Bab Dua
Community Development dan Sekolah Alternatif: Tinjauan Pustaka Landasan pemikiran teoretis diperlukan dengan tujuan untuk mengetahui konsep-konsep kunci apa saja yang berhubungan dengan pokok masalah penelitian yang hendak dikembangkan. Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa konsep teoretis sebagai konsep dasar bagi penulis untuk melakukan analisis secara sistematis.
Community Development
Pengembangan masyarakat (community development) merupakan konsep dasar yang digunakan sejak lama dengan penggunaan istilah yang bervariasi. Menurut pandangan Gilbert dan Specht (1981; dan Soetarso 1991; dalam Suharto, 2014) disebutkan bahwa dalam diskursus akademis melalui pendekatan pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat lebih dikenal sebagai community organization atau community development (CO/CD) atau Bimbingan Sosial Masyarakat. Sementara itu, terdapat berbagai istilah lainnya seperti community resource development; rural areas development; community economic development; rural revitalization dan ada yang mengistilahkan sebagai “community based development”. Terlepas dari varian istilah tersebut, community development menggambarkan makna penting dari dua konsep, yakni community yang bermakna
kualitas hubungan sosial; dan development yaitu perubahan ke arah kemajuan yang terencana dan bersifat gradual (Nasdian, 2014).
Merujuk perkembangannya di Australia, Inggris dan beberapa negara Eropa, community development disebut sebagai pekerjaan kemasyarakatan (community work), penyembuhan sosial (social treatment), perawatan sosial (social care) atau perawatan masyarakat (community care) (Twelvetrees 1991; Payne 1986 dalam Suharto, 2014).
Bila ditelusuri konteks historisnya, ragam penyebutan tersebut diawali dan dikembangkan oleh Amerika Serikat dan Inggris pada masa Perang Dunia (PD) pertama hingga selesai PD kedua. Di Amerika Serikat, pengembangan masyarakat bersumber dari disiplin pendidikan, terutama perluasan pendidikan di tingkat masyarakat pedesaan.
Sedangkan di Inggris, pengembangan masyarakat terkait dengan kehidupan komunitas di daerah koloninya, dengan fokus utamanya pada pengembangan pendidikan massal. Amerika Serikat dan Inggris memiliki persamaan community development yang berfokus pada pengembagan sektor pendidikan masyarakat (Nasdian, 2014).
Menurut Robert (2005 dalam Zubaedi, 2013) bahwa community development mulai tumbuh sebagai sebuah gerakan sosial pada tahun 1970-an menyusul mulai bangkitnya kesadaran progresif dari sebagian komunitas internasional untuk memberi perhatian terhadap kebutuhan layanan kesejahteraan bagi orang-orang lemah (disadvantage), menerima model kesejahteraan redistributif secara radikal,
memberlakukan model kewarganegaraan aktif dan memberi ruang bagi partisipasi warga dalam proses pembangunan (participatory model).
Namun dalam temuan penulis, perkembangan community development di Indonesia bermula sejak era Hindia Belanda yang ditandai adanya pemberlakuan kebijakan politik etis oleh pemerintahan Belanda pada 1901-1906. Kebijakan yang terkenal dengan nama “Trias Van Deventer” ini melahirkan tiga program utama, yaitu irigasi, migrasi dan edukasi (pendidikan). Dari program terakhir itulah kemudian didirikan sekolah-sekolah untuk kaum priyayi dan rakyat biasa di berbagai daerah, seperti sekolah kedokteran tingkat menengah atau School tot Opleiding van Inlandsche Ambtenaren (STOVIA) pada 1902, Sekolah Desa (1907), Hollands Inlandse School (HIS) pada 1914 dan Meer Uitgebreid Lajer Onderwijs (MULO), lalu sekolah lanjutan Algemeen Middlebare School (AMS), Sekolah Pamong Praja atau Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) (Lusi et al., 2019). Berdirinya sekolah-sekolah tersebut bisa dikatakan sebagai wujud dari pengembangan masyarakat yang bertalian erat dengan embrio pergerakan kemerdekaan di Indonesia.
Twelvetrees (1991) mengemukakan suatu defenisi yang tampaknya relevan untuk melihat perkembangan community development pada Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) di Kalibening, Kota Salatiga, bahwa community development adalah suatu proses membantu orang biasa untuk meningkatkan komunitas mereka
sendiri dengan melakukan tindakan kolektif (“the process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking collective actions”). Pemaknaan ini lebih dipertegas oleh Suharto (2014) bahwa secara khusus pengembangan masyarakat (community development) berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan. Suharto (2014) juga berpendapat bahwa pengembangan masyarakat (PM) memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Penegasan makna community development tersebut sejalan dengan konteks pendirian pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah yang dilatarbelakangi oleh kegelisahan beberapa orang tua siswa atas biaya sekolah yang tinggi dan komersialisasi pendidikan formal yang semakin tidak terjangkau masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan (Bahruddin, 2007; Muthola’ah, 2007; Hasim, 2010).
Pemaknaan serupa juga ditekankan secara jelas oleh Zubaedi, (2013) bahwa pengembangan masyarakat (community development) adalah komitmen dalam memberdayakan masyarakat lapis bawah sehingga mereka memiliki berbagai pilihan nyata menyangkut masa depannya. Umumnya, masyarakat lapis bawah terdiri dari orang-orang
lemah, tidak berdaya dan miskin karena tidak memiliki sumber daya atau tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol sarana-sarana produksi. Mereka umumnya terdiri atas: kaum buruh, petani penggarap, petani berlahan kecil, para nelayan, masyarakat hutan, kalangan pengangguran, orang-orang cacat dan orang-orang yang dibuat marginal karena umur, keadaan jender, ras dan etnis. Dia juga memandang bahwa community development didasari sebuah cita-cita bahwa masyarakat bisa dan harus mengambil tanggung jawab dalam merumuskan kebutuhan, mengusahakan kesejahteraan, menangani sumber daya dan mewujudkan tujuan hidup mereka sendiri.
Pengembangan masyarakat diarahkan untuk membangun supportive communities, yaitu sebuah struktur masyarakat yang kehidupannya didasarkan pada pengembangan dan pembagian sumber daya secara adil serta adanya interaksi sosial, partisipasi dan upaya saling mendorong antara satu dengan yang lain.
Pada dasarnya, aktivitas community development bertumpu pada usaha secara bersama untuk memperbaiki kehidupan bersama. Setiap individu mengorganisir minat dan tujuannya dan merencanakan kegiatan bersama guna memenuhi kebutuhan kelompoknya. Perihal tujuannya, Mukerji (1961 dalam Nasdian, 2014) menyatakan bahwa tujuan community development adalah untuk membangun kehidupan manusia sebagai individu dan sebagai anggota komunitasnya dengan cara mengembangkan pandangan yang progresif, kemandirian, dedikasi
terhadap tujuan komunitas, dan kerja sama. Keberagaman pandangan tentang pengertian dan pendekatan community development ini tentu dilatarbelakangi oleh kompleksitas perkembangannya yang telah dilakukan berbagai pihak. Walaupun demikian kompleksnya, Cary (1970 dalam Nasdian, 2014) merangkum community development ke dalam enam aspek utama, antara lain: pertama, komunitas dipandang sebagai unit aksi. Kedua, inisiatif dan kepemimpinan dalam komunitas sebagai sumber daya. Ketiga, menggunakan sumber daya internal dan eksternal. Keempat, partisipasi semua warga komunitas. Kelima, pendekatan komprehensif yang diorganisir dengan melibatkan seluruh warga komunitas. Dan, Keenam, demokratis, rasional, dan tugas yang menyeluruh.
Bila merujuk pada dua perspektif teoretis community development yang dikemukakan Twelvetrees (1991) tampaknya cocok dengan pengembangan Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) di Kalibening, Kota Salatiga, yakni; pendekatan profesional dan pendekatan radikal. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, pendekatan radikal yang berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan analisis anti-rasis lebih terfokus pada upaya mengubah ketidak-seimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka,
serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya. Mengenai pendekatan, perspektif dan tujuannya dapat dilihat pada Tabel 2.1.
berikut ini:
Tabel 2.1. Dua Perspektif Pengembangan Masyarakat
Pendekatan Perspektif Tujuan/Asumsi
Profesional
(Tradisional, Netral, Teknikal)
- Perawatan Masyarakat - Pengorganisasian
Masyarakat - Pembangunan
masyarakat
- Meningkatkan inisiatif dan kemandirian masyarakat.
- Memperbaiki pemberian pelayanan sosial dalam kerangka relasi sosial yang ada.
Radikal
(Transformasional)
- Aksi masyarakat berdasarkan kelas - Aksi masyarakat
berdasarkan jender - Aksi masyarakat
berdasarkan ras
- Meningkatkan kesadaran dan inisiatif
masyarakat.
- Memberdayakan masyarakat guna mencari akar penyebab
ketertindasan dan diskriminasi.
- Mengembangkan strategi dan membangun kerjasama dalam melakukan perubahan sosial sebagai bagian
dari upaya mengubah relasi sosial yang menindas,
diskriminatif dan eksploitatif.
Sumber: pengembangan dari Mayo (1998 dalam Suharto, 2014).
Mencermati Tabel 2.1., penulis beranggapan bahwa pendekatan profesional dan radikal community development tampaknya dilakukan oleh KBQT secara kombinatif. Terlihat pada tiga elemen perspektif yang saling terkait, yakni perspektif perawatan masyarakat, pembangunan masyarakat dan aksi masyarakat. Secara rinci, Suharto (2014) mengulas ketiga elemen tersebut, antara lain; pertama, perspektif perawatan masyarakat merupakan kegiatan volunter yang biasanya dilakukan oleh warga kelas menengah yang tidak dibayar. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kesenjangan legalitas pemberian pelayanan. Kedua, perspektif pembangunan masyarakat memiliki perhatian pada peningkatan keterampilan dan kemandirian masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Ketiga, aksi masyarakat berdasarkan kelas bertujuan untuk membangkitkan kelompok- kelompok lemah untuk secara bersama-sama meningkatkan kemampuan melalui strategi konflik, tindakan langsung dan konfrontasi. Kombinasi perspektif teoretis ini tampak pada sejarah pendirian KBQT (Bahruddin, 2007;Muthola’ah, 2007;Hasim, 2010; Rullyantono, 2020) dan konsep filosofis pendidikan pembebasan dari Paulo Freire yang diterapkan di sekolah tersebut
(Shofwan & Kuntoro, 2014; Fatimah & Rahmawati, 2015).
Lebih jauh lagi, perdebatan pandangan oleh sejumlah ahli mengenai pengembangan masyarakat (community development) juga tampaknya relevan dengan objek penelitian ini. Sanders (1958) menyatakan pengembangan masyarakat perlu dipandang sebagai suatu proses, metode, program, atau gerakan. Dalam perkembangannya, Leagens (1961 dalam Nasdian, 2014) memandang istilah community development sebagai suatu program, suatu proses, suatu prosedur, suatu gerakan, maupun suatu tujuan (“community development referred to as a programme, a process. a procedure, a movement and an objective"). Dari beragam dan kompleksnya pandangan tersebut, Van Beers dan Colley (1972 dalam Nasdian, 2014) yang mengadakan survei pelaksanaan community development di Pulau Jawa, mengetengahkan pandangannya, bahwa community development adalah “membantu”
diri sendiri untuk meningkatkan standar dan kualitas hidup masyarakat di daerah pedesaan. Terlepas dari semua perdebatan yang ada, yang pasti bahwa tujuan utama pengembangan masyarakat (community development) adalah untuk memberdayakan individu-individu dan kelompok-kelompok orang melalui penguatan kapasitas termasuk kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengubah kualitas kehidupan komunitas mereka (E.
Suharto, 2009).
Berdasarkan semua uraian di atas, akhirnya dapat dikemukakan bahwa pengembangan masyarakat (community) development
inisiatif dan kemandirian dalam melakukan upaya-upaya terencana guna menjawab kebutuhan bersama serta berkomitmen membangun kehidupan komunitas yang terberdaya; (2) komunitas yang memiliki kesamaan minat, dengan mengidentifikasi kebutuhan dan tujuan bersama, mengandalkan partisipasi warga komunitas dalam mengelola potensi dan sumber daya komunitas secara optimal demi mencapai kehidupan masa depan yang bebas dan berkualitas.
Berangkat dari berbagai ulasan konsep tersebut, maka community development dapat dipahami sebagai “unit aksi” atau wadah yang menghimpun individu-individu dalam masyarakat yang saling berinteraksi dan berpartisipasi aktif, memiliki kemandirian dan komitmen tinggi untuk mengelola seluruh sumber dayanya bagi pemenuhan kebutuhan dan tujuan komunitasnya.
Prinsip-Prinsip Community Development
Berkaitan dengan prinsip pengembangan masyarakat, Zubaedi (2013) merangkum empat prinsip community development yang kelihatannya relevan dalam penerapannya di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) di Kalibening, Salatiga. Pertama, pengembangan masyarakat menolak pandangan yang tidak memihak
pada sebuah kepentingan (disinterest). Prinsip ini melandasi aktivitas pengembangan masyarakat yang berkomitmen pada keberpihakan masyarakat miskin dan keadilan sosial, hak asasi manusia dan kewarganegaraan, pemberdayaan dan penentuan diri sendiri, tindakan kolektif dan keanekaragaman. Kedua, mengubah dan terlibat dalam konflik. Prinsip ini bertujuan mengubah struktur yang diskriminatif, memaksa dan menindas masyarakat. Pengembangan masyarakat dalam prinsip ini melengkapi kegiatannya dengan gerakan sosial yang baru seperti hak asasi manusia dan gerakan perdamaian. Ketiga, membebaskan, membuka masyarakat dan menciptakan demokrasi partisipatori. Pembebasan (liberasi) adalah reaksi penentangan terhadap bentuk-bentuk kekuasaan, perbudakan dan penindasan. Pembebasan menuntut pemberdayaan dan otonomi. Pembebasan melibatkan perjuangan menentang dan membebaskan dari orang-orang, ideologi dan struktur yang sangat berkuasa. Keempat, kemampuan mengakses terhadap program-program pelayanan kemasyarakatan. Pengembangan masyarakat menempatkan program-programnya dilokasi yang strategis dapat diakses oleh masyarakat. Lingkungan fisik yang diciptakan melalui pengembangan masyarakat yang memiliki suasana bersahabat dan informal, bukan suasana birokratis, formal dan tertekan. Dalam pengamatan penulis, substansi empat prinsip community development yang dikemukakan oleh Zubaedi (2013) memiliki relevansi dengan model pengembangan pendidikan berbasis masyarakat di KBQT.
Sejalan dengan itu, konsep mengenai prinsip-prinsip pengembangan masyarakat dalam perkembangannya terbilang bervariasi antara satu komunitas dan komunitas lainnya. Menurut Ife (1995 dalam Nasdian, 2014) terdapat 22 prinsip pengembangan masyarakat (community development), yaitu: 1) Integrated Development (Pembangunan Terpadu); 2) Confronting Structural Disadvantage (Melawan Kesenjangan Struktural); 3) Human Rights (Hak Asasi Manusia); 4) Sustainability (Keberlanjutan); 5) Empowerment (Pemberdayaan); 6) The Personal and The Political (Pribadi dan Politik); 7) Community Ownership (Kepemilikan Komunitas); 8) Self-Reliance (Kemandirian); 9) Independence from the State (Ketidaktergantungan pada Pemerintah); 10) Immediate Goals and Ultimate Vision (Tujuan dan Visi); 11) Organic Development (Pembangunan bersifat Organik); 12) The Pace o f Development (Kecepatan Gerak Pembangunan); 13) External Experties (Keahlian Pihak Luar); 14) Community Building (Membangun Komunitas); 15) Process and Outcome (Proses dan Hasilnya); 16) The Integrity o f the Process (Keterpaduan Proses); 17) Non-Violence (Tanpa Kekerasan);
18) Inclusiveness (Inklusif); 19) Consensus (Konsensus); 20) Co- operation (Kerja sama); 21) Participation (Partisipasi); dan 22) Defining Need (Mendefinisikan Kebutuhan).
Dua puluh dua (22) prinsip community development tersebut saling berhubungan dan melengkapi satu sama lainnya. Prinsip-prinsip
ini diasumsikan menjadi ukuran bagi sukses atau tidaknya suatu kegiatan pengembangan masyarakat, termasuk konsisten atau inkonsisten bagi penciptaan keadilan sosial komunitas sasaran.
Berdasarkan prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan oleh Ife (1995) dan Zubaedi (2013) maka konteks penelitian ini akan berfokus untuk menelaah lebih jauh penerapan prinsip-prinsip tersebut, tanpa menutup kemungkinan adanya temuan baru (dan lainnya) dari prinsip-prinsip community development yang diterapkan pada Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, di Kalibening, Kota Salatiga.
Sekolah Alternatif
Sekolah merupakan suatu konsep klasik yang bila dilacak konteks historisnya bermula sejak era Yunani Kuno. Topatimasang (2013) secara detail menjelaskan asal-muasal penggunaan kata “sekolah”
atau school (dalam Bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa Latin yaitu schola, skhole, scolae, scola yang artinya “waktu luang” atau “waktu senggang”. Pada zaman Yunani kuno, dalam mengisi waktu luang, kaum lelaki dewasa Yunani mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang dianggap bijaksana, kemudian menanyakan dan mempelajari hal- hal yang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Singkatnya, tradisi skhole ini kemudian mendunia dengan pola pengembangannya menjadi sistem kelembagaan pendidikan yang dikelola secara sistematis, metodis
dan berjenjang sebagaimana sekolah konvensional (modern) yang diterapkan hingga saat ini.
Bila merujuk pada konteks historis, maka sekolah dapat dimaknai sebagai tempat untuk mengembangkan potensi, bakat dan minat, belajar dengan penuh ceria dan menyenangkan, membentuk manusia yang berpengetahuan, serta merasa bebas untuk menjadi manusia ideal yang diinginkan. Namun, citra idealitas sekolah malah tidak sejalan dengan realitasnya hari ini. Sebagaimana diungkapkan Raharjo (2007 dalam Nurchamid, 2021) bahwa sekolah yang berkembang sekarang ini sepertinya menjadi tempat yang dipaksa untuk mengikuti kurikulum tertentu dan cenderung menimbulkan
“kebencian” dan kebosanan dalam belajar. Pada sisi lainnya, Darmaningtyas (2005) mengungkap fakta menarik, bahwa kondisi dunia pendidikan yang semakin memprihatinkan dan melenceng jauh dari cita-cita idealnya disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, kecenderungan pendidikan kita yang semakin elitis dan tak terjangkau oleh rakyat miskin. Dalam hal ini, pemerintah dituding sebagai pihak yang banyak melahirkan kebijakan diskriminatif dan menyulitkan akses bagi rakyat miskin. Kedua, manajemen pendidikan yang masih birokratis dan hegemonik. Sistem pendidikan yang ada saat ini bukanlah sistem yang memberdayakan dan populis. Terbukti, berbagai kebijakan yang lahir tidak mendukung terwujudnya pendidikan yang emansipatoris karena kebijakan tersebut lahir semata-mata untuk
mendukung status quo dan memapankan kesenjangan sosial. Dari sebab-sebab demikianlah, kemudian lahir inisiatif oleh berbagai pihak untuk mendirikan yang namanya sekolah alternatif.2
Sekolah alternatif tidak diartikan sebagai pengganti sekolah formal, melainkan mencari materi dan metode didaktik baru sampai kurikulum baru (Pradipto, 2007). Hal ini seturut dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 Pasal 26 ayat 1 bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Namun, lebih jauh lagi, Pradipto (2007) menekankan bahwa sekolah alternatif muncul sebagai reaksi atas anggapan kurang tepatnya kurikulum nasional yang dibuat pemerintah. Kondisi masyarakat yang spesifik dan khas di tiap daerah menjadi dasar pertimbangan. Kurikulum nasional cenderung seragam dan dipaksakan di tiap sekolah, seolah mengarahkan anak untuk menjadi robot, pelajaran yang dianggap tidak kontekstual terhadap lingkungan tempat tinggal merangsang proses berpikir anak yang terfragmentasi. Sehingga ketika belajar di sekolah, anak cenderung hanya bisa menghafal tetapi tidak bisa menerapkan ilmu yang diajarkan.
Senada dengan alasan tersebut, Nurchamid (2021)
2 Sekolah alternatif memiliki beragam sebutan, seperti sekolah alam, sekolah terbuka, sekolah eksperimental, sekolah berbasis masyarakat, dan sebutan lainnya yang merujuk pada jalur pendidikan
menegaskan bahwa pendidikan yang dibutuhkan masyarakat desa adalah pendidikan yang mengakar dan bisa menjawab permasalahan- permasalahan di desa. Secara umum, pendidikan yang berlangsung dalam sekolah formal di Indonesia belum ada yang spesifik mengakar pada desa. Semua pembelajaran di atur oleh kurikulum pusat yang sering kali berjarak dengan realitas di desa. Akhirnya lulusan sekolah formal secara umum sering kali canggung dan gugup melihat realitas di desa.
Secara global, ditemukan sejumlah gerakan baru dalam dunia pendidikan yang memusatkan diri pada perbaikan dan peningkatan kualitas sistem pendidikan di luar jalur pendidikan formal. Ketujuh gerakan itu dirangkum oleh Hidayat & Abdillah (2019) yaitu: pertama, pengajaran alam sekitar, yang bertujuan untuk mendekatkan anak dengan alam sekitar. Tokoh perintisnya adalah FR. A. Finger (1808- 1888) di Jerman dengan konsep Heimatkunde (pengajaran alam sekitar) dan Jan Ligthart (1959-1916) di Belanda dengan Het Volle Leven (kehidupan senyatanya). Kedua, pengajaran pusat perhatian. Kedua, Pengajaran Pusat Perhatian, yang dirintis oleh tokoh pendidikan berkebangsaan Belgia, Ovideminat Decroly (1871-1932). Pengajaran model ini bertumpu pada dua hal, yaitu pusat-pusat minat (centre d’interest) dan metode global (keseluruhan). Pendidikan yang dikembangkan Decroly ini berdasarkan pada semboyan ecole pour la vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Ketiga, sekolah
kerja, dengan tokoh berkebangsaan Jerman, Georg Kerschensteiner (1854-1932). Sekolah kerja bertujuan untuk membentuk watak dan warga negara yang baik, di mana kewajiban sekolah adalah empersiapkan anak-anak untuk dapat bekerja. Keempat, pengajaran proyek, dengan dasar filosofis dan pedagogis yang diletakkan oleh tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika Serikat, John Dewey (1859-1952) dan William Kalipratik (1871-1965). Kelima, homeschooling (bersekolah di rumah). Suatu bentuk pendidikan alternatif yang dilakukan secara mandiri, yanga mana materi dan pengembangan metodenya disesuaikan oleh keluarga sejalan dengan kebutuhan anak.
Keenam, sekolah alam, suatu pengembangan pendidikan yang dilakukan di alam terbuka agar mengetahui pembelajaran dari semua makhluk hidup di alam ini secara langsung. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, para siswa di sekolah alam dibebaskan waktunya untuk lebih banyak berinteraksi di alam terbuka, sehingga terbentuk pembelajaran langsung pada materi dan pembelajaran yang bersifat pengalaman. Ketujuh, pendidikan berasrama (boarding school), suatu model pendidikan di mana para siswa tidak hanya belajar, tetapi juga bertempat tinggal dan hidup menyatu di lembaga tersebut, yang mana secara historis dirujuk pada boarding school Britania Klasik, dengan istilah yang berbeda-beda di beberapa negara, Great Britain (college), Amerika Serikat (private school), Malaysia (kolej) dan lain sebagainya.
Secara sederhana, Mintz (1994) mengkategorikan pendidikan alternatif dalam empat bentuk pengorganisasian yang tampaknya cocok untuk memahami perkembangan sekolah alternatif di Indonesia, yaitu:
pertama, sekolah pilihan publik (public choice); kedua, sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk); ketiga, sekolah/lembaga pendidikan independen atau swasta; dan keempat, pendidikan di rumah (homeschooling). Bila mengikuti kategorisasi yang dibuat Mintz tersebut, maka Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) masuk dalam kategori sekolah publik (public choice), seperti halnya SMP Terbuka, SMA Terbuka, dan Universitas Terbuka. Hal demikian sebagaimana pengakuan Bahruddin (2007), tokoh pendiri dan inisiator Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT), bahwa sekolah alternatif Qaryah Thayyibah secara formal terdaftar sebagai Sekolah Terbuka, sekolah yang diasosiasikan sebagai sekolah untuk menampung orang-orang miskin agar bisa mengikuti program wajib belajar sembilan tahun. Namun dalam perkembangnnya kemudian, KBQT berubah status dari Sekolah Terbuka menjadi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Menelusuri perkembangannya di Indonesia, Suyata (1996 dalam Suharto, 2005) mengungkap bahwa keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam menggumuli dunia pendidikan bukanlah hal yang baru. Ia telah dilaksanakan oleh yayasan-yayasan swasta, kelompok sukarelawan, organisasi-organisasi non-pemerintah, dan bahkan oleh
perseorangan. Dalam dinamika perkembangannya, maka bisa dikatakan bahwa sekolah alternatif terlahir dari inisiatif dan prakarsa oleh kalangan masyarakat bawah yang tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab kesenjangan dalam dunia pendidikan formal.
Proses pembentukannya terkandung spirit perlawanan struktural dan ideologis dalam mengubah wajah pendidikan yang lebih demokratis.
Suharto (2005) secara lugas menjelaskan bahwa sekolah alternatif dengan model pendidikan berbasis masyarakat muncul berkaitan dengan reformasi pendidikan yang menghendaki adanya pergeseran paradigma pendidikan dari sentralistik ke desentralistik. Bergeser dari praktik pendidikan yang otoriter ke praktik pendidikan demokratis yang membebaskan, serta dari konsep pendidikan yang berorientasi pemerintah (state oriented) ke konsep pendidikan yang berorientasi masyarakat (community oriented). Bahwa suatu penyelenggaraan pendidikan demokrasi menuntut adanya perubahan asas subject matter oriented menjadi student oriented, dengan mengembangkan suasana pendidikan yang senantiasa memperhatikan aspek egalitarian antara pendidik dengan peserta didik. Pengajaran tidak harus top down, namun diimbangi dengan bottom up.
Dalam perkembangannya di Indonesia, spirit perlawanan itu terlihat dari bermunculannya lembaga pendidikan alternatif yang berupaya menghadirkan kembali gagasan Ki Hadjar Dewantara di era sekarang. Antara lain ada Sanggar Anak Alam Yogyakarta yang diampu
oleh Toto Raharjo dan Wahyaningsih, Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah yang diampu oleh Ahmad Bahruddin, Sekolah Pagesangan oleh Diah Widuretno, Sekolah Gajahwong oleh Faiz Fakhruddin, Sekolah Rimba oleh Butet Manurung, Sekolah Kampoeng yang didirikan oleh sekelompok pemuda Wonokerto dan lain sebagainya.
Menjamurnya pendirian sekolah alternatif tersebut merupakan perwujudan gagasan Perguruan Taman Siswa. Sebuah sekolah alternatif yang didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai bentuk perlawanan terhadap penerapan model sekolah ala pemerintahan kolonial Belanda yang cenderung menekankan pada aspek kognisi saja dan menjadikan anak bangsa terasing serta melupakan budaya bangsanya sendiri (Nurchamid, 2021).
Melalui analisis terhadap berbagai kasus pendidikan alternatif pada awal penyelenggaraannya, Miarso (n.d.) merangkum adanya kesamaan atas sejumlah asas dan prinsip yang dianut. Kesamaan itu meliputi; 1) Penghargaan atas martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk kodrat hidup, dan harga diri; 2) Pendekatan yang lebih bersifat individual, mengingat perbedaan minat, kemampuan, pengalaman, kondisi keluarga dan lingkungan; 3) Pengakuan atas perlunya perlakuan yang berbeda berkenaan dengan adanya perbedaan- perbedaan individual, kondisi dan karakteristik, dengan memberikan kebebasan memilih dan berbuat; 4) Tujuan yang diarahkan pada terbentuknya watak dan moral yang tinggi serta untuk
berkembangnya potensi optimal masing-masing peserta didik/warga belajar; 5) Perlunya partisipasi masyarakat dan orangtua dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk peluang untuk berprakarsa;
6) Penilaian hasil pendidikan yang didasarkan atas asas manfaat dan dampak bagi pribadi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat; 7) Perhatian lebih besar terhadap lingkungan, baik sebagai sumber belajar maupun untuk menjaga kelestariannya.
Berdasarkan uraian dan pembahasan konsep sekolah alternatif ini, maka dalam tesis ini sekolah alternatif dimaknai sebagai: pertama, sekolah alternatif memiliki konsep dasar yang menjadikan masyarakat setempat (komunitas) sebagai pusat pembelajarannya.
Kedua, sekolah alternatif memiliki prinsip-prinsip utama yang menempatkan siswa pada pembelajaran yang membebaskan dan memandirikan, mengandalkan partisipasi aktif dan kerja sama antara guru, siswa (subjek aktif) dan warga setempat, serta komponen- komponen pendidikan yang bertumpu pada kebutuhan warga sekolah serta memberdayakan masyarakat setempat. Mengenai hal ini akan dibahas secara khusus pada bab selanjutnya.