IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Kota Batam 4.1.1 Geografis dan Administrasi
Kota Batam sebelum menjadi daerah otonom, merupakan kotamadya kedua di Provinsi Riau setelah Kotamadya Pekanbaru. Kotamadya Batam awalnya merupakan suatu wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Batam yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tingkat II Kepulauan Riau. Batam adalah nama sebuah pulau terbesar di daerah ini. Kota ini berkembang sangat pesat hingga ditetapkannya kawasan SIJORI (Singapore, Johor, Riau). Sebelum dimekarkan dan ditingkatkan statusnya secara definitif menjadi "Kota", Batam berstatus sebagai Kotamadya Administratif yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 dan diresmikan pada tanggal 24 Desember 1983. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 53 Tahun 1999, maka Kotamadya Administratif Batam berubah menjadi daerah otonom Kota Batam terdiri dari 4 pulau besar, yaitu Pulau Batam, Rempang, Galang dan beberapa gugus pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Secara geografis Kota Batam terletak pada posisi 0o25’29” LU – 1o15’00”
LU dan 103o34’35” BT – 104o26’04” BT. Posisi Kota Batam ini sangat strategis karena berada di jalur pelayaran dunia internasional. Luas keseluruhan wilayah kota ini mencapai 3.990,00 km2, terdiri dari luas wilayah darat 1.040 km2 dan luas wilayah laut 2.950 km2. Kota Batam meliputi lebih dari 400 pulau, 329 di antaranya telah bernama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara. Kota yang membawahi 8 kecamatan dan 35 kelurahan serta 16 desa (BPS Kota Batam, 2009) ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
sebelah utara berbatasan dengan Selat Singapura; sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Teluk Bintan, Kab. Kepulauan Riau;
sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Senayang, Kabupaten Kepulauan Riau; serta sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Moro dan Kecamatan Karimun, Kabupaten Karimun. Batas administrasi Kota Batam disajikan pada Gambar 13.
65
Gambar 13 Batas administrasi Kota Batam (Bappeda Kota Batam, 2004 dalam Dicky, 2008).
Pulau Batam memiliki kekayaan alam yang sangat menawan sehingga disamping menjadi kota industri juga menjadi kota tujuan wisata. Wilayah Kota Batam seperti halnya kecamatan-kecamatan di daerah kabupaten di Kepulauan Riau, juga merupakan bagian dari paparan kontinental. Pulau-pulau yang tersebar di daerah ini merupakan sisa-sisa erosi atau penyusutan dari daratan pra tersier yang membentang dari semenanjung Malaysia/Singapore di bagian utara sampai dengan pulau-pulau Moro dan Kundur serta Karimun di bagian selatan.
Wilayah Kota Batam yang terdiri dari 329 buah pulau besar dan kecil, relatif datar dengan variasi berbukit-bukit di tengah pulau, ketinggian antara 7 hingga 160 mdpl. Wilayah yang memiliki elevasi 0 hingga 7 mdpl terdapat di pantai utara dan pantai selatan Pulau Batam dan sebelah timur Pulau Rempang serta sebelah utara, timur dan selatan Pulau Galang. Pulau-pulau kecil lainnya sebagian besar merupakan kawasan hutan mangrove.
Kota Batam mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum berkisar antara 18,2°C - 23,0°C dan suhu maksimum berkisar antara 31,0°C - 33,2°C, sedangkan
66
suhu rata-rata adalah 26,3°C - 27,3°C. Keadaan tekanan udara rata-rata minimum 1007,0 MBS dan maksimum 1011,5 MBS. Selanjutnya mengenai kelembaban udara di wilayah Kota Batam rata-rata berkisar antara 82% - 87% dan kecepatan angin maksimum 14-30 knot atau rata-rata kecepatan angin sebesar 4 knot. Hari hujan di Kota Batam rata-rata perbulan 20 hari dengan rata-rata curah hujan pertahunnya 2616 mm. Hal inilah yang menjadi keuntungan bagi Kota Batam dalam penyediaan air bersih.
4.1.2 Kependudukan
Penduduk Kota Batam berdasarkan data BPS pada tahun 2010 tercatat sebesar 992.095 jiwa terdiri atas 988.555 jiwa WNI dan 3.540 jiwa WNA. Dari jumlah penduduk tersebut tersebar di 12 kecamatan dan 64 kelurahan. Namun demikian penyebarannya tidak merata, sehingga mengakibatkan kepadatan penduduk per km2 di daerah ini bervariasi. Jumlah penduduk di Kota Batam disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2010
Wilayah
WNI
Jumlah
WNA
Jumlah Jumlah Total Laki-
laki Perempuan Laki-
laki perempuan
I. Belakang Padang 12.445 12.082 24.527 - - - 24.527
II. Bulang 6.183 5.738 11.921 - - - 11.921 III. Galang 10.507 9.373 19.880 - - - 19.880 IV. Sei Beduk 49.800 59.249 109.046 455 88 543 109.589
V. Nongsa 26.715 23.430 50.145 67 12 79 50.224 VI. Sekupang 62.298 57.628 119.926 148 74 222 120.148 VII. Batu Ampar 48.811 42.808 91.619 497 87 584 92.203
IX. Bengkong 50.032 48.182 98.214 117 63 180 98.394 X. Batam Kota 62.322 58.987 121.309 812 192 1.004 122.313
XI. Sugulung 75.831 66.695 142.526 - - - 142.526 XII. Batu Aji 52.475 49.467 101.942 111 5 116 102.058
Batam 506.758 481.797 988.555 2.842 698 3.540 992.095 Sumber : Batam dalam angka, 2010.
Pulau Batam dan beberapa pulau disekitarnya dikembangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia manjadi daerah industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Sejak terbentuknya Kotamadya Batam tanggal 24 Desember 1983, laju pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan, dan dari hasil sensus penduduk rata-rata per tahunnya selama periode 2006-2010 laju pertumbuhan penduduk Batam rata-rata sebesar 8,1 persen. Pertumbuhan penduduk di Kota Batam Tahun 2006 sampai 2010 disajikan pada Tabel 17.
67
Tabel 17 Pertumbuhan penduduk Kota Batam tahun 2006-2010 No Tahun Jumlah Penduduk
(jiwa)
Pertumbuhan (%)
1 2006 713.960 -
2 2007 724.315 1,45
3 2008 892.469 23,22
4 2009 932.892 4,53
5 2010 992.095 8,10
Sumber : Batam dalam angka, 2010.
Secara umum, sebagian besar penduduk di Kota Batam bekerja pada sektor industri. Pada tahun 2008, jumlah tenaga kerja di sektor industri sekitar 170.702 orang atau sekitar 65 % dari total tenaga kerja yang ada di Kota Batam. Jumlah perusahaan yang ada di Kota Batam juga memberi gambaran bahwa sektor industri mendominasi dengan jumlah 1.548 perusahaan.
4.1.3 Pemanfaatan dan Pengembangan Lahan
Rencana pemanfaatan lahan di Kota Batam dapat dilihat pada Gambar 14 berikut ini. Berdasarkan RTRW Kota Batam Tahun 2004-2014, luas Kota Batam sekitar 103.885 Ha. Luas kawasan lindung Kota Batam sebesar 47.325,27 Ha atau 45,57 % dan luas kawasan budidaya sebesar 56.559,73 Ha atau 54,43 %.
Pemanfaatan lahan di Kota Batam masih terkonsentrasi pada wilayah Pulau Batam dan belum banyak menyentuh wilayah di luar Pulau Batam. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan sektor ekonomi seperti industri, perdagangan dan jasa, pariwisata yang selama ini berlangsung di Pulau Batam.
Perumusan strategi pengembangan Kota Batam di masa depan berlandaskan pada 3 (tiga) kebijaksanaan pokok, yaitu: (1) pengembangan berorientasi ke luar (outward looking); (2) pengembangan berorientasi ke wilayah belakang (inward looking); dan pengembangan berorientasi ke dalam (internal looking).
68
Gambar 14 Peta rencana pemanfaatan lahan berdasarkan RTRW Kota Batam tahun 2004-2014 (sumber: RTRW Kota Batam tahun 2004-2014).
69
Bagian Pulau Batam yang paling berkembang yaitu bagian utara (Sub Wilayah Batu Ampar dan Batam Centre) akan berfungsi sebagai Pusat Kota.
Spesialisasi fungsi pusat kota disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Spesialisasi fungsi pusat Kota Batam
SWP Lokasi Luas (ha) % Fungsi
(P: Primer; S: Sekunder) I Batu Ampar
Pusat Nagoya
3.608,66 8,67 P: pusat kegiatan jasa, komersial serta industri menengah
S: jasa dengan skala lokal, fasum, fasos, transportasi & perumahan berkepadatan sedang
II Batam CenterPusat Batam Center Core
2.567,34 6,17 P: pusat pemerintahan (civic center), Central Business District (pusat bisnis), perumahan
berkepadatan tinggi
S: fasilitas umum, fasilitas sosial, perdagangan dan jasa, perumahan berkepadatan sedang
III Nongsa Pusat - Batu Besar I
3.705,34 8,91 P: pusat pariwisata, perumahan (resort)
S: fasus, fasos, jasa perkotaan dan transportasi
IV Kabil Pusat - Kabil Tengah
5.165,04 12,42 P: pelabuhan udara, industri dan perumahan
S: jasa, perumahan, fasum dan pelabuhan laut
V Duriangkang - Tg Piayu Pusat - Tg. Piayu Utara
8.269,40 19,88 P: konservasi (paru - paru kota) S: pelabuhan penumpang local VI Tanjung Uncang
- Sagulung Pusat - Batu Aji
6.788,88 16,32 P: industri dan perumahan S: perdagangan, jasa, fasum, fasos, transportasi dan rekreasi VII Sekupang Pusat -
Batam Selatan
4.563,27 10.97 P: industri ringan dan pelabuhan internasional, regional dan domestic
S: perumahan, jasa, fasus, fasos, transportasi
VIII Muka
KuningPusat - Muka Kuning
6.931,21 16,66 P: industry
S: perumahan, dan jasa Sumber: RTRW Kota Batam tahun 2004-2014
70
Pulau Batam merupakan kawasan industri, sehingga memerlukan alokasi penggunaan lahan terbesar untuk kategori lahan budidaya. Bagian tengah Pulau Batam yaitu meliputi Sub Wilayah Muka Kuning, Sub Wilayah Sekupang, Sub Wilayah Kabil, dan Sub Wilayah Tanjung Uncang akan berfungsi sebagai kawasan industri dan kawasan perumahan berkepadatan sedang.
Kegiatan Pariwisata di Pulau Batam diarahkan pada wisata alam yang memanfaatkan kondisi alamiah bentang alam. Bagian Pulau Batam yang diarahkan untuk pengembangan kegiatan tersebut adalah Sub Wilayah Nongsa dan Sub Wilayah Duriangkang. Sub Wilayah Nongsa memiliki banyak potensi alam yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Sub Wilayah Duriangkang karena kondisi geologinya lebih sesuai untuk kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai paru-paru kota. Selain sebagai kawasan wisata, sebagian Sub Wilayah Nongsa juga sudah dikembangkan sebagai kawasan industri ramah lingkungan
Kebijakan struktur tata ruang Kota Batam tahun 2014 merupakan penjabaran dari struktur tata ruang yang telah dirumuskan dalam RTRW. RTRW tentang kebijakan struktur ruang Kota Batam 2014 telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), dengan fungsi utama sebagai: pusat pemerintahan kota, perdagangan dan jasa, kegiatan pariwisata, permukiman dan simpul transportasi internasional. Selain pembentukan pusat pelayanan utama tersebut, pembentukan struktur kegiatan Kota Batam ini masih dilanjutkan dengan penentuan pusat-pusat yang lebih rendah hirarkinya dan dialokasikan tersebar keseluruh wilayah dan membentuk pola multiple nuclei, sehingga memudahkan dalam melayani kebutuhan seluruh penduduk kota. Orientasi kegiatan penduduk diharapkan tidak terkonsentrasi lagi di pusat kota, tetapi sudah terlayani di masing-masing lingkungan/kawasan.
Kebijakan pengembangan penggunaan lahan Kota Batam dimaksudkan untuk menciptakan pola pemanfaatan ruang yang mampu menjadi wadah bagi berlangsungnya berbagai kegiatan penduduk serta keterkaitan fungsional antar kegiatan, sehingga tercipta keserasian antara satu kegiatan dengan kegiatan lain.
Kelestarian lingkungan tetap terjaga. Kebijakan pemanfaatan ruang kota dikembangkan sesuai dengan potensi dan permasalahan yang ada dengan tetap
71
mempertimbangkan :
• Keserasian rencana tata ruang Kota Batam dengan rencana tata ruang wilayah yang lebih luas;
• Peran dan fungsi Kota Batam sesuai struktur tata ruang kotanya;
• Pola penggunaan lahan eksisting dan kecenderungan perkembangannya, baik fisik, sosial, maupun ekonomi ke dalam Kebijakan pemanfaatan ruang yang mudah dilaksanakan (realistis);
• Potensi dan kendala fisik alam;
• Mengamankan kawasan lindung, terutama perbukitan dengan lereng curam, disekitar waduk sebagai tangkapan air hujan serta pada hutan bakau.
4.2. Pengembangan Permukiman di Kota Batam
RTRW Kota Batam 2004-2014 memuat tentang pengembangan kegiatan permukiman di Kota Batam dengan menggunakan konsep neighborhood unit yaitu permukiman yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana pelayanan umum yang memadai untuk melayani kebutuhan pokok penduduk yang tinggal di sekitarnya. Konsep neighborhood unit diintegrasikan oleh sistem jaringan jalan sehingga membentuk satu kesatuan yang saling mendukung dan terintegrasi antara permukiman sederhana, menengah dan mewah, serta diharapkan dapat terjalin interaksi dan sosialiasai diantara penghuninya.
Penggunaan lahan untuk perumahan pada tahun 2000 adalah 6,14%, yang merupakan penggunaan lahan terbesar untuk lahan terbangun, yang diikuti lahan untuk industri sebesar 1,33% sedangkan untuk lahan belum terbangun yang meliputi rawa, semak dan tanah kosong sebesar 91,87%. Empat tahun kemudian, pada tahun 2004 penggunaan lahan untuk perumahan meningkat menjadi 9,45%
dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 14,65%, hal ini terus mengalami peningkatan seiiring dengan pertambahan penduduk di Pulau Batam, hingga pada tahun 2008 mencapai 15,47%, sedangkan lahan yang belum dibangun menurun menjadi 78,25%. Hanya dalam jangka waktu kurang dari delapan tahun penggunaan lahan permukiman telah meningkat sebesar kurang lebih 250%.
72
Perkembangan pemanfaatan lahan melalui proses konversi dari kawasan tidak terbangun menjadi kawasan perumahan, sebenarnya adalah lahan resapan air seperti rawa dan hutan kota akibat adanya interaksi dan permintaan perumahan yang meningkat. Konversi lahan sedikit demi sedikit akan menyebabkan semakin meluasnya lahan dengan pemanfaatan ke arah pemukiman dan komersial.
Guna memenuhi kebutuhan permukiman sekaligus mengelola perubahan penggunaan lahan secara terkendali, maka Pemerintah Kota Batam memiliki kebijakan untuk mengembangkan permukiman, termasuk rusunawa (rumah susun sewa) dan rusunami (rumah susun milik) sesuai struktur ruang kota. Kebijakan tersebut tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Batam tahun 2006-2011 terdiri dari: (1) program pengembangan sarana prasarana perumahan permukiman; dan (2) program pengembangan infrastruktur hinterland.
Pengembangan tersebut melibatkan berbagai sektor terkait di Kota Batam, terutama dinas-dinas pemerintahan kota yang memiliki peran sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Dinas-dinas terkait tersebut antara lain:
1. Dinas Tata Kota, yang memiliki fungsi melakukan pembangunan dan penataan sarana prasarana perumahan permukiman;
2. Dinas Pekerjaan Umum, yang memiliki fungsi melakukan dukungan penyiapan prasarana sarana menuju permukiman;
3. Dinas Sosial dan Pemakaman, yang memiliki fungsi bantuan teknis dalam rangka pelaksanaan penataan perumahan permukiman melalui dana bantuan;
4. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Batam, yang memiliki fungsi dukungan kesesuaian tata ruang terhadap perumahan permukiman;
5. Dinas Perindustrian dan Perdagangan, yang memiliki fungsi memberikan dukungan pelatihan dan pembinaan usaha dalam rangka meningkatkan perekonomian MBR(masyarakat berpenghasilan rendah);
6. Dinas PMP-KUKM, yang memiliki fungsi memberikan bimbingan teknis pemberdayaan ekonomi masyarakat.
73
Permasalahan yang terjadi seiring dengan meningkatnya populasi penduduk di Kota Batam adalah :
• masih maraknya rumah liar/rumah bermasalah terkonsentrasi di daerah sekitar kawasan industri akibat dampak dari pengembangan Batam menjadi kota industri dan relatif tingginya harga rumah;
• kekurang siapan dalam mengantisipasi kecepatan dan pertumbuhan fisik dan dan fungsional kawasan sehingga kawasan kumuh tumbuh sejalan dengan bertambahnya pusat-pusat kegiatan ekonomi.
Daerah hinterland sebagai penyangga Kota Batam, juga memiliki beberapa permasalahan perumahan permukiman antara lain: (a) lokasi umumnya terpencil dan jauh dari pusat kegiatan; (b) aksesibilitas sulit; (c) mahalnya biaya pembangunan sarana dan prasarana; (d) sulit dalam pengawasan dan pengamanannya; (e) cenderung menjadi tempat kegiatan penyelundupan, pembuangan limbah dan penambangan pasir serta penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan; dan (f) kerusakan lingkungan cenderung meningkat.
Mengatasi permasalahan permukiman tersebut, Pemerintah Kota Batam menetapkan kebijakan pengembangan rusunawa sesuai dengan arahan kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan-kebijakan tersebut, antara lain:
• pengembangan permukiman pada kawasan industri dan ruli dengan pola rusunawa (Permenpera No. 14/Permen/M/2006 tentang Penyelenggaraan Kawasan Khusus);
• pengembangan kawasan permukiman perbatasan (hinterland) dengan upaya peningkatan kualitas lingkungan perumahan (Permenpera Nomor 17/Permen/M/2006 tentang Juklak Pengembangan Kawasan Perbatasan).
Latar belakang kebijakan tersebut disebabkan Kota Batam sebagai pusat pertumbuhan industri yang cukup pesat, menyebabkan sebagian masyarakat yang bekerja baik di sektor formal maupun informal membutuhkan perumahan sebagai tempat tinggal. Badan Pusat Statistik tahun 2007 memuat tentang jumlah tenaga kerja sektor industri sekitar 36% dari jumlah penduduk Kota Batam, sementara lahan yang tersedia untuk perumahan dan permukiman terbatas. Kelangkaan ini
74
menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di pusat kota, sehingga mendorong masyarakat menengah bawah tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Masyarakat sebagian besar tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat aktivitas ekonomi, sehingga menyebabkan ketidakteraturan tata ruang kota dan menumbuhkan kawasan kumuh baru atau kawasan rumah bermasalah/ruli.
Masyarakat berpenghasilan menengah kebawah dapat dekat dengan pusat aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di pusat kota batam, maka direncanakan suatu pembangunan hunian secara vertikal berupa rumah susun (rusun). Pembangunan rusun di pusat aktivitas ekonomi tepatnya kegiatan industri yang tersebar di berbagai wilayah Kota Batam, dengan intensitas bangunan tinggi, diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan dan penyediaan PSU yang lebih efisien dan efektif.
Peningkatan kualitas lingkungan perumahan perbatasan dan hinterland dilakukan untuk mengatasi: (a) kondisi lingkungan tidak tertata, kumuh dan tidak dikelola dengan baik; (b) aksesibilitas rendah ke kawasan permukiman atau terisolir karena terletak di perbatasan dan pulau kecil terluar; (c) masyarakatnya miskin dan belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri; (d) rawannya penyelundupan dan pencurian (illegal fishing).
Tujuan pembangunan rusunawa sendiri adalah untuk: (a) mempercepat upaya penyediaan rumah layak dan terjangkau bagi MBR; (b) dalam lingkungan yang lebih sehat dan tertata dengan baik; (c) meningkatkan kualitas perumahan permukiman; (d) mengefisienkan pemanfaatan tanah dengan menciptakan lebih banyak ruang terbuka hijau (faktor ekologis dlm meningkatkan keserasian kawasan); (e) mengentaskan kawasan kumuh/ruli di perkotaan (Batam) yang merupakan salah satu upaya mewujudkan millenium developments goals yang menargetkan berkurangnya 50% kawasan kumuh pada tahun 2015 di seluruh dunia (bagian dari RPJM Nasional); dan (f) menawarkan lokasi yang tetap dekat dengan sumber pekerjaan (mengurai kemacetan).
Pengembangan rumah susun sederhana di Batam hingga akhir tahun 2009 berada pada beberapa kawasan industri, seperti: Muka Kuning, Tanjung Uncang,
75
Sekupang, Batu Ampar, Batam Center, Tanjung Piayu dan Kabil. Lokasi yang telah dan dalam pelaksanaan pembangunan rumah susun sesuai Laporan Kegiatan Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa / Milik Tahun 2009 (Dinas Tata Kota, 2009). Pengembangan rusunawa dan rusunami hingga tahun 2009 disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Pengembangan rusunawa dan rusunami hingga tahun 2009
Lokasi Sumber Dana
Jml Twin
Blok
Tipe
Hunian Tahun
Tanjung Piayu
Perumnas 4 Tipe 21 2001 s/d 2002 Batu Ampar Jamsostek 6 Tipe 21 2001 s/d 2003
Batu Ampar OB 4 Tipe 21 2003 s/d 2004
Sekupang OB 4 Tipe 21 2004 s/d 2006
Tipe 36
Muka Kuning OB 9 Tipe 21 2004 s/d 2004
Muka Kuning Kimpraswil/Pemko 2 Tipe 27 2004 s/d 2005 Muka Kuning Menpera 3 Tipe 27 2007 s/d 2009 Tanjung
Piayu Menpera 1 Tipe 21 2007 s/d 2009
Muka Kuning Dept. PU 2 Tipe 24 2008 s/d 2009 Muka Kuning Jamsostek 1 Tipe 24 2008 s/d 2009 Sekupang Dept. PU 4 Tipe 24 2008 s/d 2009 Batam Centre REI 2 Tipe 21 2008 s/d 2009
Tipe 36
Tg. Uncang Pemko 2 Tipe 27 2009
Tg. Uncang Menpera 2 Tipe 27 2009
Kabil Menpera 2 Tipe 27 2009
76
Pengembangan rusunawa dan rusunami pada tahun 2009 ditampilkan pada Tabel 20
Tabel 20 Pengembangan rusunawa dan rusunami tahun 2009
No Lokasi Pengembang / Pelaksana
Luas Lahan
(m2)
Twinblok
Lt Typ e
Jml Unit Ren
cana
Real isasi 1 Sekupang I
PT. Persada Rumata Kreasindo JO (Dirjen Cipta Karya DPU)
6.180,43 2 2 5 24 192
2 Sekupang Ii
PT. Lima Jabat Victory (Dirjen Cipta Karya DPU)
6.239,91 2 2 5 24 192
3 Muka Kuning
PT. Lima Jabat (Dirjen Cipta Karya Dept. PU)
6.051,31 2 2 5 24 192
4 Muka Kuning
PT. Mextron Eka Persada
(Kemenpera)
3.025,66 2 2 5 27 160
5 Muka Kuning
PT. Jonathan Hasiolan Simanjuntak (Jamsostek)
2.984,79 2 1 4 27 96
6 Kabil
Jamsostek 100.000 20 7 5 - 800
Otorita Batam
21.590
2 1 4 24 160
PT. Mextron Eka Persada (Menpera RI)
2 2 5 27 160
7 Tanjung Uncang
PT. Lima Jabat (Menpera)
36.000 9
2 5 27 160
PT. Jonathan Hasiolan
Simanjuntak (Pemko Batam)
2 5 27 160
8
Batam Centre Park
(Rusunami)
PT. Dimas Pratama Indah (Tower A dan Tower C)
140.000 34 2 5 21 &
30
5.0 04
Sumber: Dinas Tata Kota Batam, 2009
Langkah lain yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam adalah dengan melakukan pengembangan perumahan kawasan perbatasan (hiterland). Kebijakan ini bertujuan untuk:
77
• meningkatkan perbaikan perumahan dan permukiman dengan program perbaikan kawasan permukiman perdesaan/pesisir;
• mengembangkan kawasan dan lingkungan permukiman pedesaan dan hinterland;
• meningkatkan pembangunan infrastruktur wilayah hinterland/pesisir.
• meningkatkan pembinaan terhadap masyarakat di lingkungan permukiman nelayan.
Dukungan Pemerintah Kota Batam dalam pembangunan kawasan pesisir/hinterland dilakukan dengan melaksanakan berbagai program pembangunan, antara lain:
• melakukan program perbaikan perumahan dan permukiman rumah suku laut;
• melakukan program pembangunan dan peningkatkan pelantar;
• melakukan program perbaikan lingkungan desa pantai dengan pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya di lingkungan perumahan permukiman kawasan hinterland;
• melakukan pemberdayaan masyarakat dengan program percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan
Pemerintah Kota Batam juga memberikan bantuan stimulan pengembangan perumahan swadaya (BSP2S) dan peningkatan kualitas perumahan (PKP) dalam pelaksanaan tahun anggaran 2009, yaitu:
• BSP2S Lokasi kegiatan di Kecamatan Nongsa dan Kecamatan Sekupang sebanyak 50 unit MBR;
• PKP Lokasi kegiatan di Pulau Temoyong 50 MBR, Pulau Selat Nenek 30 MBR, Pulau Aweng 20 MBR.
Analisis kebutuhan tempat tinggal bagi tenaga kerja lokal, baik yang belum berkeluarga, maupun yang sudah berkeluarga, dapat dihitung jumlah twinblok yang harus tersedia. Hasil analisis kebutuhan ini dilakukan dengan berbagai asumsi, sehingga diperoleh kebutuhan pengembangan rusunawa di Kota Batam sebanyak 756 unit. Analisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kota Batam disajikan pada Tabel 21.
78
Tabel 21 Analisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kota Batam (Dinas Tata Kota Batam, 2009)
Asumsi Jumlah Satuan
Jumlah tenaga kerja lokal (WNI) di batam tahun 2000 155.591 orang Jumlah tenaga kerja lokal (WNI) di batam tahun 2006 252.667 orang Prosentase pertumbuhan tenaga kerja lokal (WNI) di Batam 155.591 orang Diperkirakan jumlah tenaga kerja lokal (WNI) th. 2011 384.036 orang Yang belum memiliki tempat tinggal sendiri termasuk penghuni rumah
liar (ruli) (diperkirakan 30 %) 115.211 orang Asumsi 40 % TKI sudah berkeluarga 46.084 orang Jumlah unit rusunawa yang dibutuhkan (1 kk untuk 1 unit sasaran) 46.084 unit Sehingga jumlah unit twinblok rusunawa T27 yang dibutuhkan 576 unit Asumsi 60% tki belum berkeluarga 69.126 unit Jumlah unit rusunawa yang dibutuhkan (4 orang untuk 1 unit sasaran) 17.282 unit Sehingga jumlah unit twinblok rusunawa T21 yang dibutuhkan 180 unit Jadi jumlah unit twinblok yang dibutuhkan dibutuhkan 756 unit
4.3. Pembangunan Fisik Rusunawa 4.3.1 Metoda Pelaksanaan
Pembangunan fisik rusunawa di Indonesia pada umumnya dilakukan menggunakan konstruksi beton, karena selain dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknologi sederhana, sumber daya manusia juga tersedia, bahan- bahan pembuat beton juga mudah didapat. Beton merupakan fungsi dari bahan penyusunnya, yang terdiri dari bahan semen, agregat (kasar dan halus) beserta air.
Beton dapat dibentuk sesuai dengan tuntutan konstruksi sesuai fungsinya.
Komponen konstruksi utama pembangunan rusunawa adalah pondasi, kolom, balok, lantai, dinding dan atap. Pelaksanaan fisik pembangunan rusunawa dapat dilakukan melalui beberapa metoda pelaksanaan konstruksi beton, yaitu: (a) beton konvensional; (b) beton pracetak sebagian atau semi precast; dan (c) beton pracetak seluruhnya atau full precast.
79
a. Beton Konvensional
Pada pembentukan beton secara konvensional diperlukan cetakan atau bekesting yang biasanya terbuat dari kayu, untuk penyesuaian bentuk struktur sesuai fungsinya. Beton ini dicetak di tempat beton tersebut diperlukan, sehingga apabila fungsinya sebagai pelat lantai, balok ataupun kolom, maka beton tersebut dikerjakan/dicetak pada lantai, balok atau kolom tersebut sesuai dengan peruntukannya (on site assembly). Misalnya apabila hendak membuat pelat lantai 5, maka beton untuk pelat tersebut harus dicetak/dicor di lantai 5 juga dengan menggunakan cetakan atau bekisting. Selain itu oleh karena saat beton dicetak tidak bisa langsung mengeras dan berfungsi memikul bebannya sendiri, maka dibutuhkan konstruksi penyangga beton tersebut sampai betul-betul mengeras dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bekisting dan penyangga biasanya terbuat dari kayu dan sebagian dari besi. Mengingat pelaksanaan pembuatan beton ini pada ketinggian tertentu, maka akan berakibat kesempurnaan kualitas beton sangat tergantung dari kondisi para tukang yang bekerja pada ketinggian. Namun demikian kualitas beton yang didesain dengan sistem ini, sudah menggunakan tingkat keamanan maksimal sesuai ketentuan. Hal ini berakibat penambahan dimensi beton dan atau besi beton yang pada gilirannya menambah kebutuhan bahan bangunan. Pada alternatif ini komponen utama pembangunan rusunawa yang menggunakan beton konvensional adalah pondasi, kolom, balok dan lantai, sedangkan dinding menggunakan pasangan bata.
b. Beton Pracetak Sebagian (Semi Precast)
Beton pracetak adalah teknologi konstruksi struktur beton dengan komponen-komponen penyusun yang dicetak terlebih dahulu pada suatu tempat khusus (off-site fabrication), terkadang komponen-komponen tersebut disusun dan disatukan terlebih dahulu (pre-assembly), dan selanjutnya dipasang di lokasi (installation) (Ervianto, 2006). Konstruksi beton berupa kolom, balok dan lantai dicetak terlebih dahulu di bawah, selanjutnya dirangkai di tempat yang sesuai dengan kebutuhan perencanaan. Misalnya balok dan kolom tersebut dibutuhkan di lantai 4, maka dengan bantuan alat berat (crane), balok dan kolom tersebut
80
dirangkai dan disambung di lantai 4. Pada aspek perencanaan tergantung atau ditentukan oleh metoda pelaksanaan dari fabrikasi, penyatuan dan pemasangannya, serta ditentukan pula oleh teknis perilaku sistem pracetak dalam hal cara penyambungan antar komponen (joint). Beberapa prinsip beton pracetak tersebut dipercaya dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan beton konvensional antara lain terkait dengan pengurangan waktu dan biaya, serta peningkatan jaminan kualitas, predictability, keandalan, produktivitas, kesehatan, keselamatan, lingkungan, koordinasi, inovasi, reusability, serta relocatability (Gibb, 1999). Karena beton ini dicetak di bawah, maka pengawasan dapat dilaksanakan secara maksimal, sehingga mutu beton yang dihasilkan juga meningkat. Peningkatan mutu beton untuk suatu konstruksi, dapat mengurangi dimensi beton dan atau besi beton, bila dibandingkan dengan mutu beton yang lebih rendah pada cara konvensional. Hal ini akan mengurangi volume bahan beton, seperti semen, pasir, kerikil sampai besi. Pada alternatif ini, komponen utama konstruksi yang menggunakan beton pracetak meliputi pondasi, kolom, balok dan lantai, sedangkan dinding masih menggunakan pasangan bata yang diplester, sehingga disebut semi precast.
c. Beton Pracetak Seluruhnya (Precast)
Dalam metoda ini, semua komponen utama konstruksi menggunakan beton pracetak, mulai dari pondasi, kolom, balok, lantai sampai dinding.
4.3.2 Sistem Pracetak Beton yang Digunakan
Pembangunan Rusunawa di Kota Batam yang menjadi objek penelitian menggunakan sistem pracetak dari JHS. PT. JHS Precast Concrete Indonesia (JHS-PCI) adalah perusahaan kontraktor beton pracetak nasional yang didirikan pada tahun 1996 berkedudukan di Jakarta. Struktur beton pracetak sistem JHS ditemukan oleh Johan Hasiholan Simanjuntak pada tahun 1982, dan terus dikembangkan sampai saat ini. Beliau memiliki minat yang tinggi serta upaya yang gigih dalam penelitian dan pengembangan beton di Indonesia. Beberapa temuannya telah dipatenkan di Inggris dan Amerika. Salah satu yang temuan
81
beliau telah mendapat pengakuan dari United State Patent adalah sistem sambungan konstruksi beton pracetak dengan nama: System For Joining Precast Concrete Columns And Slabs, dengan patent number 5,809,712, date of patent:
Sep. 22, (Gambar 15).
Gambar 15 Sistem sambungan konstruksi beton pracetak.
Sistem ini berupa panel-panel lantai (slab) dengan tiang (column) dengan menggunakan tulangan seminimal mungkin sesuai perhitungan struktur yang disambungkan dengan pipa quarter baja yang di angker vertikal dan horizontal dengan baja prategang. Beberapa keunggulan sistem ini adalah:
a. Efisiensi struktural terbaik (+/- 30%)
• Sistem lantai grid prategang satu arah yang efisien
• Tanpa balok
b. Kecepatan pelaksanaan struktur tercepat (+/- 40%)
• Pengecoran di tempat sangat sedikit
• Hanya ada dua komponen c. Fleksibel dalam tata ruang :
• Sistem rangka terbuka : dinding fleksibel
• Dimensi komponen mudah untuk dimodifikasi
• Mudah mengikuti desain konvensional, termasuk balok-balok anak
82
Dalam penelitian dan perkembangannya, sistem sudah berhasil dimodifikasi menjadi lebih baik dengan menggabungkan unsur balok (beam), sehingga menjadi sistem column, beam and slab (Gambar 16).
Gambar 16 Sistem column, beam and slab.
4.3.3 Kebutuhan Bahan Bangunan
Pembangunan rusunawa membutuhkan banyak sumberdaya alam sebagai bahan baku konstruksi. Pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat berdampak terhadap kerusakan alam. Bangunan rusunawa terbuat dari konstruksi beton, yang dalam pengerjaannya dapat dilakukan melalui 3 alternatif pelaksanaan konstruksi, yaitu secara konvensional, semi pracetak dan pracetak. Gambar utama pelaksanaan pembangunan rusunawa dalam penelitian ini sama, sehingga walaupun dilaksanakan dengan metoda berbeda, luasan lantai, ketinggian dan bentuk bangunan sama.
Bahan bangunan yang digunakan antara lain terdiri dari semen, bata merah, batu pecah, pasir, keramik, besi beton, besi biasa, baja ringan, alumunium, kaca, kayu panel pintu, dan air. Bahan baku yang digunakan sebagai bahan pendukung pembangunan terdiri dari kayu penyangga, kayu cetakan, besi cetakan, besi penyangga (scaffolding) dan oli cetakan. Penelitian dimulai dengan menghitung kebutuhan bahan bangunan masing-masing alternatif (Tabel 22).
83
Metoda konvensional mempunyai kualitas beton lebih rendah, sehingga membutuhkan dimensi komponen konstruksi lebih besar untuk memikul beban yang sama bila dibandingkan dengan beton pracetak. Karena dimensi lebih besar maka volume kebutuhan bahan bangunan juga lebih banyak. Kebutuhan bahan bangunan untuk metoda konvensional dihitung berdasarkan gambar dan volume yang ada dalam dokumen tender yang menggunakan metoda konvensional. Para kontraktor mengajukan penawaran sesuai dengan metoda beton pracetak masing- masing yang diusulkan.
Tabel 22 Kebutuhan bahan bangunan masing-masing alternatif, dengan luas lantai, ketinggian dan bentuk bangunan sama
No Komponen Utama Konvensional Semi Pracetak Pracetak 1 Semen 488 ton 499 ton 617 ton 2 Pasir 3.483 m3 3.354 m3 687 m3 3 Batu pecah 339 m3 398 m3 642 m3 4 Besi tulangan beton 180 ton 77 ton 122 ton 5 Cetakan kayu 41 m3 baja 7,9 ton baja 9,2 ton 6 Perancah kayu 562 m3 baja 7,8 ton baja 7,8 ton 7 Bata merah 413.216 buah 413.216 buah - 8 Tenaga terampil 20 org 30 org 40 org 9 Tenaga tdk terampil 80 org 45 org 15 0rg 10 Biaya (Rp x 1 milyar) 13,657 11,500 11,434 11 Ketinggian bangunan /luas lantai 4 lt/4.600 m2 4 lt/4.600 m2 4 lt/4.600 m2 12 Jangka waktu pelaksanaan (bln) 8 6 5 13 Kebutuhan energi (KWh) 1.253.774 806.981 1.008.199
*) Teknologi Pracetak yang digunakan adalah JHS System
Metoda semi pracetak mempunyai mutu beton lebih tinggi dari metoda konvensional, sehingga dimensi dan kebutuhan bahan beton bisa diperkecil untuk memikul beban yang sama, khususnya kebutuhan besi tulangan dan kayu berkurang secara signifikan. Biaya pembangunan rusunawa dengan metoda precast lebih murah bila dibandingkan dengan metoda konvensional, karena selain berkurangnya penggunaan bahan bangunan, juga dalam pelaksanaan dilakukan dengan semi mekanisasi melalui penggunaan crane, untuk mengangkat bagian-bagian konstruksi ke semua lantai sesuai peruntukan. Penggunaan tenaga
84
kerja terlatih dalam metoda precast lebih banyak bila dibandingkan dengan metoda konvensional, namun sebaliknya penggunaan tenaga kerja secara keseluruhan lebih banyak dalam metoda konvensional.
Selain penggunan bahan bangunan lebih efisien, kelebihan lain dari penggunaan beton semi pracetak dan pracetak adalah dalam pembiayaan yang berkurang secara cukup signifikan dan kecepatan pelaksanaan pembangunan.
(Sijabat & Nurjaman, 2007). Hal ini sesuai dengan pernyataan Gibb (1999) yang mengemukakan bahwa beberapa prinsip beton pracetak tersebut dipercaya dapat memberikan manfaat lebih dibandingkan beton monolit antara lain terkait dengan pengurangan waktu dan biaya, serta peningkatan jaminan kualitas, predicability, serta relocability.
4.4. Analisis LCA
4.4.1 Bahan Baku Pembangunan Rusunawa
Kebutuhan bahan baku pembangunan fisik rusunawa untuk masing-masing alternatif disajikan dalam Tabel 22. Satuan bahan bangunan bermacam-macam, kalau semen biasa dalam zak, seng dan multipleks dalam lembar, bahan galian alam seperti pasir, kerikil dan batu pecah dalam m3. Selain itu kayu panel pintu, kaca dan keramik biasa di ukur dalam satuan m2, sedangkan besi beton dan besi cetakan diukur dalam satuan berat. Beraneka ragam satuan tersebut perlu diseragamkan dalam bentuk satuan berat sebagaimana disajikan dalam Tabel 23.
Diagram pohon (tree diagram) dari masing alternatif dibuat terlebih dahulu, yang memuat jenis-jenis bahan bangunan yang diperlukan dalam suatu alternatif yang diusulkan. Diagram pohon beton konvensional terdiri dari hampir keseluruhan material bahan bangunan yang tertera dalam Tabel 22. Diagram pohon beton semi pracetak memuat jenis bahan bangunan lebih sedikit, khususnya penggunaan kayu, dan diagram pohon beton pracetak memuat jenis bahan bangunan lebih sedikit dengan tanpa menggunakan batu bata. Berat masing- masing bahan bangunan sesuai alternatif diolah dengan software simaPro 5, untuk menganalisa faktor pembentuk dan penyusun masing-masing bahan bangunan.
Tabel 23 Perbandingan kebutuhan bahan pembangunan rusunawa berdasarkan volume dan harga
Kebutuhan Bahan Bangunan
No. Uraian Satuan Berat Volume Konvensional Volume Semi Precast Volume Precast
Jenis Isi Berat (kg) Isi (Berat Kg) Isi (Berat Kg)
1 Semen (PC) zak 9.764 488.220 9.982 499.106 12.352 617.599
2 Batu pecah m3 1,45 339 491.819 398 576.464 642 931.511
3 Pasir m3 1,40 3.483 4.875.983 3.354 4.695.333 687 961.505
4 Air ltr 1,00 188.814 188.814 174.447 174.447 233.784 233.784
5 Besi beton kg 180.234 77.771 122.753
7 Besi biasa kg 92 92 92
8 Baja ringan (atap) kg 16.163 16.163 16.163
9 Baja scafolding kg 7.836 7.836
10 Baja cetakan kg 7.900 9.200
11 Oli Cetakan ltr
12 Aluminium kg 2.316 2.316 2.316
13 Kaca tebal 5 mm m2 1,289 339 2.186 339 2.186 339 2.186
14 Kayu penyangga m3 1,02 562 573.219 10 10.574 10 10.574
15 Kayu cetakan Multiplex Lembar 1,10 1.547 45.579 81 2.395 81 2.395
ukuran 1,22 x 2,44 x 0,009 m
16 Kayu panel pintu tebal 10 mm m2 1,10 536 5.896 536 5.896 536 5.896
17 Bata merah buah 1,096 413.216 452.884 413.216 452.884
1,096 kg/buah
18 Keramik & Sanitair m2 14,80 4.337 64.186 4.337 64.186 4.337 64.186
(14,8 kg/m2)
Biaya (Rp x 1 jt) 13.657 11.500 11.434
Tenaga Kerja (OH) : 100 75 55
Terampil org 20 30 40
Kurang terampil org 80 45 15
85
86
4.4.2 LCA Beton Konvensional
Diagram pohon menggambarkan berbagai bahan yang digunakan dan bahan pendukung dalam membangun rumah susun yang menggunakan beton konvensional (Gambar 17). Selain itu digambarkan juga berbagai bahan penyusun turunannya beserta proses pembentukannya (daur hidup atau life cycle) yang bisa berdampak terhadap lingkungan.
Secara umum, terlihat bahwa pada layer pertama bahan dasar penyusun rusun dengan beton konvensional yang berdampak pada lingkungan adalah batu pecah, pasir, semen, bata merah, keramik dan sanitari, besi beton, besi biasa, baja ringan, alumunium, kaca, kayu penyangga, kayu cetakan, kayu panel pintu, oli bekisting, dan penggunaan truk. Diagram pohon menunjukkan bahwa baja ringan merupakan bahan yang memiliki tahapan proses daur hidup (life cycle) paling panjang. Bahan yang memiliki tahapan proses daur hidup paling pendek adalah pasir dan bata merah. Diagram ini juga menunjukkan bahwa besi beton (Gambar 18) semen (Gambar 19) dan kayu penyangga (Gambar 20) merupakan elemen terbesar yang berdampak terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan proses pembuatan ketiganya memerlukan energi yang cukup tinggi dalam berbagai tahapan proses.
Analisis single score (skor tunggal) menunjukkan secara lebih rinci kontribusi setiap elemen terhadap dampak lingkungan yang diakibatkannya. Dampak terhadap lingkungan yang dikaji adalah: (1) pemanasan global (global warming);
(2) deplesi ozon (ozone depletion); (3) pengasaman (acidification); (4) etrofikasi (eutrophication); (5) kabut fotokimia (photochemical smog); (6) kandungan racun lingkungan perairan kronis (ecotoxicity water chronic); (7) kandungan racun lingkungan perairan akut (ecotoxicity water acute); (8) kandungan racun lingkungan tanah kronis (ecotoxicity soil chronic); (9) kandungan racun udara bagi manusia (human toxicity air); (10) kandungan racun perairan bagi manusia (human toxicity water); (11) kandungan racun tanah bagi manusia (human toxicity soil); (12) limbah terbuang (bulk waste); (13) limbah berbahaya (hazardous waste); (14) limbah radioaktif (radioactive waste); (15) sisa ampas/abu (slag/ashes); (16) sumber daya (resources, all).
PR Konvensional
Truck 16t B250
Heat diesel B250 Air untuk
Beton
Water for PUR A Oil Bekesting
Residual oil stock CH T Keramik &
Sanitair
Electricity UCPTE High Voltage Ceramics I
Truck I Bulk carrier I Natural gas I Bata Merah
Electricity UCPTE High Voltage Gravel from pit ETH T Kayu Panel
Pintu
Electricity UCPTE High Voltage Mengkulang I
Bulk carrier I Trailer I Chain sawing
I
Crude oil I Petrol I Energy oil I Energy Asia I Energy Asia I Kayu Cetakan
Electricity UCPTE High Voltage Mahogani,
African I
Bulk carrier I Trailer I Powerplant oil
I Electricity Netherlands ETH I Energy oil I Chain sawing
I
Crude oil I Petrol I Kayu Penyangga
Electricity UCPTE High Voltage Meranti I
Bulk carrier I Trailer I Powerplant oil
I Electricity Netherlands ETH I Energy oil I Chain sawing
I
Crude oil I Petrol I Kaca
Electricity UCPTE High Voltage Glass (virgin)
Glass (green) B250 Glass (white)
B250 Aluminium
Electricity UCPTE High Voltage Aluminium 0%
recycled ETH T Besi Biasa
Electricity UCPTE High Voltage Iron
Crude coal bj
Diesel engine truck B Oxygen bj
Electricity UCPTE High Voltage Lime stone bj Sinter, pellet
Coke S
Furnace gas B
Natural gas B Electricity UCPTE High Voltage Crude coal B Iron ore
Diesel engine truck B Baja Ringan
Electricity UCPTE High Voltage Steel sheet 20% rec. bj
Electricity UCPTE High Voltage Steel bj
Furnace coal B
Crude coal B Oxygen bj
Electricity UCPTE High Voltage Lime stone bj Iron
Crude coal bj
Diesel engine truck B Oxygen bj
Electricity UCPTE High Voltage Lime stone bj Sinter, pellet
Coke S
Furnace gas B
Natural gas B Electricity UCPTE High Voltage Crude coal B Iron ore
Diesel engine truck B
Pasir
Electricity UCPTE High Voltage Sand ETH T Besi Beton
Electricity UCPTE High Voltage GG35 I
Silicon I Manganese I Scrap (iron) I
Barge I Trailer I Crude iron I
Train I Train I Bulk carrier I Bulk carrier I Train I Bulk carrier I Bulk carrier I Bulk carrier I Energy Australia I Scrap (iron) I
Barge I Trailer I
Semen
Electricity UCPTE High Voltage Cement Portland
Electricity Holland B Portland clinker
Electricity Holland B Batu Pecah
Electricity UCPTE High Voltage Gravel I
Barge I Electricity Netherlands ETH I
Semen
Electricity UCPTE High
Voltage Cement
Portland
Besi Beton
Electricity UCPTE High
Voltage GG35 I
Gambar 17 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup beton konvensional.
87
Gambar 18 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup semen.
Gambar 19 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup besi beton
89
Gambar 20 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup kayu penyangga.
Hasil analisis diagram pohon menunjukkan besi beton dan semen sebagai elemen yang paling banyak memberikan dampak terhadap lingkungan, sebagaimana dalam hasil analisis skor tunggal (Gambar 21). Hasil analisis skor tunggal menunjukkan bahwa besi beton merupakan elemen yang bisa memberikan dampak paling besar (8,19 kPt), disusul oleh semen (4.55 kPt). Elemen yang memberikan dampak paling kecil adalah air untuk beton (3,93 x 10-7 kPt) dan penggunaan truk (1,66 x 10-5 kPt). Hampir seluruh elemen berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan (impact categories), yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis; (2) kandungan racun lingkungan perairan akut; (3) kandungan racun lingkungan tanah kronis.
90
Gambar 21 Hasil analisis single score beton konvensional.
Adanya kandungan racun di lingkungan perairan dan tanah akibat penggunaan bahan bangunan, sangat mungkin terjadi karena menurut Soemarwoto (1990); Davis dan Cornwell (1991) serta Connell dan Miller (1995) bahwa pada saat bahan pencemar yang dihasilkan dari aktivitas manusia dibuang ke lingkungan, akan menyebabkan perubahan yang buruk terhadap ekosistem penerimanya, apabila laju produksi suatu zat melebihi laju pembuangan atau penggunaan zat tersebut. Dalam kondisi tersebut bahan-bahan pencemar akan menjadi racun bagi mahluk hidup yang ada di dalamnya (Klaassen et al. 1986).
Hal ini sesuai dengan hasil analisis yang memperlihatkan bahwa hampir seluruh elemen berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan yakni kandungan racun lingkungan perairan kronis; kandungan racun lingkungan perairan akut; dan kandungan racun lingkungan tanah kronis.
Hasil rincian single score ini disajikan dalam Tabel 24 yang menunjukkan besarnya skor setiap komponen terhadap setiap jenis dampak. Kontributor proses yang memberikan dampak paling besar terhadap setiap kategori adalah penggunaan besi beton, semen, dan bata merah.
Tabel 24 Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional
No Kategori
Dampak Satuan Batu
Pecah Semen Besi
Beton Pasir Baja Ringan
Baja Biasa
Alumu
nium Kaca Kayu Penyangga
Kayu Cetak
Kayu Panel
Bata Merah
Keramik
&
Sanitari Oli Bekesting
Air untuk Beton
Truk Total 1 Global
Warming (GWP 100)
Pt 1,420 210,000 224,000 5,170 17,300 0,089 14,800 1,350 124,000 9,070 0,849 42,500 32,600 0,195 0,000 0,001 683,344 2 Ozone
Depletion Pt 0,063 8,380 15,200 2,000 1,050 0,005 1,840 0,157 0,743 0,159 0,010 3,090 2,200 0,626 0,000 35,524 3 Acidification Pt 0,825 74,100 100,000 1,970 7,220 0,037 6,180 0,588 137,000 8,440 0,723 18,400 13,800 0,087 0,001 369,370 4 Eutrophication Pt 0,340 21,100 20,700 0,723 1,510 0,008 1,140 0,107 43,000 2,540 0,240 3,550 2,760 0,031 0,000 97,749 5 Photochemical
Smog Pt 0,029 2,110 5,210 0,138 1,080 0,004 0,191 0,020 6,690 0,478 0,047 0,548 0,477 0,017 0,000 17,039 6 Ecotoxicity
Water Chronic Pt 11,400 1.400,000 2.540,000 109,000 174,000 0,862 188,000 12,600 179,000 30,500 1,790 510,000 366,000 28,100 0,000 5.551,252 7 Ecotoxicity
Water Acute Pt 10,600 1.300,000 2.370,000 104,000 163,000 0,806 176,000 11,600 157,000 27,900 1,610 477,000 342,000 27,300 0,000 5.168,816 8 Ecotoxicity
Soil Chronic Pt 7,920 1.060,000 1.940,000 23,500 133,000 0,658 122,000 9,370 139,000 22,900 1,710 389,000 280,000 0,423 0,000 4.129,481 9 Human
Toxicity Air Pt 0,230 22,300 57,700 1,620 4,780 0,027 2,910 3,940 32,100 2,320 0,232 8,100 6,150 0,140 0,001 142,549 10 Human
Toxicity Water
Pt 1,100 127,000 254,000 3,690 16,300 0,081 18,700 1,510 24,600 3,270 0,192 46,500 33,400 0,124 0,000 530,467 11 Human
Toxicity Soil Pt 2,570 260,000 518,000 21,900 48,700 0,269 37,900 2,950 454,000 32,000 3,560 95,300 68,400 5,850 0,014 1.551,413 12 Bulk Waste Pt 0,589 61,700 112,000 0,932 7,700 0,038 5,370 0,682 11,100 1,590 0,078 22,500 17,100 0,000 241,379 13 Hazardous
Waste Pt -
14 Radioactive
Waste Pt -
15 Slag/Ashes Pt 0,006 44,600 0,218 0,002 44,826
Total Pt 37,092 4.546,690 8.201,410 274,643 575,640 2,883 575,031 44,874 1.308,451 141,167 11,041 1.616,488 1.164,889 62,894 0,000 0,017 18.563,210
91
Gambar 22 Besarnya dampak penggunaan besi beton pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt).
Gambar 23 Besarnya dampak penggunaan semen pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt).
93
Gambar 24 Besarnya dampak penggunaan bata merah pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt).
Tabel 25 menunjukkan bahwa kandungan racun lingkungan perairan dan tanah kronis berasal dari proses pembuatan besi beton dan semen. Sementara kandungan racun lingkungan perairan akut berasal dari kontributor proses besi beton dan almunium. Dampak terbesar pada kandungan racun lingkungan perairan kronis disebabkan kontributor proses besi beton (2.540 pt) dan semen (1.400 pt).
Adanya racun lingkungan perairan dan tanah kronis diduga karena dari proses pembuatan besi beton dihasilkan logam berat. Menurut Bryan (1976) ada 18 unsur logam yang dipertimbangkan ada kaitannya dengan masalah pencemaran air dan tanah yakni aluminium, antimon, arsen, kadmium, krom, kobalt, tembaga, besi, timbal, mangan, merkuri, molibdenum, nikel, selenium, perak, timah putih, vanadium dan seng. Namun beberapa di antara unsur-unsur logam tersebut, ada unsure logam yang merupakan unsur yang esensial bagi kehidupan organisme.
Sebagai contoh Cu yang merupakan unsur-unsur esensial bagi kehidupan organisme, dalam jumlah berlebih akan bersifat racun dan biasanya akan menghambat kerja enzim karena logam tersebut akan berikatan dengan kelompok sulfhidril yang bertanggung jawab pada aktivitas katalitik (Horng, 2009).
94
Tabel 25 Kontributor utama untuk kategori dampak beton konvensional No Kategori Dampak
Lingkungan Kontributor Proses Skor(Pt) 1 Kandungan racun lingkungan
perairan kronis
besi beton 2.540
Semen 1.400
2 Kandungan racun lingkungan perairan akut
besi beton 2.370
Aluminium 188
3 Kandungan racun lingkungan tanah kronis
besi beton 1.940
Semen 1.060
Hasil pembobotan (weighting) menunjukkan bahwa dampak terbesar berupa kandungan racun lingkungan perairan kronis sebesar 5,55 kPt, disusul oleh kandungan racun lingkungan perairan akut sebesar 5,17 kPt, dan kandungan racun lingkungan tanah kronis sebesar 4,13 kPt (Gambar 25). Dampak yang cukup menonjol lainnya adalah kandungan racun tanah bagi manusia (1,56 kPt) dan pemanasan global (0,683 kPt). Selain besi beton dan semen, kontributor proses yang cukup menonjol lainnya adalah bata merah, serta keramik dan sanitari.
Gambar 25 Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton konvensional.
Selain analisis di atas, bisa juga dilakukan karakterisasi (Gambar 26) dan normalisasi (Gambar 27) terhadap semua jenis dampak. Hasilnya menunjukkan hal yang sejalan dan mendukung hasil analisis sebelumnya. Hasil yang cukup menarik dari hasil karakterisasi adalah munculnya kayu penyangga sebagai salah satu kontributor proses yang cukup berpengaruh terhadap dampak lingkungan,
95
setelah besi beton dan semen. Hasil karakterisasi juga menunjukkan bahwa semua kontributor proses tidak berpotensi menimbulkan limbah radioaktif. Hal ini diduga karena pada semua bahan baku kontributor tidak terdapat unsur radioaktif di dalamnya.
Gambar 26 Hasil karakterisasi setiap kontributor proses beton konvensional.
Hasil rincian karakterisasi ini disajikan dalam Tabel 25 yang menunjukkan besarnya hasil karakterisasi setiap komponen terhadap setiap jenis kategori dampak.
Gambar 27 Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak lingkungan menggunakan beton konvensional.
Hasil rincian normalisasi ini disajikan dalam Tabel 26 yang menunjukkan besarnya hasil normalisasi setiap komponen terhadap setiap jenis kategori dampak.
Tabel 26 Hasil karakterisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional
No Kategori
Dampak Satuan Batu
Pecah Semen Besi
Beton Pasir Baja Ringan
Besi
Biasa Aluminium Kaca Kayu
Penyangga
Kayu Cetak
Kayu Panel
Bata Merah
Keramik
&
Sanitari Oil Bekestin
Air Untuk
Besi
Truck 16t B 1
Global Warming (GWP 100)
g CO2 9.48E+06 1.40E+09 1.50E+09 3.46E+07 1.16E+08 5.94E+05 9.89E+07 9.00E+06 8.27E+08 6.06E+07 5.68E+06 2.84E+08 2.18E+08 1.30E+06 1.76E+03 3.65E+03
2 Ozone
Depletion g CFC 5.55E-01 7.36E+01 1.34E+02 1.75E+01 9.20E+00 4.55E-02 1.62E+01 1.38E+00 6.53E+00 1.40E+00 9.00E-02 2.72E+01 1.93E+01 5.50E+00 x 1.74E-03 3 Acidification g SO2 7.88E+04 7.07E+06 9.59E+06 1.88E+05 6.89E+05 3.48E+03 5.90E+05 5.61E+04 1.30E+07 8.05E+05 6.90E+04 1.76E+06 1.32E+06 8.33E+03 x 4.82E+01 4 Eutrophication g NO3 8.43E+04 5.24E+06 5.12E+06 1.79E+05 3.74E+05 1.92E+03 2.82E+05 2.65E+04 1.07E+07 6.31E+05 5.94E+04 8.79E+05 6.85E+05 7.78E+03 x 8.42E+01 5 Photochemical
Smog g ether 4.83E+02 3.51E+04 8.69E+04 2.30E+03 1.79E+04 6.53E+01 3.19E+03 3.32E+02 1.11E+05 7.97E+03 7.83E+02 9.13E+03 7.95E+03 2.81E+02 x 6.32E-01 6 Ecotoxicity
Water Chronic m3/g 2.33E+06 3.84E+07 5.18E+08 2.23E+07 3.56E+07 1.76E+05 3.84E+07 2.58E+06 3.65E+07 6.23E+06 3.66E+05 1.04E+08 7.48E+07 5.73E+06 x 2.85E+01 7 Ecotoxicity
Water Acute m3/g 2.22E+05 2.70E+07 4.95E+07 2.17E+06 3.40E+06 1.68E+04 3.68E+06 2.42E+05 3.28E+06 5.83E+05 3.37E+04 9.97E+06 7.16E+06 5.71E+05 x 2.69E+00 8 Ecotoxicity
Soil Chronic m3/g 1.03E+05 1.39E+07 2.53E+07 3.06E+05 1.74E+06 8.59E+03 1.59E+06 1.22E+05 1.81E+06 2.99E+05 2.23E+04 5.07E+06 3.65E+06 5.52E+03 x 4.50E-01 9 Human
Toxicity Air m3/g 7.54E+08 7.30E+10 1.89E+11 5.32E+09 1.57E+10 8.76E+07 9.54E+09 1.29E+10 1.05E+11 7.59E+09 7.61E+08 2.65E+10 2.01E+10 4.60E+08 x 1.80E+06 10
Human Toxicity Water
m3/g 2.60E+04 3.01E+06 6.00E+06 8.73E+04 3.86E+05 1.92E+03 4.43E+05 3.58E+04 5.82E+05 7.74E+04 4.53E+03 1.10E+06 7.91E+05 2.94E+03 x 3.79E+00
11 Human
Toxicity Soil m3/g 3.19E+02 3.22E+04 6.41E+04 2.71E+03 6.03E+03 3.33E+01 4.70E+03 3.65E+02 5.62E+04 3.96E+03 4.41E+02 1.18E+04 8.47E+03 7.24E+02 x 1.73E+00 12 Bulk Waste kg 7.22E+02 7.57E+04 1.38E+05 1.14E+03 9.45E+03 4.67E+01 6.58E+03 8.36E+02 1.36E+04 1.95E+03 9.61E+02 2.76E+04 2.10E+04 x 1.60E-01 x 13 Hazardous
Waste kg x x x x x x X x x x x x x x x x
14 Radioactive
Waste kg x x x x x x X x x x x x x x x x
15 Slag/Ashes kg 1.77E+00 x 1.42E+04 x x x X x 6.92E+01 4.11E+00 5.03E-01 x 6.72E-01 x x x Total kg 1.13E-01 9.62E+00 37.100 6.06E-01 1.53E+00 8.17E-03 1.24E+00 1.01E-01 9.82E+00 7.11E-01 6.76E-02 3.37E+00 2.71E+00 1.38E-01 x 4.29E+05
96