4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Animasi
Animasi adalah gambar bergerak yang tersusun dari sekumpulan pola gerakan suatu objek yang telah diatur sedemikian rupa dengan hitungan waktu. Objek dalam animasi berupa gambar baik manusia, hewan, tumbuhan atau bentuk lain yang diwujudkan dalam bentuk 2D atau 3D. McLaren (seperti dikutip dalam Selby, 2013, hlm. 9) mengatakan bahwa animasi bukanlah seni gambar yang bergerak, melainkan seni gerak yang digambar. Berasal dari bahasa latin animare yang berarti
‘untuk memberi hidup’. Animasi menambahkan ilusi gerak pada bentuk mati, seakan-akan bentuk mati tersebut hidup dan dapat bergerak.
Animasi memiliki ruang yang luas untuk bereksplorasi dan menciptakan sesuatu dari ide-ide yang didasari oleh imajinasi. Hawkins (seperti dikutip dalam Williams, 2001, hlm. 20) berkata pada Richard “Satu-satunya yang membatasi animasi adalah orang yang melakukannya. Jika tidak maka tidak akan terdapat batas untuk apa yang dapat anda lakukan. Lalu mengapa anda tidak harus melakukannya?”.
2.1.1. Animasi Dua Dimensi (2D)
Dua dimensi atau yang biasa disingkat 2D adalah objek yang hanya memiliki 2 dimensi yaitu panjang (X-axis) dan lebar (Y-axis). Animasi dua dimensi adalah teknik animasi dengan menggambar sekumpulan sketsa pada kertas yang diberikan urutan atau penomoran. Kemudian urutan dari sketsa tersebut digerakan satu
5 persatu sehingga menunjukkan sebuah pergerakan. Teknik animasi dua dimensi merupakan jenis animasi yang memiliki sifat flat secara visual (Wahyu dan Andreas, 2013, hlm. 6).
Pada animasi terdapat berbagai genre yang membedakan antara film animasi yang satu dengan yang lain. Beberapa contoh genre dalam animasi seperti: aksi (action), petualangan (adventure), komedi (comedy), juga horor (horror).
2.2. Film horor
Horor menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut. Film horor merupakan genre film yang berfokus untuk memberikan pengalaman mengerikan dengan menakut-nakuti penonton.
Memanfaatkan rasa takut manusia, film horor membangun sisi gelap dari kehidupan yang berasal dari pengalaman menakutkan manusia akan sesuatu yang dapat membahayakan mereka. Film horor berhasil menarik perhatian penonton melalui cara yang unik dengan menyajikan kesan merinding, mencengkam, dan mengagetkan, sekaligus memberikan kesenangan tersendiri bagi penontonnya.
Zillmann dan Paulus (seperti dikutip dalam Fu, 2016, hal. 20) mengungkapkan bahwa kesenangan dalam film horor berlangsung saat penonton melihat ketika tokoh diberi hukuman yang pantas mereka terima.
2.3. Shot
Menurut Thomson dan Bowen (2013) shot adalah unit terkecil dari fotografi seseorang atau peristiwa yang tertangkap dalam sebuah film. Sebuah shot mengambil rekaman dari satu aksi tertentu pada satu sudut pandang kamera dalam
6 satu waktu. Torta dan Vladimir (2011, hlm. 50-73) menjelaskan mengenai pengertian dan contoh dari teknik pengambilan kamera yang umum digunakan:
2.3.1. Jarak kamera
a. Extreme close up (ECU)
Pengambilan suatu gambar yang sangat dekat, sehingga hanya menunjukkan satu bagian seperti mata, hidung, atau mulut. Letak fokus berada pada objek sehingga kurang atau hampir tidak menangkap lingkungan disekitarnya. Biasanya digunakan untuk menunjukkan detail pada objek.
b. Big close up (Choker)
Pengambilan gambar yang menangkap bagian wajah dari jidat sampai dagu yang memperihatkan keseluruhan muka dari subjek. Digunakan untuk menunjukkan ekspresi.
Gambar 2.1. Extreme Close-Up (Grammar of The Shot, 2013)
7 c. Close up (CU)
Sering kali disebut “Head shot”. Sama halnya dengan big close-up, mengambil keseluruhan muka dari subjek namun mulai dari bagian kepala sampai dengan leher. Close-up shot juga dapat digunakan untuk menunjukkan tulisan atau tanda dari suatu objek kepada penonton.
d. Medium close up (MCU)
Pengambilan gambar sampai dengan bagian dada atau siku. Fitur wajah tokoh terlihat agak jelas. Mediumm close up sering kali digunakan karena memberikan cukup banyak informasi mengenai tokoh ketika berbicara, mendengarkan, ataupun melakukan suatu pergerakan.
Gambar 2.2. Big Close-Up (Grammar of The Shot, 2013)
Gambar 2.3. Close-Up (Grammar of The Shot, 2013)
8 e. Medium shot (MS)
Pengambilan gambar sampai dengan bagian pinggang dari subjek.
Menunjukkan siapa tokoh itu dan juga lingkungan dimana tokoh tersebut sedang berada.
f. Medium long shot (MLS)
Gambar yang ditangkap lebih memperlihatkan lingkungan sekitar daripada subjek yang terlihat sampai bagian atas atau bawah lutut.
Menunjukkan gambar lingkungan yang lebih jelas.
Gambar 2.4. Medium Close-Up (Grammar of The Shot, 2013)
Gambar 2.5. Medium Shot (Grammar of The Shot, 2013)
9 g. Long shot (LS) atau Wide shot (WS)
Dapat dikatakan sebagai “full body” shot karena pengambilan gambar menangkap semua bagian tubuh dari kepala hingga kaki subjek.
Memberikan pengambaran yang lebih jelas mengenai tokoh, namun mengurangi detail pada ekspresi dan struktur muka.
h. Very long shot (VLS)
Pengambilan gambar dimana lingkungan sekitar mendominasi lebih banyak bagian dalam frame. Tetap menangkap sosok dari subjek,
Gambar 2.6. Medium Long Shot (Grammar of The Shot, 2013)
Gambar 2.7. Long Shot (Grammar of The Shot, 2013)
10 namun hanya terlihat jelas pada beberapa bagian seperti baju dan rambut.
i. Extreme long shot (ELS)
Biasa digunakan untuk mengambil gambar lingkungan sekitar di luar ruangan. Memperlihatkan lingkungan yang luas di keseluruhan frame seperti gunung, padang gurun, lautan, dan perkotaan.
j. Establishing shot
Establishing shot adalah wide shot atau long shot yang menunjukkan kepada penonton mengenai tempat atau lokasi dimana cerita dalam film berlangsung. Establishing shot mengambil letak geografis dari scene.
Gambar 2.8. Very Long Shot (Grammar of The Shot, 2013)
Gambar 2.9. Extreme Long Shot (Grammar of The Shot, 2013)
11 2.3.2. Angle Kamera
a. Aerial shot
Aerial shot adalah pengambilan gambar yang diambil dari sudut yang sangat tinggi. Teknik ini dapat dilakukan dari pesawat atau dengan menggunakan drone.
b. High angle
High angle adalah sudut pengambilan kamera yang biasanya berada di atas dari batas pandangan tokoh.
c. Low angle
Low angle adalah sudut pengambilan gambar dari bawah batas pandangan tokoh.
Gambar 2.10. High Angle (Grammar of The Shot, 2013)
Gambar 2.11. LowAngle (Grammar of The Shot, 2013)
12 d. Frontal/Medium angle
Frontal adalah pengambilan gambar yang lurus searah pandangan tokoh.
e. Over the shoulder (OTS)
Merupakan “special two shot”, dimana salah satu subjek menghadap ke kamera dan yang satunya membelakangi kamera. Over the shoulder shot megambil gambar subjek dari belakang bahu subjek lain yang tetap masuk ke dalam frame untuk membingkai dari subjek lain yang dituju kamera.
Gambar 2.12. Frontal (Grammar of The Shot, 2013)
Gambar 2.13. Over the Shoulder (Grammar of The Shot, 2013)
13 f. Canted frame
Canted Frame atau disebut juga Dutch angle merupakan sudut pengambilan gambar dimana kamera dimiringkan 25 hingga 45 derajat ke salah satu sisi, sehingga menghasilkan gambar yang sedikit miring.
g. Point of view shot (POV)
POV shot adalah pengambilan gambar dari sudut pandang si tokoh sendiri, mengenai apa yang dilihat dari mata tokoh.
2.3.3. Camera Movement
a. Tilting (Tilt)
Tilting adalah teknik pengambilan gambar dimana kamera bergerak memutar keatas atau kebawah. Tilt up kamera bergerak memutar keatas, sedangkan tilt down kamera bergerak memurar kebawah.
Gambar 2.14. Canted Frame (Grammar of The Shot, 2013)
14 b. Panning (Pan)
Panning adalah teknik dengan menggerakkan kamera kekanan atau kekiri mengikuti objek. Pan right kamera bergerak memutar kekanan, sedangkan pan left kamera bergerak memutar kekiri.
Gambar 2.15. Tilting
(Volpe, G. Camera Movement Terminology. 2012. Retrieved from https://giancarlovolpe.tumblr.com/post/32195933498/camera-movement-
terminology-is-not-nearly-as-fun)
Gambar 2.16. Panning
(Volpe, G. Camera Movement Terminology. 2012. Retrieved from https://giancarlovolpe.tumblr.com/post/32195933498/camera-movement-
terminology-is-not-nearly-as-fun)
15 c. Truck/Dolly
Truck atau yang disebut juga dolly shot merupakan teknik pergerakan kamera yang mengikuti subjek atau objek dalam film. Pada dolly shot kamera memiliki dua pergerakan, kanan-kiri dan maju-mundur.
d. Boom/Crane
Crane merupakan pergerakan kamera dimana karera akan bergerak keatas dan kebawah.
Gambar 2.17. Truck/Dolly
(Volpe, G. Camera Movement Terminology. 2012. Retrieved from https://giancarlovolpe.tumblr.com/post/32195933498/camera-movement-
terminology-is-not-nearly-as-fun)
Gambar 2.18. Boom/Crane
(Volpe, G. Camera Movement Terminology. 2012. Retrieved from https://giancarlovolpe.tumblr.com/post/32195933498/camera-movement-
terminology-is-not-nearly-as-fun)
16 e. Zoom
Pada teknik zoom, kamera tidak secara teknis bergerak. Zoom lebih pada memainkan lensa kamera, dimana focal lenght pada lensa kamera berubah. Zoom in lensa kamera memperbesar subjek fokus, sedangkan zoom out lensa kamera memperkecil subjek fokus.
2.4. Komposisi
Komposisi secara sederhana diartikan sebagai cara menata atau merancang sesuatu.
Penggunaan komposisi dalam perancangan shot dalam film merupakan aspek penting untuk dapat membuat shot yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan melalui shot tersebut. Thomson dan Bowen (2013) menyebutkan beberapa konsep komposisi dasar yaitu: Headroom, lookroom/noseroom, dan rule of thirds.
Gambar 2.19. Zoom
(Volpe, G. Camera Movement Terminology. 2012. Retrieved from https://giancarlovolpe.tumblr.com/post/32195933498/camera-movement-
terminology-is-not-nearly-as-fun)
17 2.4.1. Headroom
Headroom merupakan penerapan komposisi yang digunakan sebagai pendoman untuk mengatur garis batas dimana kepala dari objek yang terdapat dalam frame harus diletakan. Headroom seringkali banyak diterapkan pada penggunaan medium shot dan close up. Pada umumnya, headroom merujuk pada seberapa luas atau sempit ruang yang terdapat diantara kepala dengan frame. Hal tersebut penting untuk memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan shot.
2.4.2. Lookroom/Noseroom
Lookroom atau disebut juga dengan istilah noseroom merupakan ruang kosong yang disediakan dalam frame diantara mata objek dan garis tepi frame yang berseberangan dengan wajah objek. Ruang kosong atau negative space tersebut membantu dalam keseimbangan komposisi dalam frame. Penerapan lookroom membagi frame menjadi dua sisi kiri dan kanan. Dalam hal ini, komposisi objek yang berada di bagian kanan frame diseimbangkan dengan ruang kosong pada bagian kiri frame.
Gambar 2.20. Headroom (Grammar of The Shot, 2013)
1
18 2.4.3. Rule of Thirds
Rule of thirds merupakan salah satu prinsip kompisi dengan cara membagi frame menjadi tiga bagian secara vertikal dan horizontal sehingga menghasilkan sembilan bagian yang sama. Penerapan rule of thirds dalam frame dapat membantu memfokuskan mata penonton pada objek yang diletakan dibagian kiri maupun kanan garis. Dengan memposisikan objek ditempat yang mudah terlihat pada garis, secara alami mata manusia akan mengikuti garis tersebut untuk mendapatkan informasi yang terdapat dalam frame. Hal tersebut juga mempermudah penonton untuk dapat terhubung secara lebih alami dengan apa yang akan disampaikan.
Gambar 2.21. Lookroom/Noseroom (Grammar of The Shot, 2013)
Gambar 2.22. Rule of Thirds (Grammar of The Shot, 2013)
19 Terdapat empat titik pertemuan antara garis vertical dan horizontal. Titik pertemuan antar garis yang membagi frame disebut points of intersection. Dengan meletakan focal point pada point of intersection, subjek atau objek yang menjadi focus akan lebih mudah terlihat. Focal point yang diletakan dalam rule of thirds secara umum memfokuskan pada satu dari dua sisi.
2.5. Rasa Takut
Perasaan takut muncul sebagai antisipasi manusia ketika mereka melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang bersifat ancaman bagi diri mereka.
Biasanya rasa takut terjadi ketika manusia merasa terancam oleh sesuatu yang lebih kuat dari mereka (Dominguez, 2012, hlm.3). Ketakutan tersebut dapat berasal dari mana pun dan kapan pun. Setiap orang memiliki ketakutan yang berbeda-beda.
Ketakutan akan orang jahat, bencana alam, binatang buas, dan sesuatu yang tidak diketahui. Pengalaman akan sesuatu yang menakutkan atau tidak menyenangkan tersebut dapat memicu timbulnya rasa takut di kemudian hari.
Rasa takut merupakan respon tubuh yang dipicu oleh stimulus, seperti rasa sakit atau bahaya. Kinerja tubuh dalam menyampaikan pesan bahaya dimulai dari apa yang tubuh tangkap baik dari penglihatan, pendengaran, maupun perabaan yang
Gambar 2.23. Point of Intersection (Sumber: Grammar of The Shot, 2013)
20 terdeteksi sebagai sesuatu yang mengancam. Situasi bahaya yang tertangkap oleh indra merupakan stimulus. Kemudian stimulus yang terdeteksi akan diproses oleh otak yang selanjutnya mengirimkan data sensorik ke talamus lalu diteruskan ke amiglada. Amiglada yang menerima rangsangan dari implus saraf akan memberikan informasi ke hipotalamus untuk mengambil tindakan penyelamatan diri. Hasil dari reaksi kimia dalam tubuh tersebut akan mendorong manusia untuk melarikan diri atau melakukan perlawanan terhadap bahaya yang datang atau disebut juga sebagai reaksi fight-or-flight.
Dalam kehidupan nyata sesuatu yang mengerikan berasal dari teror atau situasi yang mengancam, sedangkan pada film perasaan tersebut dipancing melalui tokoh monster menakutkan yang secara logika tidak dipercayai oleh manusia.
Maitland (seperti dikutip dalam Dominguez, 2012, hlm. 5) berkata bahwa film Gambar 2.24. Bagian Otak yang Merespon Rasa Takut
(https://science.howstuffworks.com/life/inside-the-mind/emotions/fear.htm)
21 hanyalah sekumpulan emosi yang terkait menjadi satu dalam sebuah plot dan tugas filmmaker adalah membuat emosi tersebut tampak nyata sehingga penonton dapat merasakan hal yang sama. Meskipun berbeda akan tetapi ketakutan yang ditimbulkan dalam film horor dan kehidupan nyata menghasilkan respon yang sama. Film horor memberikan kesempatan bagi penontonnya untuk merasakan pengalaman menakutkan tersebut tanpa harus berada pada situasi sesungguhnya.
2.6. Stages of Fear
Stages of fear dapat dijelaskan sebagai metode untuk menganalisis peristiwa yang terjadi dalam film horor dan membaginya menjadi beberapa kategori sesuai dengan emosi yang dirasakan oleh penonton (Dominguez, 2012, hlm.7). Stages of fear dibagi menjadi 5 kategori, yaitu: Terror, horror, repulsion, recovery dan background. Hanya dua dari lima kategori tersebut yang akan dibahas, yaitu tahap teror dan tahap horor.
2.6.1. Tahap Teror (Terror Stage)
Tahap teror biasa disebut suspense dalam literatur dan perfilman. Inti dari tahap teror ditandai dengan terciptanya kegelisahan (rasa takut) oleh kemungkinan adanya bahaya. Tahap teror berakhir ketika memasuki tahap horor. Terdapat ciri- ciri tahap teror, yaitu:
1. Saat berada pada tahap teror dianggap telah memasuki wilayah bahaya (Danger zone). Perubahan pada lingkungan yang memungkinkan munculnya bahaya bagi tokoh.
2. Ketegangan dan kecemasan mulai muncul.
3. Muncul antisipasi.
22 4. Tahap teror dicirikan oleh ketakutan yang tidak terfokus pada objek apapun secara spesifik melainkan ketakutan atau kekhawatiran secara umum terhadap lingkungan atau situasi.
5. Kehadiran tidak langsung. Munculnya keberadaan yang samar-samar atau tidak jelas dari predator. Predator tidak ditunjukkan secara langsung di tempat kejadian (scene), biasanya hanya berupa bayangan maupun bagian dari predator yang berpotensi bahaya seperti senjata.
6. Ritme yang lambat. Durasi pada tahap teror cukup panjang untuk dapat membangun rasa takut.
2.6.2. Tahap Horor (Horror Stage)
Tahap horor sering disampaikan sebagai titik puncak dari tahap teror. Tahap ini umumnya terjadi pada saat klimaks muncul kejutan-kejutan yang difokuskan untuk menakut-nakuti. Terdapat ciri-ciri darti tahap horor, yaitu:
1. Masih berada pada wilayah bahaya (Danger zone).
2. Berbeda dengan tahap teror, pada tahap horor ketakutan bersumber dari objek tertentu yang dipicu oleh telah terjadinya kontak dengan sesuatu yang menakutkan.
3. Respon kaget. Munculnya sesuatu yang menimbulkan reaksi kaget (Contoh: Monster muncul tiba-tiba dari bayangan, sosok pembunuh yang terpantul pada cermin).
4. Pada tahap ini reaksi fight-or-flight berlangsung.
5. Ritme cepat. Durasi pada tahap horor lebih pendek dari tahap teror untuk menciptakan suasana tegang dan terpacu.
23 2.6.3. Perancangan Shot berdasarkan Fear Stages
Liselotte Heimdahl (2016) melakukan sebuah penelitian mengenai penggunaan kamera dan perancangan shot dalam film horor berdasarkan fear stage. Penelitian tersebut dilakukan Heimdahl (2016) dengan menganalisis film horor berjudul “A Tale of Two Sister (2003)” karya Kim Jee-Woon. Heimdahl (2016) membagi film menjadi beberapa bagian untuk mempermudah dalam pengumpulan data shot dan kamera. Terdapat total 556 shots dari film “A Tale of Two Sister” yang digunakan sebagai bahan analisa.
Heimdahl (2016) menganalisi pengunaan kamera dalam film “A Tale of Two Sister” dengan membaginya menjadi jarak kamera (ELS, LS, MLS, Knee, MS, MCU, CU, BCU, VCU, ECU, varies); angle kamera (low, medium, high, top, POV, varies); camera movement (fixed camera, smooth movement seperti tilt dan rotation, dan hand camera); dan detail (detail shot). Berikut hasil data yang didapat mengenai penggunaan kamera pada tahap teror dan tahap horor:
a. Teror – Analisis shot
Dalam film “A Tale of Two Sister”, Heimdahl (2016) menemukan terdapat 119 shot dari 30 scene merupakan tahap teror.
24 Berdasarkan diagram diatas jarak kamera yang sering digunakan pada tahap teror berupa Close Up (CU), Medium Close Up (MCU), dan Big Close Up (BCU). Untuk angle kamera pada tahap teror lebih banyak berupa medium angle. Camera movement yang sering digunakan berupa fixed camera dimana kamera disambungkan pada tripod agar menghasilkan gambar yang lebih fokus. Pergerakan kamera secara smooth movement juga banyak digunakan untuk menghasilkan pergerakan yang halus dengan menggunakan bantuan dari tripod yang disambungkan.
Gambar 2.25. Diagram Penggunaan Informasi Shot pada Tahap Teror (Heimdahl, L. Analysis of Camera Work in Horror Movies. 2016. Retrieved from
http://www.ep.liu.se/ecp/127/005/ecp16127005.pdf)
25 b. Horor – Analisis shot
Terdapat 119 shot dari 5 scene dalam film yang dianalisis Heimdahl (2016) merupakan tahap horor.
Pada diagram diatas jarak kamera yang sering digunakan berupa Medium Shot (MS), Medium Close Up (MCU), Close Up (CU). Angle kamera yang banyak digunakan berupa medium angle. Penggunaan gerak kamera handcam banyak digunakan karena memungkinkan pengambilan gambar dengan lebih bebas, sehingga dapat menyesuaikan adegan pada tahap horor yang tegang dan terpacu.
Gambar 2.26. Diagram Penggunaan Informasi Shot pada Tahap Horor (Heimdahl, L. Analysis of Camera Work in Horror Movies. 2016. Retrieved from
http://www.ep.liu.se/ecp/127/005/ecp16127005.pdf)