respons trhadap stres ini dapat dibedakan menjadi tiga tingkat, yaitu
darurat (alarm), perlawanan (resistance), dan kepayahan (exhaustion). Bila
sseorang mengalami stres misalnya kematian orang yang sangat dicintainya,
pertama-tama ia mengalami shock, yang mengikuti counter shock (usaha
melawan shock). Dalam fase permulaan seperti ini syaraf tak sadar atau
syaraf autonom pemicu peningkatan pengeluaran hormon yang dikeluarkan
olh klenjar adrenalin (adrenal glands). Bila stres dalam fase pertama ini
berlangsung secara hebat (overwhelming), dapat berakibat fatal yaitu
kematian. Bila berhasil dalam perlawanan tingkat (fase) prtama ini, maka
stres akan berhenti. Akan tetapi bila tidak berhasil maka berarti stres terus
berjalan. Dalam hal ini terjadilah fas kedua yaitu fase perlawanan
(resistance). Fase ini disebut stres syndrome, gejalanya yaitu pembentukan
kelenjar adrenalin, pengkerutan dari kelenjar thymus dan getah bening, serta
perut besar mulai memborok (ulcerated stomach) (Suhartin, 1999:36).
Perlawanan ini (resistance) dapat berakhir dalam beberapa hari,
beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan. Jika berakhir, maka produksi
hormon yang berkelebihan berhenti, alias mencapai tingkat normal. Akan
tetapi jika perlawanan gagal, maka terjadilah fase kepayahan (exhauston),
yang mengakibatkan sistem endokrin meningkat, tingkat hormon
fase ini sistem pertahanan tubuh menjadi musuh yang paling jahat.
Peningkatan arus hormon dalam fase perlawanan. Fase ini (exhauston),
melipat gandakan kerja dalam mengaktifkan hormon, mengakibatkan
tambahan stres. Sesuai pendapat Selye (1956), bila stres tingkat ini tidak
dapat dicegah maka kemungkinan mati yang bersangkutan besar. Bahkan
bila penderita mengalami perasaan tidak tertolong dan depresi, maka tidak
ayal lagi terjadinya percobaan bunuh diri. Dalam usaha perlawanan yang
tidak berhasil alias stres berlangsung berkepanjangan, yang berarti
pertahanan fisik juga berkepanjangan sesuai Zimbardo dapat berakibat
“psychosomatic disorder” (kekacauan yang bersifat rohani). Hal ini bisa
berakibat beberapa gejala penyakit misalnya bisul usus (ulcer), tekanan
darah tinggi, sakit pinggang bagian bawah, migraine (sakit kepala sebelah),
radang kulit, asthma, dan sebagainya (Suhartin, 1999:36).
2.2.4.4. Mengelola Stres
Menurut Suhartin (1999:38) cara-cara penanggulangan stres adalah
sebagai berikut :
a. Cara-cara menghadapi stres baik pada anak-anak remaja maupun dewasa
sebenarnya kebanyakan sebagai hasil dari pendidikan sewaktu
kanak-kanak. Orang dewasa yang ketika anak-anak terbiasa menghadapi
permasalahan atau stres akan lebih mudah mengatasi stres daripada
orang dewasa yang ketika kanak-kanak selalu dimanja, selalu dituruti
pernah ditolak kemauannya terhadap sesuatu, ini berarti tidak pernah
latihan menghadapi stres. Sebagai contoh anak berteriak menanyakan
dimana sepatunya. Sebagai reaksi orang tua, dapat langsung mencarikan
sepatu anak tersebut. Tetapi hal ini tidak mendidik menyelesaikan
masalah stres. Tindakan yang benar adalah disuruh mencari sndiri,
paling-paling orang tua hanya memberi pengarahan “coba kemarin
membukanya dimana”. Anak menjawab “didalam kamar ibu”. Dengan
cara-cara semacam ini maka anak terbiasa menghadapi permasalahan
yang berarti juga menghadapi stres. Perlu diingatkan kembali tiap
permasalahan dapat menimbulkan stres, baik dirasakan sebagai stres
berat maupun ringan. Keuntungan latihan pemecahan permasalahan
tersebut, kecuali berarti latihan menghadapi stres, juga mempercepat
kemandirian dan kedewasaan.
b. Dalam hidup sehari-hari apalagi di kota-kota besar, yang penuh
permasalahan, seyogyanya kita bertindak preventif (pencegahan) dengan
cara siap mengatasinya. Sebagai contoh, berangkat ke kantor dengan
naik mobil, seyogyanya mobil di periksa mulai dari air radiator, air accu,
oli mesin, rem, versneling, bensin, dan sebagainya. Walaupun merasa
“safe”, tetap siap mental untuk menghadapi kemacetan lalu lintas. Untuk
menghadapi kemacetan dapat menyiapkan makanan, minuman, kaset
(lagu-lagu). Karena bila ada kemacetan total usaha yang dilaksanakan
hanya berdoa, dan menghibur diri, dengan mnerima kenyataan. Untuk
profesional dalam tugasnya dengan banyak belajar melalui
macam-macam cara seperti kursus, seminar, penataran, membaca, bertanya dan
seterusnya. Orang cakap bekerja jarang yang kena stres, karena
pekerjaannya. Selanjutnya siap menerima kenyataan dengan berserah
kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui doa. Oleh karena itu perlu
dibiasakan mau bekerja apapun dimulai dengan berdoa. Demikian
penjagaan preventif dalam mengantisipasi datangnya keadaan stres.
c. Dua hal yang diuraikan diatas adalah berhubungan dengan pelatihan
menghadapi stres pada kanak-kanak dan antisipasi yang bersifat
preventif dalam menghadapi kedatangan atau pengalaman stres. Pada
bagian ini penulis akan menguraikan cara-cara mnghadapi stres yang
terjadi (stres situasion). Menurut Hall dalam “Psychology Today”
dikatakan bahwa dalam menghadapi stres pada dasarnya ada 3 macam
yaitu memecahkan permasalahan yang menyebabkan stres (problem
solving), menerima keadaan atau kenyataan (acceptance) dan
menggunakan mekanisme pertahanan (defence mechanism).
Problem focused coping adalah usaha untuk mengurangi kebutuhan
dalam situasi yang penuh stres atau menambah usaha untuk meredakannya.
Menurut Smet (1994) seseorang cenderung menggunakan pendekatan
problem focused coping, ketika mereka percaya bahwa sumber stres atau
situasi dapat diubah. Menurut Kutash dan Schlesinger (1980) problem
perilaku seseorang dalam mengatasi masalah maupun merubah kondisi
lingkungan yang penuh stres itu sendiri (Arbadiati dan Kurniati, 2007: 24).
Strategi problem focused coping menurut Sarafino (1994) dalam
(Arbadiati dan Kurniati, 2007: 24), meliputi:
1. Merencanakan Pemecahan Masalah
Menganalisis situasi untuk mendapatkan solusi dan kemudian meng