• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi fenomenologi makna pengalaman remaja pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi fenomenologi makna pengalaman remaja pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others"

Copied!
244
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI FENOMENOLOGI: MAKNA PENGALAMAN REMAJA PERTENGAHAN YANG DIBERI LABEL NEGATIF OLEH

SIGNIFICANT OTHERS

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Filia Neri Sondra Puspita

109114032

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“SEGALA SESUATU YANG DIJUMPAI TANGANMU UNTUK

DIKERJAKAN, KERJAKANLAH ITU DENGAN SEKUAT TENAGA”

(PENGKHOTBAH 9 : 10)

“TETAPI KAMU INI, KUATKANLAH HATIMU, JANGAN LEMAH

SEMANGATMU, KARENA ADA UPAH BAGI USAHAMU”

(2 TAWARIKH 15:7)

WHEN YOU WANT SOMETHING,

(3)

iii

(PAULO COELHO)

Hasil karya ini kupersembahkan kepada keluargaku,

papa dan mama yang begitu luar biasa,

saudara dan saudari-saudariku,

Dhanu, Chelsy, Shira, dan Joana,

serta untuk orang-orang yang mengasihiku,

Hendrik dan para sahabatku.

Terimakasih untuk cinta yang tak terhingga,

(4)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“SEGALA SESUATU YANG DIJUMPAI TANGANMU UNTUK

DIKERJAKAN, KERJAKANLAH ITU DENGAN SEKUAT TENAGA”

(PENGKHOTBAH 9 : 10)

“TETAPI KAMU INI, KUATKANLAH HATIMU, JANGAN LEMAH

SEMANGATMU, KARENA ADA UPAH BAGI USAHAMU”

(2 TAWARIKH 15:7)

WHEN YOU WANT SOMETHING,

ALL THE UNIVERSE CONSPIRES IN HELPING YOU TO ACHIEVE IT

(5)

v

Hasil karya ini kupersembahkan kepada keluargaku,

papa dan mama yang begitu luar biasa,

saudara dan saudari-saudariku,

Dhanu, Chelsy, Shira, dan Joana,

serta untuk orang-orang yang mengasihiku,

Hendrik dan para sahabatku.

Terimakasih untuk cinta yang tak terhingga,

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 28 November 2014

Peneliti,

(7)

vii

STUDI FENOMENOLOGI: MAKNA PENGALAMAN REMAJA PERTENGAHAN YANG DIBERI LABEL NEGATIF OLEH

SIGNIFICANT OTHERS

Filia Neri Sondra Puspita

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah apa makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan analisis fenomenologi interpretatif (AFI) sebagai metode analisis data penelitian. Informan dalam penelitian ini merupakan siswa/i dari beberapa sekolah menengah atas (SMA) yang berada di Yogyakarta yang berusia sekitar 15-18 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner dan melakukan wawancara semi terstruktur kepada para informan penelitian. Validitas hasil penelitian didapatkan dengan melakukan member checking, triangulasi data, dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang kaya, padat, serta rinci tentang hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para informan memaknai pengalamannya terkait pemberian label negatif dari significant others sebagai hal positif, yaitu sebagai bahan untuk menginstrospeksi dan memperbaiki diri. Kendati demikian, informan mengalami dan merasakan berbagai dampak negatif akibat label negatif yang mereka sandang, sehingga sebagian besar informan menganggap pengalamannya terkait pemberian label negatif dari significant others sebagai pengalaman yang tidak atau kurang menyenangkan.

(8)

viii

PHENOMENOLOGY STUDY: THE MEANING OF EXPERIENCE OF MIDDLE-AGED ADOLESCENTS WITH NEGATIVE LABELS FROM

THEIR SIGNIFICANT OTHERS

Filia Neri Sondra Puspita

ABSTRACT

The objective of this research is to find out the meaning of the experience of middle-aged adolescents whose been given negative labels from/by their significant others. Thus, the research question proposed is what is the meaning of that experience of middle-aged adolescents whose been given negative labels from/by their significant others?”. The type of this resea rch is a qualitative research which uses the interpretative phenomenology analysis (IPA) as a tool to analyze the data that researcher has collected. Data were collected through questionnaires and semi-structured interviews from research subjects who are students from some of highschools in Yogyakarta. Research subjects are middle-aged adolescents, which are between the ages of 15-18 years old. The validity of this resea rch was obtained by doing member checkings, data triangulations, and providing a rich and detailed description of the research results. Results show that the subjects have a less enjoyable/unenjoyable experience about the negative labels that have been given to them by their significant others. It is because the subjects feel and experience various negative effects caused by the negative labels that the subjects have had. On the contrary, most of the subjects view and interpret their experiences as a chance for introspection and a way to fix themselves.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Filia Neri Sondra Puspita

Nomor Mahasiswa : 109114032

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Remaja Usia Pertengah yang Diberi Label Negatif oleh Significant Others”

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan Demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,

mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu

meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pertanyaan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, 28 November 2014

Yang menyatakan,

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kritus, atas berkat dan kasih-Nya yang tak

pernah berkesudahan peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penyelesaian

skripsi ini, membuat peneliti mengalami berbagai pengalaman suka dan duka serta

berbagai pelajaran berharga yang pada akhirnya dapat membuat peneliti semakin

berkembang. Sebagai pribadi yang belum terampil dalam melakukan penelitian,

peneliti menerima banyak dukungan dan bimbingan, baik secara moral ataupun

material yang begitu berharga dari significant others penulis. Oleh karena itu, dengan segala hormat peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Tarsisius Priyo Widiyanto, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma.

3. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, selaku dosen pembimbing

skripsi, yang senantiasa sabar dalam memberikan bantuan atas segala kesulitan

dan kebingungan yang dihadapi penulis.

4. Bapak Y.B. Cahya Widiyanto dan Ibu Debri Pristinella, selaku dosen penguji

skripsi. Terimakasih atas saran serta kritik yang membangun guna

penyempurnaan skripsi ini.

5. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabbati, selaku dosen

pembimbing akademik, yang senantiasa memotivasi kami, para anak

bimbingan akademiknya untuk segera lulus.

6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,

yang memberikan berbagai pengalaman berharga selama 4 tahun ini.

7. Seluruh anggota keluarga, papa dan mama yang tak pernah lelah memberikan

dukungan moral-material dan doa yang senantiasa menguatkan, serta saudara

dan saudari-saudari peneliti yang selalu memotivasi dengan bertanya

(11)

xi

8. Ignatius Hendrik Andika Wahyu Setiawan, yang selalu bersedia memberikan

waktu dan tenaga untuk mendampingi peneliti selama proses pembuatan

skripsi serta teman bertukar pikiran dan penghilang kegalauan yang baik.

9. Para informan penelitian. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan

dan keterbukaan kalian untuk menceritakan pengalaman yang berharga,

sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

10.Wanda, Patrick, Eva, dan Tyo yang bersedia membantu peneliti untuk

membagikan kuesioner penelitian kepada teman-teman di sekolahnya. Terima

kasih, kalian begitu berjasa!

11.Para sahabat road to S.Psi : Astrid, Tari, Anin, Sheilla, Rosari, dan Rika atas kebersamaan, cerita, canda-tawa, dukungan, dan bantuan nyata dalam berbagai

bentuk selama perkuliahan.

12.Para sahabat yang juga tidak kalah penting : Ayu, Hana, Ezra, dan Titok, yang

senantiasa menyediakan telinga untuk mendengarkan keluhan dari peneliti.

Terima kasih untuk doa dan motivasinya.

13.Teman-teman seperjuangan yang tergabung dalam group Pendekar

Scriptsweet. Selamat melanjutkan perjuangan kalian wahai para pendekar! 14.Pimpinan Humas, karyawan, dan seluruh staf Humas Universitas Sanata

Dhrama. Terimakasih atas kesempatan, pengalaman, dan kebersamaan di

dalam dan di luar Sanata Dharma yangbegitu mengesan.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi yang dibuat masih banyak

kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti bersedia

membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun demi

kesempurnaan karya ini.

Yogyakarta, 28 November 2014

Peneliti,

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SKEMA ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Praktis ... 7

2. Teoritis ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Labeling 1. Definisi Labeling ... 9

2. Teori Labeling ... 10

3. Dampak Labeling ... 13

B. Remaja 1. Definisi Remaja ... 16

(13)

xiii

3. Remaja dan Keluarga ... 24

C. Teori Self Narrative... 27

D. Labeling pada Remaja Pertengahan 1. Deskripsi Labeling pada Remaja Pertengahan ... 28

2. Skema Labeling pada Remaja Pertengahan ... 31

E. Pertanyaan Penelitian ... 32

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. Jenis Penelitian ... 33

B. Fokus Penelitian ... 33

C. Informan Penelitian 1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian ... 33

2. Prosedur Mendapatkan Informan Penelitian ... 34

D. Metode Pengumpulan Data ... 35

E. Metode Analisis Data ... 37

F. Verifikasi Penelitian ... 39

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan 1. Pencarian dan Seleksi Informan Penelitian ... 40

2. Pengambilan Data ...41

B. Profil Informan Penelitian ... 42

1. Informan 1 a) Deskripsi ... 43

b) Pengalaman Terkait Label Negatif... 44

c) Pelaksanaan Wawancara ... 46

d) Analisis ... 46

2. Informan 2 a) Deskripsi ... 53

b) Pengalaman Terkait Label Negatif... 54

c) Pelaksanaan Wawancara ... 55

(14)

xiv

3. Informan 3

a) Deskripsi ... 62

b) Pengalaman Terkait Label Negatif... 63

c) Pelaksanaan Wawancara ... 65

d) Analisis ... 65

4. Informan 4 a) Deskripsi ... 72

b) Pengalaman Terkait Label Negatif... 73

c) Pelaksanaan Wawancara ... 75

d) Analisis ... 76

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 86

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Kelemahan Penelitian... ... 103

C. Saran ... 104

1) Bagi Pihak Keluarga ... 104

2) Bagi Pihak Sekolah ... 104

3) Bagi Peneliti Lain ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106

(15)

xv

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Labeling pada Remaja Pertengahan ... 31

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara...36

Tabel 2 Ringkasan Identitas dan Deskripsi Singkat Seluruh Informan...43

Tabel 3.1 Pelaksanaan Wawancara Informan 1...46

Tabel 3.2 Pelaksanaan Wawancara Informan 2...55

Tabel 3.3 Pelaksanaan Wawancara Informan 3...65

Tabel 3.4 Pelaksanaan Wawancara Informan 4...75

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Permohonan Ijin Penelitian ... 111

Lampiran 2 Kuesioner Penelitian ... 112

Lampiran 3 Verbatim Wawancara Informan 1 ... 115

Lampiran 4 Daftar Tema Utama Informan 1 ... 136

Lampiran 5 Verbatim Wawancara Informan 2 ... 140

Lampiran 6 Daftar Tema Utama Informan 2 ... 159

Lampiran 7 Verbatim Wawancara Informan 3 ... 162

Lampiran 8 Daftar Tema Utama Informan 3 ... 182

Lampiran 9 Verbatim Wawancara Informan 4 ... 186

Lampiran 10 Daftar Tema Utama Informan 4 ... 207

Lampiran 11 Hasil Triangulasi Data Informan 1 ... 213

Lampiran 12 Hasil Triangulasi Data 1 Informan 2 ... 215

Lampiran 13 Hasil Triangulasi Data 2 Informan 2 ... 217

Lampiran 14 Hasil Triangulasi Data 1 Informan 3 ... 219

Lampiran 15 Hasil Triangulasi Data 2 Informan 3 ... 222

Lampiran 16 Hasil Triangulasi Data 1 Informan 4 ... 224

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini para remaja tampaknya menghadapi bahaya dan godaan

yang lebih banyak serta kompleks daripada remaja generasi sebelumnya

(Feldman & Elliot, et al, dalam Santrock, 2003). Hal tersebut terjadi karena

remaja saat ini sering dikaitkan dengan berbagai perilaku menyimpang.

Masyarakat maupun orang dewasa sering menganggap remaja sebagai

golongan masyarakat yang “aneh” karena menganut kaidah-kaidah dan

nilai-nilai yang dianggap berbeda serta terkadang bertentangan dengan yang

dianut oleh orang dewasa, terutama orang tuanya (Soekanto, 1989).

Ada begitu banyak stereotip negatif tentang remaja yang sering

muncul di masyarakat. Masyarakat maupun orang dewasa sering

menggambarkan remaja sebagai individu yang bermasalah, kurang hormat

terhadap orang lain, mementingkan diri sendiri, dan suka berpetualang

(Santrock, 2003). Di sisi lain, berkembangnya stereotip negatif tentang

remaja juga disebabkan oleh kehadiran media yang sering menampilkan

berita sensasional tentang remaja. Selama ini media sering menggambarkan

remaja sebagai pemberontak, penentang, mudah terlibat dalam kenakalan,

dan mementingkan dirinya sendiri (Condry, et al, dalam Santrock, 2003).

Di samping itu, sebagian besar orang tua dari para remaja juga memberikan

(19)

anaknya menginjak usia remaja, banyak orang tua melihat anaknya yang

sebelumnya bersikap manis dan taat berubah menjadi seorang yang

pembangkang, tidak menurut jika dinasihati, sering keluyuran, boros, malas

belajar, senang mengunci diri di kamar, pemarah, mudah ngambek, serta

sering berkata kasar (Bisono, 2009).

Berbagai stereotip atau penilaian negatif yang diberikan masyarakat,

khususnya para orang tua kepada remaja dapat terjadi karena mereka

kurang dapat memahami perubahan remaja sebagai fase mencoba-coba

atau bagian dari transisi masa kanak-kanak ke dewasa. Sebagian besar

orang tua justru merasa bingung ketika harus menghadapi berbagai

perubahan tingkah laku dan suasana hati yang terjadi pada anaknya

(Santrock, 2003). Kebingungan tersebut membuat orang tua cenderung

sering mengeluhkan perubahan sikap anaknya yang berujung pada

pemberian label negatif. Pemberian stereotip atau penilaian negatif atas

berbagai perubahan tingkah laku maupun sikap dan suasana hati yang

dialami remaja disebut labeling. Beberapa contoh label negatif yang sering

diberikan pada remaja seperti pemalas, pemarah, nakal, tidak punya moral,

tidak patuh, pembangkang, dan sebagainya.

Herlina (2007) mendefinisikan labeling sebagai penggambaran sifat

seseorang pada hal-hal yang berhubungan dengan perilakunya berupa label

atau cap tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, orang yang dapat

memberikan label adalah orang yang mengenal atau mengetahui dengan

(20)

Stuart dan Sudeen (dalam Istiqomah, 2012) mendefinisikan significant

others sebagai orang yang dekat dan secara nyata penting bagi individu,

sehingga dapat memberikan pengaruh bagi individu tersebut, seperti orang

tua, saudara, pacar, guru, atau teman. Sebagai contoh, ketika seorang anak

sering bangun siang maka orang tua akan memberikan label pemalas kepada

anak tersebut atau apabila seorang siswa melanggar peraturan sekolah maka

para guru akan menyebut siswa tersebut sebagai siswa yang nakal. Menurut

Gessang (dalam Mulyati, 2010), label yang diberikan pada individu menjadi

suatu ciri khas pada individu tersebut, sehingga lambat laun significant

others individu yang diberi label memiliki kecenderungan untuk mengulang

dan memanggil individu dengan label tersebut.

Menurut Rachmawati (2011) pengalaman mendapatkan label

tertentu, terutama label negatif memicu pemikiran dari para remaja bahwa

dirinya ditolak. Pemikiran tersebut kemudian akan disertai dengan sikap

penolakan yang sesungguhnya. Seorang remaja yang diberi label akan

cenderung berperilaku seperti apa yang dilabelkan dan “terkurung” dalam

label yang diberikan kepadanya. Berbagai label negatif yang diterima oleh

seorang remaja menyebabkan remaja tersebut memiliki citra diri yang

negatif dan cenderung menjerumuskan diri pada apa yang dilabelkan

kepadanya, sehingga citra diri yang sebenarnya menjadi hilang. Dampak

lain yang muncul dari labeling pada remaja adalah munculnya rasa rendah

diri, merasa tidak berguna, merasa tidak mampu, dan pesimis (Rafif, dalam

(21)

dampak negatif pada aspek psikologis individu, seperti sulit mengendalikan

emosi, cepat sedih dan marah, mudah putus asa, serta memiliki

kecenderungan untuk melawan dan memberontak pada orang lain (Hurlock,

dalam Rachmawati, 2011).

Hal serupa dengan Rachmawati juga diungkapkan oleh Osterholm

(dalam Thomson, 2012) yang mengungkapkan bahwa pemberian label

negatif pada individu memiliki efek destruktif pada individu yang diberi

label. Label negatif yang diberikan pada individu akan mengarahkan

individu pada perilaku yang menyimpang karena label negatif yang diterima

secara tidak langsung dan tidak disadari memaksanya untuk masuk dalam

peran tersebut, sehingga pada akhirnya individu akan menampilkan perilaku

menyimpang sesuai dengan yang dilabelkan padanya. Di samping itu,

pemberian label negatif juga membuat individu yang dilabel merasa

menderita karena interaksi sosial dan perlakuan orang di sekitarnya menjadi

berubah.

Labeling akan membawa dampak negatif yang lebih besar pada

individu ketika orang yang memberikan label negatif adalah orang tuanya

sendiri. Hal tersebut terjadi karena orang tua merupakan significant others

yang paling berpengaruh bagi kehidupan individu, sehingga individu

tersebut akan lebih rentan untuk terlibat dalam suatu pelanggaran (Hagan &

Palloni, dalam Matsueda, 1992). Sebagai contoh apabila orang tua memberi

label nakal pada anak, label tersebut lambat laun akan berpengaruh pada

(22)

ia adalah anak nakal dan ia akan berperilaku selayaknya anak nakal. Hal

tersebut dapat terjadi karena seorang anak biasanya akan merespon

pemberian label negatif dari orang tuanya dengan menunjukkan perilaku

menyimpang seperti yang dilekatkan padanya (Tannenbaum, dalam

Matsueda, 1992). Selain itu, penilaian negatif yang secara berulang

didapatkan anak dari orang tuanya lambat laun akan mengarah pada

pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut (Matsueda, 1992). Matsueda juga

menyatakan bahwa label negatif yang dilekatkan pada seorang anak akan

mengarahkannya pada ketidakberdayaan, kerugian, dan kemalangan.

Labeling merupakan suatu hal yang sering dan mudah dijumpai

dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin labeling telah menjadi

bagian dari pola komunikasi sehari-hari bagi sebagian besar masyarakat

Indonesia. Setiap individu, entah dengan sengaja atau tidak kemungkinan

pernah mendapat label negatif dari orang lain, atau justru individu

tersebutlah yang pernah memberikan label negatif pada orang lain. Selain

membawa banyak dampak negatif, labeling tampaknya juga membuat

orang yang diberi label negatif mendapat pengalaman sulit dan tidak

menyenangkan dalam menjalani kehidupan atau kesehariannya serta

interaksi sosialnya. Akan tetapi, tampaknya sebagian orang melihat

fenomena labeling sebagai hal yang biasa. Hal inilah yang kemudian

menjadi suatu keprihatinan bagi peneliti.

Hasil penelitian Mulyati (2010) mengenai hubungan labeling

(23)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara labeling dan prestasi belajar

siswa. Pemberian label negatif berkorelasi positif dengan penurunan

prestasi belajar pada para siswa. Hasil penelitian lain mengenai hubungan

antara labeling dengan konsep diri remaja di SMA Negeri 1 Geyer

Purwodadi juga menunjukkan adanya korelasi positif antara labeling dan

konsep diri. Akan tetapi, meskipun jumlah remaja yang mendapat label

negatif cukup banyak, namun hanya beberapa remaja yang memiliki konsep

diri negatif, sedangkan remaja lainnya tetap memiliki konsep diri positif

(Rosiana, 2011). Di sisi lain, meskipun sebelumnya telah dipaparkan

mengenai berbagai dampak negatif dari labeling, namun hasil penelitian

lainnya menunjukkan bahwa pemberian label tidak membawa dampak

negatif bagi remaja (Rachmawati, 2011). Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa siswa SMP Islam Raudlatul Falah Bermi Pati tidak

terlalu mempedulikan label yang diberikan oleh teman-temannya. Sebagian

besar siswa justru mengganggap label yang diberikan oleh temannya

sebagai suatu candaan ataupun panggilan kesayangan.

Adanya hasil yang berbeda atas dampak labeling semakin

mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai labeling,

khususnya mengenai makna pengalaman remaja usia pertengahan yang

diberi label negatif oleh significant others. Di samping itu, penelitian ini

dirasa penting karena label yang diberikan oleh significant others pada

remaja akan menentukan bagaimana kelak ia memandang dan menilai

(24)

yang akan datang. Informan penelitian merupakan remaja usia 15-18 tahun

yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di wilayah

Yogyakarta. Metode utama pengumpulan data yang akan dipakai adalah

wawancara semi terstruktur.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa makna

pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh

significant others.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah untuk

mengetahui makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label

negatif oleh significant others.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terbagi menjadi dua macam, yaitu manfaat praktis

dan manfaat teoritis.

1. Manfaat praktis :

a) Bagi significant other (orang tua dan guru atau pihak sekolah)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber

pengetahuan bagi significant other (orang tua dan guru atau pihak

(25)

pengalaman remaja usia pertengahan yang mendapat label negatif

dari significant others, sehingga diharapkan mereka dapat

menentukan sikap, cara, serta pola pendampingan yang sesuai

untuk menghadapi para remaja.

b) Bagi informan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber

pengetahuan bagi remaja usia pertengahan yang mendapat label

negatif dari significant others supaya mereka dapat lebih mengerti

dan memahami pengalamannya tersebut secara utuh serta

menyeluruh, sehingga diharapkan mereka tahu cara yang tepat

untuk menyikapi pengalamannya.

c) Bagi peneliti lain

Mengingat bahwa hasil penelitian mengenai labeling masih

jarang atau sangat sedikit di Indonesia, maka hasil penelitian ini

diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan dan acuan bagi

peneliti yang tertarik untuk meneliti topik yang berkaitan dengan

labeling.

2. Manfaat teoritis :

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber

pengetahuan dan sumbangan ilmiah yang berarti dalam ilmu psikologi,

khususnya dalam bidang psikologi perkembangan serta psikologi

pendidikan. Dimana hal ini terkait dengan makna pengalaman remaja

(26)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Labeling

1. Definisi Labeling

Herlina (2007) mendefinisikan labeling sebagai penggambaran sifat

seseorang dalam hal-hal yang berhubungan dengan perilaku berupa label

tertentu.Menurut A Handbook for The Study of Mental Health, label adalah

sebuah definisi yang ketika diberikan kepada seseorang akan menjadi

identitas diri orang tersebut dan menjelaskan bagaimanakah orang tersebut.

Gove (dalam Thomson, 2012) menggambarkan labeling sebagai suatu

penamaan negatif yang dilekatkan pada tindakan maupun atribut dari orang

yang menyimpang. Sedangkan, Smith dan Luckasson (dalam Thomson,

2012) mendefinisikan labeling sebagai cara untuk mengidentifikasi

individu berdasarkan suatu kategori yang sudah ditetapkan.

Sementara itu, Narwoko dan Suyanto (2006) menjelaskan labeling

sebagai pemberian julukan atau cap pada individu dan atau tindakannya.

Menurut Gessang (dalam Mulyati, 2010) labeling merupakan suatu

identitas yang diberikan pada seseorang maupun kelompok berdasarkan

atribut atau ciri sosial yang dimiliki, dimana identitas tersebut bersifat

membedakan seseorang maupun kelompok satu dengan yang lainnya.

(27)

penyakit menetap yang diderita, karakter atau sifat, orientasi seksual, ciri

kolektif ras, etnik, dan golongan.

Berdasarkan beberapa definisi mengenai labeling, maka dapat

disimpulkan bahwa labeling merupakan pemberian sebutan, label, cap,

ataupun julukan kepada individu berdasarkan ciri atau karakteristik khusus

yang melekat seperti fisik, sifat atau karakter, perilaku, dan sebagainya

guna memberikan suatu ciri khusus yang membedakan individu satu

dengan yang lainnya.

2. Teori Labeling

Teori labeling menekankan pada pentingnya melihat penyimpangan

dari sudut pandang individu yang diberi label negatif. Pada saat individu

melakukan perilaku menyimpang, maka individu tersebut akan mendapat

label negatif. Apabila label negatif secara terus menerus dilekatkan pada

individu, maka ia akan terbiasa dengan label tersebut dan cenderung

berperilaku sesuai dengan label yang dilekatkan padanya (Thomson,

2012).

Turner (dalam Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa teori labeling

memiliki dua proposisi yang berbeda. Pada proporsi pertama, perilaku

menyimpang tidak dilihat sebagai suatu perlawanan terhadap norma, tetapi

merupakan respon terhadap label negatif yang secara terus menerus

dilekatkan pada individu. Respon dari individu yang diberi label negatif

(28)

menghasilkan penyimpangan sekunder atau penyimpangan yang

cenderung berulang. Selanjutnya, individu yang mendapat label negatif

akan membentuk citra diri atau definisi diri (self-image or self definition)

sebagai seseorang yang menyimpang pula. Pada proposisi kedua, label

negatif yang dilekatkan pada individu akan menghasilkan maupun

memperkuat penyimpangan itu sendiri.

Edwin Lemert (1950) membagi teori labeling ke dalam dua konsep

penting, yaitu primary devience dan secondary devience. Primary devience

adalah suatu penyimpangan yang bersifat sementara, sehingga individu

yang melakukan penyimpangan biasanya masih dapat diterima oleh

kelompok sosialnya, sebab penyimpangan terhadap norma-norma umum

yang ada di masyarakat tidak berlangsung secara terus-menerus.

Sedangkan, secondary devience adalah penyimpangan yang sering

dilakukan oleh individu, sehingga menimbulkan akibat yang cukup parah

dan membuat orang lain merasa terganggu. Secondary devience juga

berkaitan dengan proses dimana individu yang melakukan penyimpangan

dianggap sebagai “orang asing” atau “orang luar” dari suatu masyarakat

akibat adanya label negatif pada individu tersebut.

Selain dua konsep di atas, menurut Kai T. Erikson (dalam Rosiana,

2011) terdapat dua konsep lain dalam teori labeling, yaitu :

1) Master Status

Teori labeling memiliki label dominan yang mengarah pada

(29)

mengandung makna bahwa suatu label yang dilekatkan pada

individu biasanya akan dilihat sebagai karakteristik yang lebih

menonjol dibandingkan karakteristik lain pada individu yang

bersangkutan.

Bagi beberapa orang, label yang diberikan orang lain pada

individu akan membuat mereka berpikiran dan memandang dirinya

seperti apa yang dilabelkan kepadanya. Hal tersebut jelas akan

membuat individu yang diberi label menjadi “terkungkung” pada

apa yang dilabelkan. Pada akhirnya, label tersebut justru akan

membuat individu yang diberi label berperilaku sesuai dengan apa

yang dilabelkan padanya.

Dampak negatif lainnya yang mungkin timbul dari pemberian

label pada individu adalah adanya keengganan dari orang-orang

sekitarnya seperti keluarga atau teman untuk berinteraksi dengan

individu tersebut. Dengan kata lain, individu yang diberi label

sebagai orang yang menyimpang akan mendapat berbagai

konsekuensi negatif dan bahkan mungkin saja mereka tidak akan

diterima oleh lingkungan sosialnya.

2) Deviant Career

Konsep deviant career mengacu pada perilaku individu yang

menjadi sesuai dengan apa yang dilabelkan kepadanya. Pada tahap

ini, individu yang diberi label berperilaku sama persis dengan apa

(30)

3. Dampak Labeling

Dann (1997) menyatakan bahwa apabila individu sudah diberi label

negatif, maka label tersebut akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin

untuk dihilangkan. Menurut Thoits (dalam Herlina, 2007), individu yang

diberi label negatif dan diperlakukan sebagai orang yang menyimpang oleh

masyarakat pada akhirnya benar-benar akan menjadi orang yang

menyimpang. Osterholm (dalam Thomson, 2012) mengungkapkan bahwa

pemberian label negatif pada individu memiliki efek destruktif pada

individu yang diberi label. Label negatif yang diberikan pada individu akan

mengarahkan individu pada perilaku yang menyimpang karena label

negatif yang diterima secara tidak langsung dan tidak sengaja memaksanya

untuk masuk dalam peran yang menyimpang. Hal tersebut dapat terjadi

karena individu yang diberi label negatif pada akhirnya akan menampilkan

perilaku menyimpang sesuai dengan yang dilabelkan padanya. Pemberian

label negatif juga membuat individu yang dilabel merasa terbeban karena

interaksi sosial dan perlakuan orang di sekitarnya menjadi berubah.

Sebagian besar orang-orang yang berada di sekitar individu yang diberi

label seperti keluarga maupun teman biasanya akan menunjukkan suatu

keengganan untuk berinteraksi dengan individu tersebut.

Di samping itu, labeling ternyata juga membawa dampak negatif

pada aspek psikologis individu, seperti sulit mengendalikan emosi, cepat

sedih dan marah, mudah putus asa, serta memiliki kecenderungan untuk

(31)

2011). Goffman (dalam Scheff, 2010) juga menyatakan bahwa pemberian

label negatif dapat menyebabkan individu tersebut merasa malu dan seperti

mendapat suatu penghinaan. Kuther (dalam Scheff, 2010) mengamati

bahwa pemberian label negatif pada individu mengesankan bahwa individu

tersebut menyandang status negatif pula dalam masyarakat. Hal tersebut

dapat terjadi karena pada saat individu diberi label negatif oleh masyarakat,

berbagai hal negatif akan melekat pada individu tersebut. Di samping itu,

individu yang diberi label akan diperlakukan oleh significant others sesuai

dengan label yang melekat pada dirinya. Hal tersebut kemudian dapat

menyebabkan individu yang diberi label negatif menjadi depresi, memiliki

harga diri yang rendah, konsep diri yang negatif, menarik diri dari dunia

sosial, dan enggan untuk meminta bantuan pada orang lain (Corrigan, et al,

dalam Moses, 2009).

Labeling akan membawa dampak negatif yang lebih besar pada

individu ketika orang yang memberikan label negatif adalah orang tuanya

sendiri, sehingga individu akan lebih rentan untuk terlibat dalam suatu

pelanggaran (Hagan & Palloni, dalam Matsueda, 1992). Sebagai contoh

apabila orang tua memberi label nakal pada anak, label tersebut lambat laun

akan berpengaruh pada konsep diri anak, maka pada akhirnya anak tersebut

akan beranggapan bahwa ia adalah anak nakal dan ia akan berperilaku

selayaknya anak nakal. Hal tersebut dapat terjadi karena seorang anak

biasanya akan merespon pemberian label negatif dari orang tuanya dengan

(32)

(Tannenbaum, dalam Matsueda, 1992). Selain itu, penilaian maupun label

negatif yang secara berulang didapatkan anak dari orang tuanya lambat

laun akan mengarah pada pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut (Matsueda,

1992). Matsueda juga menyatakan bahwa label negatif yang dilekatkan

pada seorang anak akan mengarahkannya pada ketidakberdayaan,

kerugian, dan kemalangan. Di sisi lain, Saputro (dalam Mulyati, 2010) pun

menyatakan bahwa label negatif yang melekat pada remaja akan

menyebabkan remaja tersebut tumbuh dan berkembang menjadi pribadi

yang labil serta tidak memiliki rasa percaya diri.

Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai dampak negatif yang

muncul dari labeling, dapat disimpulkan bahwa pemberian label negatif

akan memberikan efek destruktif yang besar bagi individu. Efek destruktif

yang nyata dialami oleh individu atas pemberian label negatif kepadanya

meliputi kesulitan untuk mengendalikan emosi, merasa cepat sedih dan

marah, mudah putus asa, memiliki kecenderungan untuk melawan serta

memberontak pada orang lain, merasa terbebani, terhina, tidak berdaya,

malang, rugi, malu, depresi, tidak percaya diri, labil, memiliki harga diri

rendah, konsep diri negatif, menarik diri dari dunia sosial, dan enggan

meminta bantuan pada orang lain. Di sisi lain, significant others individu

yang diberi label negatif juga akan menunjukkan keengganan untuk

berinteraksi dengan individu atau bahkan mungkin saja lingkungan

(33)

B. Remaja

1. Definisi Remaja

Masa remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan

yang merupakan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang

mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock,

2003). Secara psikologis, masa remaja seseorang berlangsung pada usia 12

sampai 21 tahun. Remaja dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu remaja awal

dengan batasan usia 12-15 tahun, remaja tengah dengan batasan usia 15-18

tahun, dan remaja akhir dari usia 18-21 tahun (Monks, 2002). Masa remaja

awal merupakan masa sekolah menegah pertama dan sebagian besar

mencakup perubahan pubertas. Remaja yang berada pada masa remaja

tengah dan akhir cenderung memiliki minat yang sama pada karir, relasi

dengan lawan jenis, dan eksplorasi identitas.

Di sisi lain, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih

bersifat konseptual. Remaja diartikan sebagai suatu masa dimana (a)

individu untuk pertama kalinya berkembang ke arah kematangan seksual;

(b) individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa; (c) terjadinya peralihan ketergantungan

sosial-ekonomi yang penuh menjadi relatif lebih mandiri (Muangman,

(34)

2. Karakteristik Perkembangan Remaja

Yusuf (2010) menyatakan bahwa remaja memiliki karakteristik

perkembangan yang meliputi :

a) Perkembangan Fisik

Pada saat masa remaja sebagian besar individu akan

mengalami masa pubertas. Pubertas merupakan masa dimana

terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat yang melibatkan

perubahan hormonal dan bentuk tubuh yang berlangsung selama

masa remaja awal. Pada masa pubertas, proporsional

bagian-bagian tubuh tertentu akan mencapai kematangan yang lebih

cepat jika dibandingkan dengan bagian-bagian yang lain. Pada

saat individu memasuki masa remaja akhir, proporsi tubuh

individu mencapai proporsi tubuh orang dewasa dalam semua

bagiannya. Di sisi lain, proses pertumbuhan dan perkembangan

otak pada remaja mencapai kesempurnaan atau kematangan yang

dimulai dari rentang usia 12 hingga 20 tahun. Pada usia 16 tahun,

berat otak remaja bahkan sudah sama dengan orang dewasa.

Selain pertumbuhan dan perkembangan fisik serta otak, pada

saat yang sama remaja juga mengalami perkembangan seksual

yang ditandai dengan munculnya karakteristik seks primer dan

sekunder. Karakteristik seks primer adalah organ yang

dibutuhkan untuk reproduksi. Pada wanita, organ reproduksi yang

(35)

Sedangkan pada pria, organ reproduksi yang berkembang adalah

testis, penis, skrotum, gelembung sprema, dan kelenjar prostat.

Karakteristik seks sekunder adalah sinyal fisiologis kematangan

seksual yang tidak mencakup organ seks. Pada wanita biasanya

ditandai dengan menarche atau menstruasi pertama, tumbuhnya

bulu di sekitar kemaluan dan ketiak, bertambah besarnya

payudara serta pinggul, dan kulit menjadi lebih berminyak serta

berjerawat. Sedangkan pada pria biasanya ditandai dengan

spermache atau ejakulasi pertama, tumbuhnya bulu di sekitar

kemaluan dan ketiak, perubahan suara, tumbuhnya kumis serta

jakun, bahu melebar, dan kulit menjadi lebih kasar, berminyak,

serta berjerawat.

b) Perkembangan Kognitif

Pada masa remaja, sistem saraf yang berfungsi untuk

memproses informasi berkembang secara cepat. Di samping itu,

pada masa ini juga terjadi reorganisasi lingkaran saraf lobe frontal

yang berfungsi sebagai kegiatan kognitif tingkat tinggi yang

meliputi kemampuan merumuskan perencanaan strategis maupun

dalam pengambilan keputusan. Perkembangan lobe frontal ini

sangat berpengaruh pada kemampuan intelektual remaja. Di sisi

lain, dilihat dari perkembangan kognitif Piaget, pada umumnya

remaja sudah mencapai tahap operasional formal. Secara mental

(36)

yang abstrak. Oleh karena itu, dalam memecahkan masalah

remaja mulai mampu bersifat hipotesis dan abstrak serta

sistematis dan ilmiah daripada berpikir konkret. Keating (dalam

Adam & Gullota, 1983) merumuskan lima hal pokok yang

berkaitan dengan perkembangan berpikir operasional formal pada

remaja, yaitu sebagai berikut :

1) Cara berpikir remaja berkaitan erat dengan dunia

kemungkinan (world of possibilities). Remaja sudah

mampu menggunakan abstraksi-abstraksi dan dapat

membedakan antara yang nyata serta konkret dengan yang

abstrak dan mungkin.

2) Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul

kemampuan menalar secara ilmiah.

3) Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan

membuat perencanaan dan mengeksplorasi berbagai

kemungkinan untuk mencapainya.

4) Remaja menyadari adanya aktivitas kognitif dan

mekanisme yang membuat proses kognitif menjadi efisien

atau tidak serta menghabiskan waktunya untuk

mempertimbangkan pengaturan kognitif internal tentang

bagaimana serta apa yang harus dipikirkannya. Oleh

karena itu, introspeksi diri menjadi bagian dari

(37)

5) Berpikir operasional formal memungkinkan terbukanya

topik-topik baru dan perluasan pemikiran. Aspek

pemikiran remaja menjadi semakin luas, yang meliputi

aspek agama, keadilan, moralitas, serta identitas.

c) Perkembangan Emosi

Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu taraf

perkembangan emosi yang paling tinggi. Pada masa ini akan

berkembang emosi maupun perasaan-perasaan dan

dorongan-dorongan baru yang belum pernah dialami sebelumnya, seperti

perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim

dengan lawan jenis yang dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik

remaja, terutama organ-organ seksualnya.

Pada usia remaja awal, perkembangan emosi ditunjukkan

dengan munculnya sifat sensitif dan reaktif yang sangat kuat

terhadap berbagai peristiwa maupun situasi sosial. Selain itu,

emosi remaja awal juga bersifat negatif dan temperamental

seperti mudah tersinggung, mudah marah, mudah sedih, maupun

murung. Sedangkan, remaja akhir cenderung sudah mampu

mengendalikan emosinya.

Salah satu tugas perkembangan yang dirasa sangat sulit bagi

remaja adalah mencapai kematangan emosional. Proses

pencapaian kematangan emosional remaja sangat dipengaruhi

(38)

dan teman sebaya. Apabila remaja berada di lingkungan yang

diwarnai oleh hubungan yang hamornis, saling percaya, saling

menghargai, dan penuh tanggung jawab, maka remaja cenderung

dapat mencari kematangan emosionalnya. Remaja yang memiliki

kematangan emosional ditandai dengan adanya (1) adekuasi

emosi seperti cinta kasih, simpati, senang menolong orang lain,

ramah, dan mampu menghormati maupun menghargai orang lain

serta (2) pengendalian emosi seperti tidak mudah tersinggung,

tidak agresif, bersikap optimis dan tidak mudah putus asa, serta

dapat menghadapi situasi frustasi secara wajar.

Sebaliknya, apabila remaja kurang dipersiapkan untuk

memahami peran-perannya dan kurang mendapat perhatian serta

kasih sayang dari orang tua maupun pengakuan dari teman

sebayanya, maka mereka cenderung akan mengalami kecemasan,

perasaan tertekan maupun ketidaknyamanan emosional. Dalam

menghadapi kecemasan, perasaan tertekan, maupun

ketidaknyamanan emosionalnya remaja akan merespon dengan

menampilkan perilaku yang maladjusment.

Perilaku tersebut kemudian akan muncul dalam dua bentuk.

Pertama adalah perilaku agresif seperti senang mengganggu,

berkelahi, melawan, dan keras kepala. Kedua adalah perilaku

(39)

dengan melamun, menjadi pendiam, senang menyendiri, dan

mengkonsumsi minuman keras atau obat-obatan terlarang.

d) Perkembangan Sosial

Masa remaja merupakan saat dimana identitas diri

berkembang. Perkembangan identitas diri merupakan tugas

perkembangan utama yang harus dilalui remaja yang nantinya

akan memberikan dasar bagi masa dewasa. Perkembangan

identitas diri juga dapat dikatakan sebagai aspek utama bagi

kepribadian yang sehat yang merefleksikan kesadaran diri,

kemampuan mengidentifikasi orang lain, dan mempelajari

tujuan-tujuan agar dapat berpartisipasi dalam budaya dan

lingkungannya. Pada tahap ini, remaja akan berusaha untuk

menjadi orang dewasa yang unik dengan pemahaman diri yang

utuh dan memiliki pemahaman terkait dengan peran serta nilai

yang ada dalam masyarakat.

Menurut Erikson, dalam fase pencarian identitas diri remaja

akan bereksperimen dengan sejumlah peran dan identitas baru

yang mereka ambil dari kebudayaan sekitarnya. Tidak jarang

pada saat itulah para remaja akan menghadapi suatu krisis dan

menemukan berbagai peran serta identitas yang bertentangan

dengan dirinya. Remaja yang berhasil menghadapi krisis dan

mengatasi peran serta identitas yang saling bertentangan akan

(40)

lingkungannya. Selain itu, keberhasilan remaja dalam

menghadapi krisis identitasnya juga akan membawan remaja

pada penemuan suatu identitas mengenai dirinya. Sementara itu,

remaja yang gagal menghadapi krisis identitas akan mengalami

apa yang oleh Erikson disebut sebagai kebingungan identitas

(identity confusion).

Di samping itu, social cognition atau kemampuan untuk

memahami orang lain mulai berkembang pada masa remaja.

Remaja mampu memahami orang lain sebagai individu yang

unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai hidup

maupun perasaannya. Pemahaman inilah yang pada akhirnya

mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih

akrab dengan orang lain, terutama teman sebaya, baik dalam

menjalin persahabatan maupun percintaan.

Sedangkan dalam persahabatan, remaja akan memilih teman

yang memiliki kualitas psikologis maupun karakteristik yang

relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut minat, sikap, nilai,

dan kepribadian. Pada masa ini pula berkembanglah sikap

konformitas atau kecenderungan untuk mengikuti opini,

pendapat, nilai, kebiasaan, dan kegemaran maupun keinginan

orang lain, terutama teman sebayanya. Perkembangan sikap

konformitas dalam diri remaja dapat menyebabkan dampak

(41)

maupun dijadikan contoh oleh remaja menampilkan sikap dan

perilaku yang secara moral maupun agama dapat

dipertanggungjawabkan, maka kemungkinan besar remaja

tersebut mampu menampilkan pribadi yang baik. Sebaliknya,

apabila kelompok teman sebayanya menampilkan sikap dan

perilaku maladjusment atau melecehkan nilai-nilai moral, maka

akan sangat mungkin apabila remaja akan menampilkan perilaku

yang sama seperti kelompoknya.

e) Perkembangan Moral

Jika dibandingkan dengan usia anak-anak, tingkat moralitas

remaja sudah lebih matang. Para remaja sudah mengenal tentang

nilai-nilai moral maupun konsep-konsep moralitas, seperti

kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan. Pada masa ini,

dalam diri remaja muncul dorongan untuk melakukan

perbuatan-perbuatan yang dinilai baik oleh orang lain. Dalam tahap ini,

remaja berperilaku baik bukan hanya untuk memenuhi kepuasan

fisiknya, namun untuk memenuhi kepuasan psikologisnya yang

berupa rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif

dari orang lain terkait dengan perbuatannya.

3. Remaja dan Keluarga

Waktu selama 15 hingga 20 tahun dimana seorang remaja

(42)

waktu dan proses yang panjang serta penting. Hal tersebut dapat terjadi

karena baik atau buruknya interaksi sosial dan berbagai proses

perkembangan yang dialami remaja di dalam keluarganya, akan

menentukan baik atau buruknya perkembangan remaja di masa-masa

berikutnya. Kekuatan dan kelemahan remaja banyak bersumber dari

kekuatan serta kelemahan dari keluarganya sendiri (Surakhmad, 1980).

Selanjutnya, berbagai pertumbuhan dan perkembangan remaja

dalam hal fisik, emosi, intelektual, sosial, dan sebagainya serta perubahan

perilaku dari para remaja ditanggapi dan dinilai secara berbeda oleh orang

tua. Apabila tanggapan dan penilaian orang tua baik dan positif serta penuh

pengertian dan dukungan, maka meskipun proses pertumbuhan dan

perkembangan yang dialami remaja terkadang sulit dan harus menghadapi

banyak masalah ataupun hambatan, namun para remaja akan dapat

melewatinya dengan baik. Akan tetapi, apabila para remaja sudah merasa

tidak dipahami, tidak didukung, tidak disayangi, dan merasa kecewa

dengan tanggapan dan penilaian negatif orang tua terhadapnya, maka

mereka cenderung akan bersikap kurang peduli, cuek atau acuh, dan

menentang orang tuanya (Riberu, 1985).

Di sisi lain, Surakhmad (1980) juga menyatakan bahwa banyak

remaja beranggapan bahwa orang tua tidak cukup mampu memahami

persoalan-persoalan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga timbul

(43)

Perasaan kecewa dan ketidakpuasan tersebut kemudian dimanifestasikan

oleh para remaja dalam bentuk perilaku maupun perbuatan yang negatif.

Pada dasarnya, sepanjang tahun-tahun masa remaja, konflik dengan

orang tua menjadi hal yang paling sering dialami remaja, terutama pada

masa awal remaja dan mencapai puncaknya pada masa pertengahan

remaja. Selain itu, pada masa remaja pertengahan terjadi pula peningkatan

kenakalan remaja dan perilaku antisosial (Papalia, 2012). Konflik remaja

dan orang tua sebagian besar berkaitan dengan kasus otonomi dan

kebebasan. Di saat remaja ingin mendapatkan kebebasan berperilaku dan

memutuskan apa yang terbaik untuknya namun bertemu dengan pandangan

yang berbeda dari orang tuanya, maka hal tersebut kemudian akan

menimbulkan konflik di kedua belah pihak (Yusuf, 2010).

Banyak orang tua melihat anak remajanya berubah dari patuh

menjadi tidak patuh, melawan, dan menentang standar orang tuanya.

Kemudian orang tua juga seringkali memberikan penilaian dengan

kata-kata negatif berupa cemoohan atau ejekan yang menonjolkan kelemahan

maupun kesalahan yang diperbuat anak remajanya. Padahal sebenarnya

jika para remaja mulai banyak mengalami perubahan bahkan melakukan

penyimpangan, pada dasarnya mereka sedang melakukan “uji tesis diri”

terhadap semua hal di sekitarnya, mereka mampu mengahadapinya sendiri

(44)

C. Teori Self Narrative

Teori self narrative adalah teori mengenai cerita diri individu yang

dikonstruksi berdasarkan pengalaman hidupnya (Gergen & Gergen,

1997). Dalam membentuk self narrative, individu berperan aktif dan

bertindak sebagai “penentu” dari cerita dirinya. Self narrative individu

berisi mengenai berbagai pengalaman yang dirasa penting serta relevan

bagi hidup individu yang terjadi selama rentang waktu tertentu. Oleh

karena itu, individu memiliki kecenderungan untuk mengkaitkan suatu

pengalaman dengan pengalaman lain dalam hidupnya dan melihat

pengalaman-pengalaman tersebut sebagai hal yang saling berkaitan

(Cohler & Kohli, dalam Gergen & Gergen, 1997).

Di sisi lain, Gergen & Gergen (1997) menyatakan bahwa dalam

proses pembentukan self narrative individu ternyata tidak hanya bertugas

untuk mengkonstruksi berbagai pengalaman hidupnya, namun individu

juga mampu merekonstruksi berbagai pengalaman hidupnya. Hal ini dapat

terjadi karena teori self narrative berasumsi bahwa individu memiliki

kapasitas dan kemampuan untuk memahami berbagai pengalamannya.

Proses rekonstruksi self narrative individu terjadi setelah individu mampu

mengolah dan merefleksikan berbagai pengalaman hidupnya sebagai

suatu hal yang utuh serta saling berkaitan, sehingga selanjutnya ia lebih

mampu memahami pengalamannya dan mengerti bagaimana ia harus

(45)

Kemudian, Gergen & Gergen (1997) juga menyatakan bahwa

meskipun self narrative dimiliki dan dibuat secara individual, namun

sebenarnya proses pembentukan self narrative pada setiap individu juga

banyak dipengaruhi oleh sosialnya atau relasi antara individu dengan

orang lain. Kendati demikian, apabila individu menemukan dan

menyadari bahwa self narrative yang selama ini ia konstruksi tidak sesuai

dengan penilaian serta narrative dari orang lain ataupun bertentangan

dengan dirinya, maka ia memiliki pilihan untuk bernegosiasi dengan

orang lain atau sosialnya dan menentukan sikap tertentu. Hal ini dapat

terjadi karena individu lah yang menjadi “penentu” dan memiliki andil

besar dalam menentukan berbagai pengalaman yang akan menjadi bagian

dari self narrative-nya. Negosiasi yang dilakukan individu dengan

sosialnya akan membawanya pada stability narrative yaitu cerita diri yang

stabil; atau progressive narrative yaitu cerita diri yang semakin baik; atau

regressive narrative yaitu cerita diri yang lebih buruk.

D. Labeling pada Remaja Pertengahan

1) Deskripsi Labeling pada Remaja Pertengahan

Pada saat memasuki usia remaja, sebagian besar remaja memiliki

kebutuhan untuk melepaskan diri dan ketergantungannya pada orang tua

(Papalia, 2012). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat dari Batubara

(2010) yang menyatakan bahwa remaja pertengahan sering mengeluhkan

(46)

mereka mulai mempunyai keinginan untuk lepas dari orang tua dan

menjadi kurang maupun tidak menghargai pendapat orang tua.

Di sisi lain, Santrock (1995) mengungkapkan bahwa dorongan

maupun tuntutan remaja akan otonomi, pemberian kepercayaan, dan

tanggung jawab dari orang tua seringkali membingungkan serta membuat

orang tua marah. Pada saat anaknya menuntut untuk diberikan otonomi,

kepercayaan, dan tanggung jawab, orang tua memiliki kecenderungan

untuk melihat anaknya mencoba melepaskan diri dari “genggaman”

mereka. Pada akhirnya hal tersebut akan menimbulkan konflik yang

berkepanjangan dan keadaan emosional yang memanas di kedua belah

pihak. Kemudian biasanya orang tua dan remaja memiliki kecenderungan

untuk saling mencaci maki, mengancam, dan melakukan apa saja untuk

memperoleh kendali.

Selanjutnya, Erikson (dalam Santrock, 2012) mengungkapkan

bahwa remaja harus menghadapi tahap perkembangan maupun tugas

utamanya, yaitu tahap identitas versus kebingungan identitas (identity vs

identity confusion). Menurut Erikson (dalam Papalia, 2008), di masa ini

remaja akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan terkait siapakah

dirinya, bagaimanakah dirinya, apa keunikannya, apa tujuan yang akan

diraihnya, dan bagaimana peran-peran sosialnya di dalam keluarga,

masyarakat, serta kehidupan beragama. Erikson (1989) juga menyatakan

bahwa sebagian besar remaja akan mengalami suatu krisis identitas ketika

(47)

identitas, remaja akan mencoba-coba segala peran, berbagai identitas, gaya

hidup, dan ideologi baru baik itu positif serta negatif untuk selanjutnya

memilih dan menentukan yang paling sesuai untuk dirinya.

Bisono (2009) menyatakan bahwa dalam melewati proses pencarian

identitasnya, seorang remaja sangat membutuhkan peran dan

pendampingan orang tua serta para dewasa lain yang sifatnya “parental”

secara terus menerus sampai tuntas. Kendati demikian, tampaknya

masyarakat dan orang dewasa, khususnya para orang tua dari para remaja

kurang dapat memahami perubahan remaja sebagai fase mencoba-coba

atau bagian dari transisi masa kanak-kanak ke dewasa. Sebagian besar

orang tua justru merasa bingung ketika harus menghadapi berbagai

perubahan yang terjadi pada anaknya (Santrock, 2003). Kebingungan

tersebut membuat orang tua cenderung sering mengeluhkan perubahan

sikap anaknya yang berujung pada labeling atau pemberian penilaian

berupa kata-kata atau label negatif. Pada saat anaknya menginjak usia

remaja, banyak orang tua melihat anaknya yang sebelumnya bersikap

manis dan taat berubah menjadi seorang yang pembangkang, tidak

menurut jika dinasihati, sering keluyuran, senang mengunci diri di kamar,

pemarah, mudah ngambek, dan sering berkata kasar (Bisono, 2009).

Labeling akan membawa dampak negatif yang lebih besar pada

individu ketika orang yang memberikan label negatif adalah orang tuanya

sendiri, sehingga individu akan lebih rentan untuk terlibat dalam suatu

(48)

apabila orang tua memberi label nakal pada anak, label tersebut lambat

laun akan berpengaruh pada citra diri anak, maka pada akhirnya anak

tersebut akan beranggapan bahwa ia adalah anak nakal dan ia akan

berperilaku selayaknya anak nakal. Hal tersebut dapat terjadi karena

seorang anak biasanya akan merespon pemberian label negatif dari orang

tuanya dengan menunjukkan perilaku menyimpang seperti yang

dilekatkan padanya (Tannenbaum, dalam Matsueda, 1992). Selain itu,

penilaian negatif yang secara berulang didapatkan anak dari orang tuanya

lambat laun akan mengarah pada pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut

(Matsueda, 1992). Matsueda juga menyatakan bahwa label negatif yang

dilekatkan pada seorang anak akan mengarahkannya pada

ketidakberdayaan, kerugian, dan kemalangan.

2) Skema 1. Labeling pada Remaja Pertengahan

Remaja

Pertengahan

Mencoba identitas atau peran baru yang sifatnya negatif (Fase Pencarian Identitas).

Konflik dengan orang tua terkait otonomi, kebebasan, dan kepercayaan .

Meningkatnya frekuensi perilaku kenakalan remaja dan antisosial.

Perubahan terkait perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, dan moral.

(49)

E. Pertanyaan Penelitian

Menurut Smith dan Osborn (2007), pertanyaan penelitian dalam

penelitian kualitatif biasanya dibuat secara luas, mendalam, dan terbuka agar

dapat mengeksplorasi topik yang akan diteliti. Creswell (2003) menjelaskan

bahwa pertanyaan penelitian dalam suatu penelitian kualitatif terdiri dari dua

bentuk, yaitu :

1) Central Question

Central question adalah pertanyaan utama dari suatu penelitian

yang bersifat sangat umum. Central question dalam penelitian ini

adalah apa makna pengalaman remaja pertengahan yang diberi label

negatif oleh significant others.

2) Subquestion

Subquestion adalah pertanyaan-pertanyaan di luar pertanyaan

utama yang berfungsi untuk memperjelas dan mengarahkan pada

pertanyaan utama dalam penelitian. Subquestion dalam penelitian ini

adalah :

2.1. Apa yang dirasakan dan dipikirkan remaja pertengahan

pada saat diberi label negatif oleh significant others.

2.2. Apa yang menyebabkan atau mengapa remaja pertengahan

mendapat label negatif dari significant others.

2.3. Bagaimana remaja pertengahan melihat pengalamannya

(50)

33 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami berbagai fenomena yang

dialami oleh informan penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dan sebagainya, secara holistik dan mendalam, dengan cara

mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata serta bahasa, pada konteks

khusus yang alamiah dan menggunakan berbagai metode yang alamiah pula

(Moleong, 2006).

B. Fokus Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah makna pengalaman remaja

pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others. Makna

tersebutdapat diketahui dengan cara meminta informan untuk menceritakan

ulang pengalamannya terkait labeling dan melihat persepsi informan terkait

pengalamannya tersebut.

C. Informan Penelitian

1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian

Pada penelitian ini, informan penelitian ditentukan dengan

menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling

(51)

non-probability sampling yang memungkinkan peneliti untuk dapat memilih

informan penelitian berdasarkan pada ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh

informan penelitian yang disesuaikan dengan tujuan penelitian

(Moleong, 2006). Peneliti memiliki beberapa kriteria dalam memilih dan

menentukan informan penelitian, seperti:

a) Informan penelitian berjenis kelamin laki-laki dan/atau

perempuan.

b) Informan penelitian adalah remaja pertengahan yang berusia

antara 15 hingga 18 tahun.

c) Informan penelitian adalah siswa/i yang berasal dari sekolah

menengah atas (SMA) yang berada di Yogyakarta.

d) Informan penelitian adalah individu yang diberi label negatif

secara berulang oleh significant others.

2. Prosedur Mendapatkan Informan Penelitian

Prosedur yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan informan

penelitian meliputi beberapa langkah berikut ini:

a) Menyusun kuesioner penelitian

b) Membagikan kuesioner penelitian ke beberapa sekolah

menengah atas (SMA) yang ada di Yogyakarta.

c) Melakukan kategorisasi pada jawaban-jawaban calon informan

penelitian.

d) Melakukan seleksi terhadap calon informan penelitian

(52)

e) Menentukan informan penelitian

f) Melakukan perkenalan, rapport, penjelasan tujuan wawancara,

memastikan kesediaan informan untuk terlibat dalam penelitian,

dan wawancara awal kepada informan penelitian.

g) Meminta informan penelitian untuk menandatangani informed

concent dan membuat jadwal wawancara.

h) Melakukan wawancara bertahap pada informan penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua metode

pengumpulan data, yaitu:

1) Kuesioner penelitian

Kuesioner penelitian berfungsi sebagai alat untuk mencari dan

melakukan seleksi terhadap informan penelitian. Selain itu, peneliti juga

menggunakan hasil pemetaan data dari kuesioner penelitian sebagai data

dan assessment awal terhadap para informan.

2) Wawancara semi terstruktur

Wawancara semi terstruktur digunakan sebagai cara untuk

mengumpulkan data yang lebih kaya dan mendalam dari informan

penelitian (Smith dan Osborn, 2007). Dalam wawancara semi

terstruktur, peneliti juga akan memiliki daftar pertanyaan yang akan

dijadikan panduan wawancara. Smith (2009) menyatakan bahwa

metode wawancara semi terstruktur merupakan instrumen pengumpulan

(53)

untuk berdialog. Selain itu, daftar pertanyaan yang sudah dibuat dalam

panduan wawancara juga dapat dimodifikasi sesuai dengan respon dari

informan. Dengan demikian, peneliti dapat menggali lebih dalam

mengenai hal-hal yang dirasa menarik dan penting yang muncul dari

jawaban informan.

1. Apakah Anda mendapat suatu label negatif dari orang lain? Jika iya,

apa contohnya?

2. Bagaimana cerita awal mulanya sampai akhirnya saat ini Anda bisa

diberi label negatif oleh orang lain?

3. Menurut Anda, apa yang menyebabkan orang lain memberikan

suatu label negatif pada Anda?

4. Siapa yang biasanya memberikan Anda label negatif tersebut?

5. Di mana saja Anda biasanya mendapat label negatif tersebut?

6. Seberapa sering orang lain memanggil Anda dengan label negatif?

7. Bagaimana reaksi yang biasanya Anda berikan pada orang yang

memberi label negatif pada Anda?

8. Bagaimana perasaan dan/atau apa yang Anda pikirkan ketika

mendapat label negatif dari orang lain?

9. Bagaimana cara Anda menjalani hari-hari atau keseharian Anda

sementara Anda sendiri mendapat label negatif dari orang lain?

10.Setelah mendapat label negatif dari orang lain, saat ini

bagaimanakah Anda melihat diri Anda sendiri?

11.Bagaimana relasi Anda dengan orang yang memberi label negatif?

12.Bagaimana atau seperti apa Anda melihat label negatif dari orang

lain?

13.Apakah dampak dan/atau perubahan yang Anda rasakan dari

pemberian label negatif dari orang lain?

(54)

14.Anda diberi label negatif dari orang yang berbeda-beda. Apakah

Anda merasakan adanya perbedaan dampak yang berbeda pula?

15.Apakah ada perubahan perlakuan dari orang lain setelah Anda

mendapat suatu label negatif? Jika iya, perubahan seperti apa?

16.Bagaimana atau seperti apa Anda melihat pengalaman Anda terkait

pemberian label negatif dari orang lain?

E. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisis

fenomenologi interpretatif (AFI) sebagai metode analisis data penelitian.

Smith dan Osborn (2009) menyatakan bahwa tujuan dari penelitian dengan

AFI adalah mengeksplorasi secara detail mengenai bagaimana informan

memaknai dunia personal dan sosialnya. Pendekatan ini berusaha

mengeksplorasi pengalaman personal informan dan memberi perhatian atau

berfokus pada persepsi maupun pendapat personal dari informan mengenai

objek atau peristiwa. Kemudian, pendekatan ini juga melibatkan dua tahap

interpretatif. Dimana pada tahap pertama informan akan berusaha

memahami dunianya, lalu peneliti akan berusaha memahami usaha-usaha

informan dalam memahami dunianya tersebut.

Menurut Smith (2009), metode analisis data dari analisis

fenomenologi interpretatif (AFI) terdiri atas tiga tahap, yang meliputi :

1) Mencari tema-tema dalam setiap kasus setelah membaca

transkrip verbatim.

Pada tahap ini, peneliti diminta untuk membuat tiga tabel,

(55)

hasil wawancara. Tabel kedua digunakan untuk memberikan

komentar, merangkum maupun menyimpulkan, atau

melampirkan keterangan terhadap apa yang dirasa menarik

maupun bermakna dari apa yang dikatakan informan.

Sementara itu, tabel ketiga digunakan untuk

mendokumentasikan judul-judul tema yang muncul atau

mentransformasikan catatan-catatan awal ke dalam frase-frase

singkat untuk menangkap kualitas esensial dalam transkrip hasil

wawancara.

2) Mengkaitkan tema-tema yang ada dan mencari hubungan tiap

tema dengan cara :

a. Mengurutkan tema secara kronologis berdasarkan

kemunculan dalam transkrip verbatim.

b. Mengurutkan tema yang ada secara analitis maupun

teoritis untuk menemukan hubungan antar tema yang ada

dan mengelompokkan tema-tema yang serupa.

c. Melakukan pemeriksaan pada transkrip hasil wawancara

dan teman-tema yang sudah dibuat.

d. Membuat tabel tema yang disusun secara koheren dan

mengidentifikasi beberapa kelompok tema-tema yang

sudah dibuat, kemudian memberi nama pada kategori

tema supaya jelas mana tema yang kuat dan yang tidak.

Gambar

Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara.........................................................36
Tabel 1. Panduan Pertanyaan Wawancara
tabel ketiga
Tabel 2. Ringkasan Identitas dan Deskripsi Singkat Seluruh Informan
+7

Referensi

Dokumen terkait