• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagnosis dan Penanganan Patah Tulang Pilon Dengan Reduksi Terbuka dan Fiksasi Internal.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diagnosis dan Penanganan Patah Tulang Pilon Dengan Reduksi Terbuka dan Fiksasi Internal."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

Diagnosis danPenangananPatahTulangPilonDenganReduksi Terbuka

danFiksasi Internal

Oleh

dr. Komang Septian Sandiwidayat, S.Ked

Pembimbing

dr. I Wayan Subawa, Sp.OT

PROGRAM STUDI ILMU ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

BAB 1

PENDAHULUAN

Frakturtibia distalmasih menjadi kasus yang menantang untuk ahli orthopaedi dan

traumatologi karena cedera ini sering diakibatkan karena trauma yg berat dan disertai dengan

cedera jaringan lunak, fraktur kominutif dan melibatkan permukaan sendi.(Howard et al,

2008)Dari beberapa faktor yg menyebabkan kasus ini masih sulit ditangani, salah satu faktor

yang paling berpengaruh adalah cedera pada jaringan lunak yang sangat sering menyertai

fraktur ini.(Bacon et al, 2008) Fraktur ini pertama kali dijelaskan pada tahun 1911 oleh ahli

radilogi Prancis bernama Destot, dmana dia menjelaskan fraktur Pilon adalah suatu fraktur

pergelangan kaki yangmelibatkan permukaan sendi tibia distal yang merupakan area

penyangga berat badan. Istilah Pilon diambil dari bahasa Prancis yang berarti alu atau alat

penumbuk yaitu suatu tongkat yang digunakan untuk menumbuk atau menghancurkan

bahan di dalam sebuah lumpang atau wadah. Kemudian Bonin menjelaskan fraktur serupa

dengan istilah Plafond yang dalam bahasa Prancis berarti langit-langit, karenabentuk

permukaan sendi tibia distal ini menyerupai sebuah langit-langit. Walaupun kedua istilahini

sering digunakan, namun istilah Pilon lebih tepat digunakan karena lebih tepat

menggambarkan mekanisme terjadinya fraktur ini dimana tulang talus beraksi layaknya

sebuah alu atau penumbuk yang menghantam dan mencederai plafon tibia yang sering terjadi

akibat kecelakaan bermotor atau jatuh dari ketinggian. (M. Court-Brown et al, 2015)Seiring

dengan kemajuan dalam bidang alat transportasi, terjadi peningkatan insiden kasus fraktur

Pilon, hal ini disebabkan karena dengan tingkat keamanan pada kendaraan yang semakin

tinggi, pasien fraktur pilon yang sebelumnya sering meninggal karena cedera pada organ lain

seperti kepala, dada dan abdomen, saat ini banyak yang selamat dari cedera cedera tersebut.

Insiden fraktur Pilon adalah 1-10 % dari semua fraktur pada extrimitas bawah dan 5-7

% dari semua fraktur tibia. (A. Cole et al, 2013) Terdapat kecenderungan pasien adalah

laki-laki (57-65 %) dengan rentang usia 25 – 50 tahun. Etiologi dari fraktur Pilon dapat dibagi menjadi 2 grup yaitu trauma energi tinggi (termasuk kecelakaan bermotor dan olahraga ski),

dan trauma energi rendah (wanita tua dengan osteoporosis).Mengetahui etiologi dari fraktur

ini sangat penting karena sangat mempengaruhi proses penentuan rencana terapi. Trauma

kompresi dengan energi tinggi menyebabkan fraktur kominutif berat yang melibatkan

permukaan sendi dan cedera jaringan lunak sekitarnya, sementara trauma energi rendah

(3)

fragmen tulang yang besar dan masih melekat pada tulang subkondral. Dua mekanisme

cedera ini dapat mengakibatkan dua morfologi dan pilihan terapi yang sangat

spesifik.(Mauffrey, 2011) Karena itu diperlukan pemahaman yang baik oleh ahli orthopaedi

dan traumatologi mengenai fraktur ini.

Beberapa aspek penting dari fraktur ini yang sebelumnya tidak diketahui dengan baik

akhirnya pada tahun 1968 dijelaskan oleh Ruedi mengenai karakteristik, prinsip terapi dan

klasifikasi fraktur ini.Pengalaman Ruedi dalam menangani fraktur Pilon dan didukung oleh

tulisan serupa pada tahun 1973, menunjukan bahwa hasil yang memuaskan didapatkan

dengan melakukan fiksasi secara terbuka segera setelah kejadian. Hasil yang didapatkan

Ruedi ini didukung hingga lebih dari 1 dekade kemudian, dan perkuat oleh Heim dan Ovadia

dan Beals, hingga pilihan terapi fraktur Pilon dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal

dijadikan standar terapi di Amerika Utara hingga akhir tahun 1980an dan awal 1990an.

Namun kemudian, terdapat laporan-laporan yang menyatakan bahwa terdapat komplikasi

luka operasi seperti sepsis, osteomyelitis dan hasil akhir yang buruk terutama pada kasus

fraktur Pilon dengan mekanisme cedera energi tinggi yang disertai dengan cedera jaringan

lunak sekitarnya. Karena cedera jaringan lunak yang berat dan komplikasi luka operasi akibat

irisan yang lebar dan penggunaan plat berukuran besar, fiksasi external akhirnya menjadi

salah satu pilihan untuk mengatasi masalah ini.

Bone et al menggunakan teknik kombinasi fiksasi internal dan eksternal, dan

medapatkan hasil yang baik tanpa adanya komplikasi infeksi. Mereka menyatakan bahwa

hasil ini diperoleh dengan mengedepankan penanganan cedera jaringan lunak yang baik yang

diperoleh dengan fiksasi external. Hasil ini kemudian didukung oleh beberapa penulis,

sampai kemudian didapatkan komplikasi baru seperti malunion,nonunion, dan waktu

pemulihan yang lebih panjang. Karena hasil yang tidak konsisten dengan fiksasi external, dan

pemahaman yang lebih baik mengenai penanganan cedera jaringan lunak, fiksasi internal

kembali dipilih oleh ahli ortopaedi dan traumatologi saat itu namun dengan memberi

kesempatan pemulihan pada jaringan lunakyang cedera.

Pada bukunya yang dirilis tahun 1996, Schatzker dan Tile membuat panduan untuk

membedakan cedera jaringan lunak yang dapat segera dilakukan prosedur operasi dan yang

tidak akibat adanya pembengkakan dan pelepuhan kulit yang bermakna. Pada grup yang tidak

dapat dilakukan tindakan operasi segera, disarankan untuk menunda operasi antara 7 sampai

(4)

jaringan lunak kembali ke keadaan yang cukup baik. Hingga tercapainya keadaan jaringan

lunak yangbaik, disarankan untuk mengerjakan reduksi tertutup dan imobilisasi dengan gips,

traksi skeletal atau fiksasi external. Teknik ini bertahan sampai dekade terakhir ini dan

didukung oleh dua laporan berbeda pada tahun 1999 oleh Sirkin et al dan Patterson dan Cole.

.

Meskipun terdapat kemajuan dalam identifikasi, pemahaman dan terapi dari cedera

jaringan lunak yang menyertai, , modalistas pemindai CT, kemajuan dalam desain implant

termasuk teknologi plat yang mengunci, dan teknik operasi invasi minimal, hasil akhir yang

(5)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Terminologi

Fraktur pilon pertama kali dijelaskan pada tahun 1911 oleh ahli radiologi Prancis

bernama Destot, dimana dia menjelaskan fraktur Pilon adalah suatu frakturpada pergelangan

kaki yang melibatkan permukaan sendi tibia distal yang merupakan area penyangga berat

badan. Istilah Pilon diambil dari bahasa Prancis yang berarti alu atau alat penumbuk yaitu

sebuah alat berupa tongkat yang digunakan untuk menumbuk atau menghancurkan bahan di

dalam sebuah lumpang atau wadah.Kemudian Bonin menjelaskan fraktur serupa dengan

istilah Plafondyang dalam bahasa Prancis berarti langit-langit, karena bentuk permukaan

sendi tibia distal ini menyerupai sebuah langit-langit. Walaupun kedua istilah ini sering

digunakan, namun istilah Pilon lebih tepat digunakan karena lebih tepat menggambarkan

mekanisme terjadinya fraktur ini dimana tulang talus beraksi layaknya sebuah alu atau

penumbuk yang menghantam dan mencederai plafon tibia yang sering terjadi akibat suatu

trauma dengan energi tinggi seperti kecelakaan bermotor atau jatuh dari ketinggian

Fraktur Pilon adalah semua fraktur tibia distal yang melibatkan permukaan sendi,

kecuali fraktur lateral dan medial malleolus, fraktur trimaleolar yang melibatkan kurang dari

1/3 permukaan sendi pada maleolus posterior. Namun fraktur dari maleolus posterior saja

(segitiga Volkmann) termasuk dalam definisi fraktur pilon, dengan proporsi 5% dari semua

fraktur pilon.(Cyril et al, 2011)

2.2 Anatomi dan Biomekanik

Untuk memahami fraktur pilondengan baik,kita harus mengetahui anatomi dari

pergelangan kaki itu sendiri.Anatomi tulang yang berhubungan dengan fraktur pilon adalah

(6)

Gambar 2.1 Anatomi sendi pergelangan kaki kanan.

A. Tampak atas; B. Tampak belakang; C. Tampak atas dari talus;

D. Tampak bawah dari plafon tibia

Sumber : Rockwood and Green’s Fractures in Adults. 8th ed, 2015

Ujung dari tibia distal dan fibula distal membentuk sebuah kantong atau suatu

mortiseyang menjadi tempat masuknya kubah talus superior.Permukaan sendi dari tibia distal

berbentuk persegi dan membentuk atap dari mortise.Permukaanya lebih lebar di anterior dan

sedikit mencekung dari anterior ke posterior.Permukaan sendi distal tibia yang cekung di

sentral mendemonstrasikan ekstensi anterior dan posterior.Permukaan sendi tibia

distalposterior membentang lebih jauh hingga membentuk artrotomi posterior yang membuat

inspeksi sendi tidak mudah dilakukan.Walaupun tibia anterior juga membentang hingga

melampaui kubah talus, seluruh permukaan sendi tibia dapat dilihat dari semua pendekatan

anterior. Maleolus medial adalah proyeksi permukaan penyangga beban sisi medial yang

terletak di distal dan sedikit ke anterior dan mewakili permukaan kondral yang berorientasi

horisontal sekitar 90 derajat terhadap plafond tibia, dan berartikulasi dengan sisi medial dari

(7)

lateral talus dan membentuk artikulasi bersama sisi posterolateral tibia melalui sindesmosis

tibiofibular distal.

Kekuatan kompresif maksimal dari plafon tibia terletak sekitar 3 cm dari permukaan

sendinya, dan secara virtual tidak memiliki kekuatan kompresif pada tulang trabekular pada

lokasi lebih dari 3 cm ke arah region subkondral. Tulang rawan terkuat pada tibia distal

terletak dekat dengan tulang subkondral dan menyediakan area optimal untuk fiksasi.

Anatomi talus yang berhubungan erat dengan fraktur pilon adalah leher talus yang

bukan merupakan area permukaan sendi sehingga bisa dimanfaatkan untuk menenempatkan

pin Schanz saat dilakukan manipulasi dan distraksi melewati sendi pergelangan kaki. Sisi

lateral dari leher talus menyediakan area yang lebih luas dibandingkan dengan sisi medialnya.

Sisi frontal plafon tibia berorientasisedikit valgus terhadap aksis anatomis tibia, membentuk

sudut 88 derajat dengan tibia distal lateral, dan garis tengah tibia berada sedikit lebih medial

dari garis tengah talus. Pada penampang sagital, plafon tibia sedikit melebar, medekati 80 – 85 derajat, dan garis tengah tibia berada di sisi lateral talus saat kaki di posisi 90 derajat

terhadap tibia. Memahami beberapa hubungan yang penting ini sangatlah berguna terutama

saat melakukan fiksasi eksternal dan reduksi fraktur dengan teknik indirek.

Pengetahuan tentang ligamen-ligamen di pergelangan kaki juga sangat berguna dalam

memahami pola pergeseran fraktur dan saat menentukan lokasi pembedahan yang

aman.Sindesmosis tibiofibular distal dibentuk oleh permukaan cembung iregular pada sisi

fibula medial dan sisi cembung iregular pada sisi medial tibia distal.Pada bagian distal, fibula

terfiksasi ke tibia oleh ligamen tibiofibular anterior, ligamen tibiofibular posterior, dan

ligameninterosseousyangkuat.Ligamen tibiofibular anterior berbentuk segitiga, berjalan

kearah lateral dan distal dari sisi anterolateral tibia distal (Chaput tubercle), dan berinsersi di

anterior fibula distal.Ligamen tibiofibular posterior yang berukuran lebih kecil dan

orientasinya lebih horizontal terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian superfisial dan dalam. Bagian

yang lebih dalam dikenal dengan ligamen tibiofibular tranversum dan membentang hingga

melewati batas akhir tibia distal dan membentuk artikulasi labrum dengan talus di sisi

posterolateral.

Ligamen deltoid adalah suatu ligamen yang kuat, berbentuk segitiga datar dan

terbentuk dari serat superfisial dan dalam.Serat superfisial berjalan ke arah distal dari

kolikulus anterior maleolus medial menuju navikular, sustentakulum kalkaneus, dan sisi

(8)

posterior talotibial ligamen dalam, yang berasal dari kolikulus posteriordan cekungan

interkolikulus, berjalan ke arah posterolateral hingga berinsersi pada permukaan nonartikular

talus medial. Ligamen ini yang berfungsi sebagai pemberi stabilitas utama pada mortise

pergelangan kaki.(Gambar 2.2)

Gambar 2.2 Ligamen pada pergelangan kaki.

Sumber :Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy.2009

Pengetahuan tentang anatomi otot dan tendon pada tibia distal dan sendinya juga

sangat penting untuk menentukan pendekatan operasi yang aman. (Gambar 2.3) Regio Kruris,

terdiri dari 4 kompartemen, yaitu anterior, lateral, posterior superfisial, dan posterior dalam.

Kompartemen anterior tibia terdiri dari, Tibialis Anterior, Extensor Hallucis Longus (EHL),

Extesor Digitorum Longus (EDL), dan Peroneus Tertius. Otot-otot ini mendapatkan

persarafan dari nervus peroneal profundus secara proximal, sehingga pendekatan distal dapat

dilakukan secara medial, lateral, dan diantara oto-otot tersebut.Pada daerah distal, nervus

peroneal profundus dan pembuluh darah tibialis anterior terletak diantara EHL dan EDL

sehingga diperlukan visualisasi langsung utuk melindunginya saat dilakukan pendekatan

anterior.

Kompartemen lateral terdiri dari 2 otot, yaitu Peroneus Longus dan Peroneus Brevis,

dimana keduanya dipersarafi oleh nervus peroneus. Peroneus Brevis memiliki bagian perut

otot yang lebih distal dan terletak lebih posterior terhadap Peroneus Longus.Keduanya

melekat kuat pada distal tibia melalui pembungkus (sheat) peroneal.Pada daerah distal,

(9)

hingga menuju jaringan subkutan, dan sering dijumpai saat dilakukan pendekatan

anterolateral.

Gambar 2.3 Pendekatan operasi yang dilihat dari penampang aksial tibia distal.

A.Anteromedial; B. Anterolateral; C. Posterolateral (fibula); D. Posterolateral (tibia); D’. Posterolateral

(fibula); E. Posteromedial; F.Medial

Sumber : Rockwood and Green’s Fractures in Adults. 8th ed, 2015

Kompartemen posterior superfisialis terdiri dari otot Gastroknemius, Soleus, dan

Plantaris, dimana ketiganya dipersarafi oleh nervus tibialis.Pada bagian distal terdapat tendon

Achilles yang dibentuk oleh tendon dari Soleus dan Gastroknemius, dan tendon ini harus

dilindungi saat melakukan pendekatan posterior. Kompartemen posterior dalam pada daerah

pergelangan kaki sebagian besar terdiri dari tendon, yaitu Tibialis Posterior, Flexor

Digitorum Longus, dan Flexor Hallucis Longus (FHL), hanya FHL yang memiliki bagian

(10)

posterior. Nervus Tibialis berjalan bersama dengan pembuluh darah Tibialis Posterior

dibawah arkus tendineus otot Soleus pada kruris proksimal, kemudian berjalan ke distal di

atas otot Tibialis Posterior dan bergabung dengan Flexor Digitorum Longus, arteri tibialis,

dan Flexor Halucis Longus di terowongan (tunnel) tarsal saat melewati bagian posteromedial

dari tibia distal. Struktur ini harus dilindungi saat melakukan pendekatan posteromedial.

Borelli et al. menjelaskan tentang pembuluh darah yang memberikan nutrisi pada

tibia. Bagian metafisis distal sebagian besar mendapatkan nutrisinya dari tibialis anterior dan

cabang arteri tibialis posterior, sedangkan bagian permukaan metafisisnya mendapatkan

nutrisi dari cabang medial dan lateral arteri tibialis anterior. Bagian medial dan posterior

metafisisnya mendapatkan nutrisi dari arteri tibialis posterior, dimana pada sisi medial tibia,

arteri ini beranastomosis dengan cabang dari tibialis anterior dan membentuk jaringan

vascular yang kompleks.Beberapa pembuluh darah ini juga dapat mengalami cedera saat

trauma terjadi, dan saat memasang alat fiksasi sehigga harus dilindungi selama operasi.

Anatomi Fraktur Tibia

Walaupun pola fraktur pilon sangat beragam, namun terdapat beberapa pola dan

karakteristik umum yang dapat membantu saat penegakan diagnosis dan perencanaan

terapi.Fraktur Pi;on jarang disertai dengan cedera ligamen, dan hal inilah yang membentuk

pola fraktur yang sering terjadiyang terdiri dari 3 fragmen tulang utama. Ketiga fragmen

tulang ini yang sudah dipetakan dengan pemindaian CT adalah, fragmen maleolus medial,

fragmen anterolateral (Chaput), dan fragmen posterolateral (Volkmann). (Gambar 2.4)

Gambar 2.4 Pola fraktur pilon yang sering terjadi

(11)

OTA/AO Type 43C3 Pilon Fractures, 2013

Pada fraktur komplit intraartikular (OTA/AO fraktur tipe C) fragmen-fragmen fraktur

ini biasanya masih berhubungan dengan ligamen-ligamen pada pergelangan kaki yaitu,

fragmen medial maleolus dengan ligamen deltoid, fragmen posterior maleolus dengan

posterior tibiofibular ligamen, dan fragmen anterolateral tibia dengan anterior tibiofibular

ligamen.Dengan meningkatnya kompleksitas cedera, meningkat pula jumlah fragmen dan

pola kominutifnya.

Pada fraktur inkomplit intraartikular, area yang paling sering terlibat adalah medial

maleolus, plafond anterior atau kombinasi keduanya.Sangat penting untuk mengevaluasi

bagian tibia yang intak terutama bagian yang berdekatan dengan fraktur, untuk melihat

apakah ada cedera pada tulang kondral atau kominutif kecil akan yang mempersulit saat

melakukan reduksi. Dengan menggunakan pemindaian CT, Topliss dapat menjelaskan

anatomi dari garis fraktur utama pada plafon tibia, dan menggambarkan morfologi segmen

anterolateral, posterolateral, dan medial maleolus .

Keadaan fibula merupakan faktor penting untuk menentukan rencana terapi.Tidak

seperti cedera rotasional, fraktur akibat bebanaksial sering mengakibatkan fraktur fibula

kominutif dengan garis fraktur tranverse atau oblik.Fraktur fibula lebih sering terjadi pada

fraktur pilon OTA/AO tipe C daripada tipe B. Penelitian lain juga mendapatkan bahwa

fraktur pilon yang disertai fraktur fibula memiliki gambaran radiologis yang lebih berat

daripada yang tidak disertai fraktur fibula. Fraktur fibula kompresif sering dijumpai pada

fraktur pilon yang disertai dengan valgus, sedangkan fraktur fibula akibat traksi sering

dijumpai pada fraktur pilon yang disertai dengan varus.Fraktur fibula ini sangat penting

dikoreksi dengan baik, sebab sangat mempengaruhi fraktur pilon itu sendiri akibat adanya

ligamen-ligamen yang menghubungkan keduanya.Karena itu koreksi terhadap komponen

panjang, rotasi dan posisi fibula memiliki efek tidak langsung terhadap fraktur pilon terutama

sisi anterolateral dan posterolateral melalui ligamen sindesmotik tibiofibular anterior dan

posterior.Kegagalan mengkoreksi fraktur fibula ini dapat berujung pada tiga hal yaitu,

kemampuan untuk mereduksi permukaan sendi tibia distal, posisi distal tibia terhadap

aksisnya, dan posisi akhir talus terhadap tibia.Setiap pendekatan operasi yang dipilih harus

(12)

2.3 Patofisiologi

Perkembangan dalam mode transportasi yang semakin cepat disertai dengan tingkat

keamanan yang semakin tinggi, dan peningkatan sistem perawatan trauma yang mengancam

jiwa telah mengakibatkan meningkatnya insiden fraktur pilon yang dihadapi ahli ortopedi dan

traumatologi. Kekuatan trauma yang sama yang mungkin sebelumnya terjadi pada kepala,

dada atau daerah perut dan mengakibatkan kematian, sekarang dapat dihindari dengan sistem

keamanan dalam alat transportasi tersebut, namun kekuatan-kekuatan trauma yang sama

masih diterapkan pada ekstremitas bawah, sehingga cedera ekstremitas bawah yang berat

termasuk yang melibatkan tibia distal makin sering terjadi.

Sebagian besar fraktur pilon disebabkan oleh trauma dengan mekanisme energi tinggi

yang terjadi saat kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian, dan kecelakaan kerja.

Fraktur maleolus biasanya adalah hasil dari trauma tidak langsung dengan energi yang lebih

rendah dangaya rotasi, sedangkan mayoritas fraktur pilon disebabkan oleh gaya dari aksial,

dimana talus dipaksa masuk ke arah proksimal ke dalam tibia distal dan menghasilkan suatu

ledakan fraktur intra artikular. Kedua mekanisme utama ini menghasilkan pola fraktur,

kerusakan jaringan lunak, cedera penyerta, dan prognosis yang berbeda secara signifikan.

Dibandingkan dengan fraktur yang diakibatkan oleh gaya rotasi, beban aksial biasanya

diterapkan dengan waktu yang lebih cepat. Karena tulang bersifat viskoelastik, banyak energi

yang diserap sebelum mencapai titik kegagalan; pada saat titik kegagalan tercapai, energi

dilepaskan dan disebarkan ke jaringan lunak sekitarnya.Bahkan tanpa adanya trauma

langsung ke jaringan lunak,cedera tetap dapat terjadi akibat pelepasan energi tersebut seperti

pembengkakan yang bermakna dan disertai dengan blister.Secara klinis sering terjadi cedera

dengan mekanisme yang beragam, namun didominasi oleh salah satu dari dua mekanisme

tadi atau kombinasi keduanya, sehingga terdapat beragam pola fraktur pilon.

Bohler dan Ruedi dalam tulisannya menyatakan bahwa pola fraktur akhir tergantung

pada arah, tingkat penerapan gaya dan posisi kaki pada saat terjadi trauma. Suatu trauma

yang terjadi pada saat kaki dalam posisi dorsifleksi, menghasilkan gaya ke arah chepalad dan

anterior, sehingga menghasilkan fraktur kominutif signifikan pada plafon anterior, dan

cedera yang terjadi saat kaki dalam posisi netral, menghasilkan fraktur kominutif di bagian

tengah plafon tibia. Pola cedera ini jauh lebih umum dibandingkan plafon posterior, yang

terjadi saat kaki berada dalam posisi plantarfleksi.Arah dan posisi kaki saat cedera ini juga

(13)

Gambar 2.5 Posisi kaki saat trauma menentukan pola fraktur pilon

Sumber : Rockwood and Green’s Fractures in Adults. 8th ed, 2015

Fraktur pilon akibat beban aksial sering disertai dengan fraktur kominutif intrartikular

dan metafisis yang berat, pergeseran jauh, impaksi tulang kondral, dan fraktur fibula.Luka

terbuka, luka lecet, blister, dan devitalisasi tulang dan jaringan lunak yang berat juga sering

ditemukan dan menguatkan dugaan bahwa mekanisme trauma adalah trauma energi tinggi.

Fraktur pilon yang disebabkan oleh gaya rotasi memiliki konfigurasi fraktur spiral dan tanpa

kominutif yang berat. Cedera artikular pada fraktur ini disertai dengan pergeseran fragmen

artikular berukuran besar yg lebih ringan dan impaksi kondralyang minimal.Cedera jaringan

lunak yang terjadi lebih ringan namun pembengkakan masih tetap terjadi.Luka terbuka

dengan devitalisasi jaringan tidak umum ditemukan dan memiliki prognosis yang lebih baik.

(14)

Semua pasien yang terlibat dalam suatu trauma dengan energi tinggi harus ditangani

dengan prinsip Advanced Trauma Life Support (ATLS) karena besar kemungkinan pasien

tersebut menderita cedera yang mengancam nyawa atau ekstrimitas. (Mauffrey et al, 2011)

Dari riwayat pasien, kita dapat mengetahui besarnyaenergi yang terlibat, yang

memungkinkan ahli bedah untuk menilaikemungkinan cedera pada organ lainnya,dan

kecenderungan untuk terjadinya pembengkakan jaringan lunak sekitar dan muculnya

blister.Riwayat penyakit sebelumnya dan penggunaan nikotin adalah hal yangsangat penting

karena dapat menentukan rencana terapi.Informasi tambahan yang diperoleh dari anamnesa

termasuk jenis pekerjaan, dukungan keluarga, tingkat pendidikan, dan apakah cedera terjadi

sebagai hasil daripekerjaan yang berhubungan dengan kecelakaan, karena ini telah

diidentifikasi sebagai variable yang muncul untuk mempengaruhi prognosis.Lokasi atau

tempat kejadian di mana cedera terjadi harus diidentifikasi karena informasi ini mungkin

memiliki dampak pada jenis dan derajat kontaminasi dalam fraktur terbuka dan pemilihan

antibiotik.Pemeriksaan jaringan lunak juga sangat penting dalam penilaian lengkap fraktur

pilon dan harus dilakukan secara logis, konsisten, dan komprehensif.Derajat pembengkakan,

keparahan dari memar, dan adanya lecet,blister, luka terbuka, dan sindrom kompartemen

dievaluasi dan dicatat.Tak jarang, pergeseran fragmen fraktur yang hebat dapat menciptakan

ketegangan kulit yang berlebihan dan membahayakan sirkulasi kulit lokal.Dalam situasi ini,

koreksi manual harus dilakukan secepatnya, sebelum pemeriksaan radiografi, untuk

meminimalkan gangguan vaskular lebih lanjut pada kulit lokal dan jaringan lunak.Status

peredaran darah dievaluasi dengan palpasi dan / atau pemeriksaan USG Doppler dari pulsasi

pedis, dan dengan mencatat warna dan suhu kaki.Aspek dorsal dan plantar kaki diperiksa

untuk perubahan dalam sensasi.Luka terbuka diperlakukan dengan inisiasi antibiotik

intravena, evakuasi benda asing, irigasi dengan saline steril, dan tutup dengan perban

steril.Kadang-kadang, sebuah fragmen tulang tetap menusuk kulit dari dalam, sehingga

menghancurkan lapisan kulit dan jaringan lunak.Hal ini terjadi bila bagian distal dari tibia

menusuk kulit dari dalam melalui kulit anteromedial dari tibia distal, sehingga kulit di bagian

distal dari luka terancam.Dalam situasi ini, reduksi fragmen yang menusuk kulittersebut

harus dicoba dengan tujuan yang meringankan cedera lebih lanjut ke jaringan lunak pada sisi

(15)

Gambar 2.6 Foto klinis

eksstrimitas kanan bawah yang mengalami fraktur pilon dari medial (A) dan lateral (B)

Sumber : Rockwood and Green’s Fractures in Adults. 8th ed, 2015

Setelah ekstrimitas yang cedera dievaluasi, ekstrimitas tersebut diposisikan dalam

posisi anatomis dan dipasangkan bidai.Selain pembengkakan yang hebat, fraktur pilon sering

disertai dengan adanya blister.(Gambar 2.7)Blister ini biasanyaterjadi dengan cepat setelah

cedera, sering dalam beberapa jam, tetapi juga dapat terjadihingga 2 sampai 3 hari setelahnya.

Dalam sebuah studi klinis dan histologis yang dilakukan oleh Giordano, dia mengidentifikasi

dua jenis blister, blisteryang terisi cairan jernih dan yang terisi darah atau blister hemoragik.

Evaluasi histologis menunjukkan bahwa kedua tipe blistermenunjukan adanya luka yang

membentuk celah pada perbatasan dermis dan epidermis. Perbedaan utama antara kedua tipe

blister ini adalah adalah adanya retensi beberapa sel epidermis padablisteryang terisi cairan

jernih, yang Giordano yakini berkontribusi pada proses penyembuhan epitelyang lebih cepat

dan adalah indikasi dari cedera yang lebih dangkal. Sebaliknya, blisterhemoragik benar-benar

bebas dari sel epidermis, indikasi dari cedera yang lebih dalam yang melibatkan pembuluh

darah papilari, dan yang mungkin akan menyebabkan memanjangnya waktu penyembuhan

epitel. Cedera pada perbatasan dermis dan epidermis ini disebabkan oleh kulit yang terekspos

gaya tarikan yang kuat saat terjadinya cedera. Meskipun laporan dalam literatur ortopedi

mengenai blister dan manajemen mereka terbatas, blister hemoragik tampaknya dikaitkan

dengan peningkatan angka kejadian komplikasi, jaringan parut, danpenundaan tindakan

operasi. Ada beberapa metode digunakan untuk mengobati blister termasuk: (1) pemecahan

atap blister secara steril dengan penerapan Silvadene dan / atau dressing nonadhesif, (2)

aspirasi steril, dan (3) membiarkanblister utuh. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa

satu teknik lebih baik dari yang lainnya, namun yang paling baik dilakukan adalah untuk

menghindari penempatan sayatan melalui blisteryang tidak terepitelialisasi, khususnya blister

(16)

Gambar 2.8Cedera pada jaringan lunak yang menyertai fraktur pilon

Sumber :Tibial pilon fractures : A review of incidence, diagnosis, treatment, and complications, 2011

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Evaluasi radiografi awal terdiri dari foto polos pergelangan kaki standar dengan

tampak anteroposterior (AP), lateral dan mortise. (Gambar 2.7)Diagnosis biasanya sudah

bisaditegakkan dengan pemeriksaan foto polos tersebut. (Marsh, 2003) Diperlukan juga foto

polos kruris dengan tampak 2 sendi dari sisi anteroposterior dan lateral untuk mengetahui

apakah ada cedera pada kruris proksimal yang menyertai fraktur pilon. Meskipun

pemindaianCT telah menjadi bagian rutin pemeriksaan radiografi dalam kasus fraktur pilon,

pengamatan yang seksama dari radiografi polos saja akan memberikan informasi yang cukup.

Hal yang penting dicari dalam foto polos adalah arah dan besarnya perpindahan talus atau

subluksasi talus, ada atau tidak adanya fraktur fibula, tingkat kominutif artikular, bidang

impaksi artikular, dan gangguan dari syndesmosis tibiofibular distal.Juga dapat dinilai cedera

(17)

Gambar 2.7 Foto polos anteroposterior dan lateral pergelangan kaki kiri menunjukkan fraktur pilon komplit tertutup, kominutif, dengan hilangnya kortek tulang anterior dan dislokasi talus.

Sumber :Early Tibiotalocalcaneal Arthrodesis IntramedullaryNail for Treatment of aComplex Tibial Pilon Fracture(AO/OTA 43-C), 2015

CT scan telah digunakan untuk meningkatkan kemampuan dalam menilai cedera dan

untuk merumuskan rencana pra operasi sebelum fiksasi definitif.Potongan aksial tipis

dikombinasikan dengan potongan koronal dan sagital memungkinkan evaluasi grais fraktur

utama, impaksi artikular, dan tingkat kominutif. (Gambar 2.8)Kemampuan untuk secara

akurat menilai lokasi, ukuran, dan pergeseran dari permukaan artikular sangat membantu

untuk menentukan lokasi dan orientasi fiksasi artikular, terutama ketika menggunakan teknik

perkutaneus.Informasi yang diperoleh dari CT scan memungkinkan rencana pembedahan

yang akurat, sehingga ahli bedah dapatmelakukanfiksasi dengan meminimalisasi kerusakan

pada jaringan lunak.Untuk alasan ini, pemindaian CT aksial, sagital dan reformasi bidang

koronal harus diperoleh secara rutinuntuk membantu perencanaan pra operasi

definitif.Rekonstruksi tiga dimensihanya menambahkan sedikit informasi yang diperoleh

(18)

Gambar 2.8CT Scan pada fraktur pilon

Sumber :Tibial pilon fractures : A review of incidence, diagnosis, treatment, and complications, 2011

Untuk mengoptimalkan pemahaman hubungan antara fragmen fraktur, CT scan harus

dilakukan setelahdilakukan reduksi yang baik, yg sebaiknya dilakukan dengan menggunakan

eksternal fiksasi.CT scan yang dilakukan saat masih terdapat pemendekan yang bermakna,

angulasi, dan pergeseran yang signifikan dari talus dan fraktur fragmen membuat identifikasi

rinci dan perencanaan terapi dari fraktur lebih sulit dan tidak optimal.Namun dalam beberapa

keadaan, CT scan dalam keadaan akut tetap diperlukan. Situasi ini terjadi ketika pemeriksaan

radiografi polos menunjukkan: (1) cedera artikular dengan pergeseran yang minimal dengan

cedera jaringan lunak yang tidak menghalangi dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal

awal atau, (2) adanya fraktur ekstra artikular yang garis frakturnya tampak memanjang ke

arah artikular. Dalam kondisi ini, CT scan digunakan terutama sebagai modalitas diagnostik,

bukan sebagai metode lanjut untuk menggambarkan fraktur anatomi yang sudah diidentifikasi

pada radiografi polos. Hal yang membedakan dari kedua skenario ini adalah bahwa: (1)

interpretasi dari CT scan jelas dan mudah dimengerti dan, (2) strategi operasi dapat terdiri

dari satu tahap prosedur bedah asalkan cedera tidak merusak jaringan lunak sekitarnya.

Saat ini, tidak ada penjelasan mengenai peran pemeriksaan rutin dengan magnetic

resonance imaging (MRI) dari cedera ini, dan meskipun angiografi telah digambarkan

sebagai alat diagnostik untuk kelainan pembuluh darah yang berhubungan dengan fraktur

pilon, penggunaan rutinnya saat ini belum dianjurkan.

(19)

Dua sistem klasifikasi utama yang digunakan untuk fraktur pilon adalah sistem Ruedi

dan Allgower dan sistem Klasifikasi Fraktur OTA / AO.Keduanya adalah sistem deskriptif,

dengan tidak menunjukkan tingkat keparahan cedera.Sistem yang ditemukan oleh Ruedi dan

Allgower ini cukup berguna dan membagi fraktur dari plafond tibialis menjadi tiga jenis

berdasarkan pergeserannya dan tingkat kominusi dari permukaan artikular (Gambar 2.9).Tipe

I adalah fraktur intraartikular tanpa pergeseran.Tipe II fraktur menunjukkan pergeseran

fragmen artikular tanpa kominutif.Tipe III menunjukkan pergeseran dan kominutif fragmen

artikular.Kesepakatan interobserver dan intraobserver didapatkan kurang baik dengan sistem

Ruedi-Allgower.

Sistem OTA / AO adalah skema klasifikasi yang lebih komprehensif yang

menggabungkan semua fraktur tibia distal termasuk fraktur ekstra-artikular dari metafisis

tibia distal.Setiap tulang mendapatkan kode numerik yang unik dan patah

tulangdiklasifikasikan menurut kerangka yang konsisten.Tibia mendapatkan kode numerik

43.Cedera dari plafon tibiakemudian dikategorikansebagai ektra-artikular (43 tipe A),

artikular parsial (43 B tipe), atau total artikular (43 jenis C) (Gambar 2.10).Setiap jenis ini

kemudian dibagi lagi menjadi salah satu dari tiga kelompok tergantung pada jumlah fraktur

kominutifnya. Masing masing kemudian dapat dibagi lagi menjadi sub kelompok oleh

karakteristik fraktur lainnya, seperti arah, deskripsi, atau lokasi garis fraktur; ada atau

tidaknyaimpaksi metafisis asimetris; lokasi dan jumlah kominutifnya. Dengan sistem ini

didapatkan 27 subkelompok, dimana klasifikasi ini cukup rumit. Swiontkowski

menunjukkan kesepakatan antar pengamat yang sedang saat menggunakan sistem OTA / AO,

(20)

Gambar 2.9 Sistem klasifikasi fraktur pilon berdasarkan Ruedi & Allgower

(21)

Gambar 2.10 Sistem klasifikasi fraktur pilon berdasarkan OTA/OA

Sumber : Rockwood and Green’s Fractures in Adults. 8th ed, 2015

Klasifikasi cedera jaringan lunak

Besarnya pengaruh dari cedera jaringan lunak yang terkait denganfraktur pilon telah

mengakibatkan perubahan dalam penanganan tindakan bedah.Meskipun cedera ini menjadi

pertimbangan terapi yang sangat penting, suatu sistem klasifikasi klinis yg berguna untuk

memandupengobatan masih tetap kurang, Hal ini mungkin terjadi karena lebih sulit untuk

mengklasifikasikan cedera jaringan lunak daripada mengklasifikasikan fraktur.Oleh karena

itu, evaluasi menyeluruh dari jaringan lunak, dan pengalaman penilaian masing masing ahli

bedah tetap menjadi pedoman.

Sistem klasifikasi cedera jaringan lunak oleh Tscherne dan Goetzen bersifat subjektif

dan membagi cedera jaringan lunak pada fraktur tertutup menjadi empat kategori, yang diberi

kode numerik 0 sampai 3.Fraktur tertutup tanpa cedera jaringan lunak adalah kategori 0 dan

menunjukkan fraktur dengan gaya tidak langsung dengan pola sederhana. Kategori 1 adalah

cedera jaringan lunak memiliki abrasi atau kontusio kulit dangkal; pola fraktur sederhana

dengan pergeseran fragmen fraktur memberi penekanan pada kulit. Kategori 2 cedera

memiliki abrasi dalam dan kontusio kulit lokal; pola fraktur menengah hingga berat.kategori

2 juga menunjukkan ancaman sindrom kompartemen. Kategori 3 cedera memiliki luka

memar luas atau cedera yang menghancurkan jaringan dibawahnya, dan kerusakan otot yang

signifikan.Sindrom kompartemen, cedera pembuluh darah, dan fraktur kominutif yang parah

dan mekanisme energi tinggi sering diidentifikasi sebagai bagian dari kategori 3.Meskipun

metode Tscherne dan Goetzen mengklasifikasi cedera jaringan lunak secara luas dibahas

dalam literatur, kesepakatan antar pengamat belum dievaluasi.

Luasnya cedera jaringan lunak tidak selalu bervariasi langsung dengan klasifikasi

fraktur OTA/AO, dimana cedera dengan energi yang lebih tinggi sering menunjukkan fraktur

yang lebih berat dan cedera jaringan lunak yang lebih buruk, namun belum tentu berlaku

(22)

jaringan lunak secara terpisah dari konfigurasi fraktur.Klasifikasi cedera jaringan lunak oleh

Tscherne dan diperluas oleh kelompok AO untuk menciptakan sistem yang lebih obyektif

yang mengevaluasi dan mengkategorikan masing-masing komponen dari jaringan lunak,

termasuk kulit, komponen musculotendinous, dan jaringan neurovaskular.Sistem yang

komprehensif ini sangat rumit dan tidak praktis secara klinis, tetapi memberikan kerangka

bagi ahli bedah untuk secara sistematis dan kritis mengevaluasi cedera jaringan lunak yang

terjadi.

2.7 Terapi

Konsep utama penanganan fraktur pilon adalah penanganan cedera jaringan lunak,

koreksi permukaan sendi dan mengembalikan keselarasan tungkai.Pilihan pengobatan untuk

fraktur pilon adalah konservatif dan operatif.Pilihan operatif yang bisa dilakukan adalah

fiksasi internal, fiksasi eksternal dan artrodesisprimer.Pilihan terapi ini sangat dipengaruhi

oleh keadaan jaringan lunak sekitarnya. Untuk terapi konservatif, menggunakan traksi

transkalkaneal atau gips telah digantikan olehteknik bedah modern dan terbatas dilakukan

pada beberapa kasus saja. Pengobatan konservatif dapat dilakukan untuk fraktur pilon dengan

pergeseran minimal dan di mana keselarasan dari ekstremitas dapat dipertahankan dengan

gips. Mobilisai dengan berat badan dilarang untuk setidaknya 4-6 minggu dan kasus seperti

ini memiliki prognosis baik.

Pengobatan bedah dengan cara reduksi terbuka dan fiksasi internal, seperti dalam

semua fraktur artikular, adalah cara yang paling diandalkan untuk mendapatkan koreksi

anatomis permukaan artikular. Namun, pilihan terapi ini harus dipertimbangkan dengan baik

bukan saja terhadap kondisi jaringan lunak, tetapi juga oleh pola kominutif fraktur dan

jumlah fragmen.Langkah pertama yang dilakukan adalah fiksasi fibula, untuk mendapatkan

kembali panjang krurisyang tepat, memfasilitasi orientasi tiga dimensi danmereduksi fraktur

secara tidak langsung.

Peran fiksasi eksternal sebagai pengobatan definitif telah dipertimbangkan kembali

beberapa tahun belakangan, terutama karena keunggulanya yaitu kerusakan jaringan lunak

yang minimal. Prinsip pengobatan dengan fiksasi eksternal adalah melalui

ligamentotaksis.Pilihan ini memungkinkan untuk dilakukannya mobilisasi dini pada

pergelangan kaki.Penggunaan fiksator eksternal yang dapat berartikulasi mungkin merupakan

alternatif untuk patah tulang ini, serta teknik pembedahan minimal invasif perkutaneus atau

kombinasi fiksasi internal dan eksternal.Pilihan terapi dengan artrodesis saat ini hanya untuk

(23)

baik mengenai beberapa pilihan terapi ini dengan keunggulan dan kelemahannya

masing-masing sangatlah penting karena pilihan terapi yang terbaik kembali pada pengalaman dan

penilaian ahli ortopedi dan traumatologi itu sendiri.

2.7.1 Reduksi Terbuka dan Fiksasi Internal Pada Fraktur Pilon

Manajemen definitif fraktur energi tinggi tibialis Pilon sangatlah

menantang.Meskipun koreksi permukaan artikular bersama dengan fiksasi internal yang

stabil yang memungkinkan mobilisasi awal dirasakan menjadi prediktor yang paling penting

dari hasil yang memuaskan, hal ini masih kontroversial.Manajemen terbuka membutuhkan

perhatian cermat untuk perencanaan pra operasi, penanganan jaringan lunak, dan waktu yang

tepat untuk melakukan intervensi. Menghindari komplikasi jaringan lunak yang serius,

permukaan artikular yang stabil secara anatomis dan reduksi metapfisis yang baik akan

menjadi landasan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.

2.7.2 Rencana Perioperatif

Sebagian besar taktik bedah diperoleh dari: (1) review lengkap dan penilaian dari CT

scan, untuk menilai tingkat keterlibatan permukaan artikular terutama mencatat besarnya dan

lokasi pergeseran permukaan artikular, (2) foto polos pada saat cedera untuk menentukan

lokasi implan yang optimal dan, (3) penilaian klinis jaringan lunak untuk menentukan lokasi

sayatan. Karena struktur ligamen pergelangan kaki tetap utuh setelah fraktur pilon, setiap

fragmen tulang biasanya tetap melekat pada ligamen anterior tibiofibular, tibiofibular

ligamen posterior, dan ligamen deltoid. Apabila terjadi ruptur ligamen, biasanyaakan terjadi

pada daerah anterolateral dan posterolateral. Hal ini penting karena efek ligamentotaksis pada

fragmen tersebut dari reduksi fibula akan jauh lebih sedikit daripada yang diantisipasi, dan

juga dapat mengakibatkan gangguan pada sindesmosis meskipun telah dilakukan fiksasi yang

baik pada fragmen fraktur posterolateral dan anterolateral.

Kominutif artikular dan impaksi tampak sepanjang perpotongan garis fraktur utama

yang memisahkan tiga komponen utama.Daerah ini dapat segera diidentifikasi pada CT

scan.Rencana pra operasi harus mencakup penilaian terhadap komponen fraktur utama dan

bagaimana manipulasi mereka agar mendapatkan akses ke daerah kominutif namun tetap

memperhatikan keadaan jaringan lunak dan perlekatan ligamen. Idealnya, implan akan

mempertahankan posisi fragmen artikular yang telah direduksi serta menetralisir

kekuatandari arah metafisisyang dapat menggeser fragmen kembali. Sebuah cara sederhana

untuk menentukan arah kemungkinan pergeseran adalah dengan meninjau kembali radiografi

(24)

fraktur pilon akan membantu menentukan daerah tulang tertentu yang gagal dalam gaya

tarikan, kompresi, rotasi, atau kombinasi. Hal ini kemudian memberikan estimasi zona

impaksi artikular dan daerah yang sesuai untuk menempatkan implan yang memberikan daya

topang, anti pergeseran, atau efek tarikan (tension-band).Semua ini harus dilakukan dengan

memperhatikan cedera jaringan lunak yang terjadi dan dalam batas-batas yang diberikan oleh

pendekatan bedah yang dipilih.

Plat untuk tibia distal yang sudah dikontur sebelumnya sangat berguna dalam

pengelolaan definitif fraktur ini. Plat periartikular anterolateral, medial, dan tibialis posterior

distal sekarang umum tersedia dan memberikan ahli bedah keleluasaan untuk menempatkan

beberapa sekrup ke bagian epifisis tibia distal, dan memungkinkan plat untuk memberikan

reduksi tidak langsung pada komponen metafisis. Demikian pula, sifat plat yang kaku ini

sangat berguna untuk fraktur pilonyang tidak stabil sesuai kategori AO / OTA tipe C. Implan

yang lebih lunak, seperti plat T radius distal, 1/4 tubular, 1/3 tubular, dan plat mini-fragmen

kadang berguna, terutama dalam cedera artikular parsial, di mana stabilisasi metadiafisis

tidak diperlukan, atau sebagai implan tambahan dikombinasikan dengan implan yang lebih

kaku saat netralisasi metadiafisis diperlukan dan implan yang lebih kaku tersebut tidak cukup

untuk menstabilisasi fraktur secara lengkap atau kurang ideal untuk menetralisasi fraktur

fragmen artikular. Peralatan tambahan yang sering kali diperlukan saat tindakan ini adalah

distraktor, pin Schanz, satu set fiksasi eksternal yang besar, cangkok tulang pengganti,

pencahayaan lampu kepala, K-wire, sekrup mini-fragmen, osteotom, dan berbagai elevator

Freer dan klem tulang.

2.7.3 Posisi Pasien Saat Melakukan Reduksi Terbuka Dan Fiksasi Internal Pada

Fraktur Pilon

Sebagian besar fraktur pilon dikelola dengan pendekatan anterior dan oleh karena itu,

pasien biasanya diposisikan terlentang.Sebuah penyangga pada punggung dan pantat

digunakan untuk memungkinkan patela dari ekstremitas yg cedera untuk menghadap ke

anterior.Sebuah tourniquet tidak steril yg ditempatkan pada paha umumnya digunakan untuk

meningkatkan visualisasi dari permukaan artikular.Setelah induksi anestesi dan posisi pasien,

ekstremitas diberikan desinfeksi awal untuk menghialngkan jaringan kulit yang sudah mati

dan sisa kotoran.Jika terpasang external fiksator, asalkan lokasi insersi pin telah dirawat

dengan baik, keseluruhan dari fiksator eksternal dapat disiapkan dan dibungkus ke dalam

lapangan operasi.Dokter bedah biasanya berdiri di ujung distal dari meja dan intensifier

(25)

generasi pertama atau antibiotik lain yang sesuai diberikan dalam waktu 60 menit dari

prosedur bedah.

Dalam situasi-situasi yang tidak biasa di mana pendekatan posterolateral

diindikasikan, pasien ditempatkan pada posisi lateral atau telungkup, yang memfasilitasi

paparan posterolateral dari tibia distal. Jika pasien dalam posisi dekubitus lateral, memutar

tungkai ke arah eksternal dan memiringkan meja operasi sedikit dapat memungkinkan

tambahan eksposur anterior atau medial.

Sangat jarang, pendekatan posteromedial diperlukan untuk mencari akses ke

komponen utama fraktur.Petunjuk radiografi yang mungkin menyarankan perlunya

pendekatan posteromedial adalah kominutif dan impaksi artikular posteromedial, translasi

talus posterior (tidak seperti umumnya ke anterior), dan plafon anterior yang utuh atau relatif

utuh.Insiden terjepitnya tendon dan / atau neurovaskular di antara aspek posterior maleolus

medial dan posterior plafon, dan disfungsi saraf tibialis akibat pergeseran fragmen tulang

dalam terowongan tarsal jarang terjadi namun mengharuskan pendekatan posteromedial

dilakukan.Paparan dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi telentang atau tengkurap.Jika

pasien dalam posisi terlentang, bantal kecil ditempatkan di bawah pantat kontralateral dan

daerah panggul sehingga memudahkan rotasi eksternal dari kaki yang terluka.Kedua kaki

diposisikan sedikit lebih tinggi menggunakan bantal dengan kaki yang terluka ditempatkan

sedikit lebih tinggi dari kaki yang sehat.Kadang-kadang posisi telungkup digunakan dan

memungkinkan akses yang mudah bagi masuknya sekrup dan kabel stabilisator

sementara.Dalam situasi ini, pasien diposisikan telungkup pada guling empuk.Anggota tubuh

yang cedera ditinggikan dengan bantal untuk memungkinkan melakukan fluoroscopic

lateral.Akses ke aspek anterior dari plafon terbatas dalam posisi ini.

2.7.4 Teknik Operasi Reduksi Terbuka dan Fiksasi Internal Fraktur Pilon

Tahapan reduksi dan fiksasi setiap fraktur pilon bervariasi sesuai dengan pola

frakturnya, namun reduksi terhadap permukaan artikular adalah aspek yang paling penting

dan oleh karena itu, hal ini tetap menjadi prioritas penanganan bedah.Pemilihan tahapan

reduksi, pendekatan yang dipilih, lokasi dan jenis implan semua diarahkan untuk mencapai

dan mempertahankan reduksi artikular yang akurat.Fraktur pilon (AO / OTA tipe C) adalah

salah satu pola fraktur yang paling menantang untuk ditangani.Meskipun ada sangat banyak

pola fraktur, tahapan reduksi artikular dari plafon tibia sering dimulai dengan penilaian,

(26)

posterior, reduksi fibula yang akurat akan juga mereduksi tibia secara tidak langsung dengan

mereduksi fragmen posterolateral (Volkmann) relatif terhadap tibia proksimal. Namun dalam

beberapa keadaan, meskipun reduksi fibula yang akurat dicapai, tetap ada sisa pergeseran,

angulasi, atau impaksi artikular dari fragmen posterolateral (Volkmann).Teknik reduksi lebih

lanjut dari fragmen posterolateral dapat dilakukan melalui paparan anterior, atau langsung

menggunakan eksposur posterolateral, tergantung pada tingkat sisa pergeseran setelah tahap

awal. Contohnya, plafon posterolateral dapat mengalami pergeseran impaksi dorsofleksi yang

diidentifikasi pada radiograf polos lateral dan lebih jelas pada CT scan. Reduksi berikutnya

pada plafon posterior yang terimpaksi akan menghasilkan deformitas ekstensi pada

permukaan artikular dan kecenderungan untuk terjadi ekstrusi talus ke anterior. Manajemen

deformitas residual ini biasanya dapat dilakukan melalui paparan anterior.

Setelah reduksi dinilai cukup, urutan reduksi umumnya melibatkan mereduksi aspek

posterior dari fragmen maleolus medial ke fragmen posterolateral.Impaksi dan kominusi pada

pusat plafon kemudian direduksi dan diamankan ke plafon posterior.Fragmen maleolus

medial kemudian diamankan dan diikuti dengan mereduksi fragmen anterolateral

(Chaput).Tahapan ini bersifat fleksibel dan semua strategi yang bertujuan untuk reduksi

artikular dan ekstra-artikular yang memuaskan dapat digunakan.Misalnya, teknik yang

berguna untuk pengurangan segmen artikular dan metadiafisis adalah dengan

mengidentifikasi fragmen fraktur yang melibatkan permukaan artikular distal dan

menunjukkan kominutif metafisis atau metadiafisis dan ekstensi ke proksimal yang

minimal.Reduksi anatomikal dari komponen metadiafisis proksimal dasarnya mengubah

fraktur pilon tipe C menjadi artikular parsial (tipe B), dan hal ini sangat membantu tahap

reduksi artikular yang tersisa, dan menyediakan dasar untuk reduksi keselarasan

aksial.Tahapan reduksi ini ideal dilakukan pada fraktur dengan fragmen maleolus medial atau

posterolateral yang besar, dan fragmen osteokondral posterior.

Pada setiap langkah dari proses reduksi, fiksasi sementara dicapai dengan penggunaan

klem dan K-wire kecil (0,045 inci). Defek tulang subkondral dikelola dengan graft atau

pengganti tulang yang memberikan stabilitas, seperti bahan kalsium fosfat. Visualisasi

artikular sangat dibantu oleh penggunaan fiksator eksternal transartikular dengan penempatan

pin Schanz langsung ke leher talus. Ketika eksposur anteromedial dilakukan, sebuah pin

ditempatkan pada leher talus dari arah medial ke lateral; sebaliknya, ketika menggunakan

eksposur anterolateral, sebuah pin ditempatkan pada leher talus dari arah lateral ke medial.

Dengan menghubungkan pin yang baru dimasukkan pada talus ke pin tibia yang sudah ada

(27)

distraktor dapat diterapkan di seluruh sendi pergelangan kaki untuk membantu dalam

visualisasi. Meskipun visualisasi ditingkatkan dengan menggunakan teknik ini,

kadang-kadang talus bertranslasi ke anterior dan mempersulit visualisasi dan manipulasi fragmen

artikular. Salah satu metode untuk meminimalkan ini adalah dengan memanfaatkan distraktor

biplanar melalui pin tibia proksimal, pin transkalkaneal distal, dan gagang radiolusen dari

fiksator eksternal. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan teknik ini: (1) talus tetap

bertlansasi ke posterior sehingga memungkinkan manipulasifragmen artikular lebih mudah

dilakukan; (2) keselarasan metafisis tercapai; (3) gagang fiksasi eksternal tidak menghalangi

karena terletak di posterior dari lapangan operasi.

Penggunaan implan yang memberika stabilisasi sementara sangat penting untuk

keberhasilan prosedur ini. Penggunaan K-wire diameter kecil, klem, plat dan sekrup mini

sangat berguna dalam menjaga reduksi sementara. Perangkat ini harus ditempatkan di luar

dari zona implan definitif dan karena itulah perencanaan mengenai implan definitif, urutan

reduksi, dan pilihan pendekatan bedah sangat diperlukan.Secara historis, implan yang

digunakan untuk fraktur pilon ditempatkan pada permukaan tibia anteromedial.Ukuran,

keterbatasan desain, dan area penempatan sekrup yang terbatas mengurangi fungsi plat dan

mungkin berkontribusi pada masalah penyembuhan luka operasi.

Tujuan dari fiksasi internal definitif harus mencapai stabilitas mutlak dan kompresi

antar fragmen segmen artikular, fiksasi yang stabil dari segmen artikular ke diafisis tibia, dan

koreksi keselarasan bidang koronal, transversal, dan sagital.Lokasi, ketebalan, dan jumlah

implan sangat tergantung pada setiap kasus fraktur. Faktor penting untuk dipertimbangkan

ketika memilih fiksasi internal untuk fraktur pilon adalah tingkat kominutif, kemampuan

untuk mencapai kontak kortikal,stabilitas fraktur intrinsik, kualitas tulang, arah deformitas

awal tulang (varus, valgus, fleksi, ekstensi ), status cedera jaringan lunak, ada tidaknya tulang

yang hilang. Idealnya, ketebalan plat harus menyeimbangkan antara kebutuhan implan yang

memiliki kekakuan yang cukup untuk melawan beban yang diantisipasidan meminimalkan

tonjoloan plat serta cedera jaringan lunak terutama di sepanjang permukaan tibia

anteromedial. Cedera artikular lengkap (AO/OTA tipe C) biasanya membutuhkan setidaknya

satu implan kaku (misalnya, plat kompresi 3,5 mm) untuk menjaga keselarasan metadiafisis.

Cedera artikular parsial (tipe B) biasanya dapat dikelola dengan implan yang lebih sederhana

yang hanya memberi sanggaan pada cedera artikular parsial.

Penggunaan plat locking masih kurang didukung untuk fraktur intra artikular dari tibia

distal, dan penelitian dalam bidang ini saat ini masih kurang. Namun, kualitas tulang yang

(28)

lama merupakan indikasi wajar untuk penggunaan plat locking. Meskipun demikian sebagian

besar fraktur pilon berhasil dikelola dengan plat nonlocking.

Perhatian terhadap penutupan luka juga merupakan komponen penting lain untuk

menurunkan komplikasi jaringan lunak. Pada akhir prosedur bedah, kapsul sendi ditutup

dengan jaritan uninterupted figure of eight menggunakan benang yang dapat diserap,

demikian juga dengan retinakulum ekstensor (pendekatan anterolateral) dan lapisan fasia

dalam (pendekatan anteromedial).Ujung jaritan tidak di ikat sampai jahitan untuk seluruh

lapisan telah ditempatkan.Tarikan lembut kemudian diterapkan ke ujung jahitan, untuk

mendistribusikan kekuatan secara merata yang diperlukan pada penutupan dalam.Jahitan

kemudian berurutan diikat dengan tangan dan kemudian dipotong.Kulit ditutup dengan

jahitan nilon menggunakan teknik Allgower-Donati.Steri-strip secara rutin diaplikasikan di

atas sayatan kulit untuk membantu menjaga aproksimasi dan meminimalkan ketegangan kulit

pada sayatan.

2.8 Komplikasi

Komplikasi yang terkait dengan manajemen terbuka fraktur pilon dapat

dikelompokkan sebagai septik dan aseptik.Perhatian memang sangat diperlukan pada

penanganan jaringan lunak, karena hal inilah yg paling sering menjadi komplikasi yg paling

signifikan.Komplikasi septik termasuk infeksi luka operasi superfisial dan dalam, serta

osteomielitis. Komplikasi aseptik antara lain adalah nonunion, kekakuan, dan nyeri arthrosis

pasca trauma.

2.8.1 Komplikasi luka superfisial

Nekrosis luka superfisial, dan slough adalah komplikasi luka yang paling umum

setelah reduksi terbuka dan fiksasi internal pfraktur pilon.Insidennya antara 5% sampai17%,

meskipun angka ini mungkin kurang dilaporkan dalam studi yang tidak terlalu mengevaluasi

hal ini sebagai komplikasi.Nekrosis kulit biasanya menimbulkan jaringan eskar kering yang

secara perlahan akan meningkat dan slough yg melapisi lapisan yg sudah terepitelisasi.

Penanganan komplikasi ini biasanya dengan perawatan luka yg baik dan memberikan hasil yg

memuaskan. Seringkali, luka inidisertai dengan selulitis ringan di sekitarnya dengan

eritematosa, yang merupakan suatu proses peradangan, bukan sebuah infeksi. Dalam kondisi

(29)

memungkinkanpematangan eskar dan kulit dibawahnya.Antibiotik hanya diberikan jika

eritema sekitarnya yang hadir sebagai respon inflamasi terhadap nekrotik kulit berkembang

menjadi suatu selulitis karena infeksi bakteri sekunder.kultur luka tidak diindikasikan

karenapermukaan kaki terkontaminasi oleh flora kulit normal dan tidak mewakili suatu

organisme penyebab. Respon yg buruk terhadap perawatan ini adalah indikasi untuk terapi

rawat inap dan pemberian antibiotik intravena.

2.8.2 Komplikasi luka dalam

Sebuah slough yg dalam atau dehiscence luka yg signifikanadalah indikasi perawatan

di rumah sakit dan memerlukan tindakan operasi. Tujuan dari operasi dalam situasi ini adalah

untuk mengkonversi bidang bedah yg terkontaminasi menjadi luka steril dan ditutup kembali,

serta untuk memperoleh kultur jaringan dalam sebagai panduan pemilihan antibiotik. Dalam

semua komplikasi luka yang signifikan, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan

radiografi untuk memastikan bahwa belum ada kegagalan implan.Irigasi dan debridemen

harus dilakukan sesegera mungkin untuk membuang semua jaringan nekrotik dan

membersihkan luka.Implan yg stabil dipertahankan, tapi implan yg longgar harus dilepas

karena mereka tidak bermanfaat untuk memfasilitasipenyembuhan fraktur dan hanya menjadi

benda asing.Seringkali, dehisence luka kecil bisa ditangani dengan penjahitan primer, tetapi

paling sering terdapat retraksi kulit yg mencegah penutupan.Dalam kasus ini, luka yang

tersisa ditutupi dengan vacuum assisted closure (VAC) untuk menutup luka terbuka dari

lingkungan luar, menghilangkan pembentukan seromas atau hematoma, dan untuk

memfasilitasi granulasi dan kontraksi luka. Diberikan antibiotik sesuai hasil kultur dan

setelah luka bebas dari jaringan nekrotik dan bersih, kemudian dilakukan penutupan luka.

Pada luka kecil tanpa paparan implan, tulang, atau tendon, luka dapat diizinkan untuk sembuh

secara sekunder. Kadang-kadang,periode penggantian VAC berulang dapat mempercepat

penyembuhan. Jika daerah lebih besar, pencangkokan kulit dapat dilakukan untuk

mempercepat penutupan.Luka yang lebih besar, dengan tendon tibialis anterior atau implan

yg terpapar, memerlukan penutupan jaringan lunak yg baik dan seorang ahli bedah yang

terlatih dalam teknik mikrovaskular harus dikonsultasikan.Meskipun luka tampak baik pada

saat penutupan, proses septik lambat masih mungkin terjadi, terutama jika implan telah

terkolonisasi bakteri.Pada pasien yang hadir dengan infeksi luka operasi dini,yg ditandai

dengan luka terbuka dengan drainase purulen, penanda inflamasi tinggi, dan tanda-tanda

(30)

yang dijelaskan di atas, debridemen mendesak dilakukan untuk mengurangi jumlah bakteri,

mendapatkan

kultur jaringan untuk memandu pengobatan antibiotik, dan untuk membuang jaringan mati.

Dalam keadaan fraktur akut dan fiksasi yg stabil, tujuan pengobatan adalah untuk menekan

proses infeksi sampai ada union, dan implant kemudian dapat dilepas. Dalam kasus ini, luka

diberikan drainase yg baik dan penutupan luka definitif biasanya ditunda sampai fraktur

terjadi union dan implan dilepas.Pada pasien dengan infeksi akut dan implan tidak stabilr,

strategi pengobatan mirip dengan kasus nonunion yang terinfeksi, dengan rekonstruksi

bertahap dari tibia distal.

2.8.3 Osteomyelitis

Osteomyelitis kronis yang berkembang setelah fraktur pilonadalah masalah

manajemen yang kompleks.Dalam situasi di manatelah terjadi infeksi luka akut, proses septik

ditekan dan implan dilepas setelah ada union secara radiografi dan klinis.Skenario ini

disederhanakan karena fraktur telah union. Tujuan pembedahan setelah union terjadi adalah

menghilangkan semua materi yang berpotensi untuk terkontaminasi, termasuk implan dan

jaringan atau tulang mati, kultur jaringan, dan penutupan luka yg baik.Debridemen tulang

yang memadai difasilitasi dengan bor kecepatan tinggi, dengan dekortikasi yg dipandu oleh

adanya perdarahan tulang.Penggunaan Doppler Laser flowmetry telah disarankan sebagai

teknik tambahan untuk penentuan tulang yg viable dan non viable dalam pengobatan

osteomyelitis. Seringkali pasien mungkin perlu penutupan jaringan lunak untuk

menghilangkan daerah bekas luka yg tebal, atau saluran sinus yang tidak membaik dengan

penutupan primer. Pengobatan antibiotik kemudian diberikan sesuai hasil kultur.

Osteomyelitis kronis yang berhubungan dengan nonunion dari tibia distal adalah

masalah yang sangat menantang.Prinsip pengobatan termasuk debridemen radikaldari

jaringan yang terinfeksi dan nonviable, rekonstruksi tulang, rekonstruksi jaringan lunak, dan

medimentosa.Dalam situasi ini diperlukan debridemen yg baik, melepas implan, debridemen

intrameduler, dan debridemen tulang kortikal nonviable harus dilakukan.Jika perlu,

debridemen diulang untuk memastikan bahwa semua jaringan nekrotik dan terinfeksi telah

dihilangkan.Defek tulang diisi dengan obat nonbiodegradable, seperti kantong antibiotik.

Defek jaringan lunak ditutupi dengan transfer jaringan lokal, atau jauh, dan tulang distabilkan

dengan fiksasi eksternal. Antibiotik diberikan sesuai hasil kultur, dengan durasi pengobatan

(31)

dan regimen antibiotik yang tersedia. Setelah jaringan lunak sembuh, rekonstruksi dengan

flap otot diarahkan pada pencapaian union dengan mencangkok tulang, dipertimbangan

pengobatan definitif dengan mempertahankan fiksasi eksternal kemudian dikonversi ke

fiksasi internal. Merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan adalah apakah permukaan

artikular dari tibia distal terlibat atau tidak, dan apakah fungsi sendi pergelangan kaki

nantinya akan memuaskan. Jika permukaan artikular terlibat dan fungsi utama dari tibiotalar

diantisipasi menjadi buruk, maka upaya rekonstruksidiarahkan mencapai artrodesis tibiotalar.

Dalam kasus infeksi berulang, pasien yang bukan kandidat untuk transfer jaringan lunak, atau

pasien yang memilih untuk tidak melanjutkan intervensi bedah berulang dengan harapan

mendapatkan ekstremitas bawah fungsional, amputasi di bawah lutut tetap menjadi pilihan

terapi.

2.8.4Nonunion

Sebagian besar nonunion setelah frakturpilon terjadi pada perbatasan metafisis atau

metadiafisis.Insidensinya antara 0% hingga 16%. Richards dalam penelitiannya tentang

fraktur pilon yg ditangani dengan fiksasi eksternal atau reduksi terbuka, mengidentifikasi

tingkat union yg tertunda atau nonunion sebesar 22% pada kelompok fiksasi eksternal dan

3,2% pada kelompok reduksi terbuka, dan nonunion intra-artikular sangat jarang

terjadi.Penilaian pra operasi harus mencakup penilaian cedera jaringan lunak, terutama lokasi

sayatan atau trauma sebelumnya, rentang gerakan pergelangan kaki dan subtalar,

ketidakselarasan awal, dan evaluasi penyebab potensial untuk terjadinya nonunion, seperti

obat-obatan, infeksi, vaskularisasi tulang yg buruk, ketidakstabilan fraktur, atau faktor-faktor

lain yang mungkin terkait.

Nonunion metafisis tibia distal dapat ditangani dengan menggunakan intramedulary

nail, plat, atau fiksasi eksternal, tergantung dari lokasi nonunion relatif terhadap permukaan

artikular, kondisi jaringan lunak lokal, metode pengobatan sebelumnya, ketidakselarasan

awal, dan potensi biologis lokal. Umumnya, pada kasus kegagalan plat, sayatan asli harus

digunakan untuk mengambil implan yg gagal dan untuk mengakses dan mengobati nonunion

sesuai dengan metode saat ini.Terlepas dari jenis implan yang digunakan, restorasi frontal,

sagital, dan melintang diperlukan.Kondisi nonunion yg sering terjadi adalah nonunion yg

disertai dengan varus, pemanjangan dan ketidakselarasan.Koreksi yang tepat sering

(32)

plat atau intramedulary nail. Karena koreksi deformitas ini akan menghasilkan defek pada

tulang, ahli bedah harus bersiap untuk menggunakan cangkok tulang. Selain itu, ahli bedah

harus hati-hati mengevaluasi status jaringan lunak sebelum mengkoreksi varus dan

pemanjangan karena dapat mencederai jaringan lunak sisi medial, terutama jika telah ada

jaringan parut yang signifikan akibat trauma awal atau intervensi bedah sebelumnya. Di

situasi ini, konsultasi pra operasi dengan dokter bedah mikrovaskuler akan memfasilitasi

pemahaman mereka tentang penanganan cedera pada jaringan lunak ini, dan pasien akan

memahami kemungkinan ini sebelum operasi.

Pasien juga harus di jelaskan bahwa jika keselarasan ekstremitas dapat dipulihkan,hal

ini dapat mempengaruhi rentang gerakan sendi pergelangan kaki pasien. Khususnya pasien

yang hadir dengan deformitas ekstensi dari tibia distal mungkin memerlukan pemanjangan

tendon Achilles atau prosedur reseksi gastroknemius untuk menghilangkan kontraktur

equinus yang sudah ada sebelumnya dan akan semakin jelas dengan reduksi akurat

penampang sagital. Nonunion dengan ketidakselarasan yg berat lebih baik ditangani dengan

menggunakan fiksasi cincin sirkular yg memungkinkan dilakukannya restorasi bertahap dan

juga memberikan pemulihan yg baik dari jaringan lunak sisi medial.Selain itu deformitas

equinus juga dapat ditangani dengan teknik ini.

2.8.5 Artritis Paska Trauma

Marsh mencatat bahwa mayoritas sendi pergelangan kaki mengalami perubahan radiografi

berupa penyempitan ruang sendi, tetapi hanya memiliki korelasi yg lemah dengan hasil

akhir.Meskipun prinsip terapi reduksi terbuka dan fiksasi internal adalah untuk mendapatkan

reduksi artikular secara anatomis, artrosis pasca trauma masih dapat terjadi meskipun reduksi

anatomi sekunder untuk cedera kondral tibia, talus, atau keduanya diperoleh.Banyak pasien

dapat berhasil diobati dengan obat anti inflamasi, modifikasi aktivitas, dan penggunaan

ortosis sementara.Asalkan tibia distal baik selaras dan fraktur disembuhkan, pengobatan

untuk artritis pasca trauma stadium akhir yang parah lebih baik diobati dengan di arthrodesis

in situ.Dalam situasi dengan ketidakselarasanyg terjadi akibat kerusakan tulang atau

hilangnya tulang, reduksi sering menghasilkan defek periartikular substansial yang mungkin

memerlukan pencangkokan ulang atau bahan lain ygdapat mengisi defek. Marsh melaporkan

tingkat arthrodesis dari 13% pada 40 pergelangan kaki setelah tindak lanjut dari 5 tahun.

(33)

diikuti rata-rata 10 tahun. Dalam catatanya, dilaporkan tingkat arthrodesis pada fraktur pilon

dengan terapi operasi berkisar dari 5% sampai 26%, dengan sebagian besar data ini diperoleh

dari pasien yg diikuti kurang dari 5 tahun. Banyak teknik artrodesis telah dilaporkan dengan

hasil yang sukses, termasuk penggunaan plat blade, hindfoot fusion nail, dan fixators

eksternal sirkuler. Penggantian total sendi pergelangan kaki adalah alternatif baru pengganti

artrodesis untuk arthrosis pasca trauma. Meskipun rekonstruksi sendi ini berfokus pada

mekanika sendi, penggantian total pergelangan kaki tetap tidak terbukti dalam populasi

pasien ini, dan mungkin terkait dengan substansial tingkatkomplikasi dan prosedur revisi

(34)

A. Cole, Peter et al. The Pilon Map: Fracture Lines and Comminution Zones in OTA/AO

Type 43C3 Pilon Fractures. J Orthop Trauma 27.7(2013): e152.

Bacon, Stacy et al. Retrospective Analysis Of ComminutedIntra-Articular Fractures Of The

Tibial Plafond:Open Reduction And Internal Fixation VersusExternal Ilizarov Fixation.

Injury, Int. J. Care Injured39.(2008)

Howard, James L. et al. A Prospective Study Evaluating Incision Placement and Wound

Healing for Tibial Plafond Fractures.J Orthop Trauma22.5(2008): 299

M. Court-Brown, Charles et al. Rockwood and Green’s Fractures in Adults. 8th ed. Toronto: Wolters Kluwer, 2015.

Marsh, J. Lawrence et al. Tibial Plafond Fractures How Do These Ankles Function Over

Time?The Journal Of Bone And Joint Surgery 85.2 (2003)

Mauffrey, Cyril et al. Tibialpilonfractures :A review of incidence, diagnosis, treatment, and

complications. ActaOrthopædicaBelgica77.4 (2011): 433

R. Hsu, Andrew et al. Early TibiotalocalcanealArthrodesis IntramedullaryNail for Treatment

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi sendi pergelangan kaki kanan.
Gambar 2.2 Ligamen pada pergelangan kaki.
Gambar 2.3 Pendekatan operasi yang dilihat dari penampang aksial tibia distal.
Gambar 2.4 Pola fraktur pilon yang sering terjadi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada fitur epidemiologi antara pasien dengan infeksi akut telah ditemukan menunjukkan peningkatan penyakit hati aktif, berkembang dalam 60% -70% dari orang yang

Penyusunan Perubahan Renstra SKPD Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Klungkung Tahun 2013-2018 dimaksudkan untuk menyediakan perencanaan strategis yang menjadi

Berdasarkan distribusi data menurut elemen gigi di tahun 2011 hingga 2012, gigi yang paling banyak menggunakan bahan tumpatan SIK yakni gigi Posterior Rahang Bawah dan hasilnya

LAPORAN PRAKTIK KERJA INDUSTRI (PRAKERIN) MOTOR INDUKSI DAN PERBEDAAN KONTAKTOR DAN RELAY DALAM RANGKA MEMENUHI SYARAT UNTUK MENGIKUTI UJI.. KOMPETENSI DAN UJIAN NASIONAL DISUSUN

Kegiatan belajar mengajar (KBM) pada siklus 1, memiliki kendala dalam proses KBM seperti awal masuk kelas para siswa belum terlihat aktif dalam merespon

Berdasarkan hasil observasi dan studi dokumentasi yang dilakukan pada penelitian, diketahui bahwa sekolah yang menjadi lokasi penelitian lokasi tempatnya mudah diakses dari

Dalam hal peralatan, masih perlu me- nyesuaikan dengan perkembangan teknologi mutakhir; sekolah tidak memiliki panduan prakerin, pembekalan hanya dilakukan se- minggu

Penelitian yang dilakukan oleh Albrecth & Richardson (1990) dan Lee Choi (2002) dalam Siregar dan Utama (2005) menemukan bahwa perusahaan yang lebih besar kurang memiliki