• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA TEMUAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA TEMUAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA TEMUAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian Pustaka Tindak Pidana Menyebarkan Informasi

Bertujuan Menimbulkan Rasa Kebencian Atau Permusuhan Individu Dan/Atau Kelompok Masyarakat Tertentu Berdasarkan SARA

Sesuai dengan judul skripsi maupun judul Bab II di atas bagian yang pertama dari Bab ini berisi kajian pustaka tentang konsep-konsep yang terdapat didalam tindak pidana menyebarkan informasi bertujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA. Berikut di bawah ini konsep-konsep dan pengertian dan konsep-konsep tersebut diuraikan satu demi satu. Uraian akan dimulai dengan Konsep Tindak Pidana, Konsep Menyebarkan Informasi, Konsep Ujaran Kebencian, Konsep SARA.

1. Konsep Tindak Pidana

Menurut Bambang Poernomo Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelaggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum.16 Selanjutnya Tindak Pidana menurut S.R Sianturi adalah suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh Undang-Undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggungjawab).17 Lalu

16 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal., 86.

17 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP- Indonesia, Yogyakarta, 2012, hal., 18-19.

(2)

menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelalaian orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.18

Menurut ilmu hukum istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti

“strafbaarfeit”.19 Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

“perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum atau secara kriminologis).20 Kemudian konsep tindak pidana yang dalam bahasa belanda disebut Strafbarrfeit dikemukakan oleh W. P. J. Pompe. Menurut W. P. J Pompe, berpendapat: “bahwa menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan Undang-Undang. (Volgens ons positieve recht is het strafbare feit niets Andres dan een feit, dat it oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in omschreven). Beliau mengatakan, bahwa menurut teori, strafbaar feit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.21 Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukuman. Perkataan baar

18 C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal., 54.

19 M. Hariyanto dan Christina Maya Indah S., Hukum Pidana, Cetakan I, Griya Media, Salatiga, 2018, hal., 53.

20 Ibid. hal., 55.

21 Ibid, hal., 59.

(3)

diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.22 Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “Strafbaar feit” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit itu sendiri, akan tetapi tindak pidana biasa disamakan dengan delik, yang berasal dari Bahasa Latin yakni kata delictum.23 Dalam buku Hukum Pidana Indonesia, P. A. F. Lamintang, berpendapat bahwa Strafbaar feit atau perbuatan yang dapat di hukum adalah suatu “pelanggaran norma” atau Normovertreding (gangguan terhadap tertib-hukum), yang dapat dipersalahkan kepada pelanggar, sehingga perlu adanya penghukuman demi terpeliharanya tertib-hukum dan dijaminnya kepentingan umum.24 Normovertreding dimaksudkan suatu sikap atau perilaku atau Gendraging, yang dilihat dari penampilannya dari luar adalah bertentangan dengan hukum, sehingga melanggar hukum dan antara sikap dan perilaku itu terdapat suatu hubungan yang demikian rupa dengan si pelanggar, sehingga ia dapat dipersalahkan karena pelanggaran hukum tersebut, atau dengan perkataan lain ia telah bersalah karenanya.25 Berdasarkan rumusan yang ada, strafbaarfeit memuat berberapa unsur yakni: 1. Suatu perbuatan manusia, 2.

Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang, 3.

Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.26

22 Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta ,2002, hal., 69.

23 Ibid, hal., 47.

24 P. A. F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal., 5.

25 Ibid, hal., 5.

26 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Cetakan 8, Raja Grafindo Persada, Depok, 2017, Hal., 47.

(4)

Tindak pidana merupakan perilaku menyimpang yang lahir didalam kehidupan masyarakat.27 Lahirnya perilaku menyimpang dalam masyarakat menyebabkan ketidakseimbangan keteraturan sosial, permesalahan antara individu dan kelompok, serta mengganggu ketertiban sosial28 Menurut Marc Ancel permasalahan dalam tindak pidana tidak hanya menyangkut soal permasalahan sosial. Tindak pidana juga menjadi permasalahan kemanusiaan.29

2. Konsep Informasi Elektronik

Era globalisasi yang terjadi saat ini melahirkan perubahan dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Salah satu perubahan tersebut terjadi didalam bidang hukum atau peraturan.30 Yang menjadi permasalahan selanjutnya sejauh mana hukum dapat sesuai dengan perubahan tersebut dan bagaimana tatanan hukum itu tidak tertinggal dengan perubahan masyarakat agar ada keserasian antara masyarakat dan hukum supaya melahirkan ketertiban dan ketentraman yang diharapkan.31 Karena pada dasarnya hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-citanya mewujudkan suatu keadaan tertentu.32 Pada akhirnya globalisasi dalam bidang hukum melahirkan Undang-Undang ITE sebagai produk hukum baru yang dibuat untuk memberikan kepastian hukum.

27 Supriyadi, Penetapan Tindak Pidana Sebagai Kejahatan dan Pelanggaran Dalam Undang-Undang Pidana Khusus, Mimbar Hukum, Vol., 27 No., 3, 2015, hal.,390.

28 Bardan Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal., 11.

29 Marc Ancel, Social Defence: A Modern Approach to Criminal Problems, Routledge dan Paul Kegan, London, 1965, hal., 99.

30 Syaifullah Noor, Mohd. Din, M. Gaussyah, Informasi dan Transaksi Elektronik Dikaitkan Dengan Kebebasan Berekspresi, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Vol., 3 No., 3, 2015, hal.,69.

31 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (cybercrime): Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hal., 12.

32 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1991, hal., 27.

(5)

Karena kepastian hukum akan dapat diwujudkan apabila ada sanksi terhadap peraturan hukum yang dibuat.33

Penggabungan antara teknologi komputer dan telekomunikasi telah menghasilkan suatu revolusi di bidang sistem informasi.34 Informasi adalah pemberitahuan atau benda abstrak yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan positif maupun sebaliknya.35 Sedangkan informasi Elektronik dijelaskan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (vide Pasal 1 butir ke-1 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik).

Informasi elektronik dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Informasi elektronik dibagi menjadi data elektronik, tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, elektronic data interchange (EDI), Surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau fax, huruf, tanda, angka , kode akses, simbol, perofasi.36 Menurut Bambang Edi Gunawan, terdapat berbagai jenis informasi elektronik dan dokumen elektronik berdasarkan UU ITE. Jenis informasi elektronik seperti foto,

33 Enni Soerjati Priowirjanto, Pengaturan Transaksi Elektronik dan Pelaksanaanya di Indonesia Dikaitkan dengan Perlindungan E-Konsumen, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol., 1 No., 2, 2014, hal., 289.

34 Ria Safitri, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Bagi Perguruan Tinggi, Jurnal Sosial dan Budaya Syar-I, Vol.,5 No.,3, 2018, hal., 3.

35 ABD. Nasir dan Hendrika T. S., Dampak Globalisasi Informasi dan Komunikasi Terhadap Kehidupan Sosisal Budaya Generasi Muda di Kelurahan Cililitan D.K.I JakartaI, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, hal., 2.

36 M. Iqbal Tarigan, Alat Bukti Elektronik dalam Hukum Acara Di Indonesia, Jurnal Ius Civile, Vol., 2 No., 1, 2018, hal., 91-93.

(6)

suara, gambar, dan tulisan. Sedangkan jenis dari dokumen elektronik yaitu alat penyimpanan seperti flashdisk.37 Perbuatan yang dilarang oleh Undang–Undang berkaitan dengan informasi elektronik adalah mendistribusikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang muatannya berisi melanggar kesusilaan, muatan perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik atau pemerasan dan atau pengancaman.38

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi digital menurut Ford Jenkins dan Green telah melipatgandakan percepatan pesan media, yang memunculkan praktik dan nilai-nilai dalam berbagai konten media digital. Media digital seperti facebook, twitter, dan instagram merupakan salah satu platform media digital yang berperan sebagai ruang publik, dimana praktek budaya demokrasi masyarakat dalam bertukar gagasan dan pendapat terjadi.39

3. Konsep Ujaran Kebencian

Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.40 Tindakan provokasi juga termasuk kedalam kategori hate speech.41

37 Bambang Indra Gunawan, Penerapan E-mail sebagai Bukti Elektronik dalam Sengketa Hukum Perdata di Indonesia, Jurnal Lex Justitia, Vol., 2 No., 1, Januari, 2020, hal., 9.

38 Raida L. Tobing, Penelitian Hukum Tentang Efektivitas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2012, hal., 20.

39 Ford Jenkins dan Green, Spreadable Media: Creating Value and Meaning in a Networked Culture, New York University Press, Vol., 7 No., 3, 2013, hal., 21

40 Zulkarnain, Ujaran Kebencian (Hatespeech) Di Masyarakat Dalam Kajian Teologi, jurnal.uinsu.ac.id, Vol., 3 No., 1, 2020, hal., 72.

41 Umma Farida, Hate Speech dan Penanggulangannya menurut Al-Qur’an dan Hadis, Journal.Stainkudus.ac.id, Vol., 4 No., 2, 2018, hal., 315.

(7)

Dalam penggunanya di Indonesia kata provokasi mempunyai arti yang mencakup perbuatan-perbuatan seperti menghasut, memancing, dan mempengaruhi.42 Sedangkan dalam arti hukum Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini disebut (Hate Site). Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.43

Pada dasarnya, ujaran kebencian berbeda dengan ujaran (speech) pada umumnya, walaupun didalam ujaran tersebut mengandung kebencian, menyerang, dan berkobar-kobar. Perbedaan tersebut terletak pada niat (intention) dari suatu ujaran yang memang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung.44 Pada Pasal 156 KUHP lebih dikenal dengan pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Perbuatan menyatakan perasaan permusuhan (vijanschap), adalah perbuatan menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang oleh umum sebagai memusuhi suatu golongan penduduk Indonesia. Perbuatan menyatakan kebencian (haat), adalah berupa perbuatan menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang atau dinilai oleh umum sebagai membenci terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.

42 Jovian Crisnan andawari, Provokasi Untuk Melakukan Tindak Pidana dari Sudut Pandang Penganjuran (Pasal 55 Ayat (1) ke-2 KUHP) dan Tindak Pidana Penghasutan, Lex Crimen, Vol., 8 No., 11, 2019, hal., 6.

43 Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009, hal., 38

44 Lidya Suryani Widawati, Ujaran Kebencian: Batasan Pengertian dan Larangannya, Jurnal Puslit BKD, Vol., 10 No., 6, 2018, hal.,2.

(8)

Demikian juga perbuatan menyatakan ucapan yang isinya dipandang oleh umum sebagai menghina, merendahkan atau melecehkan terhadap suatu golongan penduduk Indonesia. Tiga perbuatan ini mencerminkan sifat rasa yang sama, ialah perasaan tidak senang atau tidak bersahabat, perasaan kedudukan yang tidak sejajar antara sesama golongan penduduk, yang seharusnya sebagai rakyat Indonesia tidak perlu memiliki perasaan seperti itu.45 Penyalahgunaan teknologi informasi untuk menyebarkan ujaran kebencian sering dilakukan untuk tujuan pribadi, seperti menciptakan rasa permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu dalam bentuk SARA, hal tersebut bisa terjadi secara sengaja hanya karena tindakan emosional yang ditujukan kepata individu atau kelompok tertentu tanpa adanya keuntungan yang didapat.46 Ujaran kebencian juga bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pembantaian etnis atau genosida terhadap kelompok.47 Kriteria suatu ucapan yang dianggap sebagai ujaran kebencian, permusuhan atau menghina terhadap suatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat dijadikan pegangan adalah pada nilai-nilai moral, tata susila dalam pergaulan hidup bermasyarakat sebagai suatu bangsa yaitu bangsa Indonesia.48 Karena sebenarnya ujaran

45 Adami Chazawi, Hukum Pidana Positif Penghinaan, Cetakan II Edisi Revisi, Media Nusa Creative, Malang, 2016, hal., 199.

46 Andi Sepima, Goomgom T.P. Siregar dan Syawal Amry Siregar, Penegakan Hukum Ujaran Kebencian d Republik Indonesia, Jurnal Retentum, Vol., 2 No., 1, 2021, hal.,109.

47 Ismail dan Satrio Utomo Nuswantoro, Pengaturan Hukum Terhadap Tindak Pidana Ujaran Kebencian (Hate Speech), Jurnal Pionir LPPM Universitas Asahan, Vol., 5 No., 3, 2019, hal.,70.

48 Bimawan Domas Hidayat, Agus Surono dan Maslihati Nur Hidayati, Ujaran Kebencian pada Media Sosial pada Saat Pandemi Covid-19, Jurnal uai.ac.id, Vol., 6 No., 2, 2021, hal., 28.

(9)

kebencian ini bertolak belakang dengan konsep kesantunan berbahasa sebagai indikator kecerdasan linguistik, sama halnya dengan etika berkomunikasi.49

4. Konsep SARA

Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam dan luas.50 Menurut Nasikun, keragaman masyarakat multikultural sebagai kekayaan bangsa di sisi lain sangat rawan memicu konflik dan perpecahan.51 Salah satu wujud nyata dari konflik tersebut adalah ujaran kebencian mengenai SARA. SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan, atau kesukuan dan golongan.52 Secara umum ujaran kebencian tentang SARA dilakukan melalui postingan pada media sosial, karena media sosial diasumsikan dapat mendorong keterlibatan penggunanya untuk mensirkulasikan pesan komunikasi secara online, meski informasi yang dikonsumsi belum tentu jelas kebenarannya.53 sedangkan postingan SARA diartikan postingan informasi atau penyebarluasan informasi yang isinya menyinggung hal – hal yang yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antar golongan. Tujuan dari penyebarluasan informasi tersebut sangat beragam, mulai dari sekedar posting, menciptakan sekat–sekat antar masyarakat, memancing agar

49 Dian Junita Ningrum, Suryadi dan Eka Chandra Wardhana, Kajian Ujaran Kebencian di Media Sosial, Jurnal Ilmiah Korpus, Vol., 2 No., 3, 2018, hal., 243.

50 Gina Lestari, Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan SARA, journal.um.ac.id, Vol., 28 No., 1, 2015, hal., 31.

51 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal., 33.

52 Benny Sumardiana, Formulasi Kebijakan Tindak Pidana Berbasis Isu SARA dalam Pemilihan Umum, Pandecta, Vol., 11 No., 1, 2016, hal., 81.

53 Dita Kusumasari dan S. Arifianto, Makna Teks Ujaran Kebencian Pada Media Sosial, Jurnal Komunikasi, Vol., 12 No., 1, 2020, hal., 2.

(10)

timbul atau terjadi gesekan, hingga membangun hubungan permusuhan.

Penyebarluasan informasi yang berkaitan dengan SARA menjadi hal yang perlu diwaspadai karena dapat menjadi pemicu terjadinya ketegangan antar masyarakat terutama bagi masyarakat yang tidak mampu menyaring informasi yang diterimanya.54 Selanjutnya Rahadi mengatakan bahwa permasalahan yang timbul dari penggunaan media sosial adalah banyaknya informasi palsu atau hoax yang menyebar luas, bahkan orang terpelajar pun tidak bisa membedakan mana berita yang benar, advertorial, dan hoax.55 Putra mengatakan bahwa yang menjadi trend saat ini adalah penggunaan media sosial untuk menyebarkan konten SARA dengan maksud mempropaganda golongan tertentu untuk menciptakan berbagai bentuk diskriminasi.56 Terkait dengan isu SARA, Kriyantono berpendapat bahwa isu adalah berbagai perkembangan didalam arena publik kemudian berlanjut dan berdampak lebih luas kepada masyarakat. Kriyantono juga menambahkan isu merupakan titik awal munculnya konflik.57 Sentimen SARA atau perasaan paling mendasar dari individu atau kelompok yang bersifat sangat sensitif, mudah tersentuh, mudah tersakiti atau mudah terluka, sehingga bila mendapat stimulan (rangsangan) maka akan tergerak lalu berwujud dalam bentuk kemarahan atau kesedihan.58 Etika bermedia sosial untuk masyarakat multietnis sangat diperlukan

54 Christine Purnamasari Andu, Efek Postingan Sara Di Media Sosial Terhadap Pertemanan, journal.unhas.ac.id, Vol., 4 No., 1, 2018, hal., 2.

55 Dedi Rianto Rahadi, Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial, Jurnal Mnajemen dan Kewirausahaan, Vol., 5 No., 1, 2017, hal.,59.

56 Fajar Dwi Putra, Psikologi Cyber Media Seni Komunikasi Propaganda Menggunakan Media Sosial Dalam Kaitannya Dengan Isu SARA di Indonesia, Journal Channel, Vol., 5 No., 2, hal., 92.

57 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis. Riset Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hal., 152.

58 Metha Madona, Jurnalisme Provokasi Berbasis SARA: Studi Kasus Pemilihan Umum Presiden 2019, Jurnal Keamanan Nasional, Vol., 5 No., 1, 2019, hal., 74

(11)

meskipun, curhat di media sosial dapat melegakan secara emosional dan bahkan bisa menjadi saluran yang bisa menyembuhkan orang, namun perlu diingat resiko dari ketidakpahaman terhadap etika dapat berujung ke masalah hukum.59

5. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Menyebarkan Informasi Bertujuan Menimbulkan Rasa Kebencian Atau Permusuhan Individu dan/atau Kelompok Masyarakat Tertentu Berdasarkan SARA

Perkembangan teknologi komputer dan internet memberikan implikasi- implikasi yang signifikan terhadap pengaturan atau pembentukan regulasi dalam ruang siber dan hukum siber serta terhadap kerkembangan kejahatan dalam dunia maya (cyberspace) dan (cybercrimes).60 Dalam pembentukan aturan hukum, terbangun asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap suatu peraturan hukum, asas tersebut ialah kepastian hukum,. Gagasan mengenai asas kepastian hukum pertama kali diperkenalkan oleh Gustav Radbruch dalam bukunya yang berjudul einfuhrung in die rechtswissenschaften, Radbruch menuliskan bahwa didalam hukum terdapat tiga nilai dasar yakni: keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan kepastian hukum (rechtssicherheit).61 Sejatinya peraturan dibuat untuk memberikan kepastian hukum, hal tersebut dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan.62 Kepastian hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi yustisiabel (pencari keadilan)

59 Lidyawati Evelina, Analisis Isu S (Suku) A (Agama) R (Ras) A (Antar Golongan) di Media Social Indonesia, ejournals.umn.ac.id, Vol., 7 No., 1, 2015, hal., 120.

60 Josua Sitompul, Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Tatanusa, Jakarta, 2012, hal., 26.

61 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal., 19.

62 Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Kontruksi Penalaran Positivisme Hukum, Jurnal Crepido, Vol., 1 No., 1, 2019, hal., 14.

(12)

terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.63 Peraturan perundang-undangan harus dipatuhi setiap lapisan masyarakat dalam upayanya menjamin kepastian hukum yang berkeadilan.64

Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur mengenai penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam penggunakan teknologi informasi, salah satunya bagi individu yang menggunakan media teknologi informasi seperti media sosial sebagai media penyampaian pendapat atau kritik didalam ruang cyber. Ketentuan yang mengatur terkait hal tersebut antara lain, Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 45A ayat (3).65 Tindak pidana menyebarkan informasi bertujuan menimbulkan rasa kebencian ata permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA pada prinsipnya telah diatur didalam Undang-Undang serta segala peraturan pelaksanaannya, diantaranya UUD 1945 dan KUHP yakni terdapat dalam Pasal 156, 156a, dan 157. Namun peraturan tersebut dinilai belum efektif dan dalam prakteknya masih menemui batasan dalam pengimplementasiannya, khususnya bagi mereka yang menjadikan SARA sebagai kontennya. Atas hal tersebut maka lahirlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-

63 Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal., 2.

64 Muhammad Junaidi, Kadi Sukarna dan Bambang Sadono, Pemahaman Tindak Pidana Transaksi Elektronik dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jurnal Budimas, Vol., 2 No., 2, 2020, hal.,112.

65 Nur Rahmawati, Muslichatun dan M. Marizal, Kebebasan Berpendapat Terhadap Pemerintah Melalui Media Sosial Dalam Prespektif UU ITE, ejournal.widyamataram.ac.id, Vol., 3 No., 1, 2021, hal., 63.

(13)

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.66 Pasal dalam UU ITE lebih mudah diterapkan ketimbang ketentuan dalam KUHP utamanya dalam menindak penyebaran kebencian berdasarkan SARA di dunia maya atau media sosial.67 UU ITE hadir untuk mengatur penggunaan teknologi informasi secara luas dan terarah demi terciptanya masyarakat elektronik yang selalu menerapkan moral dan etika dalam segala aspek kehidupannya.68 Meskipun telah terbentuk UU ITE di Indonesia dalam kenyataan atau realitanya dunia siber tetap sulit untuk dijinakan karena cyberspace merupakan dunia virtual yang sulit ditemukan secara nyata tetapi dapat dikunjungi oleh berjuta pengguna di seluruh dunia setiap saat. Karakteristik inilah yang mempengaruhi UU ITE itu mempunyai kendala dalam penerapannya.69

B. Temuan Tindak Pidana Menyebarkan Informasi Bertujuan Menimbulkan Rasa Kebencian Atau Permusuhan Individu Dan/Atau Kelompok Masyarakat Tertentu Berdasarkan SARA

Sesuai dengan judul sub bab ini, berikut di bawah ini digambarkan tindak pidana menyebarkan informasi bertujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.

Gambaran tindak pidana tersebut dikemukakan dalam rangka menjawab pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah penelitian di bab terdahulu.

66 Bonanda Japatani Siregar, Problem Pengaturan Cybercrime Melalui Aktifitas Internet dalam Kasus SARA di Pilkada Serentak 2018, jurnal-lp2m.umnaw.ac.id, Vol., 3 No., 1, 2018, hal.,331.

67 Sahrul Mauludi, Seri Cerdas Hukum: Awas Hoax! Cerdas Menanggapi Pencemaran Nama Baik, Ujaran Kebencian dan Hoax, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2018, hal., 207.

68 Ria Safitri, Op.Cit, hal., 200

69 Raditya Setyawan dan Muhammad Okky Arista, Efektivitas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia dalam Aspek Hukum Pidana, Recidive, Vol., 2 No., 2, 2013, hal., 141.

(14)

Gambaran dimaksud sesuai dengan ilmu penemuan hukum adalah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Temuan atau hasil penelitian yang digambarkan dalam sub bab ini. Diuraikan putusan Nomor 3808 K/Pid.Sus/2019.

Diharapkan dengan gambaran dari putusan atau temuan tersebut dapat diketahui secara lebih jelas tindak pidana menyebarkan informasi bertujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan sara. Putusan pengadilan dimaksud dalam ilmu penemuan hukum (Keadilan Bermartabat) adalah temuan. Berikut ini temuan tindak pidana menyebarkan informasi bertujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.

Menurut teori yang digunakan oleh penulis seperti telah disinggung di atas, apabila orang hendak menemukan hukumnya maka hukumnya tersebut ditemukan dalam jiwa bangsa (volkgeist). Manifestasi atau wujud konkrit dari volkgeist tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku dan putusan-putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hukumnya atau hukum yang dicari dan dijelaskan di bawah ini adalah kaidah tentang tindak pidana menyebarkan informasi bertujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.

Temuan berikut ini adalah Putusan No.3808 K/Pid.Sus/2019. Temuan ini merupakan temuan dari penelitian ini tentang tindak pidana menyebarkan informasi bertujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA. Temuan ini telah memenuhi syarat sebagai suatu kaidah hukum karena didasarkan atas prinsip

(15)

dalam hukum acara pidana, bahwa suatu putusan harus berisi irah-irah demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Putusan ini adalah putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di tingkat kasasi. Kadiah hukum yang terdapat dalam putusan ini adalah kaidah hukum pidana khusus. Putusan ini dibuat pada tahun 2019.

1. Subyek Hukum Tindak Pidana Menyebarkan Informasi Bertujuan Menimbulkan Rasa Kebencian Atau Permusuhan Individu Dan/Atau Kelompok Masyarakat Tertentu Berdasarkan SARA

Dalam perkara yang melibatkan Terdakwa, yaitu Megawaty H. Maku, seorang yang beragama. Terdakwa bekerja sebagai ibu rumah tangga. Terdakwa, seorang perempuan berkebangsaan Indonesia lahir di Luwuk pada tanggal 12 Oktober 1986. Pada saat putusan kasasi ini dibuat Terdakwa berusia 32 Tahun.

Terdakwa tinggal di Dusun Melati, Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato.

Tidak berhenti di pengadilan tingkat pertama, perkara ujaran kebencian berdasarkan SARA yang melibatkan Megawaty H. Maku sebagai Terdakwa telah dilakukan upaya hukum pada tingkat banding dan kasasi. Dalam perkara ini, ditingkat Pengadilan Negeri, Terdakwa tidak didampingi oleh Penasihat Hukum walaupun untuk itu telah diberitahukan hak-haknya. Hakim yang mengadili Terdakwa pada pengadilan tingkat pertama adalah Firdaus Zainal, S.H. sebagai Hakim Ketua, Hamsurah, S.H. dan Kristiana Ratna Sari Dewi, S.H. masing- masing sebagai Hakim Anggota. Panitera dalam perkara ini adalah Nuryanto D.

Nussa, S.H. sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Marisa. Pada

(16)

tingkat banding yang menjadi Hakim Ketua adalah Dr. I Made Sukadana, S.H., M.H dengan H. Mustofa, S.H. dan Sigit Hariyanto, S.H., M.H. sebagai Hakim Tinggi yang menjabat sebagai Hakim Anggota. Panitera Pengganti dalam persidangan tingkat banding adalah H. Muh. Aldrin Malie, S.H. Ketua Majelis pada tingkat kasasi adalah Sri Murwahyuni, S.H., M.H dengan Dr. H. Eddy Army, S.H., M.H. dan Dr. Gazalba Saleh, S.H., M.H. Hakim-Hakim Agung yang menjabat sebagai Hakim Anggota serta Sri Indah Rahmawati, S.H. sebagai Panitera Pengganti.

2. Kasus Posisi menurut Dakwaan Penuntut Umum

Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Marisa menuntut Terdakwa dengan dakwaan alternatif. Dalam dakwaan tersebut, Jaksa Penuntut Umum memberikan tiga dakwaan. Yang pertama, Terdakwa didakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan atntar golongan (SARA). Perbuatan Terdakwa tersebut diancam pidana dalam Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Cara atau epistimologi, modus operandi Terdakwa melakukan tindak pidananya dapat diuraikan sebagai berikut.

Berawal pada hari Selasa, tanggal 6 Juni 2017 sekira jam 20.53 WITA, ketika Terdakwa bermaksud untuk beristirahat didalam kamarnya, selanjutnya Terdakwa

(17)

mendengar suara pengajian melalui pengeras suara di Masjid Al Aqso yang terletak di Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato yang dilaksanakan oleh Kelompok Pengajian Ibu-Ibu. Karena mendengar suara pengajian tersebut, Terdakwa kemudian merasa terganggu karena Terdakwa tidak dapat beristirahat, selanjutnya Terdakwa mengambil telepon genggam, merek Samsung, warna biru miliknya dengan nomor simcard 0821-5207-7877 setelah itu Terdakwa membuka akun Facebook miliknya yang bernama Megawaty Maku setelah itu Terdakwa membuat tulisan dan mempostingnya ke status facebook miliknya tersebut dengan kalimat bahwa ”boleh jo ini orang mengaji nda usah pake toa klo sadar nda bagus didengar..mana tajwid-harakat so baku cako. rupa oma2 saki puru talapas gigi..mangganggu skali!!! Al-qur’an itu qalam ilahi..ibarat pencipta lagu trus ada penyanyi yg bawain lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama..apa yg nyiptain lagu gak jengkel?? apalagi yg denger. Ho tuhaii..ampir tiap mlm ini derita kasiang. Somo prop deng apa ini kuping (emotion marah),yang artinya kurang lebih bahwa ”boleh orang mengaji ini tidak usah pakai pengeras suara (Toa) kalau sadar tidak bagus didengar. Mana tajwid-harakat sudah campur aduk. Seperti nenek-nenek sakit perut terlepas gigi. Mengganggu sekali. Al-Qur’an itu Qalam Ilahi, ibarat pencipta lagu terus ada penyanyi yang membawakan lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama. Apa yang menciptakan lagu tidak kesal??apalagi yang mendengar. Oh Tuhan..hampir tiap malam penderitaan ini kasian. mau di tampal dengan apa telinga (emotion/gambar ekspresi marah di Facebook). Bahwa selanjutnya pada hari Rabu, tanggal 7 Juni 2017 sekira jam 21.57 WITA ketika Terdakwa akan beristirahat, Terdakwa

(18)

kemudian kembali merasa terganggu dengan suara pengajian yang dilaksanakan oleh kelompok pengajian ibu-ibu di Masjid Al-Aqso yang dikeluarkan melalui pengeras suara, setelah itu Terdakwa kembali menuliskan di akun facebook miliknya dengan tulisan bahwa ”itu pengajian atau ada b undang jailangkung p setan (emotion marah) kampret. #MasjidDalamPasarBaruMarisa. Bolo tiam mlm thd!!!”, yang artinya kurang lebih bahwa ”Itu pengajian atau mengundang setan jailangkung (emotion/ gambar ekspresi marah di facebook), kampret (makian).

#MasjiDalamPasarBaruMarisa (menyatakan sebuah tempat). Selalu tiap malam tahede (makian dalam bahasa daerah Gorontalo) kemudian mempostingnya ke halaman akun facebook miliknya. Bahwa postingan tulisan di halaman akun facebook milik Terdakwa tersebut kemudian dilihat oleh banyak orang antara lain saksi Kasim Badu, saksi Harry Gunarson, saksi Fengki Usman, saksi Anugerah Wenas yang kemudian saksi-saksi tersebut mendatangi rumah Terdakwa untuk mengkonfirmasi postingan tersebut kepada terdakwa karena postingan Terdakwa tersebut telah menyinggung perasaan kelompok masyarakat tertentu dan menimbulkan rasa kebencian terhadap kelompok pengajian di Masjid Al Aqso yang berada di Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato.

Yang kedua, Terdakwa didakwa dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentranmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Perbuatan Terdakwa tersebut terancam pidana yang diatur dalam Pasal 45 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (3) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(19)

sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Cara atau epistimologi, modus operandi Terdakwa melakukan tindak pidananya dapat diuraikan sebagai berikut. Berawal pada hari Selasa, tanggal 6 Juni 2017 sekira jam 20.53 WITA, ketika Terdakwa bermaksud untuk beristirahat didalam kamarnya, selanjutnya Terdakwa mendengar suara pengajian melalui pengeras suara di Masjid Al Aqso yang terletak di Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato yang dilaksanakan oleh kelompok pengajian ibu-ibu. Karena mendengar suara pengajian tersebut, Terdakwa kemudian merasa terganggu karena Terdakwa tidak dapat beristirahat, selanjutnya Terdakwa mengambil telepon genggam, merek Samsung, warna biru miliknya dengan nomor simcard 0821-5207-7877 setelah itu Terdakwa membuka akun facebook miliknya yang bernama Megawaty Maku setelah itu Terdakwa membuat tulisan dan mempostingnya ke status Facebook miliknya tersebut dengan kalimat bahwa ”boleh jo ini orang mengaji nda usah pake toa klo sadar nda bagus didengar..mana tajwid-harakat so baku cako. rupa oma2 saki puru talapas gigi..mangganggu skali!!! Al-qur’an itu qalam ilahi..ibarat pencipta lagu trus ada penyanyi yg bawain lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama..apa yg nyiptain lagu gak jengkel?? apalagi yg denger. Ho tuhaii..ampir tiap mlm ini derita kasiang. Somo prop deng apa ini kuping (emotion marah),yang artinya kurang lebih bahwa ”boleh orang mengaji ini tidak usah pakai pengeras suara (Toa) kalau sadar tidak bagus didengar. Mana tajwid-harakat sudah campur aduk. Seperti nenek-nenek sakit perut terlepas gigi. Mengganggu sekali.

(20)

Al-Qur’an itu Qalam Ilahi, ibarat pencipta lagu terus ada penyanyi yang membawakan lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama. Apa yang menciptakan lagu tidak kesal??apalagi yang mendengar. Oh Tuhan..hampir tiap malam penderitaan ini kasian. mau di tampal dengan apa telinga (emotion/gambar ekspresi marah di Facebook). Bahwa selanjutnya pada hari Rabu, tanggal 7 Juni 2017 sekira jam 21.57 WITA ketika Terdakwa akan beristirahat, Terdakwa kemudian kembali merasa terganggu dengan suara pengajian yang dilaksanakan oleh Kelompok Pengajian Ibu-Ibu di Masjid Al-Aqso yang dikeluarkan melalui pengeras suara, setelah itu Terdakwa kembali menuliskan di akun Facebook miliknya dengan tulisan bahwa ”itu pengajian atau ada b undang jailangkung p setan (emotion marah) kampret. #MasjidDalamPasarBaruMarisa. Bolo tiam mlm thd!!!”, yang artinya kurang lebih bahwa ”Itu pengajian atau mengundang setan jailangkung (emotion/ gambar ekspresi marah di facebook), kampret (makian).

#MasjiDalamPasarBaruMarisa (menyatakan sebuah tempat). Selalu tiap malam tahede (makian dalam bahasa daerah Gorontalo) kemudian mempostingnya ke halaman akun facebook miliknya. Bahwa postingan tulisan di halaman akun facebook milik Terdakwa tersebut kemudian dilihat oleh banyak orang antara lain saksi Kasim Badu, saksi Harry Gunarson, saksi Fengki Usman, saksi Anugerah Wenas yang kemudian saksi-saksi tersebut mendatangi rumah Terdakwa untuk mengkonfirmasi postingan tersebut kepada Terdakwa karena postingan Terdakwa tersebut telah menyinggung perasaan kelompok masyarakat tertentu dan menimbulkan rasa kebencian terhadap kelompok pengajian di Masjid Al Aqso yang berada di Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato.

(21)

Yang terakhir, Jaksa mendakwa bahwa Terdakwa telah melakukan dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Dimana perbuatan pidana tersebut diatur didalam Pasal 156 KUHP. Cara atau epistimologi, modus operandi Terdakwa melakukan tindak pidananya dapat diuraikan sebagai berikut. Berawal pada hari Selasa, tanggal 6 Juni 2017 sekira jam 20.53 WITA, ketika Terdakwa bermaksud untuk beristirahat didalam kamarnya, selanjutnya Terdakwa mendengar suara pengajian melalui pengeras suara di Masjid Al Aqso yang terletak di Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato yang dilaksanakan oleh kelompok pengajian ibu-ibu. Karena mendengar suara pengajian tersebut, Terdakwa kemudian merasa terganggu karena Terdakwa tidak dapat beristirahat, selanjutnya Terdakwa mengambil telepon genggam, merek Samsung, warna biru miliknya dengan nomor simcard 0821-5207-7877 setelah itu Terdakwa membuka akun facebook miliknya yang bernama Megawaty Maku setelah itu Terdakwa membuat tulisan dan mempostingnya ke status facebook miliknya tersebut dengan kalimat bahwa ”boleh jo ini orang mengaji nda usah pake toa klo sadar nda bagus didengar..mana tajwid-harakat so baku cako. rupa oma2 saki puru talapas gigi..mangganggu skali!!! Al-qur’an itu qalam ilahi..ibarat pencipta lagu trus ada penyanyi yg bawain lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama..apa yg nyiptain lagu gak jengkel?? apalagi yg denger. Ho tuhaii..ampir tiap mlm ini derita kasiang. Somo prop deng apa ini kuping (emotion marah),yang artinya kurang lebih bahwa ”boleh orang mengaji ini tidak usah pakai pengeras suara (Toa) kalau sadar tidak bagus didengar. Mana tajwid-harakat sudah

(22)

campur aduk. Seperti nenek-nenek sakit perut terlepas gigi. Mengganggu sekali.

Al-Qur’an itu Qalam Ilahi, ibarat pencipta lagu terus ada penyanyi yang membawakan lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama. Apa yang menciptakan lagu tidak kesal??apalagi yang mendengar. Oh Tuhan..hampir tiap malam penderitaan ini kasian. mau di tampal dengan apa telinga (emotion/gambar ekspresi marah di Facebook). Bahwa selanjutnya pada hari Rabu, tanggal 7 Juni 2017 sekira jam 21.57 WITA ketika Terdakwa akan beristirahat, Terdakwa kemudian kembali merasa terganggu dengan suara pengajian yang dilaksanakan oleh Kelompok Pengajian Ibu-Ibu di Masjid Al-Aqso yang dikeluarkan melalui pengeras suara, setelah itu Terdakwa kembali menuliskan di akun Facebook miliknya dengan tulisan bahwa ”itu pengajian atau ada b undang jailangkung p setan (emotion marah) kampret. #MasjidDalamPasarBaruMarisa. Bolo tiam mlm thd!!!”, yang artinya kurang lebih bahwa ”Itu pengajian atau mengundang setan jailangkung (emotion/ gambar ekspresi marah di facebook), kampret (makian).

#MasjiDalamPasarBaruMarisa (menyatakan sebuah tempat). Selalu tiap malam tahede (makian dalam bahasa daerah Gorontalo) kemudian mempostingnya ke halaman akun Facebook miliknya. Bahwa postingan tulisan di halaman akun facebook milik Terdakwa tersebut kemudian dilihat oleh banyak orang antara lain saksi Kasim Badu, saksi Harry Gunarson, saksi Fengki Usman, saksi Anugerah Wenas yang kemudian saksi-saksi tersebut mendatangi rumah Terdakwa untuk mengkonfirmasi postingan tersebut kepada Terdakwa karena postingan Terdakwa tersebut telah menyinggung perasaan kelompok masyarakat tertentu dan

(23)

menimbulkan rasa kebencian terhadap kelompok pengajian di Masjid Al Aqso yang berada di Desa Marisa Utara, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato.

Dengan adanya dakwaan alternatif yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Marisa, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan secara langsung dakwaan yang paling relevan dengan fakta- fakta yang ditemukan dalam persidangan, yang pada akhirnya Majelis Hakim memilih langsung dakwaan alternative kesatu sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

3. Saksi dalam Persidangan

Dalam perkara yang sedang terjadi, terdapat saksi yang diajukan dalam persidangan. Saksi pertama adalah Kasim Badu, S.pd alias Kasim saksi merupakan Ketua Gerakan Pemuda Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pohuwanto (GPPFMUIP). Saksi mengenal Terdakwa tetapi tidak memiliki hubungan keluarga dan pekerjaan dengan saksi juga mengerti dihadapkan dalam persidangan sehubungan dengan kasus penghinaan, penistaan agama, penistaan Al Qur’an dan penistaan tradisi Gorontalo melalui media sosial facebook milik Terdakwa. Saksi mengingat postingan pada facebook Terdakwa yang mengatakan bahwa orang yang mengaji itu seperti orang yang memanggil jaelangkung, selanjutnya postingan tersebut discreenshoot oleh teman saksi yakni saudara Harry Gunarso Naue dan kemudian bukti screenshoot tersebut diposting di media

(24)

sosial milik Harry Gunarso Naue dan saksi ditandai dalam postingan tersebut sehingga muncul dalam beranda facebook milik saksi. Selanjutnya dikarenakan saksi adalah Ketua Gerakan Pemuda Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pohuwanto (GPPFMUIP) dan saksi sebagai ketua mewakili rekan-rekan GPPFMUIP melaporkan postingan tersebut karena postingannya mengandung penghinaan, penistaan agama, penistaan Al Qur’an serta penistaan terhadap tradisi Gorontalo. Saksi juga menuturkan sebelum melaporkan Terdakwa saksi sempat mendatangi Terdakwa namun pada saat itu Terdakwa tidak ada itikad baik untuk meminta maaf dan membuat surat permohonan maaf atas postingan yang dilakukan Terdakwa, Terdakwa merasa bahwa postingan tersebut tidak ada masalah. Atas hal tersebut maka saksi melaporkan Terdakwa ke pihak yang berwajib. Saksi juga membenarkan bahwa Terdakwa melakukan 2 postingan yang mengandung penghinaan, penistaan agama, penistaan Al Qur’an dan penistaan terhadap tradisi Gorontalo, postingan yang pertama dilakukan Terdakwa pada tanggal 6 Juni 2017 Pukul 20.53 WITA dan yang kedua pada tanggal 7 Juni 2017 pukul 21.57 WITA. Saksi juga membenarkan postingan pertama Terdakwa yakni

”boleh jo ini orang mengaji nda usah pake toa klo sadar nda bagus didengar..mana tajwid-harakat so baku cako. rupa oma2 saki puru talapas gigi..mangganggu skali!!! Al-qur’an itu qalam ilahi..ibarat pencipta lagu trus ada penyanyi yg bawain lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama..apa yg nyiptain lagu gak jengkel?? apalagi yg denger. Ho tuhaii..ampir tiap mlm ini derita kasiang.

Somo prop deng apa ini kuping (emotion marah), dan postingan kedua Terdakwa

”itu pengajian atau ada b undang jailangkung p setan (emotion marah) kampret.

(25)

#MasjidDalamPasarBaruMarisa. Bolo tiam mlm thd!!!”, yang artinya kurang lebih bahwa ”Itu pengajian atau mengundang setan jailangkung (emotion/ gambar ekspresi marah di facebook), kampret. #MasjiDalamPasarBaruMarisa.

Selanjutnya Terdakwa menyatakan bahwa keterangan saksi tersebut adalah benar.

Saksi kedua adalah Harry Gunarso Naue alias Harry. Saksi mengenal Terdakwa tetapi tidak memiliki hubungan keluarga dan pekerjaan dengan Terdakwa, saksi juga mengerti dihadapkan dalam persidangan sehubungan dengan kasus penghinaan, penistaan agama, penistaan Al Qur’an dan penistaan tradisi Gorontalo melalui media sosial facebook milik Terdakwa. Saksi mengingat postingan pada facebook Terdakwa yang mengatakan bahwa orang yang mengaji itu seperti orang yang memanggil jaelangkung, saksi juga mengetahui arti dari kedua postingan Terdakwa yaitu yang pertama boleh orang mengaji ini tidak usah pakai pengeras suara (Toa) kalau sadar tidak bagus didengar. Mana tajwid-harakat sudah campur aduk. Seperti nenek-nenek sakit perut terlepas gigi. Mengganggu sekali. Al-Qur’an itu Qalam Ilahi, ibarat pencipta lagu terus ada penyanyi yang membawakan lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama. Apa yang menciptakan lagu tidak kesal??apalagi yang mendengar. Oh Tuhan..hampir tiap malam penderitaan ini kasian. mau di tampal dengan apa telinga (emotion/gambar ekspresi marah di facebook). Setelah mengetahui hal tersebut, saksi Bersama Kasim Badu, Anugerah Wenas dan teman-teman lainnya mendatangi rumah Terdakwa perihal mengkonfirmasi postingan Terdakwa tersebut dan Terdakwa membenarkan bahwa ia telah membuat postingan tersebut, namun menurut Terdakwa ia membuat postingan tersebut tidak ada maksud untuk menghina ibu-

(26)

ibu yang melakukan pengajian tersebut, namun ia merasa kesal dengan suara pengajian yang sangat keras dan salah-salah tajwid harakatnya. Pada saat itu saksi dan temannya meminta Terdakwa untuk membuat pernyaan permohonan maaf, namun pada saat itu Terdakwa menolak karena menurut Terdakwa postingannya tersebut tidak bermasalah. Namun banyak komentar marah dari pengguna facebook pada postingan Terdakwa yang telah dibagikan di Portal Gorontalo yang memiliki anggota lima ratus ribu pengguna facebook. Selanjutnya saksi berkordinasi dengan MUI Kabupaten Pohuwanto, karena menurut MUI Kabupaten Pohuwanto yang diposting Terdakwa telah melanggar hukum, maka saksi langsung membuat laporan di kepolisian. Selanjutnya Terdakwa menyatakan bahwa apa yang telah dijelaskan oleh saksi dalam persidangan adalah benar.

Saksi ketiga adalah Fengki Usman. Saksi mengenal Terdakwa tetapi tidak memiliki hubungan keluarga dengannya. Saksi juga sudah pernah diperiksa penyidik kepolisian dan membenarkan keterangan di BAP Penyidikan. Saksi mengetahui dan mengingat bahwa di postingan media sosial facebook Terdakwa mengatakan bahwaorang yang mengaji itu seperti orang yang memanggil jaelangkung. Saksi melihat postingan tersebut di media sosial Terdakwa yang bernama Megawaty Maku. Setelah melihat status atau postingan Terdakwa yang intinya melakukan penghinaan terhadap ibu-ibu pengajian di Masjid Al Aqza, kemudian postingan tersebut saksi screenshoot dan saksi bagikan ke Portal Gorontalo, bahwa ada 2 postingan Terdakwa yang saksi screenshoot dan bagikan ke Portal Gorontalo. Terhadap keterangan saksi, Terdakwa menyatakan bahwa keterangsan saksi tersebut adalah benar.

(27)

Saksi keempat adalah Anugerah Wenas. Saksi mengenal Terdakwa tetapi tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Terdakwa. Saksi pernah diperiksa penyidik kepolisian dan membenarkan keterangan di BAP Penyidikan. Saksi memberikan keterangan bahwa saksi mengingat postingan pada facebook Terdakwa yang mengatakan bahwa orang yang mengaji itu seperti orang yang memanggil jaelangkung, saksi pertama kali melihat postingan tersebut di grub facebook Portal Gorontalo. Saksi menambahkan bahwa postingan yang ada di Portal Gorontalo bukan kiriman langsung oleh Terdakwa melainkan screenshoot dari postingan Terdakwa diakun facebook pribadinya yang dibagikan orang lain ke grup Portal Gorontalo. Saksi juga mengetahui arti dari kedua postingan Terdakwa yaitu yang pertama boleh orang mengaji ini tidak usah pakai pengeras suara (Toa) kalau sadar tidak bagus didengar. Mana tajwid-harakat sudah campur aduk. Seperti nenek-nenek sakit perut terlepas gigi. Mengganggu sekali. Al- Qur’an itu Qalam Ilahi, ibarat pencipta lagu terus ada penyanyi yang membawakan lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama. Apa yang menciptakan lagu tidak kesal??apalagi yang mendengar. Oh Tuhan..hampir tiap malam penderitaan ini kasian. mau di tampal dengan apa telinga (emotion/gambar ekspresi marah di facebook). Setelah membaca postingan tersebut, saksi langsung membuka profil akun facebook Terdakwa yang kebetulan berteman dengan saksi dan setelah dibuka saksi membenarkan bahwa postingan tersebut dibuat oleh Terdakwa dan dikirim di profil akun facebook Terdakwa. ). Setelah mengetahui hal tersebut, saksi Bersama Kasim Badu, Harry Gunarso dan teman-teman lainnya mendatangi rumah Terdakwa perihal mengkonfirmasi postingan Terdakwa

(28)

tersebut dan Terdakwa membenarkan bahwa ia telah membuat postingan tersebut, namun menurut Terdakwa ia membuat postingan tersebut tidak ada maksud untuk menghina ibu-ibu yang melakukan pengajian tersebut, namun ia merasa kesal dengan suara pengajian yang sangat keras dan salah-salah tajwid harakatnya. Atas keterangan saksi tersebut Terdakwa menyatakan bahwa keterangan saksi tersebut adalah benar.

Saksi kelima adalah Karsum Podungge alias Oma Oti. Saksi mengenal Terdakwa tetapi tidak mempunyai hubungan keluargadengan Terdakwa. Saksi juga pernah diperiksa penyidik kepolisian dan membenarkan keterangan di BAP Penyidikan. Saksi mengetahui Terdakwa melakukan penghinaan terhadap ibu-ibu yang melakukan pengajian di Masjid Al Aqsa pada hari Kamis Tanggal 8 Juni 2017 sekitar pukul 20.30 WITA. Saksi memberikan keterangan bahwa saat itu setelah shalat tarawih, pada saat itu saksi Murni, Saksi Haliyah, saksi Meti dan ibu-ibu lainnya hendak melakukan pengajian lalu saksi Sawiyah Hula mengatakan sudah tidak ingin lagi melakukan pengajian karena pengajian tersebut telah dihina-hina oleh Terdakwa di media sosial facebook dengan mengatakan

“pengajian ini bekeng pongo telinga, tajwid dan harakat so bacu cako, macam oma-oma saki puru, macam mengundang jailangkung, tahede yang artinya pengajian ini bikin tuli, tajwid dan harakat sudah campur aduk, seperti nenek- nenek sakit perut, seperti mengundang setan jailangkung, makian Gorontalo tahede. Saksin tidak mengetahui atau melihat postingan dari Terdakwa yang isinya menghina ibu-ibu pengajian, hanya disampaikan oleh ibu-ibu lainnya bahwa Terdakwa sudah menghina ibu-ibu pengajian saat membawakan bacaan Al

(29)

Quran. Terhadap keterangan saksi, Terdakwa memberikan keterangan bahwa keterangan saksi adalah benar.

Yang keenam adalah saksi Sawiyah Hula. Saksi mengenal Terdakwa tetapi tidak memiliki hubungan keluarga dengan Terdakwa. Saksi pernah diperiksa penyidik kepolisian dan membenarkan keterangan di BAP Penyidikan. Saksi memberikan keterangan bahwa saksi tidak mengetahui secara langsung postingan tersebut karena saksi hanya mendengar dari masyarakat namun sekarang ini saksi sudah melihatnya setelah diperlihatkan oleh penyidik/penyidik pembantu. Saksi memberikan keterangan bahwa yang mengaji didalam Masjid Al Aqsa yang berada di Desa Marisa Utara Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato pada tanggal 6 dan 7 Juni 2017 adalah saksi sendiri dan teman-teman saksi diantaranya Meti Wingkana, Karsum Podunge dan Halia. Terhadap keterangan saksi Terdakwa memberikan keterangan bahwa keterangan saksi tersebut adalah benar.

Saksi yang ketujuh adalah Meti Wungkana. Saksi mengenal Terdakwa tapi tidak memiliki hubungan keluarga dengan Terdakwa. Saksi pernah diperiksa penyidik kepolisian dan membenarkan di BAP Penyidikan. Saksi memberikan keterangan bahwa saksi pernh melihat postingan Terdakwa yakni postingan pada tanggal 6 Juni ”boleh jo ini orang mengaji nda usah pake toa klo sadar nda bagus didengar..mana tajwid-harakat so baku cako. rupa oma2 saki puru talapas gigi..mangganggu skali!!! Al-qur’an itu qalam ilahi..ibarat pencipta lagu trus ada penyanyi yg bawain lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama..apa yg nyiptain lagu gak jengkel?? apalagi yg denger. Ho tuhaii..ampir tiap mlm ini derita kasiang. Somo prop deng apa ini kuping (emotion marah), selanjutnya pada

(30)

tanggal 7 Juni 2017 pukul 21.57 WITA dengan postingan “itu pengajian atau ada b undang jailangkung p setan (emotion marah) kampret

#MasjiDalamPasarBaruMarisa. Bolo tiap mlm thd!!!!”. Yang artinya kurang lebih bahwa ”boleh orang mengaji ini tidak usah pakai pengeras suara (Toa) kalau sadar tidak bagus didengar. Mana tajwid-harakat sudah campur aduk. Seperti nenek- nenek sakit perut terlepas gigi. Mengganggu sekali. Al-Qur’an itu Qalam Ilahi, ibarat pencipta lagu terus ada penyanyi yang membawakan lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama. Apa yang menciptakan lagu tidak kesal??apalagi yang mendengar. Oh Tuhan..hampir tiap malam penderitaan ini kasian. mau di tampal dengan apa telinga (emotion/gambar ekspresi marah di Facebook). Dan arti postingan yang kedua adalah “itu pengajian atau mengundang setan jailangkung? (emotion marah) kampret/makian, setiap malam tahede=umpatan dalam dialeg Gorontalo. Terhadap keterangan saksi, Terdakwa memberikan keterangan bahwa keterangan tersebut adalah benar.

Saksi kedelapan adalah Ibrahim Rajak alias Imam Bura. Saksi mengenal Terdakwa tetapi tidak mempunyai hubungan keluarga dengan Terdakwa. Saksi telah diperiksa penyidik kepolisian dan membenarkan keterangan di BAP Penyelidikan. Saksi pernah melihat postingan Terdakwa postingan pada tanggal 6 Juni ”boleh jo ini orang mengaji nda usah pake toa klo sadar nda bagus didengar..mana tajwid-harakat so baku cako. rupa oma2 saki puru talapas gigi..mangganggu skali!!! Al-qur’an itu qalam ilahi..ibarat pencipta lagu trus ada penyanyi yg bawain lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama..apa yg nyiptain lagu gak jengkel?? apalagi yg denger. Ho tuhaii..ampir tiap mlm ini

(31)

derita kasiang. Somo prop deng apa ini kuping (emotion marah), selanjutnya pada tanggal 7 Juni 2017 pukul 21.57 WITA dengan postingan “itu pengajian atau ada b undang jailangkung p setan (emotion marah) kampret

#MasjiDalamPasarBaruMarisa. Bolo tiap mlm thd!!!!”. Yang artinya kurang lebih bahwa ”boleh orang mengaji ini tidak usah pakai pengeras suara (Toa) kalau sadar tidak bagus didengar. Mana tajwid-harakat sudah campur aduk. Seperti nenek- nenek sakit perut terlepas gigi. Mengganggu sekali. Al-Qur’an itu Qalam Ilahi, ibarat pencipta lagu terus ada penyanyi yang membawakan lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama. Apa yang menciptakan lagu tidak kesal??apalagi yang mendengar. Oh Tuhan..hampir tiap malam penderitaan ini kasian. mau di tampal dengan apa telinga (emotion/gambar ekspresi marah di facebook). Dan arti postingan yang kedua adalah “itu pengajian atau mengundang setan jailangkung?

(emotion marah) kampret/makian, setiap malam tahede=umpatan dalam dialeg Gorontalo. Saksi memberikan keterangan bahwa saksi mengetahui postingan tersebut ditujukan kepada ibu-ibu pengajian Masjid Al Aqsa. Terhadap keterangan saksi, Terdakwa memberikan keterangan bahwa keterangan tersebut adalah benar.

Selain saksi diatas Penuntut umum telah mengajukan Ahli sebagai berikut.

Yang pertama adalah ahli Drs. KH. Ramon Abdjul, M.MPd. ahli merupakan anggota Dewan Penasihat MUI Pohuwato sejak Tahun 2012 berdasarkan surat keputusan nomor 101/01III/2012 tentang Penetapan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Pohuwato Masa bakti sampai dengan sekarang. Pada intinya ahli menerangkan mengenai maksud dari penghinaan terhadap pembacaan ayat suci Al Quran dan ahli memberi pendapat apabila sebuah ujaran itu

(32)

mengandung penghinaan dan kebencian terhadap orang, kelompok maupun masyarakat maka akan berakibat kekacauan dan kerusuhan ditengah-tengah ,masyarakat. Terhadap keterangan ahli tersebut, Terdakwa memberikan pendapat bahwa keterangan ahli tersebut adalah benar.

Ahli yang kedua adalah ahli Denden Imanudin Soleh, S.H., M.H., CLA.

Ahli memiliki keahlian dibidang Hukum Informasi dan Transaksi Elektronik dan pekerjaan sehari-hari sebagai PNS di Kemeninfo sejak Tahun 2011, sebagai staff di bagian hukum dan kerja sama Ditjen Aptika dengan tugas dan tanggung jawab memberikan telaah dan bantuan hukum terkait UU.RI No.8 Tahun 2008 tentang ITE dan Peraturan Pelaksanaannya. Pada intinya ahli menjelaskan mengenai perbuatan Terdakwa tersebut telah melanggar Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dan secara unsur-unsur telah memenuhi. Terhadap keterangan ahli tersebut, Terdakwa memberikan pendapat bahwa keterangan ahli tersebut ada yang benar dan ada yang tidak benar dan yang tidak benar adalah Terdakwa yang memiliki maksud menyebarkan informasi karena sebenarnya yang menyebarkan informasi adalah yang share ulang kemudian maksud ditujukan ke SARA padahal tidak ada rasa kebencian kepada siapapun karena sebenarnya sebaiknya menggunakan tajwid yang benar.

Selanjutnya Terdakwa telah mengajukan saksi yang meringankan, saksi tersebut adalah Andi Jawahir. Saksi memberikan keterangan bahwa saksi

(33)

mengerti dihadapkan persidangan sehubungan dengan masalah postingan Terdakwa di facebook dimana atas postingan tersebut Terdakwa dituduh melakukan penistaan agama atau penistaan Al Quran. Saksi tidak melihat Terdakwa melakukan postingan tersebut tetapi pada hari jumat tanggal 9 Juni 2017 saksi pada saat itu berada di Palangkaraya dalam rangka tugas mendapat informasi dari Terdakwa bahwa ada sekelompok orang yang mendatangi rumah Terdakwa/saksi yang menuduh Terdakwa telah melakukan penistaan agama atau penistaan Al Quran. Selanjutnya saksi membuka akun facebook Terdakwa dan melihat postingan tersebut untuk tanggal 6 dan 7 Juni 2017. Saksi juga membuka postingan Ari Gunarso yang memposting dan merekam secara live bahwa Terdakwa telah melakukan penghinaan dan penistaan agama. Terhadap keterangan saksi tersebut Terdakwa memberikan keterangan bahwa keterangan saksi adalah benar.

Bahwa di persidangan selain mendengarkan keterangan saksi diatas, telah pula didengar keterangan Terdakwa yang menerangkan bahwa Terdakwa pernah diperiksa oleh penyidik kepolisian dan membenarkan dalam keterangan di BAP Penyidikan. Terdakwa mengerti diperiksa di depan persidangan sehubungan dengan kalimat-kalimat yang mengandung ujaran kebencian yang Terdakwa posting di media sosial facebook milik Terdakwa yang dilakukan pada tanggal 6 Juni 2017 Pukul 20.53 WITA dan yang kedua pada tanggal 7 Juni 2017 pukul 21.57 WITA. Dimana postingan Terdakwa tersebut sebagai berikut, ”boleh jo ini orang mengaji nda usah pake toa klo sadar nda bagus didengar..mana tajwid- harakat so baku cako. rupa oma2 saki puru talapas gigi..mangganggu skali!!! Al-

(34)

qur’an itu qalam ilahi..ibarat pencipta lagu trus ada penyanyi yg bawain lagu ciptaannya antara lirik dan nada tidak seirama..apa yg nyiptain lagu gak jengkel??

apalagi yg denger. Ho tuhaii..ampir tiap mlm ini derita kasiang. Somo prop deng apa ini kuping (emotion marah), dan postingan kedua Terdakwa ”itu pengajian atau ada b undang jailangkung p setan (emotion marah) kampret.

#MasjidDalamPasarBaruMarisa. Bolo tiam mlm thd!!!”, yang artinya kurang lebih bahwa ”Itu pengajian atau mengundang setan jailangkung (emotion/ gambar ekspresi marah di facebook), kampret. #MasjiDalamPasarBaruMarisa. Terdakwa menulis postingan tersebut karena Terdakwa merasa marah dengan orang yang membaca Al Quran tidak sesuai dengan tata cara membaca Al Quran yang baik dan benar serta Terdakwa merasa terganggu karena orang-orang tersebut membaca Al Quran sudah pada jam istirahat yakni diatas pukul 22.00 WITA dimana rumah Terdakwa hanya berjarak 5 meter dari Masijid Al Aqsa.

Selanjutnya Terdakwa mengakui perbuatannya dan telah meminta maaf kepada ibu-ibu pengajian Masjid Al Aqsa dan mereka telah memafkan Terdakwa.

Terdakwa juga memberikan keterangan bahwa maksud Terdakwa memposting adalah hanya mengungkapkan ekspresi saja, dan Terdakwa mengakui bahwa pada tanggal 8 Juni 2017 ada sekelompok orang yang mendatangi rumahnya guna mengklarifikasi postingan Terdakwa dan Terdakwa merasa bersalah dan menyesali perbuatannya.

Atas keterangan saksi dan keterangan Terdakwa diatas dengan demikian jelas, terdapat fakta hukum dimana postingan yang ditulis Terdakwa diakun facebook pribadinya menimbulkan kegaduhan karena postingan tersebut dinilai

(35)

mengandung penghinaan, penistaan agama, penistaan Al Quran dan penistaan tradisi Gorontalo dimana hal tersebut juga diakui oleh Terdakwa dalam keterangannya.

4. Pengadilan Tingkat Pertama Banding dan Kasasi

Dalam perkara ujaran kebencian berdasarkan SARA yang melibatkan Terdakwa Megawaty H. Maku, telah dilakukan upaya hukum hingga tingkat Kasasi. Yang pertama Terdakwa diadili di Pengadilan Negeri Marisa dengan nomor perkara 17/Pid.Sus/2019/PN. Mar. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sehingga perkara tersebut diadili di Pengadilan Tinggi Gorontalo dengan nomor perkara 28/Pid.Sus/2019/PT.Gto. Tidak berhenti sampai tingkat Banding, Jaksa Penuntut Umum mengajukan perkara tersebut sampai tingkat Kasasi yang diadili di Mahkamah Agung dengan nomor perkara 3808 K/Pid.Sus/2019. Berikut adalah penjelasan dari setiap pengadilan.

a. Tingkat Pertama

Pertimbangan Majelis Hakim pada pengadilan tingkat pertama mengenai unsur-unsur Pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah sebagai berikut.

Unsur pertama adalah setiap orang, yang dimaksud dengan setiap orang atau barang siapa adalah seseorang tertentu, manusia alami, yang tunduk terhadap hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Dalam persidangan ini yang dimaksud dengan setiap orang yaitu anak yang identitasnya sesuai dengan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan keterangan saksi-saksi serta keterangan Terdakwa sendiri, bahwa benar yang dimaksud dengan setiap orang yaitu Megawaty H.

Maku, S.P yang didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dalam surat

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara komitmen dengan pemaafan pada perkawinan wanita suku Jawa. Smedes (1984)

Media pembelajaran lagu dapat dieksploitasi untuk membantu peningkatan keterampilan menulis cerpen dengan metode sugesti-imajinasi, lagu dapat memberikan sugesti yang

Dalam putusan nomor 162./PID.B/2018/PN.TRG, Majelis Hakim memutuskan Terdakwa PABA RAHMAN Bin ERAMSYAH, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah terungkap di persidangan, Adapun pertimbangan hakim yang meyakinkan Majelis Hakim bahwa Terdakwa secara sah dan terbukti

Berdasarkan hasil penelitian Rahayu mengenai perbandingan penggunaan pil KB kombinasi suntik KB DMPA terhadap kejadian melasma di Dusun Petoran, Jebres, Surakarta

Sampel penelitian adalah alat makan diperoleh dari dua penjual bakso yang tidak menggunakan detergen dalam proses pencucian sebanyak 32 sampel yakni mangkuk dan sendok

Berdasarkan hasil uji hipotesis pada penelitian ini dengan menggunakan uji chi square di dapatkan nilai signifikan ( p = 0, 443) yaitu lebih besar dari 0,05 sehinggga

3.2.5 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Jumlah Jam Kerja Seluruhnya dan Jenis Kelamin di Kota Kediri, 2018.. Population Aged