HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN KONTRASEPSI ORAL KOMBINASI DENGAN KEJADIAN MELASMA
DI KECAMATAN GROGOL SUKOHARJO
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I Pada Pendidikan Dokter Fakultas Kedoketran
Oleh:
MARLINA ELVIANA J500130010
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017
1
HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN KONTRASEPSI ORAL KOMBINASI DENGAN KEJADIAN MELASMA
DI KECAMATAN GROGOL SUKOHARJO Abstrak
Latar belakang: Melasma merupakan kelainan pigmentasi akibat peningkatan jumlah melanin di dalam epidermis maupun dermis berupa patch yang tidak rata dan berwarna coklat muda sampai coklat tua. Faktor penyebab melasma antara lain estrogen dan progesteron yang terdapat pada pil KB kombinasi. Tujuan: Mengetahui hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dengan kejadian melasma. Metode: Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dan didiagnosa langsung oleh dokter spesialis kulit dan kelamin kemudian dinilai skor MASI. Teknik analisa data menggunakan uji statistik Contingency Coefficient. Hasil: Dari 30 orang yang menggunakan kontrasepsi oral, 33,3% mengalami melasma dan 16,7% tidak melasma, sedangkan dari 30 orang yang tidak menggunakan kontrasepsi oral, 15% mengalami melasma dan 35% tidak melasma. Berdasarkan analisa data diketahui terdapat hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral dengan kejadian melasma dengan nilai p yaitu 0,000 (p<0,05). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dengan kejadian melasma.
Kata kunci: kontrasepsi oral kombinasi, melasma, skor MASI, estrogen, progesteron
Abstract
Back ground:Melasma is a pigmentation disorder due to the increased of melanin in the epidermis and dermis as a patch of uneven and the color is light brown to dark brown. Causative factor of melasma included estrogen and progesterone contained in the combined oral contraceptive pill. Objective: To understanding the relationship between the usage of the combined oral contraceptive and melasma. Methods:The type of this research is observational analytic and it uses cross sectional approach. Within this research, there are few measuring instruments are used namely questionnaires and direct diagnosed by a dermatologist and then it is assessed based on MASI score.The data analysis using statistical test which is contingency coefficient. Result:From 30 people who used oral contraceptive, 33,3% were melasma and 16,7% were not have melasma. Meanwhile, from 30 people were not used the combined oral contraceptive, 15% were melasma and 35% were not have melasma. Based on the data, there was a relationship between the usage of the combined oral contraceptive and melasma with p value 0,000 (p<0,05). Conclusion: There was a relationship between the usage of the combined oral contraceptive and melasma.
Key words: the combined oral contraceptive, melasma, MASI score, estrogen, progesterone
2
Kontrasepsi oral merupakan salah satu dari alat kontrasepsi yang banyak digunakan oleh para perserta Keluarga Berencana. Hal tersebut terungkap dari data KB aktif melalui mini survei oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2005, yang menyatakan bahwa prevalensi pengguna KB di Indonesia sebesar 66,2%. Dimana pengguna kontrasepsi pil sebesar 17%. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, penggunaan kontrasepsi pil sebesar 12,8%. Sedangkan hasil Survei Demograf Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, pengguna kontrasepsi pil sebesar 14% (Pangaribuan dan Lolong, 2015). Menurut World Health Organization (WHO), tahun 2009 hampir 380 juta pasangan yang menjalankan program KB (Keluarga Berencana) dan 65-75 juta diantaranya di negara bekembang menggunakan kontrasepsi hormonal yaitu pil KB. Menurut data dari BKKBN provinsi Jawa Tengah pada bulan April 2012, jumlah akseptor KB aktif sebanyak 5.287.343 peserta (Purwaningsih dan Kusumah, 2014).
Damayanti melaporkan bahwa pada tahun 2006-2008 kontrasepsi dan kehamilan disebutkan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya melasma. Hiperpigmentasi pada wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi hormonal tidak akan hilang sampai obat dihentikan. Penggunaan pil KB seringkali dihubungkan dengan kejadian melasma. Hal ini dikaitkan dengan adanya estrogen dan progesteron. Estrogen dan progesteron akan meningkatkan transkripsi gen penyusun enzim Dopachrome tautomerase (DCT) dan tirosinase yang berperan pada proses melanogenesis. Melanosit mempunyai reseptor estrogen yang bila aktif akan membuat melanosit menjadi hiperaktif (Umborowati dan Rahmadewi, 2014).
Melasma paling sering pada pasien berkulit gelap dengan jenis kulit Fitzpatrick IV-VI, yang tinggal di daerah terkena radiasi ultraviolet dengan intensitas tinggi. Hal ini lebih umum pada ras Hispanik, Asia dan keturunan Afrika. Usia onset biasanya antara 30-55 tahun dan penyakit ini
3
jarang ditemukan pada masa pubertas atau pasca menopause (Bagherani et al., 2015).
Insidensi melasma tidak di ketahui, tetapi kejadiannya lebih dominan pada wanita dan pada pria angka kejadiannya hanya 10% kasus. Melasma dapat mengenai semua ras terutama pada penduduk yang tinggal di daerah yang tropis. Di Indonesia perbandingan kasus wanita dan pria adalah 24:1. Terutama tampak pada wanita usia subur dengan riwayat langsung terkena paparan sinar matahari (Pravitasari dan Setyaningrum, 2012).
Melasma merupakan salah satu dari masalah kulit yang sering terjadi, sekitar 0,25% sampai 4% ditemukan pada pasien di klinik dermatologi Asia Tenggara. Angka kejadian ini dapat berbeda pada tiap daerah, bergantung dari letak geografik (Effendy dan Setyaningrum, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian Rahayu mengenai perbandingan penggunaan pil KB kombinasi suntik KB DMPA terhadap kejadian melasma di Dusun Petoran, Jebres, Surakarta didapatkan hasil bahwa responden yang paling banyak mengalami melasma adalah responden pengguna pil KB kombinasi yaitu sebanyak 21,67% dan yang paling sedikit mengalami melasma adalah responden pengguna suntik KB DMPA yaitu sebanyak 16,67% dan survei yang dilakukan oleh Ortone terhadap 324 wanita di sembilan klinik di seluruh dunia ditemukan onset melasma sebanyak 25% kasus setelah penggunaan kontrasepsi oral. Dikarenakan dari penelitian sebelumnya mengenai perbandingan penggunaan pil KB kombinasi suntik KB Depot Medroxy Progesterone Acetate (DMPA) terhadap kejadian melasma di Dusun Petoran, Jebres, Surakarta maka peneliti ingin melakukan penelitian yang lebih spesifik mengenai hubungan dari penggunaan kontrasepsi oral yang menyebabkan kejadian melasma di kecamatan Grogol, Sukoharjo.
Berdasarkan beberapa tulisan yang menyatakan bahwa perkembangan melasma dikaitkan dengan pemakaian kontrasepsi oral, hal
4
kontrasepsi oral yang dikaitkan dengan patogenesisnya maupun hasil penelitian mengenai melasma dan pengaruh dari kontrasepsi oral yang hasilnya masih variatif. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti hubungan penggunaan kontasepsi oral dengan kejadian melasma di kecamatan Grogol, Sukoharjo.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mempelajari hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dengan kejadian melasma. Sampel pada penelitian ini adalah wanita usia subur di kecamatan Grogol, Sukoharjo yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi dan bersedia menjadi responden penelitian.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dimana sampel diambil berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan oleh peneliti (Notoatmodjo, 2012). Instrumen pada penelitian ini adalah data primer dari kuisioner dan diagnosis langsung oleh dokter spesialis kulit dan kelamin.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.Data Karakteristik Responden Tabel 1.Data Usia Responden
Usia Jumlah %
30-40 tahun 38 63,3%
41-50 tahun 22 36,7%
Total 60 100%
Sumber: Data Primer Tabel 2.Data Melasma Responden
Melasma Jumlah %
Ya 29 48,3%
Tidak 31 51,7%
Total 60 100%
5
Tabel 3. Data Melasma Berdasarkan Usia dan Penggunaan Kontrasepsi Oral Kombinasi
Usia Penggunaan Pil KB
Kombinasi
Total %
Status Melasma Total
% Ya Tidak Ya Tidak 30-40 tahun 15 23 38 11 27 38 % 25% 38,3% 63,3% 18,3% 45% 63,3% 41-50 tahun 15 7 22 18 4 22 % 25% 11,7% 36,7% 30% 6,7% 36.7%
Jumlah sampel total %
60 100% Sumber: Data Primer a) Data karakteristik usia
Tabel 4. Distribusi Melasma Berdasarkan Usia
Usia Skor MASI
Tidak
Melasma Ringan Sedang Berat
Total
30-40 tahun 25 10 1 2 38
% 41,7% 16,7% 1,7% 3,3% 63,3%
41-50 tahun 6 5 7 4 22
% 10% 8,3% 11,7% 6,7% 36,7%
Jumlah sampel total
60
%
100%
6
Tabel 5. Distribusi Melasma Berdasarkan Penggunaan Kontrasepsi Oral Kombinasi
Penggunaan Kontrasepsi Oral
Skor MASI Total
Tidak Melasma
Ringan Sedang Berat
Ya 10 6 8 6 30 % 16,7% 10% 13,3% 10% 50% Tidak 21 9 0 0 30 % 35% 15% 0% 0% 50% Total 60 % 100%
Sumber: Data Primer 3.2.Hasil Analisis Hubungan Antara Penggunaan Kontrasepsi Oral Kombinasi Dengan Kejadian Melasma
Tabel 6. Cross Tabulation Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Kontrasepsi Oral Kombinasi dengan Kejadian Melasma
Penggunaan Kontrasepsi Oral
Skor MASI Tidak
Melasma
Ringan Sedang Berat Total
Ya Count 10 6 8 6 30 Expected Count 15.5 7.5 4 3 30 Tidak Count 21 9 0 0 30 Expected Count 15.5 7.5 4 3 30 Total Count 60 Expected Count 60 Sumber: Data Primer Tabel 7. Hasil Analisis Data Hubungan Antara Penggunaan Kontrasepsi Oral Kombinasi dengan Kejadian Melasma
Value Exact Sig. (2-sided)
Contingency Coefficient 0,485 0,000
N of Valid Cases 60
7
3.3.Hasil Uji Nilai Kappa Tabel 8. Nilai Kappa
Kappa
Nilai Approx. Sig.
0,783 0,011
Sumber: Data Primer Dari hasil uji analisis diatas, uji korelasi yang digunakan adalah Contingency Coefficient. Nilai signifikansi adalah p= 0,000 (<0,05) artinya terdapat hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dengan kejadian melasma.
Pengertian melasma merupakan hipermelanosis simetris dapat berupa patch yang tidak rata kadang berwarna coklat muda sampai coklat tua (Soepardiman, 2010). Melasma sering disebut sebagai salah satu kelainan pigmentasi akibat peningkatan jumlah sel melanin di dalam epidermis maupun dermis (Umborowati dan Rahmadewi, 2014). Melasma biasanya terjadi pada area wajah yang terkena paparan sinar matahari langsung (Lapeere et al., 2008).
Melasma dapat mengenai seluruh kelompok ras dan sering dijumpai pada orang yang hidup di daerah dengan radiasi UV tinggi seperti Asia dan Hispanik (Umborowati dan Rahmadewi, 2014). Wanita pada usia pertengahan atau usia subur dengan riwayat penggunaan kontrasepsi lebih sering menderita melasma, insidensi terbanyak melasma pada usia 30-44 tahun. Beberapa faktor dapat menyebabkan melasma seperti penggunaan hormon yang terdapat pada pil KB (Soepardiman, 2010).
Dalam penelitian ini diagnosis melasma ditegakkan dengan pengambilan foto pada wajah responden kemudian dinilai nilai kappa menggunakan disagreement intra observer oleh dokter spesialis kulit dan kelamin. Kemudian nilai kappa diukur dan didapatkan nilai kappa sebesar 0,783 yang berarti kuat (substantial). Setelah dilakukan penilaian nilai kappa kemudian dihitung derajat dari melasma menggunakan skor MASI.
8
terbanyak adalah usia 30-40 tahun, yaitu 38 (63,3%) responden dan paling sedikit berusia 41-50 tahun, yaitu 22 (36,7%). Kelompok usia responden yang paling banyak mengalami melasma berat adalah 41-50 tahun, yaitu 4 (6,7%) responden, melasma sedang adalah 41-50 tahun sebanyak 7 (11,7%) responden, melasma ringan adalah 30-40 tahun sebanyak 10 (15%) responden, dan tidak melasma adalah 30-40 tahun sebanyak 25 (41,7%) responden
Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa melasma paling sering mengenai wanita usia subur yaitu sekitar usia antara 20-50 tahun (Umborowati dan Rahmadewi, 2014). Pada usia tersebut menurut Luluilmaknun dan Wulandari wanita subur banyak menggunakan KB untuk menekan angka kelahiran dan menentukan jumlah anak (Luluilmaknun dan Machmudah, 2104). Pada penelitian yang dilakukan Wulandari dan Kusumaningrum pada tahun 2013 di desa Glanggang Gresik frekuensi usia 40-49 tahun yang mengalami melasma didapatkan 45,5%. Data yang didapatkan dari pasien baru melasma di Divisi Kosmetik Medik Unit Rawat Jalan (URJ) Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2009-2011 didapatkan wanita kelompok usia terbanyak pada usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 43,0%.
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa yang paling banyak mengalami melasma berat yaitu pengguna kontrasepsi oral kombinasi sebanyak 6 (10%) responden, melasma sedang yaitu pengguna kontrasepsi oral sebanyak 8 (13,3%) responden, melasma ringan yaitu responden yang tidak menggunakan kontrasepsi oral sebanyak 9 (15%), dan tidak mengalami melasma yaitu responden yang tidak menggunakan kontrasepsi oral kombinasi sebanyak 21 (35%) responden.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa terdapat hormon yang terkandung didalam pil KB yaitu hormon estrogen dan progesteron. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) zat yang terdapat pada hormon estrogen yang biasa digunakan dalam pil KB adalah etinilestradiol,
9
sedangkan zat yang terdapat pada hormon progesteron yang biasa digunakan antara lain desgestrel, drospirenon, gestoden, norethisteron, norgestimat, dan levonorgestrel (InfoPOM, 2012). Estrogen berperan langsung pada melanosit sebagai salah satu reseptornya di kulit dan meningkatkan jumlah melanin dalam sel, sedangkan progesteron meningkatkan penyebaran melanin di dalam sel. Kemudian estrogen dan progesteron juga akan meningkatkan transkripsi gen penyusun enzim Dopachrome tautomerase (DCT) dan tironase yang berperan dalam proses melanogenesis. Melanosit memiliki reseptor estrogen yang bila aktif akan membuat melanosit menjadi hiperaktif (Umborowati dan Rahmadewi, 2014; Yani, 2008). Pada pengguna kontrasepsi oral kombinasi setiap harinya akan terpapar oleh hormon estrogen dan progesteron sehingga semakin memacu proses melanosit serta meningkat penyebaran melanosit didalam sel sehingga mempengaruhi timbulnya melasma (Umborowati dan Rahmadewi, 2014). Hal ini dikarenakan penggunaan kontrasepsi oral kombinasi secara rutin dan dalam jangka waktu yang lama yaitu lebih dari 2 tahun akan mengakibatkan penumpukan dari hormon estrogen dan progesteron sehingga akan mempengaruhi timbulnya hiperpigmentasi (Wulandari dan Kusumaningrum,2013). Selain faktor hormonal terdapat beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan melasma seperti paparan dari sinar ultra violet (UV), penggunaan obat-obatan sistemik, genetik, ras, kosmetik yang mengandung pemutih, dan idiopatik (Soepardiman, 2010).
Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktarina pada tahun 2012 didapatkan responden yang menggunakan kontrasepsi oral mengalami melasma sebanyak 18,6%, dan penelitian yang dilakukan Suhartono pada tahun 2001 prevalensi melasma pada pengguna kontrasepsi oral sebanyak 35,3% sedangkan pada pengguna suntik prevalensi melasma sebanyak 28,7%.
10
Kesimpulan
Hasil dari penelitian di kecamatan Grogol Sukoharjo didapatkan hasil yang menunjukan bahwa kontrasepsi oral kombinasi secara statistik memiliki hubungan dengan kejadian melasma.
Persantunan
Ucapan terima kasih penulis kepada Ibu Ambar Respatty selaku ibu lurah dan ketua PKK dari desa Kwarasan Grogol, Sukoharjo yang telah memerikan izin untuk melakukan penelitian ini dan bapak Saryono beserta keluarga yang telah bersedia membantu dan bekerja sama dalam penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan lancar dan baik. Kepada DR. dr. E.M. Sutrisna, M.Kes, dr. Flora Ramona S.P, M.Kes., Sp.KK., dan dr. Ratih Pramuningtyas, Sp.KK yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan dan saran yang sangat penting bagi skripsi ini mulai dari awal pengajuan hingga skripsi ini selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, B., Adriaansz, G., Gunardi, E.R. Koesno, H. 2012. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. hal. 30-33.
Anisa, S.N., Kartikasari, R.I. 2014. Hubungan Kepatuhan Akseptor KB Pil dengan Keberhasilan Pencegahan Kehamilan di BPS Ertin Jupri W.,Amd.Keb Desa Solokuro Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan. 02:16-17.
Bagherani, N., Gianfaldoni, S., Smoller, B. 2015. An Overview on Melasma. Journal of Pigmentary Disorders. 2:1.
Brown, R.G., Burns, T. 2005. Lectures Notes Dermatologi edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit Erlangga. hal. 131.
Daili, E.S., Menaldi, S. L., Wisnu, I. M. 2005. Penyakit Kulit Yang Umum di Indonesia. Jakarta Pusat: PT Medical Multimedia Indonesia. hal. 87. Davis, E.C., Callender, V.D. 2010. Postinflammatory Hyperpigmentation A
Review of the Epidemiology Clinical Features, and Treatment Options in Skin Color. the Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology. 3:25.
11
Effedy, Z.F., Setyaningrum, T. 2015. Penelitian Retrospektif: Penggunaan Pengelupasan Kimiawi Jessner Modifikasi pada Melasma. Periodical of Dermatology and Venereology, 27:107.
Fitriyani., Djuwita, R. 2013. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Pil dengan Usia Menopause. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8:188.
Hartiningsih, I. 2015. Krim Ekstrak Etanol Kulit Batang Pohon Nangka (Arthocarpus Heterophilus) Sama Efektifnya Dengan Krim Hidrokuinon Dalam Mencegah Peningkatan Jumlah Melanin Pada Kulit Marmut (Cavia Porcelus) yang Dipapar Sinar UVB. Universitas Udaya Denpasar. PhD Thesis
InfoPOM. 2012. Kontrasepsi Oral: Mengenal Manfaat dan Risikonya. Jakarta. Kabulrachman. 2000. Kelainan Pigmen, Dalam : Ilmu Penyakit Kulit. Edisi
Pertama. Jakarta: Hipokrates. hal.148-149.
Kundel, H.L., Polansky, M. 2003. Measurement of Observer Agreement. Radiology, 208:303-304.
Lapeere, H., Boone, B., Schepper, S.D., Verhaeghe, E., Ongenae, K., Geel, N.V., Lambert, J., Brochez, L., Naeyaert, J.M. 2008. Hypomelanoses and Hypermelanoses, Dalam : Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi Ketujuh. New York: The McGraw-Hill Companies,Inc. hal. 662. Luluilmaknun, K., Machmudah. 2014. Analisis Alasan Wanita Usia Subur (WUS)
Dalam Memilih Metode Kontrasepsi di Puskesmas Bandarharjo Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. 1:2.
Melyawati., Nilasari, H., Sirait, S.P., Rihatmadja, R., Soebaryo, R.W. 2014. Korelasi Klinikopatologis Pada Kelainan Kulit Hiperpigmentasi. MDVI. 41 :170-174.
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. hal.125-127.
Oktarina, P.D., 2012. Faktor Risiko Penderita Melasma. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Pandya, A., Berneburg, M., Ortonne, J.P., Picardo, M. 2007. Guidelines For Clinical Trials in Melasma. British Journal of Dermatology. 1 :21-28. Pangaribuan, L., Lolong, D.B. 2015. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Pil
Dengan Kejadian Hipertensi Pada Wanita Usia 14-59 Tahun di Indonesia Tahun 2013 (Analisis Data RISKESDAS 2013). Media Litbangkes. 25:2.
12
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 24:56.
Purwaningsih, E., Kusumah, Y. 2014. Hubungan Pengetahuan Akseptor KB Pil Oral Kombinasi Dengan Kepatuhan Dalam Mengkonsumsi KB Pil di Desa Karang Kecamatan Delanggu Klaten. Jurnal Involusi Kebidanan. 4:12-13. Ribas, J., Cavalcante, M.D.S.M., Schetitini, A.P.M. 2010. Exogenous ochronosis
hydroquinone induced: a report of four cases. An Bras Dermatol. 85 :699-703.
Sari, A.A.I.A.N. 2014. Kadar Malondialdehid Serum Berkolerasi Positif Dengan
Melasma Area and Severity Index. Universitas Udaya. PhD Thesis.
Sarkar, R., Arora, P., Garg, V.K., Sonthalia, S., Gokhale, N. 2016. Melasma Update. Indian Dermatology Online Journal. 5:427.
Siregar, R.S. 2013. Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal 250.
Soepardiman, L., 2010. Kelainan Pigmen, Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal.289-291.
Umborowati, M.A., Rahmadewi. 2014. Studi Retrospektif: Diagnosis dan Terapi Pasien Melasma. Periodical of Dermatology and Venereology. 26:56-60. Wulandari, F., Kusumaningrum, T.A. 2013. Perbedaan KB Suntik Depomedroxi
Progesteron Asetat (DMPA) Dan Pil Kombinasi Terhadap Terjadinya Cloasma Pada Akseptor KB di Desa Glanggang Kecamatan Duduk Sampeyan Kabupaten Gresik. 03:57.
Yani, M.S. 2008. Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma Pada Pekerja wanita Penyapu Jalan di Kota Medan Tahun 2008. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. PhD Thesis
Younes, A.K., Mohammed, E.E., Tawfik, K.M., Mohamed, R.R., Abdo, Y. 2015. The Effect of 3 Sessions of Q Switched Neodymium: Yttrium– Aluminum– Garnet Laser in the Treatment of Freckles. Pigmentary Disorders. 2:1.