• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di JIS (Jakarta International School) merupakan salah satu kekerasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di JIS (Jakarta International School) merupakan salah satu kekerasan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2014 terjadi kehebohan karena terungkapnya kasus sexual abuse atau kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Peristiwa kekerasan seksual anak yang terjadi di JIS (Jakarta International School) merupakan salah satu kekerasan seksual yang terjadi dalam jangka waktu yang lama, dimana korban dengan inisial M, DA, dan AK mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual yang dilakukan oleh lima orang dengan inisial IA, A, Z, S, dan A. Hal tersebut terjadi karena korban memilih untuk menutup mulut tentang kejadian yang dialaminya. Kasus lain yang terungkap terjadi di Sukabumi dimana korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh AS alias Emon mencapai 110 orang anak. Kasus Emon terungkap setelah beberapa bulan terjadi, korban yang awalnya malu dan takut untuk melapor, akhirnya satu persatu melapor. Kejadian serupa terjadi kembali tahun 2018 di Surabaya. Seorang guru sekolah dasar berinisial MSH melakukan sodomi terhadap 65 siswa laki-laki disekolahnya. Kekerasn seksual yang terjadi berlangsung sejak tahun 2013 sampai akhir tahun 2017. Kasus terungkap setelah salah seorang wali melaporkan pengakuan anaknya pada pertemuan wali murid (Syarif, 2014;

Nuramdani, 2014; Hadi, 2018).

Sexual abuse atau kekerasan seksual yang terjadi pada anak merupakan fenomena yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan Office for National Statistics pada tahun 2016 di Inggris ditemukan sebanyak 39.813 kasus sexual abuse pada anak (Flatley, 2016). Dimana 1 dari 20 anak di Inggris pernah mengalami sexual

(2)

abuse (Radford, L. et al, 2011). Di Amerika, sebanyak 7.4 juta anak menjadi korban kekerasan, dimana 8,5% adalah kasus sexual abuse (AmericanSPCC, 2016). Optimus Study South Africa juga menyatakan bahwa 784.967 anak di Afrika Selatan menjadi korban sexual abuse (Artz, Burton, Leoschut, Ward, & Lloyd, 2016). Dibandingkan dengan Indonesia pada tahun yang sama kasus sexual abuse pada anak mencapai angka 418 kasus (KPAI, Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak, 2016).

Tingginya angka sexual abuse pada anak dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Setiani, Handayani, & Warsiti, 2017).

Faktor internal meliputi : tingkat perkembangan seksual (fisik/psikologis) , anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku (autism), ketidaktahuan anak akan hak-haknya, ketergantungan anak pada orang dewasa, dan kurangnya pengetahuan anak mengenai KSA yang memungkinkan anak menganggap bahwa sentuhan seksual merupakan suatu hal yang pantas (Setiani, Handayani, & Warsiti, 2017; Kenny, Capri, Reena, Thakkar-Kolar, & Runyon, 2008; Cecen-Erogul & Harisci, 2013). Faktor eksternal meliputi kurangnya komunikasi antar anggota keluarga, lingkungan pergaulannya dan media massa atau yang lebih dikenal dengan teknologi informasi (Indanah, 2015).

Dewasa ini sexual abuse yang terjadi pada anak tidak hanya secara fisik tetapi juga non fisik, bisa terjadi secara langsung atau secara tidak langsung. Hal tersebut dapat terjadi karena era global sekarang ini, dimana hampir setiap orang mengenal dan menggunakan media sosial. Semakin meningkatnya penggunaan media sosial melalui gadget atau smartphone dapat mengakibatkan semakin beragamnya bentuk sexual abuse pada anak. Di Indonesia dilaporkan sebanyak 330 kasus sexual abuse yang terjadi pada anak. Kasus tersebut diklasifikasikan menjadi tiga bentuk

(3)

yaitu, pertama kejahatan seksual online dimana korbannya mencapai angka 23,6%.

Kedua adalah kasus pornografi media sosial dengan korban sebanyak 40%. Ketiga sebanyak 36,4% merupakan korban pelecehan seksual (pemerkosaan, pencabulan, sodomi/pedofilia, dsb) (KPAI, Data Kasus Perlindungan Anak Berdasarkan Lokasi Pengaduan & Pemantauan Media Se-Indonesia , 2016). Berdasarkan Child Family Community Australia, kasus sexual abuse yang terjadi di Australia diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu penetrasi dan non-penetrasi. Kasus penetrasi terjadi sebanyak 5,4 – 12%, sedangkan kasus non-penetrasi terjadi sebanyak 19,2 – 38,8% (Rosier, Scott, Robertson, Bromfield, & Vassallo, 2017).

KPAI telah mengklasifikasikan rentang usia anak yang sering menjadi korban sexual abuse pada tahun 2018 dalam rentang waktu 3 bulan (Februari sampai April). Sebanyak 9% terjadi pada anak usia 3-6 tahun, 50% pada anak usia 7-11 tahun, dan 41% terjadi pada anak usia 12-16 tahun (KPAI, Data Kasus Anak Pemantauan Media Online , 2018). Berdasarkan data diatas diketahui bahwa yang banyak menjadi korban KSA adalah usia anak sekolah dasar, hal ini dibuktikan dengan angka yang terbesar terdapat pada rentang usia 7-11 tahun.

Survei yang dilakukan Lentera Sintas Indonesia mendapatkan hasil dari 1.636 responden yang mengalami perkosaan, 72% diantaranya mengaku tidak memberitahu orang lain apa yang terjadi. Data yang diperoleh dari Inggris sebanyak 1 dari 3 anak (34%) yang memiliki pengalaman kekerasan seksual secara fisik yang dilakukan oleh orang dewasa tidak mengungkapkan pengalaman tersebut (Morrison, et al 2018). Ketakutan anak-anak tentang apa yang akan terjadi selanjutnya setelah pengungkapan yang mereka lakukan berperan penting terhadap keputusan mereka untuk terbuka atas kejadian yang mereka alami (Morrison, et al 2018).

(4)

Selain rasa takut akan apa yang terjadi setelah pengungkapan, anak-anak juga memiliki faktor pendorong keterbukaan yaitu dengan memiliki pengetahuan tentang kekerasan yang terjadi dan bagaimana mengakses pertolongan (Townsend, Grants, Manager, & Light, 2016). Namun, pendidikan seksual yang diterima anak dari kebanyakan kasus cenderung kurang. Rasa khawatir sering menjadi alasan orang tua tidak mengajarkan tentang seks kepada anak usia dini.

Banyak yang menganggap bahwa materi pendidikan seksual adalah hal yang tabu untuk diajarkan kepada anak-anak. Sehingga banyak anak-anak yang berpikiran bahwa membicarakan perkembangan seksual mereka kepada orang tua adalah hal yang tabu (Chomaria, 2012). Pendidikan seksual di luar negeri sudah menjadi bagian dari pelajaran mereka yang disesuaikan dengan usia anak. Sejak di Taman Kanak-Kanak mereka sudah diberikan pemahaman dasar tentang apa itu cinta, kasih sayang dan sebagainya. Anak usia Sekolah Dasar diberi tontonan video edukasi tentang seks dan alat reproduksi mereka sebagai dasar untuk pendidikan seks di jenjang selanjutnya (Capri, et al., 2008). Pendidikan seks di Indonesia dipandang sebagai pengetahuan luar atau bukan hal yang wajib. Topik seksualitas masih dianggap hal yang tabu untuk dibicarakan dalam keluarga. Banyak orang tua yang tidak memahami topik dan tidak tahu cara memberikan pendidikan seksual yang baik kepada anaknya. Sehingga anak-anak akhirnya belajar dan mencari tahu sendiri tentang seks melalui sumber informasi yang belum tentu kebenarannya (Zakiyah, Prabandari, & Triratnawati, 2016). Lestari dan Prasetyo (2014) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa ketika anak mulai menanyakan tentang seks, maka anak tersebut sudah dapat diberikan pendidikan seksual. Pada usia sekolah, anak mulai tertarik akan visual dan audio untuk memperoleh informasi (Sesmiarni, 2014).

(5)

Terkait fenomena yang terjadi di atas, peneliti menawarkan solusi dalam pemberian pendidikan sexual abuse kepada anak dengan menggunakan media video. Video memadukan dua elemen penting yaitu visual dan audio, dimana anak- anak akan lebih mudah memahami penjelasan oleh gambar bergerak dan audio (Sesmiarni, 2014). Video yang menarik, akan membuat anak mudah menangkap informasi melalui dua indera yaitu penglihatan dan pendengaran. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran visual dapat meningkatkan memori dari 14%

menjadi 38%. Penelitian tersebut juga memaparkan bahwa adanya perbaikan kosakata sebesar 200% (Prastowo, 2011). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Heru Iskandar, Suhadi dan Maryati dengan judul “Pengaruh Modeling Media Video Cuci Tangan terhadap Kemampuan Cuci Tangan pada Siswa Kelas 4 di SD Wonosari 02 Mangkang Semarang” terdapat perubahan kemampuan cuci tangan sebelum dan sesudah diberikan modeling media video cuci tangan. Pengggunaan media video mampu meningkatkan kemampuan cuci tangan pada siswa kelas 4 SD, dengan hasil skor baik sebanyak 77 siswa (100%) serta skor kurang dan buruk sebanyak 0 siswa (0%) (Iskandar, Suhadi, & Maryati, 2014). Penelitian lainnya yang menggunakan video sebagai intervensi dalam penelitian juga memberikan hasil yang positif, terdapat pengaruh yang signifikan pada rata-rata hasil belajar Matematika kelas VI dan IPA kelas IV (Prasetia, 2016; Fasyi, 2015).

Dalam prinsip penggunaan media penyuluhan dikatakan bahwa pengetahuan yang ada pada individu diterima melalui panca indera. Semakin banyak panca indera yang digunakan semakin banyak dan semakin jelas pengertian dan pengetahuan yang diperoleh (Nurfalah et al, 2014). Anderson dalam Prastowo (2011) menjelaskan bahwa terdapat 3 tujuan dalam video, salah satunya adalah tujuan afektif, dimana video dapat mempengaruhi emosi dan sikap individu. Video

(6)

mampu memvisualisasikan materi yang sulit untuk diterangkan hanya dengan penjelasan (Hamdani, 2011). Hal tersebut dikarenakan video (audio-visual) dapat menghadirkan situasi nyata dari infromasi yang disampaikan untuk kesan yang mendalam (Nurfalah et al, 2014). Media video sangat bermanfaat terhadap tumbuh kembang anak-anak khususnya media video animasi pendidikan seks untuk anak berusia dini. Selain mempercepat proses belajar, media audio visual juga mampu mengubah sikap pasif dan statiske arah sikap aktif dan dinamis (Nurfalah et al, 2014).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti di Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Malang tahun 2017 tercatat sebanyak 80 kasus kekerasan yang dilakukan kepada anak usia 0-18 tahun. Kasus sexual abuse yang terjadi pada anak mencapai 30 kasus.

Sedangkan Menurut data laporan Polres Kota Malang tahun 2017-2018, tercatat sebanyak 18 kasus sexual abuse yang telah dilaporkan. Kasus yang tercatat dibagi menjadi 2 yaitu persetubuhan terjadi sebanyak 88,9% dan cabul terjadi sebanyak 11,1%. Rentang usia korban yang telah dilaporkan adalah usia 12-16 tahun, dengan presentase usia 12-13 tahun sebesar 50% dan usia 14-16 tahun sebesar 50%.

Angka kejadian yang tercatat dengan modus iming-iming terjadi sebesar 60%, sedangkan modus ancaman terjadi sebanyak 40% telah dilaporkan dan sebagian besar kasus yang terjadi diketahui bahwa pelaku dari semua laporan KSA (100%) adalah orang yang dikenal korban. Dari keterangan pihak Kapolres diketahui bahwa wilayah yang banyak terjadi kasus sexual abuse adalah wilayah dengan penduduk yang padat seperti di wilayah Lowokwaru dan Belimbing. Kasus sexual abuse yang terjadi sebagian besar berawal dari media sosial seperti facebook, sedangkan sebagian lainnya terjadi karena orang yang ada di lingkungan korban.

(7)

Selain itu, terdapat beberapa kasus yang dilaporkan terjadi karena pelaku sering menonton video atau film yang mengandung pornografi sehingga muncul keinginan untuk melakukannya.

Dari beberapa penjabaran terkait diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh media video dalam pendidikan sexual abuse terhadap kemampuan berbagi pengalaman pada anak usia sekolah dasar tentang pernah atau tidaknya mereka mengalami kejadian sexual abuse.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka peneliti merumuskan “Apakah terdapat perbedaan pengaruh media video dengan penyuluhan dalam pendidikan sexual abuse terhadap keterbukaan diri pada anak usia sekolah dasar”.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya,maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh media video dalam pendidikan sexual abuse terhadap keterbukaan diri tentang pengalaman sexual abuse yang dialami anak usia sekolah dasar.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi keterbukaan diri pada anak usia sekolah dasar sesudah diberikan video pendidikan dan penyuluhan tentang sexual abuse.

2. Analisis perbedaan pengaruh media video pendidikan dan penyuluhan sexual abuse terhadap keterbukaan diri pada anak usia sekolah dasar.

(8)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Dapat memberikan informasi teoritik mengenai pendidikan sexual abuse atau kekerasan seksual serta dapat memberikan sumbangan pemikiran atau pengetahuan baru dan memperkaya konsep berfikir dalam dunia keperawatan terutama mengenai kejadian kekrasan seksual pada anak.

1.4.2 Manfaat Praktis 1. Bagi peneliti

Sebagai pengetahuan, wawasan, dan pengalaman yang berharga bagi peneliti untuk mengetahui keilmuan baru mengenai sexual abuse pada anak yang dapat diterapkan sebagai acuan ilmu pada dunia keperawatan baik dalam dunia pendidikan maupun dunia profesi.

2. Bagi masyarakat

Dapat mengetahui dan memahami mengapa sexual abuse pada anak dapat terjadi dan siapa saja yang dapat melakukan tindakan tersebut.

Selain itu, hal ini juga dapat dijadikan acuan bagaimana kita melakukan pendekatan dan memberikan pendidikan seksual yang sesuai untuk anak sehingga dapat memberikan keberanian pada anak untuk bercerita mengenai apa yang telah dialaminya.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul “pengaruh media video dalam pendidikan sexual abuse terhadap keterbukaan diri pada anak usia sekolah dasar” belum pernah dilakukan, namun terdapat beberapa penelitian lain yang dapat dijadikan sebagai acuan.

(9)

1.5.1 Penelitian yang dilakukan oleh Istiqomah Aprilaz (tahun), yang berjudul

“Perbandingan Efektivitas Antara Metode Video dan Cerita Boneka Dalam Pendidikan Seksual terhadap Pengetahuan Anak Prasekolah Tentang Personal Safety Skill” dimana hasilnya terdapat perubahan pengetahuan yang signifikan (p<0,05) sebelum dan sesudah dberikan intervensi dengan video. Sebelum diberikan intervensi pendidikan seksual dengan video rata-rata nilai pengetahuan adalah 11,80 dengan nilai terendah 7 dan nilai tertinggi 16.

Setelah diberikan intervensi pendidikan seksual dengan video rata-rata nilai naik menjadi 14,73 dengan nilai terendah 11 dan nilai tertinggi 17. Peneliti sebelumnya meneliti tentang perbandingan efektivitas metode pendidikan seksual pada anak usia prasekolah terhadap pengetahuan personal safety skill, sedangkan peneliti saat ini meneliti tentang pengaruh pendidikan sexual abuse dengan metode video terhadap keterbukaan diri pada anak usia sekolah dasar.

1.5.2 Penelitian yang dilakukan oleh Indah Ivone Puspita Sari (2017), yang berjudul “Pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku ibu dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak di TK ABA Jogoyudan Yogyakarta”. Metode yang digunakan adalah pre-eksperiment the dengan rancangan penelitian one group pretest and posttest. Sample dalam penelitian tersebut berjumlah 20 orang yang dipilih dengan sampel sederhana eksperimen. Pengambilan data responden menggunakan kuesioner tertutup.

Analisis data yang digunakan Wilcoxon Match Pairs Test. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh pendidikan seksual terhadap perilaku ibu dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak di TK ABA Jogoyudan, Yogyakarta. Perbedaan penilitian ini dengan penelitian sebelumnya ada pada

(10)

masalah yang diteliti. Peneliti sebelumnya meneliti tentang pengaruh pendidikan seksual pada usia dini terhadap perilaku ibu dalam pencegahan kekerasan seksual pada anak, sedangkan peneliti saat ini meneliti tentang pengaruh pendidikan sexual abuse terhadap keterbukaan diri pada anak usia sekolah dasar.

1.5.3 Penelitian yang dilakukan oleh Novisa Arum Dhati (2013), yang berjudul

“Pengaruh pendidikan seks terhadap pengetahuan dan sikap remaja dalam pencegahan seks pranikah di SMAN I Pundong Bantul Yogyakarta”.

Metode yang digunakan adalah pre eksperimental design dengan bentuk rancangan the one group pretest-posttest design. Populasi diambil dari semua siswa kelas X di SMAN I Pundong sebanyak 162 responden. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling, dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 32 responden (25%). Pengambilan data menggunakan instrument kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah uji statistic Wilcoxon. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan serta sikap pada remaja setelah diberikan pendidikan seksual dibandingkan sebelum diberikan pendidikan seksual. Perbedaan penilitian ini dengan penelitian sebelumnya ada pada masalah yang diteliti. Peneliti sebelumnya meneliti tentang pengaruh pendidikan seks terhadap pengetahuan dan sikap remaja dalam pencegahan seks pranikah, sedangkan peneliti saat ini meneliti tentang pengaruh pendidikan sexual abuse terhadap keterbukaan diri pada anak usia dasar.

1.5.4 Penelitian yang dilakukan oleh Peni Rahma Anindita (2017), yang berjudul

“Pengaruh penyuluhan pendidikan seksual dini terhadap tingkat pengetahuan pada ibu di TK ABA Wirobrajan I dan II Yogyakarta”. Metode

(11)

yang digunakan adalah pre-experimental design, dengan rancangan one group pretest posttest. Populasi dalam penelitian tersebut adalah seluruh ibu yang memiliki anak yang bersekolah di TK ABA I dan II. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. Sampel yang diambil sebanyak 30 orang.

Pengambilan data pada responden menggunakan instrument kuesioner dengan skala guttman. Analisis data pada penelitian tersebut adalah uji paired t-test. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh penyuluhan pendidikan seksual dini terhadap tingkat pengetahuan ibu. Perbedaan penilitian ini dengan penelitian sebelumnya ada pada masalah yang diteliti. Peneliti sebelumnya meneliti tentang pengaruh penyuluhan pendidikan seksual dini terhadap tingkat pengetahuan ibu, sedangkan peneliti saat ini meneliti tentang pengaruh pendidikan sexual abuse terhadap keterbukaan diri pada anak usia sekolah dasar.

Referensi

Dokumen terkait

Bagian pertama tentang pendekatan dalam kajian etika komunikasi yaitu pendekatan kultural guna menganalisis perilaku pelaku profesi komunikasi dan pendekatan strukrural

Hal ini berarti apabila suatu negara membuka hubungan diplomatik dengan negara lain belum tentu dia juga , bahwasanya pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan

Peningkatan kompetensi peserta PEDAMBA: Kelas Pemanfaatan Software Tracker dalam pelajaran Fisika Tahap ke-I” dapat dilihat dari hasil evaluasi pelaksanaan

Peningkatan pemilihan berat daripada 5 ke 7 g memberikan kesan perbezaan yang bererti (p&lt;0.05), sementara pada pilihan berat yang bertambah antara 7 dan 50 g menunjukkan

Usaha untuk menenangkan sapi dapat ditempuh dengan cara : 1). Memberikan makanan penguat terlebih dahulu pada sapi yang akan diperah. Petugas mengadakan pendekatan

Saya hanya bisa berandai: kalaupun ada yang berniat menyebut nama Siauw Giok Tjhan dalam sejarah Indonesia saat itu, tentunya akan dicatat sebagai salah satu kriminal

Seperti halnya penerapan ICT berdasarkan sarana dan prasarana (infrastruktur) yang ada di Museum Angkut, dimana penerapan ICT ini bertujuan untuk mempermudah

Nama Standar Operasional Prosedur Layanan untuk administrasi surat